E. Tinjauan Kepustakaan
Berikut ini, peneliti melakukan tinjauan kepustakaan untuk mempertajam analisis penelitian sesuai dengan permasalahan yang dimaksud tersebut di atas.
Hal yang dapat memepertajam analisis penelitian ini adalah diangkat dari prapenuntutan oleh penuntut umum dan penyidik.
Institusi Kejaksaan sebagai salah satu penegak hukum dilegalkan dengan UU Kejaksaan. Dalam tugas dan wewenangnya di antaranya menegakkan
keadilan, dan menciptakan perlakukan yang sama pula bagi tersangka sebagai pencari keadilan. Berkenaan dengan itu, Jaksa sebagai penuntut umum semestinya
menjaga dan menjunjung tinggi harkat dan martabatnya yang terangkum di dalam Kode Etik Kejaksaan. Hal tersebut sejalan dengan kutipan berikut, ”Salah satu
prinsip terpenting dari negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum equality before the law. Oleh karena itu, setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
12
12
Supriadi., Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 127.
Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap hukum, maka hukum akan bertindak melalui instrumennya yaitu para penegak hukum. Para penegak hukum
akan memproses suatu perkara mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan pada proses pemeriksaan di pengadilan. Hal ini
dimaksudkan untuk mencari kebenaran materil yang merupakan tujuan dari hukum acara pidana.
Universitas Sumatera Utara
Dalam upaya untuk mencari keadilan dan kebenaran materiil terhadap suatu perkara pidana maka diperlukan kinerja yang optimal dari para penegak
hukum. Kinerja yang optimal dimulai dari proses pemeriksaan pada tingkat prapenuntutan sangat diperlukan dalam mewujudkan keadilan serta kepastian
hukum. Prapenuntutan dilakukan sebelum suatu perkara diajukan ke pengadilan.
Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan tindakan penuntutan di depan sidang pengadilan dan menentukan keberhasilan penuntutan, artinya tindakan
prapenuntutan sangat penting guna mencari kebenaran materiil yang akan menjadi dasar dalam proses penuntutan.
Defenisi parpenuntutan menurut Andi Hamzah, adalah, ”Tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyelidikan oleh penyidik. Inilah yang terasa janggal, karena memberi petunjuk kepada penyidik untuk menyempurnakan penyidikan disebut prapenuntutan. Hal
seperti ini dalam aturan lama HIR, termasuk penyidikan lanjutan.”
13
Andi Hamzah sependapat dengan ketentuan di dalam HIR, dimana petunjuk untuk menyempurnakan penyidikan pada hakekatnya merupakan bagian
Pembuat undang-undang DPR terlihat hendak menghindari kesan seakan-akan jaksa atau penuntut umum itu mempunyai wewenang penyidikan
lanjutan, sehingga hal itu disebut sebagai prapenuntutan.
13
Andi Hamzah., Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996, hal. 161.
Universitas Sumatera Utara
dari penyidikan lanjutan. Oleh sebab itu, antara penyidikan dan penuntutan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan secara tajam.
14
Keberadaan lembaga prapenuntutan bersifat mutlak karena tidak ada suatu perkara pidana pun sampai ke pengadilan tanpa melalui proses prapenuntutan
sebab dalam hal penyidik telah melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik wajib memberitahukan dimulainya penyidikan
kepada penuntut umum.
15
Menurut M. Yahya Harahap, mengenai prapenuntutan ini, beliau tidak menggunakan istilah prapenuntutan akan tetapi menggunakan istilah ”hubungan
antara penyidik dengan penuntut umum”. Dimana terdapat titik-titik hubungan itu adalah:
16
1. Pemberitahuan dimualinya tindakan penyidikan oleh penyidik kepada
penuntut umum Pasal 109 ayat 1; 2.
Pemberitahuan penghentian penyidikan Pasal 109 ayat 2; dan 3.
Perpanjangan penahanan. Akan teapi, jika ditelaah secara tersirat maksud tersebut di atas adalah
mengarah kepada tahapan prapenuntutan juga sesuai dengan yang dibicarakan, namun saja tidak menggunakan istilah prapenuntutan.
Lilik Mulyadi, cenderung berpendapat bahwa keadaan pada tahapan antara penyidik dengan penuntut umum itu dipergunakan istilah prapenuntutan. Beliau
juga merujuk kepada ketentuan di dalam Pasal 110 ayat 3 dan ayat 4 KUHAP.
14
Ibid.
15
http:www.modusaceh.comhtmlkonsultasi-hukum-read41pra_penun,
Diakses terakhir tanggal 15 Maret 2010.
16
M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 369.
Universitas Sumatera Utara
Dimana bahwa setelah penyidik menyerahkan BAP kepada penuntut umum, maka penuntut umum mempelajarinya selama 7 tujuh hari, jika BAP tersebut tidak
lengkap, maka harus dikembalikan kepada penyidik untuk diperbaiki selama 7 tujuh haru pula disertai dengan petunjuk dari penuntut umum.
17
Dalam prapenuntutan ini sering mengalami kendala, sehingga istilah prapenuntutan itu sendiri selayaknya untuk tidak digunakan dalam prosedur.
Karena hal ini sependapat dengan yang dikatakan Al. Wisnubroto dan G. Widiartana yang menyebutkan bahwa:
18
Menurut penjelasan Pasal 30 ayat 1 huruf a UU Kejaksaan disebutkan defenisi mengenai prapenuntutan dimana bahwa, “Prapenuntutan adalah tindakan
jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi
”Berkaitan dengan hal tersebut, ada pemikiran dalam Rancangan Undang- Undang KUHAP draf 2002 untuk menghapus prosedur prapenuntutan
ini. Sebagai gantinya apabila BAP dikembalikan kepada penyidik untuk disempurnakan, ternyata tidak ada respon dari penyidik untuk
menindaklanjuti pengembalian BAP dari penuntut umum tersebut, maka penuntut umum dapat melakukan pemeriksaan tambahan.”
Oleh karena dasar pemeriksaan tambahan dilakukan penuntut umum yang disebabkan BAP tidak direspon penyidik untuk diperbaiki tersebut, maka
hubungan antara penyidik dengan penuntut umum tadi menjadi renggang dan kurang dapat dipertahankan dengan menggunakan istilah ”hubungan antara
penyidik dengan penuntut umum”.
17
Lilik Mulyadi., Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 25-26.
18
Al. Wisnubroto., dan G. Widiartana., Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.”
19
Sesuai dalam pengertian lain, bahwa wewenang penuntut umum mengadakan prapenuntutan apabila ada kekuranagn pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat 3 dan ayat 4, KUHAP dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.”
KUHAP memperkenalkan istilah baru, tetapi KUHAP tidak memberi batasan pengertian prapenuntutan itu, di dalam Pasal 1 KUHAP pun tidak
ditemukan istilah prapenuntutan, melainkan prapenuntutan itu merupakan istilah baru ciptaan sendiri yang jelas tidak dapat dicari pengertiannya dala doktrin. Akan
tetapi jika ditelaah pada pasal-pasal dalam KUHAP itu sendiri, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa prapenuntutan terletak antara dimulainya penuntutan dalam
arti sempit BAP dikirim kep pengadilan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
20
Sedangkan yang dinamakan penuntutan didasarkan kepada Pasal 1 butir 3 UU Kejaksaan yaitu, “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan Berdasarkan pengertian prapenuntutan di atas, maka prapenunututan itu
merupakan pengembalian berkas perkara disertai permintaan kepada penyidik untuk melengkapi dengan melakukan tambahan penyidikan menurut ketentuan di
dalam perundang-undangan yang berlaku.
19
Penjelasan Pasal 30 ayat 1 huruf a, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia UU Kejaksaan.
20
Pasal 14 huruf b, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”
21
Berdasarkan paparan beberapa bunyi ketentuan di dalam KUHAP tersebut, dengan demikian harus ada kerja sama antara penyidik dengan jaksa peneliti
calon penuntut umum agar terlaksananya penuntutan. Hal inilah yang dikenal Rangkaian prapenuntutan itu dapat dipahami dari ketentuan beberapa pasal
di dalam KUHAP misalnya menurut ketentuan Pasal 110 ayat 1 KUHAP, “Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.” Kemudian ditentukan pula kepada penyidik agar memberitahukan kepada
penuntut umum dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan atas suatu peristiwa tindak pidana berdasarkan pasal 109 ayat 9 KUHAP.
Pada pasal 137 KUHAP disebutkan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan tindak pidana
dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Menurut Pasal 14 KUHAP bahwa Jaksa selaku penuntut umum tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara pidana
umum. Penyidikan yang hasilnya kurang lengkap, jaksa diberi wewenang untuk mengadakan prapenuntutan dengan cara mengembalikan berkas perkara disertai
permintaan kepada penyidik untuk melengkapi dengan melakukan tambahan penyidikan.
21
Pasal 1 ayat 3, UU Kejaksaan.
Universitas Sumatera Utara
dengan “prapenuntutan” atau “hubungan antara penyidik dengan penuntut umum”, yang digunakan dalam penelitian ini.
F. Metodologi Penelitian