Latar Belakang Dasar Hukum Pertimbangan Jaksa Dalam Melakukan Prapenuntutan Di Kejaksaan Negeri Medan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum merupakan suatu sistem yang dapat berperan dengan baik dan tidak pasif dimana hukum mampu dipakai di tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, L.M. Friedman, menyebutkan bahwa: 1 Pada hakikatnya eksistensi Kejaksaan dalam proses penegakan hukum di Indonesia adalah untuk mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi pencari keadilan. “Hukum tersusun dari sub sistem hukum yang berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, sementara budaya hukum menyangkut perilaku masyarakatnya.” 2 Hal tersebut sejalan dengan yang disebutkan oleh Mochtar Kusumaatmadja mengenai tujuan hukum dimana menurutnya bahwa: 3 “Tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban order. Tujuan ini sejalan dengan fungsi utama hukum yang mengatur. Ketertiban merupakan syarat mendasar yang sangat dibutuhkan oleh 1 L.M. Friedman, The Legal System; A Social Science Persfective, New York, Russel Sage Foundation, 1975, hal. 11. 2 Marwan Effendy., Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 151. 3 Mochtar Kusumaatmadja., Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun, hal. 2-3. Universitas Sumatera Utara masyarakat. Ketertiban benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat manusia yang nyata dan objektif.” Sementara itu, para penganut paradigma hukum alam berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ”keadilan”. 4 Dalam perkembangan dan kenyataannya, keadilan bukan satu-satunya istilah yang digunakan untuk menunjukkan tujuan hukum. Dalam suatu negara hukum modern welfare state tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ”kesejahteraan”. 5 Berkenaan dengan tujuan hukum, Mochtar Kusumaatmadja juga menyebutkan bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Di samping itu, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda- beda isi dan ukurannya menurut masyarakat yang dijelmakan olehnya, manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di lingkungan masyarakat temapat ia hidup. 6 Tujuan hukum menurut B. Arief Sidharta, 7 Dalam pengertian lain, tujuan hukum tersebut, ditempatkan ke dalam ajaran hukum sebagai pandangan legalisme logische geschlossenheit yang menitikberatkan pada keadilan, pandangan fungsionil functionele rechtsleer merupakan cita hukum bangsa Indonesia yang berakar dalam Pancasila, yang dinyatakan dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan falsafah dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi negara. 4 Menurut teori etis etische theory, hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya “Ethica Nicomachea” dan “Rhetorika”, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas suci, yaitu memberi kepada setiap oarang yang ia berhak menerimanya. E. Utrecht., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975, hal. 20. 5 Mochtar Kusumaatmadja., Op. cit. 6 Ibid, hal. 6-7. 7 B. Arief Sidharta., ”Cita Hukum Pancasila”, Lembaran Diktat Kuliah Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2003, hal. 1-2. Universitas Sumatera Utara yang menitikberatkan pada kemanfaatan dan pandangan yang kritis gesellschatsgebunden yang menitikberatkan pada kepastian hukum. 8 Dengan eksistensi Kejaksaan, menunjukkan bahwa, keberadaan Negeri Republik Indonesia sebagai Negara hukum. Negara hukum yang dimaksudkan bukanlah sekedar Negara hukum dalam artian formal. Akan tetapi menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah Negara hukum dalam artian lebih luas. Yaitu negara hukum dalam arti materil yang berarti hukum ditinjau dari segi isinya, yang dalam pelaksanaannya haruslah mempertimbangkan dua kepentingan yaitu manfaat hukum doelmatigheid dan kepastian hukum rechmatigheid. Sehubungan dengan itu, maka dapat dipastikan bahwa pada hakikat terhadap Hukum selalu berubah-ubah sesuai mengikuti perkembangan masyarakat tertentu. Perubahan yang terjadi pada masyarakat itu disebut perubahan sosial. Dengan perubahan sosial, menyebabkan hukum pun harus dirubah sesuai dengan keadaan yang sepatutnya. Perubahan undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, yang sekarang berubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya dalam penelitian ini disebut UU Kejaksaan mengatur tugas dan wewenang jaksa sebagai penuntut umum diarahkan dan dimaksudkan untuk memantapkan kedudukan dan peranan kejaksaaan agar lebih berwibawa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam Negara hukum yang berdasarkan Pancasila, sebagai Negara yang sedang membangun. 8 Marwan Effendy., Op. cit, hal. 154. Universitas Sumatera Utara eksistensi Kejaksaan dalam proses penegakan hukum dalam melakukan penuntutan terhadap perkara-perkara pidana di Indonesia adalah untuk mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi pencari keadilan. 9 Hukum dan penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, merupakan sebahagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapakan. 10 Dalam UU Kejaksaan menetapkan kedudukan, organsiasi, jabatan, tugas dan wewenang Kejaksaan. Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah kekuasaan Negara di bidang penuntutan. Salah satu tugas dan wewenang Kejaksaan itu adalah kewenangannya dalam prapenuntutan. Pengaturan mengenai prapenuntutan tidak ditemukan di dalam pasal-pasal UU Kejaksaan akan tetapi secara tersirat, istilah prapenuntutan tersebut terangkum dalam Pasal 30 ayat 1 huruf e UU Dalam melakukan penegakan hukum tersebut, maka perlu kiranya mendudukkan Kejaksaan Republik Indonesia secara proporsional agar mandiri dan independen dalam melakukan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu, penegakan hukum dilaksanakan secara tegas, lugas dan manusiawi didasari oleh asas keadilan dan kebenaran dalam rangka mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum. Karenanya dituntut adanya kerja sama yang baik antara penegak hukum dalam melakukan prapenuntutan antara peuntut Kejaksaan dengan penyidikpenyelidik Kepolisian. 9 Ibid, hal. 151. 10 Soerjono Soekanto., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1983, hal. 5. Universitas Sumatera Utara Kejaksaan dimana disebutkan bahwa, ”Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang, melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.” Namun, dalam penjelasan Pasal 30 ayat 1 huruf a UU Kejaksaan terdapat istilah prapenuntutan, selengkapnya berbunyi: ”Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.” Kemudian, penjelasan dalam Pasal 30 ayat 1 huruf e UU Kejaksaan tersebut, dipertegas mengenai prapenuntutan itu, dengan kalimat ”melengkapi berkas perkara”, selengkapnya disebutkan bahwa: Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1 Tidak dilakukan terhadap tersangka; 2 Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, danatau dapat meresahkan masyarakat, danatau yang dapat membahayakan keselamatan negara; 3 Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 empat belas hari setelah diselesaikan ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat 2 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; dan 4 Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik. Dapat dipahami bahwa, prapenuntutan menurut Pasal 30 UU Kejaksaan itu adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan berkas perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan permintaan supaya perkara tersebut oleh hakim diperiksa di sidang pengadilan. Universitas Sumatera Utara Sedangkan dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, dikenal istilah prapenuntutan ini, sebagaimana bunyinya adalah ”Penuntut umum mempunyai wewenang, mengadakan prapenuntutan apabila ada kekuranagn pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat 3 dan ayat 4, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.” Dalam hal penyidik telah memulai melakukan penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik dalam hal ini memberitahukan kepada penuntut umum. Kemudian pengaturan mengenai prapenuntutan itu, juga terdapat pengaturannya dalam Pasal 109, Pasal 110, Pasal 137, Pasal 138, Pasal 139, dan Pasal 144 KUHAP. Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik yang dibuat dalam Berita Acara Penyidikan BAP wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. Jika penuntut umum setelah memeriksa BAP tersebut merasa perlu dan sesuai dengan ketentuan Pasal 138 ayat 1 dan ayat 2 harus mengembalikan BAP tersebut selambat-lambatnya 14 empat belas hari setelah dinyatakan penuntut bahwa BAP tersebut tidak lengkap. Sedangkan ketentuan di dalam Pasal 144 KUHAP disebutkan bahwa penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan, pengubahan itu dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai. Universitas Sumatera Utara Hal tersebut berbeda dengan yang dikatakan Herbet, bahwa ketika ditanyakan berapa lama prapenuntutan itu dilakukan karena BAP tidak lengkap? Herbet menjawab selama 7 tujuh hari. 11 1. Berdasarkan Pasal 109 ayat 1 KUHAP penyidik memberitahukan kepada penuntut umum dalam hal penyidikan telah mulai melakukan penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana. Berkenaan dengan itu, hubungan antara penyidikan dan penuntutan akan lebih jelas lagi apabila dikaitkan dengan ketetntuan Pasal 139 KUHAP yang menentukan bahwa, ”Setelah penuntut menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.” berdasarkan pasal ini, Kejaksaan sangat menentukan apakah berkas perkara sudah dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Adanya kaitan erat antara penyidik dan penuntut umum sebagai pelaksana penegakan hukum mengenai prapenuntutan ini menurut KUHAP antara lain dapat ditonjolkan dalam beberapa hal sebagai berikut: 2. Bilamana dikaitkan dengan ketentuan pasal 137 KUHAP maka penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Materi Pasal 137 tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa penuntut umum ditetapkan oleh peraturan perundangan dengan memindah dan menuntut segala perbuatan 11 Hasil wawancara dengan Pak Herbet, SH Kasubsipratut Kejaksaan Negeri Medan pada hari Selasa, Tanggal 16 Maret 2010. Universitas Sumatera Utara yang tergolong tindak pidana. Dengan demikian penuntutan umum adalah satu-satunya alat Negara yang berwenang melakukan penuntutan. Berdasarkan uraian diatas, nyatalah hubungan antara penyidikan dengan penuntutan, karena hasil penyidikan merupakan dasar bagi penyusunan surat dakwaan. Kebenaran bagi hasil penyidikan menjadi dasar bagi penyusunan surat dakwaan oleh Kejaksaan. Hal ini juga membawa konsekuensi logis yaitu merupakan suatu kewajiban mutlak bagi penuntut umum untuk senantiasa mengikuti perkembangan setiap pemeriksaan yang dilakukan penyidik dalam hal seorang disangka melakukan tindak pidana. Apabila penyidikan telah selesai maka penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Jika setelah menerima hasil penyidikan penuntut umum menilai masih kurang lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikan berkas itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang diberikan penuntut umum, dan penyidik wajib segera menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum apabla sudah lengkap. Pengembalian BAP yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Medan adalah untuk memenuhi kesempurnaan dalam pembuatan BAP karena BAP merupakan faktor penentu dalam penuntutan. Akan tetapi apabila hasil dari BAP tersebut tidak lengkap akan menimbulkan konsekwensi berupa dibebaskannya terdakwa dari dakwaan. Tentunya harus ada kerja sama antara penyidik dengan jaksa Universitas Sumatera Utara penelitipenuntut umum, sehingga apa yang dimaksudkan dalam penuntutan menjadi terlaksana. Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk memilih dan meneliti mengenai, ”Dasar Pertimbangan Jaksa Dalam Melakukan Prapenuntutan Di Kejaksaan Negeri Medan”, sebagai judul dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah