Pengawasan Komisi Kejaksaan Terhadap Kinerja Jaksa Pengadilan Tinggi Jakarta Tahun 2013-2014

(1)

Pengawasan Komisi Kejaksaan Terhadap Kinerja Jaksa

Pengadilan Tinggi Jakarta Tahun 2013-2014

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Galuh Hayu Nastiti 1110048000055

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Nama : Galuh Hayu Nastiti

NIM : 1110048000055

Prodi/Konsentrasi : Ilmu Hukum/Hukum Kelembagaan Negara

Judul Skripsi : Pengawasan Komisi Kejaksaan Terhadap Kinerja Jaksa Pengadilan Tinggi Jakarta Tahun 2013-2014

Komisi Kejaksaan adalah lembaga non struktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang secara mandiri, bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, seperti yang terdapat dalam Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2011. Dalam penelitian ini, penulis bermaksud untuk memaparkan pengawasan Komisi Kejaksaan terhadap kinerja jaksa, eksistensi lembaga Komisi Kejaksaan dalam menjaga kinerja jaksa di pengadilan Tinggi Jakarta, serta faktor apa saja yang menghambat pengawasan Komisi Kejaksaan terhadap Jaksa di pengadilan Tinggi Jakarta. Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode sosio legal. Metode sosio-legal

adalah suatu pendekatan alternatif yang menguji studi dontrinal terhadap hukum, sementara dari sifatnya maka dari penelitan ini termasuk kedalam jenis penelitian deskriptif yang berbentuk diagnostik dan evaluatif dengan menggunakan pemaparan secara kualitatif. Hasil dari penelitian yang diperoleh adalah bahwa pengawasan Komisi Kejaksaan sebagai lembaga yang memiliki peran dan tugas dalam mengawasi kinerja kejaksaan khususnya para jaksa atau pegawai kejaksaan. Adapun eksistensi Komisi Kejaksaan dalam mengawasi kinerja jaksa pada periode 2013-2014 cukup terlihat penurunan terhadap laporan pengaduan yang masuk di Komisi Kejaksaan namun belum menunjukkan kinerja yang optimal. Hambatan Komisi Kejaksaan dalam mengawasi kinerja jaksa di Pengadilan Tinggi Jakarta belum terbentuk kelompok kerja sesuai PerPres No. 18 tahun 2011 sebagai tenaga ahli yang diharapkan membantu kelancaran dalam melaksanakan, belum maksimalnya dukungan adminstratif khususnya terbatasnya jumlah SDM.

Kata kunci: Pengawasan, Komisi Kejaksaan, Kinerja Jaksa, Pengadilan Tinggi Jakarta Dosen Pembimbing : Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH, MA.


(6)

v

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan masa kuliah di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga selalu dicurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, para tabi’in serta kaum muslimin yang tetap berpegang teguh kepada risalahnya hingga akhir zaman dan membawa manusia keluar dari kubangan lumpur Jahiliyah menuju jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu persyaratan untuk menadapatkan gelar S1 Sarjana Hukum (S.H). Penulis berharap semoga skripsi ini sangat berguna dan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis betul-betul menyadari adanya rintangan dan ujian, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari berbagai pihak yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dalam memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis guna menyempurnakan skripsi ini.

Oleh karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Dr. Asep Saefuddin Jahar MA, Ph.D. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vi

2. Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH, MA. Sebagai ketua program studi Ilmu Hukum dan Dosen Pembimbing, serta Arip Purkon, SH.I, MA. Selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara.

3. Seluruh dosen Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, serta karyawan-karyawan dan staf perpustakaan utama dan perpustakaan fakultas yang telah memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Orang tua tercinta, Ayahanda Djoko Erwanto dan Ibunda Rosmiati yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, tak henti-hentinya memberikan nasehat, dukungan baik moril dan materiil yang tak terhingga, motivasi serta doa yang tak pernah lelah dipanjatkan untuk penulis, memberikan semangat kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan studi S1 ini.

5. Adik-adik tersayang, Aghni Wicaksono, Syarah Hayu Pertiwi, Ranti Hayu Indraswari, dan Aisyah Hayu Wandari yang selalu mendukung dan mendoakan penulis dalam menimba ilmu untuk menyelesaikan studi S1 ini. Dan seluruh keluarga besar Alm. Djumari yang selalu memberikan motivasi bagi penulis.

6. Teman-teman yang tak pernah terlupakan yang juga memberikan dukungan tanpa henti kepada penulis, Movitri Rosmela, Ilham Herdinata, Faizal, Mona Hasinah, Risyda Azizah, Siti Annisa Mahfuzhoh, Shapat, Aulia Dhaifullah, Keluarga besar LF UINJKT,


(8)

vii

teman-teman di “untung-untungan”, serta teman-teman seperjuangan di Jurusan Ilmu Hukum khususnya angkatan 2010.

7. Semua pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebut satu persatu.

Akhirnya, kepada Allah SWT jualah penulis serahkan segalanya dan semoga amal kebajikan mereka semua diterima disisi-Nya dan diberikan pahala yang berlipat ganda sesuai dengan amal perbuatannya.Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, dan masyarakat umumnya.

Jakarta, 9 Maret 2015


(9)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Kajian Studi Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KERANGKA TEORITIS A. Pengertian Pengawasan ... 14

1. Internal ... 19

2. Eksternal... 20

B. Kinerja Jaksa ... 21

1. Teori Kinerja ... 21


(10)

ix

BAB III PROFIL KOMISI KEJAKSAAN DAN PENGADILAN TINGGI JAKARTA

A. Komisi Kejaksaan... 27

1. Kedudukan Komisi Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 27

2. Visi, Misi Strategis serta kode etik komisi kejaksaan Republik Indonesia ... 31

3. Tugas dan wewenang ... 33

4. Keanggotaan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia ... 34

5. Landasan Hukum Komisi Kejaksaan ... 35

B. Pengadilan Tinggi Jakarta 1. Kedudukan Pengadilan Tinggi Jakarta ... 35

2. Visi Misi Tujuan dan sasaran strategis ... 39

3. Fungsi tugas dan yurisdiksi ... 41

BAB IV PENGAWASAN TERHADAP KINERJA JAKSA OLEH KOMISI KEJAKSAAN A. Mekanisme dan prosedur pengawasan pegawai komisi kejaksaan oleh komisi kejaksaan ... 43 B. Pelaksaan tugas pengawasan, pemantauan, penilaian atas


(11)

x

kejaksaan RI di pengadilan tinggi negeri DKI Jakarta ... 48 C. Hambatan komisi kejaksaan RI dalam pelaksaan tugas ... 52 D. Analisis penulis ... 54

BABV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 57 B. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai tujuan nasional, yaitu mewujudkan tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang menjadi filosofi tujuan hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu sampai saat ini, menurut Undang-undang nomor 16 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 1, tentang Kejaksaan RI.

Setelah hampir empat tahun, implementasi dari perubahan UUD 1945 masih belum menemukan bentuknya yang ideal. Sistem ketatanegaraan Indonesia masih saja gamang dan mencari bentuk. Salah satu bentuk wajah ketatanegaraan Indonesia transisi, serta setelah perubahan UUD 1945 adalah

lahirnya “komisi negara independen” (independent regulatory agencies) maupun lembaga non struktural lainnya, seperti komisi eksekutif (executive branch agencies)1.

Komisi Kejaksaan adalah lembaga non struktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang secara mandiri, bebas, dari pengaruh kekuasaan manapun, seperti yang terdapat dalam Peraturan Presiden nomor 18

1

Denny Indrayana, Negara Antara Ada Dan Tiada (Reformasi Hukum Ketatanegaraan),(Jakarta:Kompas:2008), h.265.


(13)

2

tahun 2011 Komisi Kejaksaan memiliki wewenang yaitu melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja jaksa dan pegawai kejaksaan dalam melaksanakan tugas kedinasannya serta sikap dan perilaku mereka baik di dalam maupun di luar tugas kedinasannya juga kondisi organisasi kelengkapan sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia di lingkungan kejaksaan.

Pengawasan merupakan salah satu cara untuk mewujudkan check’s and balance’s dalam kehidupan bernegara, agar pelaksanaan kekuasaan negara tetap terkontrol sehingga tidak merugikan masyarakat sebagai unsur penting dalam negara. Pengawasan diperlukan untuk memperbaiki manajemen pemerintahan melalui penataan kelembagaan pemerintah secara sistematis dan komprehensif, meliputi struktur, kultur, dan aparaturnya. Penataan kelembagaan tersebut merupakan esensi dari pelaksanaan good governance2 di lingkungan pemerintahan yang berlaku untuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokkan dan ketidakcocokkan dan menemukan penyebab ketidakcocokkan yang muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya.

2

Encep Syarief Nurdin, “Pembangunan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) dan Pemberantasan Korupsi”,Negarawan,No.18 (November ,2010), h. 109


(14)

Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan internal (internal control) maupun pengawasan eksternal (external control). Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control).3

Yang mana keberadaan komisi kejaksaan berperan mengawasi untuk menghindari penyalahgunaan wewenang. Komisi ini bertugas membantu presiden untuk memberdayakan kejaksaan RI dan memberikan pertimbangan kepada presiden dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dan jajaran eselon satu dibawahnya. Untuk menjamin independensi Komisi ini, para anggotanya hendak berasal dari unsur pemerintah (eksekutif), akademisi, pakar dari kejaksaan, dan tokoh-tokoh masyarakat. Mengingat kewenangan, sebaiknya masa jabatan komisi dimaksud di batasi.4

Sedangkan lembaga kejaksaan republik Indonesia adalah salah satu badan yang berfungsi melakukan proses penegakkan hukum sebagai penuntut umum. Dalam undanng-undang nomor 16 tahun 2004 pasal 1 ayat 1, tentang Kejaksaan RI menjelaskan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Adapun tugas dan wewenang

3

https://malikazisahmad.wordpress.com/2012/01/13/pengertian-pengawasan/diakses pada tanggal 05 april 2015.

4

Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.141.


(15)

4

yang jaksa miliki antara lain: 1. Pidana, yaitu:

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik;

2. Perdata dan tata usaha negara, yaitu: dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

3. Di bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;


(16)

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal;

Melihat tugas dan wewenang jaksa yang terdapat dalam undang-undang tersebut, maka penegakan hukum di indonesia akan berjalan dengan baik dan keadilan pun akan tercipta.

Pada kenyataannya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya penuntut umum sering kali melakukan penyimpangan-penyimpangan dan memikirkan kepentingan pribadi yang berupa financial sehingga keadilan tidak terwujud.

Belakangan ini banyak peristiwa yang tidak memuaskan berkaitan dengan kinerja jaksa datang menghampiri seperti sering kali terjadi penyimpangan-penyimpangan dan memikirkan kepentingan pribadi yang berupa financial sehingga keadilan tidak terwujud, sebagai contoh beberapa oknum jaksa menerima suap dan terjadi tindak pidana korupsi. Dimana tugas dan wewenang jaksa sangat penting dalam membentuk hukum, menciptakan keadilan serta menentukan siapa yang dituntut dalam proses peradilan.

Upayapun dilakukan untuk mengatasinya yaitu dengan membentuk pengawasan eksternal Kejaksaan5 salah satunya Komisi Kejaksaan. Jaksa6 sebagai objek pengawasan merupakan salah satu dari penegak hukum di Indonesia, untuk itu perlu adanya pembinaan organisasi untuk ditingkatkannya pengawasan.

5

Pengawasan eksternal Kejaksaan lainnya yaitu Komisi Etik PERJASA (Persatuan Jaksa RI), BPK, DPR danPresiden. Lihat Maissy Sabardiah, “Pembaharuan Pengawasan di Kejaksaan Suatu Tinjauan”, Teropong, vol.IV, no. 2, (April 2005),h.49.

6

Jaksa berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “Superintendant” berarti pengawas atau pengontrol soal-soal kemasyarakatan. Lihat Ilham Gunawan, Penegak Hukum dan Penegakan Hukum,cet.ke-10,(Bandung:Angkasa,1993), h.10.


(17)

6

Maka disinilah akuntabilitas Komisi Kejaksaan dipertaruhkan untuk mengantisipasi penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan. Penyimpangan terjadi biasanya mengenai pemberian pelayanan kepada masyarakat, serta berkaitan dengan proses rekruitmen.

Cukup banyak peristiwa pelanggaan hukum maupun kode etik profesi oleh jaksa maupun pegawai tata usaha kejaksaan. Dalam tahun 2 tahun terakhir 2013-2014 komisi kejaksaan mencatat bahwa di Kejaksaan DKI Jakarta menduduki peringkat ke dua setelah Aceh. Contoh kecil seperti baru-baru ini kejadian di sebuah kejaksaan negeri jakarta selatan yang pernah menangani perkara kasus bioremediasi yang jaksa melakukan pemerasan yakni Burdju Ronni Allan Felix dan Cecep Sunarto yang di berhentikan secara tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Melihat kasus yang terjadi seperti ini manakala sebuah kejaksaan Negeri belum benar-benar bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

Dengan adanya peran Komisi Kejaksaan seharusnya tercipta kejaksaan negeri yang bersih dari penyimpang-penyimpangan karena sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh jaksa baik kinerja ataupun mengenai kode etik jaksa menjadi acuan sebuah kejaksaan yang bersih terbebas dari peyimpangan tersebut.

Dimana Kejaksaan Tinggi Negeri DKI Jakarta saat ini yang menjadi bahan penelitian karena terdapat hampir melebihi banyak kasus penyimpangan mengenai kinerja jaksa.


(18)

“Pengawasan Komisi Kejaksaan Terhadap Kinerja Jaksa Pengadilan Tinggi Jakarta Tahun 2013-2014”.

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah:

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlalu meluas, maka penelitian ini hanya dibatasi pada pengawasan terhadap kinerja jaksa oleh Komisi Kejaksaan dengan studi di Pengadilan Tinggi Jakarta yang berdasarkan kode etik jaksa diatur dalam PERJA nomor: PER-067/A/JA/07/2007 dan mengacu pada PerPres No. 18 tahun 20011 tentang Komisi Kejaksaan RI.

2. Perumusan Masalah

Untuk memperjelas masalah dalam pembahasan ini, maka dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pengawasan Komisi Kejaksaan terhadap kinerja jaksa?

b. Bagaimana eksistensi lembaga Komisi Kejaksaan dalam menjaga kinerja Jaksa di Pengadilan Tinggi Jakarta?

c. Faktor-faktor yang menghambat pengawasan Komisi Kejaksaan terhadap jaksa di Pengadilan Tinggi Jakarta?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian


(19)

8

sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pengawasan yang dilakukan Komisi Kejaksaan terhadap kinerja jaksa.

b. Untuk mengetahui eksistensi lembaga komisi kejaksaan dalam menjaga kinerja jaksa di pengadilan tinggi jakarta.

c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat pengawasan komisi kejaksaan.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian yang penulis lakukan adalah : a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini memberi pengetahuan terhadap masyarakat mengenai kewenangan Komisi Kejaksaan dalam menangani jaksa yang melakukan pelanggaran kode etik kejaksaan dan diharapkan memberikan kontribusi dalam peningkatan pengawasaan kinerja jaksa yang sesuai dalam Undang-undang kejaksaan.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi Komisi Kejaksaan untuk meningkatkan kinerjanya dalam mengawasi jaksa.

D. Kajian Studi Terdahulu

Kajian terkait dengan Komisi Kejaksaan pasca reformasi khususnya, tengah menjadi bahan diskusi hangat dan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Berbagai karya ilmiah dan tulisan baik berupa jurnal, buku,


(20)

maupun tulisan-tulisan lainnya banyak yang telah membahas hal ini. Namun,terkait dengan pembahasan tentang “Pengawasan Komisi Kejaksaan Terhadap Kinerja Jaksa Pengadilan Tinggi Jakarta Tahun 2013-2014”,sejauh penelusuran penulis belum ada yang pernah melakukannya. Maka untuk memposisikan skripsi ini kiranya perlu memaparkan penelitian-penelitian sebelumnya agar kemungkinan terjadinya pengulangan penelitian dapat dihindari.

Tesis tentang “peran komisi kejaksaan sebagai perwujudan partisipasi publik dalam rangka pengawasan lembaga kejaksaan”, ditulis oleh Aditya Rakatama dari program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2008. Tesis ini menjelaskan tentang pengawasan internal di lembaga kejaksaan dan pengawasan dari komisi kejaksaan..Sedangkan penelitian penulis fokus terhadap eksistensi Komisi Kejaksaan dalam pengawasan kinerja Jaksa di Pengadilan Tinggi Jakarta.

Skripsi yang berjudul “Peran Komisi Kejaksaan dalam Pengawasan Kinerja Kejaksaan ”, ditulis oleh Karlos Kriantadipa dari Fakultas Hukum Reguler Mandiri Universitas Andalas Padang pada tahun 2011. Skripsi ini membahas tentang bagaimana peran komisi kejaksaan dalam mengawasi kinerja di kejaksaan sedangkan penulis membahas bagaimana pengawasan yang dilakukan komisi kejaksaan dalam mengawasi kinerja jaksa di pengadilan tinggi jakarta.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa skripsi yang penulis ajukan tidak sama dengan ketiga skripsi diatas.


(21)

10

E. Metode Penelitian

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, digunakan suatu metode penelitian dengan pemaparan sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan7.

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalahnya, tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sosio-legal research, penelitian hukum empiris sosiologis8.

2. Pendekatan Masalah

Sehubung dengan tipe masalah yang digunakan empiris sosiologis, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) digunakan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya justru kondusif untuk mengetahui lebih dalam mengenai kewenangan Komisi Kejaksaan dan

7

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III,(Jakarta: Universitas Indonesia Press,1986),h.43.

8

Penelitian hukum empiris sosiologis yaitu untuk melihat bagaimana hukum dipraktikkan, bukan hanya dipandang sebagai kaidah perilaku saja, melainkan sebuah proses sosial atau lembaga sosial. Dalam buku Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,cet.I (Ciputat:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2010), h.47.


(22)

Pengawasaan kinerja Jaksa.

Sedangkan pendekatan konseptual digunakan untuk memahami konsep tentang kewenangan Komisi Kejaksaan dan Pengawasan Kinerja Jaksa sehingga diketahui dampak yang ditimbulkan dari kewenangan tersebut.

3. Sumber Data

Sumber data yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini, yaitu: a. Data Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan yang berisi ketentuan hukum mengikat dan tertulis. Seperti halnya peraturan perundang-undangan maupun peraturan pemerintah yang terkait. Selain itu juga data secara langsung yang oleh penulis dianggap perlu dan terkait dengan penelitian ini, yaitu dengan wawancara. Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dimana dua orang atau lebih bertatap muka dan mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan.

b. Data Sekunder

Data Sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi dan peraturan perundang-undangan, maupun kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atau putusan hakim.9

4. Pengumpulan dan Teknik Analisis Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis, karena

9


(23)

12

tujuan dari penelitian mendapatkan data. Bila dilihat dari sumber hukum, maka pengumpulan data yang dilakukan yaitu:

a. Studi pustaka

Dimana penulis melakukan studi terhadap bahan atau literatur kepustakaan seperti halnya terhadap peraturan yang terkait. Data yang diperoleh melalui data-data yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini baik berupa buku, koran, jurnal hukum, majalah maupun melalui media internet

b. Observasi

Mengenai hal yang terkait dengan penelitian ini dengan melakukan wawancara dan pemantauan terhadap objek penelitian ini yaitu Pengadilan Tinggi Jakarta.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Untuk dapat menuangkan hasil penelitian kedalam bentuk penulisan yang teratur dan sistematis, maka skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab.

BAB I : PENDAHULUAN

Bab satu membahas tentang latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian (review) studi terdahulu,


(24)

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : KERANGKA TEORI

Bab dua membahas tentang teori pengawasan secara internal maupun eksternal dan membahas mengenai pengertian kinerja dan jaksa.

BAB III : PROFIL KOMISI KEJAKSAAN DAN PENGADILAN TINGGI JAKARTA

Bab tiga membahas tentang kedudukan komisi kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan indonesia, visi, misi, strategis serta kode etik Komisi Kejaksaan Republik Indoensia, tugas dan wewenang, keanggotaan, landasan hukum komisi kejaksaan, kedudukan pengadilan tinggi jakarta, visi, misi, tujuan dan sasaran strategis, fungsi tugas dan yuridis.

BAB IV :PENGAWASAN TEHADAP KINERJA JAKSA OLEH KOMISI KEJAKSAAN

Dalam bab ini dipaparkan tentang mekanisme dan prosedur pengawasan pegawai kejaksaan oleh Komisi Kejaksaan, pelaksanaan tugas pengawasan, pemantauan, penilaian atas kinerja dan/ atau perilaku Jaksa/ pegawai Kejaksaan oleh Komisi Kejaksaan RI di pengadilan tinggi Jakarta, hambatan Komisi Kejaksaan RI dalam pelaksanaan tugas, analisis penulis.

BAB V : PENUTUP

Berisi kesimpulan dan saran penulis yang didapatkan berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya.


(25)

14 BAB II

KERANGKA TEORI

A. Pengertian Pengawasan

Salah satu prinsip negara modern sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Assiddiqe yakni transparansi dan kontrol sosial. Salah satu keterpurukan hukum yang terjadi pasca reformasi pada 1998 adalah tidak terdapatnya keterbukaan dan kontrol sosial dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Lord Acton telah mengarai bahwa kekuasaan itu memiliki kecenderungan untuk disalah gunakan (corrupt). Penyalahgunaan itu yang harus dibatasi, oleh karena itu aspek pengawasan menjadi titik sorotan yang penting saat ini.

Menurut Sunaryati Hartono, perkembangan Negara Hukum pada abad ke 21 ini telah mengarah kepada konsep Negara Hukum yang bertanggung jawab (Verantwoordings Rechtsstaat). Akibat pergeseran itu, pilar kekuasaan negara sebagaimana dirintis oleh Montesqiueu yang terdiri atas Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif telah bertambah dengan pilar ke empat yakni lembaga (lembaga) pengawasan seperti Ombudsman maupun Badan Pengawas Keuangan1.

Sebagai bahan perbandingan diambil beberapa pendapat para sarjana di bawah ini antara lain:

Menurut Prayudi: “Pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang

1

Sunaryati Hartono, “Peran State Auxiliary bodies dalam Rangka Konsolidasi Konstitusi Menuju Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional”, Makalah disampaikan dalam Konvensi hukum Nasional tentang Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional. Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, di Hotel Borobudur, Jakarta, 15-16 April 2008, hal.3


(26)

membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan”.2

Menurut Saiful Anwar: “Pengawasan atau kontrol terhadap tindakan

aparatur pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan.3

Menurut M. Manullang mengatakan bahwa: “Pengawasan adalah suatu

proses untuk menetapkan suatu pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya, dan mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksana

pekerjaan sesuai dengan rencana semula”.4

Sedangkan pengawasan (controlling) menurut pengertian komisi kejaksaan ialah salah satu piranti kekuatan manajemen/organisasi disamping fakta SDM, Financial, sebagai tugas Pengawasan menjadi kekuatan sebagai alat kontrol atas gerak langkah organisasi beserta seluruh isinya, tentang apakah organisasi tersebut berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Apakah tupoksinya berjalan sesuai aturan-aturan dan apakah KINERJA nya sudah dalamukuran “berhasil”.

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa:

a. Pengawasan adalah merupakan proses kegiatan yang terus-menerus di laksanakan untuk mengetahui pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, kemudian di adakan penilaian serta mengoreksi apakah pelaksanaannya

2

Slamet Prajudi,Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1994), h. 84. 3

Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, (Glora Madani Press:2004), h.127.

4


(27)

16

sesuai dengan semestinya atau tidak.

b. Selain itu pengawasan adalah suatu penilaian yang merupakan suatu proses pengukuran dan pembandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyata telah di capai dengan hasil-hasil yang seharusnya di capai. Dengan kata lain, hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokkan atau ketidakcocokkan serta mengevaluasi sebab-sebabnya.

Pengawasan dalam pandangan islam dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak. Pengawasan (control)dalam ajaran islam (hukum syari’ah). Yaitu: kontrol

yang berasal dari diri sendiri yang bersumber dari tauhid dan keimanan kepada Allah Swt. Seseorang yang yakin bahwa Allah pasti mengawasi hambanya, maka ia akan bertindak hati-hati. Ketika sendiri, ia yakin bahwa Allah adalah yang kedua dan ketika berdua ia yakin bahwa Allah yang ketiga. Seperti yang diungkap dalam Al-Quran Surat Al-Mujadalah ayat 7 :





























































































) ﺔ ﻟ د ﺎ ﺟ ﻣ ﻟ ا :


(28)

Artinya: tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Mujadallah : 7)

Ini adalah kontrol yang paling efektif yang berasal dari dalam diri sendiri. Akan tetapi kalau diterjemahkan begitu saja istilah controlling dari bahasa Inggris, maka pengertiannya lebih luas dari pengawasan yaitu dapat diartikan sebagai pengendalian, padahal kedua istilah ini berbeda karena dalam pengendalian terdapat unsur korektif.

Tujuan utama dari pengawasan itu sendiri adalah mengusahakan agar apa yang direncanakan menjadi kenyataan. Agar suatu sistem pengawasan dapat dengan efektif merealisasikan tujuannya, maka suatu sistem pengawasan setidak-tidaknya harus dengan segera melaporkan adanya penyimpangan-penyimpangan dari rencana. Apa yang telah terjadi dapat disetir ketujuan tertentu, dan dapat diambil tindakan untuk pelaksanaan selanjutnya agar pelaksanaan keseluruhan benar-benar dapat sesuai atau mendekati apa yang direncanakan sebelumnya5. Titik berat pengawasan sesungguhnya berkisar

5


(29)

18

pada manusia, sebab manusia itulah yang melakukan kegiatan-kegiatan badan usaha atau organisasi bersangkutan. Hakikat pengawsan mencegah sedini mungkin terjadinya peyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam mencapai tujuan dan pelaksanaan tugas-tugas organisasi.

Jaksa Aagung Basrief Arief dalam seminar yang diselenggarakan oleh

Komisi Kejaksaan dengan tema “Peran Komisi Kejaksaan Republik Indonesia

dalammeningkatkan kinerja Jaksa” yang diadakan pada tanggal 23 November 2011 bertempat di hotel Le Meredien, menyampaikan Kejaksaan sebagai sebuah organisasi memiliki visi dan misi. Adapun visi Kejaksaan adalah Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, akuntabel, untuk dapat memberikan pelayanan prima dalam mewujudkan supremasi hukum secara profesional, proposional dan bermartabat yang berlandaskan keadilan, kebenaran, serta nilai-nilai kepatutan6 sedangkan misi Kejaksaan diantaranya adalah mengoptimalkan pelaksanaan fungsi Kejaksaan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, baik dalam segi kualitas maupun kuantitas penanganan seluruh tindak pidana, penanganan perkara perdata dan Tata Usaha Negara, serta mengoptimalkan kegiatan intelijen Kejaksaan, secara profesional, proposional dan bermartabat melalui penerapan Standard Operating Procedure (SOP) yang tepat, cermat, terarah, efektif dan efisien.7

6

Kejaksaan Agung RI,Rencana Strategis (Renstra) Kejaksaan Republik Indonesia tahun 2010-2014,Jakarta, 2010, H.25.

7

Kejaksaan Agung RI,Rencana Strategis (Renstra) Kejaksaan Republik Indonesia tahun 2010-2014, Jakarta, 2010, h.25


(30)

Untuk mencapai visi dan misi tersebut, maka kejaksaan sebagai organisasi harus melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan berpegang pada fungsi manajemen yakni perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan (controlling). Dengan demikian keharusan melaksanakan manajemen yang berdaya guna khususnya dalam proses pengawasan merupakan landasan fungsional yang dilaksanakan setiap pejabat Kejaksaan yang menempati posisi manajemen dari tingkat tertinggi sampai tingkat rendah. Pengawasan adalah salah satu fungsi manajemen yang sangat diperlukan dan mutlak dibutuhkan di dalam suatu organisasi pemerintah atau negara. Dalam pelaksanaannya pengawasan salah satu pilar dalam manajemen yang baik, lemahnya pengawasan akan membawa dampak yang negatif pada seluruh produktifitas lembaga manapun.8

Pengawasan ini terbagi menjadi dua yaitu pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Pengertian masing-masing pengawasan berikut ini:

1. Internal

Pengawasan Internal sering mengalami kendala berupa resistensi dari masyarakat. Karena hasil-hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap jaksa maupun pegawai kejaksaan, publik terkadang kurang mempercayainya. Masyarakat menilai bahwa pengawasan internal dalam melakukan pengusutan terhadap mereka yang diduga melakukan penyimpangan, kepada publik, umumnya mereka meragukan kesungguhannya.

8

Harkrisnowo, Harkristuti, Membangun Strategi Kinerja Kejaksaan Bagi Peningkatan Produktifitas, Profesionalisme, dan akuntabilitas Publik: suatu usulan pemikiran, makalah disampaikan dalam rangka seminar mewujudkan supremasi hukum, Puslitbang Kejagung, Jakarta, 22 Agustus 2011


(31)

20

Pengertian Pengawasan Internal ini sendiri ialah pengawasan yang dilakukan oleh badan atau orang yang ada di lingkungan unit organisasi yang diperiksa. Hubungan antar aparat pengawasan dengan pihak yang diawasi adalah keduanya berada dalam satu unit organisasi yang sama.9 Pihak internal adalah pihak didalam komisi kejaksaan yang mengajukan usulan kerjasama,baik yang bersifat Rencana Kerja Tahunan maupun karena pertimbangan-pertimbangan tertentu setelah melalui Rapat Pleno.

2. Eksternal

Suatu pengawasan disebut pengawasan ekstern, bilamana orang-orang yang melakukan pengawasan itu adalah orang-orang luar organisasi bersangkutan. Pengawasan jenis terakhir ini lain pula disebut pengawasan sosial (social control) atau pengawasan informal. Pengertian dari Pengawasaan eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan atau orang yang berasal dari unit organisasi lain selain unit organisasi yang diperiksa. Hubungan antara aparat pengawasan dengan pihak yang diawasi adalah ketuanya tidak berbeda dalam satu unit organisasi yang sama.10 Pihak Eksternal adalah pihak diluar komisi kejaksaan (instansi pemerintah, lembaga swasta, dan lembaga masyarakat) yang mengajukan usulan kerjasama.

9

http://perpusunpas.wordpress.com/2009/05/07/pengawasaan/ Pengawasan |UPT perpustakaan Universitas Pasundan, diakses pada 28 Desember 2014

10

http://perpusunpas.wordpress.com/2009/05/07/pengawasaan/ Pengawasan |UPT perpustakaan Universitas Pasundan, diakses pada 28 Desember 2014


(32)

B. Kinerja Jaksa 1. Teori Kinerja

Kinerja adalah penampilan hasil karya personel baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi, kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personel. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personel yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personel di dalam organisasi.

Deskripsi dari kinerja menyangkut komponen penting yaitu: tujuan, ukuran, dan penilaian. Penentuan tujuan dari setiap unit organisasi merupakan strategi untuk meningkatkan kinerja. Tujuan ini akan memberikan arah dan mempengaruhi bagaimana seharusnya perilaku kerja yang diharapkan organisasi terhadap setiap personel. Walaupun demikian, penentuan tujuan saja tidaklah cukup, sebab itu dibutuhkan ukuran apakah seorang personel telah mencapai kinerja yang diharapkan. Untuk itu ukuran kuantitatif dan kualitatif standar kinerja untuk setiap tugas dan jabatan personel memegang peranan penting.11

2. Jaksa

Pengertian Jaksa Ditinjau dari Sudut Etimologi Bahasa. Menurut konsep pemikiran dari R. Tresna antara lain menyatakan:

“Bahwa nama Jaksa atau Yaksa berasal dari India dengan gelar itu

di Indonesia diberikan kepada pejabat yang sebelum pengaruh hukum

11

Yaslis ilyas,KINERJA Teori, Penilaian, dan Penelitian, Cet.III (Depok:FKMUI:2002), h.65


(33)

22

hindu masuk di Indonesia, sudah bisa melakukan pekerjaan yang sama”.

DR. Saherodji, menjelaskan bahawa:

“Kata Jaksa berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Pengawas (Superintedant) atau pengontrol yaitu pengawasan soal-soal

kemasyarakatan”. Kemudian sesuai dengan lampiran surat Keputusan Jaksa Agung RI tahun 1978, menyatakan bahwa pengertian Jaksa ialah:

“Jaksa asal dari kata Seloka Satya Adhy Wicaksana yang merupakan Trapsila Adyaksa dan mempunyai arti serta makna sebagai berikut:

Satya : Kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun sesama manusia.

Adhi : Kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama pemikiran rasa tanggung jawab baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap keluarga dan terhadap sesama manusia. Wicaksana : Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam

penerapan kekuasaan dan wewenangnya”.

Dalam Bahasa Inggris, pengertian Jaksa adalah Public Prosecutor (Jaksa Umum atau Jaksa Biasa), Jaksa Agung (Attorney General), Kantor Kejaksaan (Office of A Public Prosecutor, Office of Council of the Presecutor, Police Prosecutor dan Prosecutor by Private Citizen dan Bondies). Kemudian di Amerika Serikat, istilah Jaksa adalah District Attorney, sebab seorang Jaksa di pilih oleh masyarakat di dalam suatu


(34)

distrik atau daerah. Jadi status tersebut diartikan sebagai Jaksa daerah.12 Pengertian Jaksa Ditinjau dari Segi Yuridis

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Kejaksaan Nomor 5 Tahun 1991:

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntun Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. c. Penuntutan adalah tindakan umum untuk melimpahkan perkara ke

pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

d. Jabatan fungsional adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan (Pasal 1). Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga pemerintah pelaksana kekuasaan negara yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di lingkungan peradilan umum. Yang dimaksud dengan Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan merupakan satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan

12

Media Informasi dan Hukum, 22 Juli 2003, Cakrawala Edisi Khusus Ulang TahunKejaksaan,Media Hukum Vol 2 No. 1 Jakarta: Kejaksaan Republik Indonesia, 56-57.


(35)

24

tata kerja kejaksaan. Oleh karena itu kegiatan penuntutan di pengadilan oleh kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena jaksa yang semula bertugas berhalangan. Tugas penuntutan oleh kejaksaan akan tetap berlangsung sekalipun dilakukan oleh jaksa lainnya sebagai pengganti. 1. Kedudukan Jaksa

a. Kejaksaan Republik Indonesia, selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan, adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negera di bidang penuntutan.

b. Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan (Pasal 2).

2. Wewenang Jaksa

a. Jaksa adalah Pejabat Fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.

b. Dalam melakukan penuntutan jaksa bertindak untuk dan atas nama negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki.

c. Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah.

d. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 8). Jabatan jaksa sebagai fungsional, terkait dengan fungsi yang


(36)

secara khusus dijalankan oleh jaksa dalam bidang penuntutan sehingga memungkinkan organisasi kejaksaan menjalankan tugas pokoknya.

Sebagaimana badan negara yang menjalankan fungsi penegakan hukum, Kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya tersebut membutuhkan, kemandirian dan independensi bersifat tidak memihak, tanpa membeda-bedakan asal-usul, kewarganegaraan, agama atau etnik, dan mempunyai posisi sentral dalam penegakan hukum, karena pertama sebagai penyandang azas dominus litis institusi yang dapat menyatakan seseorang menjadi terdakwa, kedua sebagai executive abmtenaar pelaksana keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, ketiga hanya Jaksa Agung yang dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan umum berdasarkan azas oportunitis dan keempat sebagai pengacara negara kesatuannya itu sulit terwujud jika secara struktural Kejaksaan Republik Indonesia masih berada di bawah presiden masuk lingkup eksekutif.13Dari sudut ketatanegaraan Jaksa Agung merupakan tangan kanan dari pemerintahan pusat dan perdana menteri, dan bertanggung jawab kepada mereka dan parlemen. Di bawah Undang-Undang No. 15 Tahun 1961, kedudukan kejaksaan ditegaskan kembali dan menjadi departemen tersendiri yang setingkat dengan menteri. Dari uraian di atas jaksa dalam ketatanegaraan disebut sebagai Pengacara negara.

Kejaksaan merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif di bawah

13

Media Informasi dan Hukum, 22 Juli 2004, Edisi Khusus Ulang Tahun Kejaksaan. MediaHukum Vol. 2 No. 10. Jakarta: Kejaksaan Republik Indonesia, hal 58-59


(37)

26

presiden sehingga struktur lembaga kejaksaan itu sendiri sebagaimana layaknya sebuah organisasi harus memiliki pengawas baik itu internal maupun eksternal. Aparatur pengawasan membutuhkan instrumen di dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Aparatur kejaksaan seperti yang disebutkan pada Pasal 9 ayat (1) huruf “h” (untuk jaksa) dan Pasal 29 ayat

(1), ayat (2) UU No. 16 tahun 2004 tentang kejaksaan RI, bahwa aparatur kejaksaan yang terdiri dari jaksa dan Tata Usaha adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sehingga terikat oleh peraturan pemerintah No. 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Secara umum PP No. 53 tahun 2010 tentang digunakan sebagai instrumen untuk melakukan pengawasan PNS di lingkungan Kejaksaan. Adapun secara khusus terkait dengan jabatan fungsional Jaksa ada Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberhentian dengan Hormat, pemberhentian tidak dengan Hormat, dan Pemberhentian Sementara, Serta Hak Jabatan Fungsional Jaksa Yang Terkena Pemberhentian. Di dalam lingkungan internal kejaksaan ada pula instrumen yang dibuat untuk melakukan pengawasan aparatur kejaksaan, yang terbaru yaitu Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER-022/A/JA/03/2011 tentang Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan RI.


(38)

27 A. Komisi Kejaksaan

1. Kedudukan komisi kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

Untuk lebih memantapkan kedudukan dan peranan kejaksaan RI

sebagai “badan negara” yang terpisah dari lembaga eksekutif, ditunjuk

seorang Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden berdasarkan persetujuan DPR. Kejaksaan RI bertanggung jawab kepada publik secara transparan, dan konsekuensinya lembaga ini harus melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dan lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekuasaan lainnya, walau perlu juga dibentuk Komisi Kejaksaan yang mengawasi untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan. Komisi ini bertugas membantu Presiden untuk memberdayakan Kejaksaan RI dan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dan Jajaran eselon satu di bawahnya.1

Sejak tanggal 22 juli 1960 yaitu ketika Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960 yang secara tegas memisahkan Kejaksaan dari Kementerian Kehakiman dan Mahkamah Agung, dan menjadikannya sebagai suatu institusi yang berdiri sendiri dan merupakan bagian langsung dari kabinet. Inilah landasan hukum pertama

1

Marwan Effendy,Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama,Anggota IKAPI,2005), h.142.


(39)

28

yang menempatkan Kejaksaan sepenuhnya sebagai bagian dari ranah kekuasaan Eksekutif.2 Namun beberapa pendapat sarjana hukum bahwa kejaksaan di bawah kabinet pemerintah menyebabkan independensi lembaga Kejaksaan dipertanyakan. Salah satunya adalah Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, SH.

Dari tahun 1945-1959, memang disebut Jaksa Agung pada Mahkamah Agung. Sayang dalam amandemen UUD, kurang diperhatikan faktor sejarah ini, sehingga Jaksa Agung menjadi “pembantu” presiden.

Undang-undang tentang kejaksaan No. 5 tahun 1991 menyebutkan bahwa kejaksaan (Jaksa Agung) adalah alat Pemerintah (yang kemudian diperkuat di dalam Undang-undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan di dalam Konsideran dan pada Pasal 2 ayat (1) menyatakan Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang). Jadi, mundur dari semula “Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum”. Dengan demikian Jaksa Agung menjadi tidak independen,

sehingga sulit diharapkan penegakan hukum yang independen terbatas dari pengaruh politik.

Pendapat lain mengenai independensi kejaksaan disampaikan oleh Mappi (masyarakat pemantauan peradilan indonesia) dalam sebuah publikasi opini bahwa Kejaksaan saat ini masih berada di bawah

bayang-2

Yusril Ihza Mahendra “Kedudukan Kejaksaan Dan Posisi Jaksa Agung Dalam Sistem Presidensial Di Bawah UUD 1945” (makalah di http://yusril.Ihzamahendra.com/ diakses pada tanggal 3 november 2014


(40)

bayang kekuasaan eksekutif, sehingga nampak sulit bagi Jaksa, khususnya Jaksa Agung untuk mandiri. Kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri, karena Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Beberapa kejadian telah membuktikan bahwa dengan Kejaksaan tidak mandiri sangatlah berpengaruh kepada proses penegakan hukum itu sendiri dan akhirnya betul-betul tergantung pada itikad politik pemerintah, dalam hal ini Presiden.3 Khusus untuk lembaga Kejaksaan di dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan bahwa dimungkinkan adanya lembaga pengawas eksternal berdasarkan Pasal 38 disebutkan bahwa untuk meningkatkan kualitas kinerja Kejaksaan maka Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden. Keberadaan komisi ini merupakan tuntutan publik untuk mendorong penegakan hukum oleh Kejaksaan lebih efektif, pemerintah dan DPR sepakat membahas mengenai pembentukan sebuah komisi.

Amanah Perpres No. 18 tahun 2010 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia mengisyaratkan dibentuknya Komisi Kejaksaan Republik Indonesia adalah dalam rangka upaya meningkatkan kinerja Kejaksaan, amanah tersebut dijabarkan oleh Komisi Kejaksaan Republik Indonesia dalam misinya yang berbunyi: Mewujudkan Kejaksaan yang

3

Asep Rahmat Fajar, S.H. Wajah Lembaga Peradilan Inonesia: Kenyataan Dan Harapan. H.5.


(41)

30

Lebih Baik.

Lahirnya Perpres No. 28 Tahun 2010 sebagai implementasi UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tentu tidak muncul begitu saja, tetapi didasari oleh kondisi yang nyata terutama kinerja Kejaksaan yang dipandang (Publik/Masyarakat) belum lagi memadai terutama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Masalah perilaku para Jaksa dan Pegawai Tata Usaha yang terjaring melakukan perbuatan tercela masalah profesionalisasi para Jaksa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, juga menjadi dasar penilaian publik/masyarakat terhadap Kejaksaan.

Komisi Kejaksaan Republik Indonesia dengan peran utama sebagai

lembaga yang bertugas mengawasi perilaku maupun “kinerja” para Jaksa

dan Pegawai Tata Usaha sekaligus juga berperan mencermati proses

penegakan “disiplin” para Jaksa dan Pegawai Tata Usaha, disamping

Kewenangan memberikan reward kepada para Jaksa dan Pegawai Tata Usaha yang berprestasi. Peran lain yang cukup penting dari Komisi Kejaksaan Republik Indonesia adalah memberikan penilaian terhadap Organisasi dan Tata Laksana, Saran dan Prasarana, Sumber Daya Manusia dan Keuangan.

Dari Uraian diatas tergambar sebuah ruang lingkup tugas yang luas, strategis dengan tujuan terwujudnya Kejaksaan yang lebih baik di masa datang.


(42)

adalah : Sumber Daya Manusia (personail) yang dalam hal ini adalah para Jaksa dan Pegawai Tata Usaha, yang secara fungsional berarti semua pegawai Kejaksaan yang berstatus Jaksa/Jaksa Penuntut Umum; secara struktural adalah semua pemangku jabatan mulai dari esselon IV sampai dengan esselon I.

Pilar kedua adalah Tata Laksana Organisasi, aturan-aturan baik tentang kepegawaian, keuangan, maupun aturan-aturan yang mengatur tentang masalah teknis operasional, sedangkan pilar ketiga adalah sarana prasarana dan keuangan.

Komisi Kejaksaan Republik Indonesia pada rapat Kerja (Rakornas) tahun 2011 ini dalam posisi sebagai mitra dari pengawasan internal menyampaikan tulisan ini sebagai bagian tanggung jawab Komisi Kejaksaan Republik Indonesia terhadap amanah Undang-undang yang menjadi dasar keberadaan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia.

2. Visi, Misi Strategis serta Kode Etik Komisi Kejaksaan Republik Indonesia

Komisi Kejaksaan Republik Indonesia sebagai sebuah lembaga independen memandang amat perlu membuat Visi, Misi, Strategis serta Kode Etik sebagai kompas yang akan menentukan arah serta kebijakan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia dalam bekerja, dari membaca serta menerjemahkan visi, misi, strategis serta kode etik Komisi Kejaksaan Republik Indonesia tersebut para Jaksa dan Pegawai Tata Usaha Kejaksaan akan dapat memahami gerak langkah Komisi Kejaksaan


(43)

32

Republik Indonesia yang di semangati dengan motto Komisi Kejaksaan Republik Indonesia adalah mitra strategis dari Kejaksaan yang secara eskplisit dapat dibaca mitra strategis dan pengawasan internal Kejaksaan yang dalam hal ini adalah Jaksa Agung Muda Pengawasaan.

Visi : Komisi Kejaksaan yang mandiri dan terpercaya Misi : Mewujudkan Kejaksaan yang lebih baik

Strategi : Menggerakkan partisipasi masyarakat dan komponen lain, membangun kemitraan strategis berlandaskan kemandirian untuk mewujudkan Kejaksaan yang lebih baik

Kode Etik : Santun, Profesional, Efektifitas, dan Kebersamaan Visi Komisi Kejaksaan yang mandiri dan terpercaya.

Mandiri artinya terbebas dari pengaruh manapun.

Terpercaya artinya semua gerak langkah tugasnya yang konsisten dan konsekuen untuk semua pihak.

Misi mewujudkan Kejaksaan yang lebih baik merupakan sebuah misi yang tulus dari Komisi Kejaksaan Republik Indonesia dalam upaya bersama-sama dengan seluruh insan Adyaksa Kejaksaan untuk memacu

“perubahan” kedepan sehingga dalam kurun waktu yang pasti Kejaksaan

yang kita cita-citakan, yang diharapkan oleh publik/masyarakat dapat terwujud.

Strategis, Komisi Kejaksaan Republik Indonesia menyadari bahwa tugas yang diemban sangat berat dan luas dalam wilayah dari hampir 600 Satker Kejaksaan Republik Indonesia (Kejati, Kejari, Cabjari) yang tersebar di


(44)

seluruh nusantara, dengan 9 orang Komisioner mustahil tugas tersebut dapat dilaksanakan oleh karena itu, strategi Komisi Kejaksaan Republik Indonesia adalah memberdayakan partisipasi/keikutsertaan masyarakat untuk berperan sebagai mata dan telinga Komisi Kejaksaan Republik Indonesia sebagai Konsultan/Ahli dan lain sebagainya.

Kode Etik, secara internal para Komisioner dalam bekerja juga memiliki acuan yang jelas, tegas dan gamblang yang di dalamnya tersirat makna bahwa Komisi Kejaksaan Republik Indonesia juga memahami arti Independensi Profesionalisme dan etika yang harus dijaga dalam pelaksanaan tugas.

3. Tugas dan Wewenang

a. Tugas Komisi Kejaksaan4

1) Melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja jaksa dan pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan tugas kedinasannya;

2) Melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap sikap dan perilaku Jaksa dan pegawai Kejaksaan baik di dalam maupun di luar tugas kedinasan;

3) Melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia di lingkungan Kejaksaan;

4) Menyampaikan masukan kepada Jaksa Agung atas hasil

4

http://www.komisi-kejaksaan.go.id/tugas-dan-wewenang# di akses hari minggu 8 desember 2014.


(45)

34

pengawasan, pemantauan, dan penilaian sebagaimana tersebut huruf a, huruf b, dan huruf c utnuk ditindaklanjuti.

b. Wewenang Komisi Kejaksaan

1) Menerima laporan masyarakat tentang perilaku Jaksa dan pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan tugas baik di dalam maupun di luar kedinasan

2) Meminta informasi dari badan pemerintah, organisasi, atau anggota masyarakat berkaitan dengan kondisi dan kinerja di lingkungan Kejaksaan atas dugaan pelanggaran peraturan kedinasan Kejaksaan maupun berkaitan dengan perilaku Jaksa dan pegawai Kejaksaan di dalam atau di luar kedinasan

3) Memanggil dan meminta keterangan kepada Jaksa dan pegawai Kejaksaan sehubungan dengan perilaku dan/atau dugaan pelanggaran peraturan kedinasan Kejaksaan

4. Keanggotaan Komisi Kejaksaan RI

Dalam Pasal 15 Perpres No. 18 Tahun 2011 Keanggotaan Komisi Kejaksaan terdiri dari:

a. Unsur masyarakat sebanyak 6 (enam) orang, terdiri dari praktisi/akademisi hukum, tokoh masyarakat, dan/atau pakar tentang Kejaksaan.

b. Yang mewakili pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang, yaitu 2 keanggotaan dari unsur pemerintah sebagaimana di maksud pada ayat 1 huruf b dapat berasal dari kalangan dalam maupun luar aparatur


(46)

pemerintah.

5. Landasan Hukum Komisi Kejaksaan

a.

Pasal 38 Undang-undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I.

b.

Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan.

c.

Peratuan Jaksa Agung No. PER-071/A/JR/08/2006 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Sekretariat.

d.

Nota Kesepahaman antara Jaksa Agung dengan Ketua Komisi Kejaksaan No. KEP-099/A/JA/05/2011 tentang Mekanisme Kerja Antara Kejaksaan dengan Komisi Kejaksaan dalam Pelaksanaan.

B. Pengadilan Tinggi Jakarta

1. Kedudukan Pengadilan Tinggi Jakarta

Pengadilan Tinggi (biasa disingkat: PT) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi juga merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Susunan Pengadilan Tinggi dibentuk berdasarkan Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Pengadilan Tinggi terdiri atas Pimpinan (seorang Ketua PT dan seorang Wakil Ketua PT), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.5

Kantor Pengadilan Tinggi Jakarta yang terletak di Jalan Letjen.

5


(47)

36

Suprapto Cempaka Putih Jakarta Pusat diresmikan pada tanggal 26 Pebruari 1983 oleh Menteri Kehakiman RI. Kantor Pengadilan Tinggi Jakarta terdiri dari 2 unit gedung yaitu gedung depan 2 lantai dan gedung belakang 6 lantai, seluas 4.679,5 m2 yang berdiri di atas tanah seluas 3.845 m2 dengan status Hak Pakai atas nama Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta tanggal 28 April 1980 Nomor 227/27/I/HP/P/1980.6

Pada tahun 2012, jumlah pegawai berdasarkan jabatan dan golongan di Pengadilan Tinggi Jakarta sebanyak 111 (seratus sebelas) orang dengan rincian sebagai berikut :

Ketua/Wakil Ketua : 2 orang Hakim Tinggi : 22 orang Hakim Ad Hoc : 4 orang

Pansek/Wapan/Wasek : 3 orang Panmud/Kasub : 7 orang

Panitera Pengganti : 38 orang Staf : 35 orang

Wilayah hukum Pengadilan Tinggi Jakarta pada awal terbentuknya hanya membawahi 3 (tiga) Pengadilan Tingkat pertama yaitu:

a. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

b. Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan Utara

6


(48)

c. Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Selatan

Dengan adanya pemekaran wilayah dan meningkatnya volume perkara, maka dengan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: JB.1/1/3 tanggal 23 Maret 1978, 3 (tiga) Pengadilan Negeri tersebut dipecah menjadi 5 (lima) Pengadilan Tingkat Pertama yaitu:

a. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. b. Pengadilan Negeri Jakarta Timur. c. Pengadilan Negeri Jakarta Utara. d. Pengadilan Negeri Jakarta Barat. e. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

2 Tugas pokok Pengadilan Tinggi sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 51 dan Pasal 52 Undang-Undang No. 2 tahun 1986 Jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, antara lain :

a. Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding;

b. Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri didaerah hukumnya;

c. Pengadilan Tinggi dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum kepada instansi Pemerintah didaerahnya, apabila diminta;


(49)

38

diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang;

e. Melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan tingkat pertama. Pengadilan Tinggi Jakarta dalam menjalankan tugas dan fungsinya dituangkan dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) Pengadilan Tinggi Jakarta, dalam hal ini Renstra tahun 2010-2014.

a. Renstra Pengadilan Tinggi Jakarta merupakan pelaksanaan misi dalam mewujudkan visinya secara bertahap. Rencana yang sedang dilaksanakan Pengadilan Tinggi Jakarta pada saat ini adalah menyesuaikan dengan Rencana Mahkamah Agung tahun 2010-2014. b. Renstra sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan Pengadilan Tinggi

Jakarta lima tahun ke depan, rencana strategis ini dijabarkan ke dalam program-program yang kemudian diuraikan ke dalam rencana tindakan (action plan). Rencana strategis ini diharapkan didukung oleh anggaran yang memadai, dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang kompeten, ditunjang oleh sarana dan prasarana serta memperhitungkan perkembangan lingkungan Pengadilan Tinggi Jakarta,baik lingkungan internal maupun eksternal.

c. Pengadilan Tinggi Jakarta sebagai bagian dari unit organisasi Mahkamah Agung dalam menjalankan tugas dan fungsi atau kegiatannya tersebut adalah untuk mendukung tercapainya visi dan misi Mahkamah Agung yaitu terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang agung.


(50)

2. Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Strategis

a. Visi

Visi merupakan gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang diinginkan untuk mewujudkan tercapainya Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Tinggi Jakarta. Visi Pengadilan Tinggi Jakarta mengacu pada Visi Mahkamah Agung RI, yaitu :“MEWUJUDKAN PENGADILAN TINGGI JAKARTA YANG

AGUNG”

b. Misi

Misi adalah sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan sesuai visi yang telah ditetapkan agar tujuan organisasi dapat terlaksana dan terwujud dengan baik.

Misi Pengadilan Tinggi Jakarta adalah sebagai berikut :

1) Mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan dan transparan.

2) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Aparatur Peradilan dalam rangka peningkatan pelayanan pada masyarakat.

3) Melaksanakan pengawasan dan pembinaan yang efektif dan efisien.

4) Melaksanakan tertib administrasi dan manajemen peradilan secara efektif dan efisien.

5) Mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana peradilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


(51)

40

6) Peningkatan kualitas sumber daya manusia. 7) Peningkatan penyediaan sarana dan prasarana. c. Tujuan

Tujuan adalah sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu satu sampai dengan lima tahun. Penetapan tujuan disesuaikan dengan pernyataan visi dan misi Pengadilan Tinggi Jakarta.

Tujuan yang hendak dicapai oleh Pengadilan Tinggi Jakarta adalah sebagai berikut :

1) Peningkatan penyelesaian pekara;

2) Terpenuhinya kebutuhan dan kepuasan pencari keadilan; 3) Peningkatan pengelolaan penyelesaian perkara;

4) Peningkatan aksesibiltas masyarakat terhadap peradilan (acces to justice);

5) Peningkatan kualitas pengawasan;

6) Peningkatan kualitas sumber daya manusia; 7) Peningkatan penyediaan sarana dan prasarana; d. Sasaran Strategis

Sasaran adalah penjabaran dari tujuan secara terukur, yaitu sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu lima tahun kedepan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014.

Sasaran strategis yang hendak dicapai Pengadilan Tinggi Jakarta adalah sebagaiberikut :


(52)

1) Penyelesaian perkara. 2) Aksesibilitas putusan hakim.

3) Efektifitas pengelolaan penyelesaian perkara.

4) Aksesibilitas masyarakat terhadap peradilan (acces to justice). 5) Kepatuhan terhadap putusan pengadilan.

6) Pengawasan yang berkualitas.

7) Sumber Daya Manusia yang berkualitas 8) Penyediaan sarana dan prasana

3. Fungsi Tugas Dan Yurisdisi

Pengadilan Tinggi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum mempunyai tugas dan kewenangan sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2004, dan yang kedua dengan Undang-Undang-undang RI Nomor 49 Tahun 2009, di mana dalam pasal 51 dinyatakan bahwa : a. Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana

dan perkara perdata di Tingkat Banding.

b. Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di Tingkat Pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.

Disamping tugas dan kewenangan sebagaimana tersebut di atas, Pengadilan Tinggi juga dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukum kepada instansi pemerintah di daerahnya apabila


(53)

42

diminta (pasal 52 ayat 1 UU RI No. 2 Tahun 1986). Selain tugas dan kewenangan di atas, Pengadilan Tinggi juga diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang (Pasal 52 ayat 2 UU RI No. 2 Tahun 1986).7

7

http://www.pt-jakarta.go.id/situs2/index.php?option=com_content&view=article&id=244&Itemid=285 diakses pada tanggal 2 Maret 2015


(54)

OLEH KOMISI KEJAKSAAN

A. Mekanisme dan Prosedur Pengawasan Pegawai Kejaksaan Oleh Komisi Kejaksaan

Dalam isi Perpres 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan sebagian besar kewenangan Komisi Kejaksaan ialah menerima laporan pengaduan dari masyarakat. Penerimaan laporan pengaduan masyarakat merupakan salah satu kewenangan Komisi Kejaksaan yang paling populer di tengah masyarakat.1 Sehingga hal tersebut yang menjadi fokus dari komisi kejaksaan yakni menitikberatkan pemrosesan laporan pengaduan yang diterima dari masyarakat. Untuk itu bagaimana memproses laporan pengaduan yang diterima sehingga dapat terpantau proses kelanjutan dari pengaduan apakah ditindak lanjuti oleh pihak pengawasan internal dari pengadilan tinggi jakarta itu sendiri dan menjadi tantangan untuk Komisi Kejaksaan menyusun suatu peraturan di dalam internal Komisi Kejaksaan baagaimana tata cara penanganan laporan pengaduan oleh masyarakat yang efektif, efisien dan mendetail dengan dukungan teknologi informasi.

Bagaimana Komisi Kejaksaan mengatur mekanisme dan prosedur pengawasan pegawai kejaksaan oleh Komisi Kejaksaan di pengadilan tinggi jakarta. Mekanisme pengawasan tertuang dalam peraturan internal yang dibuat Komisi Kejaksaan sebagai acuan dan panduan bagi Komisioner dan sekretariat

1


(55)

dalam melaksanakan tugas Komisi Kejaksaan dengan membuat beberapa peraturan di dalam internal Komisi Kejaksaan diantaranya:

1. Peraturan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Nomor: PER-01/KK/04/2012 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Komisi Kejaksaan. 2. Peraturan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Nomor:

PER-02/KK/04/2012 Tentang Kelompok Kerja Komisi Kejaksaan.

3. Peraturan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Nomor: PER-03/KK/04/2012 Tentang Penyelenggaraan Rapat Dan Pengambilan Keputusan.

4. Peraturan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Nomor: PER-04/KK/04/2012 Tentang Hubungan Kelembagaan Dan Masyarakat.

5. Peraturan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Nomor: PER-05/KK/04/2012 Tentang Tata Cara Penanganan Laporan Pengaduan Masyarakat.

Laporan pengaduan yang diterima Komisi Kejaksaan berasal dari berbagai pihak baik itu masyarakat yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan Jaksa/ Pegawai Kejaksaan ketika sedang melaksanakan tugas kedinasan maupun diluar tugas kedinasan bahkan menerima laporan pengaduan dari pihak internal dalam hal ini laporan dari Jaksa/Pegawai Kejaksaan yang melaporkan rekan sesama Jaksa/Pegawai Kejaksaan.

Komisi Kejaksaan menerima laporan pengaduan melalui beberapa sumber. Baik itu pelapor membawa secara langsung ke kantor Komisi Kejaksaan atau mengirimkan berkas laporan pengaduan baik itu melalui jasa


(56)

Pos atau PO Box atau pengaduan melalui surat elektronik (email) di alamat

pengaduan@komisi-kejaksaan.go.ig.

Laporan pengaduan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pelapor atau kuasanya dengan memuat:

1. Identitas pelapor yang lengkap; Nama, Alamat, Pekerjaan, No. Telp disertai dengan Fotokopi KTP pelapor. Jika pelapor bertindak selaku kuasa, disertai dengan surat kuasa;

2. Identitas terlapor (Jaksa/Pegawai Kejaksaan) secara jelas; Nama, Jabatan, NIP, Alamat lengkap Unit Kerja Terlapor;

3. Uraian mengenai hal yang menjadi dasar laporan pengaduan. Alasan pengaduan diuraikan secara jelas dan rinci disertai alat bukti yang diperlukan berupa surat-surat bukti, saksi dan lain-lain;

4. Laporan pengaduan ditandatangani oleh pelapor/kuasanya; 5. Dan dikirmkan ke alamat Komisi Kejaksaan RI.

Untuk pengaduan melalui email maka dilengkapi dengan KTP/Indentitas diri Pelapor/ kuasanya dan surat kuasa (jika pelapor bertindak selaku kuasa) yang telah discan dalam bentuk soft copy (file).

Setelah berkas laporan pengaduan diterima berkas akan di regristrasi pada bagian sekretariat Komisi Kejaksaan yang kemudian akan di serahkan ke Komisioner untuk di telaah terlebih dahulu sebelum di bawa ke dalam rapat pleno. Komisioner masaing-masing melakukan telaah administratif dan substansif atas Laporan Pengaduan dengan dukungan Kelompok Kerja paling lambat 5(lima) hari sejak diterima dari sekretaris berdasarkan disposisi Ketua,


(57)

6

dalam hal ini tidak memenuhi syarat administrasi, Pelapor atau Kuasa Pelapor diminta untuk melengkapi dan menyampaikan kepada Komisi Kejaksaan, maka Laporan Pengaduan diregister sebagai kategori Informasi.

Hasil telaah yang sudah lengkap kemudian disampaikan dalam rapat pleno, di dalam rapat pleno kemudian akan dibahas oleh seluruh komisioner. Hasil dari rapat pleno berupa:

1. Rekomendasi Tindak Lanjut (untuk dilakukan inspeksi kasus atau pemeriksaan);

2. Rekomendasi Klarifikasi;

3. Diteruskan pada instansi data kepada Pelapor; 4. Dimintakan kelengkapan data kepada Pelapor; 5. Diinformasikan kepada Pelapor;

6. Diarsipkan.

Kemudian rekomendasi akan diserahkan kepada pihak pengawas internal, kemudian secara periodik akan dipantau oleh Komisi Kejaksaan untuk mengetahui proses penanganan dan pemeriksaan, serta bagaimana tindak lanjut pengaduan dan rekomendasi yang diberikan.

Keseluruhan hasil pemantauan akan disusun dalam berkas laporan pemantauan. Laporan tersebut akan kembali ditelaah oleh Komisioner guna mengetahui apakah ada bukti atau informasi baru yang belum dan perlu diklarifikasi lebih lanjut. Hasil atas telaah pemantauan digunakan untuk mengetahui apakah ada pemeriksaan yang tidak dikoordinasikan dengan Komisi Kejaksaan, dan atau untuk mengetahui apakah pihak pengawasan


(58)

internal bersungguh-sungguh melakukan pemeriksaan. Serta untuk mengetahui apakah rekomendasi dilaksanakan pengawas internal.

Dalam hal pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan dan pengambilalihan pemeriksaan hal tersebut dapat dilakukan apabila ada bukti atau informasi baru yang dalam pemeriksaan sebelumnya belum diklarifikasi dan/atau memerlukan klarifikasi lebih lanjut dan apabila pemeriksaan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan tidak dikoordinasikan sebelumnya dengan Komisi Kejaksaan. Pengambilalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf e Perpres 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan dapat dilakukan apabila pemeriksaan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan tidak menunjukkan kesungguhan atau belum menunjukkan hasil nyata dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak laporan masyarakat atau laporan Komisi Kejaksaan diserahkan ke aparat pengawas internal Kejaksaan; diduga terjadi kolusi dalam pemeriksaan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan. Dalam melakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan dan pengambilanalihan pemeriksaan Komisi Kejaksaan memberitahukan kepada Jaksa Agung.

Tidak terlibat perubahan secara mendasar mengenai Tugas Komisi Kejaksaan antara Perpres No.18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan dengan Perpres 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan, pada Perpres No.18 tahun 2011 dibedakan antara pengawasan terhadap kinerja, sikap, dan perliaku di dalam melaksanakan tugas dan kewenangnya dengan perilaku di luar tugas kedinasannya dengan tambahan selain mendasarkan pengawasan, pemantauan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku juga berdasarkan kode etik yang ada.


(59)

48

Sedangkan tugas menyampaikan masukan kepada Jaksa Agung atas hasil pengawasan, pemantauan, dan penilaian disebutkan pada pasal yang terpisah. Jadi, terkesan memberikan masukan kepda Jaksa Agung bukan menjadi tugas atau kewajiban Komisi Kejaksaan hanya dalam kondisi tertentu saja Komisi Kejaksaan dapat memberikan masukan kepada Jaksa Agung, sehingga Komisi Kejasaan tidak lagi leluasa memberikan masukan kepada Jaksa Agung perihal temuan yang didapat oleh Komisi Kejaksaan.

B. Eksistensi lembaga Komisi Kejaksaan RI dalam menjaga kinerja jaksa di Pengadilan Tinggi Jakarta

Sebagai langkah awal mendukung pelaksanaan tugas, Komisi Kejaksaan telah membuat peraturan Internal dan prosedur standar penanganan laporan pengaduan masyarakat yang berbentuk Peraturan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Nomor: PER-05/KK/04/2012 Tentang Tata Cara Penanganan Laporan Pengaduan Masyarakat sebagaimana telah di jelaskan pada bab sebelumnya.

Komisi Kejaksaan di dalam melaksanakan fungsi pengawasan menitikberatkan memproses laporan pengaduan dari masyarakat. Sebagaimana telah di jelaskan pada bab sebelumnya mengenai mekanisme dan prosedur pengawas, Komisi Kejaksaan telah membuat peraturan internal mengenai hal tersebut. Laporan pengaduan yang masuk terlebih dahulu baru akan diPleno. Setelah di pleno, sesuai keputusan pleno rekomendasi diberikan kepada Jaksa Agung agar aparat pengawas internal menindak lanjuti.


(60)

telah dijadwalkan dalam peraturan internal Peraturan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Nomor: PER-0/KK/04/2012 Tentang Penyelenggaraan Rakyat Dan Pengambilan Keputusan dilakukan sekurang-kurangnya satu kali dalam seminggu.2 Bila melihat tata cara penyelenggaraan dan pengambilan keputusan dalam peraturan tersebut pada pasal 8 yang berisi:

1. Rapat Pleno diselenggarakan oleh Ketua yang didahului dengan adanya undangan dari Ketua kepada Anggota Komisioner. Dalam hal Ketua berhalangan, undangan rapat dapat dilakukan oleh Wakil Ketua atau Sekretaris Komisi.

2. Rapat Pleno dapat diusulkan oleh Anggota Komisi. Usulan Rapat Pleno dapat disampaikan baik secara tertulis ataupun lisan di dalam pleno.

3. Rapat Pleno dihadiri oleh diseluruh Anggota Komisi atau sekurang-kurangnya oleh 5 (lima) Anggota Komisi.

4. Hak suara dalam pengambilan keputusan dalam rapat pleno dimiliki oleh setiap anggota Komisi yang hadir dalam pleno.

5. Apabila ada anggota Komisi yang tidak dapat hadir dikarenakan satu dan lain hal dengan alasan yang sah, maka anggota Komisi bersangkutan dapat menyampaikan pendapatnya secara tertulis untuk dibahas di dalam Rapat Pleno.

6. Rapat pleno di pimpin oleh Ketua Komisi dalam hal Ketua berhalangan, rapat dipimpin oleh Wakil Ketua, dan dalam hal Wakil Ketua berhalanganrapat dipimpin oleh Sekretaris Komisi, dan dalam hal

2

Indonesia Peraturan Komisi Kejaksaan Nomor : PER-03/KK/04/2012 Tentang Penyelenggaraan Rapat Dan Pengambilan Keputusan, Pasal 8 Nomor 15.


(1)

Pasal 27

Untuk dapat diangkat sebagai anggota Komisi Kejaksaan harus memenuhi syarat;

a. Warga Negara Indonesia;

b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang M aha Esa;

c. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan; d. Diutamakan mempunyai pengalaman di bidang hukum paling

singkat 15 (lima belas) tahun;

e. Memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela; f. Sehat jasmani dan rohani;

g. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak kejahatan; dan

h. Melaporkan harta kekayaan.

Pasal 28

(1) Calon anggota Komisi Kejaksaan yang mewakili Pemerintah diajukan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan kepada Presiden.

(2) Calon anggota Komisi Kejaksaan dari unsur masyarakat dipilih melalui proses seleksi oleh Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Kejaksaan.

(3) Panitia Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum masa jabatan anggota Komisi Kejaksaan berakhir.

(4) Anggota Panitia Seleksi terdiri dari wakil pemerintah, pemerhati

hukum dan tokoh masyarakat.

Pasal 29

(1) Seleksi Calon Anggota Komisi Kejaksaan dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.


(2)

Kejaksaan diatur lebih lanjut oleh Ketua Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Kejaksaan.

Pasal 30

(1) Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Kejaksaan

menyampaikan kepada Presiden nama-nama calon Anggota Komisi Kejaksaan sebanyak 2 (dua) kali jumlah Anggota Komisi Kejaksaan yang dibutuhkan untuk dipilih Presiden.

(2) Nama-nama calon Anggota Komisi Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota Komisi Kejaksaan.

Pasal 31

(1) Anggota Komisi Kejaksaan diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun.

(2) Anggota Komisi Kejaksaan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

(3) Masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Anggota Komisi Kejaksaan.

(4) Anggota Komisi Kejaksaan yang telah berakhir masa jabatannya secara otomatis tetap menjabat sebelum ditetapkannya anggota Komisi Kejaksaan yang baru.

Pasal 32

Pegawai Negeri yang diangkat sebagai anggota Komisi Kejaksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 selama menjabat sebagai anggota Komisi Kejaksaan tidak kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri.

Pasal 33

(1) Pegawai Negeri yang berhenti atau telah berakhir masa jabatannya sebagai anggota Komisi Kejaksaan, kembali ke instansi induknya apabila belum mencapai batas usia pensiun. (2) Pegawai Negeri yang diangkat menjadi anggota Komisi

Kejaksaan diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri apabila telah mencapai batas usia pensiun dan

diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.


(3)

(1) Sebelum memangku jabatannya, Anggota Komisi Kejaksaan wajib diambil sumpah atau janji secara bersama-sama menurut agamanya oleh Presiden.

(2) Anggota Komisi Kejaksaan yang berhalangan diambil sumpah atau janji secara bersama-sama sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diambil sumpah atau janji oleh Ketua Komisi Kejaksaan

Pasal 35

Anggota Komisi Kejaksaan yang berasal dari unsur masyarakat dilarang merangkap menjadi:

a. Pejabat negara menurut peraturan perundang-undangan; b. Hakim atau Jaksa;

c. Advokat;

d. Notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah;

e. Pengusaha, pengurus, atau karyawan badan usaha milik negara atau badan usaha swasta; atau

f. Pengurus partai politik.

Bagian Kedua Pemberhentian

Pasal 36

Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Kejaksaan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden apabila:

a. Meninggal dunia; b. Permintaan sendiri;

c. Sakit jasmani atau rohani terus menerus; atau d. Berakhir masa jabatannya.

Pasal 37

(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Kejaksaan diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden apabila:

a. Melanggar sumpah jabatan;

b. Dijatuhi pidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan perbuatan tercela;

d. Terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya; atau

e. Melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.


(4)

f. Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Komisi Kejaksaan

Pasal 38

Anggota Komisi Kejaksaan dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden, apabila:

a. Terdapat perintah penangkapan yang diikuti penahanan; b. Dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana.

Pasal 39

(1) Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Komisi

Kejaksaan, Presiden dapat memilih dan mengangkat Anggota Komisi Kejaksaan Pengganti berdasarkan usulan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.

(2) Anggota Komisi Kejaksaan Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari calon hasil Panitia Seleksi yang pernah diajukan kepada Presiden dengan

memperhatikan unsur keterwakilan Anggota Komisi Kejaksaan.

(3) Masa jabatan Anggota Komisi Kejaksaan Pengganti

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir bersamaan dengan masa jabatan anggota yang digantikannya.

(4) Anggota Komisi Kejaksaan Pengganti diambil sumpah atau janji oleh Ketua Komisi Kejaksaan.

BAB V

PEMBIAYAAN DAN HAK KEUANGAN

Pasal 40

Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara cq. Anggaran Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.

Pasal 41

(1) Kepada anggota Komisi Kejaksaan diberikan hak keuangan dan fasilitas lainnya yang diatur dengan Peraturan Presiden.

(2) Anggota Komisi Kejaksaan apabila berhenti atau telah berakhir masa jabatannya, tidak diberikan pensiun dan/atau pesangon.


(5)

BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 42

Hasil seleksi Calon Anggota Komisi Kejaksaan yang dilakukan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk oleh Jaksa Agung sebelum

ditetapkannya Peraturan Presiden ini dipertimbangkan sebagai calon anggota Komisi Kejaksaan dengan memperhatikan komposisi keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

Pasal 43

Sekretariat Komisi Kejaksaan sebagaimana diatur dalam peraturan ini sudah harus terbentuk selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak

Peraturan Presiden ini ditetapkan.

Pasal 44

Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, maka :

a. Sekretariat Komisi Kejaksaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia tetap melaksanakan tugasnya sampai dikeluarkannya ketentuan yang baru berdasarkan Peraturan Presiden ini;

b. Sekretariat Komisi Kejaksaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi

Kejaksaan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak ditetapkannya Peraturan Presiden ini menyerahkan seluruh arsip, dokumen, barang inventaris dan peralatan kantor lainnya yang berkaitan dengan tugasnya kepada Sekretariat Komisi Kejaksaan;

c. Biaya pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan dibebankan kepada anggaran belanja Kejaksaan Republik Indonesia sampai dengan Komisi Kejaksaan dan Sekretariat Komisi Kejaksaan memiliki anggaran sendiri yang merupakan bagian anggaran Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 45

Peraturan pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia masih tetap berlaku sepanjang belum diubah dan/atau diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Presiden ini.


(6)

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 46

Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, maka Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 47

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Maret 2011

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.