Dasar Hukum Pertimbangan Jaksa Dalam Melakukan Prapenuntutan Di Kejaksaan Negeri Medan

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Effendy, Marwan., Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Friedman, L.M., The Legal System; A Social Science Persfective, New York, Russel Sage Foundation, 1975.

Hamzah, Andi., Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996. Harahap, M. Yahya., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Harahap, Chairuman., Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Hukum Supremasi

Hukum, Bandung: Citapustaka Media, 2003.

Karjadi, M., ”Himpunan Undang-Undang Terpenting Bagi Penegak Hukum”, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Kusumaatmadja, Mochtar., Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun.

Lembaga Bantuan Hukum Surabaya., Hukum Acara Pidana, Surabaya: Penerbit Bina Ilmu, 1982.

Marpaung, Leden., Proses Penanganan Perkara Pidana, Jakarta: RajaGrafindo, 1998.

Mulyadi, Lilik., Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Soekanto, Soerjono., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1983.

______Soerjono., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

______Soerjono., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.

Sunggono, Bambang., Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Supriadi., Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Surachman, RM., dan Andi Hamzah., Jaksa di Berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975. Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,


(2)

Wisnubroto, Al., dan G. Widiartana., Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB).

C. Wawancara, dan Diktat

Hasil wawancara dengan Bapak Herbet (Kasubsipratut Pidum) di Kejaksaan Negeri Medan, pada hari Selasa Tanggal 16 Maret 2010.

Sidharta, B. Arief., ”Cita Hukum Pancasila”, Lembaran Diktat Kuliah Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2003.

D. Internet

http://www.modusaceh.com/html/konsultasi-hukum-read/41/pra_penun, diakses terakhir tanggal 15 Maret 2010.

http://justiabellen.blogspot.com/2009/08/pentingnya-masa-waktu-penyidikan-di.html, diakses terakhir tanggal 28 Maret 2020.


(3)

BAB III

DASAR PERTIMBANGAN JAKSA DALAM MELAKUKAN PRAPENUNTUTAN DI KEJAKSAAN NEGERI MEDAN

A. Proses Penyelesaian Perkara Pidana Sejak Diserahkan Oleh Penyidik Kepada Penuntut Umum Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 menyebabkan terbukanya suatu lembaran baru di dalam pelaksanaan Hukum Acara Pidana di Indonesia, yang membawa perubahan fundamental terutama dalam pembagian tugas dan wewenang penyidik (kepolisian), tugas dan wewenang Penuntut (Kejaksaan) sebelum perkara dilanjutkan dalam tahap pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim.

Hal tersebut sejalan dengan tujuan dari penegakan hukum itu sendiri, maka tepatlah yang dikatakan Chairuman Harahap mengenai tujuan penegakan hukum bahwa salah satu dari tujuan penegakan hukum itu adalah untuk menciptakan kepastian hukum. Selengkapnya, dikatakan bahwa:57

Dalam melakukan fungsi Kejaksaan dengan baik sesuai dengan prosedur hukum untuk menciptakan proses peradilan yang baik, jujur, dan berjalan sesuai dengan undang-undang, dituntut kerjasama yang baik, dan jujur pula antara kedua “Adapun tujuan dari penegakan hukum adalah untuk mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam masyarakat sehingga terciptanya kedamaian dalam masyarakat dan berfungsinya aparatur pemerintah dengan baik dan lancar sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

57


(4)

instansi penegak hukum ini harus selalu terjalin, karena kesempurnaan dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak terlepas dari sempurnanya hasil penyidikan oleh Kepolisian, dengan demikian tercipta pula suatu penuntutan yang sesuai dengan ketentuan dalam perunsang-undangan yang berlaku.

Pengembalian BAP yang tidak memenuhi ketentuan dalam undang-undang, merupakan bagian dari proses menciptakan perlindungan terhadap tersangka dari sikap sewenang-wenang penyidik dalam membuat BAP yang tidak lengkap tersebut. Hal tersebut dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Medan adalah untuk menciptakan aparatur Kejaksaan yang berwibawa dalam kerangka good governance (tata kelola lembaga dengan baik) dan good government (pemerintah yang baik) yang selalu didambakan masyarakat.58

1. Tahap Menerima Pemberitahuan Telah Dimulainya Penyidikan Oleh Penyidik

Sehubungan dengan itu, dalam menciptakan penegakan hukum yang baik, maka berikut ini perlu dipaparkan tahapan proses pembuatan BAP sesuai dengan ketentuan undang-undang sebelum diserahkan ke pengadilan.

Untuk melakukan dimulainya penyidikan harus diberitahukan kepada Kejaksaan Negeri Medan. Hal tersebut yang menjadi dasar hukumnya adalah ketentuan yang telah digariskan dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP ditentukan:

”Dalam hal penyidikan telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum.”


(5)

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.59

Konsekuensi logis terhadap adanya tindakan pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik terhadap suatu kasus yang dianggap sebagai suatu kejadian yang bersifat tindak pidana tersebut, maka materi pemberitahuan tersebut haruslah minimal berisikan:

Ketentuan pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP tersebut mengandung makna yaitu bahwa dengan diterimanya surat pemberitahuan dari pihak penyidik kepada Kejaksaan Negeri Medan, maka hal tersebut merupakan titik awal keterlibatan pihak Kejaksaan Negeri Medan bagi suatu kasus yang materinya disebutkan dalam surat pemberitahuan tersebut.

Oleh karena itu, penyidik melakukan kegiatan dengan memberitahukan adanya kegiatan tersebut kepada penuntut umum yakni Kejaksaan negeri Medan dengan sendirinya bukanlah dengan tiada suatu alasan. Mengingat ketentuan Pasal 1 butir 2 KUHAP Menyebutkan bahwa:

”Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang telah diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

60

a. Adanya tersangka (dengan identitas yang lengkap):

59

Andi Hamzah., Loc. Cit, hal. 122. 60


(6)

b. Penyebutan tindak pidana apa yang diduga telah dilakukan oleh tersangka (walaupun masih belum seluruhnya lengkap):

c. Alat-alat bukti yang sah apa saja yang berhasil dikumpulkan; dan d. Apakah tersangkanya ditahan atau tidak.

Jika ada tindakan-tindakan lain yang telah dilakukan tersangka, maka perlu disebutkan juga dalam BAP tersebut misalnya:61

1. Tindakan penangkapan Pasal 16-19 KUHAP; 2. Penggeledahan Pasal 32-37 KUHAP;

3. Penyitaan Pasal 38-46 KUHAP; dan 4. Pemeriksaan surat Pasal 47-49 KUHAP.

Materi pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik tersebut dapat memberikan gambaran kepada penuntut umum untuk menentukan apakah tindakan penyidik tersebut mempunyai dasar hukum dan apakah selanjutnya diajukan kepenuntutan dan peradilannya.

Sifat keharusan pemberitahuan penyidikan dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP walaupun tidak memberikan kejelasan namun hal tersebut kalau diserahkan kepada penuntut umum, maka sudah selayaknya tidak menimbulkan masalah bagi penyidik. Di samping itu dengan adanya Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor H.01PW.07.03 tahun 1981 tanggal 4 Februari 1981 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP maka menjadi tegas, kuat dan jelaslah landasan adanya kewajiban pemberitahuan dimulainya kegiatan penyidikan kepada penuntut umum oleh penyidik tersebut.

Ketentuan subtansi dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP tersebut bukan saja merupakan kewajiban penyidik sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1) a,


(7)

melainkan meliputi penyidik dalam Pasal 6 ayat (1) b yaitu dari Pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang misalnya pegawai imigrasi, Bea Cukai maupun Jawatan Kereta Api.

Materi ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP juga mencakup kewajiban bagi penyidik pembantu seperti Pasal 10 ayat (1) KUHAP yang mengatakan bahwa yang disebut penyidik pembantu adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan syarat kepangkatan tertentu yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan menyangkut kewenangan penyidik pembantu sesuai Pasal 11 KUHAP adalah sama dengan kewenangan yang dimiliki penyidik seperti materi Pasal 7 ayat (19) kecuali mengenai penahanan, penyidik pembantu terlebih dahulu harus dapat pelimpahan wewenang dari penyidik (penyidik Polri). Di samping itu penyidik pembantu diberi wewenang dan kewajiban untuk membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepad apenyidik, kecuali perkara dengan cara pemeriksaan singkat dimana penyidik pembantu dapat langsung menyerahkannya kepada penuntut umum, pasal 12 KUHAP.

Kembali pada persoalan hubungan antara penyidik pembantu dengan penuntut umum, keadaan itu kalau dikaitkan dengan ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP merupakan manifestasi daripada bentuk pengawasan, yaitu pengawasan horizontal dan pengawasan vertikal yang pada hakekatnya merupakan perwujudan dari salah satu bagian sistem tata laksana penyampaian tujuan yang berisi dan bersifat universal.


(8)

Pada tahap pemberitahuan sebagaimana dimaksud oleh ketentuan materi Pasal 109 ayat (1) di atas, yakni pemberitahuan telah dimulainya penyidikan yang dilaksanakan oleh penyidik terhadap suatu kasus sebagaimana diuraikan di atas, maka pihak penuntut umum atau kejaksaan segera mengikuti perkembangan proses penyelesaian penydiikan tersebut dan bilamana perlu atas permintaan penyidik memberikan petunjuk-petunjuk atau pengarahan di dalam usaha melengkapi penyusunan berkas perkara. Walaupun petunjuk itu diberikan dengan materi yang sangat terbatas dan bersifat pasif dalam arti penuntut umum hanya membatasi dirinya dan kegiatan yang diminta yang merupakan kegiatan terhadap segala sesuatu dalam menghadapi penyerahan berkas perkara pada tahap pertama. Saat diterimanya surat pemberitahuan telah dimuainya penyidikan terhadap suatu kasus dari penyidik penerimaan BAP sesuai Pasal 8 ayat (3) huruf a KUHAP, kemungkinan ada tindakan-tindakan lain yang dilakukan oleh pihak penyidik dalam rangka membuat terangnya perkara, hal tersebut dibuat jika ada, misalnya:62

a. Penangkapan; b. Penahanan; c. Penggeledahan; d. Penyitaan benda; e. Pemasukan rumah; dan f. Pemeriksaan surat.

Hal tersebut dilakukan oleh penyidik dengan cara mengirimkan surat penangkapan, penahanan dengan permohonan surat ijin atau surat persetujuan kepada Ketua Pengadilan Negeri Medan sehubungan dengan akan atau telah dilakukannya suatu tindakan untuk memperoleh persetujuan dari Ketua


(9)

Pengadilan Negeri Medan. Dengan ketentuan surat izin itu harus disertakan dalam BAP.63

Beberapa cara penahanan oleh Kejaksaan Negeri Medan terhadap surat pemberitahuan dari penyidik sehubungan telah dimulainya kegiatan penyidikan, antara lain:64

(1) Ditangani oleh suatu team khusus untuk itu sampai dengan tingkat penelitian berkas perara, kemudian baru ditunjuk umumnya sebelum atau sesudah berkas dianggap lengkap untuk dilimpahkan ke pengadilan.

(2) Dengan mengingat antara lain kondisi persediaan jaksa terbatas, Kejari atau Kasi Operasi langsung menunjuk umum yang bersangkutan .

(3) Terhadap perkara-perkara yang menarik perhatian masyarakat (berbobot) saja yang ditangani terlebih dahulu oleh suatu tim.

Praktek pengolahan ini konktritnya pada masing-masing Kejaksaan kemungkinan berbeda, namun pada hakekatnya prinsip-prinsip yang menyangkut sistem dan metodenya tetap sesuai dengan ketentuan-ketentuan.

Berdasarkan penjelasan Bapak Herbet, pada Kejakasan Negeri Medan pengolahan terhadap surat pemberitahuan dari penyidik telah dimulainya kegiatan penyidikan dilakukan dengan cara yaitu Kepala Kejaksaan Negeri tersebut atau Kepala Saksi langsung menunjuk calon penuntut umum untuk suatu kasus yang bersangkutan.65

2. Tahap Menerima Penyerahan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)

Penyidik dalam menjalankan tugas penyidikan tidak hanya melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan saja, melainkan juga melakukan pemanggilan terhadap tersangka dan saksi, penangkapan, penahanan rekonstruksi

63

Ibid., hal. 131-132. 64

Hasil wawancara dengan Bapak Herbet (Kasubsipratut Pidum) di Kejaksaan Negeri Medan, pada hari Selasa Tanggal 16 Maret 2010.


(10)

dan tindakan lain yang diperlukan, dimana setiap tindakan harus berdasarkan surat perintah atasan yang berwenang dan harus dibuatkan berita acaranya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 (1) jo Pasal 75 KUHAP. Sebelum mengajukan perkara yang ditanganinya itu, terlebih dahulu penyidik harus mengetahui mengenai cara pemeriksaan perkara pidana.

KUHAP membedakan acara pemerikasan perkara pidana dalam 3 (tiga) macam, yaitu:

a. Acara pemeriksaan biasa. Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan biasa adalah perkara yang pembuktan dan penerapan hukumnya serta sifatnya rumit dan menarik perhatian masyarakat atau termasuk perkara penting.66

b. Acara pemeriksaan singkat. Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan ini adalah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana sesuai Pasal 203 ayat (1) KUHAP.67

c. Acara pemeriksaan cepat, terdiri dari:

68

(1) Acara pemerikasan tindak pidana ringan yang diperiksa menurut acara ini adalah perkara yang diancam dengan penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan Pasal 205 ayat (1) KUHAP.

66

Andi Hamzah., Op. cit, hal. 245. 67


(11)

(2) Acara pemeriksaan perkara lalu lintas jalan yang diperiksa menurut acara ini ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan Pasal 211 KUHAP.

Selanjutnya dari ketiga macam acara pemeriksaan tersebut, hanya dua perkara yang berkas perkaranya diajukan kepada penuntut umum, sedangkan untuk acara pemeriksaan cepat (pelanggaran lalulintas misalnya tidak pakai helm, melanggar rambu-rambu, dan lain-lain) penyidik atas kuasa penuntut umum, langsung mengirimkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri setempat (Pengadilan Negeri Medan).69

Sebelum memasuki isi berkas perkara dan pemberkasannya, penulis akan menyajikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan berkas perkara itu. Berkas perkara adalah himpunan hasil penyidikan/pemeriksaan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yang tertuang dalam suatu berita acara dan berita acara tersebut dibuat atas sumpah jabatan dan ditandatangani oleh pejabat dan semua pihak yang terlibat di dalamnya.

70

1. Sampul berkas perkara ;

Menurut lampiran instruksi pelaksana Nomor INS-006/J.A/1986 tentang Petunjuk Pidana Administrasi Teknis Yustisial Perkara Pidana Umum, disebutkan bahwa isi berkas perkara meliputi:

2. Daftar isi berkas perkara; 3. Resume Pasal 121 KUAP;

4. Laporan Polisi sesuai Pasal; 5 ayat (1) dan Pasal 103 KUHAP;

5. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan sesuai Pasal 109 ayat (1) KUHAP;

6. Berita acara pemeriksaan saksi/ahli Pasal 162, 120 jo Pasal 176 KUHAP.

69


(12)

7. Surat perintah penangkapan Pasal 18 KUHAP 8. Surat perintah penahanan sesuai Pasal 21 KUHAP ; 9. Dokumen-dokumen bukti;

10.Daftar adanya saksi; 11.Daftar adanya tersangka; 12.Daftar barang bukti;

13.Lain-lain yang perlu dilampirkan.

Memperhatikan isi dari BAP tersebut di atas, nampak bahwa berkas perkara itu hanya terdiri dari kumpulan berita acara, melainkan melampirkan juga surat-surat dan keterangan lain yang diperlukan. Namun demikian tidak mutlak bahwa BAP harus dilengkapi dengan berita acara atau surat-surat atau keterangan sebagaimana tersebut diatas melainkan tergantung pada kasus perkaranya dan kejaksaan atau tindakan yang dilakukan oleh penyidik.71

a. Setiap lembar kertas perkara, pada bagian kirinya dilubangi dengan perforator (alat pembuat lubang kertas) pada tiga tempat yaitu di tengah, atas dan bawah.

Dalam hal suatu perkara tidak memerlukan kelengkapan administrasi penyidikan yang merupakan isi BAP secara lengkap sebagaimana tersebut di atas maka isi berkas perkara disusun sesuai dengan susunan tersebut di atas dikurangi dengan lembaran-lembaran dimana tidak ada atau tidak diperlukan.

Selanjutnya menurut Petunjuk Teknis Pol JUKNIS/10/II/1982 tentang Penyusunan Berkas Perkara dan Pemberkasannya, maka dilakukan pemberkasan sebagai berikut:

b. Dengan jarum dan tali/benang tanpa sambungan, kertas dijilid sedemikian rupa sehinga benang tidak akan mudah putus/lepas dan simpul dibuat pada atau di atas lubang tengah.

c. Kedua ujung dihimpun menjadi satu dan dipotong sepanjang 10 cm dari simpul, kemudian ditarik ke bawah kanan.


(13)

d. Sepanjang 5 cm dari kedua ujung benang/tali dilak, dan sebelum lak tersebut kering, ditekan dengan cap kesatuan Polri setempat yang terbuat bahan logam kuningan.

e. Tidak dibenarkan membubuhi lak diatas simpul.

f. Lak dan cap tidak boleh menghalang-halangi atau menutup tulisan-tulisan yang terdapat dalam simpul.

g. Penomoran pada sampul berkas perkara diambil dari nomor urut buku register berkas perkara dan cara penomorannya sebagai berikut:

1) Kode atau singkatan berkas perkara (BP); 2) Nomor urut;

3) Angka bulan (angka romawi); 4) Angka tahun;

5) Kode Kesatuan Polri yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas, hasil penyidikan yang dihimpun menjadi satu

bundle (buku), dalam sehari-hari disebut dengan berkas perkara atau BAP.

a) Penyerahan Berkas Perkara Tahap Pertama di Kejaksaan Negeri Medan

Setelah pemberkasan selesai, penyidik segera menyerahkan berkas perkara tersebut dalam rangkap dua kepada penuntut umum, disertai dengan surat pengantar. Dalam surat pengantar tersebut dicantumkan hal-hal sebagai berikut:

a. Nomor dan tanggal berkas perkara;

b. Jumlah berkas perkara yang dikirim (rangkap 2); c. Nama, umur, pekerjaan dan alat tersangkat;

d. Status tersangka; ditahan atau tidak. Kalau ditahan dijelaskan mulai tanggal berapa ditahan dan surat-surat lainnya.

e. Tempat penyimpanan barang bukti yang tersebut dalam daftar barang bukti;

f. Tindak pidana dan pasal yang dipersakakan; g. Hal-hal lain yang dianggap perlu;


(14)

h. Tembusan surat pengantar disampaikan kepada Kesatuan Atasari dan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam hal perkara memerlukan perpanjangan penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri.

Pengiriman berkas perkara disamping dicatat dalam buku ekspedisi, juga disertai surat tanda penerimaan, tanda tangan dan nama terang petugas kejaksaan setempat yang diserahi tugas menerima berkas, serta dibubuhi stempel dinas. Hal ini penting untuk memperhitungkan jangka waktu 14 hari yang diberikan oleh KUHAP kepada penuntut umum untuk memeriksa kelengkapan berkas perkara tersebut.

Berdasarkan Pasal 14 huruf b KUHAP, Penuntut Umum mempunyai wewenang untuk mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) serta memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. Pasal 14 huruf b KUHAP diatas mempunyai kaitan dengan ketentuan Pasal 138 yang berbunyi sebagai berikut:72

a) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan meneliti dan dalam waktu 7 hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. b) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum

mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.

Sehubungan dengan kegiatan penuntut umum di Kejaksaan Negeri Medan maka untuk meneliti BAP, penelitian tersebut diterangkan dalam formulir “Hasil Penelitian Tahap Pertama” sebagai berikut:


(15)

1. Pemberitahuan dimulainya penyidikan dan surat perintah penyidikan. Hal ini disebutkan ada atau tidak, kalau ada dicantumkan pula nomor dan tanggalnya.

2. Nomor perkara, tanggal diterimanya berkas perkara, asal berkas perkara, jumlah tersangka dan jumlah sanksi.

3. Identitas tersangka (namna, tempat lahir, umur, tanggal lahir, kebangsaan, jenis kelamin, tempat tinggal, agama, pekerjaan dan sidik jari)

4. Pasal yang disangkakan, keterangan acara pidana (KUHAP/Khusus), memenuhi Pasal 21 ayat (4) KUHAP atau tidak, memenuhi pasal 29 ayat (1) KUHAP atau tidak, penunjukan penasehat hukum (wajib atau tidak), penaseht hukum ada atau tidak, macam delik (aduan atau bukan) dan surat pengaduan (atau atau tidak).

5. Status Tersangka

Tersangka ditahan atau tidak, jenis tahanan, tanggal tersangka ditahan, berita acara penahanan ada atau tidak dan tunggal berakhirnya masa penahanan.

6. Benda sitaan

Benda sitaan ada atau tidak, surat penyitaan ada atau tidak, izin pengadilan negeri atau tidak, berita acara penyitaan ada atau tidak.

7. Apakah ada berita acara 8. Susunan isi berkas

Susunan isi berkas perkara itu telah memenuhi ketentuan atau belum 9. Apakah ada dua alat bukti yang sah


(16)

Susunan isi berkas perkara itu telah memenuhi ketentuan atau belum 10.Apakah berkas perkara tersebut sudah lengkap/sempurna, persyaratan

untuk dilimpahkan kepengadilan negeri cukup memenuhi syarat atua belum dan apakah sudah dapat dilimpahkan kepengadilan negeri

11.Saran

Jaksa penelitian memberi saran, apakah berkas perkara tersebut tidak dikembalikan atau dikembalikan kepada penyidik disertai petunjuk. Kalau dikembalikan kepada penyidik karena berkas belum lengkap, maka jaksa penelitian memberikan petunjuk mengenai penyidik tambahan yang harus dilakukan oleh penyidik.

Sebagaimana diketahui dalam KUHAP, tugas dan wewenang jaksa dalam hal penyidikan, penyidikan lanjutan serta mengkoordinasikan alat-alat penyidik, khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana umum, sepenuhnya beralih kepada penyidik seperti dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b. sebagai konsenkuensi dari peralihan fungsi penyidikan tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b KUHAP, dimana penuntut umum tidak berwenang lagi melakukan penyidikan tambahan atau lanjutan menyebabkan berkas perkara tersebut harus benar-benar memenuhi syarat-syarat penuntutan. Jelas kiraya mengapa pembentuk undang-undang dalam Pasal 138 KUHAP memberikan kewenangan kepada jaksa penuntut umum untuk mengembalikan berkas perkara hasil penyidikan yang dianggap belum lengkap perkara hasil penyidikan yang dianggap belum lengkap kepada penyidik, guna dilengkapi sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh jaksa penuntut umum. Disamping itu


(17)

petunjuk yang diberikan oleh jaksa penuntut umum disini adalah dalam rangka menyusun surat dakwaan yang memenuhi syarat formal dan syarat material sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.

Berkas perkara hasil penyidikan dapat dikatakan lengkap apabila telah memenuhi syarat-syarat kelengkapan formil dan kelengkapan materiil sebagai berikut:

a. Kelengkapan Formil

Berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik dapat dikatakan secara formil apabila memuat antara lain:

1. Identitas tersangka seperti tersebut dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP.

2. Surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat apabila penggeledahan dan penyitaan dilakukan (Pasal 33 dan Pasal 38 KUHAP).

3. Penyidik/penyidik pembantu harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Menteri Kehakiman No.M.05.PW.07.04 tahun 1984.

4. Surat izin Khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat apabila dilakukan pemeriksaan surat, Pasal 47 KUHAP

5. Adanya pengaduan dari orang yang berhak dalam hal delik aduan.

6. Pembuatan berita acara sepreti dimaksud dalam Pasal 75 KUHAP apabila dilakukan pemeriksaan tersangka, penangkapan dan lain sebagainya dan ditandatangani oleh yang berhak menandanganinya.


(18)

Kelengkapan materiil yang dimaksud ialah apabila berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat dilimpahkan ke pengadilan, antar lain seperti adanya alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 183, 184 KUHAP, uraian secara jelas, cermat dan lengkap mengenai tindak pidana yang disangkakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Dengan demikian apabila berkas perkara hasil penyidikan sudah lengkap, maka jaksa penuntut umum sudah menjadikan sebagai dasar pembuatan surat dakwaan yang memenuhi syarat baik formil maupun materiil, dan berkas perkar ahasil penyidikan tidak perlu lagi dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi. Akan tetapi apabila hasi penyidikan dari penyidik belum lengkap, maka jaksa penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, disertai petunjuk untuk dilengkapi oleh penyidik sehingga hasil penyidikan menjadi lengkap dan dapat dijadikan dasar pembuatan surat dakwaan yang memenuhi syarat Pasal 138 jo Pasal 110 KUHAP.

Dengan demikian hasil penelitian terhadap berkas perkara yang dilakukan oleh penuntut umum di Kejaksaan Negeri Medan, hasilnya ada dua kemungkinan yaitu:73

a. Apabila sebelum batas waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum mengembalikan berkas perkara tersebut dimana penyidik segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk tertulis dari penuntut umum sesuai Pasal 110 ayat (3) KUHAP. Dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu keapda penuntut umum.

73


(19)

b. Apabila dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara atau sebelum batas waktu tersebut telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum sesuai Pasal 110 ayat (4) KUHAP, maka penyidik segera menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP

Biasanya pengiriman barang bukti tersangka dilakukan penyidik setelah ada surat pemberitahuan dari penuntut umum bahwa hasil penyidikannya telah lengkap, disertai permintaan agar tersangka dan barang bukti diserahkan kepada penuntut umum untuk penyelesaian selanjutnya.

b) Penyerahan Berkas Perkara Tahap Kedua di Kejaksaan Negeri Medan

Pada penyerahan tahap kedua ini, penyidik menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum dengan disertai surat pengantar. Pada tahap ini jaksa peneliti melakukan penelitian terhadap tersangka, yaitu mencocokan identitasnya (dalam hal ini tersangka) yang dihadapkan kepadanya dengan identitas yang tercantum dalam berkas perkara. Begitu pula terhadap barang bukti, jaksa peneliti juga mencocokan barang-barang tersebut dengan yang tercantum pada daftar barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara tersebut dengan disaksikan oleh penyidik dan tersangka. Dan selanjutnya menanyakan kepada tersangka apakah benar benda tersebut tersangkut dalam tindak pidana yang telah dilakukan oleh tersangka.

Terhadap benda sitaan, saksi korban atau saksi lainnya harus diikutsertakan dalam menyaksikan penelitian, hal demikian untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya menyulitkan kedudukan penuntut umum.


(20)

Pelaksanaan penelitian terhadap tersangka dan barang bukti tersebut masing-masing dibuatkan berita acaranya, dan ditandatangani oleh penuntut umum dan penyidik yang menyaksikan acara itu.

Berita acara serah terima tersangka dan barang sitaan/bukti memuat hal-hal sebagai berikut:74

1. Kapan serah terima tersangka dan barang bukti dilakukan;

2. Nama, pangkat, nomor registrasi perkara dan jabatan penyidik/penyidik pembantu yang menyerahkan tersangka dan barang bukti tersebut;

3. Surat pengantar pengiriman tersangka dan barang bukti disertai nomor polisi dan tanggalnya;

4. Nama tersangka sebagaimana terlampir dalam daftar tersangka; 5. Barang bukti sebagaimana terlampir dalam daftar barang bukti;

6. Nama, pekerjaan, pangkat/jabatan penuntut umum pada kejaksaan negeri setempat yang menerima tersangka dan barang bukti;

7. Tempat diserahkan tersangka dan barang bukti;

8. Nama, pekerjaan, pangkat/jabatan dan alamat para saksi (2 orang) yang menyaksikan penyerahan tersebut;

9. Tempat, tanggal ditandatanganinya berita acara tersebut.

Dengan diserahkannya tersangka dan barang bukti oleh penyidik kepada penuntut umum, maka penyidikan atas perkara tersebut telah selesai dan secara yuridis tanggung jawab atas tersanga dan barang bukti tersebut beralih kepada penuntut umum. Namun demikian bukan berarti tugas penyidik terhadap perkara tersebut selsesai dan tidak ada sangkut pautnya dengan proses persidangan. Hubungan koordinasi fungsional dan instansional antara penyidik dan penuntut umum masih berlangsung sampai ke pelaksanaan putusan hakim.


(21)

B. Dasar Hukum Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum Dalam Melakukan Prapenuntutan

Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, penyidik jika telah mulai melakukan penyidikan, penyidik memberitahukan kepada penuntut umum. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan itu biasanya disingkat dengan “SPDP”, yaitu Surat Pemberitahuan dimulainya penyidikan, selanjutnya penulis menggunakan istilah SPDP. Setelah SPDP diterima oleh Kepala Kejakasan Negeri (Kepala Kejaksaan Tinggi apabila SPDP berasal dari POLDA), maka SPDP tersebut dikelola oleh Kepala Saksi (KASI). Jika menyangkut perkara pidana umum (pidum) surat tersebut dikelola oleh Kasi Pidum sedangkan berkenaan dengan pidana khusus (pidsus) surat tersebut dikelola oleh Kasi Pidsus. Kasi Pidum atau Kasi Pidsus sesuai dengan bidang masing-masing mempersiapkan konser surat dengan bidang masing-masing mempersiapkan konser surat penunjukan “jaksa penelitian”. Jaksa penelitian ini biasanya merupakan calon penuntut umum. Rumusan kata “biasanya” menunjukkan bahwa hal tersebut tidak bersifat mutlak, karena bisa saja ditunjuk jaksa sebagai pengganti penuntut umum oleh Kepala Kejaksaan Negeri. Jaksa yang telah ditunjuk tersebut bertugas mengikuti perkembangan penyidikan sebagaimana tersebut dalam SPDP, dan ia mempersiapkan petunjuk-petunjuk kepada penyidik guna merampungkan berkas perkara apabila berkas perkara hasil penyidikannya belum lengkap.

Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas, Kejaksaan Negeri Medan, ketika dilakukan wawancara dengan JPU, Kejaksaan langsung melakukan


(22)

koordinasi dengan penyidik agar penyidik segera melakukan penyidikan untuk mempersiapkan tindakan penuntutan.75

Setelah berkas perkara diterima oleh Kejaksaan Negeri Medan (penuntut umum) dari penyidik, Kejaksaan Negeri Medan segera menentukan apakah berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan berdasarkan Pasal 139 KUHAP. Menurut Bapak Herbet dikatakan bahwa:76

1. Penuntut umum meneliti dan mempelajari sesuai dengan Pasal 138 KUHAP untuk memastikan BAP sudah lengkap atau tidak dan itu dilakukan selama 14 (empat belas) hari;

2. Apabila BAP dari penyidik tidak lengkap, Kejaksaan Negeri Medan segera mengembalikan BAP tersebut kepada penyidik (Kepolisian) disertai dengan petunjuk-petunjuk dalam waktu 7 (tujuh) hari, kemudian setelah dilengkapi penyidik, BAP tersebut diserahkan kembali kepada Kejaksaan Negeri Medan;

3. Apabila Kejaksaan Negeri Medan beranggapan bahwa BAP hasil penyidikan penyidik itu sudah lengkap dan sesuai dengan undang-undang, maka Kejaksaan Negeri Medan wajib memberitahukan kepada penyidik dan tidak dapat dilakukan lagi prapenuntutan.

Penuntut umum maupun penuntut umum pengganti secara bersama-sama selanjutnya melakukan pengamatan yang cermat atas berkas perkara tersebut, yakni mengenai:

a. Waktu dan kejadian tindak pidana;

b. Pelaku serta kemungkinan orang-orang yang terkait dalam tindak pidana itu yang selanjutnya menentukan posisi masing-masing;

c. Perbuatan yang terjadi;

75

Hasil wawancara dengan Bapak Herbet (Kasubsipratut Pidum) di Kejaksaan Negeri Medan, pada hari Selasa Tanggal 16 Maret 2010.


(23)

d. Apakah untuk melakukan penentuan telah memenuhi sarat formil maupun syarat materiil;

e. Apakah setiap unsur delik telah didukung oleh alat-alat bukti yang cukup dengan mempedomi Pasal 183 yang menentukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

Berdasarkan pengamatan pada data atau fakta tersebut di atas, jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Medan adakalanya berpendapat sebagai berikut:

a. Perbuatan yang telah dilakukan tersebut tidak dapat dihukum atau bukan merupakan suatu tindak pidana. Keadaan demikian sesuai dengan dalil “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”.

b. Tersangka tidak dapat dihukum disebabkan oleh karena orang yang melakukan delik tersebut dalam hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu tidak dapat dihukum, misalnya Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHAP. c. Sesuai dengan Pasal 78 KUHAP, perbuatan itu jelas dan cukup bukti akan

tetapi hak untuk menuntut telah hilang. d. Tidak terdapat cukup bukti.

e. Berkas perkara perlu dipisahkan. f. Berkas perkara perlu digabungkan.

Dalam hal jaksa peneliti berpendapat bahwa “tidak cukup alasan” untuk diajukan ke pengadilan negeri karena perbuatan bukan merupakan suatu tindak pidana atau si tersangka tidak dapat dihukum atau hak menuntut telah hilang, maka penyidik harus melaporkan hal tersebut kepada Kepala Kejaksaan Negeri


(24)

Medan dan mempersiapkan konsep “surat penetapan”. Surat penetapan tersebut dirumuskan pada Pasal 14 ayat (2) KUHAP yang dalam sehari-hari disebut “SP3” yakni Surat Penetapan Penghentian Penuntutan. Terhadap surat ketetapan tentang dihentikannya penuntutan, pada hakekatnya terutama ditujukan kepada pencegahan nebis in idem, dimaksudkan bukan saja untuk menyelesaikan perkara pada tahap tersebut melainkan kemungkinan untuk diajukan kelak bila ada alat bukti baru. Apabila di kemudian hari terdapat alat bukti baru maka penuntutan dapat dilakukan lagi. Hal ini merupakan cara yang tepat untuk menegakkan keadilan, sebab jika belum ditemuan alat bukti yang kuat pada saat diajukan ke Pengadilan Negeri Medan, kemungkinan terdakwa akan dibebaskan oleh pengadilan.

Berdasarkan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, Kejaksaan Negeri Medan menerapkan SP3 dengan alasan:

a. Tidak terdapat cukup bukti;

b. Peristiwa bukan merupakan tindak pidana; dan c. Perkara ditutup demi hukum.

Sedangkan perkara ditutup demi hukum disebabkan karena beberapa hal di Kejaksaan Negeri Medan yaitu:

a. Adanya pencabutan pengaduan sebagaimana tersebut dalam Pasal 75 KUHAP.

b. Nebis in idem, yaitu orang tidak boleh dituntut untuk keduakalinya karena perbuatan atau peristiwa yang baginya telah diputus hakim, dimana


(25)

putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai Pasal 7 KUHAP.

c. Tersangka meninggal dunia berdasarkan Pasal 77 KUHAP

d. Kedaluarsa, yaitu tidak dapat dituntut, lagi karena lewatnya waktu sesuai Pasal 78 KUHP.

Menurut Instruksi Jaksa Agung RI Nomor INST-011/J.A/11/1982 tentang Penghentian Penuntutan Khusus untuk Tindak Pidana Umum yang menerbitkan surat ketetapan diwenangkan Kepala Kejaksaan Negeri setempat setelah mendengarkan pendapat Jaksa Penuntut Umum. Dimana selain menyebutkan alasan juga harus mencantumkan secara jelas:

1. Pengeluaran tersangka apabila tersangka dalam keadaan ditahan.

2. Penetapan penyerahan atau mengembalian benda sitaan/barang bukti kepada orang yang disebutkan secara jelas nama dan identitasnya.

Selanjutnya Pasal 140 ayat (2) huruf b dan c KUHAP menyebutkan sebagai berikut :

1. Isi surat keterangan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan wajib segera dibebaskan;

2. Turunkan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada a. Tersangka, atau

b. Keluarga, atau c. Penasehat hukum;

d. Pejabat rumah tahanan negara (RUTAN); e. Instansi penyidik;

f. Hakim (Ketua Pengadilan Negeri).

KUHAP tidak memberikan definisi tentang prapenentuan. Akan tetapi terdapat dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.901.DPW.07.03 tentang pelaksanaan KUHAP disebutkan bahwa prapenentutan adalah wewenang penuntut


(26)

umum setelah menerima berkas perkara penyidikan dari penyidik dan berpendapat bahwa hasil penyidikan itu dianggap belum lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikannya kepada penyidik disertai petunjuk seperlunya dan dalam hal ini penyidik harus segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum, dan apabila penuntut umum dalam waktu 14 hari tidak mengembalikan hasil penyidikan tersebut, maka penyidikan dianggap selesai.

Kegiatan yang dilakukan penuntut umum di Kejaksaan Negeri Medan setelah menerima BAP dari penyidik dalam rangka prapenuntutan adalah:

1. Jaksa penuntut umum yang ditunjuk oleh Kepala Kejaksaan Negeri Medan dalam waktu 3 hari setelah menerima berkas perkara, segera meneliti berkas perkara tersebut apakah syarat formil maupun syarat materiil sudah dipenuhi atau belum. Hal-hal yang perlu diperhatikan didalam melakukan penelitian dan penilaian berkas perkara antara lain ;

a) Kelengkapan berita acara b) Keabsahan tindakan penyidik.

2. Apabila BAP tersebut diangap belum lengkap, maka selambat-lambatnya 14 hari sesudah penerimaan berkas perkara tersebut dari penyidik maka Kejaksaan Negeri Medan sudah harus mengembalikan berkas perkaranya disertai petunjuk-petunjuk tentang hal-hal yang harus dilengkapi oleh penyidik:

a) Petunjuk-petunjuk yang disampaikan kepada penyidik tersebut disampaikan tertulis, jelas dan terperinci demi sempurnanya proses penentutannya dipersidangan.

b) Dalam waktu 10 hari setelah pengembalian tersebut Kejaksaan Negeri Medan memperingatkan penyidik tentang batas waktu penyempurnaan berkas perkara tersebut hanya 14 hari.

c) Supaya diusahakan pengembalian berkas perkara itu berlangsung hanya satu kali saja, kecuali pengembalian dapat dilakukan dengan waktu lebih dari 14 hari apabila terdapat hal-hal yang penting dimana dapat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan, dengan catatan pengembalian tersebut merupakan pengembalian yang terakhir.


(27)

Dasar pertimbangan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Medan dalam melakukan tindakan prapenuntutan dipaparkan berikut ini aturan-aturan yang mendasarinya.

Hubungan koordinasi fungsional antara penyidik dengan jaksa penuntut umum pertama kali terjadi sejak penyidik melakukan penyidikan suatu perkara sebagaimana ditentukan oleh Pasal 109 ayat (1) KUHAP.

Kejaksaan Negeri Medan juga berpedoman kepada pelaksanaan KUHAP yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Nomor M.01.PW.07.03 tahun 1982, pada halaman 78 dibawah huruf a, menegaskan bahwa pemberitahuan kepada penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 109 ayat (1) KUHAP adalah merupakan kewajiban dari penyidik. Pengertian telah dimulainya penyidikan adalah jadi kegiatan penyidikan sudah dilakukan dengan menggunakan upaya paksa, misalnya pemanggilan pro justisia, pemeriksaan, penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan lain-lain (Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, butir 3).

Penyidik memberitahukan tentang telah dimulainya penyidikan suatu tindak pidana tersebut dengan menggunakan formulir serse A-3 (juklak dan juknis

POLRI) dengan disertai lampiran berupa laporan polisi atau aduan (MAHKEJAPOL I) sebagai kelengkapan dari butir 3 Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Dalam hal Kejaksaan Negeri Medan atau JPU yang menerima laporan atau pengaduan atau mengetahui sendiri telah terjadi suatu tindak pidana, maka hal tersebut secepatnya diteruskan kepada penyidik (pasal 1 ) ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961). Berdasarkan undang-undang ini


(28)

bahwa setiap Kejaksaan Negeri setempat setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan harus mencatat dalam reisgtrasi R.PK-1 dan data beserta penyelesaian dimuat dalam laporan bulanan model LPK-1.

Untuk mendapatkan dukungan operasi intelejen kejaksaan, maka formulir serse A-3 diberitahukan juga oleh Kepala Kejaksaan Negeri kepada Saksi Intel Kejaksaan agar terdapat keterpaduan Intelejen dengan kegiatan Operasi justisi.

Dalam rangka meneliti kelengkapan dan materiil berkas perkara, agar dipedomani pula surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-002 / J.A/2/1985 tentang hasil Eksaminasi Perkara. Apabila penyidik mengalami kesulitan untuk memenuhi petunjuk yang diberikan oleh Penuntut Umum dalam tenggang waktu 14 hari, penyidikan segera memberitahukan kesulitan tersebut kepada Penuntut Umum dan penyelesainnya diserahkan kepada consensus pada forum penyidikan dan penuntut umum (MAHKEJAPOL-1 1984). Hasil penyidikan tambahan dan berkas perkara yang diserahkan kembali oleh penyidik, dipelajari lagi oleh Penuntut Umum Peneliti, apakah petunjuk-petunjuk telah terpenuhi.

Bila belum dipenuhi, Penuntut Umum melaporkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri atau pejabat yang dikuasakan untuk itu, jalan apa yang akan ditempuh terhadap berkas perkara tersebut, yang ketentuan akhirnya diserahkan kepada kebijakan pimpinan. Pelaksanaan pekerjaan ini harus sudah selesai dalam satu hari. Untuk mencegah lebih dari dua kali antara Penyidik dan Penuntut Umum, perhatikan Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 5 yang intinya : harus mengintensipkan koordinasi antar penegak hukum di daerah. Dalam hal upaya Penyidik ternyata sudah optimal. Maka Penuntut Umum dapat melengkapi


(29)

berkas perkara dengan mengadakan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan menurut pasal 27 ayat (1) sub d Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991. Khusus untuk berkas perkara hasil penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil agar diperhatikan Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 6 yang intinya menyatakan bahwa dalam perkara tindak pidana umum berkas perkara diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui Penyidik Polri sedangkan dalam tindak pidana khusus langsung kepada Jaksa Penuntut Umum. Di samping itu juga diperhatikan Surat Edaran Jaksa Agung nomor SE-013/J.A/8/1982 tanggal 20 Agustus 1982.

C. Kendala-Kendala Dalam Prapenuntutan

Pemberian petunjuk dari penuntut umum kepada penyidik dalam rangka melengkapi BAP agar menjadi berkas perkara “hasil penyidikan yang lengkap” ditemui hambatan-hambatan atau kesulitan-kesulitan baik yang berasal dari kejaksaan maupun luar kejaksaan. Hambatan-hambatan tersebut dibedakan sebagai berikut:77

1. Hambatan internal atau dari dalam

Adalah kesulitan-kesulitan yang ditemui oleh Kejaksaan Negeri Medan dalam hal ini penuntut umum dalam mengadakan prapenuntutan yang timbul dari dalam tubuh kejaksaan itu sendiri. Hambatan tersebut adalah:

a. Prapenuntutan dibatasi oleh tenggang waktu yang jelas telah ditentukan oleh pembentukan undang. Disamping itu pembentuk

undang-77


(30)

undang tidak mengatur lebih lanjut kemungkinan apabila waktu yang tersedia dalam melakukan prapenuntutan tidak mencukupi.

b. Ketentuan berapa kali penyerahan BAP yang timbal balik tidak ditentukan, berakibat BAP tersebut menjadi mondar-mandir, berlarut-larut dari Kejaksaan Negeri Medan ke penyidik atau sebaliknya. Keadaan demikian didasarkan oleh karena Kejaksaan Negeri Medan setelah menerima dan meneliti BAP dari penyidik dan beranggapan bahwa hasil penyidikannya belum dianggap lengkap, maka Kejaksaan Negeri Medan harus mengembalikan BAP itu dimaksudkan untuk tidak terjadi kegagalan dalam melakukan penuntutan juga menghindari ketidakadilan dalam melaksanakan penuntutan yang akan dilakukannya.

2. Hambatan eksternal atau dari luar

Adalah kesulitan atau hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan prapenuntutan yang bukan berasal dari pihak Kejaksaan Negeri Medan, tetapi berasal dari pihak luar yaitu dari penyidik sendiri. Hambatan-hambatan tersebut antara lain:

a. Sering terjadi dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pengembalian BAP dari penuntut umum pihak penyidik belum mengembalikan berkas tersebut kepada Kejaksaan Negeri Medan dikarenakan penyidikan tambahan belum selesai.

b. Penyidik menilai bahwa tindakan Kejaksaan Negeri Medan tersebut dalam mengadakan prapenuntutan seolah-olah mengada-ada. Dalam hal ini


(31)

penyidik mengalami kesullitan untuk memenuhi petunjuk-petunjuk dari Kejaksaan Negeri Medan tersebut.


(32)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun yang menjadi kesimpulan dari permasalahan dalam penelitian ini memberikan beberapa jawaban sebagai berikut:

1. Kejaksaan dalam melakukan tugas dan kewenangannya di bidang prapenuntutan, dituntut untuk bersikap independen. Tanpa indepedensi dari Kajaksaan maka akan sangat sulit mengharapkan indepedensi kekuasaan peradilan pidana. Dalam praktek peradilan pidana, meskipun hakim bebas, namun harus tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh penuntut umum. Hakim tidak boleh memutus apa yang tidak didakwakan oleh penuntut umum. Dalam perkembangannya telah beberapa kali memiliki payung hukum. Pada masa orde lama dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961, pada masa orde baru dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan sekarang berlaku Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Kedudukan Kejaksaan semakin mantap ketika masa orde lama bila dibanding dengan masa reformsi. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Pasal 1 ayat (1) ditegaskan bahwa Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Dalam Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 justru Kejaksaan menjadi lembaga eksekutif, padahal kalau dilihat kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan jelas kejaksaan melakukan kekuasaan di bidang yudikatif. Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa kekuasaan Kejaksaan


(33)

dilakukan secara merdeka, namun bila dikaitkan dengan kedudukan kejaksaan sebagai lembaga eksekutif maka suatu kemustahilan bila kejaksaan dapat menjaankan kekuasaan dan kewenangan dialakukan secara merdeka. Maka jelas bahwa kedudukan kejaksaan adalah sebagai lembaga eksekutif yang melakukan tugas dan wewenang di bidang yudikatif, sehingga sangat mustahil kejaksaan dalam menjalankan tugasnya benar-benar merdeka atau independen. 2. Kejaksaan Negeri Medan dalam melakukan prapenuntutan berdasarkan

kepada adanya kesenjangan dalam BAP dari penyidik yang oleh jaksa dianggap kurang sesuai dengan fakta di lapangan. Berdasrkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.901.DPW.07.03 tentang Pelaksanaan KUHAP dimana disebutkan bahwa dalam prapenentutan, penuntut umum setelah menerima berkas perkara penyidikan dari penyidik dan berpendapat bahwa hasil penyidikan itu dianggap belum lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikannya kepada penyidik disertai petunjuk seperlunya dan dalam hal ini penyidik harus segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum, dan apabila penuntut umum dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak mengembalikan hasil penyidikan tersebut, maka penyidikan dianggap selesai. Dasar hukumnya dalam KUHAP adalah Pasal 109 ayat (1) KUHAP, penyidik jika telah mulai melakukan penyidikan, penyidik memberitahukan kepada penuntut umum. Pasal 138 KUHAP, Kejaksaan harus mempelajari BAP dari penyidik selama 7 (tujuh) hari. Bila BAP tersebut belum lengkap, harus dikembalikan ke penyidik disertai dengan petunjuk-petunjuk selama 14 (empat belas) hari. Pasal 139


(34)

KUHAP, Kejaksaan segera menentukan apakah berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan misalnya didukung oleh alat-alat bukti yang cukup dengan mempedomi Pasal 183 yang menentukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

B. Saran

Adapun yang menjadi saran dari penelitian ini menggambarkan beberapa harapan yaitu:

1. Diharapkan kepada Pemerintah dan anggota DPR agar segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Alasannya adalah karena UU Kejaksaan ini menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga eksekutif. Jika institusi Kejaksaan ditempatkan sebagai bagian dari lembaga eksekutif, maka sangat mustahil kejaksaan dalam menjalankan tugasnya benar-benar merdeka atau independen. Seharusnya kedudukan Kejaksaan ditempatkan sebagai bagian dari lembaga yudikatif. 2. Diharapkan pula agar KUHAP juga secepatnya direvisi khususnya mengenai

rentang waktu 14 (empat belas) hari bagi penyidik untuk memperbaiki BAP karena penyidik dalam menemukan bukti-bukti sangat tidak dimungkinkan dapat dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari tersebut.


(35)

BAB II

KEDUDUKAN DAN WEWENANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

A. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Sebelum Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 1. Kedudukan Penuntut Umum Pada Masa HIR

Sewaktu pemerintahan jajahan Belanda mengundangkan IR (Inlandsch Reglement atau Reglemen Bumi Putra) dan RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie atau Reglemen Oraginsasi Peradilan). IR merumuskan antara lain merumuskan hukum acara pidana, sedangkan RO merumuskan badan penuntut umum pada pengadilan bumi putra maupun pengadilan golongan Eropa di Hindia Belanda.26

Setelah berkali-kali diubah dan ditambah, pada kahirnya tahun 1941, IR diganti menjadi HIR (Herziene Inlandsch Reglement atau Reglemen Bumi Putra yang Diperbaharui kemudian menjadi Reglemen Indonesia yang Diperbaharui). HIR mengatur hukum acara perdata dan hukum acara pidana untuk pengadilan-pengadilan bumi putra sedangkan jaksa (magistraat) pada pengadilan tersebut berada pada tangan resident atau asisten resident di kabupaten-kabupaten. Setiap

magistraat membawahi beberapa jaksa (bumi putra).

27

Menurut sistem HIR jaksa mempunyai tugas dan wewenang yang sangat menentukan (centralfigur) dalam pemeriksaan pendahuluan yang mencakup penyidikan (opsporing), penyidikan lanjutan (nasporing) dan melakukan

26

RM. Surachman., dan Andi Hamzah., Jaksa di Berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 30.


(36)

penuntutan. Pada masa ini jaksa diberi tugas dan wewenang selaku lembaga (badan atau dinas) negara yang dinamakan openbaar ministeire (badan penuntut umum) yang mempunyai tugas pokok antara lain:28

1. Mempertahankan segala peraturan negara;

2. Melakukan penuntutan terhadap segala tindak pidana; dan 3. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang.

Pemeriksaan pendahuluan merupakan pemeriksaan tahap penyidikan atau pemeriksaan sebelum dimajukan di depan persidangan pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan dimaksudkan sebagai persiapan pemeriksaan di muka pengadilan, dan atas dasar pemeriksaan ini suatu tuntutan yang diajukan akan diputus oleh hakim. Dalam stadium pertama ini sifatnya masih dalam mencari-cari dan meraba-raba segala sesuatu dilakukan merupakan usaha untuk memperoleh jawaban sementara atas pernyataan apakah telah terjadi kejahatan, dan jika demikian siapa pelakunya dan dalam keadaan bagaimana kejahatan itu dilakukan.

Terhadap perbuatan pidana tersebut diadakan tindakan penyidikan dan jika perlu diadakan penyidikan lanjutan, dalam hal ini dianggap sebagai bagian dari penyidikan dalam arti luas.

Tindakan pada pemeriksaan pendahuluan ini pertama-tama ditujukan pada pengumpulan alat-alat bukti. Alat-alat bukti yang dikumpulkan pertama-tama harus memungkinkan alat penuntutan, sehingga penuntutan umum dapat membentuk suatu permulaan keyakinan tentang hal-hal yang telah terjadi.

28

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dikenal HIR dan Rbg, dalam HIR Kejaksaan lebih terlihat sebagai perpanjangan tangan penguasa penjajah pada saat itu, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van


(37)

Beberapa wewenang penuntut umum menurut HIR adalah sebagai berikut:29

1. Berdasarkan Pasal 46 HIR sebagai pegawai penuntut umum pada pengadilan negeri, jaksa karena jabatannya bertugas mengusut dengan seksama, segala kejahatan dan pelanggaran serta menuntut agar si bersalah diadili oleh hakim;

2. Jika terdapat keterangan-keterangan yang cukup menunjukkan bahwa sitersangka itu bersalah sedangkan untuk kepentingan atau pemeriksaan perkaranya itu perlu ditahan, atau untuk menghindarkan ia akan mengulangi prerbuatannya itu, atau menjaga supaya ia tidak melarikan diri, maka jaksa dalam hal-hal tersebut berdasarkan Pasal 75 ayat (1) HIR dapat memerintahkan supaya tersangka itu ditahan;

3. Jaksa dapat dengan seijin hakim menggeledah rumah, bahkan dapat pula melakukan pemeriksaan surat-surat sesuai dengan Pasal 77 dan Pasal 78 HIR;

4. Dalam hal kedapatan tertangkap tangan, maka jaksa memerintahkan supaya orang yang diduga bersalah, agar ditahan dan dibawa kepadanya. Dan apabila dari keterangannya menunjukkan bahwa ia bersalah terhadap perbuatannya itu jaksa diperbolehkan mengadakan penahanan sementara, yang selanjutnya mengeluarkan perintah penahanan sementara demikian menurut ketentuan Pasal 64 HIR;

5. Berdasarkan Pasal 53 HIR pejabat kepolisian yang melakukan penyidikan bertindak sebagai pembantu jaksa (hulp magistraat), sehingga apabila antara polisi dan jaksa bersamaan mengusut perkara, maka polisi menghentikan penyidikannya dan diserahkan ke jaksa.

Bila jaksa berpendapat bahwa hasil penyidikan perkara telah lengkap, maka ia memutuskan apakah ia menyimpangkan perkara (mendeponer) atau menuntut perkara itu dihadapan pengadilan. Dalam hal akan melakukan penuntutan maka dikirimnya berkas perkara itu kepada ketua Pengadilan Negeri setempat.

Pada waktu berlakunya HIR khususnya di Jawa dan Madura (untuk luar jawa berlaku Rbg) kedudukan jaksa hanya sebagai adjust magistraat sedangkan

29


(38)

penuntut umumnya magistraat tetap di tangan asisten resident. Sikap dan praktek demikian tidak lepas dari latar belakang kolonialisme pada masa lalu.

2. Kedudukan Penuntut Umum Pada Masa Pemerintahan Jepang

Setelah Jepang berkuasa di Indonesia, maka dengan ditawannya semua pegawai-pegawai Belanda, termasuk Asisten Residen, maka semua pekerjaan Asisten Residen di bidang penuntutan oleh pemerintah tentara Jepang diserahkan kepada jaksa dengan pangkat Thio Kensatsukan (Kepala Kejaksaan Pengadilan Negeri). Pada masa ini, Kejaksaan diberi kekuasaan ditugaskan untuk:30

1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran; 2. Menuntut perkara;

3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal; dan

4. Mengurus pekerjaan lain-lain yang wajib dilaksanakan menurut hukum. Pada masa pendudukan Jepang tersebut, alat penuntut umum magistraat

dan officier van justitie (pada masa kolonial dan HIR) ditiadakan. Akan tetapi tugas dan wewenang para Jaksa dibebankan pada penuntut umum bumi putra di bawah pengawasan Kepala Kantor Kejaksaan bersangkutan, seorang Jaksa Jepang. Dengan demikian Jaksa merupakan satu-satunya penuntut umum.

Seluruh Kejaksaan mula-mula ada di bawah perintah dan koordinasi

Sihoobucoo (Direktur Departemen Kehakiman) dan kemudian Cianbucoo

(Direktur Keamanan) dan untuk tingkat pusat disebut Gunseikanbu dan untuk tingkat daerah di kantor-kantor keresidenan disebuti Syuu.31

30

RM. Surachman., dan Andi Hamzah., Op. cit, hal. 40. dan Marwan Effendy., Op. cit, hal 65.


(39)

Sejak saat itu maka para jaksa telah benar-benar menjadi penuntut umum, dengan penentuan tugas untuk mencari kejahatan (pegawai penyidik), menuntut perkara (pegawai penuntut) dan menjalankan putusan hakim.

Keadaan demikian pada masa kedudukan Jepang merupakan suatu perkembangan yang sangat berarti. Oleh karena jabatan Asisten Residen dihapuskan, sehingga berakibat jaksa di daerah-daerah tidak lagi di bawah pemerintah langsung residen atau asisten residen tetapi melalui Kepala Kejaksaan Pengadilan stempat yang bertanggung jawab kepada Cianbucoo (Direktur Kemanan).

3. Kedudukan Penuntut Umum Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dalam sisitem ketatanegaraan dapat dilihat sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan negara Indonesia melalui beberapa fase.

Pada masa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan mengenai kedudukan Kejaksaan dalam struktur negara Republik Indonesia dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Ini berarti bahwa secara yurudis formal Kejaksaan Republik Indonesia sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

Kedudukan Kejaksaan dalam struktur kenegaraan adalah selaku alat kekuasaan eksekutif dalam bidang yustisial yang sudah berakar sejak jaman kerajaan Majapahit, Mataram, Cirebon, serta pada masa penjajahan baik pada


(40)

pendudukan pemerintah Hindia Belanda maupun pada masa Jepang berkuasa di Indonesia.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, istilah Kejaksaan dipergunakan secara resmi melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 tentang Balatentara Pendudukan Jepang, yang kemudian diganti dengan undang-undang Osamu Seirei

Nomor 3 Tahun 1942, Nomor 2 Tahun 1944, dan Nomor 49 Tahun 1944. Peraturan tersebut tetap dipergunakan dalam negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945.32

Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan peraturan peralihan UUD 1945 jo Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, ketentuan yang digariskan dalam

Osamu Seirei Nomor 3 Tahun 1942 menegaskan bahwa jaksa yang menjadi satu-satunya pejabat penuntut umum tetap berlaku di negara Republik Indonesia setelah proklamasi.

Pada intinya bahwa kedudukan penuntut umum setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia adalah sama dengan kedudukannya di jaman Hindia Belanda dan kedudukan Jepang. Dengan berdasarkan Pada II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menetapkan berlakunya ketentuan Undang-Undang maupun peraturan pemerintah lain sebelumnya.


(41)

B. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1961 diundangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indoneia yang pada prinsipnya secara yuridis disebutkan bahwa fungsi penegakan hukum oleh kejaksaan tidak mengalami perubahan. Pengaturannya sama saja pengaturan Kejaksaan setelah Indonesia merdeka.

Menurut undang-undnag pokok kejaksaan tersebut, kejaksaan selain bertugas melakukan penuntutan juga berwenang mengadakan penyidikan tambahan atau lanjutan serta melakukan pengawasan dan koordinasi terhadap alat-alat penyidik demikian ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 disebutkan, ”Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara.”

Pada Pasal 1 ayat (1) ditentukan bahwa, ”Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah alat negara yang terutama bertugas sebagai penuntut umum.”

Adapun untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 tersebut, kejaksaan mempunyai tugas antara lain disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (4), disebutkan bahwa:

Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1, Kejaksaan mempunyai tugas:


(42)

(1) Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada Pengadilan yang berwenang dan Menjalankan keputusan dan penetapan Hakim Pidana;

(2) Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara;

(3) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara; dan

(4) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan Negara.

Pada ayat (2) disebutkan bahwa jaksa berwenang mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan dengan alat-alat penyidik, menurut ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana (waktu itu yang berlaku HIR) dan lain-lain peraturan Negara.

Pada ayat (3) ditentukan tugas Kejaksaan untuk mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Sedangkan pada ayat (4) ditentukan bahwa untuk melaksanakan tugas-tugas khusus lainnya yang diberikan kepadanya oleh sesuatu peraturan negara.

Mengenai tugas yang disebutkan pada pasal 2 ayat (2) di atas, penjelasan outentik undang-undang tersebut (TLN 2289) mengatakan bahwa:33

”Untuk kesempurnaan tugas penuntutan jaksa perlu sekali mengetahui sejelas-sejelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam bidang penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai dengan akhir, yang seluruhnya harus dilakukan atas dasar hukum. Hal ini ialah pada akhirnya segala tindakan petugas-petugas yang melakukan penyidikan adalah benar-benar berdasarkan hukum, akan diminta pertanggung jawabannya semua perlakuan terhadap terdakwa itu dari mula-mula terdakwa disidik, kemudian diperiksa perkaranya, lalu ditahan dan akhirnya apakah tuntutan-tuntutannya yang dilakukan oleh jaksa itu sah dan benar atau

33


(43)

tidak menurut hukum, sehingga benar-benar perasaan keadilan masyarakat dipenuhi. Demikianlah dapat dipahami pentingnya tidnakan jaksa dalam mengurus sesuatu perkara pidana dari sejak permulaan perkara itu diungkap sampai pada akhir pemeriksaan perkara itu, demi kepentingan hukum pihak-pihak yang bersangkutan. Maka untuk baiknya perkerjaan jaksa perlu sekali ikut serta mengawasi dan mengkoordinasikan penyidikan yang dilakukan oleh alat-alat penyidik untuk memperlancar penyelesaian perkara itu.”

Telah disebutkan sebelumnya, bahwa tugas kejaksaan yang terutama adalah melakukan penuntutan di bidang peradilan pidana. Untuk mencapai kesempurnaan penyelesaian suatu perkara pidana baik mengenai perkaranya sendiri maupun mengenai cara-cara penyelesaiannya ataupun untuk kepentingan hukum orang yang kena perkara yang merupakan pedoman bagi para pejabat dalam mengerjakan perkara itu, maka jaksa perlu campur tangan di dalam segala tindakan penyelesaian perkara dari mula-mula perkara itu diungkap.

Jelasnya untuk kesempurnaan pemeriksaan perkara dalam keseluruhannya yang pada hakekatnya ditunjuk pada pekerjaan penuntutan perkara itu di sidang pengadilan, hal tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, jaksa diberi wewenang di bidang penyidikan.

Selanjutnya Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan tersebut pada ayat (1) ditentukan ”Jaksa Agung adalah penuntut umum tertinggi.” Pada ayat (2) ditentukan bahwa untuk kepentingan penuntutan perkara Jaksa Agung dan jaksa-jaksa lainnya dalam daerah hukumnya memberi petunjuk mengkoordinasikan dan mengawasi alat-alat penyidik dengan mengindahkan hirarki.


(44)

Penjelasan Otentik dari Pasal 7 di atas, khususnya mengenai ayat (2) berbunyi sebagai:34

C. Kedudukan Penuntut Umum Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP

”Penyidikan adalah sebenarnya merupakan tugas kehakiman (justitie taak). Pekerjaan mempunyai segi-segi yuridis, oleh karena kseluruhan pekerjaan penyidikan ini ditujukan kepada pekerjaan pada sidang pengadilan. Dalam hubungan ini dimana pada akhirnya jaksa yang menurut Undang-Undang harus mempertanggungjawabkan seluruh pekerjaan penyidikan perkara ini maka sudah sewajarnyalah bahwa jaksa dibebani pengawasan dan koordinasi alat-alat penyidik, demi kepentingan orang-orang yang kena perkara.”

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tersebut beserta penjelasannya menyebutkan bahwa, tugas kejaksaan terutama adalah penuntut di bidang pidana. Di samping itu untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana dalam keseluruhannya yang pada hakekatnya ditujukan kepada pekerjaan penuntutan, maka jaksa juga mempunyai wewenang di bidang penyidikan.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 yang menggantikan HIR menyebutkan bahwa tugas dan kewajiban jaksa ditentukan lain. Setelah berlakunya KUHAP terdapat pembagian tahapan tugas Kejaksaan yakni tahap prapenuntutan dan tahap penuntutan. Tetapi KUHAP sendiri memuat kedua tahap ini dalam Bab Penuntutan yakni terdapat pada Bab XV.35

34

Ibid, hal. 684.


(45)

KUHAP mengenal tahap prapenuntutan, dimana KUHAP memperkenalkan tahapan sejak penuntut umum menerima BAP dari penyidik. Dalam waktu 7 (tujuh) hari Jaksa yang memeriksa BAP harus menentukan apakah BAP tersebut sudah lengkap atau belum. Lengkap, maksudnya adalah bahwa bukti-bukti dalam BAP cukup dan BAP tersebut juga disusun berdasarkan ketentuan KUHAP. Kalau penuntut umum berpendapat BAP itu belum lengkap, Kejaksaan harus mengembalikan kepada penyidik disertai dengan petunjuk-petunjuk.36

Dalam waktu 14 (empat belas) hari penyidik harus menyelesaikan penyidikan tambahan itu sesuai dengan petunjuk-petunjuk penuntut penuntut umum.37

Sebaliknya, berkas perkara dianggap sudah lengkap apabila sejak penyerahan BAP tersebut, penuntut umum tidak mengembalikannya kepada penyidik.38

Berdasarkan bunyi beberapa pasal tersebut di atas, menunjukkan bahwa dalam KUHAP tersebut terdapat perubahan fundamental mengenai tugas-tugas Kejaksaan. Bila dalam perundang-undangan yang lama (HIR), jaksa atau penuntut umum bertugas sebagai penyidik, maka di dalam KUHAP berdasarkan Pasal 1 butir 7 tugas kejaksaan adalah dalam bidang penuntutan saja yaitu melimpahkan perkara pidana ke pengadilann negeri yang berwenang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Sedangkan menurut butir

36

Pasal 110 ayat (2) junto Pasal 138, KUHAP. 37


(46)

6 huruf a dan b pasal tersebut jaksa melaksanakan keputusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan melaksankan penetapan hakim.

Penuntut umum tidak ditunjuk lagi sebagai pegawai penyidik oleh karena itu tugas penyidikan diserahan sepenuhnya kepada Kepolisian Negara sepanjang yang tidak menyangkut tindak pidana khusus.

Pasal 137 menyatakan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang.

Menurut KUHAP penuntutan adalah tindakan untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus hakim di sidang pengadilan, sedangkan mengenai wewenang penuntut umum diatur dalam Pasal 14 KUHAP.

Dalam rangka persiapan tindakan penuntut dapat diperinci mengenai tugas dan wewenang dari Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut antara lain:39

a. Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jaksa menerima pemberitahuan dari penyidik atau penyidik PNS dan penyidik pembantu dalam hal telah dimulai penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana.

b. Berdasarkan pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik dalam hal telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan bekas perkara pada penuntut umum. Selanjutnya apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 138 ayat (1) KUHAP penuntut umum segera mempelajari dan meneliti dapat dilihat dibawah ini :

1. Mempelajari yang diperiksa adalah apakah tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka telah memenuhi unsur-unsur dan telah memenuhi syarat pembuktian. Jadi yang diperiksa adalah materi perkaranya.


(47)

2. Meneliti yang diperiksa adalah apaklah semua persyaratan formal telah dipenuhi oleh penyidik dalam membuat berkas perkara.

c. Mengadakan Prapenuntutan sesuai pasal 14 huruf b KUHAP dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) serta ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Dalam hal ini penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai petunjuk penuntut umum tersebut sesuai Pasal 110 ayat (2) dan (3) KUHAP

d. Menurut ketentuan Pasal 139 KUHAP, jaksa menentukan sikap apakah suatu berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan.

e. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku penuntut umum sesuai Pasal 14 huruf I KUHAP. Menurut Penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan melihat secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan.

f. Berdasarkan Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyelidikan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntutan umum secepatnya membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara ke pengadilan untuk diadili.

g. Berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP, penuntut umum dapat memutuskan menghentikan penuntutan dikarenakan tidak terdapat cukup bukti, peristiwanya bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum menuangkan hal itu dalam Surat Ketetapan. Isi surat tersebut diberitahukan kepada tersangka dan apabila ditahan tersangka harus segera dikeluarkan. Turunnya wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarganya, penasehat hukum, pejabat RUTAN, penyidik dan hakim. Bila kemudian ditemukan alasan baru, penuntut umum dapat menuntut tersangka.

Wewenang mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum adalah merupakan perwujudan dari asas opportunitas yang dianut oleh hukum positif Negara Indonesia dan hanya Jaksa Agung adalah satu-satunya pejabat yang berwewenang melakukannya. Sedangkan perkara ditutup demi hukum adalah merupakah salah satu kewenangan penuntut umum tersebut dalam Pasal 14 KUHAP hal ini dilakukan karena Nebis In Idem atau terdakwanya meninggal


(48)

dunia atau kadaluarsa. Dasar hukumnya terdapat pada Pasal 140 ayat (2) Pedoman Pelaksanaan KUHAP.40

Untuk menjamin kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan asas opportunitas, Jaksa Agung menuangkannya dalam penetapan atau keputusan yang salinannya diberikan kepada yang dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum, terhadap perkara yang dikesampingkan ini penuntut umum tidak berwenang.

Terhadap perkara yang ditutup demi hukum tidak menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka bilamana kemudian didapatkan alasan baru.

41

Kenyataan undang-undang di Indonesia menunjukkan, yakni terdapat pada penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP dan Pasal 32 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), secara tegas mengakui eksistensi dari perwujudan asas opportunitas, yaitu kepada Jaksa Agung selaku penuntut umum yang tertinggi berdasarkan pada keadaan-keadaan yang nyata untuk tidak menuntut suatu perkara pidana dimuka persidangan pengadilan pidana agar kepentingan umum tidak dirugikan. Sehingga satu-satunya pejabat yang diberi wewenang melaksanakan asas opportunitas adalah Jaksa Agung selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang

40

Andi Hamzah., Loc. cit, hal. 166, dan Pedoman Pelaksanaan KUHAP dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Cetakan II, hal. 88.

41

Jaksa Agung jarang sekali melakukan wewenang mengesampingkan perkara, kalau Jaksa Agung menggunakan kewenangan itu, harus berkonsultasi lebih dahulu dengan Menteri Kehakiman atau Menteri Pertahanan dan Kemanan. Sedangkan dalam perkara-perkara tertentu, Jaksa Agung harus meminta persetujuan Presiden Republik Indonesia. RM. Surachman., Op. cit,


(49)

mengendalikan tugas dan wewenang kejaksaan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan.

D. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Untuk mengetahui kedudukan dan wewenang Kejaksaan, dalam UU Kejaksaan ada baiknya bila dikemukakan terlebih dahulu sistematiknya.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) terdiri dari 6 Bab dan 36 pasal dengan sistematikanya sebagai berikut:

a. Bab I: ketentuan umum terdiri dari 4 pasal, dibagi dalam 3 bagian, yaitu: (1) Bagian pertama, mengenai pengertian (Pasal 1);

(2) Bagian kedua, mengenai pengertian (Pasal 2 dan Pasl 3); dan (3) Bagian ketiga, mengenai tempat kedudukan (Pasal 4).

b. Bab II: Susunan Kejaksaan, terdiri dari 22 Pasal dibagi dalam 5 bagian, yaitu: (1) Bagian pertama, mengenai umum (Pasal 5, 6, dan 7);

(2) Bagian kedua, mengenai Jaksa (Pasal 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, dan 17);

(3) Bagian ketiga, mengenai Jaksa Agung Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Muda (Pasal 18, 19, 20, 21, dan 22);

(4) Bagian keempat, mengenai Kepala Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala Kejaksaan tinggi, Kepala Kejaksaan Negeri dan Pasal Cabang Kejaksaan Negeri (Pasal 23, 24 dan 25); dan

(5) Bagian kelima, mengenai Tenaga Ahli dan Tenaga Tata Usaha (Pasal 26). c. Bab III: Tugas dan wewenang, terdiri dari 7 pasal, dibagi dalam 2 bagian,

yaitu:

(1) Bagian pertama, mengenai umum (Pasal 27, 28, 30 dan 31); (2) Bagian kedua, mengenai khusus (Pasal 32 dan 33);

d. Bab IV: Ketentuan Peralihan terdiri dari 1 pasal yaitu Pasal 34.

e. Bab V: Ketentuan Penutup terdiri dari 2 pasal yaitu Pasal 35 dan Pasal 26. Berdasarkan sistematika UU Kejaksaan tersebut di atas, jelas tergambar Kejaksaan dimaksudkan untuk memantapkan kedudukan serta peranan kejaksaan


(50)

sebagai penuntut umum dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara, ketertiban dan ketenteraman umum.

Dalam UU Kejaksaan tepat pada Pasal 1 butir 1 ditentukan bahwa, ”Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Selanjutnya dalam butir 2 disebutkan, ”Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”

Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang sangat luas, yaitu dalam bidang pidana, perdata dan tata usaha negara serta dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum. Di samping itu Kejaksaan dapat juga diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang seperti pada Pasal 30 sebagai Jaksa Pengacara Negara dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

Tugas pokok Kejaksaan berdasarkan UU Kejaksaan tersebut adalah melakukan penuntutan. Pasal 1 ayat (3) UU Kejaksaan menyebutkan dengan tegas makna penuntutan tersebut yaitu, ”Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”

Jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan, sedangkan penuntut umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan.


(51)

Sejak berlakunya KUHAP dan UU Kejaksaan, jaksa atau penuntut umum tidak berwenang melakukan penyidikan karena hal tersebut merupakan kewenangan dari Kepolisian dan Pegawai Negri Sipil tertentu. Oleh sebab itu, mengenai penuntutan ini, negara Indonesia menganut sistem tertutup artinya tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan penyidikan meskipun dalam arti insidental dalam perkara-perkara berat khususnya dari segi pembuktian dan masalah teknik yuridisnya.42

Akan tetapi jika dihubungkan dengan beberapa ketentuan dalam beberapa perundang-undangan yang ada seperti Pasal 284 ayat (2) KUHAP, Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, maka terhadap perkara-perkara khususnya tindak pidana ekonomi (Undang-Undang Nomor 7 drt Tahun tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi) dan Tindak Pidana Korupsi, masih menggunakan bahwa penyidikan dilakukan oleh Kejaksaan.43

1. Tugas dan Wewenang Bagian Pertama

Lebih luas lagi mengenai tugas dan wewenang kejaksaan dapat dilihat dari bab III yang dibagi menjadi dua yaitu, bagian pertama bersifat umum dan bagian kedua bersifat khusus.

Dalam Pasal 27 ayat (1) UU Kejaksaan menentukan bahwa, di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

Komperasi pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan secara normatif dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dalam UU Kejaksaan berikut:

42


(52)

Pasal 30

(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:44 a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang;

44

Dalam penjelasa Pasal 30 ayat (1) huruf a, dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.

Penjelasan dalam huruf b, dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.

Penjelasan dalam huruf c, yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang pemasyarakatan.

Penjelasan dalam huruf d, kewewenangan dalam ketentuan ini adalah kewewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penjelasan dalam huruf e, untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Tidak dilakukan terhadap tersangka;

2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara;

3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;


(53)

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

Dalam Pasal 31 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkab oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri.

Lalu dalam Pasal 32 UU Kejaksaan tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenag lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya


(1)

ABSTRAK

Daniel S. Barus

* Mahasiswa Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara. ** Dosen Pembimbing I.

*** Dosen Pembimbing II.

Abul Khair, SH, M.Hum**

Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum***

Kedudukan lembaga kejaksaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan. Di samping kewenangan melakukan penuntutan, oleh undang-undang juga diberi kewenangan melakukan prapenuntutan. Kedudukan Kejaksaan ini sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana masuk ke pengadilan adalah tergantung sepenuhnya oleh Kejaksaan.

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas penulis menemukan permasalahan menarik, yaitu bagaimanakah kedudukan dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Sistem Peradilan Pidana? Dan apakah dasar pertimbangan jaksa dalam melakukan prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Medan?

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, metode pendekatannya adalah yuridis normatif yang di dukung oleh yuridis empiris. Tahap penelitian berupa studi kepustakaan dan wawancara, data dianalisis secara yuridis kualitatif. Dasar pertimbangan jaksa dalam melakukan pranpenuntutan di Kejaksaan Negeri Medan mengacu kepada hukum positif yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, HIR, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perundang-undangan tersebut dikaitkan dengan penerapan mengenai prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Medan.

Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah Pertama, Kejaksaan dalam melakukan prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Medan dituntut untuk bersikap independen. Tanpa indepedensi dari Kejaksaan maka akan sangat sulit mengharapkan indepedensi kekuasaan peradilan pidana. Dalam praktek peradilan pidana, meskipun hakim bebas, namun harus tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh penuntut umum. Kedua, Kejaksaan Negeri Medan dalam melakukan prapenuntutan berdasarkan kepada adanya kesenjangan dalam BAP dari penyidik yang oleh jaksa dianggap kurang sesuai dengan fakta di lapangan.

Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan agar KUHAP direvisi khususnya mengenai rentang waktu 14 (empat belas) hari bagi penyidik untuk memperbaiki BAP karena penyidik dalam menemukan bukti-bukti sangat tidak dimungkinkan dapat dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari tersebut.

Kata kunci : Prapenuntutan, Penyidik, Berita Acara Pemeriksaan (BAP, Kejaksaan.


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kebaikan, penyertaan, berkat, dan kasih karunia-Nya yang dirasakan oleh penulis sejak mengikuti proses perkuliahan sampai kepada proses penulisan skripsi, sehingga penulis dapat merampungkan penulisan skripsi ini.

Skripsi merupakan salah satu syarat bagi mahasiswa pada umumnya dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada khususnya guna memperoleh gelar Sarjana Hukum. Penulis menulis judul “Dasar Hukum Pertimbangan Jaksa Dalam Melakukan Prapenuntutan Di Kejaksaaan Negeri Medan”, untuk dituangkan ke dalam tulisan (skripsi).

Dalam Proses penulisan skripsi ini penulis merasakan banyak bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak, baik itu berupa perhatian, dorongan, bimbingan, kritik dan saran. Untuk itu penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Abul Khair, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana dan Dosen Pembimbing I.

3. Ibu Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II. 4. Ibu Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen Wali

5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak M. Husni, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Erwin Adhanto SH.

8. Kakak dan adik-adikku, terima kasih atas dukungan kalian selama ini dan selalu menghibur saya.

9. Sahabat-sahabat ku yang tercinta yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini (Roy, Denny Kurnia, Abram SH, Arief Kurniawan SH).


(3)

Khususnya kepada kedua orangtuaku yang tercinta ( H. Barus, SH dan Y. Purba) dan juga saudara-saudaraku yang terkasih.

Akhir kata penulis kembali mengucapkan puji syukur ke hadirat-Nya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, April 2010


(4)

(5)

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Keaslian Penelitian ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

F. Metode Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II : KEDUDUKAN DAN WEWENANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ... 22

A. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Sebelum Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ... 22

1. Kedudukan Penuntut Umum Pada Masa HIR ... 22

2. Kedudukan Penuntut Umum Pada Masa Pemerintahan Jepang ... 25

3. Keududkan Penuntut Umum Setelah Proklamasi Kemerdekaan ... 26

B. Kedudukan dan Wewenang Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia ... 28

C. Kedudukan Penuntut Umum Menurut Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP ... 31

D. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia ... 36

1. Tugas dan Wewenang Bagian Pertama ... 38

2. Tugas dan Wewenang Bagian Kedua ... 41

3. Kekuasaan Penuntut Umum Pada Tingkat Persiapan Penuntutan ... 43

4. Hubungan Penyidik dan Penuntut Umum Dalam Prapenuntutan ... 46

BAB III : DASAR PERTIMBANGAN JAKSA DALAM MELAKUKAN PRAPENUNTUTAN DI KEJAKSAAN NEGERI MEDAN ... 51

A. Proses Penyelesaian Perkara Pidana Sejak Diserahkan oleh Penyidik Kepada Penuntut Umum Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ... 51

1. Tahap Menerima Pemberitahuan Telah Dimulainya Penyidikan Oleh Penyidik ... 52


(6)

2. Tahap Menerima Penyerahan Berita Acara Pemeriksaan 57 B. Dasar Hukum Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum Dalam

Melakukan Prapenuntutan ... 69

C. Kendala-Kendala Dalam Prapenuntutan ... 77

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. Kesimpulan... 80

B. Saran ... 82