Peran Sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) terhadap Kontrol atas Tanah

PERAN SERTIFIKASI USAHA MIKRO DAN KECIL (UMK)
TERHADAP KONTROL ATAS TANAH

RINA KHAERUNNISA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Sertifikasi Usaha
Mikro dan Kecil (UMK) terhadap Kontrol atas Tanah adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013
Rina Kherunnisa
NIM I34090020

ABSTRAK
RINA KHAERUNNISA. Peran Sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
terhadap Kontrol atas Tanah. Dibimbing oleh HERU PURWANDARI.
Program sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) diselenggarakan untuk
membantu pengembangan usaha sektor UMK, melalui kegiatan penyertifikatan
tanah. Adanya program ini diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi
penerima program yang memanfaatkan fungsi ekonomi tanahnya. Pilihan
pemanfaatan fungsi ekonomi tanah ini didasarkan atas hak pemilik dalam
mengontrol tanah. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Loji dan Situ Gede,
dengan fokus penelitian pada pengaruh kepemilikan sertifikat UMK terhadap
kontrol atas tanah, serta kaitan antara kontrol tanah dengan prospek usaha.
Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dan kualitatif menggunakan
kuesioner serta panduan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kepemilikan sertifikat UMK di Loji dan Situ Gede berpengaruh pada
kenaikan tingkat kontrol tanah kategori tinggi setelah bersertifikat. Adanya

kontrol ini berpeluang menciptakan prospek peningkatan usaha, tetapi hanya pada
responden yang melakukan kegiatan pemanfaatan saja. Perbedaan pemanfaatan ini
diduga akibat perbedaan lokasi yang merupakan daerah urban dan rural urban.
Kata kunci : kontrol tanah, pemanfaatan tanah, prospek usaha, sertifikat UMK

ABSTRACT
RINA KHAERUNNISA. Certification’s role of Micro and Small Enterprises
(MSEs) of the Control of Land. Guided by HERU PURWANDARI.
The certification program Micro and Small Enterprises (MSEs) organized
to assist the development of SMEs sector, through certifying land activity. This
program expected to provide economic benefits to beneficiaries who utilize the
economic function of their land. The choices from economic function of land are
based on the right of the owner to control the land. The research was conducted
in the Loji and Situ Gede villages, with a research focus on the influence of the
MSE’s certificate ownership concerning the land control, and the relation
between ground control with business prospects. The research was carried out by
quantitative and qualitative methods using questionnaires and in-depth interview
guide. The results of this study indicate that the MSE’s certificate ownership in
Situ Gede Loji has effect to the increment the level of the land control to high
category after certified. The existence of this control has the opportunity to create

the prospect of a business’s excalation, but only to respondents who perform
activities use only. The difference of this utilization may be due to location
differences which are in urban and rural urban.
Keywords: control of land, land use, business prospects, MSE certificate

PERAN SERTIFIKASI USAHA MIKRO DAN KECIL (UMK)
TERHADAP KONTROL ATAS TANAH

RINA KHAERUNNISA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Judul Skripsi : Peran Sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) terhadap Kontrol
atas Tanah
Nama
: Rina Khaerunnisa
NIM
: I34090020

Disetujui oleh

Heru Purwandari, SP, M.Si.
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua Departemen

Tanggal Pengesahan : ___________________________


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 hingga
November 2012 ini ialah kajian agraria, dengan judul Peran Sertifikasi Usaha
Mikro dan Kecil (UMK) terhadap Kontrol atas Tanah.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Heru Purwandari, SP,
M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam
memberikan saran dan masukkan selama proses penulisan hingga penyelesaikan
skripsi. Kepada Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA selaku dosen penguji utama,
dan Dr. Ir. Dwi Sadono, M.Si selaku dosen penguji perwakilan SKPM. Selain itu,
penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak BPN, Kelurahan Loji,
Kelurahan Situ Gede, serta pihak-pihak yang membantu dalam proses penelitian
ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada Ayahanda
H.M.F. Machsus, SE dan Ibunda Hj. Enas Nasroh, S.Pd selaku orang tua tercinta
serta Yayan Muzayyan Lathifie, S.Kom dan Naila Adiba, selaku kakak dan adik
tersayang yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis. Tidak lupa
terimakasih penulis juga sampaikan kepada seluruh teman-teman Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 46 (khususnya Firda,
Rahma, Dini, Fia, Indra, Bahari, Dani, Randi, Yosa, dan Rangga), seluruh temanteman akselerasi (khususnya Agustin, Lulu H, Anggi IT, Bunga H, dan Selvi A),

rekan-rekan majalah Komunitas FEMA IPB, dan juga kakak-kakak SKPM
angkatan 45 (khususnya Kak Selvi, Kak Ola, dan Kak Helen) yang telah
mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi. Selain itu, penulis juga
mengucapkan terima kasih pada sahabat-sahabat diantaranya Imawati Annisa,
Annisa Nurfajrina, Citra Paramitha, Wahyu Widjiwati, Antharest S, D. Rizky
Wijaya, Desy Kusuma, Tri Utami, Irma, Chaidir, Bowo serta teman-teman lain
yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungannya selama ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2013
Rina Khaerunnisa

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix


DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Masalah Penelitian

3

Tujuan Penelitian

4


Kegunaan Penelitian

4

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka

5
5

Struktur Agraria

5

Struktur Kepemilikan

6

Pendaftaran Tanah


7

Sertifikasi: Pisau Bermata Dua

9

Program Sertifikasi Hak atas Tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK)

11

Kontrol atas Tanah dalam Kerangka Sertifikasi

12

Kerangka Pemikiran

14

Hipotesis Penelitian


15

Definisi Konseptual

16

Definisi Operasional

16

METODE PENELITIAN

19

Lokasi dan Waktu

19

Teknik Sampling


19

Teknik Pengumpulan Data

20

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

21

PROFIL DESA

23

Profil Kelurahan Loji

23

Kondisi Ekologi

23

Struktur Demografi dan Daya Dukung

24

Peluang Jasa dan Ekonomi Lokal

26

Profil Kelurahan Situ Gede

27

Kondisi Ekologi

27

Struktur Demografi dan Daya Dukung

28

Peluang Jasa dan Ekonomi Lokal

30

SERTIFIKASI UMK: MEDIA KEBUTUHAN LOKAL DAN SUPRA LOKAL31
Sertifikat UMK sebagai Program Lintas Sektor

31

Pandangan Komunitas Lokal terhadap Sertifikasi UMK

34

Ikhtisar

38

KONTROL ATAS TANAH

39

Tingkat Jual

39

Tingkat Sewa

43

Tingkat Gadai

47

Tingkat Kontrol Tanah sebagai Akumulasi Kegiatan Pemanfaatan Tanah

51

Ikhtisar

55

REALISASI PROGRAM DAN PENCAPAIAN PENINGKATAN PROSPEK
USAHA
57
Program Sertifikasi UMK: Analisa atas Kesenjangan

57

Pengaruh Kesenjangan terhadap Pencapaian Pemanfaatan Tanah

60

Kaitan Sertifikasi UMK dengan Peningkatan Prospek Usaha

63

Ikhtisar

67

SIMPULAN DAN SARAN

69

Simpulan

69

Saran

69

DAFTAR PUSTAKA

71

RIWAYAT HIDUP

92

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Dampak kepemilikan sertifikat
Sebaran penduduk Kelurahan Loji berdasarkan kategori umur
Sebaran penduduk Kelurahan Loji berdasarkan jenis mata pencaharian
Sebaran penduduk Kelurahan Loji berdasarkan tingkat pendidikan
Sebaran penduduk Kelurahan Situ Gede berdasarkan kategori umur
Sebaran penduduk Kelurahan Situ Gede berdasarkan jenis mata
pencaharian
Sebaran penduduk Situ Gede berdasarkan tingkat pendidikan
Sebaran tingkat jual tanah sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan Situ
Gede
Sebaran perubahan tingkat jual sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan
Situ Gede
Sebaran tingkat sewa tanah sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan Situ
Gede
Sebaran perubahan tingkat sewa tanah sertifikasi UMK di Kelurahan
Loji dan Situ Gede
Sebaran tingkat gadai tanah sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan Situ
Gede
Sebaran perubahan tingkat gadai sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan
Situ Gede
Sebaran tingkat kontrol tanah sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan
Situ Gede
Sebaran perubahan tingkat kontrol sertifikasi UMK di Kelurahan Loji
dan Situ Gede

11 
24 
25 
25 
28 
29 
29 
40 
40 
44 
44 
48 
48 
52 
53 

DAFTAR GAMBAR
1.
2.

Lingkup hubungan-hubungan agrarian
Kerangka pemikiran


15 

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.

Daftar responden di Kelurahan Loji menurut nama, alamat, usaha, dan
luas tanah
Daftar responden di Kelurahan Situ Gede menurut nama, alamat,
Nilai tingkat jual sebelum dan sesudah sertifikat UMK serta
perubahannya di Kelurahan Loji
Nilai tingkat jual sebelum dan sesudah sertifikat UMK serta
perubahannya di Kelurahan Situ Gede
Nilai tingkat sewa sebelum dan sesudah sertifikat UMK serta

74 
75 
76 
77 
78 

6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Nilai tingkat sewa sebelum dan sesudah sertifikat UMK serta
perubahannya di Kelurahan Situ Gede
Nilai tingkat gadai sebelum dan sesudah sertifikat UMK serta
Nilai tingkat gadai sebelum dan sesudah sertifikat UMK serta
perubahannya di Kelurahan Situ Gede
Nilai tingkat fungsi ekonomi tanah sebelum dan sesudah sertifikat
UMK serta perubahannya di Kelurahan Loji
Nilai tingkat fungsi ekonomi tanah sebelum dan sesudah sertifikat
UMK serta perubahannya di Kelurahan Situ Gede
Kuesioner
Panduan wawancara mendalam
Dokumentasi

79 
80 
81 
82 
83 
84 
88 
90 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah agraria adalah produk dari relasi antara masyarakat, negara, dan
lingkungan dengan menempatkan tanah dan kekuasaan sebagai inti persoalan.
Relasi-relasi tersebut melibatkan aspek kekuasaan (politik), kesejahteraan
(ekonomi), dan hirarki (sosial) yang mengakibatkan semakin tergerusnya
penguasaan rakyat atas sumber-sumber penghidupan (Wiradi 2009a).
Pembangunan di Indonesia saat ini dihadapkan pada masalah penyediaan tanah.
Tanah dibutuhkan oleh banyak orang sedangkan jumlahnya tetap, sehingga tanah
yang tersedia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan yang terus meningkat
terutama kebutuhan untuk perumahan, pertanian, dan pembangunan fasilitas
umum. Mengingat arti pentingnya tanah bagi kehidupan masyarakat, maka
diperlukan pengaturan yang lengkap dalam hal penggunaan, pemanfaatan, dan
pemilikan tanah sesuai dengan hukum yang berlaku (Arifin 2008).
Reforma agraria merupakan suatu solusi dalam perubahan struktur
kepemilikan atas tanah tersebut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dalam pidato kenegaraan, menyatakan akan melaksanakan Program Pembaruan
Agraria Nasional (PPAN) atau Program Reforma Agraria. Program Pembaruan
Agraria Nasional (PPAN) ini lebih ditumpukan kepada dua hal yaitu: (1)
redistribusi lahan secara terbatas, dan (2) sertifikasi tanah. Langkah itu dilakukan
dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan
konversi, dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan boleh diperuntukkan
bagi kepentingan rakyat (Pidato Kenegaraan Susilo Bambang Yudhoyono dalam
Arifin 2008). Menurut Rosset et al. (2008), akses tanah bagi mereka yang tak
bertanah dapat memberikan kesempatan masyarakat secara adil untuk
mengakumulasikan asetnya. Terbukanya akses rakyat terhadap tanah maka
kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraannya pun semakin besar. Oleh
karena itu administrasi tanah sangat penting dalam proses reforma agraria. Tanpa
adanya peraturan pertanahan dan peran administrasi, kebijakan dan strategi
reforma agraria akan gagal. Sistem administrasi tanah dapat menyiapkan
keamanan tenurial untuk investasi pribadi jangka panjang. Lebih lanjut, De Soto
dalam Amir (2008) menyatakan pentingnya pencatatan atau sertifikasi tanah,
dengan asumsi setelah tanah tersebut terdata secara resmi dan sah, pemilik bisa
menjadikannya modal hidup. Kemakmuran bukan pada tanah melainkan pada
pemanfaatan tanah itu sendiri, sehingga tanah harus diolah untuk meningkatkan
pendapatan pemilik tanah.
Pemerintah mewajibkan untuk melaksanakan pendaftaran tanah yang ada di
seluruh Indonesia. Kewajiban itu tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA)
pasal 19 ayat (1), yang berbunyi: “untuk menjamin kepastian hukum hak dan
tanah oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Menurut
PP No. 10 Tahun 1961 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan tujuan dari pendaftaran tanah yaitu untuk
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak
atas suatu bidang tanah dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat

2
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, menyediakan
informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, serta untuk terselenggaranya
tertib administrasi pertanahan. Sejak UUPA diundangkan tahun 1960 sampai
dengan tahun 2006 telah diterbitkan sebanyak 33.74 juta sertifikat hak atas tanah
atau sekitar 36% jumlah bidang tanah yang perlu disertifikat di luar kawasan
hutan. Sekitar 65% dari jumlah tersebut diterbitkan melalui kegiatan pendaftaran
tanah secara sporadik dan 35% sisanya melalui pendaftaran tanah secara sistemik,
seperti ajudikasi PAP, PRONA, dan sektoral lainnya (transmigrasi, perkebunan,
sawah, irigasi, UKM, dll) (Amir 2008).
Penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia kenyataannya belum
mencapai hasil yang menggembirakan (Iswanto 1991). Kaitannya dengan program
sertifikasi, terdapat kelompok yang seringkali kepentingannya terabaikan yaitu
kelompok miskin seperti kaum buruh perdesaan dan perempuan. Menurut hasil
penelitian de Soto (2000), sebagian besar masyarakat miskin sudah memiliki aset
yang mereka butuhkan, tetapi mereka memegang sumberdaya ini dalam bentuk
yang tidak sempurna karena belum terdaftar secara resmi. Studi Bank Dunia
dalam Soehendera (2010) menyebutkan bahwa hanya 20% dari tanah di Indonesia
yang terdaftar di BPN. Kondisi ini menyebabkan banyaknya “penguasaan”
maupun “penggunaan” tanah yang informal, terutama oleh kelas menengah ke
bawah. Akibatnya, mereka tidak bisa memanfaatkan kepemilikan tanah tersebut
sebagai jaminan untuk meminjam modal atau agunan ke bank. Maka dari itu,
salah satu cara yang sangat efektif dalam mewujudkan administrasi di bidang
pertanahan adalah dengan mempercepat pendaftaran tanah di Indonesia melalui
penyelenggaraan secara sistematik (Ismy 2005).
Salah satu program pemerintah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah
yaitu sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Kegiatan legalisasi UMK
merupakan bantuan bagi pengusaha skala kecil dan menengah untuk mendapatkan
sertifikat hak atas tanah bagi usaha yang sedang dijalaninya. Sertifikasi UMK ini
difasilitasi oleh pemerintah dengan bantuan dana dari APBN. Selama ini sektor
UKM tersendat perkembangannya, karena tak dapat mengakses permodalan dari
bank atau lembaga keuangan, salah satunya karena legalisasi usaha yang belum
dilakukan. Oleh karena itu program pemberdayaan UMK melalui kegiatan
sertifikasi hak atas tanah ini diharapkan dapat meningkatkan kontrol pemilik
dalam memanfaatkan tanahnya.
Pemanfaatan tanah dapat memberikan sumbangan ekonomi sehingga dapat
mendorong prospek peningkatan usaha. Kegiatan pemanfaatan tanah ini menjadi
mekanisme kontrol bagi pemilik tanah dalam menggunakan sumberdaya yang
dimiliki. Kepastian pemanfaatan ini dapat dilakukan secara legal dan formal
karena hak atas tanah telah tertera dalam sertifikat. Menurut Hall et al. (2011),
formalisasi dapat membuat pemilik bertambah haknya karena batas tanah yang
jelas, kepemilikan tercatat di sistem registrasi, diakuinya kepemilikan tanah dan
dimilikinya hak untuk menjual, mentransfer, atau menjaminkannya. Selain itu,
Hall et al. (2011) juga menambahkan bahwa sertifikasi ternyata dapat pula
menimbulkan proses akumulasi dan kehilangan lahan melalui transfer tanah. Hal
ini menunjukkan bahwa kepemilikan sertifikat dapat menimbulkan dua sisi. Pada
kasus Serikat Petani Pasundan (SPP), para petani melakukan berbagai aksi
kolektif seperti reklaiming demi diakuinya kepemilikan tanah yang sudah mereka
garap bertahun-tahun dalam bentuk kepemilikan sertifikat (Fermata 2006).

3
Meskipun sertifikat memiliki dua sisi, namun tidak dapat dipungkiri jika
kepemilikannya sangat dinanti oleh banyak orang, seperti halnya yang terjadi pada
Serikat Petani Pasundan (SPP).
Di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,
Provinsi Jawa Barat masih banyak usaha-usaha yang belum bersertifikat, maka
pemerintah melakukan kebijakan dengan memberikan fasilitas dan kemudahan
kepada pemegang hak atas tanah berupa keringanan dalam pembiayaan dan
mempercepat proses penyelesaian sertifikat. Selain itu, kedua daerah ini
merupakan daerah yang memperoleh alokasi untuk kegiatan sertifikasi hak atas
tanah UMK di wilayah Kota Bogor. Program sertifikasi ini bertujuan
meningkatkan kepastian hukum tanah UMK agar dapat memiliki kontrol dalam
memanfaatkan tanah, khususnya dalam hal akses terhadap modal. Sertifikasi
UMK di Bogor Barat telah selesai diselenggarakan pada tahun 2010, dan telah
dilaksanakan sebanyak 25 bidang di Kelurahan Loji dan 29 bidang di Kelurahan
Situ Gede. Berdasarkan uraian di atas maka sangat menarik untuk mengkaji peran
kepemilikan sertifikat melalui program sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede terhadap kontrol kepemilikan tanah,
tetapi dilihat pada wilayah yang tidak berkonflik seperti pada Kelurahan Loji dan
Situ Gede ini.

Masalah Penelitian
Pemerintah mewajibkan pendaftaran tanah di Indonesia, namun hasilnya
belum begitu memuaskan. Banyak masyarakat yang tidak mampu
mensertifikatkan tanahnya karena pendaftaran tanah di Indonesia cenderung
berbelit-belit, prosesnya lama, dan biayanya mahal. Pemerintah akhirnya
menetapkan program sertifikasi hak atas tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
bagi pengusaha yang selama ini tersendat dalam perkembangan usahanya.
Program ini diharapkan dapat meningkatkan kontrol pemilik dalam memanfaatkan
tanah, khususnya pada akses terhadap modal. Menurut de Soto (2000) formalisasi
aset memungkinkan seseorang untuk mengatur, mengendalikan, dan
menghubungkannya dengan aset yang lain. Adanya pemanfaatan tanah merupakan
upaya kontrol pemilik tanah terhadap sumberdaya yang dimilikinya.
Masalah umum yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu sejauhmana
peran kepemilikan sertifikat UMK terhadap upaya kontrol pemilik atas tanah.
Adapun beberapa masalah spesifik yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Sejauhmana kepemilikan sertifikat UMK berpengaruh terhadap potensi
hilangnya kontrol pemilik tanah di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ
Gede?
2. Sejauhmana sertifikasi UMK berpeluang dalam menciptakan prospek
peningkatan usaha?

4
Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian yang telah dikemukakan, disusunlah
beberapa tujuan penelitian guna menjawab rumusan masalah dan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Menganalisis pengaruh kepemilikan sertifikat UMK yang berpotensi
terhadap hilangnya kontrol pemilik atas tanah UMK di Kelurahan Loji dan
Kelurahan Situ Gede.
2. Menganalisis kepemilikan sertifikat UMK yang mendorong penciptaan
prospek peningkatan usaha.

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai kalangan, antara
lain:
1. Akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan
kajian untuk penelitian selanjutnya serta menambah khasanah penelitian
mengenai pelaksanaan pendaftaran tanah sistematik melalui program
sertifikasi tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang dilakukan oleh
pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPNRI).
2. Pemerintah, penelitian ini dapat diharapkan sebagai sarana evaluasi program
sertifikasi tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang telah atau sedang
dilaksanakan oleh pemerintah.
3. Masyarakat, penelitian ini dapat membantu masyarakat untuk mengambil
manfaat yang dihasilkan oleh program sertifikasi tanah Usaha Mikro dan
Kecil (UMK).

5

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Struktur Agraria
Secara etimologis, istilah “agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa
Latin, “ager”, yang artinya: (a) lapangan; (b) wilayah; (c) tanah negara (Prent et
al. dalam Wiradi 2009b). Kata-kata “wilayah”, “tanah negara” jelas menunjukkan
arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwakili
olehnya. Sitorus (2002) menambahkan bahwa lingkup agraria mengandung
pengertian yang luas dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu
bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan
kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya. Lingkup agraria tersebut mencakup
dua unsur yaitu mengenai objek agraria atau sumber-sumber agraria dan subjek
agraria. Unsur pertama, objek agraria menurut UUPA yakni menyangkut (1) tanah
atau “permukaan bumi” yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan
pertanian dan peternakan, (2) perairan, baik di darat maupun di laut yang meliputi
kegiatan perikanan (sungai, danau, maupun laut), (3) hutan, meliputi kesatuan
flora dan fauna dalam suatu kawasan tertentu dan merupakan modal alami utama
dalam kegiatan ekonomi komunitas-komunitas, (4) bahan tambang, mencakup
beragam bahan tambang/mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi”, dan (5)
udara, dalam arti ruang di atas bumi dan air. Unsur kedua mengenai subjek agraria
yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria
tersebut. Secara kategoris, subjek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga), pemerintah (sebagai
representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga kategori ini memiliki
ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan/
pemanfaatan (tenure institutions).
Hubungan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan membawa implikasi
terbentuknya ragam hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial antara ketiga
kategori subjek agraria (Sitorus 2002). Lebih lanjut menurut Sitorus (2002),
hubungan tersebut dibagi ke dalam dua bentuk yaitu hubungan teknis dan
hubungan sosial. Hubungan teknis dapat dilihat dalam bentuk kerja pemanfaatan
berdasar hak penguasaan (land tenure). Land tenure adalah hak atas tanah atau
penguasaan tanah, sedangkan land tenancy adalah orang yang memiliki,
memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah
tertentu. Hubungan teknis tersebut menunjukkan cara kerja subjek agraria dalam
pengolahan dan pemanfaatan objek agraria untuk memenuhi kebutuhannya.
Ketiga subjek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial
dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan objek agraria tertentu. Proporsi ini
menggambarkan hubungan sosial agraria yang menunjukkan cara kerja subjek
agraria saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan objek agraria. Dengan kata
lain, hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses dalam hal penguasaan,
pemilikan, dan pemanfaatan lahan. Hubungan-hubungan sosial agraria yang
digambarkan oleh Sitorus (2002) dapat dilihat pada Gambar 1.

6
Komunitas
Sumber-sumber

Pemerintah

Swasta

Keterangan :
Hubungan teknis agraria (kerja)
Hubungan sosial agraria
Gambar 1 Lingkup hubungan-hubungan agrarian
Struktur agraria pada penelitian ini adalah hubungan antara subjek dengan
sumber-sumber agraria mencakup penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan lahan.
Menurut Wiradi (2009b), perlu dibedakan antara istilah pemilikan, penguasaan,
dan pemanfaatan tanah. Kata pemilikan menunjuk pada penguasaan formal hak
milik atas tanah yaitu hak yang sah untuk menggunakan, mengolah, menjualnya
dan memanfaatkan tanah, sedangkan kata penguasaan menunjukkan pada
penguasaan efektif. Misalnya jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain
maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Jika sesorang menggarap
tanah miliknya sendiri, misalya 2 Ha, lalu menggarap juga 3 Ha tanah yang
disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 Ha. Kata pemanfaatan nampaknya
cukup jelas, yaitu menunjuk pada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan
secara produktif. Pemilikan lahan tidak selalu mencerminkan penguasaan lahan,
karena memang ada berbagai jalan untuk menguasai lahan, misalnya melalui
sewa, sakap, gadai, dan sebagainya. Perubahan struktur agraria yang dimaksud
dalam penelitian ini, mencakup perubahan pola pemilikan lahan, pola penguasaan
lahan, dan pemanfaatan lahan masyarakat setempat menjadi lebih formal dengan
adanya pendaftaran tanah.

Struktur Kepemilikan
Pengertian kepemilikan dan penguasaan tanah seringkali dianggap sama.
Namun terdapat perbedaan mendasar antara pengertian kepemilikan dan
penguasaan. Pengertian kepemilikan lebih condong kepada status hak
(entitlement) sedangkan penguasaan mengacu pada total luasan yang dikuasai atau
diusahakan. Kepemilikan mengandung arti adanya hak untuk menggunakan tanah
bagi pemiliknya, baik hak untuk menjual, menggadaikan, menyewakan,
mewariskan atau mengusahakan untuk kepentingan pemiliknya. Sementara
pengertian penguasaan mengandung arti adanya hak untuk menggunakan tanah
berdasarkan sewa atau kontrak tertentu, tetapi tidak dapat dipindah tangankan oleh
yang menguasai tanah tersebut (Wijayanti dalam Hidayat 2002).
Beberapa istilah modern mengenai kepemilikan tanah yakni meliputi milik
perorangan dan milik komunal. Milik perorangan yaitu suatu bentuk penguasaan

7
tanah dimana seseorang menduduki sebidang tanah dan dapat menyerahkan
kepada ahli warisnya serta dapat mengatur secara bebas, seperti menjual,
menyewakan, atau menggadaikan. Sementara milik komunal merupakan bentuk
penguasaan, dimana seseorang (atau keluarga) memanfaatkan tanah tertentu yang
hanya merupakan bagian dari tanah komunal desa. Hal ini berarti orang tersebut
tidak berhak untuk menjual atau memindahtangankan tanah dan pemanfaatannya
biasanya digilir secara berkala (Eindresume dalam Kano 2009). Berdasarkan
Wiradi dan Makali (2009), masalah pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang
penting dalam kehidupan pedesaan. Menurutnya, mereka yang memiliki tanah
luas akan mempunyai jangkauan lebih besar kepada sumber nonpertanian, atau
sebaliknya.

Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah merupakan persoalan penting dalam UUPA, karena
pendaftaran tanah akan menghasilkan surat tanda bukti hak atas tanah yang
disebut sertifikat. Pada PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftaran
tanah adalah “rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terusmenerus, berkesinambungan dan teratur melalui pengumpulan, pengelolaan,
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satu-satuan rumah
susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak
tertentu yang membebaninya”. Harsono dalam Ismy (2005), merumuskan
pendaftaran tanah sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
negara/pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan
keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayahwilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan
rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan
termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya. Berdasarkan pengertian
yang telah dikemukakan di atas, pendaftaran tanah merupakan suatu rangkaian
kegiatan pengumpulan data pertanahan yang dilakukan pemerintah untuk
menetapkan jaminan kepastian hukum atas tanah. Terselenggaranya pendaftaran
tanah menyebabkan kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanah,
subjek hak, dan objek haknya menjadi jelas karena tercantum dalam sertifikat,
sehingga dapat mengurangi terjadinya persengketaan hak atas tanah.
Adanya kepastian hukum atas tanah merupakan salah satu tujuan
terselenggaranya pendaftaran tanah. Lebih lanjut, tujuan pendaftaran tanah
menurut Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu memberikan kepastian hukum,
menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan untuk
terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Kepastian hukum tersebut juga
diperlukan dalam menghadapi kasus-kasus konkret untuk dapat membuktikan hak
atas tanah yang dikuasainya, sedangkan penyediaan informasi dapat diperlukan
bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti calon pembeli dan calon kreditur
untuk mengetahui data-data mengenai objek tanah yang dikuasai.
Pendaftaran tanah menurut Pasal 19 UUPA ayat 1 yaitu meliputi:
a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;

8
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
Penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian
hukum di bidang kepemilikan atau penguasaan tanah, diselenggarakan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN) berlandaskan PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Menurut PP tersebut, dinyatakan bahwa pendaftaran tanah
dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir, dan
terbuka. Penjelasan dari asas-asas tersebut, yakni sebagai berikut (Supriadi 2008):
1. Asas Sederhana
Asas sedarhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuanketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh
pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.
2. Asas Aman
Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah
perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat
memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3. Asas Terjangkau
Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang
memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan
golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka
penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang
memerlukan.
4. Asas Mutakhir
Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya, dan data yang
tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti
kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di
kemudian hari. Asas ini menuntut pula dipeliharanya data pendaftaran tanah
secara terus-menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di
Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan
masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat,
dan itulah yang berlaku pula pada asas terbuka.
5. Asas Terbuka
Asas terbuka mengisyaratkan agar data pendaftaran tanah yang tersedia
dapat diinformasikan kepada pemegangnya atau kepada pihak lain yang
membutuhkan untuk digunakan sesuai prosedur yang berlaku.
Pasal 11 PP No. 24 Tahun 1997 menegaskan bahwa pelaksanaan
pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya dan
pemeliharaan data pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
kalinya meliputi pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan
pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis serta
penyimpanan daftar umum dokumen. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran
tanah meliputi pendaftaran peralihan dan pembebanan hak serta pendaftaran
perubahan data pendaftaran lainnya.
Berdasarkan rujukan dari beberapa sumber, objek pelaksanaan pendaftaran
tanah sangat strategis bagi bidang-bidang tanah milik masyarakat yang masih
banyak belum didaftar, berstatus hak milik adat, surat tanda bukti kepemilikan hak

9
atas tanah masih berupa girik (tradisional), dan juga tanah-tanah eks perkebunan
negara yang telah dikelola oleh petani setempat. Status kepemilikan hak atas tanah
tersebut dikonversi menjadi hak milik demi kekuatan pembuktian kepemilikan
hak atas tanah bagi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu,
dibandingkan dengan alat bukti tertulis lainnya, sertifikat merupakan tanda bukti
hak yang kuat. Artinya, harus dianggap sebagai benar sampai dibuktikan
sebaliknya di pengadilan dengan bukti yang lain (Risnarto 2007). Meningkatnya
kebutuhan akan tanah memerlukan kepastian jaminan hukum sebagai tempat
tinggal ataupun untuk kegiatan usaha. Dengan demikian, pendaftaran tanah
merupakan kewajiban bagi semua warga negara dalam rangka tertib pertanahan
dan upaya peningkatan pembangunan nasional, melalui penguasaan dan
pemanfaatan tanah dengan kepastian hak milik.

Sertifikasi: Pisau Bermata Dua
Kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah di
perkotaan dapat melindungi yang bersangkutan dari aksi penyerobotan ataupun
penggusuran. Menurut de soto (2000), formalisasi aset memungkinkan seseorang
untuk mengatur, mengendalikan, dan menghubungkannya dengan aset yang lain.
Kapitalisasi aset dapat menjadi sumberdaya yang dapat meningkatkan
produktivitas dan juga kemakmuran negara. Sementara menurut Hall et al. (2011)
menyatakan bahwa formalisasi dapat membuat pemilik bertambah haknya karena
batas tanah yang jelas, kepemilikan tercatat di sistem registrasi, diakuinya
kepemilikan tanah dan dimilikinya hak untuk menjual, mentransfer, atau
menjaminkannya.
Demikian pula menurut Soehendera (2010), perolehan hak formal dapat
memperkuat kedudukan sosio-ekonomi warga miskin perkotaan dan melindungi
mereka dari penggusuran. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil penelitian Smeru
(2002) bahwa sekitar 70% responden percaya dengan kepemilikan sertifikat tanah,
mereka sekarang memiliki keamanan yang lebih besar karena diperolehnya
pengakuan hak atas kepemilikan tanah mereka. Selanjutnya, penelitian Iswanto
(1991) menunjukkan bahwa 47.06% responden menyatakan perlu sertifikat tanah
jika dirasakan memerlukan tanda bukti hak yang kuat agar tanahnya terlindungi
oleh hukum, sedangkan 52.94% menyatakan perlu memiliki sertifikat tanah jika
untuk memperoleh pinjaman uang di bank.
Menurut penelitian Arisudi et al. (2008), di pedesaan tanah merupakan
simbol status bagi seseorang atau keluarga. Kepemilikan tanah yang luas
merupakan suatu kekuasaan politik di desanya sehingga dapat menjadikan
seseorang terhormat dan dipandang tinggi di desa. Masyarakat pedesaan yang
tidak memiliki tanah akan terpinggirkan, sehingga mereka tidak mempunyai
posisi tawar (bargaining position) yang kuat untuk turut menentukan kebijakan di
desanya. Hal ini karena mereka memiliki status sosial yang lebih rendah.
Pemerintah mewajibkan formalisasi kepemilikan tanah untuk mendapat
informasi yang lebih jelas mengenai siapa yang menggunakan, dengan tujuan apa,
dan untuk mengontrol kepemilikan tanah dengan diberlakukannya sistem pajak
(Hall et al. 2011). Kepemilikan tanah juga dapat menentukan akses petani dalam
memperoleh sumberdaya ekonomi, misalnya dari segi kredit dan teknologi. Petani

10
yang memiliki tanah yang luas akan lebih cepat menyerap teknologi baru serta
memiliki akses yang lebih besar dalam memperoleh kredit dan input-input lain
karena setiap kredit memerlukan agunan (Husken dan White dalam Arisudi et al.
2008). SHM merupakan salah satu jaminan yang dapat diterima oleh bank karena
dianggap memenuhi persyaratan yuridis maupun ekonomis. Terpenuhinya
persyaratan tersebut, dimaksudkan agar dalam pelunasan piutangnya terpenuhi
dan merupakan jaminan secara hukum (Amir 2008). Selain itu, harga tanah dari
tahun ke tahun semakin meningkat sehingga dapat meningkatkan investasi
seseorang. Hal ini sesuai dengan penelitian Smeru (2002), bahwa telah terjadi
kenaikan investasi untuk peningkatan atau perbaikan tanah sebesar 5.3% melalui
PAP.
Meskipun demikian, menurut Soehendera (2010) sertifikat tanah juga
memiliki dampak negatif diantaranya memudahkan transaksi dan perpindahan
pemilikan dari warga miskin ke orang-orang lain dan kesulitan dalam memecah
sertifikat dalam hal pewarisan atau penjualan sebagian. Hall et al. (2011) juga
menambahkan bahwa sertifikasi dapat memperkuat proses akumulasi dan
kehilangan lahan melalui transfer tanah. Tanah lebih mudah diperjualbelikan dan
memungkin kerentanan golongan kecil tercabut hak atas tanahnya akibat terlilit
hutang.
Hal ini sesuai dengan penelitan Smeru (2002), bahwa setelah adanya
sertifikat telah terjadi kenaikan transaksi tanah meskipun hanya 1.7%. Kemudahan
peralihan dan pemecahan hak tanah warga miskin yang disertifikatkan, berarti
keamanan hak atas tanah mereka terancam terpinggirkan dan hilang. Keadaan ini
jika tidak dikelola dengan seksama mendorong pemusatan tanah ke pihak
ekonomi kuat (Risnarto 2007). Selain itu, Iswanto (1991) menyatakan bahwa
munculnya sertifikat dapat meningkatkan ketimpangan penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
Penelitan Soehendera (2010) menyatakan bahwa sebagian warga yang
berhasil memperoleh sertifikat di Kampung Rawa, Jakarta Pusat, kebanyakan
tetap dalam kondisi kumuh dan status lahan yang dikuasainya tetap “extralegal”.
Hal ini karena BPN menyebut tanahnya dengan status “tidak dikenal”. Ini
menunjukkan bahwa tujuan sertifikasi untuk menjamin kepastian hukum hak atas
tanah tidak terjadi. Tanah yang ”tidak dikenal” tersebut menurut UUPA (UU No.
5 Tahun 1960) merupakan penguasaan atau pemilikan tanah warga yang berstatus
ilegal. Soehendera (2010) menambahkan bahwa berbagai masalah yang dihadapi
warga, ternyata memunculkan adanya brokers (perantara) dan free-rider
(pendompleng bebas). Kemunculan perantara adalah untuk membantu warga
dalam mempermudah pengurusan sertifikat hak atas tanahnya, sedangkan freeriders hanya memanfaatkan situasi dan kondisi yang muncul saat itu demi
keuntungan pribadi. Kepemilikan sertifikat ternyata berdampak pada aspek-aspek
berikut ini:

11
Tabel 1 Dampak kepemilikan sertifikat
Positif
Kepastian hak atas tanah, sehingga
melindungi dari aksi penyerobotan
atau penggusuran.
Memperkuat kedudukan sosioekonomi warga miskin (tanah yang
luas menjadikan dirinya terhormat).
Memudahkan akses memperoleh
sumberdaya ekonomi (kredit dan
teknologi).
Sumber investasi.

Negatif
Peningkatan transaksi dan peralihan
hak tanah, terutama dari warga miskin
ke pihak lain.
Meningkatnya ketimpangan
penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah.
Timbulnya kategori tanah yang tidak
dikenal (penguasaan ilegal).
Munculnya brokers (perantara) dan
free-rider (pendompleng bebas).

Program Sertifikasi Hak atas Tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
Sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menunjukkan bahwa usaha ini
mempunyai ketahanan relatif lebih baik dibanding usaha besar pada masa krisis.
UKM berperan positif dalam membuka lapangan kerja maupun mengatasi
kemiskinan. UKM adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan
memenuhi kriteria kekayaan bersih paling banyak Rp200 000 000, tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling
banyak Rp1 000 000 000; milik warga negara Indonesia; berdiri sendiri dan bukan
merupakan anak perusahaan (UU RI No 9 Tahun 1995). Namun, sektor UKM
memiliki keterbatasan terhadap perolehan modal untuk meningkatkan usahanya.
Oleh karena itu, pemerintah memberdayakan UKM salah satunya dengan
memfasilitasi pembuatan sertifikasi tanah.
Pemerintah melaksanakan sertifikasi hak atas tanah Usaha Mikro dan Kecil
(UMK) melalui kerjasama Kementerian Negara Koperasi dan UKM dengan BPN
RI yang tertuang dalam Kesepakatan Bersama (KB) antara Menteri Negara
Koperasi dan UKM dengan Kepala BPN No. 04/SKB/M.UKM/VII/2003, tanggal
16 Juli 2003. Program sertifikasi tanah milik Pengusaha Mikro dan Kecil (PMK)
ini merupakan salah satu program pembangunan koperasi dan UKM di bidang
pembiayaan. Tujuan program ini adalah (1) meningkatkan kemampuan UMK
dalam memperoleh kredit dari bank, (2) meningkatkan ratio tertib administrasi
pertanahan, dan (3) meningkatkan status agunan (Sidipurwanty 2008).
Sasaran program menurut petunjuk teknis yaitu pelaku Usaha Mikro dan
Kecil (UMK) dan/atau calon debitur pada Bank dan Koperasi yang membutuhkan
tambahan kredit dan secara teknis dinyatakan layak tetapi belum memiliki
sertifikat hak atas tanah. Sertifikasi UMK dilaksanakan menurut beberapa kriteria
objek diantaranya tanah tidak dalam status sengketa, luas tanah pertanian
maksimal 2 Ha sedangkan tanah non pertanian maksimal 2000 m2, bukan tanah
warisan yang belum dibagi, dan tanah tersebut sudah dikuasai secara fisik oleh
pelaku UMK.
Legalisasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) termasuk sertifikasi tanah
khusus, yakni program sertifikasi tanah atas dasar kerjasama antara instansi,

12
misalnya kerjasama antara BPN-RI dengan Kementrian Koperasi-UKM dalam
memberi bantuan untuk para pengusaha kecil menengah berupa tanda bukti hak
atas tanah atau sertifikat tanah yang dilaksanakan oleh BPN-RI (Amir 2008).
Dukungan dan bantuan usaha tampaknya menjadi keharusan, apalagi mengingat
jumlah manusia yang terlibat di dalam kelompok ini teramat besar yakni
menggapai proporsi mayoritas lebih dari 90% pelaku ekonomi di Indonesia
(Bustomi 2003). Intervensi pemerintah untuk memberdayakan UKM telah
melingkupi organisasi usaha. Pada kelembagaan terendah, terdapat kelembagaan
koperasi dan di level yang lebih tinggi terdapat beberapa departemen yang turut
andil dalam pemberdayaan UKM. Salah satu bank yang mempunyai andil dalam
pembiayaan kredit untuk sektor UKM biasanya adalah PT. Bank Rakyat Indonesia
(BRI). BRI bekerjasama dengan BPN-RI melakukan penyeleksian sasaran
penerima sertifikasi UMK, sehingga sertifikat tanah yang diperoleh dapat
dijadikan pinjaman modal ke BRI. Dengan adanya sertifikat tanah yang dianggap
sebagai alat bukti terkuat pemilik tanah, diharapkan akan mendorong pemanfaatan
tanah yang lebih efektif dan efisien, serta berfungsi secara ekonomi mencari
modal melalui lembaga hak tanggungan yang dapat digunakan untuk
meningkatkan produktivitas usahanya sehingga mampu memberikan nilai tambah
tanah yang bermanfaat (Amir 2008).

Kontrol atas Tanah dalam Kerangka Sertifikasi
Pesatnya perkembangan ekonomi masyarakat dewasa ini, khusus di bidang
pertanahan menyebabkan nilai ekonomi dari tanah semakin tinggi dan
menyebabkan status hak tanah semakin penting, karena akan memberikan jaminan
kepemilikan atas tanah dan memberi kepastian hukum bagi pemilik tanah yang
bersangkutan. Kedudukan seseorang/masyarakat/negara dalam memanfaatkan
sumberdaya diposisikan sesuai dengan kumpulan hak (bundle of right) yang
dimilikinya. Ostrom dan Schlager (1992) menggambarkan hak milik sebagai
pengelompokan dari lima tingkat operasional hak:
1. Hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki wilayah
tertentu, berlaku bagi pemanfaat yang diijinkan (authorized users), pemakai
atau penyewa (claimant), kepunyaan (propeitors), dan pemilik (owners).
2. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu hak untuk mengambil
manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan penyewa,
kepunyaan, dan pemilik.
3. Hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola
pemanfaatan dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan tertentu,
berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik.
4. Hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi akses
pihak lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini,
berlaku bagi kepunyaan dan pemilik.
5. Hak pelepasan (rights of alienation), yaitu hak untuk melepaskan
penguasaan atas sesuatu, berlaku bagi pemilik saja. Hak pelepasan
merupakan hak tertinggi karena pemilik mampu berbuat apa saja atas
sesuatu yang diklaim sebagai miliknya.

13
Tingkatan hak ini disediakan sebagai alat untuk memahami bagaimana distribusi
yang berbeda dari bundle of right yang dapat mempengaruhi insentif individu
untuk mengelola sumber daya. Oleh karena itu, kedudukan sebagai pemilik
(owner) merupakan kedudukan yang memiliki hak paling lengkap. Pemilik tanah
memiliki kontrol dalam memanfaatkan tanahnya, karena telah memiliki legalitas
yang tertuang pada sertifikat yang dimiliki.
Salah satu faktor ekonomi dan non ekonomi yang mempengaruhi nilai tanah
adalah hak atas tanah (property right). Hal ini sesuai dengan penelitan Risnarto
(2007), yang menemukan bahwa telah terjadi peningkatan nilai tanah berdasarkan
jenis hak atas tanah, yakni 13.52% untuk sertifikat Hak Milik, 6.08% untuk
sertifikat Hak Guna Bangunan, 4.57% untuk sertifikat Hak Guna Usaha, 4.21%
untuk belum bersertifikat dan 1.79% untuk Hak Milik atas satuan rumah susun.
Jadi bagi pemilik tanah, sertifikat hak milik sangat menentukan harga tanah itu
sendiri karena dapat memperoleh pengaruh langsung atas tanah dengan kepastian
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai tujuan yang
ingin dicapai. Demikian pula bila tanah tersebut akan dialihkan pada pihak lain,
kedua pihak akan merasa yakin tidak ada sengketa dikemudian hari karena
mempunyai bukti kepemilikan yang kuat. Hal ini sesuai dengan penelitan Smeru
(2002) bahwa sebanyak 98.4% responden menyatakan kepemilikan sertifikat
dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka. Berdasarkan hasil penelitian Smeru
(2002), kepemilikan sertifikat tersebut bermanfaat pada hal-hal berikut:
kepemilikan kuat secara hukum, sertifikat dapat memberikan rasa aman dan dapat
dijaminkan, tanah bersertifikat mudah dijual, dan harganya pun kian meningkat.
Fungsi ekonomi tanah menurut Tarigan dan Fauzia (2006) yakni tanah dapat
diperjualbelikan, dapat disewakan, dan dapat dijadikan jaminan kredit. Adanya
sertifikat yang diagunkan ke bank untuk memperoleh pinjaman, berarti dengan
kepemilikan sertifikat dapat dimanfaatkan dalam membantu perekonomian
mereka. Kegiatan pemanfaatan dilihat dari fungsi ekonomi tanah ini merupakan
insentif pemilik dalam mengontrol haknya terhadap sumberdaya yang dikuasai.
Namun, penelitian Amir (2008) menunjukkan bahwa program sertifikasi tanah
belum memberi pengaruh nyata terhadap peningkatan pendapatan petani selaku
pemilik tanah, sebelum SHM tersebut dimanfaatkan sebagai jaminan kredit.
Berdasarkan hasil penelitian Smeru (2002), telah terjadi kenaikan perolehan kredit
melalui pengagunan sertifikat sebanyak 12.8%. Adanya pengagunan sertifikat
tersebut, meningkatkan pula kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar
33.2%. Sertifikat dapat diagunkan ke bank ataupun pada hubungan kekerabatan
dalam masyarakat. Berbagai kesulitan yang dihadapi warga miskin dengan
lembaga formal menjadikan tetap berkembangnya sektor informal. Mereka dapat
saling meminjam uang sebagai strategi untuk mempertahankan hidup. Selain itu,
pengagunan sertifikat bagi petani dapat meningkatkan akses terhadap kredit dan
teknologi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas pertanian
mereka. Hasil penelitian Aldrianto (2001) menemukan bahwa petani dengan tanah
bersertifikat cenderung melaksanakan teknologi konservasi dalam bercocok
tanam, karena mengutamakan aspek sustainability dari tanah. Hal ini berarti
petani tersebut melakukan investasi lahan untuk meningkatkan produktivitas
lahannya, sehingga pendapatan aktual (masa kini) petani lebih rendah tetapi
pendapatan potensialnya (masa datang) akan lebih besar. Dengan demikian, petani

14
tersebut menyadari sekumpulan hak yang melekat pada dirinya sebagai pemilik
tanah, sehingga ia melakukan upaya kontrol tanah melalui produktivitas lahannya.
Pemanfaatan sertifikat dapat pula digunakan untuk perumahan, tempat
rekreasi, ataupun untuk tempat usaha sehingga tanah tersebut dapat bermanfaat
bagi pemiliknya. Pemanfaatan tanah yang dijadikan tempat usaha merupakan
upaya dari pemilik tanah untuk meningkatkan pendapatannya. Tanah maupun
bangunan di atasnya dapat disewakan ataupun dijual sehingga merupakan ladang
investasi bagi pemilik tanah tersebut. Secara luas, pemanfaatan tanah berdampak
pula pada peningkatan kesempatan kerja bagi masyarakat melalui pengupayaan
tanah menjadi lahan usaha. Hasil penelitian Soehendera (2010) menyatakan
bahwa di Kampung Rawa terdapat 67 buah industri rumahtangga. Adanya industri
rumahtangga di Kampung Rawa mengindikasikan bahwa terdapat strategi
bertahan hidup masyarakat melalui pemanfaatan tanah menjadi tempat usaha, baik
skala kecil, menengah, maupun agak besar.
Meskipun demikian, terdapat sebagian warga yang tidak begitu memahami
fungsi dan peran sertifikat hak miliknya, sehingga mereka tidak memanfaatkan
dan hanya menyimpan di bawah bantal. Kepemilikan sertifikat yang hanya ditaruh
di bawah bantal membuat orang tersebut tidak dapat merasakan manfaat yang
diperoleh setelah adanya kepemilikan sertifikat. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Soehendera (2010) bahwa masyarakat Kampung Rawa, Jakarta Pusat
cenderung memilih menyimpan sertifikat di bawah bantal karena adanya sikap
kehati-hatian atau keragu-raguan terhadap lembaga keuangan resmi. Mereka
merasa ragu dan takut untuk masuk ke dalam sektor formal meskipun dilengkapi
dengan surat-surat resmi. Hal ini dapat pula dinyatakan sebagai upaya kontrol
pemilik dalam menjaga keberlanjutan tanahnya. Selain itu, dalam
perkembangannya terdapat tanah-tanah yang dikuasai dalam bentuk Hak Milik,
Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan serta Hak Pakai yang tidak
dimanfaatkan secara maksimal. Tanah tersebut merupakan tanah terlantar1 yang
biasanya dimiliki sekelompok kecil masyarakat yang memang memiliki modal
untuk membeli tanah seluas-luasnya. Seharusnya, tanah terlantar jangan dibiarkan
begitu saja tanpa adanya pemanfaatan secara fungsi agar dapat meningkatkan