Data yang dipergunakan berupa data sekunder dengan mempelajari literatur dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi.
4. Analisis Data Bahan  sekunder  yang  telah  disusun  secara  sistematis  kemudian  dianalisa
dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif
dilakukan  dengan  menerjemahkan  berbagai  sumber  yang  berhubungan  dengan topik  skripsi  ini,  sehingga diperoleh  kesimpulan  yang  sesuai  dengan  tujuan
penelitian yang dirumuskan.
G. Sistematika Penelitian
Untuk  dapat  menguraikan  skripsi  ini,  Penulis  telah  membuat  sistematika dengan mengadakan pembagian materinya atas empat bab dan tiap-tiap babnya
dibagi lagi  atas  bagian-bagian  yang  lebih  kecil  sub-sub  bab  sehingga mencerminkan suatu kesatuan materi Skripsi ini dengan sebagai berikut.
BAB I :  PENDAHULUAN
Didalam Bab Pendahuluan ini memuat Latar Belakang, Perumusan masalah,  Tujuan  dan  Manfaat  Penulisan,  Keaslian  Penulisan,
Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB  II     : Diuraikan  mengenai  Tindak  Pidana  Penyalahgunaan  Narkotika dalam  Undang-Undang  No.35 Tahun  2009 tentang  Narkotika  dari
Perspektif Kebijakan Hukum Pidana yakni tentang Peraturan yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berkaitan  dengan  Tindak  Pidana  Penyalahgunaan  Narkotika sebelum lahirnya Undang-Undang No.35 Tahun 2009 dan  Tindak
Pidana  Penyalahgunaan  Narkotika  dari  Perspektif  Kebijakan Hukum Pidana.
BAB III :  Di  dalam  Bab.III  dibahas  mengenai  Penerapan  Undang-Undang
Nomor  35  Tahun  2009  tentang  Narkotika  terhadap  Tindak  Pidana Permufakatan  Jahat  Jual  Beli  Narkotika  yakni  Tindak  Pidana
Permufakatan  Jahat  Jual  Beli  Narkotika  sebagai  Bentuk  Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Menurut UU No.35 Tahun 2009
tentang Narkotika, Kasus, dan Analisa Kasus. BAB IV
:  Kesimpulan  dan  Saran.  Di  dalam  Bab  ini  Penulis  mengemukakan kesimpulan yang dipetik dari uraian bab terdahulu yang telah diuji
keabsahannya melalui data-data yang diperoleh. Selanjutnya dalam Bab  ini  Penulis  memberikan  saran  yang  kiranya  dapat  berguna
sebagai referensi dalam penerapan hukum pidana tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB II TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM
UNDANG UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
A.  Peraturan  yang  berkaitan  dengan  Tindak  Pidana  Penyalahgunaan Narkotika sebelum lahirnya Undang-Undang No.35 Tahun 2009
Munculnya  berbagai  bentuk  kejahatan  dalam  dimensi  baru  akhir-akhir ini  menunjukkan,  kejahatan  itu  selalu  berkembang.  Demikian  juga  dengan
kejahatan narkotika tidak lepas dari perkembangan tersebut. Kejahatan narkotika the  drug  trafficking  industry,  merupakan  bagian  dari  kelompok  kegiatan
organisasi-organisasi  kejahatan  transnasional  Activities  of  Transnational Criminal Organizations di samping jenis kejahatan lainnya.
Jenis-jenis  kejahatan  tersebut  sangat  memprihatinkan  masyarakat internasional, karena  apabila  dikaitkan  dengan  ancaman  atau  akibat  yang
ditimbulkannya  sangat  begitu  dahsyat  insidious,  dan  dapat  menembus  ke berbagai  segi  atau  bidang,  baik  terhadap  keamanan  dan  stabilitas  nasional
maupun internasional, dan merupakan ancaman utama frontal attack terhadap kekuasaan politik, dan ancaman bagi kewibawaan negara. Adapun tujuan utama
dilakukannya  jenis  kejahatan  ini  adalah  untuk  menghasilkan  keuntungan  baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut. Dana-dana
gelap  ini  akan  digunakan  oleh  pelaku  untuk  membiayai  kegiatan  kejahatan selanjutnya.
39
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kejahatan narkotika yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada  dasarnya  termasuk  salah  satu  kejahatan  terhadap  pembangunan  dan
kejahatan  terhadap  kesejahteraan  sosial  yang  menjadi  pusat  perhatian  dan keprihatinan  nasional  dan  internasional.  Hal  itu  sangat  beralasan,  mengingat
ruang  lingkup  dan  dimensinya  begitu  luas,  sehingga  kegiatannya  mengandung ciri-ciri  sebagai  organized  crime, white-collar  crime,  corporate  crime,  dan
transnational  crime.  Bahkan,  dengan  menggunakan  sarana  teknologi  dapat menjadi  salah  satu  bentuk  dari  cyber  crime.  Berdasarkan  karakteristik  yang
demikian, maka dampak dan korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan  dan  kesejahteraan  masyarakat.  Bahkan  dapat  melemahkan
ketahanan nasional. Saat  ini  Indonesia  sudah  mempunyai  Undang-Undang No.  35  Tahun
2009  tentang  Narkotika  Lembaran  Negara  Tahun  2009  Nomor:  143,  tanggal 12  Oktober  2009,  yang  menggantikan  Undang-Undang No.  22  Tahun  2007
tentang  Narkotika  lembaran  Negara  Tahun  2007  Nomor  67,  karena sebagaimana  pada  bagian menimbang dari  Undang-UndangNo. 35 Tahun  2009
huruf  e  dikemukakan:  bahwa  tindak  pidana  Narkotika  telah  bersifat transnasional  yang  dilakukan  dengan  menggunakan  modus  operandi  yang
tinggi,  teknologi  canggih,  didukung oleh  jaringan  organisasi  yang  luas,  dan sudah  banyak  menimbulkan  korban,  terutama  di  kalangan  generasi  muda
bangsa  yang  sangat  membahayakan  kehidupan masyarakat,  bangsa,  dan Negara,  sehingga  Undang-UndangNomor  22  Tahun  1997  tentang  Narkotika
sudah  tidak  sesuai  lagi  dengan  perkembangan  situasi  dan  kondisi  yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berkembang  untuk  menanggulangi  dan  memberantas  Tindak  Pidana  tersebut. Oleh  sebab  itu,  berdasarkan  ketentuan  153  Undang-UndangNomor  35  Tahun
2009, bahwa  dengan berlakunya Undang-UndangNomor 35  Tahun  2009,  maka Undang-Undang  Nomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Undang-Undang  No 35 Tahun 2009 disahkan  pada 14 September  2009 merupakan  revisi  dari  Undang-Undang No.  22  Tahun  1997  tentang  Narkotika.
Pemerintah  menilai  Undang-Undang No.  22  Tahun  1997  ini  tidak  dapat mencegah  tindak  pidana  narkotika  yang  semakin  meningkat  secara  kuantitatif
maupun  kualitatif  serta  bentuk  kejahatannya  yang  terorganisir.  Namun  secara substansial,  Undang-UndangNarkotika  yang  baru  tidak  mengalami  perubahan
yang  signifikan  dibandingkan  dengan  Undang-Undang  terdahulu,
56
kecuali penekanan  pada  ketentuan  kewajiban  rehabilitasi,  penggunaan  pidana  yang
berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.
57
Peraturan  perundang-undangan  yang  mengatur  narkotika  di  Indonesia sebenarnya  telah  ada  sejak  berlakunya  Ordonansi  Obat  Bius  Verdoovende
Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927. Ordonansi ini  kemudian  diganti  dengan  Undang-Undang  Nomor  9  Tahun  1976  tentang
Narkotika  yang  mulai  berlaku  tanggal  26  Juli  1976.  Selanjutnya  Undang- Undang Nomor 9 Tahun  1976 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September 1997.
56
http:ilmuhukum.umsb.ac.id?id=177 diakses Pada Senin, 6 Desember 2010
57
http:totokyuliyanto.wordpress.com20091110catatan-terhadap-uu-no-35-tahun- 2009-tentang-narkotika diakses Pada Selasa, 10 November 2009
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Ada  beberapa  revisi  terhadap  Undang- Undang  Nomor  22  Tahun  1997 tersebut karena masih ditemukan beberapa  kelemahan selama  pelaksanaan atau
penerapannya  sehingga  Undang- undang  tersebut  diratifikasi  pada  Tahun  2009 sehingga melahirkan Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
yang mana ada beberapa perbedaan dengan undang- undang sebelumnya. Uraian masing- masing peraturan perundang-undangan tersebut yaitu ;
1. Ordonansi  Obat  Bius  Verdoovende  Middelen  Ordonnantie,  Staatsblad
Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927. Pada zaman  penjajahan Belanda  kebiasaan penyalahgunaan obat bius dan
candu,  sudah  mulai  terasa  membahayakan  masyarakat,  pemakainya  terutama masyarakat golongan menengah khususnya keturunan cina oleh sebab itu, pada
zaman  tersebut  pemerintah  Hindai  Belanda  mengeluarkkan  Verdoovende Middelen  Ordonnantie,  Staatsblad  Nomor  278  Jo.  536  Tahun  1927,  yaitu
peraturan  yang  mengatur  tentang  obat  bius  dan  candu.
58
Selain  itu,  juga diberlakukan  ketentuan  mengenai  pembungkusan  candu  yang  disebut  Opium
verpakkings Bepalingen Staatsblad 1927 No. 514. Setelah Indonesia Merdeka, kedua  intrumen  hukum  kolonial  Belanda  tersebut  tetap  diberlakukan
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Peraturan  perundang-undangan  ini,  materi  hukumnya  hanya  mengatur
mengenai  perdagangan  dan  penggunaan  narkotika,  sedangkan  tentang
58
Moh. Taufik Makaro, Suhasril, dan Moh. Zakky A.S, loc.cit., halaman 10.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pemberian  pelayanan  kesehatan  untuk  usaha  penyembuhan  pecandunya  tidak diatur.
59
Perkembangan  kejahatan  di  bidang  narkotika  pasca  masa  kemerdekaan cenderung semaking meningkat  dari  tahun ke tahun,  sehingga intrumen hukum
yang  mengatur  tindak  pidana  narkotika  warisan  Belanda  tersebut  dirasakan sudah  ketinggalan jaman.  Karena  itu, pada  tahun 1976 pemerintah menetapkan
Undang-Undang  No.  8  Tahun  1976  tentang  Pengesahan  Konvensi  Tunggal Narkotika  1961  beserta  Protokal  Perubahannya.  Kemudian,  menyusul
diberlakukan Undang-Undangg  No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
60
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Ketidak puasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan narkotika dan obat-obat  terlarang  telah  mengakibatkan  bangsa  Indonesia  berpikir  untuk
menyempurnakan  peraturanregulasi  tentang  Narkotika  karena  Ordonansi  Obat Bius  Verdoovende  Middelen  Ordonnantie,  Staatsblad  Nomor  278  Jo.  536
Tahun  1927  dirasa  tidak  lagi  mampu  untuk  meredam  pertumbuhan  kejahatan narkotika.  Dimana  Narkotika  merupakan  obat  yang  diperlukan  dalam  bidang
pengobatan  dan  ilmu  pengetahuan,  yang  diketahui  dapat  menimbulkan ketergantungan yang dangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan
dan  pengawasan  yang  seksama.  Dengan  pemikiran  bahwa  perbuatan, penyimpanan,  pengedaran,  dan  penggunaan  narkotika  tanpa  pembatasan  dan
pengawasan  yang  seksama  merupakan  kejahatan  yang  sangat  merugikan
59
Hari sasangkat, op.cit., halaman 5.
60
http:hukumonlinesiboro.blogspot.com201112faktor-faktor-lahirnya-kebijakan- untuk.html diakses pada Senin, 05 desember 2011
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
perorangan    dan  masyarakat  dan  merupakan  bahaya  besar  bagi  perikehidupan menusia dan kehidupan Negara dibidang politik, keamanan, sosial, budaya, serta
ketahanan nasional bangsa Indonesia,  maka  terbitlah   Undang-Undang Nomor 9  Tahun  1976  tentang  Narkotika,  yang  mengatur  cara  penyediaan  dan
penggunaan  narkotika  untuk  keperluan  pengobatan  dan  atau  cara  ilmu pengetahuan  serta  untuk  mencegah  dan  menanggulangi  bahaya-bahaya  yang
dapat  ditimbulkan  akibat  sampingan  dari  penggunaan  dan  penyalahgunaan narkotika serta mengatur rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.
61
Adapun  perbuatan-perbuatan  yang  termasuk  dalam  lingkup  tindak  pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 23 ayat
1 sampai 7 adalah : 1. Pada Pasal 23 ayat 1 Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara,
mempunyai  dalam  persediaan,  memiliki,  menyimpan  atau  menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja.
2. Pada  Pasal  23  ayat  2 Dilarang  secara  tanpa hak  memproduksi,  mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika.
3. Pada  Pasal  23  ayat  3  Dilarang  secara  tanpa  hak  memiliki,  menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika.
4. Pada  Pasal  23  ayat  4  Dilarang  secara  tanpa  hak  membawa,  mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika.
61
A.R Sujono dan Bony Daniel, op.cit., halaman 9-10.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5. Pada Pasal 23 ayat 5  Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan  untuk  dijual,  menyalurkan,  menjual,  membeli,  menyerahkan,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika. 6. Pada  Pasal  23 ayat  6  Dilarang  secara  tanpa  hak  menggunakan  narkotika
terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain. 7. Pada  Pasal  23  ayat  7  Dilarang  secara  tanpa  hak  menggunakan  narkotika
bagi dirinya sendiri. Ketentuan sanksi pidana atas perbuatan-perbuatan di atas diatur dalam Bab
VIII Pasal 36, yaitu : 1. Pasal 36  ayat 1 Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat 1 :
a. dipidana  dengan  pidana  penjara  selama-lamanya  6  enam  tahun  dan denda  setinggi-tingginya  Rp.  10.000.000,-sepuluh  juta  rupiah  apabila
perbuatan tersebut menyangkut tanaman Koka atau tanaman Ganja; b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 sepuluh tahun dan
denda      setinggi-tingginya  Rp.  15.000.000.- limabelas  juta  rupiah apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Papaver.
2. Pasal 36  ayat 2 Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat 2 : a. dipidana  dengan  pidana  penjara selama-lamanya  12  dua  belas  tahun
dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- dua puluh juta rupiah apabila  perbuatan  tersebut  menyangkut  daun  Koka  atau  tanaman
Ganja;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 20 dua puluh tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- tiga puluh juta rupiah
apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya. 3. Pasal 36  ayat 3 Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat 3 :
a. dipidana  dengan  pidana  penjara  selama-lamanya  6  enam  tahun  dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-sepuluh juta rupiah apabila
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja; b. dipidana  dengan pidana penjara selama-selamanya  10 sepuluh  tahun
dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- lima belas juta rupiah apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
4. Pasal 36  ayat 4 Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat 4 : a. dipidana  dengan  pidana  penjara  seumur  hidup  atau  pidana  penjara
selama-lamanya 20 dua puluh tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- tiga  puluh  juta  rupiah  apabila  perbuatan  tersebut
menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja; b. dipidana  dengan  pidana  mati  atau  pidana  penjara  seumur  hidup  atau
pidara  penjara  selama-lamanya  20  dua  puluh  tahun  dan  denda setinggi-tingginya  Rp.  50.000.000,- Iima  puluh  juta  rupiah  apabila
perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya. 5. Pasal 36  ayat 5 Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat 5 :
a. dipidana  dengan  pidana  penjara  seumur  hidup  atau  pidana  penjara selama-lamanya 20 dua puluh tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30.000.000,- tiga  puluh  jutan  rupiah  apabila  perbuatan  tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman, Ganja;
b. dipidana  dengan  pidana  mati  atau  pidana  penjara  seumur  hidup  atau pidana  penjara  selama-lamanya  20  dua  puluh  tahun  dan  denda
setinggi-tingginya  Rp.  50.000.000,- lima  puluh  juta  rupiah  apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
6. Pasal 36  ayat 6 Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat 6 : a. dipidana  dengan  pidana  penjara  selama-lamanya  6  enam  tahun  dan
denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-sepuluh juta rupiah apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana  dengan  pidana  penjara  selama-lamanya  10  sepuluh  tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- lima belas juta rupiah
apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya. 7. Pasal 36  ayat 7 Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat 7 :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 dua tahun apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 3 tiga tahun apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
8. Pasal 36  ayat 8 Barang siapa karena kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan tersebut dalam Pasal 23 ayat 1 diatas tanah atau tempat miliknya
atau yang dikuasainya, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 satu  tahun  dan  atau  denda  setinggi-tingginya  Rp.  1.000.000,- satu  juta
rupiah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Dalam  perkembangannya  ternyata  Undang-undang  Nomor  9  Tahun  1976 tentang  Narkotika  tidak  juga  bisa  meredam  ataupun  memberantas  peredaran
gelap narkotika secara signifikan, bahkan sasaran peredaran gelap narkoba telah memasuki seluruh aspek dan lapisan masyarakat. Predaran narkotika tidak hanya
pada  orang-orang  yang  mengalami  broken  home atau  yang  gemar  dalam kehidupan  malam,  tetapi  telah  merambah  kepada  mahasiwa,  pelajar,  bahkan
tidak sedikit kalangan eksekutif maupun businessman telah terjangkit narkotika. Seiring  dengan  perkembangan  waktu  Undang-Undang  Nomor  9  Tahun
1997  dirasa  tidak  mampu  lagi  untuk  mengakomodir  banyak  hal  dari  kejahatan narkotika.  Kejahatan  narkotika  telah  bersifat  transnasional  yang  dilakukan
dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, sedangkan peraturan yang ada  sudah  tidak sesuai dengan perkembangan situasi
dan  kondisi  yang  berkembang  untuk  menanggulangi  kejahatan  tersebut, sehingga  akhirnya  terbitlah  Undang-Undang  Nomor  22  Tahun  1997  tentang
Narkotika.
62
Dalam  konsideran  Undang-Udang  Nomor  22  Tahun  1997  antara  lain menyebutkan  dalam  rangka  mewujudkan  kesejahteraan  rakyat  perlu  dilakukan
upaya  di  bidang  pengobatan  dan  pelayanan  kesehatan,  pada  satu  sisi mengusahakan  ketersediaan  narkotika  jenis  tertentu  yang  sangat  dibutuhkan
62
Ibid., halaman 12.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sebagai obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasn terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
63
Latar  belakang  diundangkannya  Undang-Undang  Nomor  22  Tahun  1997 dapat  dilihat  dalam  penjelasan  undang-undang  tersebut,  yakni  peningkatan
pengendalian  dan  pengawasan  sebagai  upaya  mencegah  dan  memberantas penyalahgunaan  dan  peredaran  gelap  narkotika.  Kejahatan-kejahatan  narkotika
pada  umunya  tidak  dilakukan  oleh  secara  perorangan  secara  berdiri  sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang
terorganisasi secara mantap, rapi, dan sangat rahasia.
64
Didalam  Undang-Undang  Nomor  22  Tahun  1997  tujuan  pengaturan Narkotika adalah untuk :
a. Menjamin  ketersediaan  narkotika  untuk  kepentingan  pelayanan kesehatan danatau pengembangan ilmu pengetahuan
b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika c. Memberantas peredaran gelap narkotika
Narkotika  digolongkan  pada  tujuan  dan  potensi  ketergantungan  yang bersangkutan.  Untuk  pertama  kali  penggolongan  tersebut  ditetapkan  dalam
undang-undang  ini,  dan  selanjutnya  akan  ditetapkan  dalam  Keputusan  Menteri Kesehatan.
65
Penggolongan narkotika adalah sebagai berikut :
63
Gatot  Supramono, Hukum  Narkoba  Indonesia, Djambatan,  Jakarta,  2004,  halaman 156.
64
Hari Sasangka, Narkotika  dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, halaman 165
65
Ibid., halaman 167.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Narkotika  Golongan  I  adalah  narkotika  yang  hanya  dapat  digunakan untuk  tujuan pengembangan  ilmu  pengetahuan  dan  tidak  digunakan
dalam  terapi,  serta  mempunyai  potensi  dangat  tinggi  mengakibatkan keterantungan.
b. Narkotika  Golongan  II  adalah  narkotika  yang  berkhasiat  pengobatan digunakan  sebagai  pilihan  terakhir  dan  dapat  digunakan  dalam  terapi
danatau  untuk  tujuan  pengembangan ilmu  pengetahuan  serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan c. Narkotika  Golongan III  adalah  narkotika  yang  berkhasiat  dan  banyak
digunakan  dalam  terapi  danatau  tujuan  pengembangan  ilmu pengetahuan
serta mempunyai
potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan.
66
Perbuatan-perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana di dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1997  dinyatakan sebagai berikut:
1. Menanam,  memelihara,  mempunyai  dalam  persediaan,  memiliki, menyimpan,  atau  menguasai  narkotika  dalam  bentuk  tanaman  Pasal
78-79 2. Memproduksi,  mengolah,  mengekstraksi,  mengkonversi,  merakit  atau
menyediakan narkotika Pasal 80 3.
Membawa,  mengirim,  mengangkut,  atau  mentransito  narkotika  tanpa hak dan melawan hukum Pasal 81
66
Ibid.,  halaman  168.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Mengimpor,  mengekspor,  menawarkan  untuk  dijual,  menyalurkan, menjual,  membeli,  menyerahkan  menerima,  menjadi  perantara  dalam
jual  beli, atau menukar narkotika  tanpa hak dan melawan hukum Pasal 82
5. Percobaan  atau  permufakatan  jahat  untuk  melakukan  tindak  pidana
narkotika Pasal 78 ad 82 6.
Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain tanpa hak dan melawan hukum Pasal 84
7. Tanpa  hak  dan  melawan  hukum,  menggunakan  narkotika  untuk  diri
sendiri Pasal 85 8. Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak
melapor Pasal 86 9.
Membujuk  anak  yang  belum  cukup  umur  untuk  melakukan  tindak pidana narkotika Pasal 87
10. Pecandu  narkotika  yang  telah  cukup  umur  atau  keluarganya orangtuawali dengan sengaja tidak melaporkan diri Pasal 88
11. Pengurus  pabrik  obat  yang  tidak  melaksanakan  kewajiban  menurut Pasal  41  dan  42,  yaitu  tidak  mencantumkan  label  pada  kemasan
narkotika dan  mempublikasikan  narkotika  diluar  media  cetak  ilmiah kedokteranfarmasi Pasal 89
12. Menghalang-halangi  atau  mempersulit  penyidikan,  penuntutan,  atau pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di Pengadilan Pasal 92
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13. Nahkoda  atau  kapten  penerbang  yang  tanpa  hak  dan  melawan  hukum tidak  melaksanakan  ketentuan  Pasal  24  dan  25,  yaitu  tidak  membuat
berita  acara  muatan  narkotika,  tidak  melapor  adanya  muatan  narkotika kepada Kantor Pabean setempat Pasal 93
14. Penyidik PPNSPolri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan  Pasal  69  dan  71,  yaitu  tidak  melakukan  penyegelan  dan
pembuatan berita acara penyitaan, tidak member tahu atau menyerahkan barang sitaan, tidak memusnahkan tanaman narkotika Pasal 94
15. Saksi  yang  memberi  keterangan  tidak  benar  di muka  sidang  pengadilan Pasal 95
16. Melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia Pasal 97 Ketentuan pidana yang telah dirumuskan di dalam Undang-Undang No.22
Tahun 1997 memang sangat berat, ketat dan mengikat. Tujuan utama ketentuan- ketentuan  pidana  adalah  untuk  membersihkan  umat  manusia  dari  akibat-akibat
buruk penyalahgunaan  narkoba.  Undang-undang  tersebut merupakan  salah satu kebijakan  dan  upaya  Pemerintah  untuk  mengatasi  penyalahgunaan  narkoba  di
Indonesia.
67
Tindak  pidana  di  bidang  Narkotika  diatur  dalam  Pasal  78  sampai dengan  Pasal  100  Undang-Undang  Narkotika  yang  merupakan  ketentuan
khusus.
68
Setelah berbicara mengenai revisi Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 sehingga diratifikasi pada Tahun 2009 yang melahirkan Undang- undang Nomor
35 Tahun  2009  tentang  Narkotika diatas  maka  sampailah  kita  kepada
67
http:hunafa.stain-palu.ac.idwp-contentuploads2012027-Ahmad-Syafii.pdf diakses Pada Senin, 2 Agustus 2009
68
Gatot Supramono, op.cit., halaman 198.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pembahasan Undang-Undang Nomor 5  Tahun 1997 tentang Psikotropika yang memiliki  kaitan  dengan  Undang-Undang  Nomor  35  Tahun  2009  tentang
Narkotika. Berdasakan  Pasa153  Undang-Undang  Nomor  35  Tahun  2009  mengatur
mengenai  jenis  Psikotropika  Golongan  I  dan  Golongan  II  sebagaimana tercantum  dalam  Lampiran  Undang-Undang  Nomor  5  Tahun  1997  tentang
Psikotropika  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1997  Nomor  10, Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  3671  yang  telah
dipindahkan  menjadi  Narkotika  Golongan  I  menurut  undang  undang  baru  ini, Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
69
Dalam  Undang-Undang  Nomor  5  Tahun  1997  tentang  Psikotropika digolongkan kedalam empat golongan. Penggolongan ini didasarkan atas tingkat
ketergantungannya atau sindrom, yaitu : a. Psikotropika  Golongan  I  mempunyai  potensi  amat  kuat  yang
berakibat  pada  sindrom  ketergantungan.  Biasanya  Psikotropika Golongan  I  hanya  diperuntukan  untuk  kepentingan  ilmu
pengetahuan. b. Psikotropika  Golongan  II  mempunyai  potensi  kuat  dan
mengakibatkan  sindrom  ketergantungan.  Psikotroika  Golongan  II, dapat dipergunakan dalam terapi, danatau ilmu pengetahuan.
c. Psikotropika  Golongan  III  mempunyai  potensi sedang  terhadap tingkat  sindrom  ketergantungan.  Psikotropika  Golongan  III
69
AR. Sujono dan Bony Daniel, op.cit., halaman 47.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dipergunakan  untuk  kepentingan  terapi  danatau  tujuan  ilmu pengetahuan.
d. Psikotropika  Golongan  IV  mempunyai  potensi  ringan  terhadap tingkat  sindrom  ketergantungan.  Psikotropika  Golongan  IV  ini
digunakan untuk kepentingan terapi, danatau ilmu pengetahuan.
70
Dimana  pada  jenis  Psikotropika  Golongan  I  dan  II  diatas  dicabut    dan dipindahkan  menjadi  Narkotika  Golongan  I  pada  undang-undang  yang  baru.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Dalam  Undang-Undang  Nomor  35  Tahun  2009  tentang  Narkotika
digolongkan kedalam tiga golongan, yaitu : a. Narkotika  Golongan  I  narkotika  yang  hanya  dapat  digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketrergantunggan. b. Narkotika  Golongan  II  narkotika  yang  berkhasiat  pengobatan
digunakan  sebagai  pilihan  terakhir  dan  dapat  digunakan  dalam terapi danatau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. c. Narkotika  Golongan  III  narkotika  yang  berkhasiat  pengoatan  dan
banyak digunakan
dalam terapi
danatau untuk
tujuan
70
Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, halaman 125.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pengembangan  imu  pengetahuan  serta  mempunyai  potensi  ringan mengakibatkan ketergantungan.
71
Berikut  beberapa  perbandingan  Undang-Undang  Nomor  22  Tahun  1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yaitu :
1. Perluasan Jenis dan Golongan
Sebagaimana yang kita ketahui, pada Undang-Undang mengenai Narkoba sebelum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini disahkan, Negara kita mengacu
pada  Undang-Undang No.  22  Tahun  1997  tentang  Narkotika  dan  Undang- Undang No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Pada Undang-Undang terdahulu,
jenis  golongan  untuk  masing-masing  Narkotika  dan  Psikotropika  dipisahkan secara jelas melalui lampiran jenis golongan di tiap-tiap undang-undang.
Hal  ini  diatur  pada  Pasal  2  ayat  2  Undang-Undang No.  22  Tahun  1997 yang  diikuti  dengan  lampiran  untuk  setiap  jenis  golongannya.  Pada  lampiran
Undang-Undang No.  22  Tahun  1997  dinyatakan  bahwa  Narkotika  Golongan  I terdiri  dari 26  jenis  Narkotika,  sedangkan pada  Undang-Undang No.  35  Tahun
2009  tentang  Narkotika  pada  bagian  lampirannya  terdapat  65  jenis  narkotika golongan  I.  Penambahan  pada  jenis  Narkotika  Golongan  I  ini  dikarenakan
digabungkannya  jenis  Psikotropika  Golongan  I  dan  II  kedalam  kategori Narkotika Golongan I.
71
AR. Sujono dan Bony Daniel, op. Cit., halaman  49-56..
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Jenis  Psikotropika  Golongan  I  dan  II  yang  paling  banyak  diminati  oleh para  pecandu  narkoba  adalah  jenis  shabu  dan  ekstasi.  Hal  ini  diperkuat  dalam
pasal  153  point  b  yang  menyatakan  bahwa  Lampiran  mengenai  jenis Psikotropika  Golongan  I  dan  Golongan  II  sebagaimana  tercantum  dalam
Lampiran  Undang-Undang  Nomor  5  Tahun  1997  tentang  Psikotropika Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1997  Nomor  10,  Tambahan
Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  3671  yang  telah  dipindahkan menjadi  Narkotika  Golongan  I  menurut  Undang-Undang  ini,  dicabut  dan
dinyatakan tidak berlaku. Hal  ini  dimungkinkan  karena  maraknya  penggunaan  shabu  dan  ekstasi
dikalangan  masyarakat  Indonesia,  sehingga  secara  serta  merta  ancaman  pidana yang  mengatur  mengenai  penggunaan  shabu  dan  ekstasi  pada  jenis  Narkotika
Golongan I semakin bertambah berat dengan keluarnya Undang-Undang No. 35 Tahun  2009 ini.  Hal  ini  dipertegas  dalam  Pasal  8  ayat  1  yang  menyatakan
bahwa  Narkotika  Golongan  I  dilarang  digunakan  untuk  kepentingan  pelayanan kesehatan. Dimana pada Pasal 8 ayat 2 dilanjutkan dengan pernyataan bahwa
dalam  jumlah  terbatas,  Narkotika  Golongan  I  dapat  digunakan  untuk kepentingan  pengembangan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  dan  untuk
reagensia  diagnostik,  serta  reagensia  laboratorium  setelah  mendapatkan persetujuan  Menteri  atas  rekomendasi  Kepala  Badan  Pengawas  Obat  dan
Makanan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hal ini berarti ada upaya untuk menekan penggunaan Narkotika Golongan I  kepada  hal  yang  mengarah  pada  penyalahgunaan,  dimana  selanjutnya  pada
bagian penjelasan dikatakan bahwa Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai:
a. Reagensia  diagnostik  adalah  Narkotika  Golongan  I  tersebut  secara  terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zatbahanbenda yang digunakan oleh
seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan. b. Reagensia  laboratorium  adalah  Narkotika  Golongan  I  tersebut  secara
terbatas  dipergunakan  untuk  mendeteksi  suatu  zatbahanbenda  yang  disita atau  ditentukan  oleh  pihak  Penyidik  apakah  termasuk  jenis  Narkotika  atau
bukan.
Selain  itu,  untuk  melindungi  masyarakat  dari  bahaya  penyalahgunaan Narkotika  dan  mencegah  serta  memberantas  peredaran  gelap  Narkotika,  dalam
Undang-Undang  Nomor  35  Tahun  2009  diatur  juga  mengenai  Prekursor Narkotika  karena  Prekursor  Narkotika  merupakan  zat  atau  bahan  pemula  atau
bahan  kimia  yang  dapat  digunakan  dalam  pembuatan  Narkotika.  Dalam Undang-Undang  ini  dilampirkan  mengenai  Prekursor  Narkotika  dengan
melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Pasal  1  ayat  2  menyatakan  bahwa  Prekursor  Narkotika  adalah  zat  atau
bahan  pemula  atau  bahan  kimia  yang  dapat  digunakan  dalam  pembuatan Narkotika  yang  dibedakan  dalam  tabel  sebagaimana  terlampir  dalam  Undang-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Undang ini. Pengertian ini diikuti dengan dikeluarkannya lampiran 2 Undang- Undang No. 35  Tahun  2009  tentang  Narkotika  mengenai  golongan  dan  jenis
prekusor itu sendiri. Hal ini sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, namun seiring diketemukannya pabrik-pabrik pembuat narkoba
yang  berada  di  Indonesia  maka  peredaran  prekusor  menjadi  penting  untuk dikendalikan, hal  ini  juga  diatur  sebagaimana  tercantum  pada bagian  VIII  UU
No  35  Tahun  2009  yang  membahas  tentang  Prekusor  Narkotika  Pasal  48 sampai  dengan  Pasal  52.  Selain  itu,  diatur  pula  mengenai  sanksi  pidana  bagi
penyalahgunaan  Prekursor  Narkotika  untuk  pembuatan  Narkotika.  Untuk menimbulkan  efek  jera  terhadap  pelaku  penyalahgunaan  dan  peredaran  gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik  dalam  bentuk  pidana  minimum  khusus,  pidana  penjara  20  dua  puluh
tahun,  pidana penjara  seumur  hidup,  maupun  pidana  mati.  Pemberatan  pidana tersebut  dilakukan  dengan  mendasarkan  pada  golongan,  jenis,  ukuran,  dan
jumlah Narkotika. 2.   Pengobatan dan Rehabilitasi
Dalam  hal  pengobatan,  Undang-Undang No.  35  Tahun  2009  secara  tegas menyatakan  bahwa  untuk  kepentingan  pengobatan  dan  indikasi  medis  jenis
Narkotika  yang  dapat  dimiliki,  disimpan  atau  dibawa  hanyalah  jenis  narkotika Golongan  II  dan  Golongan  III  saja.  Kemudian  Undang-Undang No.  35  Tahun
2009 juga menyatakan bahwa pihak yang wajib menjalankan rehabilitasi medis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan  rehabilitasi  sosial  bukan  saja  pecandu  narkotika  seperti  pada  Undang- Undang No. 22 Tahun 1997 namun juga terhadap korban penyalahgunaan.
Kemudian  pada  Pasal  55  ayat  2  dikatakan  bahwa  Pecandu  Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya
kepada  pusat  kesehatan  masyarakat,  rumah  sakit, danatau  lembaga  rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 3.   Pencegahan dan Pemberantasan
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap  Narkotika  dan  Prekursor  Narkotika  yang  dilakukan  secara  terorganisasi
dan  memiliki  jaringan  yang  luas  melampaui  batas  negara,  dalam  Undang- Undang  ini  diatur  mengenai  kerja  sama,  baik  bilateral,  regional,  maupun
internasional.  Kemudian  dalam  undang-undang  terbaru  ini  juga  mengatur mengenai  Badan  Narkotika  Nasional,  dimana  pada  pasal  64  ayat  1  dikatakan
bahwa Dalam  rangka  pencegahan  dan  pemberantasan  penyalahgunaan  dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini
dibentuk  Badan  Narkotika  Nasional,  yang  selanjutnya  disingkat  BNN.  Tidak hanya  itu,  undang-undang  ini  juga  mengatur  mengenai  kewenangan  dan
kedudukan BNN sampai dengan di tingkat daerah, hal ini tidak tercantum pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 .
4.  Penyidikan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada  Undang-Undang No.  22  Tahun  1997  peranan  Badan  Narkotika Nasional  tidak  diatur  dalam  perundang-undangan  tentang  narkotika.  Pada
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, secara jelas peranan dan kewenangan dari BNN  sebagai  badan  Nasional  diatur  sedemikian  rupa  terutama  mengenai
kewenangan penyidikan. Pada  Undang-Undang No.  22  Tahun  1997, penyidikan  hanya  dilakukan
Penyidik  Pejabat  Polisi  Negara  Republik  Indonesia  dan  PPNS  sesuai  pasal  65, sedangkan  pada  undang-undang  terbaru  dikatakan  pada  pasal  81  bahwa
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan  Prekursor  Narkotika  berdasarkan  Undang-Undang  ini,  ditambah  dengan PPNS tertentu.
Untuk  mencegah  dan  memberantas  penyalahgunaan  dan  peredaran  gelap Narkotika  dan  Prekursor  Narkotika  yang modus operandinya  semakin  canggih,
Dalam  Undang-Undang  ini  juga  diatur  mengenai  perluasan  teknik  penyidikan penyadapan wiretapping, teknik pembelian terselubung under cover buy, dan
teknik  penyerahan  yang  diawasi  controlled  delevery,  serta  teknik  penyidikan lainnya  guna  melacak  dan  mengungkap  penyalahgunaan  dan  peredaran  gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika. Kemudian  dalam  hal  lamanya  waktu  penangkapan,  Undang-Undang.  No
22  Tahun  1997  hanya  memberikan  waktu  24  jam dalam  menangkap  di  ikuti perpanjangan  selama  48  jam  apabila  dalam  pemeriksaan  waktu  tersebut  tidak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mencukupi  Pasal  67.  Pada  Undang- Undang  35  Tahun  2009, penangkapan dapat dilakukan selama 3 x 24 jam kemudian dapat diperpanjang 3 x 24 jam lagi
apabila pemeriksaan dirasa belum mencukupi. Begitu  pula  dalam  hal  penyadapan,  pada  Undang-Undang No.  22  Tahun
1997 waktu penyadapan hanya selama 30 hari pasal 66, namun pada Undang- Undang  terbaru  penyadapan  terkait  peredaran  narkotika  ini  diperpanjang
menjadi 3 bulan 90 hari, hal ini diatur pada Pasal 77 ayat 1 yang menyatakan bahwa Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan
setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 tiga bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik.
5.   Peran Serta Masyarakat Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha
pencegahan  dan  pemberantasan  penyalahgunaan  Narkotika  dan  Prekursor Narkotika  termasuk  pemberian  penghargaan  bagi  anggota  masyarakat  yang
berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan  Prekursor  Narkotika.  Penghargaan  tersebut  diberikan  kepada  penegak
hukum  dan  masyarakat  yang  telah  berjasa  dalam  upaya  pencegahan  dan pemberantasan  penyalahgunaan  dan  peredaran  gelap  Narkotika  dan  Prekursor
Narkotika. Pada  Pasal  105  dinyatakan  bahwa  Masyarakat  mempunyai  hak  dan
tanggung  jawab  dalam  upaya  pencegahan  dan  pemberantasan  penyalahgunaan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan  peredaran  gelap  Narkotika  dan  Prekursor  Narkotika.  Berbeda  dengan Undang-Undang  sebelumnya  dimana  peran  masyarakat  hanya  sebatas  pada
kewajiban  semata.  Perluasan  makna  hak  dan  kewajiban  disini  memberikan pertanggung  jawaban  dua  arah  antara  masyarakat  dan  penegak  hukumBNN
dalam upaya bersama memberantas peredaran narkotika ini. Selanjutnya  adalah  mengenai  pemberian  penghargaan  terhadap  upaya
pemberantasan narkotika ini, dimana pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Pasal 58 dimana pemerintah memberikan penghargaan kepada masyarakat yang
telah  berjasa  dalam  mencegah  dan  memberantas  peredaran  gelap  narkotika, sedangkan  pada  Undang-Undang No.  35  Tahun  2009  pemerintah  juga
memberikan penghargaan kepada penegak hukum Pasal 109. 6.   Ketentuan Pidana
Pada  bagian  ketentuan  pidana  ini  telah  terjadi  beberapa  perubahan  yang cukup  prinsipal  dan  mendasar  dari  Undang-Undang  No.  22  Tahun  1997  ke
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini, dimana pada undang-undang terdahulu jumlah  pasal  dalam  ketentuan  pidana  ini  hanya  berjumlah  23  pasal  Pasal  78
samapai  dengan  Pasal  100    dan  berkembang  menjadi  35  pasal  pada  undang- undang  terbaru  Pasal  111  sampai  dengan  Pasal  148.  Secara  umum  Undang-
Undang  No.  35  Tahun  2009  ini  memiliki  ancaman  hukuman  pidana  penjara yang  lebih  berat  daripada  Undang-Undang  No.  22  Tahun  1997  demikian  pula
dengan  ancaman  hukuman  denda  yang  diberikan  juga  lebih  berat.  Beberapa pokok perubahan tersebut diantaranya adalah :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Penggunaan sistem pidana minimal Pada undang-undang terbaru dikenal sistem pidana minimal dimana pada
undang-undang sebelumnya hal tersebut tidak ada. Hal ini terutama pada para pelaku penyalahgunaan narkotika Golongan I.
b.  Semakin  beratnya  hukuman  bagi  pelaku  yang  melanggar  penggunaan narkotika  baik  jenis  Golongan  I  ,  II  ,maupun  III  dibandingkan  Undang-
Undang  No.  22  Tahun  1997,  misalnya  untuk  Golongan  I  baik  itu menyimpan,  membawa  maupun  memiliki  dan  menggunakan  menjadi
minimal  4  tahun  dan  maksimal  12  tahun,  kemudian  di  ikuti  dengan semakin  beratnya  pidana  denda  dari  Rp.500.000.000  lima  ratus  juta
rupiah menjadi minimal Rp 800.000.000 delapan ratus juta rupiah dan maksimal Rp.8.000.000.000 delapan milyar rupiah.
c. Semakin beratnya hukuman bagi para pelaku dengan jumlah barang bukti yang  banyakjumlah  besar,  misalnya  untuk  pelanggaran  terhadap
narkotika Golongan I yang melebihi berat 1 kg atau 5 batang pohon jenis tanaman atau barang bukti melebihi 5 gram untuk jenis bukan tanaman
maka pelaku di pidana dengan pidana seumur hidup atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana dendanya ditambah 13.
d.  Selanjutnya  bagi  penyalahguna  narkotika  yang  merupakan  korban penyalahgunaan  narkotika  wajib  menjalani  rehabilitasi  medis  dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
rehabilitasi  sosial  Pasal  127  ayat  3  Undang-Undang  No.  35  Tahun 2009.
e.  Yang  cukup  menarik  adalah  apa  yang  tertera  dalam  pasal  128  Undang Undang  No.35  Tahun  2009  dimana  orang  tua  atau  wali  pecandu  yang
belum  cukup  umur  yang  tidak melaporkan  maka  dapat  dipidana  dengan pidana  kurungan  6  bulan  atau  denda  1  juta  rupiah  ayat  1,  sedangkan
untuk pecandu narkotika dibawah umur dan telah dilaporkan sebagaimana pasal 55 ayat 1 maka dia tidak dapat dipidana, kemudian untuk pecandu
narkotika yang telah cukup umur dan sedang menjalani rehabilitasi medis juga tidak dituntut pidana ayat 3.
f.  Adanya  ancaman  hukuman  bagi  PPNS  dan  Penyidik  PolriBNN  yang tidak  menjalankan  kewajibannya  sebagaimana  dimaksud  pada  pasal  88
dan 89 PPNS dan pasal 87,89,90,912,3,dan pasal 92 1,2,3,4.
72
B.  Tindak  Pidana  Penyalahgunaan  Narkotika  dari  Perspektif  Kebijakan Hukum Pidana