BAB II LATAR BELAKANG
I. J. KASIMO MENGEMBANGKAN NASIONALISME
A. Masa Kecil I.J. Kasimo
Permulaan abad ke-20 adalah keadaan di mana orang-orang Katolik mulai menemukan jalan baru untuk ikut memperjuangkan nasionalisme. Hal ini
dikarenakan menjelang akhir abad ke-19, perubahan haluan politik terjadi di negeri Belanda. Kaum Liberal yang didukung oleh partai-partai Kristen dan
Katolik menang dalam parlemen terhadap kelompok konservatif. Dengan kemenangan ini, politik Cultuurstelsel
, politik “tanam paksa” yang digulirkan oleh van den Bosch dan didukung oleh partai konservatif pada 1830 diganti
dengan politik etis.
1
Meskipun akhirnya politik etis terbilang gagal di beberapa bidang, namun politik etis membawa pengaruh besar bagi lahirnya partai-partai
dari golongan pribumi yang nantinya memberikan semangat nasionalisme kepada masyarakat pribumi. Dari partai-partai pribumi itulah orang Katolik mulai sadar
besarnya pengaruh politik pada nasib dan masa depan bangsa. Keterlibatan kalangan Katolik akan sangat bermanfaat untuk ikut mempengaruhi dan
mengarahkan kebijakan-kebijakan publik selaras dengan nilai-nilai Katolik. Salah satu tokoh Katolik yang turut memperjuangkan nasionalisme di
Indonesia adalah Ignatius Joseph Kasimo Endrawahjana. I.J. Kasimo lahir di Yogyakarta, 10 April 1900.
2
Ia dilahirkan sebagai anak keempat di antara sebelas
1
Mikhael Dua, dkk, Politik Katolik Politik Kebaikan Bersama, Jakarta: Obor, 2008, hlm. 27.
2
Alexander Aur, “Perjuangkan Kemerdekaan”, Hidup, 9 November 2008, hlm. 7.
orang anak dari suami-istri Ronosentiko dan Dalikem. Ayahnya bekerja sebagai prajurit Keraton Yogyakarta, sedangkan segala urusan rumah tangga diserahkan
kepada istrinya. Dalikemlah yang harus mengurusi segala urusan rumah tangga, karena pada saat itu seorang prajurit Keraton tidak diperkenankan memiliki
pekerjaan lain selain mengabdi pada Sultan. I.J. Kasimo dilahirkan di Yogyakarta, dimana sistem feodalisme saat itu
sangat merugikan rakyat kecil. Segala sesuatu dipusatkan untuk kepentingan Sultan serta keluarganya. Kepentingan rakyat kecil tidak pernah menjadi bahan
pertimbangan utama. Hampir seluruh tanah di dalam wilayah kesultanan misalnya, dikuasai oleh Sultan dan dibagikan kepada para pangeran putra-putri
Sri Sultan dan petugas-petugas kesultanan sebagai sumber kehidupan. Rakyat kecil sudah boleh merasa bangga jika sampai dipilih menjadi bekel
3
dan menerima sebagian dari hasil tanah.
4
Dalam struktur feodal yang berlaku di Yogyakarta pada waktu itu, abdi dalem merupakan milik pribadi sultan. Ronosentiko sebagai abdi dalem prajurit
Mantrijero tidak menerima gaji. Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, Ronosentiko memperoleh sebidang tanah seluas dua jung atau kurang lebih delapan bahu
7096,50 m
2
. Setelah sistem apanage
5
dihapuskan dan diganti dengan undang- undang tahun 1918, ia menerima ganti berupa uang sebesar 26 gelo.
6
3
Bekel adalah pengelola milik pangeran atau keluarga Sultan. Ia biasanya berfungsi sebagai lurah oleh karena lurah sebagai kepala desa menurut pengertian sekarang, pada waktu itu belum
dikenal.
4
Tim Wartawan Kompas, I.J. Kasimo Hidup dan Perjuangannya, Jakarta : PT Gramedia, 1980, hlm. 3.
5
Apanage adalah sistem tanah untuk jabatan sementara, sebagai upah atau gaji seorang priyayi atau bangsawan.
6
Tashadi, dkk, Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, Jakarta : Dedikbud, 1993, hlm. 156.
Sejak kecil I.J. Kasimo sudah merasakan betapa sistem feodal yang berlaku sangat merugikan rakyat kecil. Gaji ayahnya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya. Untuk itu ibunya harus membanting tulang untuk mencari tambahan penghasilan dengan membuka warung dan menjadi Parealan
7
serta mengusahakan pembatikan kecil-kecilan. Melihat kerja keras ibunya, ia tidak
tinggal diam. Setiap hari Kasimo kecil pergi ke pasar bersama ibunya untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Ia juga membantu ibunya melayani pelanggan di
warung, mengerok batik, dan sebagainya. Setiap pagi ia membuat teh untuk ayahnya, membersihkan rumah, dan menimba air untuk mandi.
Dalam keluarganya, I.J. Kasimo juga mendapat perlakuan tidak adil karena sistem feodalisme pada saat itu. Pada zaman itu merupakan kebiasaan yang
lazim bahwa anak laki-laki sulung dicalonkan untuk menggantikan kedudukan ayah. Akan tetapi karena Daliman anak laki-laki pertama dalam keluarga
Ronosentiko meninggal dunia ketika masih kecil, maka anak kedua yaitu Mangoenprawiro, yang mempersiapkan untuk menggantikan ayahnya menjadi
prajurit Mantrijero.
8
Sebagai calon pengganti ayahnya, kakak yang akan menjadi priyayi ini mempunyai kedudukan istimewa di dalam keluarga. Ia adalah seorang
kompris.
9
Sebagai kompris ia dibebaskan dari semua pekerjaan rumah tangga dan setelah cukup usianya harus meninggalkan rumah untuk magang di kediaman
7
Parealan adalah tukang tukar uang di pasar.
8
Mantrijero adalah salah satu laskar prajurit professional dan prajurit pengawal Keraton Yogyakarta.
9
Kompris berasal dari bahasa Belanda kroonprins, yang di sini berarti anak laki-laki tertua dari keluarga priyayi.
seorang pangeran
10
Dengan begitu semua pekerjaan untuk membantu pekerjaan rumah tangga dibebankan oleh I.J. Kasimo dan adik-adiknya.
Selain dilahirkan di zaman feodal, Kasimo juga dilahirkan pada zaman di mana kolonialisme Belanda di Indonesia masih sangat besar pengaruhnya
terhadap kehidupan di Hindia Belanda. Khususnya pada 1901 saat sistem tanam paksa dihapuskan dan pemerintah Belanda mengumumkan politik kolonial baru,
yaitu politik etis. Tanam Paksa dihapuskan karena alasan kemanusiaan. Tanggal 17 September 1901 pada pidato kerajaannya, Ratu Wilhemina mendesak
pemerintahan Hindia
Belanda untuk
menjalankan kewajiban
moral mengembangkan perbaikan nasib penduduk pribumi. Daerah jajahan seperti
Indonesia tidak harus dieksploitasi untuk memberikan keuntungan bagi negeri Belanda. Menjadi kewajiban Belanda untuk mendidik bangsa Indonesia ke arah
pemerintahan sendiri yang harus dilakukan secara adil dan jujur berdasarkan rasa kemanusiaan.
11
Politik etis tersebut seakan memberikan harapan baru bagi kaum pribumi karena pendidikan dan pelayanan kesehatan mulai dibangun untuk kepentingan
kaum pribumi. Banyak pengusaha mulai menanamkan modalnya di Indonesia. Permulaan abad ke-20 ditandai oleh semangat baru: rakyat Hindia Belanda perlu
dipersiapkan untuk menangani administrasi pemerintahan. Pendidikan menjadi fokus kebijakan baru pemerintah Hindia Belanda dan lembaga-lembaga non
pemerintah.
12
10
Tim Wartawan Kompas, op.cit., hlm. 5.
11
Mikhael Dua, dkk, op.cit, hlm. 27.
12
Ibid., hlm. 28.
Pada kelanjutannya, politik etis dianggap gagal karena pelaksanaannya berlangsung sangat lambat. Politik etis gagal memecahkan masalah ekonomi,
politik, dan sosial. Politik etis juga menyebabkan diskriminasi rasial semakin kuat di kalangan masyarakat. Dalam bidang pendidikan misalnya, sistem
persekolahan oleh pemerintah Hindia Belanda waktu itu secara politis mengelompokkan masyarakat ke dalam golongan-golongan dengan garis pemisah
yang tajam. Tidak hanya antara masyarakat Eropa dan masyarakat pribumi saja, melainkan pemerintah mendorong penggolongan-penggolongan di dalam
masyarakat pribumi sendiri. Bentuk-bentuk pengelompokan itu, selain kelas Ongko Loro
13
yang diperuntukan bagi pribumi sebagai sekolah rakyat, juga ada sekolah Bumiputera Kelas Satu Eerste Indlandsche-School yang didirikan tahun
1907 dan kemudian di tahun 1914 diganti dengan nama Holland Inlandsche School HIS, yang diperuntukkan bagi anak-anak pribumi dari golongan
masyarakat kelas atas seperti bangsawan dan priyayi tinggi.
14
Dalam zaman kolonialisme inilah I.J. Kasimo dilahirkan dan dibesarkan. Sebagai anak kecil yang baru berusia 11-12 tahun, I.J. Kasimo memang
sepenuhnya belum menyadari akibat-akibat buruk yang disebabkan oleh sistem feodalisme dan kolonialisme. Akan tetapi pengalaman pribadi yang dirasakannya
dari keadaan tersebut sangat menentukan kepribadian dan perjuangan hidupnya di kemudian hari.
13
Ongko Loro adalah sekolah yang diperuntukkan untuk kaum pribumi.
14
Tashadi, dkk, op.cit., hlm. 156.
B. Bertemu Pastor F. van Lith