Analisis zonasi kawasan teluk bungus dalam rangka arahan penataan ruang pesisir Kota Padang Provinsi Sumatera Utara

(1)

AHMAD

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Zonasi Kawasan Teluk Bungus Dalam Rangka Arahan Penataan Ruang Pesisir Kota Padang Provinsi Sumatera Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Ahmad NRP: A353060201


(3)

ABSTRACT

AHMAD. Zoning Analysis of Bungus Bay for Spatial Planning of Coastal Area in Padang City, West Sumatera Province. Supervised by: DWI PUTRO TEJO BASKORO and DARMAWAN.

The objectives of this study are to evaluate land utilization in Bungus bay based on Regional Spatial Planning map (RTRW) and Coastal Zoning map and to set up spatial utilization by considering integration of upstream and downstream area including coastal area. To meet the objective biophysical and perception anaysis with reference to laws and regulations are performed.

Data are analized using methods of: (1) overlay, (2) descriptive analysis and (3) process hierarchical analysis. The result shows that inconsistency exists between RTRW and coastal zoning map particularly in allocating protected area. The RTRW is not fully considering biophysical condition and existing land use in allocating various land utilization. Some existing land utilizations such as Bungus harbor, mangrove are not allocated in RTRW. Whereas some land uses were placed on unsuitable land. The result also shows that institutional aspect is given higher priority with weighted score of (0,454), followed by social economy (0,246), environment (0,168), biophysical aspect (0,133). Subcriteria with the highest and the the lowest point are conflict of utilization with weighted score of (0,287) followed by land suitability (0,060), repectively.

Zoning recommendation in the study area are: (1) protected area consisting of forest protection, beach border and river, mangrove belt and coral reef, (2) cultivation area/common utilization consisting of perennial plant, seasonal plant, harbor, industry, settlement, marine tourism, mariculture, and (3) special area / shipping zones of Teluk Bungus harbor and Pertamina harbor.


(4)

RINGKASAN

AHMAD. Analisis Zonasi Kawasan Teluk Bungus Dalam Rangka Arahan Penataan Ruang Pesisir Kota Padang Provinsi Sumatera Barat. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan DARMAWAN.

Kawasan Teluk Bungus merupakan salah satu kawasan di Kota Padang yang memiliki sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan yang dapat dikembangkan untuk menggerakkan perekonomian di Kota Padang. Potensi sumberdaya yang terdapat di Kawasan Teluk Bungus, meliputi sumberdaya lahan untuk aktifitas pertanian, pemukiman, industri, pelabuhan, kawasan lindung, pariwisata, dan budidaya laut. Selain sumberdaya lahan, di daerah ini juga terdapat ekosistem pesisir, yaitu terumbu karang dan mangrove. Salah satu upaya agar pemanfaatan lahan di Kawasan ini lebih terarah dan dapat memberikan manfaat baik masa sekarang, maupun masa yang akan datang maka perlu disusun zonasi setiap peruntukan ruang berdasarkan kesesuaian lahan dengan berpedoman aturan perundang-undangan.

Penelitian ini bertujuan: untuk melakukan evaluasi peruntukan ruang di Kawasan Teluk Bungus menurut Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Peta Zonasi Pesisir serta menyusun zonasi peruntukan ruang yang memperhatikan keterpaduan hulu-hilir di wilayah darat hingga pesisir dengan pendekatan analisis biofisik dan analisis persepsi dengan berpedoman pada aturan perundang-undangan.

Teknik pengolahan dan analisis data melalui: (1) tumpang susun, (2) deskriptif, dan (3) analisis hirarkhi proses. Hasil analisis konsistensi terhadap

peruntukan ruang di Kawasan Teluk Bungus menunjukkan bahwa antara Peta RTRW dan Peta Zonasi Pesisir tidak konsisten. Selain tidak konsisten juga terjadi penyimpangan peruntukan ruang terhadap kondisi biofisik. Peruntukan kawasan di daerah penelitian terdiri dari: kawasan lindung dengan luas 3.668 ha atau 59,2 %, kawasan budidaya tanaman tahunan dengan luas 1.593 ha atau 25,6 %, dan kawasan budidaya tanaman semusim dengan luas 959,4 ha atau 15,4 %. Hasil analisis hirarkhi proses (AHP) menunjukkan bahwa sektor pertanian dan perikanan lebih prioritas dikembangkan di Kawasan Teluk Bungus, bila dibandingkan pemukiman, pariwisata, industri, dan budidaya laut (keramba jaring apung).

Arahan Zonasi di daerah penelitian, terdiri dari: (1) Kawasan lindung/konservasi, terdiri dari: hutan lindung, sempadan pantai dan sungai, hutan bakau, dan terumbu karang, (2) Kawasan budidaya/pemanfaatan umum, terdiri dari: tanaman tahunan, tanaman semusim, pelabuhan, industri, pemukiman, pariwisata pantai, budidaya keramba jaring apung, dan (3) Kawasan khusus/zona alur, terdiri dari: alur pelayaran pelabuhan Teluk Bungus dan alur pelayaran pelabuhan Pertamina.


(5)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindung Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

ANALISIS ZONASI KAWASAN TELUK BUNGUS DALAM

RANGKA ARAHAN PENATAAN RUANG PESISIR

KOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

AHMAD

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

(8)

Disetujui Komisi Pembimbing

Tanggal Ujian: 27 Januari 2009 Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Analisis Zonasi Kawasan Teluk Bungus Dalam Rangka Arahan Penataan Ruang Pesisir Kota Padang Provinsi Sumatera Barat

Nama : Ahmad

NRP : A353060201

Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Darmawan, M.Sc Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan

Sekolah Pasca Sarjana IPB

Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(9)

Teruntuk:

Ayahanda H. Djamhari dan Ibunda Wambe

Ayahanda H. Zubaer Batubara dan Ibunda Hj. Tuti Zahara Harahap Adinda Liza Damayanti, SH

Ananda Rafie Zuhairi Ahmad


(10)

PRAKATA

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: Analisis Zonasi Kawasan Teluk Bungus Dalam Rangka Arahan Penataan Ruang Pesisir Kota Padang Provinsi Sumatera Barat. Proses penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Ayah dan Ibu atas segala doa dan kasih sayang yang senantiasa mengiringi langkah penulis;

2. Istri tercinta Liza Damayanti, SH dan anak tersayang Rafie Zuhairi;

3. Bapak Dr. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Darmawan, M.Sc, selaku Komisi Pembimbing atas arahan dan bimbingannya;

4. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr beserta segenap staf pengajar dan staf administrasi Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pasca Sarjana IPB;

5. Pimpinan dan staf Badan Riset Kelautan dan Perikanan atas kesempatan beasiswa dan bantuan pengurusan administrasi selama penulis menempuh pendidikan di Ilmu Perencanaan Wilayah, IPB;

6. Mahasiswa Pasca Sarjana IPB, khususnya Program Studi PWL IPB Program Reguler Angkatan 2006 atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis; 7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan karya ilmiah

ini.

Akhir kata semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak Wassalamu’Alaikum Wr.Wb.

Bogor, Januari 2009 Ahmad


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bau-Bau pada tanggal 06 Januari 1975 dari Ayah bernama Djamhari dan Ibu bernama Wambe. Penulis merupakan putra ketujuh dari tujuh bersaudara, dan mempunyai istri bernama Liza Damayanti serta seorang putra bernama Rafie Zuhairi Ahmad.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan penulis di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknik Geologi, Universitas Hasanuddin – Makassar yang ditamatkan pada tahun 2001.

Penulis saat ini bekerja sebagai salah satu staf di Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Pada tahun 2006, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) melalui bantuan beasiswa pendidikan dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………. xiii

DAFTAR GAMBAR ………... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………... xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ……….... 1

Perumusan Masalah ……….... 2

Tujuan Penelitian ……….... 3

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang ……….………... 4

Perencanaan Tata Ruang ………. 5

Zonasi ………... 7

Kawasan Budidaya dan Kawasan Lindung ………. 8

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 13

Jenis dan Sumber Data ... 15

Tahapan Penelitian ... 17

Analisis Data ... 17

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak Geografi dan Administrasi ... 25

Demografi dan Sosial Ekonomi... 25

Kondisi Fisik Wilayah ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsistensi Peruntukan Ruang di Kawasan Teluk Bungus ... 35

Evaluasi Penyimpangan Peruntukan Ruang dalam RTRW berdasarkan kondisi biofisik ... 46

Peruntukan Kawasan dan Kesesuaian Lahan ... 50

Persepsi Mengenai Peruntukan Ruang di Kawasan Teluk Bungus ... 61

Arahan Zonasi di Kawasan Teluk Bungus ... 64

KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis dan sumber data yang digunakan dalan penelitian ……….... 15

2. Kegunaan dari masing-masing software yang digunakan dalam penelitian 18 3. Kriteria kesesuaian lahan yang digunakan dalam penelitian ... 20

4. Skala perbandingan secara berpasangan (Saaty 1993) ……….. 22

5. Perbandingan jumlah, kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk serta sex ratio di Kecamatan Bungus Teluk Kabung dan Kota Padang tahun 2006 ... 26

6. Struktur mata pencaharian penduduk tahun 2000 ... 27

7. Kondisi topografi daerah penelitian ... 28

8. Satuan lahan dan tanah yang terdapat di Kawasan Teluk Bungus ... 30

9. Luas peruntukan ruang berdasarkan Peta RTRW Kota Padang 2004-2013 di daerah penelitian ... 35

10. Luas peruntukan ruang berdasarkan Peta Zonasi Pesisir (MCRMP 2004) di Kawasan Teluk Bungus... 36

11. Konsistensi peruntukan ruang berdasarkan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Peta Zonasi Pesisir di Kawasan Teluk Bungus .... 41

12. Luas dari setiap penggunaan/tutupan di daerah penelitian ... 42

13. Konsistensi tutupan/penggunaan lahan terhadap RTRW ... 44

14. Peruntukan pemukiman dalam RTRW berdasarkan kelas lereng ... 46

15. Peruntukan industri dalam RTRW berdasarkan kelas lereng ... 46

16. Peruntukan perkebunan dalam RTRW berdasarkan kelas lereng ... 47

17. Peruntukan kawasan di daerah penelitian berdasarkan kriteria Departemen Pertanian dan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 ... 50

18. Luas areal kesesuaian lahan untuk pemukiman ... 52

19. Luas areal kesesuaian lahan untuk industri ... 54

20. Luas areal kesesuaian lahan untuk budidaya keramba jaring apung (KJA) 59

21. Nilai gabungan persepsi berdasarkan aspek kriteria dalam peruntukan ruang di Kawasan Teluk Bungus ... 61

22. Persepsi berdasarkan aspek sub kriteria dalam peruntukan ruang di Kawasan Teluk Bungus ... 62

23. Prioritas peruntukan ruang di Kawasan Teluk Bungus ... 62


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Hirarkhi perencanaan pengelolaan wilayah pesisir (Departemen Kelautan

dan Perikanan 2008) ……….. 6

2. Lokasi daerah penelitian ………..………..………... 14

3. Diagram alir pendekatan penelitian ……….. 16

4. Tahapan analisis penetapan kawasan ... 19

5. Struktur hirarkhi prioritas arahan peruntukan ruang ……….. 23

6. Singkapan batuan vulkanik yang termasuk dalam Formasi Tufa Kristalin (QTt) di daerah penelitian ………... 29

7. Profil tanah yang terdapat di daerah penelitian ... 31

8. Tipe pantai di daerah penelitian. ... 33

9. Peta Rencana Pemanfaatan Lahan di daerah penelitian (RTRW Kota Padang 2004-2013) ... 37

10. Peruntukan ruang berdasarkan Peta Zonasi Pesisir di daerah penelitian (MCRMP 2004) ... 38

11. Konsistensi antara Peta RTRW (RTRW Kota Padang 2004-2013) dan Peta Zonasi Pesisir (MCRMP 2004) mengenai peruntukan ruang di Kawasan Teluk Bungus ... 40

12. Kondisi penggunaan/ tutupan lahan di Kawasan Teluk Bungus ... 43

13. Perbandingan luas peruntukan ruang dalam RTRW, Peta Zonasi Pesisir dan Penggunaan/ Tutupan Lahan ... 45

14. Inkonsistensi peruntukan ruang antara Peta RTRW dengan Penggunaan/ Tutupan Lahan di daerah penelitian ... 48

15. Evaluasi peruntukan ruang antara Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW Kota Padang 2004-2013) dengan kelas lereng ... 49

16. Peta Peruntukan Kawasan di daerah penelitian ... 51

17. Peta Kesesuaian Lahan untuk pemukiman di daerah penelitian ... 53

18. Peta kesesuaian Lahan untuk industri di daerah penelitian ... 55

19. Peta Kesesuaian Lahan untuk pelabuhan di daerah penelitian ... 57

20. Peta Kesesuaian pariwisata pantai di daerah penelitian ... 58

21. Peta Kesesuaian Lahan untuk budidaya keramba jaring apung ... 60

22. Nilai persepsi peruntukan ruang di Kawasan Teluk Bungus ... 63


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Satuan Lahan daerah penelitian ...………. 76

2. Peta Kelas Lereng daerah penelitian ... 77

3. Peta Geologi daerah penelitian ……….……….. 78

4. Peta Kedalaman Laut daerah penelitian …………... 79

5. Peta Sebaran Sedimen Dasar Laut daerah penelitian ... 80

6. Peta Karakteristik Pantai daerah penelitian ... 81

7. Rata-rata curah hujan dan banyaknya hari hujan bulanan dan tahunan di Kawasan Teluk Bungus - Kota Padang (2006) ... 82

8. Rata-rata iklim tahunan di Kawasan Teluk Bungus (2006) ... 82

9. Kriteria kawasan lindung menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990) ... 83

10. Kriteria kawasan budidaya tanaman tahunan (Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990) ... 84

11. Kriteria kawasan budidaya tanaman semusim (Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990) ... 84

12. Klasifikasi dan nilai skor kelerengan lapangan ... 85

13. Klasifikasi dan nilai skor jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi 85

14. Klasifikasi dan nilai skor intensitas hujan harian rata-rata ... 85

15. Penentuan dan klasifikasi kawasan ... 85

16. Kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman ... 86

17. Kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan ... 86

18. Kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai ... 87

19. Kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan industri ... 87

20. Kriteria kesesuaian lahan untuk keramba jaring apung (KJA) ... 88

21. Klasifikasi konsistensi peruntukan ruang antara Peta Zonasi Pesisir (MCRMP 2004) dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW Kota Padang 2004 – 2013) ... 88

22. Klasifikasi konsistensi peruntukan ruang antara penggunaan/ tutupan lahan dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ... 88

23. Klasifikasi konsistensi peruntukan ruang untuk pemukiman dan industri dalam Peta Rencana Tata Ruang Wilayah dengan kondisi biofisik ... 89

24. Klasifikasi konsistensi peruntukan ruang untuk perkebunan dalam Peta Rencana Tata Ruang Wilayah dengan kondisi biofisik ... 89

25. Daftar responden analisis persepsi arahan dan prioritas peruntukan ruang di Kawasan Teluk Bungus ……….. 89

26. Klasifikasi zona berdasarkan Undang-Undang Tata Ruang No. 26 Tahun 2007 dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ... 90

27. Deskripsi tanah di daerah penelitian ... 91

28. Padanan nama tanah di daerah penelitian ………... 93

29. Data kualitas air laut di Teluk Bungus tahun 2006 ……… 94


(16)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Ruang sebagai tempat manusia dan mahluk lain hidup melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya perlu dikelola secara baik agar dapat mendatangkan manfaat di masa sekarang maupun masa yang akan datang. Upaya menciptakan ruang yang produktif, nyaman, terpadu dan berkelanjutan dirasakan masih menghadapi tantangan yang berat. Hal ini disebabkan masih banyaknya permasalahan yang terjadi, seperti peruntukan ruang yang tidak berdasarkan kondisi biofisik wilayah, belum adanya keterpaduan dalam penyusunan tata ruang di daratan dan pesisir, perencanaan tata ruang kurang melibatkan partisipasi masyarakat dan lebih berorientasi kepentingan ekonomi dengan mengabaikan fungsi lingkungan yang menyebabkan terjadinya bencana alam.

Proses pengaturan ruang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Keberadaan undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang ternyata masih dianggap belum sepenuhnya dapat dijadikan acuan dalam penataan ruang secara terintegrasi antara ruang di daratan dan ruang di laut. Sebagai negara kepulauan, secara langsung maupun tidak langsung antara wilayah daratan yang termasuk daerah dataran tinggi dan wilayah pesisir yang letaknya berada pada dataran rendah memiliki hubungan fungsional dan merupakan suatu sistem tata ruang. Berdasarkan hal ini maka proses perencanaan ruang harus dilakukan secara menyeluruh dari hulu hingga hilir dalam satu kesatuan tata ruang. Bagian hulu yang berfungsi sebagai pengatur tata air harus dijaga dan dilindungi, karena kerusakan yang terjadi di daerah hulu akan berdampak pada daerah hilir. Sebaliknya, daerah hilir yang secara topografi berada pada daerah dataran rendah dan merupakan koridor yang diminati untuk berbagai aktifitas pembangunan perlu ditata secara baik untuk menghindari tumpang-tindih pemanfaatan ruang dengan berasaskan keterpaduan, konsistensi, potensi sumberdaya, daya dukung, dan adanya perlindungan terhadap ekosistem


(17)

di wilayah pesisir. Keberadaan ekosistem di wilayah pesisir tidak hanya berfungsi sebagai tempat berkembang biak biota laut, tetapi dapat mengurangi bahaya yang ditimbulkan oleh alam, seperti erosi dan abrasi.

Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memberikan suatu arahan dalam perencanaan di wilayah pesisir melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu (Integrated Coastal Management) dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh berbagai sektor dalam memanfaatkan ruang. Dalam kaitan inilah maka kegiatan evaluasi peruntukan ruang untuk berbagai aktifitas kegiatan memegang peranan penting dalam rangka mewujudkan ruang kehidupan yang dapat menjamin pemanfatan lahan secara optimal berdasarkan daya dukung dan potensi sumberdaya dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan.

Perumusan Masalah

Daerah penelitian termasuk sebagian wilayah Kecamatan Bungus Teluk Kabung yang merupakan gabungan bebrapa Daerah Aliran Sungai (DAS), baik besar maupun kecil yang aliran sungainya mengalir ke Teluk. Wilayah pegunungan dan perbukitan merupakan kawasan hutan lindung, daerah pedataran merupakan kawasan pertanian yang subur untuk aktifitas persawahan, sedangkan wilayah pantai dan teluk merupakan daerah pariwisata, budidaya keramba jaring apung dan kawasan pelabuhan. Di daerah ini terdapat ekosistem pesisir berupa hutan mangrove dan terumbu karang.

Berdasarkan RTRW kota Padang 2004 – 2013, kawasan Bungus Teluk Kabung di arahkan sebagai daerah pengembangan industri maritim, wisata bahari, dan daerah permukiman. Melihat potensi wilayah dan letaknya yang strategis di Kota Padang, arahan peruntukan ruang di kawasan ini telah disusun baik dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun dalam Peta Zonasi Pesisir. Berdasarkan aktivitas ekonomi penduduknya, sektor pertanian tanaman pangan dan sektor perikanan merupakan sektor unggulan (BPS Kota Padang 2007).


(18)

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah peruntukan ruang dalam Peta Zonasi Pesisir dan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) memiliki konsistensi dan sejauh mana penyimpangan yang terjadi?

2. Apakah peruntukan ruang dalam Peta Zonasi Pesisir dan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) mengakomodasi keberadaan ekosistem pesisir dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kawasan Teluk Bungus?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi peruntukan ruang di Kawasan Teluk Bungus menurut Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Peta Zonasi Pesisir serta menyusun zonasi peruntukan ruang yang memperhatikan keterpaduan hulu-hilir di wilayah darat hingga pesisir dengan pendekatan analisis kondisi biofisik dan analisis persepsi dengan berpedoman pada aturan perundang-undangan.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Ruang dan Penataan Ruang

Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata 1992). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi: ruang daratan, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Ruang merupakan sumberdaya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sehingga dalam konteks ini, ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan (Dardak 2006).

Ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: (1) jarak, (2) lokasi, (3) bentuk dan (4) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah (Budiharsono 2001). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/ atau aspek fungsional.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat permukiman dan system jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkhi memiliki hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang adalah


(20)

distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Rustiadi et al., 2006 menyatakan bahwa tata ruang merupakan wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang yang terbentuk secara alamiah dan sebagai wujud dari hasil pembelajaran (learning process).

Penataan ruang merupakan suatu system proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Terdapat dua unsur penataan ruang, pertama menyangkut proses penataan fisik ruang dan kedua menyangkut unsur kelembagaan/institusional penataan ruang (Rustiadi et al., 2006). Penataan ruang dilakukan sebagai upaya (1) optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilitas dan alokasi pemanfaatan sumberdaya): prinsip efisiensi dan produktifitas, (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya: asas pemerataan, keberimbangan dan keadilan, dan (3) keberlanjutan (sustainability).

Perencanaan Tata Ruang

Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang dibedakan menurut wilayah administrasi pemerintah dan mencakup wilayah perencanaan yang luas. Secara hirarkhi terdiri atas: (1) rencana tata ruang wilayah nasional, (2) rencana tata ruang wilayah provinsi, (3) rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Rencana rinci tata ruang disusun merupakan penjabaran rencana umum tata ruang berdasarkan pendekatan nilai strategis kawasan/ kegiatan kawasan dengan muatan substansi yang dapat mencakup hingga penetapan blok dan subblok peruntukan. Rencana rinci tata ruang yang dapat berupa rencana tata ruang kawasan strategis yang penetapan kawasannya tercakup di dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), terdiri atas: (1) rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional, (2) rencana tata ruang kawasan


(21)

strategis provinsi, (3) rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota. Untuk rencana tata ruang pulau/kepulauan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dimana pendekatan dalam pengelolaan ruang dilakukan secara terpadu (Integrated Coastal Management). Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai tingkat pemerintahan, antar ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen.

Lingkup perencanaan wilayah pesisir dapat dilihat dari pendekatan administratif, dan perencanaan berdasarkan pendekatan eko-biogeografis. Perencanaan berdasarkan pendekatan administratif, meliputi desa atau kecamatan, sedangkan batas ke arah laut, untuk wilayah Propinsi sejauh 12 mil dan untuk Kabupaten/ Kota adalah sepertiga dari batas propinsi. Pendekatan eko-biogeografis, meliputi kondisi ekologi, biologi beserta ekosistem wilayah darat dan laut bersama semua jenis biota yang hidup di dalamnya serta kondisi geografis yang menentukan faktor alam yang membentuk dan mempengaruhi evolusi dan perubahan wilayah.

Gambar 1. Hirarkhi perencanaan pengelolaan wilayah pesisir (Departemen Kelautan dan Perikanan 2008)


(22)

Terdapat empat tahapan dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir seperti yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per. 16/MEN/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu: (1) rencana strategis pengelolaan wilayah pesisir, (2) rencana zonasi, (3) rencana pengelolaan, dan (4) rencana aksi (Gambar 1). Sedangkan dimensi perencanaan, terdiri dari (physical planning), ekonomi (economic planning), sosial (social planning), politis (political planning), partisipatif (participative or consensus planning), dinamis (dynamic planning) (Dirjen Penataan Ruang 2001).

Zonasi

Efektivitas penerapan rencana tata ruang wilayah (RTRW) sangat dipengaruhi oleh tingkat ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta dalam rencana tata ruang. Oleh karena itu, dalam penerapan terhadap pengendalian pemanfaatan ruang masih diperlukan perencanaan yang lebih rinci. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi ditetapkan dengan (1) peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional, (2) peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi, dan (3) peraturan daerah kabupaten/kota untuk arahan peraturan zonasi sistem kabupaten/kota.

Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, zonasi merupakan suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Sedangkan rencana zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap-tiap


(23)

satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. Rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per. 16/MEN/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terdiri atas: (1) kawasan pemanfaatan umum, (2) kawasan konservasi, (3) kawasan strategis nasional tertentu, dan (4) alur laut yang terdiri dari zona dan sub zona.

Penyusunan zonasi ini dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan spasial, yaitu bahwa dalam suatu kawasan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukan bagi kawasan budidaya, namun juga menyediakan ruang bagi zona preservasi dan konservasi. Zona preservasi adalah zona dimana tidak dibenarkan adanya suatu kegiatan yang bersifat ekstraksi kecuali untuk kegiatan penelitian. Zona konservasi adalah zona dimana masih memungkinkan adanya pembangunan namun dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan (Odum 1989).

Kawasan Budidaya dan Kawasan Lindung

Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan merupakan wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. Kawasan lindung merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, sedangkan kawasan budidaya merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumber daya buatan. Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kawasan didefinisikan bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. Arahan peruntukan ruang dalam Undang-Undang Nomor 27


(24)

Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terdiri dari:

1. Kawasan pemanfaatan umum yang setara dengan kawasan budidaya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, merupakan kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya, seperti: kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut, industri maritim, pariwisata, pemukiman, dan pertambangan.

2. Kawasan konservasi dengan fungsi utama melindungi kelestarian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang setara dengan kawasan lindung dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

3. Alur laut merupakan perairan yang dimanfaatkan, antara lain: untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut.

4. Kawasan strategis nasional tertentu.

Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

kawasan budidaya terdiri dari: (1) kawasan peruntukan hutan produksi, (2) kawasan peruntukan hutan rakyat, (3) kawasan peruntukan pertanian, (4) kawasan peruntukan perikanan, (5) kawasan peruntukan pertambangan, (6) kawasan peruntukan permukiman, (7) kawasan peruntukan industri, (8) kawasan peruntukan pariwisata, (9) kawasan tempat ibadah, (10) kawasan

pendidikan, dan (11) kawasan pertahanan keamanan.

Kawasan lindung berdasarkan definisi menurut The World Conservation Union (IUCN) 1994, terdiri dari enam (6) kategori, yaitu:

1. Kategori I a : strict nature reserve, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk kepentingan keilmuan, yaitu suatu kawasan daratan dan atau laut yang memiliki ekosistem, penampakan geologis atau fisiologis dan atau jenis-jenis unik dan luar biasa atau mewakili yang kegunaan utamanya bagi kepentingan riset dan atau monitoring lingkungan

2. Kategori I b : wilderness area, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk perlindungan hidupan liar, yaitu suatu kawasan daratan dan atau laut yang masih utuh dan asli yang cukup luas dan belum


(25)

termodifikasi atau sedikit termodifikasi, ditetapkan untuk mempertahankan karakter-karakter dan pengaruh alami tanpa adanya okupasi pemukiman permanen atau yang significant lainnya yang dilindungi dan dikelola dalam rangka mengawetkan kondisi alam.

3. Kategori II : national park, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaanya untuk perlindungan ekosistem dan wisata, yaitu: kawasan alami daratan dan atau laut yang ditetapkan untuk: (i) melindungi integritas satu atau lebih ekosistem bagi generasi saat ini maupun yang akan datang; (ii) meniadakan eksploitasi atau pemukiman sesuai dengan tujuan penetapannya; (iii) menyediakan landasan bagi pengunjung untuk tujuan spiritual, ilmiah, pendidikan, rekreasi yang ramah dan arif terhadap lingkungan dan budaya. 4. Kategori III : natural monument, yaitu kawasan lindung yang tujuan

pengelolaannya untuk konservasi dari penampakan alam yang khas, yaitu suatu kawasan yang berisi satu atau lebih penampakan-penampakan alam atau gabungan alam dan budaya yang khas yang mempunyai nilai yang luar biasa (outstanding) dan unik karena kelangkaannya, secara kualitas mewakili atau estetis atau mempunyai keunggulan budaya;

5. Kategori IV : habitat/spesies management area, kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk konservasi melalui intervensi manajemen/pengelolaan, yaitu kawasan daratan dan atau laut yang mendapatkan campur tangan aktif untuk keperluan pengelolaannya dalam rangka menjamin terpeliharanya habitat dan atau memenuhi kebutuhan yang khas dari suatu jenis.

6. Kategori V : protected landscape/seascape, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk konservasi bentang alam atau laut dan sebagai tempat wisata, yaitu suatu kawasan daratan serta kawasan pantai dan laut yang mempunyai nilai estetika, ekologis dan atau budaya yang significant yang sering dibarengi dengan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi. Menjaga integritas interaksi tradisional merupakan hal yang penting bagi pemeliharaan dan evolusi dari kawasan.

7. Kategori VI : managed resource protected area, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk keseimbangan ekosistem alam yang


(26)

berkelanjutan, yaitu suatu kawasan yang memiliki sistem-sistem alami yang belum termodifikasi, yaitu dikelola untuk menjamin perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati jangka panjang, yang dalam waktu yang sama menyediakan aliran yang lestari produk dan jasa bagi pemenuhan masyarakat.

Secara detail penjabaran jenis kawasan lindung di Indonesia telah diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yakni:

1. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya; kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air

2. Kawasan perlindungan setempat; sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan ruang terbuka hijau kota

3. Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya; kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut, cagar alam dan cagar alam laut, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional dan taman nasional laut, taman hutan raya, taman wisata alam dan taman wisata alam laut, dan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan

4. Kawasan rawan bencana alam; kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, kawasan rawan banjir

5. Kawasan lindung geologi; kawasan cagar alam geologi, kawasan rawan bencana alam geologi, dan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah

6. Kawasan lindung lainnya; cagar biosfer, ramsar, taman buru, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, terumbu karang, dan kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi.

Mengingat pentingnya keberadaan kawasan lindung dalam menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah timbulnya kerusakan lingkungan, maka kawasan lindung perlu dikelola dengan baik dan bertanggung


(27)

jawab. Tujuan pengelolaan kawasan lindung adalah untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan dan melestarikan fungsi lindung serta menghindari berbagai kegiatan yang merusak lingkungan (Aliati 2007). Upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga fungsi lingkungan adalah memberikan prioritas pemanfatan lahan di daerah hulu sebagai pengatur tata air sebagai upaya untuk mencegah dampak lingkungan yang bersumber dari daerah hulu, dan perlindungan terhadap ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir dalam mencegah dampak lingkungan yang bersumber dari wilayah pesisir.


(28)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Teluk Bungus yang secara administratif termasuk suatu wilayah kecamatan di Kota Padang. Kawasan ini terletak ± 20 km di bagian Selatan Kota Padang. Daerah penelitian meliputi wilayah darat dan perairan (teluk). Batas daerah penelitian di wilayah darat mencakup seluruh wilayah yang dibatasi oleh pemisah topografi berupa punggung bukit dimana semua aliran sungai besar dan kecil bermuara ke teluk. Sedangkan batas daerah penelitian wilayah teluk meliputi seluruh perairan teluk yang dibatasi oleh garis penutup teluk seperti yang terlihat pada Gambar 2. Luas keseluruhan daerah penelitian adalah 7.611 ha, terdiri dari luas daratan 6.220 ha dan luas perairan (teluk) 1.391 ha.

Daerah penelitian secara administrasi termasuk dalam Kecamatan Bungus Teluk Kabung, terdiri dari lima (5) kelurahan, yaitu: (1) Kelurahan Bungus Barat, (2) Kelurahan Bungus Timur, (3) Kelurahan Bungus Selatan, (4) Kelurahan Teluk Kabung Utara, dan (5) Kelurahan Teluk Kabung Tengah. Batas - batas wilayah daerah penelitian adalah sebagai berikut:

ƒ Sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Bayur, termasuk dalam wilayah Kecamatan Lubuk Begalung, Kota Padang,

ƒ Sebelah Timur dan Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan, ƒ Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

Penelitian dilaksanakan selama lima (5) bulan, mulai bulan Januari sampai dengan Mei 2008, meliputi: pengumpulan data primer dan sekunder, interpretasi data, pengolahan data, dan analisis data. Peta lokasi daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.


(29)

(30)

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan primer. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi, baik instansi pemerintah pusat maupun daerah. Data yang dikumpulkan berupa peta, peraturan/perundang-undangan yang berlaku, dan data numerik. Jenis dan sumber data sekunder disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian

No. Jenis Data Skala/

Resolusi Sumber

1. Fisik

• Peta administrasi tahun 2004 1:50.000 Bappeda Kota Padang

• Peta RTRW (2004 – 2013) 1:50.000 Bappeda Kota Padang

• Peta Zonasi Pesisir tahun 2004 1:75.000 Marine & Coastal Resource

Management Project (MCRMP)

• Peta Geologi tahun 2004 1:250.000 Marine & Coastal Resource

Management Project (MCRMP)

• Peta Topografi tahun 1943 1:40.000 AMS

• Peta Satuan Lahan tahun 1990 1:250.000 PPTA Bogor

• Citra Ikonos tahun 2005 1 meter Pusriswilnon - DKP

• Citra Landsat ETM+7 tahun

2001

30 meter Pusriswilnon - DKP

• Data curah hujan, iklim - BMG Tabing

• Data kedalaman laut - Pusriswilnon - DKP

• Data sedimen laut - Pusriswilnon - DKP

2. Kependudukan dan sosial ekonomi BPS Kota Padang

3. Peraturan dan kebijakan terkait

dengan penataan ruang, dokumen laporan

Penelusuran melalui internet, Pemda Kota Padang, lembaga penelitan, perguruan tinggi, instansi pemerintah.

Data Primer diperoleh dari hasil peninjauan lapangan, terdiri dari data persepsi arahan peruntukan ruang dengan kuisioner, penggunaan/tutupan lahan, profil tanah, dan karakteristik pantai.


(31)

(32)

Tahapan Penelitian

Pelaksanaan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3. Secara umum terdiri dari tiga (3) tahap utama, yaitu: (1) persiapan, meliputi: pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari data kuisioner, pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan, meliputi: penggunaan/tutupan lahan, profil tanah, dan karakteristik pantai. Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari peta-peta, data numerik, dan peraturan perundang-undangan. (2) analisis data, meliputi: penyusunan basis data, analisis konsistensi, peruntukan fungsi kawasan, analisis kesesuaian lahan, analisis persepsi, dan (3) penyusunan arahan zonasi.

Analisis Data

Penyusunan Basis Data

Data yang digunakan dalam penelitian untuk pengolahan data peta terdiri dari dua kategori, yaitu data spasial berupa data grafis dan data numerik berupa data tabular. Sebelum dilakukan analisis tumpang-susun dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG), terlebih dahulu dilakukan proses pemasukan data ke bentuk digital. Digitasi dilakukan secara layar (on screen digitation) dengan penyeragaman sistem koordinat. Sistem koordinat yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan proyeksi UTM Zona 47 (Southern hemisphere WGS 84).

Software penunjang yang digunakan dalam menyusun basis data hingga analisis data adalah: ArcView GIS Versi 3,3, Mapinfo 7.0, Erdas Imagine 8.6, Surfer 8, CorelDraw 11, Microsoft Office Excel 2003. Kegunaan dari setiap tool analisis dapat dilihat pada Tabel 2.


(33)

Tabel 2. Kegunaan dari masing-masing software yang digunakan dalam penelitian

No. Nama Kegunaan

1. ArcView GIS Versi 3,3 dan Mapinfo 7.0

Konversi koordinat, digitasi, plotting titik pengamatan/koordinat, analisis tumpang-susun (overlay)

2. Erdas Imagine 8.6 Rektifikasi dan pengolahan citra satelit ikonos dan landsat

3. Surfer 8 Pengolahan data atribut (titik koordinat pengamatan

dan pengukuran) menjadi region (area)

4. CorelDraw 11 Layout peta-peta

5. Microsoft Office Excel 2003

Pengolahan data kuisioner terhadap persepsi arahan zonasi peruntukan ruang

Analisis Konsistensi Peruntukan Ruang

Analisis konsistensi dilakukan dengan metode overlay terhadap peruntukan ruang di daerah penelitian, meliputi: (1) peruntukan ruang antara Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW Kota Padang 2004 - 2013) dan Peta Zonasi Pesisir (MCRMP 2004), (2) kondisi penggunaan/ tutupan lahan dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW Kota Padang 2004-2013), dan (3) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW Kota Padang 2004-2013) terhadap kondisi biofisik.

Analisis konsistensi yang dilakukan terhadap Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW Kota Padang 2004-2013), Peta Zonasi Pesisir (MCRMP 2004) dan penggunaan/ tutupan lahan meliputi seluruh areal daerah penelitian, sedangkan analisis konsistensi dalam Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terhadap kondisi biofisik difokuskan hanya untuk pemukiman, industri, dan perkebunan. Dalam penelitian ini, klasifikasi konsistensi yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 22, Lampiran 23, Lampiran 24, Lampiran 25, dan Lampiran 26.


(34)

Penyusunan Fungsi Kawasan

Penetapan peruntukan kawasan di daerah penelitian disusun berdasarkan kriteria yang mengacu pada SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No. 683/Kpts/Um/8/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung dan Hutan Produksi dan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Kriteria yang digunakan meliputi: (1) kelerengan lapangan, (2) jenis tanah menurut kepekaan terhadap erosi, dan (3) intensitas hujan harian rata-rata. Peruntukan kawasan yang ditetapkan adalah: (1) kawasan lindung, (2) kawasan budidaya tanaman tahunan, dan (3) kawasan budidaya tanaman semusim. Tahapan analisis peruntukan kawasan di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Penetapan kawasan ditentukan melalui overlay peta kelerengan, peta jenis tanah, dan peta intensitas hujan harian rata-rata. Klasifikasi dan besarnya nilai skor dari setiap kriteria dapat dilihat pada Lampiran 12, Lampiran 13, dan Lampiran 14. Besarnya jumlah skor terhadap ketiga kriteria tersebut merupakan nilai skor penentuan fungsi kawasan untuk masing-masing satuan lahan. Penentuan dan klasifikasi penetapan kawasan dapat dilihat pada Lampiran 15.


(35)

Evaluasi Kesesuaian Lahan

Evaluasi kesesuaian lahan difokuskan pada lima (5) jenis peruntukan, yaitu: (1) peruntukan pemukiman, (2) peruntukan pelabuhan, (3) peruntukan industri, (4) peruntukan pariwisata pantai, dan (5) peruntukan budidaya keramba jaring apung (KJA). Kriteria yang digunakan untuk melakukan evaluasi kesesuaian lahan tidak sama, tergantung pada jenis peruntukannya. Klasifikasi yang digunakan untuk melakukan evaluasi lahan untuk setiap peruntukan disajikan pada Tabel 3. Kriteria-kriteria dalam penentuan kelas/tingkat kesesuaian untuk setiap peruntukan disajikan pada Lampiran 16, Lampiran17, Lampiran 18, Lampiran 19, dan Lampiran 20.

Tabel 3. Kriteria kesesuaian lahan yang digunakan dalam penelitian

No. Jenis Peruntukan Sumber

1. 2. 3. 4. 5. Pemukiman Pelabuhan Industri Pariwisata Pantai

Budidaya Keramba Jaring Apung

Syafi’i, Sugiarti (2000)

Kramadibrata, 1985 (modifikasi) Masrul, 2002 (modifikasi)

Bakosurtanal 1996 dan Dahyar 1999 (modifikasi)

Bakosurtanal 1996 dan Departemen Kelautan dan Perikanan 2002

Tahapan yang dilakukan dalam melakukan evaluasi kesesuaian lahan adalah:

1. Penyiapan data spasial beserta atributnya

2. Penyusunan nilai skor terhadap parameter-parameter data yang akan digunakan dalam melakukan evaluasi kesesuaian lahan

3. Melakukan klasifikasi kelas kesesuaian lahan dari setiap parameter (S1, S2, S3, dan N).

Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian lahan dibagi menjadi empat kelas, yaitu: Sangat Sesuai (S1), Sesuai (S2), Sesuai Bersyarat (S3), dan Tidak Sesuai (N), didefinisikan sebagai berikut:


(36)

1. Kelas S1: Sangat Sesuai (Higly Suitable), yaitu lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi lahan tersebut, serta tidak menambah masukan (input) dari pengusahaan lahan tersebut.

2. Kelas S2: Sesuai (Suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari. Pembatasan tersebut akan mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan masukan untuk mengusahakan lahan tersebut.

3. Kelas S3: Sesuai Bersyarat (Currently Not Suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat sangat berat, akan tetapi masih memungkinkan diatasi/diperbaiki, artinya masih dapat ditingkatkan menjadi sesuai, jika dilakukan perbaikan dengan tingkat introduksi teknologi yang lebih tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakukan tambahan dengan biaya rasional.

4. Kelas N: Tidak Sesuai Permanen (Permanently Not Suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas sangat berat/permanen, sehingga tidak mungkin dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu yang lestari.

Analisis Persepsi

Analisis persepsi dalam penelitian ini digunakan dengan maksud untuk menggali persepsi terhadap arahan dan prioritas dalam penyusunan peruntukan ruang di Kawasan Teluk Bungus. Analisis dilakukan dengan pendekatan Hirarkhi Proses dengan melakukan perbandingan berpasangan, dengan nilai bobot menggunakan skala Saaty mulai dari nilai bobot 1 sampai dengan 9. Skala Saaty disajikan pada Tabel 4.

Teknik pengumpulan informasi persepsi dilakukan dengan kuisioner. Responden berasal dari BAPPEDA Kota Padang, BAPPEDA Provinsi Sumatera Barat, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang (Lampiran 25). Struktur hirarkhi terdiri dari: (1) tujuan yang ingin dicapai dalam peruntukan ruang,


(37)

(2) kriteria-kriteria yang digunakan, (3) sub kriteria, dan (4) pilihan-pilihan prioritas peruntukan ruang. Struktur hirarkhi disajikan pada Gambar 5.

Tabel 4. Skala perbandingan secara berpasangan (Saaty, 1993)

Nilai Keterangan

1 Kriteria/alternatif A sama penting dengan kriteria/alternatif B 3 A sedikit lebih penting dari B

5 A jelas lebih penting dari B 7 A sangat jelas lebih penting dari B 9 Mutlak lebih penting dari B

2, 4, 6, 8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Melakukan penyusunan hirarkhi pengambilan keputusan

b. Melakukan perbandingan berpasangan, untuk menghasilkan input data c. Melakukan perhitungan bobot relatif, meliputi: membuat matrik yang

dinormalisasi (normalized matrik) dengan menjumlahkan semua elemen kolom matrik, membagi setiap elemen dalam kolom dengan total kolom, mencari bobot dari masing-masing elemen dengan cara merata-ratakan elemen pada baris yang sama, melakukan pembagian elemen matrik dengan total unsur untuk mendapatkan vektor prioritas

d. Menghitung pendapat gabungan

Dalam studi ini, kriteria yang digunakan dalam menentukan prioritas dan arahan peruntukan ruang terdiri atas empat aspek, yaitu: biofisik, sosial ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan. Sub kriteria yang digunakan terdiri dari aspek: kesesuaian lahan, mitigasi bencana, penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), perlindungan ekosistem pesisir, pengaruh daerah aliran sungai (DAS), ketersediaan peraturan pengelolaan, dan konflik pemanfaatan ruang.


(38)

(39)

Arahan Zonasi

Penyusunan arahan zonasi di Kawasan Teluk Bungus terdiri atas tiga peruntukan zonasi, yaitu: (1) kawasan lindung/konservasi dengan sub zona: hutan lindung, sempadan pantai, sempadan sungai, daerah berhutan bakau, dan terumbu karang. (2) kawasan budidaya/ pemanfaatan umum dengan sub zona: budidaya tanaman tahunan, budidaya tanaman semusim, pelabuhan, industri, pemukiman, pariwisata pantai, dan budidaya laut (keramba jaring apung). Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan arahan dari setiap peruntukan zonasi adalah hasil analisis peruntukan kawasan dan hasil analisis kesesuaian lahan yang hanya difokuskan pada kelas kesesuaian sangat sesuai. Namun demikian, tidak semua luasan daerah yang memiliki lahan sangat sesuai digunakan dalam menentukan luas dari setiap zonasi. Hal ini disebabkan karena satu lahan dengan kesesuaian sangat sesuai bisa memiliki lebih dari satu peruntukan.

Dalam menentukan prioritas peruntukan ruang terhadap lahan yang memiliki lebih dari satu peruntukan, pendekatan pengambilan keputusan dilakukan dengan menggunakan analisis hirarkhi proses (AHP). Selain dengan menggunakan analisis hirarkhi proses (AHP), penggunaan/ tutupan lahan di Kawasan Teluk Bungus juga menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan arahan zonasi, seperti keberadaan pelabuhan, ekosistem pesisir, serta kondisi sosial masyarakat.


(40)

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Letak Geografis dan Administrasi

Penelitian dilakukan di Kawasan Teluk Bugus yang secara administrasi meliputi sebagian dari wilayah Kecamatan Bungus Teluk Kabung, secara geografis terletak pada 100° 22' 23" BT - 100° 29' 13" BT dan 0° 59' 1" LS -1° 5' 44" LS. Pengertian kawasan dalam penelitian ini adalah mencakup wilayah daratan dan teluk. Wilayah daratan meliputi daratan dan dibatasi oleh punggungan-punggungan bukit dimana sungai-sungai besar dan anak sungai seluruhnya bermuara kedalam teluk. Sedangkan wilayah teluk mencakup seluruh perairan teluk mulai dari garis pantai hingga mulut teluk.

Luas keseluruhan Kecamatan Bungus Teluk Kabung adalah 10.078 ha. Sebelum otonomi daerah, jumlah kelurahan di kecamatan ini terdiri dari enam kelurahan dan setelah otonomi daerah beberapa kelurahan mengalami pemekaran sehingga jumlah kelurahan menjadi tiga belas kelurahan. Daerah penelitian meliputi lima (5) kelurahan, yaitu: (1) Kelurahan Bungus Barat, (2) Kelurahan Bungus Timur, (3) Kelurahan Bungus Selatan, (4) Kelurahan Teluk Kabung Utara, dan (5) Kelurahan Teluk Kabung Tengah, dengan luas keseluruhan adalah 7.611 ha.

Demografi dan Sosial Ekonomi

Penduduk Kecamatan Bungus Teluk Kabung pada tahun 2006 berjumlah 23.400 jiwa terdiri atas 12.480 laki-laki dan 10.920 perempuan. Kepadatan penduduk Kecamatan Bungus Teluk Kabung tergolong yang terendah di Kota Padang, yakni 232 orang per kilometer persegi.

Namun demikian, Kecamatan Bungus Teluk Kabung tergolong sebagai daerah yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi, yakni 2,48 persen per tahun selama periode 1998-2006 (BPS Kota Padang 2007). Dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,48 % per tahun, maka jumlah penduduk Kecamatan Bungus Teluk Kabung dapat menjadi dua kali lipat dalam kurun


(41)

waktu 30 tahun. Data jumlah, kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk Kecamatan Bungus Teluk Kabung dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan jumlah, kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk serta sex ratio di Kecamatan Bungus Teluk Kabung dan Kota Padang tahun 2006

No Indikator Kec. Bungus

Teluk Kabung* Kota Padang **

1. Luas Wilayah (km2

) 100,78 694,96

2. Persentase luas wilayah (%) 15 100 3. Jumlah penduduk 2006 (jiwa) 23.400 819.740

4. Persentase jumlah penduduk 2,85

-5. Laju pertumbuhan penduduk per tahun 1998 – 2006 (%)

2,48 2,07

6. Kepadatan penduduk 2006 (orang per km2)

232 1.180

7. Sex Ratio 114,29 100,35

8. Rumah tangga 5.824 201.440

9. Jumlah anggota rumah tangga rata-rata

4,3 4,2

Keterangan: *Bungus Teluk Kabung Dalam Angka Tahun 2006 **Padang Dalam Angka Tahun 2007

Aktivitas ekonomi penduduk Kecamatan Bungus Teluk Kabung didominasi sektor pertanian tanaman pangan dan perikanan, berbeda dengan Kota Padang yang didominasi sektor jasa dan perdagangan serta sektor non-pertanian lainnya (Tabel 6). Sektor pertanian sebagai lapangan pekerjaan utama penduduk Kecamatan Bungus Teluk Kabung memberikan sumbangan sekitar 31,4 % terhadap seluruh lapangan kerja di daerah ini. Sumber utama mata pencaharian penduduk adalah sektor pertanian, yang terdiri dari sub-sektor tanaman pangan dan sub-sektor perikanan.

Sektor pertanian menyumbang sebesar 54 % dari total laki-laki terhadap penyerapan tenaga kerja laki-laki, dibandingkan tenaga kerja perempuan yang menyumbang sebesar 19 % dari total perempuan terhadap tenaga kerja perempuan. Tenaga kerja laki-laki banyak bekerja pada sub-sektor tanaman


(42)

pangan dan sub-sektor perikanan (nelayan). Sementara sektor industri pengolahan dan sektor jasa dominan dalam penyerapan tenaga kerja perempuan dengan kontribusi masing-masing sebesar 24,3 % dan 25,9 %.

Tabel 6. Struktur mata pencaharian penduduk tahun 2000

Bungus Teluk Kabung Padang Lapangan Usaha

Laki-Laki (L)

Perempuan

(P) L + P

Laki-Laki (L)

Perempuan

(P) L + P

Pertanian 53,9 19,6 31,4 9,9 0,2 6,9

a.Tanaman pangan 24,4 14,6 15,1 4,9 2,7 4,2

b.Perkebunan 0,3 0,3 0,2 0,3 0,2 0,3

c.Perikanan 22,6 1,8 12,1 2,5 0,2 1,8

d.Peternakan 0,2 0,4 0,2 0,4 0,3 0,3

e.Pertanian lainnya 6,5 2,5 3,8 1,8 0,9 1,5

Industri pengolahan 16,0 24,3 12,3 6,1 4,0 5,4

Jasa 12,3 16,1 9,1 36,1 43,2 38,3

Angkutan 4,9 0,3 2,6 6,3 0,5 4,5

Lainnya 4,6 13,8 4,7 15,5 28,3 19,4

Jumlah 100 100 100 100 100 100

Sumber: Laporan ANDAL PLTU SUMBAR 2 x 100 MW (LP – UNAND)

Kondisi Fisik Wilayah

Topografi

Daerah penelitian berada pada ketinggian 0 – 920 dpl, didominasi daerah berbukit - bergunung dengan luas 3.284 ha atau 53 %, diikuti daerah dengan bentuk wilayah datar-berombak menempati areal seluas 1.572 hektar atau 25 %. Keadaan topografi dan kemiringan lereng disajikan pada Tabel 7 dan Lampiran 2.


(43)

Tabel 7. Kondisi topografi daerah penelitian

Luas No Bentuk Wilayah

Kelas Lereng

(%)

Klasifikasi

(ha) (%)

1. Datar - Berombak 0-8 Datar 1.572,0 25,0 2. Bergelombang 8-15 Landai 433,4 7,0 3. Berbukit 15-25 Agak Curam 930,7 15,0 4. Bergunung 25-40 Curam 2.168,0 35,0 5. Bergunung >40 Sangat Curam 1.116,0 18,0

Geologi Kawasan Teluk Bungus

Berdasarkan Peta Geologi lembar Muara Siberut edisi 1 yang diterbitkan oleh Marine & Coastal Resources Management Project 2004, batuan penyusun daerah penelitian adalah:

1. Aluvium (Qal) : merupakan endapan asal sungai, danau, rawa dan pantai, terdiri dari material berukuran kerakal, kerikil, pasir, lanau sampai liat. Endapan sungai meliputi: endapan limbah banjir, teras sungai, poin bar, dan endapan dasar sungai.

2. Tufa Kristalin (QTt); satuan batuan ini dicirikan oleh sifat pejal dan tersemenkan dengan baik, berwarna kelabu muda, dengan masa dasar serabut gelas dan frakmen kwarsa plagioklas. Keberadaan satuan batuan ini di daerah penyelidikan berupa perbukitan yang cukup terjal dan umumnya telah tersesarkan.

3. Filit (pTps); berwarna kemerahan sedikit sekisan, pada beberapa tempat menunjukkan laminasi. Batuan lanauan bergradasi ke batupasir meta lunak yang sebagian besar terdiri dari butir-butir kuarsa dalam masa dasar liat.


(44)

Gambar 6. Singkapan batuan vulkanik yang termasuk dalam Formasi Tufa Kristalin (QTt) di daerah penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, ciri-ciri fisik batuan yang terdapat di daerah penelitian berwarna abu-abu hingga kehitaman, memiliki sifat resistensi sangat tinggi, pejal, memiliki kelerengan sangat terjal (Gambar 6). Peta geologi daerah penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3.

Satuan Lahan dan Tanah

Informasi mengenai satuan lahan dan tanah di daerah penelitian berpedoman pada Peta Satuan Lahan dan Tanah lembar Painan skala 1: 250.000 yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1990. Satuan lahan di daerah penelitian terdiri lima (5) satuan lahan, yaitu: (1) grup pegunungan dan plato (Mab.2.3.3), (2) grup pegunungan (Mad.2.2.3), (3) grup perbukitan (Had.1.3.3), (4) grup aluvial (Aub.2.1), dan (5) grup marin (Bfq.1.1). Luas satuan lahan dan jenis tanah disajikan pada Tabel 8. Peta Satuan Lahan dan Tanah di Kawasan Teluk Bungus dapat dilihat pada Lampiran 1.


(45)

Tabel 8. Satuan Lahan dan Tanah yang terdapat di Kawasan Teluk Bungus Luas No Satuan

Lahan

Bentuk Wilayah

Kemiringan

Lereng Jenis Tanah (ha) (%)

1. Grup

pegunungan dan plato (Mab.2.3.3)

Bergunung

> 75 %

Dystransdepts (D), Hapludults (M), Troporthents (T)

3.222,0 52,0

2. Grup

pegunungan (Mad.2.2.3)

Bergunung (25 – 75) %

Dystropepts (D), Hapludults (F), Troporthents (T)

635,0 10,0

3. Grup

perbukitan

(Had.1.3.3) Berbukit > 25 %

Dystropepts (D), Humitropepts (F), Troporthents (T)

1.121,0 18,0

4. Grup

aluvial (Aub.2.1)

Datar < 3 %

Humitropepts (D), Tropaquepts (F)

706,0 11,0

5. Grup marin

(Bfq.1.1) Datar < 3 %

Tropopsaments (D), sulfaquents (F)

533,0 9,0 Keterangan:

D : dominant (50-75)%, F : fair (25-50)%, M : minor (10-25)%, T : Trace (<10%)

Karakteristik dan jenis tanah penyusun dari setiap grup satuan lahan sebagai berikut:

1. Grup pegunungan dan plato (Mab.2.3.3); pegunungan tuf intermedier dan lava intermedier sampai basis, lereng sangat curam sekali (>75 %), sangat teroreh, dystrandepts (D), hapludults (M), dan troporthents (T).

2. Grup pegunungan (Mad.2.2.3); pegunungan tuf intermedier dan masam, lereng curam sampai sangat curam (25-75 %), sangat teroreh, dystropepts (D), hapludults (F), dan Troporthents (T).

3. Grup perbukitan (Had.1.3.3); perbukitan kecil dan perbukitan dengan pola random, lereng curam sampai sangat curam (>25 %), sangat teroreh, dystropepts (D), humitropepts (F), dan troporthents (T).

4. Grup aluvial (Aub.2.1); kipas aluvial dan aluvial, sedimen tuf intermedier, datar, lereng < 3 %, agak teroreh, humitropepts (D), tropaquepts (F).


(46)

5. Grup marin (Bfq.1.1); kompleks beting pantai muda berselang seling dengan cekungan sedimen halus dan kasar, tropopsamments (D), dan sulfaquents (F).

Gambar 7. Profil tanah yang terdapat di daerah penelitian

Hasil pengamatan lapangan pada lima titik terhadap profil tanah di daerah penelitian secara umum menunjukkan adanya keseragaman ciri-ciri fisik dan secara umum perkembangan tanah di daerah penelitian termasuk dalam tanah muda, horison tanahnya tipis. Sifat-sifat fisik secara umum tanah yang terdapat di daerah penelitian adalah: berwarna coklat kemerahan – coklat kehitaman, tekstur lempung berliat, struktur granular, drainase sedang-jelek (Gambar 7). Deskripsi secara detail profil tanah dari setiap titik pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 27, sedangkan padanan nama tanah di daerah penelitian disajikan pada Lampiran 28.

Kondisi Iklim

Kondisi iklim di Kecamatan Bungus Teluk Kabung dianggap memiliki kesamaan dengan iklim yang terdapat di Kota Padang termasuk beriklim tropis basah dan memiliki bulan kering yang sangat pendek. Untuk daerah tepi pantai


(47)

sangat dipengaruhi oleh angin laut. Curah hujan di Kota Padang pada tahun 2006 cukup tinggi, yaitu berjumlah 4.819,2 mm dengan rata-rata 401,6 mm, jumlah hari hujan per bulan yaitu rata-rata 16 hari. Suhu pada siang hari berkisar antara 23o – 28o C. Kelembaban udara untuk Kota Padang berkisar antara 74-82 % dengan kecepatan angin rata-rata tahunan 5,58 knot. Data curah hujan dan iklim dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8.

Kedalaman Laut (Batimetri) dan Sedimen Dasar Laut

Perairan Teluk Bungus yang memiliki luas 1.391 ha mempunyai kedalaman hingga 35 meter. Kondisi topografi dasar laut pada daerah perairan dekat pantai dari landai secara berangsur-angsur berubah menjadi terjal. Selanjutnya topografi dasar laut hingga ke mulut teluk perubahan kedalaman terjadi secara gradual dengan kondisi topografi landai.

Material sedimen penyusun dasar laut daerah penelitian terdiri dari material lanau dengan penyebaran yang sangat luas, berbatu dengan penyebaran pada daerah perairan dekat pantai dan terumbu karang (PPPGL 1999). Berdasarkan hasil pengambilan contoh sedimen dasar laut yang dilakukan pada Tahun 2006 oleh Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati – Departemen Kelautan dan Perikanan di daerah sekitar dermaga pelabuhan perikanan Bungus, terjadi perubahan ukuran butir sedimen dengan berubahnya kedalaman. Pada daerah sekitar pantai dengan kedalaman kurang dari 5 meter material dasar laut tersusun oleh material pasir, pada daerah dengan kedalaman 5-10 meter tersusun oleh material lanau (pasir berliat) dan pada daerah yang memiliki kedalaman > 10 meter material sedimennya adalah liat. Peta sebaran sedimen laut Teluk Bungus dapat dilihat pada Lampiran 5.

Karakteristik Pantai

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan – Departemen Kelautan dan Perikanan (2006) karakteristik pantai di Kawasan Teluk Bungus terdiri dari: pantai berpasir, pantai berbatu/bertebing, pantai bermangrove dan pantai berkerikil/berkerakal. Proses-proses pantai yang


(48)

bekerja adalah abrasi yang terjadi pada daerah sepanjang pantai yang tidak terlindung, sedangkan pada daerah yang terlindung proses yang dominan adalah pengendapan. Peta karakteristik pantai Teluk Bungus dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 8. Tipe Pantai di daerah penelitian. Pantai berkerikil (kiri atas) dan pantai bertebing (kanan atas) yang terdapat di Teluk Bungus.

Hasil pengamatan lapangan, komposisi dan tekstur sedimen pantai sebagian besar tersusun material dengan komposisi pasir kasar dan sedikit pasir halus. Pada daerah muara sungai besar (Batang Air Tambang dan Batang Air Pinang) merupakan daerah tempat terakumulasinya sedimen material pasir dan membentuk dataran pantai sepanjang sisi bagian dalam Teluk Bungus.

Kualitas Air Laut Teluk Bungus

Data kualitas air di Teluk Bungus yang dilakukan bulan Desember tahun 2006 berdasarkan parameter TSS dari 23 stasiun pengukuran telah melampaui nilai ambang baku mutu air laut. Nilai TSS berkisar antara 405,5 ppm – 6.367 ppm, sedangkan nilai baku mutu air laut adalah <80 ppm. Sedangkan berdasarkan hasil pengukuran kualitas air laut yang dilakukan oleh Bapedalda Provinsi Sumatera Barat bulan April tahun 2008, nilai TSS di Teluk Bungus adalah 232,2 ppm. Data kualitas air disajikan pada Lampiran 29.


(49)

Pasang Surut (Pasut)

Penelitian kondisi oseanografi di Perairan Teluk Bungus menunjukkan jenis pasang surut yang terjadi adalah tipe campuran condong ke harian ganda (mixed semi diurnal tide), yaitu: terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari. Pasang surut di daerah penelitian bervariasi yaitu: pasang terendah dan pasang tertinggi berkisar antara 1 sampai 2 meter. Abrasi yang tergolong kuat dan merusak di perairan dan sekitarnya dipengaruhi arus pasang yang menimbulkan gelombang pasang dan mempengaruhi pola arus sejajar pantai (PPPGL 1999).


(50)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsistensi Peruntukan Ruang di Kawasan Teluk Bungus

Peruntukan ruang berdasarkan Peta RTRW Kota Padang

Berdasarkan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW Kota Padang 2004-2013), di Kawasan Teluk Bungus diperuntukan untuk: (1) kawasan hutan lindung, (2) kawasan perkebunan, (3) daerah persawahan, (4) daerah permukiman, (5) kawasan industri, (6) pasar, (7) pemakaman/kuburan, (8) depo pertamina, dan (9) daerah perlindungan setempat (sempadan pantai/sungai). Luas setiap peruntukan ruang disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Luas peruntukan ruang berdasarkan Peta RTRW Kota Padang 2004-2013 di daerah penelitian

Luas No. Peruntukan Ruang

(ha) (%)

1. Kawasan Hutan Lindung 3.240,0 52,1 2. Kawasan Perkebunan 1.321,0 21,2

3. Sawah 142,4 2,3

4. Permukiman 669,1 10,8

5. Kawasan Industri 43,0 0,7

6. Pasar 95,4 1,5

7. Pemakaman/Kuburan 31,0 0,5

8. Depo Pertamina 56,8 0,9

9. Sempadan Pantai/Sungai 621,0 10,0

Luas Keseluruhan 6.220,0 100

Tabel 9 menunjukkan bahwa kawasan hutan lindung menempati areal paling luas yaitu sebesar 3.240 ha atau 52,1 % dari luas total Kawasan Teluk Bungus, sedangkan peruntukan untuk persawahan hanya menempati areal seluas


(51)

142,4 ha atau 2,3 % dan lebih kecil bila dibanding peruntukan pemukiman yang memiliki luas 669,1 ha atau 10,8 %. Hal ini menunjukkan bahwa menurut RTRW Kota Padang 2004-2013, kawasan persawahan bukan menjadi prioritas untuk dikembangkan di Kawasan Teluk Bungus. Peta peruntukan ruang berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW Kota Padang 2004-2013) di Kawasan Teluk Bungus dapat dilihat pada Gambar 9.

Peruntukan ruang berdasarkan Peta Zonasi Pesisir (MCRMP 2004)

Peruntukan ruang di Kawasan Teluk Bungus berdasarkan peta Zonasi terdiri atas: (1) peruntukan ruang darat, dan (2) peruntukan ruang dalam teluk. Ruang darat diperuntukan untuk: (1) daerah pemukiman, (2) sawah, (3) tanah ladang, dan (4) kawasan lindung. Sedangkan pada daerah teluk diperuntukan sebagai zona khusus kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera. Luas dari setiap peruntukan ruang disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Luas peruntukan ruang berdasarkan Peta Zonasi Pesisir (MCRMP 2004) di Kawasan Teluk Bungus

Luas No. Peruntukan Ruang

(ha) (%)

1. Hutan Suaka Alam Satwa 832,0 13,4

2. Hutan Lindung 1.253,0 20,1

3. Tanah Ladang 3.011,0 48,4

4. Sawah Irigasi 911,2 14,6

5. Permukiman 213,1 3,4

Luas Keseluruhan 6.220,0 100

Tabel 10 menunjukkan bahwa dalam Peta Zonasi Pasisir (MCRMP 2004) tanah ladang menempati areal paling luas yaitu 3.011 ha atau 48,4 % dari luas seluruh peruntukan, sedangkan pemukiman menempati areal paling kecil dengan menempati areal seluas 213,1 ha atau 3,4 %. Peta peruntukan ruang di Kawasan Teluk Bungus berdasarkan Peta Zonasi Pesisir (MCRMP 2004) dapat dilihat pada Gambar 10.


(52)

Gambar 9. Peta Rencana Pemanfaatan Lahan di daerah penelitian (RTRW Kota Padang 2004-2013)


(53)

Gambar 10. Peruntukan ruang berdasarkan Peta Zonasi Pesisir di daerah penelitian (MCRMP 2004)


(54)

Hasil overlay Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW Kota Padang 2004-2013) dan Peta Zonasi Pesisir (MCRMP 2004) menunjukkan bahwa alokasi peruntukan lahan/ ruang di Kawasan Teluk Bungus tidak konsisten. Peta konsistensi disajikan pada Gambar 11. Beberapa peruntukan ruang yang tidak konsisten, adalah:

- Pemukiman dan persawahan; dalam Peta RTRW peruntukan pemukiman memiliki luas 669,1 ha atau 10,8 % dibanding daerah persawahan yang hanya menempati areal seluas 142,4 ha atau 2,3 %, sedangkan dalam peta Zonasi Pesisir daerah persawahan memiliki luas 911,2 ha atau 14,6 % bila dibandingkan peruntukan pemukiman yang hanya menempati areal seluas 213,1 hektar atau 3,4 %.

- Kawasan lindung dan perkebunan/tanah ladang; dalam Peta RTRW kawasan lindung menempati areal seluas 3.861 ha atau 62,1 % dari seluruh peruntukan, terdiri dari hutan lindung seluas 3,240 ha atau 52,1 % dan sempadan pantai/sungai dengan luas 621 ha atau 10 %, sedangkan peruntukan kawasan lindung dalam Peta Zonasi Pesisir hanya memiliki luas 2.085 ha atau 33,5 % yang terdiri dari hutan suaka alam satwa dan hutan lindung).

- Tidak terdapat peruntukan daerah sempadan pantai/ sungai dalam Peta Zonasi Pesisir seperti yang terdapat dalam Peta RTRW.

- Terdapat peruntukan kawasan untuk aktifitas perladangan dalam Peta Zonasi Pesisir yang berada dalam kawasan yang diperuntukan untuk hutan lindung dalam Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

- Terdapat peruntukan untuk permukiman dalam Peta Zonasi Pesisir yang berada dalam kawasan yang diperuntukan untuk perkebunan dalam Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Perbandingan konsistensi peruntukan ruang antara Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW Kota Padang 2004-2013) dan Peta Zonasi Pesisir (MCRMP 2004) secara detail disajikan dalam Tabel 11.


(55)

Gambar 11. Konsistensi antara Peta RTRW (RTRW Kota Padang 2004-2013) dan Peta Zonasi Pesisir (MCRMP 2004) mengenai peruntukan ruang di Kawasan Teluk Bungus


(56)

Tabel 11. Konsistensi peruntukan ruang berdasarkan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Peta Zonasi Pesisir di Kawasan Teluk Bungus

Luas

Peta RTRW Peta Zonasi Keterangan

(Ha) (%)

Kawasan Hutan Lindung Sawah Tidak konsisten 16,59 0,28

Kawasan Hutan Lindung Hutan Lindung Sangat konsisten 1.635,73 27,42

Kawasan Hutan Lindung Tanah Ladang Tidak konsisten 1.574,66 26,40

Sempadan Pantai/Sungai Hutan Lindung Konsisten 74,57 1,25

Sempadan Pantai/Sungai Sawah Konsisten 170,21 2,85

Sempadan Pantai/Sungai Tanah Ladang Konsisten 70,31 1,18

Sempadan Pantai/Sungai Permukiman Tidak konsisten 59,65 1,00

Sempadan Pantai/Sungai Tanah Ladang Konsisten 7,77 0,13

Kawasan Perkebunan Sawah Tidak konsisten 292,86 4,91

Kawasan Perkebunan Tanah Ladang Sangat konsisten 834,85 14,00

Kawasan Perkebunan Pemukiman Tidak konsisten 17,47 0,29

Kawasan Perkebunan Hutan Lindung Tidak konsisten 149,62 2,51

Kawasan Industri Tanah Ladang Tidak konsisten 37,72 0,63

Kawasan Industri Pemukiman Konsisten 4,79 0,08

Pertanian/Sawah Sawah Konsisten 114,52 1,92

Pertanian/Sawah Tanah Ladang Tidak konsisten 1,05 0,02

Pertanian/Sawah Permukiman Tidak konsisten 22,36 0,37

Pemukiman Sawah Tidak konsisten 167,43 2,81

Pemukiman Hutan Lindung Tidak konsisten 139,04 2,33

Pemukiman Pemukiman Sangat Konsisten 52,68 0,88

Pemukiman Tanah Ladang Tidak konsisten 339,07 5,68

Pasar Laban Hutan Lindung Tidak konsisten 94,98 1,59

Kuburan Tanah Ladang Tidak konsisten 30,.84 0,52

Depo Pertamina Tanah Ladang Tidak konsisten 44,19 0,74

Depo Pertamina Pemukiman Konsisten 11,85 0,20

Luas Keseluruhan 5.964,83 100

Sumber: Hasil analisis

Konsistensi antara penggunaan/ tutupan lahan dengan Peta RTRW Kota Padang 2004-2013 di daerah penelitian

Berdasarkan analisis citra satelit Ikonos tahun 2005 dan citra Landsat ETM 7 tahun 2001 penggunaan lahan/tutupan lahan di daerah penelitian terdiri atas: hutan, kebun campuran, sawah, tanah terbuka, alang-alang, mangrove, pemukiman, kawasan pelabuhan, kuburan, dan pasir putih. Luas dari setiap penggunaan/tutupan lahan disajikan pada Tabel 12.


(57)

Tabel 12. Luas penggunaan/tutupan lahan di daerah penelitian

Luas No Penggunaan/Tutupan Lahan

(ha) (%)

1. Kuburan 4,5 0,1

2. Tanah terbuka 39,4 0,6

3. Pasir putih 4,0 0,1

4. Tubuh air 23,2 0,4

5. Hutan Pantai 24 0,4

6. Pemukiman 145,0 2,3

7. Kawasan Pelabuhan 27,0 0,4

8 Mangrove 62,0 1,0

9. Kebun Campuran 665,0 10,7

10. Hutan 4.458,0 71,7

11. Alang-Alang 21,2 0,3

12. Sawah 746,7 12,0

Total Luas 6.220,0 100

Sumber: Hasil analisis

Tabel 12 menunjukkan bahwa penggunaan/tutupan lahan di daerah penelitian didominasi hutan dengan luas 4.458 ha atau 71,7 % dari luas keseluruhan kawasan Teluk Bungus, sedangkan pemukiman hanya memiliki luas 245 ha atau 2,3 % dari seluruh peruntukan di daerah penelitian. Sementara itu, pada wilayah perairan (teluk) terdapat ekosistem terumbu karang dengan luas 144,6 ha atau 10 % dari luas wilayah perairan teluk (Gambar 12). Pada daerah tepi pantai terdapat ekosistem mangrove dengan luas 62,0 ha atau 1 % dari luas keseluruhan wilayah darat. Peta Tutupan/ Penggunaan Lahan disajikan pada Gambar 12 dan hasil overlay antara kondisi tutupan/penggunaan lahan dengan Peta RTRW disajikan pada Tabel 13.


(58)

(59)

Tabel 13. Konsistensi tutupan/penggunaan lahan terhadap RTRW

Luas Tutupan/

penggunaan Lahan RTRW Keterangan (ha) (%)

Tanah Terbuka Pasar Laban Sangat konsisten 1,72 0,08

Kebun Campuran Pasar Laban Konsisten 33,24 1,50

Hutan Pasar Laban Konsisten 58,49 2,65

Pemukiman Kawasan Industri Tidak konsisten 0,13 0,01

Kebun Campuran Kawasan Industri Konsisten 24,69 1,12

Sawah Kawasan Industri Konsisten 5,22 0,24

Kuburan Kawasan Industri Tidak konsisten 4,47 0,20

Hutan Kawasan Industri Konsisten 5,52 0,25

Sawah Pemukiman Lahan akan dikonversi 206,20 9,33

Tanah Terbuka Pemukiman Sangat konsisten 0,29 0,01

Hutan Pemukiman Konsisten 246,10 11,13

Kebun Campuran Pemukiman Konsisten 162,70 7,36

Mangrove Pemukiman Tidak konsisten 18,21 0,82

Sawah Kuburan Konsisten 7,31 0,33

Hutan Kuburan Konsisten 4,11 0,19

Kebun Campuran Kuburan Konsisten 18,26 0,83

Pemukiman Depo Pertamina Tidak konsisten 2,50 0,11

Mangrove Kawasan Perkebunan Tidak konsisten 3,08 0,14

Alang-alang Kawasan Perkebunan Konsisten 5,66 0,26

Pelabuhan Kawasan Perkebunan Tidak konsisten 7,93 0,36

Sawah Kawasan Perkebunan Tidak konsisten 217,20 9,82

Hutan Kawasan Perkebunan Konsisten 931,60 42,14

Pemukiman Kawasan Perkebunan Tidak konsisten 12,56 0,57

Pemukiman Sawah Tidak konsisten 3,30 0,15

Hutan Sawah Konsisten 2,19 0,10

Kebun Campuran Sawah Konsisten 19,53 0,88

Sawah Kawasan Hutan Lindung Tidak konsisten 10,18 0,46

Pemukiman Kawasan Hutan Lindung Tidak konsisten 0,13 0,01

Kebun Campuran Kawasan Hutan Lindung Tidakkonsisten 180,00 8,14

Lahan Terbuka Kawasan Hutan Lindung Tidak konsisten 18,37 0,83

Luas Keseluruhan 2.210,89 100

Sumber: Hasil analisis

Dari Tabel 13 menunjukkan adanya ketidakkonsistenan antara penggunaan lahan dengan peruntukan menurut RTRW yaitu kawasan hutan akan mengalami konversi lahan yang sangat besar di Kawasan Teluk Bungus menjadi areal perkebunan dalam Peta RTRW hingga tahun 2013.

Berdasarkan overlay antara peta RTRW (Gambar 9), Peta Zonasi Pesisir (Gambar 10) dengan kondisi tutupan/ penggunaan lahan (Gambar 12) terlihat bahwa dalam peta Zonasi Pesisir maupun dalam RTRW tidak ada peruntukan


(60)

kawasan pelabuhan Teluk Bungus. Terlihat juga bahwa dalam Peta Zonasi Pesisir keberadaan hutan mangrove sebagian dimasukkan dalam kawasan hutan lindung, sedangkan dalam RTRW hutan mangrove dikonversi menjadi daerah pemukiman. Selain itu, keberadaan ekosistem terumbu karang tidak ada dalam Peta Zonasi Pesisir. Perbandingan luas dari setiap peruntukan lahan antara Peta RTRW, Peta Zonasi Pesisir, dan Peta Penggunaan/ Tutupan Lahan disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Perbandingan luas peruntukan ruang dalam RTRW, Peta Zonasi Pesisir, dan penggunaan/ tutupan lahan

Gambar 13 menunjukkan bahwa penggunaan lahan di daerah penelitian didominasi oleh kawasan hutan. Dalam Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kawasan lindung masih menjadi prioritas dengan luas 3.861 ha bila dibandingkan dengan peruntukan untuk kawasan budidaya pertanian maupun budidaya non pertanian. Peruntukan untuk budidaya pertanian, baik dalam Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun kondisi tutupan lahan memiliki luas yang hampir sama bila dibandingkan peruntukan dalam Peta Zonasi Pesisir yang menempati areal paling luas.


(1)

Pengamatan :

04

Lokasi :

Teluk

Kaluang

Koordinat

:

100° 24' 5.90"BT/ 1°4' 48.10"LS

Horizon

Tebal

(cm)

Deskripsi

A

0 - 15

(7,5 YR 3/1) hitam kecoklatan, Tx:Lempung berliat;

Struktur:granular; lembab; pori mikro/makro banyak;

drainase; bagus.

B

15-35

Warna; coklat keputihan, Tx: lempung berliat; Struktur:

gumpal bersudut; lembab; pori mikro/makro sedang;

drainase; sedang-bagus.

C

35-150

Warna coklat keputihan, Tx; lempung berpasir, struktur;

gumpal, lembab, pori mikro sedikit, makro sedikit,

drainase sedang.

Pengamatan :

05

Lokasi :

Teluk

Kabung

Koordinat

:

100° 25' 0.19"BT/ 1°4' 44.50"LS

Horizon

Tebal

(cm)

Deskripsi

A

0 -10

(7,5 YR 3/1) coklat kehitaman, Tx:Pasir berliat;

Struktur:remah; lembab; pori mikro; drainase; bagus.

B 10-25

Warna;

kuning

kecoklatan, Tx:Pasir berliat;

Struktur:remah; lembab; pori mikro sedikit, pori makro

sedikit; drainase; sedang-jelek.


(2)

Lampiran 28. Padanan nama tanah di daerah penelitian

No

Jenis Tanah

Modifikasi 1978/1982

(PPT)

1. Dystrandepts

(D)

Hapludults (M)

Troporthents (T)

Andosol

Latosol

Litosol

2. Dystropepts

(D)

Hapludults (F)

Troporthents (T)

Latosol

Latosol

Litosol

3. Dystropepts

(D)

Humitropepts (F)

Troporthents (T)

Kambisol

Kambisol

Litosol

4. Humitropepts

(D)

Tropaquepts (F)

Tanah aluvial

Tanah aluvial

5. Tropopsaments

(D)

Sulfaquents (F)

Regosol

Glei


(3)

SALINITAS SUHU TSS TITIK BUJUR (BT) LINTANG (LS) NITRAT FOSFAT AMONIA

(%)

PH

(oC) KLOROFIL (ppm) DO BOD

1. 100,4092 1,0378 0,00 0,110 2,341 33,00 8,19 29,20 12,97 607,102 5,59 0,00 2. 100,4117 1,0444 0,00 1,640 1,970 33,00 7,98 30,70 10,98 586,501 6,67 0,00 3. 100,4067 1,0514 1,50 0,130 1,690 34,00 7,84 30,20 12,90 612,102 5,80 4,10 4. 100,4069 1,0389 0,00 0,130 2,858 34,00 7,84 30,40 12,88 1.007,210 6,30 0,00 5. 100,4114 1,0392 0,70 0,350 1,867 30,00 7,86 30,20 12,90 405,506 6,26 0,00 6. 100,4111 1,0661 0,20 0,225 0,438 34,00 7,91 29,50 13,14 1.002,700 5,62 22,90 7. 100,4108 1,0717 1,10 0,220 1,611 33,00 7,82 30,50 13,36 1.020,120 6,37 0,00 8. 100,4078 1,0739 0,00 0,090 1,885 34,00 7,78 30,40 13,19 770,220 6,65 0,00 9. 100,3986 1,0306 0,00 0,075 1,897 26,00 7,61 30,70 13,14 612,613 6,22 0,00 10. 100,4017 1,0350 1,05 0,315 0,711 7,00 6,91 27,90 12,72 580,821 6,02 18,80 11. 100,4028 1,0444 0,10 2,400 2,262 34,00 7,84 29,40 12,90 875,015 6,12 22,00 12. 100,4022 1,0558 0,05 0,180 2,146 34,00 7,84 29,60 12,90 898,113 6,04 11,30 13. 100,4022 1,0661 0,00 0,815 2,116 34,00 7,84 31,20 13,12 632,233 6,27 0,00 14. 100,4019 1,0717 0,00 0,625 2,760 34,00 7,71 31,10 13,14 824,525 6,04 16,00 15. 100,3936 1,0356 0,00 2,455 0,748 34,00 7,76 28,30 12,88 775,020 6,04 14,60 16. 100,3936 1,0444 0,50 0,465 2,128 33,00 7,85 29,10 13,26 541,812 6,88 0,00 17. 100,3933 1,0558 0,20 2,750 2,894 31,00 7,81 29,50 13,26 776,216 6,47 9,20 18. 100,3931 1,0661 0,00 0,710 1,599 33,00 7,86 29,00 13,17 1.020,820 6,32 0,00 19. 100,3931 1,0717 0,20 0,435 1,903 34,00 7,89 30,20 12,86 848,819 5,27 14,00 20. 100,3906 1,0756 1,55 0,120 1,836 33,00 7,72 30,70 13,19 1.024,020 6,65 0,00 21. 100,3847 1,0444 0,00 0,045 2,323 34,00 7,88 29,80 12,79 927,518 6,09 0,00 22. 100,3847 1,0558 1,35 2,385 1,246 34,00 7,85 30,50 13,21 1.018,020 5,33 14,70 23. 100,3850 1,0656 0,00 0,055 2,791 34,00 7,87 30,20 11,28 6.366,760 6,12 16,60


(4)

Vektor Prioritas

% Prioritas

Kesesuaian Lahan 0,38 0,05 4,75 8

Mitigasi Bencana 0,45 0,06 5,66 7

Penyediaan Lapangan Kerja 1,09 0,14 13,68 3

Peningkatan PAD 0,97 0,12 12,07 4

Ekosistem Pesisir 0,52 0,07 6,56 6

Pengaruh DAS 0,71 0,09 8,82 5

Peraturan Pengelolaan 1,22 0,15 15,26 1

Konflik Pemanfaatan Ruang 2,66 0,33 33,20 1

Nilai Skor masing-masing peruntukan

Kes. Lahan

Mitigasi Bencana

Lapangan

Kerja PAD Ekosistem DAS Peraturan Konflik Skor Agregasi Prioritas

Pertanian 0,04 0,10 0,12 0,46 0.27 0,06 0,14 0,27 0,124403 1

Pemukiman 0,21 0,13 0,18 0,23 0.16 0,06 0,14 0,05 0,107388 4

Industri 0,07 0,10 0,09 0,05 0.12 0,11 0,14 0,05 0,066318 6

Pelabuhan 0,21 0,18 0,05 0,05 0.09 0,53 0,14 0,27 0,107884 2

Pariwisata 0,21 0,10 0,06 0,07 0.09 0,11 0,14 0,27 0,06873 3

Budidaya Laut 0,21 0,30 0,12 0,09 0.16 0,08 0,14 0,04 0,093495 5

Kawasan Lindung 0,07 0,10 0,37 0,05 0.12 0,06 0,14 0,03 0,09976 5

Total 4,87 1,12 2,73 2,18 1.24 1,88 1,40 3,67

Responden 2: BAPPEDA SUMBAR

Vektor Prioritas % Prioritas

Kesesuaian Lahan 0,53 0,07 6,65 6

Mitigasi Bencana 0,85 0,11 10,68 4

Penyediaan Lapangan Kerja 0,93 0,12 11,57 3

Peningkatan PAD 0,85 0,11 10,68 4

Ekosistem Pesisir 0,53 0,07 6,58 7

Pengaruh DAS 0,78 0,10 9,74 5

Peraturan Pengelolaan 1,62 0,20 20,29 2

Konflik Pemanfaatan


(5)

Lahan Mitigasi Bencana Lapangan Kerja PAD Ekosistem DAS Peraturan Konflik Skor Agregasi Prioritas

Pertanian 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,142857 -

Pemukiman 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,142857 -

Industri 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,142857 -

Pelabuhan 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,142857 -

Pariwisata 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,142857 -

Budidaya Laut 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,142857 -

Kawasan Lindung 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,142857 -

Total 0,78 0,78 2,33 2,33 0,78 1,40 2,33 7,00

Responden 3: DKP Kota Padang

Vektor Prioritas % Prioritas

Kesesuaian Lahan 0,53 0,07 6,593257 7

Mitigasi Bencana 0,44 0,05 5,4953537 8

Penyediaan Lapangan Kerja 0,87 0,11 10,871884 5

Peningkatan PAD 1,18 0,15 14,788259 2

Perlindungan Ekosistem

Pesisir 0,57 0,07 7,1598836 6

Pengaruh DAS 0,91 0,11 11,409161 4

Peraturan Pengelolaan 1,16 0,14 14,472527 3 Konflik Pemanfaatan Ruang 2,34 0,29 29,209675 1

Nilai Skor Masing-masing peruntukan

Kes. Lahan Bencana Lap. Kerja PAD Ekosistem DAS Peraturan Konflik

Skor

Agregasi Prioritas

Pertanian 0,12 0,10 0,10 0,22 0,05 0,12 0,17 0,25 0,17 2

Pemukiman 0,08 0.07 0,10 0,11 0,05 0,12 0,08 0,08 0,09 5

Industri 0,12 0,17 0,30 0,11 0,11 0,12 0,17 0,13 0,15 3

Pelabuhan 0,12 0,17 0,15 0,11 0,16 0,23 0,17 0,13 0,15 3

Pariwisata 0,12 0,17 0,15 0,11 0,16 0,12 0,17 0,08 0,12 4

Budidaya Laut 0,23 0,25 0,15 0,11 0,16 0,08 0,08 0,08 0,12 4

Kawasan Lindung 0,23 0,07 0,06 0,22 0,32 0,23 0,17 0,25 0,20 1


(6)

Parameter Kriteria

Kriteria Responden 1 Responden 2 Responden 3 Rata-Rata % Skala Prioritas

1 Kesesuaian Lahan 0,05 0,07 0,07 0,06 6,00 8

2 Mitigasi Bencana 0,06 0,11 0,05 0,07 7,28 6

3 Penyediaan Lapangan Kerja 0,14 0,12 0,11 0,12 12,04 4

4 Peningkatan PAD 0,12 0,11 0,15 0,13 12,52 3

5 Perlindungan Ekosistem Pesisir 0,07 0,07 0,07 0,07 6,77 7

6 Pengaruh DAS 0,09 0,10 0,11 0,10 9,99 5

7 Peraturan Pengelolaan 0.15 0.20 0.14 0,17 16,67 2 8 Konflik Pemanfaatan Ruang 0.33 0.24 0.29 0,29 28,74 1

Prioritas Peruntukan Ruang

Responden 1 Responden 2 Responden 3 Rata-Rata % Skala Prioritas

1 Pertanian 0,21 0,14 0,17 0,18 17,604665 1

2 Pemukiman 0,13 0,14 0,09 0,12 11,913861 7

3 Industri 0,08 0,14 0,15 0,12 12,476186 5

4 Pelabuhan 0,20 0,14 0,15 0,16 16,303768 2

5 Pariwisata 0,16 0,14 0,12 0,14 14,154129 4

6 Budidaya Laut 0,11 0,14 0,12 0,12 12,252321 6