Data yang dipergunakan berupa data sekunder dengan mempelajari literatur dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi.
4. Analisis Data Bahan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa
dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif
dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan
penelitian yang dirumuskan.
G. Sistematika Penelitian
Untuk dapat menguraikan skripsi ini, Penulis telah membuat sistematika dengan mengadakan pembagian materinya atas empat bab dan tiap-tiap babnya
dibagi lagi atas bagian-bagian yang lebih kecil sub-sub bab sehingga mencerminkan suatu kesatuan materi Skripsi ini dengan sebagai berikut.
BAB I : PENDAHULUAN
Didalam Bab Pendahuluan ini memuat Latar Belakang, Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan,
Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Diuraikan mengenai Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dari
Perspektif Kebijakan Hukum Pidana yakni tentang Peraturan yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berkaitan dengan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika sebelum lahirnya Undang-Undang No.35 Tahun 2009 dan Tindak
Pidana Penyalahgunaan Narkotika dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana.
BAB III : Di dalam Bab.III dibahas mengenai Penerapan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika yakni Tindak Pidana
Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika sebagai Bentuk Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Menurut UU No.35 Tahun 2009
tentang Narkotika, Kasus, dan Analisa Kasus. BAB IV
: Kesimpulan dan Saran. Di dalam Bab ini Penulis mengemukakan kesimpulan yang dipetik dari uraian bab terdahulu yang telah diuji
keabsahannya melalui data-data yang diperoleh. Selanjutnya dalam Bab ini Penulis memberikan saran yang kiranya dapat berguna
sebagai referensi dalam penerapan hukum pidana tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB II TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM
UNDANG UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
A. Peraturan yang berkaitan dengan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika sebelum lahirnya Undang-Undang No.35 Tahun 2009
Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini menunjukkan, kejahatan itu selalu berkembang. Demikian juga dengan
kejahatan narkotika tidak lepas dari perkembangan tersebut. Kejahatan narkotika the drug trafficking industry, merupakan bagian dari kelompok kegiatan
organisasi-organisasi kejahatan transnasional Activities of Transnational Criminal Organizations di samping jenis kejahatan lainnya.
Jenis-jenis kejahatan tersebut sangat memprihatinkan masyarakat internasional, karena apabila dikaitkan dengan ancaman atau akibat yang
ditimbulkannya sangat begitu dahsyat insidious, dan dapat menembus ke berbagai segi atau bidang, baik terhadap keamanan dan stabilitas nasional
maupun internasional, dan merupakan ancaman utama frontal attack terhadap kekuasaan politik, dan ancaman bagi kewibawaan negara. Adapun tujuan utama
dilakukannya jenis kejahatan ini adalah untuk menghasilkan keuntungan baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut. Dana-dana
gelap ini akan digunakan oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan selanjutnya.
39
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kejahatan narkotika yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan
kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional. Hal itu sangat beralasan, mengingat
ruang lingkup dan dimensinya begitu luas, sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai organized crime, white-collar crime, corporate crime, dan
transnational crime. Bahkan, dengan menggunakan sarana teknologi dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime. Berdasarkan karakteristik yang
demikian, maka dampak dan korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan dapat melemahkan
ketahanan nasional. Saat ini Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143, tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007
tentang Narkotika lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67, karena sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-UndangNo. 35 Tahun 2009
huruf e dikemukakan: bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang
tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda
bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, sehingga Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berkembang untuk menanggulangi dan memberantas Tindak Pidana tersebut. Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan 153 Undang-UndangNomor 35 Tahun
2009, bahwa dengan berlakunya Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Undang-Undang No 35 Tahun 2009 disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Pemerintah menilai Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ini tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif
maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, Undang-UndangNarkotika yang baru tidak mengalami perubahan
yang signifikan dibandingkan dengan Undang-Undang terdahulu,
56
kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang
berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.
57
Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di Indonesia sebenarnya telah ada sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius Verdoovende
Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927. Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika yang mulai berlaku tanggal 26 Juli 1976. Selanjutnya Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September 1997.
56
http:ilmuhukum.umsb.ac.id?id=177 diakses Pada Senin, 6 Desember 2010
57
http:totokyuliyanto.wordpress.com20091110catatan-terhadap-uu-no-35-tahun- 2009-tentang-narkotika diakses Pada Selasa, 10 November 2009
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Ada beberapa revisi terhadap Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 tersebut karena masih ditemukan beberapa kelemahan selama pelaksanaan atau
penerapannya sehingga Undang- undang tersebut diratifikasi pada Tahun 2009 sehingga melahirkan Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
yang mana ada beberapa perbedaan dengan undang- undang sebelumnya. Uraian masing- masing peraturan perundang-undangan tersebut yaitu ;
1. Ordonansi Obat Bius Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad
Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927. Pada zaman penjajahan Belanda kebiasaan penyalahgunaan obat bius dan
candu, sudah mulai terasa membahayakan masyarakat, pemakainya terutama masyarakat golongan menengah khususnya keturunan cina oleh sebab itu, pada
zaman tersebut pemerintah Hindai Belanda mengeluarkkan Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927, yaitu
peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.
58
Selain itu, juga diberlakukan ketentuan mengenai pembungkusan candu yang disebut Opium
verpakkings Bepalingen Staatsblad 1927 No. 514. Setelah Indonesia Merdeka, kedua intrumen hukum kolonial Belanda tersebut tetap diberlakukan
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Peraturan perundang-undangan ini, materi hukumnya hanya mengatur
mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, sedangkan tentang
58
Moh. Taufik Makaro, Suhasril, dan Moh. Zakky A.S, loc.cit., halaman 10.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur.
59
Perkembangan kejahatan di bidang narkotika pasca masa kemerdekaan cenderung semaking meningkat dari tahun ke tahun, sehingga intrumen hukum
yang mengatur tindak pidana narkotika warisan Belanda tersebut dirasakan sudah ketinggalan jaman. Karena itu, pada tahun 1976 pemerintah menetapkan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokal Perubahannya. Kemudian, menyusul
diberlakukan Undang-Undangg No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
60
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Ketidak puasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan narkotika dan obat-obat terlarang telah mengakibatkan bangsa Indonesia berpikir untuk
menyempurnakan peraturanregulasi tentang Narkotika karena Ordonansi Obat Bius Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536
Tahun 1927 dirasa tidak lagi mampu untuk meredam pertumbuhan kejahatan narkotika. Dimana Narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang
pengobatan dan ilmu pengetahuan, yang diketahui dapat menimbulkan ketergantungan yang dangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan
dan pengawasan yang seksama. Dengan pemikiran bahwa perbuatan, penyimpanan, pengedaran, dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan
pengawasan yang seksama merupakan kejahatan yang sangat merugikan
59
Hari sasangkat, op.cit., halaman 5.
60
http:hukumonlinesiboro.blogspot.com201112faktor-faktor-lahirnya-kebijakan- untuk.html diakses pada Senin, 05 desember 2011
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi perikehidupan menusia dan kehidupan Negara dibidang politik, keamanan, sosial, budaya, serta
ketahanan nasional bangsa Indonesia, maka terbitlah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, yang mengatur cara penyediaan dan
penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau cara ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang
dapat ditimbulkan akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkotika serta mengatur rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.
61
Adapun perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam lingkup tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 23 ayat
1 sampai 7 adalah : 1. Pada Pasal 23 ayat 1 Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara,
mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja.
2. Pada Pasal 23 ayat 2 Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika.
3. Pada Pasal 23 ayat 3 Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika.
4. Pada Pasal 23 ayat 4 Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika.
61
A.R Sujono dan Bony Daniel, op.cit., halaman 9-10.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5. Pada Pasal 23 ayat 5 Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika. 6. Pada Pasal 23 ayat 6 Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika
terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain. 7. Pada Pasal 23 ayat 7 Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika
bagi dirinya sendiri. Ketentuan sanksi pidana atas perbuatan-perbuatan di atas diatur dalam Bab
VIII Pasal 36, yaitu : 1. Pasal 36 ayat 1 Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat 1 :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 enam tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-sepuluh juta rupiah apabila
perbuatan tersebut menyangkut tanaman Koka atau tanaman Ganja; b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 sepuluh tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000.- limabelas juta rupiah apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Papaver.
2. Pasal 36 ayat 2 Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat 2 : a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 dua belas tahun
dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- dua puluh juta rupiah apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman
Ganja;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 20 dua puluh tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- tiga puluh juta rupiah
apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya. 3. Pasal 36 ayat 3 Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat 3 :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 enam tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-sepuluh juta rupiah apabila
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja; b. dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya 10 sepuluh tahun
dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- lima belas juta rupiah apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
4. Pasal 36 ayat 4 Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat 4 : a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya 20 dua puluh tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- tiga puluh juta rupiah apabila perbuatan tersebut
menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja; b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidara penjara selama-lamanya 20 dua puluh tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- Iima puluh juta rupiah apabila
perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya. 5. Pasal 36 ayat 5 Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat 5 :
a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 dua puluh tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30.000.000,- tiga puluh jutan rupiah apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman, Ganja;
b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 dua puluh tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
6. Pasal 36 ayat 6 Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat 6 : a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 enam tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-sepuluh juta rupiah apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 sepuluh tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- lima belas juta rupiah
apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya. 7. Pasal 36 ayat 7 Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat 7 :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 dua tahun apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 3 tiga tahun apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
8. Pasal 36 ayat 8 Barang siapa karena kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan tersebut dalam Pasal 23 ayat 1 diatas tanah atau tempat miliknya
atau yang dikuasainya, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 satu tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- satu juta
rupiah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Dalam perkembangannya ternyata Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tidak juga bisa meredam ataupun memberantas peredaran
gelap narkotika secara signifikan, bahkan sasaran peredaran gelap narkoba telah memasuki seluruh aspek dan lapisan masyarakat. Predaran narkotika tidak hanya
pada orang-orang yang mengalami broken home atau yang gemar dalam kehidupan malam, tetapi telah merambah kepada mahasiwa, pelajar, bahkan
tidak sedikit kalangan eksekutif maupun businessman telah terjangkit narkotika. Seiring dengan perkembangan waktu Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1997 dirasa tidak mampu lagi untuk mengakomodir banyak hal dari kejahatan narkotika. Kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan
dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, sedangkan peraturan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi
dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut, sehingga akhirnya terbitlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika.
62
Dalam konsideran Undang-Udang Nomor 22 Tahun 1997 antara lain menyebutkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan
upaya di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, pada satu sisi mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan
62
Ibid., halaman 12.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sebagai obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasn terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
63
Latar belakang diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dapat dilihat dalam penjelasan undang-undang tersebut, yakni peningkatan
pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Kejahatan-kejahatan narkotika
pada umunya tidak dilakukan oleh secara perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang
terorganisasi secara mantap, rapi, dan sangat rahasia.
64
Didalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tujuan pengaturan Narkotika adalah untuk :
a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan danatau pengembangan ilmu pengetahuan
b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika c. Memberantas peredaran gelap narkotika
Narkotika digolongkan pada tujuan dan potensi ketergantungan yang bersangkutan. Untuk pertama kali penggolongan tersebut ditetapkan dalam
undang-undang ini, dan selanjutnya akan ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan.
65
Penggolongan narkotika adalah sebagai berikut :
63
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2004, halaman 156.
64
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, halaman 165
65
Ibid., halaman 167.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi dangat tinggi mengakibatkan keterantungan.
b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
danatau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat dan banyak
digunakan dalam terapi danatau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta mempunyai
potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan.
66
Perbuatan-perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana di dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1997 dinyatakan sebagai berikut:
1. Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika dalam bentuk tanaman Pasal
78-79 2. Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau
menyediakan narkotika Pasal 80 3.
Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika tanpa hak dan melawan hukum Pasal 81
66
Ibid., halaman 168.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan menerima, menjadi perantara dalam
jual beli, atau menukar narkotika tanpa hak dan melawan hukum Pasal 82
5. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
narkotika Pasal 78 ad 82 6.
Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain tanpa hak dan melawan hukum Pasal 84
7. Tanpa hak dan melawan hukum, menggunakan narkotika untuk diri
sendiri Pasal 85 8. Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak
melapor Pasal 86 9.
Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika Pasal 87
10. Pecandu narkotika yang telah cukup umur atau keluarganya orangtuawali dengan sengaja tidak melaporkan diri Pasal 88
11. Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 41 dan 42, yaitu tidak mencantumkan label pada kemasan
narkotika dan mempublikasikan narkotika diluar media cetak ilmiah kedokteranfarmasi Pasal 89
12. Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di Pengadilan Pasal 92
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13. Nahkoda atau kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 24 dan 25, yaitu tidak membuat
berita acara muatan narkotika, tidak melapor adanya muatan narkotika kepada Kantor Pabean setempat Pasal 93
14. Penyidik PPNSPolri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 69 dan 71, yaitu tidak melakukan penyegelan dan
pembuatan berita acara penyitaan, tidak member tahu atau menyerahkan barang sitaan, tidak memusnahkan tanaman narkotika Pasal 94
15. Saksi yang memberi keterangan tidak benar di muka sidang pengadilan Pasal 95
16. Melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia Pasal 97 Ketentuan pidana yang telah dirumuskan di dalam Undang-Undang No.22
Tahun 1997 memang sangat berat, ketat dan mengikat. Tujuan utama ketentuan- ketentuan pidana adalah untuk membersihkan umat manusia dari akibat-akibat
buruk penyalahgunaan narkoba. Undang-undang tersebut merupakan salah satu kebijakan dan upaya Pemerintah untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba di
Indonesia.
67
Tindak pidana di bidang Narkotika diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 100 Undang-Undang Narkotika yang merupakan ketentuan
khusus.
68
Setelah berbicara mengenai revisi Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 sehingga diratifikasi pada Tahun 2009 yang melahirkan Undang- undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatas maka sampailah kita kepada
67
http:hunafa.stain-palu.ac.idwp-contentuploads2012027-Ahmad-Syafii.pdf diakses Pada Senin, 2 Agustus 2009
68
Gatot Supramono, op.cit., halaman 198.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pembahasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang memiliki kaitan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Berdasakan Pasa153 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur
mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671 yang telah
dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut undang undang baru ini, Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
69
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika digolongkan kedalam empat golongan. Penggolongan ini didasarkan atas tingkat
ketergantungannya atau sindrom, yaitu : a. Psikotropika Golongan I mempunyai potensi amat kuat yang
berakibat pada sindrom ketergantungan. Biasanya Psikotropika Golongan I hanya diperuntukan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan. b. Psikotropika Golongan II mempunyai potensi kuat dan
mengakibatkan sindrom ketergantungan. Psikotroika Golongan II, dapat dipergunakan dalam terapi, danatau ilmu pengetahuan.
c. Psikotropika Golongan III mempunyai potensi sedang terhadap tingkat sindrom ketergantungan. Psikotropika Golongan III
69
AR. Sujono dan Bony Daniel, op.cit., halaman 47.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dipergunakan untuk kepentingan terapi danatau tujuan ilmu pengetahuan.
d. Psikotropika Golongan IV mempunyai potensi ringan terhadap tingkat sindrom ketergantungan. Psikotropika Golongan IV ini
digunakan untuk kepentingan terapi, danatau ilmu pengetahuan.
70
Dimana pada jenis Psikotropika Golongan I dan II diatas dicabut dan dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I pada undang-undang yang baru.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
digolongkan kedalam tiga golongan, yaitu : a. Narkotika Golongan I narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketrergantunggan. b. Narkotika Golongan II narkotika yang berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi danatau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. c. Narkotika Golongan III narkotika yang berkhasiat pengoatan dan
banyak digunakan
dalam terapi
danatau untuk
tujuan
70
Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, halaman 125.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pengembangan imu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
71
Berikut beberapa perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yaitu :
1. Perluasan Jenis dan Golongan
Sebagaimana yang kita ketahui, pada Undang-Undang mengenai Narkoba sebelum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini disahkan, Negara kita mengacu
pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang- Undang No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Pada Undang-Undang terdahulu,
jenis golongan untuk masing-masing Narkotika dan Psikotropika dipisahkan secara jelas melalui lampiran jenis golongan di tiap-tiap undang-undang.
Hal ini diatur pada Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 yang diikuti dengan lampiran untuk setiap jenis golongannya. Pada lampiran
Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dinyatakan bahwa Narkotika Golongan I terdiri dari 26 jenis Narkotika, sedangkan pada Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika pada bagian lampirannya terdapat 65 jenis narkotika golongan I. Penambahan pada jenis Narkotika Golongan I ini dikarenakan
digabungkannya jenis Psikotropika Golongan I dan II kedalam kategori Narkotika Golongan I.
71
AR. Sujono dan Bony Daniel, op. Cit., halaman 49-56..
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Jenis Psikotropika Golongan I dan II yang paling banyak diminati oleh para pecandu narkoba adalah jenis shabu dan ekstasi. Hal ini diperkuat dalam
pasal 153 point b yang menyatakan bahwa Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671 yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. Hal ini dimungkinkan karena maraknya penggunaan shabu dan ekstasi
dikalangan masyarakat Indonesia, sehingga secara serta merta ancaman pidana yang mengatur mengenai penggunaan shabu dan ekstasi pada jenis Narkotika
Golongan I semakin bertambah berat dengan keluarnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini. Hal ini dipertegas dalam Pasal 8 ayat 1 yang menyatakan
bahwa Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dimana pada Pasal 8 ayat 2 dilanjutkan dengan pernyataan bahwa
dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk
reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hal ini berarti ada upaya untuk menekan penggunaan Narkotika Golongan I kepada hal yang mengarah pada penyalahgunaan, dimana selanjutnya pada
bagian penjelasan dikatakan bahwa Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai:
a. Reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zatbahanbenda yang digunakan oleh
seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan. b. Reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara
terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zatbahanbenda yang disita atau ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika atau
bukan.
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau
bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan
melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa Prekursor Narkotika adalah zat atau
bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Undang ini. Pengertian ini diikuti dengan dikeluarkannya lampiran 2 Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengenai golongan dan jenis
prekusor itu sendiri. Hal ini sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, namun seiring diketemukannya pabrik-pabrik pembuat narkoba
yang berada di Indonesia maka peredaran prekusor menjadi penting untuk dikendalikan, hal ini juga diatur sebagaimana tercantum pada bagian VIII UU
No 35 Tahun 2009 yang membahas tentang Prekusor Narkotika Pasal 48 sampai dengan Pasal 52. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi
penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 dua puluh
tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan
jumlah Narkotika. 2. Pengobatan dan Rehabilitasi
Dalam hal pengobatan, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 secara tegas menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan indikasi medis jenis
Narkotika yang dapat dimiliki, disimpan atau dibawa hanyalah jenis narkotika Golongan II dan Golongan III saja. Kemudian Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 juga menyatakan bahwa pihak yang wajib menjalankan rehabilitasi medis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan rehabilitasi sosial bukan saja pecandu narkotika seperti pada Undang- Undang No. 22 Tahun 1997 namun juga terhadap korban penyalahgunaan.
Kemudian pada Pasal 55 ayat 2 dikatakan bahwa Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya
kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, danatau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 3. Pencegahan dan Pemberantasan
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi
dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang- Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun
internasional. Kemudian dalam undang-undang terbaru ini juga mengatur mengenai Badan Narkotika Nasional, dimana pada pasal 64 ayat 1 dikatakan
bahwa Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini
dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN. Tidak hanya itu, undang-undang ini juga mengatur mengenai kewenangan dan
kedudukan BNN sampai dengan di tingkat daerah, hal ini tidak tercantum pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 .
4. Penyidikan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 peranan Badan Narkotika Nasional tidak diatur dalam perundang-undangan tentang narkotika. Pada
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, secara jelas peranan dan kewenangan dari BNN sebagai badan Nasional diatur sedemikian rupa terutama mengenai
kewenangan penyidikan. Pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, penyidikan hanya dilakukan
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan PPNS sesuai pasal 65, sedangkan pada undang-undang terbaru dikatakan pada pasal 81 bahwa
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini, ditambah dengan PPNS tertentu.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih,
Dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan wiretapping, teknik pembelian terselubung under cover buy, dan
teknik penyerahan yang diawasi controlled delevery, serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika. Kemudian dalam hal lamanya waktu penangkapan, Undang-Undang. No
22 Tahun 1997 hanya memberikan waktu 24 jam dalam menangkap di ikuti perpanjangan selama 48 jam apabila dalam pemeriksaan waktu tersebut tidak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mencukupi Pasal 67. Pada Undang- Undang 35 Tahun 2009, penangkapan dapat dilakukan selama 3 x 24 jam kemudian dapat diperpanjang 3 x 24 jam lagi
apabila pemeriksaan dirasa belum mencukupi. Begitu pula dalam hal penyadapan, pada Undang-Undang No. 22 Tahun
1997 waktu penyadapan hanya selama 30 hari pasal 66, namun pada Undang- Undang terbaru penyadapan terkait peredaran narkotika ini diperpanjang
menjadi 3 bulan 90 hari, hal ini diatur pada Pasal 77 ayat 1 yang menyatakan bahwa Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan
setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 tiga bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik.
5. Peran Serta Masyarakat Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang
berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak
hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika. Pada Pasal 105 dinyatakan bahwa Masyarakat mempunyai hak dan
tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya dimana peran masyarakat hanya sebatas pada
kewajiban semata. Perluasan makna hak dan kewajiban disini memberikan pertanggung jawaban dua arah antara masyarakat dan penegak hukumBNN
dalam upaya bersama memberantas peredaran narkotika ini. Selanjutnya adalah mengenai pemberian penghargaan terhadap upaya
pemberantasan narkotika ini, dimana pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Pasal 58 dimana pemerintah memberikan penghargaan kepada masyarakat yang
telah berjasa dalam mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika, sedangkan pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 pemerintah juga
memberikan penghargaan kepada penegak hukum Pasal 109. 6. Ketentuan Pidana
Pada bagian ketentuan pidana ini telah terjadi beberapa perubahan yang cukup prinsipal dan mendasar dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ke
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini, dimana pada undang-undang terdahulu jumlah pasal dalam ketentuan pidana ini hanya berjumlah 23 pasal Pasal 78
samapai dengan Pasal 100 dan berkembang menjadi 35 pasal pada undang- undang terbaru Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Secara umum Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 ini memiliki ancaman hukuman pidana penjara yang lebih berat daripada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 demikian pula
dengan ancaman hukuman denda yang diberikan juga lebih berat. Beberapa pokok perubahan tersebut diantaranya adalah :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Penggunaan sistem pidana minimal Pada undang-undang terbaru dikenal sistem pidana minimal dimana pada
undang-undang sebelumnya hal tersebut tidak ada. Hal ini terutama pada para pelaku penyalahgunaan narkotika Golongan I.
b. Semakin beratnya hukuman bagi pelaku yang melanggar penggunaan narkotika baik jenis Golongan I , II ,maupun III dibandingkan Undang-
Undang No. 22 Tahun 1997, misalnya untuk Golongan I baik itu menyimpan, membawa maupun memiliki dan menggunakan menjadi
minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun, kemudian di ikuti dengan semakin beratnya pidana denda dari Rp.500.000.000 lima ratus juta
rupiah menjadi minimal Rp 800.000.000 delapan ratus juta rupiah dan maksimal Rp.8.000.000.000 delapan milyar rupiah.
c. Semakin beratnya hukuman bagi para pelaku dengan jumlah barang bukti yang banyakjumlah besar, misalnya untuk pelanggaran terhadap
narkotika Golongan I yang melebihi berat 1 kg atau 5 batang pohon jenis tanaman atau barang bukti melebihi 5 gram untuk jenis bukan tanaman
maka pelaku di pidana dengan pidana seumur hidup atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana dendanya ditambah 13.
d. Selanjutnya bagi penyalahguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
rehabilitasi sosial Pasal 127 ayat 3 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009.
e. Yang cukup menarik adalah apa yang tertera dalam pasal 128 Undang Undang No.35 Tahun 2009 dimana orang tua atau wali pecandu yang
belum cukup umur yang tidak melaporkan maka dapat dipidana dengan pidana kurungan 6 bulan atau denda 1 juta rupiah ayat 1, sedangkan
untuk pecandu narkotika dibawah umur dan telah dilaporkan sebagaimana pasal 55 ayat 1 maka dia tidak dapat dipidana, kemudian untuk pecandu
narkotika yang telah cukup umur dan sedang menjalani rehabilitasi medis juga tidak dituntut pidana ayat 3.
f. Adanya ancaman hukuman bagi PPNS dan Penyidik PolriBNN yang tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada pasal 88
dan 89 PPNS dan pasal 87,89,90,912,3,dan pasal 92 1,2,3,4.
72
B. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana