PROSES Nasionalisme I.J. Kasimo pada zaman kolonial.

BAB III PROSES

I.J. KASIMO MENGEMBANGKAN NASIONALISME A. Mengembangkan Nasionalisme melalui Partai Katolik Upaya I.J. Kasimo untuk memperjuangkan nasionalisme di tengah masyarakat pribumi yang mempunyai sentimen negatif terhadap agama Kristiani semakin terbukti setelah ia lulus dari MLS pada tahun 1921. 1 Pada saat itu orang Kristiani dianggap sebagai sekutu dari pemerintah Hindia Belanda dikarenakan persamaan agama yang mereka anut. I.J. Kasimo sebagai seorang pribumi yang beragama Katolik mempunyai keinginan untuk membentuk suatu partai Katolik khusus untuk golongan pribumi. Hal tersebut dilakukannya karena ia ingin membuktikan bahwa agama Katolik bukan berarti agama yang mendukung pemerintah Hindia Belanda. Dari situ nasionalisme I.J. Kasimo sangat terlihat karena pemikirannya mengenai pendirian partai Katolik khusus untuk golongan pribumi. Rencana pendirian partai Katolik tersebut berarti sama saja ingin memisahkan diri dari pemerintah Hindia Belanda karena pasti terdapat tujuan yang berbeda antara golongan pribumi dan pemerintah Belanda. Jika ia bergabung dengan partai dari orang Belanda, maka nasionalismenya sangat sulit tercapai karena partai Belanda pasti mempunyai kepentingan sendiri untuk bangsanya. Sedangkan jika ia memiliki partai sendiri, maka ia bisa mengajak kaum pribumi untuk memberikan pengertian mengenai pentingnya nasionalisme bagi kermajuan bangsa. 1 Thasadi, dkk, Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, Jakarta: Dewan PKRI, 1949, hlm. 164. I.J. Kasimo semakin berpegang teguh pada pendiriannya untuk mendirikan partai Katolik ketika pada tahun 1922 Pastor Frans van Lith menulis sebuah artikel yang antara lain berbunyi : “Berlalulah sudah zaman penjajahan oleh bangsa kulit putih. Seorang kulit putih tidak akan dapat bertahan untuk selama-lamanya menghadapi 100.000 orang Asia. Orang bermain dengan api jika dengan tinggi hati ingin menjajah orang Jawa, hanya dengan alasan karena ia orang Jawa. Akuilah hak-hak golongan pribumi, jika kalian ingin agar hak-hakmu diakui.” 2 Artikel ini membuat I.J. Kasimo semakin yakin untuk mengembangkan nasionalisme di tengah keraguan masyarakat Indonesia terhadap umat Kristiani. I.J. Kasimo mengartikan artikel tersebut sebagai kritik terhadap kolonialisme Belanda dan bukti keberpihakan Pastor van Lith kepada kaum pribumi yang menghendaki kemerdekaan. Artikel tersebut juga menjadi suatu peringatan dari Pastor van Lith terhadap pemerintah Belanda bahwa penjajahan tidak akan bertahan selamanya. Suatu saat kaum pribumi akan bangkit untuk menuntut hak mereka. Yang lebih mendalam lagi, artikel ini mencoba menegaskan bahwa arogansi Belanda terhadap kaum pribumi tidak hanya merusak citra Belanda, melainkan juga citra agama Kristiani di hadapan orang-orang Indonesia. Artikel ini menjadi inspirasi utama bagi I.J. Kasimo dan mantan murid- muridnya di Kweekschool 3 Muntilan yang ingin melibatkan diri secara aktif dalam kehidupan politik. Artikel ini dipandang sebagai sebuah pedoman yang menjadi alasan utama bagi pertemuan para tokoh seperti I.J. Kasimo, F.S Harjadi, dan Raden Mas Jakobus Soejadi Djajasepoer. I.J. Kasimo memulai pemikirannya 2 Mikhael Dua, dkk, Politik Katolik Politik Kebaikan Bersama, Jakarta: Obor, 2008, hlm. 34. 3 Kweekschool adalah salah satu jenjang pendidikan resmi untuk menjadi guru pada zaman Hindia Belanda. untuk mendirikan partai Katolik pada tahun 1923 bersama F.S. Harjadi dan RM Jakob Soedjadi. 4 Mereka bertiga sepakat untuk membentuk sebuah panitia persiapan untuk mendirikan partai Katolik. Selama satu tahun mereka mengadakan persiapan dengan memberikan pengertian kepada masyarakat Jawa di Yogyakarta dan sekitarnya. Setiap mengadakan pertemuan dengan masyarakat pribumi Jawa selalu dimanfaatkan untuk mematangkan gagasan mendirikan partai politik tersebut. Melalui partai Katolik tersebut, sangat jelas bahwa nasionalisme yang dikembangkan I.J. Kasimo memang tidak bisa terlepas dari nasionalisme yang bersifat religius. Ia mengembangkan nasionalisme dengan berpedoman pada ajaran-ajaran Katolik. Dari ajaran Katolik tersebut, ia mengaktualisasikannya ke dalam nasionalisme yang ia cita-citakan. Hal itu dibuktikan saat ia menolak untuk bergabung dengan IKP Indische Katholieke Partij yang berdiri sejak tahun 1917. 5 Memang benar bahwa IKP adalah partai Katolik yang didalamnya pasti terdapat banyak persamaan dengan partai yang ingin dibentuk I.J. Kasimo mengenai ajaran-ajaran Katolik. Tetapi karena nasionalisme yang dimilikinya I.J. Kasimo beranggapan jika ia bergabung dengan IKP, maka ia sama saja menjadi penjajah bangsanya sendiri karena IKP dikendalikan oleh orang Belanda. Ia tidak dapat mengabdikan diri pada negerinya jika nama Katolik terdiri dari orang-orang yang menindas bangsanya. Hal tersebut semakin membuktikan bahwa I.J. Kasimo memang seorang nasionalis sejati. Ia tetap berpegang teguh untuk mendirikan partai khusus untuk golongan Katolik pribumi. Ia bisa saja bergabung dengan IKP 4 Mikhael Dua, dkk, op.cit., hlm. 37. 5 Ibid.,hlm. 33. jika hanya ingin memperkuat identitas agama Katolik. Tetapi ia dengan tegas menolak bergabung dengan IKP dan ingin membuktikan bahwa Katolik Pribumi adalah Katolik yang nasionalis. Masalah-masalah yang dihadapi I.J. Kasimo untuk mendirikan partai Katolik tidak membuatnya gentar untuk tetap bersikeras mendirikan partai Katolik bersama teman-teman bekas murid Kweekschool Muntilan. I.J. Kasimo dan teman-temannya tahu bahwa kedudukan mereka di kalangan masyarakat tidak dapat dipandang tinggi. Kecuali itu, mereka juga tahu bahwa jumlah orang Katolik Jawa waktu itu belum banyak, yaitu kurang dari 10.000 orang. 6 Meskipun demikian, dalam pertemuan tersebut mereka berani mengambil keputusan untuk mendirikan partai politik untuk .golongan Jawa sendiri, di samping Indische Katholieke Partij IKP yang anggota-anggotanya hampir 100 terdiri dari orang- orang Katolik Belanda. Akhirnya upaya I.J. Kasimo dan teman-temannya untuk mendirikan partai Katolik untuk golongan pribumi dapat terwujud pada tahun 1923. 7 Kebanyakan dari mereka adalah guru sekolah rakyat di Jawa Tengah. Mereka adalah rakyat biasa yang mempunyai cita-cita yang sangat tinggi demi tercapainya pemerintahan yang adil di negaranya. Mereka sadar bahwa pemerintahan yang adil adalah pemerintahan yang menjamin kebebasan beragama, kebebasan menerima pendidikan, kebebasan pelayanan di bidang sosial, kesehatan, dan lain-lain. 6 Tim Wartawan Kompas, I.J. Kasimo Hidup dan Perjuangannya, Jakarta : PT. Gramedia, 1980, hlm. 21. 7 I.J. Kasimo, Perdjoangan Politik Katholik Indonesia, Jakarta :Penghubung Dewan Pimpinan PKRI, 1949, hlm. 18. Pengurusnya terdiri atas tiga orang, yaitu FS. Haryadi sebagai ketua, I.J. Kasimo sebagai sekretaris, dan RM. Yakob Sujadi sebagai bendahara. Di dalam lembaran negara, nama resmi yang tercantum adalah Katholieke Vereeniging Voor Politieke Actie Afdeling Khatolieke Javanen. Tetapi berkat nasionalisme yang dimiliki I.J. Kasimo, ia merasa tidak pantas jika nama partai yang dibentuknya menggunakan nama Belanda. Untuk itu, agar partai tersebut dapat dimaknai sebagai partai Katolik pribumi, maka partai tersebut mempunyai nama tersendiri di kalangan pribumi, yaitu Pakempalan Politik Katholik Djawi PPKD. Perubahan nama partai menggunakan bahasa Jawa tersebut bukan tanpa alasan. Ia ingin menunjukkan bahwa partai yang ia dirikan adalah partai yang benar-benar milik pribumi dan tidak ada campur tangan Belanda. Mengenai perubahan nama partai di kalangan pribumi tersebut, nasionalis I.J. kasimo semakin terbukti meskipun dalam lingkup nasionalis Jawa. Tetapi nasionalis Jawa ini akan berkembang menjadi nasionalis Indonesia seiring dengan perjuangan- perjuangannya kelak. Upaya I.J. Kasimo untuk mengembangkan nasionalisme kembali mendapatkan hambatan pada awal terbentuknya partai, yakni pada tahun 1923. Melalui partai Katolik ini ia harus memutuskan untuk bergabung dengan IKP dengan alasan agar mendapat persetujuan dari hirarki gereja mengenai izin pendirian partai. Memang pada saat itu tidak diperbolehkan mendirikan partai Katolik baru jika sebelumnya sudah ada partai Katolik lain. 8 Padahal izin dari hirarki gereja adalah syarat mutlak untuk mendirikan partai katolik. Untuk itu, 8 Tim Wartawan Kompas, op.cit., hlm. 25. mau tidak mau partai yang baru didirikan itu harus bergabung dengan IKP agar mendapatkan izin dari Hirarki Gereja. Dengan bergabungnya PPKD dengan IKP tidak membuat semangat I.J. Kasimo untuk mendirikan partai khusus untuk golongan Katolik pribumi luntur. Bahkan setelah mendapat persetujuan dari hirarki gereja dan IKP untuk mendirikan partai yang berafiliasi dengan IKP, I.J. Kasimo masih harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda. Pada saat itu pengakuan badan hukum dari pemerintah Hindia Belanda sangat penting bagi suatu organisasi. I.J. Kasimo adalah seorang Nasionalis yang sangat cerdas dan berani. Demi mendapat persetujuan dari pemerintah Hindia Belanda, I.J. Kasimo mencantumkan secara terselubung tujuan partai tersebut. Sejak semula I.J. Kasimo ingin menunjukkan bahwa perjuangan golongan Katolik Jawa yang dicanangkan adalah suatu perjuangan dalam rangka emansipasi bangsa, yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. 9 Dengan tujuan partai seperti itu I.J. Kasimo tidak akan mendapat persetujuan dari pemerintah Hindia Belanda karena pada saat itu adalah zaman penjajahan. Maka dari itu demi memperoleh pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda, tujuan partai hanya dicantumkan sebagai partai yang ikut serta berusaha membangun dan memajukan negara. Dengan tujuan partai seperti itu, partai yang baru ini langsung memperoleh pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda. 9 Tashadi, dkk, op.cit., hlm. 189. Pada tahun 1925 merupakan langkah baru perjuangan I.J. Kasimo untuk mendirikan partai Katolik tanpa adanya campur tangan oleh orang Belanda. Pada saat itu di bidang politik terjadi perkembangan baru. Untuk menjamin agar mayoritas di dalam dewan-dewan perwakilan rakyat tetap berada di tangan Belanda, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan baru mengenai pemilihan anggota dewan-dewan perwakilan ini. Menurut peraturan tersebut para pemilih dibagi dalam 3 golongan : golongan Belanda, pribumi dan timur asing pemilihan anggota pada waktu itu dilakukan secara tidak langsung. Jika sebelumnya golongan penduduk Belanda dapat memilih seorang pribumi atau timur asing, maka kini tiap golongan penduduk hanya boleh memilih wakil dari golongannya sendiri. 10 Dengan peraturan tersebut, pemerintah kolonial ingin menjaga agar golongan Belanda tidak sampai kehilangan mayoritas melalui politik tersebut. Akibat perkembangan tersebut, cita-cita I.J. Kasimo untuk mendirikan partai Katolik akhirnya terwujud. Kebijakan tersebut membuat sistem federasi di dalam lingkungan IKP dihapuskan. IKP berdiri sendiri sebagai partai politik, begitu juga dengan PPKD akhirnya bisa berdiri sendiri tanpa adanya campur tangan dari pemerintah Belanda. Tepatnya pada tanggal 22 februari 1925 tercapailah cita-cita I.J. Kasimo untuk mempunyai partai politik yang berdiri sendiri. 11 Upaya I.J. Kasimo untuk mengembangkan nasionalisme melalui PPKD mulai berkembang dari nasionalis Jawa ke nasionalis Indonesia. Ia sadar bahwa 10 Tim Wartawan Kompas, op.cit., hlm. 27. 11 I.J. Kasimo, op. cit., hlm. 19. persatuanlah yang harus dicapai demi kemajuan bangsa Indonesia. Hal tersebut terlihat dari tujuan PPKD yang akan turut berusaha sekuat-kuatnya bagi kemajuan Indonesia. Usahanya itu didasarkan atas dasar-dasar Katolik, tetapi dengan memperhatikan bahwa penduduk Indonesia terdiri terutama atas orang-orang yang bukan Katolik. 12 Sementara itu PPKD yang saat itu dipimpin I.J. Kasimo, tepatnya pada 1924 mempunyai pedoman pokok yaitu a Aksi PPKD terletak pada politik yang berdasarkan asas-asas Katolik. b Aksi ini bersifat pada permulaan nasional Jawa, kemudian nasional Indonesia. c Haluan PPKD harus evolusioner, artinya menurut jalan yang teratur, tetapi dengan tempo yang cepat. 13 Atas dasar pemikiran I.J. Kasimo yang mulai mengembangkan nasionalismenya dari Jawa menuju Indonesia, anggota PPKD meluas. Anggotanya tidak hanya terdiri atas orang-orang Katolik Jawa tetapi juga orang-orang Katolik pribumi lainnya. Untuk itu, pada 1930 nama organisasi diubah menjadi Perkoempoelan Politiek Khatoliek di Djawa dan bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa organisasi. 14 Perubahan nama partai tersebut kembali memperlihatkan nasionalisme I.J. Kasimo yang semakin maju. Ia sadar bahwa Indonesia terdiri dari berbagai pulau. Maka dari itu partai yang semula bernama Pakempalan Politik Khatolik Djawa diubah menjadi Perkoempoelan Politiek Khatolik di Djawa. Nama partai yang semula memakai bahasa Jawa diubah menggunakan bahasa Indonesia. Kemudian bila dicermati nama partai ditambah menggunakan kata “di”. Kata “di” dapat diartikan bahwa I.J. Kasimo menyadari 12 A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta : PT. Dian Rakyat, 1980, hlm. 72. 13 I.J. Kasimo, Perdjoangan Politik Katholik Indonesia, Jakarta : Dewan Pimpinan PKRI, 1949, hlm. 18. 14 Anton Haryono, Awal Mulanya adalah Muntilan. Yogyakarta : Kanisius, 2009, hlm. 202. bahwa Indonesia bukan hanya terdiri dari Jawa saja, melainkan terdiri dari banyak daerah. Kata “di” dalam “di Jawa” menunjukkan bahwa Jawa hanya sebagian daerah dari Indonesia. Selain ditandai dengan perubahan nama partai yang semakin mengarah ke sifat keindonesiaan, nasionalisme I.J. Kasimo semakin terlihat ketika ia menerbitkan surat kabar politik berbahasa Indonesia yaitu Soeara Khatoliek. Media komunikasi ini semula menumpang pada Swara Tama 15 , pers Katolik berbahasa Jawa yang sangat tekun mengulas berbagai persoalan bangsa. Namun, sejak 1930 Soeara Katholiek terbit mandiri tiga kali sebulan dan sejak 1934 berubah menjadi mingguan. 16 Dengan Soeara Katholiek, I.J. Kasimo berharap umat Katolik bisa memperkokoh ikatan persaudaraan serta menumbuhkan semangat kekatolikan dan nasionalisme di seluruh Indonesia. Dari waktu ke waktu I.J. Kasimo semakin gencar dalam mengembangkan nasionalismenya. Hal tersebut terbukti bahwa melalui PPKD, ia terus berusaha memperluas jangkauan pengaruh perjuangan kebangsaannya. Melalui PPKD, ia mulai mendekatkan diri dengan partai-partai nasional lainnya seperti Parindra, Pasundan., Gerindo, dan lain sebagainya. Hal tersebut dilakukannya agar PPKD bisa berdialog mengenai visi dan misi kebangsaan diantara partai-partai nasionalis lainnya. Kedekatan PPKD dengan partai nasional lainnya semakin memperlihatkan usaha I.J. Kasimo untuk mengembangkan nasionalismenya yang semula hanya bersifat kedaerahan yang kemudian meluas dengan mendekatkan 15 Swara Tama adalah sebuah terbitan yang semula merupakan sebuah forum komunikasi untuk alumni Kolese Xaverius Muntilan. Tujuan Sworo Tomo adalah sebagaimana terumus dalam terbitan No.34IV, September 1926 berbunyi, antara lain: Untuk menjelaskan ajaran Katolik guna melawan ajaran-ajaran lain yang mengaburkan. 16 Anton Haryono, op. cit., hlm. 204. diri dengan partai-partai yang bersifat nasionalis lainnya. Hal tersebut semakin meyakinkan masyarakat Indonesia bhawa PPKD pimpinan I.J. Kasimo adalah partai yang nasionalis walaupun partai tersebut berlabel Katolik. Semangat I.J. Kasimo untuk mengembangkan nasionalime semakin nyata ketika pada 1935 PPKD memutuskan untuk menganti nama partai menjadi Perkoempoelan Politik Katholieke Indonesia PPKI 17 . Perubahan tersebut dikarenakan adanya kecenderungan pada organisasi-organisasi pergerakan nasional di Indonesia untuk berkembang dari organisasi-organisasi lokal menjadi nasional. Dari pengaruh tersebut, I. J. Kasimo yang semula mencita-citakan suatu partai Katolik yang dikhususkan untuk golongan Katolik Jawa, kini ia mulai menaruh perhatiannya kepada golongan Katolik di luar Jawa. Hal tersebut juga dikarenakan mulai menyebarnya agama Katolik di luar Jawa. Semula PPKD dengan kata Djawa-nya terasa kental dengan orang-orang Katolik jawa saja. Dengan perubahan nama menjadi PPKI memungkinkan partai yang dipimpin I.J. kasimo tersebut menerima anggota dari luar Jawa. Dari perubahan nama partai tersebut, uapaya I.J. Kasimo untuk mengembangkan nasionalisme kembali muncul karena dengan perubahan nama partai tesebut, ia ingin menghilangkan akar kesukuan di dalam partainya. Sebenarnya yang mendorong I.J. Kasimo terjun dalam dunia politik adalah kesadarannya tentang perintah keempat dari Sepuluh Perintah Tuhan yang berbunyi “Hormati Ayah Ibumu”. Perintah ke empat tersebut dipahami I.J. Kasimo dalam arti luas. Menurutnya hormat kepada ayah dan ibu dalam perintah 17 Ibid., hlm. 202. keempat tersebut tidak hanya hormat dan cinta kepada orang tua saja, melainkan cinta dan hormat kepada nusa dan bangsa. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran I.J Kasimo yang mengalami perubahan ketika awalnya ia memperjuangkan nasionalisme dari nusa bangsa Jawa kemudian menjadi nusa bangsa Indonesia.. Hal ini mengundang kewajiban antara lain kewajiban untuk bekerja bagi kesejahteraan dan keluhuran tanah air. Semuanya itu mempunyai arti membebaskan tanah air dari belenggu penjajahan. 18 Hal inilah yang mendorong I.J. kasimo terjun dalam dunia politik khusunya melalui PPKDPPKI untuk mencapai cita-citanya dengan menyumbangkan tenaga untuk membebaskan rakyat dari penindasan bangsa asing.

2. Mengaktualisasikan Nasionalisme melalui Voolksraad

Upaya I.J. Kasimo untuk mengembangkan nasionalismenya kembali berlanjut ketika ia diangkat menjadi anggota Voolksraad pada 1931. 19 Keanggotaan Volksraad terdiri dari wakil-wakil golongan masyarakat yang jumlahnya sejak tahun 1927 diperluas dari 48 menjadi 60 orang. Dari jumlah ini, sejak tahun 1931 golongan pribumi diwakili oleh 30 orang sedangkan sisanya terdiri dari wakil-wakil golongan Belanda dan Timur Asing yaitu Cina dan Arab. Para anggota Voolksraad sebagian besar dipilih secara tidak langsung melalui dewan perwakilan kotapraja, kabupaten dan propinsi. Sebagian lainnya diangkat oleh gubernur jenderal. Untuk masa sidang tahun 1931-1935, ada 5 orang pribumi yang diangkat oleh gubernur jenderal termasuk I.J. Kasimo. Bersama I.J. Kasimo diangkat pula Wiwoho dari golongan Islam, dr. Apituley 18 Tashadi, dkk, op.cit., hlm. 190. 19 Greg Soetomo SJ, “Katolik yang Tidak Minder”. Hidup. 27 November 2011, hlm. 11. dari Moluks Politiek Verbond Perhimpunan Politik Maluku, Tuanku Mahmud dari Kesultanan Aceh, dan dr. Arifin, yaitu adik dari Abdul Muis, seorang tokoh Sarekat Islam. 20 Voolksraad atau Dewan Rakyat didirikan pada 1917. 21 Badan ini tidak mempunyai kekuasaan legislatif, hanya memberi nasihat antara lain mengenai keuangan. Voolksraad juga membahas mengenai segala permasalahan yang dihadapi oleh negara Hindia Belanda pada waktu itu. Mulai dari masalah anggaran belanja, pendidikan dan agama sampai kepada masalah tenaga kerja, nasib petani kecil dan kemerdekaan bangsa. Pada tahun 1920 jumlah anggota menjadi 49 orang, diantaranya 24 dipilih dan 24 diangkat termasuk 8 pribumi. Anggota Dewan Rakyat mempunyai kebebasan untuk mengecam aturan-aturan pemerintah. Dengan pecahnya perang Dunia I, muncullah suasana yang lebih demokratis. Bahasa dewan boleh menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa debat. Pidato dalam sidang-sidang permulaan sering mengarah pada revolusioner, mengandung banyak kecaman terhadap pemerintah dan menimbulkan perasaan anti terhadap kolonialisme, anti Belanda dan anti kapitalisme. 22 Dengan adanya Voolksraad inilah muncul pidato-pidato I.J. Kasimo yang dikenal sebagai pidato yang sangat berani menentang pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dikarenakan di dalam Voolksraad I.J. Kasimo beserta anggota lainnya bebas melontarkan kritik-kritik tajam terhadap pemerintah Hindia Belanda karena sidang-sidang Voolksraad sifatnya bebas dan terbuka. Setiap anggota bebas untuk 20 Tim Wartawan Kompas, op.cit., hlm. 33. 21 Mikhael Dua, dkk, op.cit., hlm. 29. 22 Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Jilid V, Jakarta, PN. Balai Pustaka.1984, hlm. 50. mengajukan pendapatnya mengenai masalah apa saja. Mereka juga bebas untuk menyerang pemerintah dan melontarkan kritik yang setajam-tajamnya. Semua anggota di Voolksraad juga diperlakukan dengan sama. Seperti pada saat sidang tidak ada anggota yang menempatkan dirinya lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain. Sekalipun mereka berbeda pendapat dan kerap kali terlibat dalam perdebatan sengit, namun hubungan pribadi tetap baik. Terutama di antara para anggota golongan pribumi, nampak terjalin hubungan yang akrab sekali. I.J. Kasimo berpendapat bahwa cara terbaik untuk menarik kepercayaan golongan lain adalah ikut serta duduk di dalam dewan-dewan perwakilan rakyat seperti Voolksraad. Oleh sebab itu sebagian besar dari kegiatan partai diarahkan untuk memperoleh kursi-kursi di dalam dewan-dewan perwakilan. Melalui dewan-dewan perwakilan itu wakil-wakil PPKI memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Tentu saja berdasarkan prinsip-prinsip Katolik dan sesuai dengan program kerja PPKI yang antara lain bertujuan memperjuangkan desentralisasi pemerintahan, undang-undang sosial, peningkatan dan perluasan fasilitas pendidikan serta kesehatan rakyat. 23 Di dalam Voolksraad, I.J. Kasimo dengan tegas berkomitmen agar PPKI tidak berada dalam satu fraksi dengan IKP. Ia ingin menunjukkan kepada para pemimpin dari golongan lain, bahwa PPKI dan IKP Sekalipun sama-sama partai Katolik, tetapi mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda. Hal tersebut sangat jelas menekankan bahwa I.J. Kasimo adalah seorang yang nasionalis. Ia tidak mau bekerjasama dengan partai yang didirikan oleh orang Katolik Belanda, 23 Tim Wartawan Kompas, op.cit., hlm. 36. meskipun adanya persamaan agama yang mereka anut. Ia sangat yakin bahwa partai tersebut hanya mementingkan kekuasaan, berbeda dengan pendiriannya yang ingin mengembangkan nasionalisme untuk Indonesia. Dalam mewujudkan kemerdekaan, kaum pribumi menempuh cara yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang melalui paham tentang sikap terhadap pemerintah kooperasi dan non-kooperasi, menurut agama Islam, netral, Kristen, dan menurut pengikutnya laki-laki, perempuan, pemuda, pemudi 24 Mengenai Voolksraad ini memang ada dua aliran pendapat diantara kaum pergerakan, diantaranya ada orang-orang yang berpendapat seperti I.J. Kasimo. Ia mengatakan bahwa Volksraad mempersatukan gerakan nasional Indonesia. Dengan mengumpulkan pemimpin-pemimpin Indonesia dari berbagai daerah dan menghadapkan mereka kepada masalah-masalah bersama, terutama hubungan mereka dengan Belanda, Voolksraad membantu mempersatukan dan mengintegrasikan gerakan nasional Indonesia. 25 Di samping pendapat I.J. Kasimo tersebut, ada pemikiran lain bahwa Voolksraad justru memecah belah gerakan nasional Indonesia menjadi kelompok nonkooperasi dan kelompok Kooperasi. Kelompok nonkooperasi terdiri dari organisasi-organisasi seperti PNI Partai Nasional Indonesia, PI Perhimpunan Indonesia, Partindo Partai Indonesia, dan PKI Partai Komunis Indonesia, serta meliputi pemimpin-pemimpin seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Mr. Achmad Soebardjo, Mr. Ali Sastroamidjojo, dan lain-lain. Tujuan perjuangan mereka adalah mencapai kemerdekaan Indonesia dengan kekuatan 24 A.K. Pringgodigdo, op.cit., hlm. 195. 25 Ibid.,hlm. 35. sendiri. Mereka menolak untuk bekerja sama dengan pemerintah kolonial nonkooperasi dan menganggap dewan-dewan perwakilan seperti Voolksraad tidak ada gunanya sama sekali. 26 Jika kelompok radikal ini ingin mencapai kemerdekaan dengan aksi dan revolusi, maka kelompok kedua yang terdiri dari partai-partai moderat ingin mencapai kemerdekaan nasional melalui evolusi. Mereka ingin mengadakan perombakan di bidang ketatanegaraan, politik, ekonomi dan sosial melalui cara- cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Tokoh –tokoh Voolksraad seperti Mohammad Hoesni Thamrin, Soetardjo Kartohadikusumo, Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Soekardjo Wirjopranoto, Wurjaningrat dan dr. Sam Ratulangi serta I.J. Kasimo termasuk tokoh-tokoh dalam kelompok moderat. 27 I.J. Kasimo memilih jalan evolusi karena dengan duduk di Voolksraad, ia ingin meyakinkan Pemerintah Belanda mengenai perlunya diadakan perubahan dalam susunan ketatanegaraan di Indonesia. Ia tidak ingin menempuh jalur revolusi karena pada saat itu Belanda sangat tegas dalam menangani gerakan yang radikal atau revolusioner. Gerakan revolusioner tersebut akan ditindas dengan alasan bahwa pemerintah Belanda bertanggung jawab atas keadaan di Indonesia pada saat itu. Dengan keadaan seperti itu, ia memilih untuk mengembangkan nasionalismenya melalui jalan evolusi agar tidak terjadi kelumpuhan perjuangan dikalangan kaum pergerakan nasional. Dengan jalan evolusi yang dipilih I.J. Kasimo, bukan berarti ia mengikuti alur dari pemerintah Belanda. Ketegasan dan 26 Tim Wartawan Kompas, op.cit., hlm. 35. 27 Ibid keberaniannya sangat terbukti melalui pidato-pidatonya di Voolksraad. Bahkan pidato-pidatonya dikenal sangat radikal dikalangan kaum pergerakan nasional. Hal ini terbukti dari pidato-pidatonya yang sangat berani untuk menentang penjajahan di Indonesia. Hal ini ia lontarkan dalam pidatonya di depan Voolksraad pada tanggal 13 Juli 1931. Mewakili PPKI, ia menegaskan bahwa kekatolikan tidak bertentangan dengan kebangsaan. Ia menyatakan, “Kami orang-orang Katolik Jawa bukanlah pengikut-pengikut yang baik dari perintis besar Misi Jawa ini jika kami tidak sependapat dengan dia serta pengarang-pengarang Katolik terkenal lainnya seperti Cathrein dan Ferrari mengenai prinsip kebangsaan, yaitu prinsip yang mengatakan bahwa setiap bangsa mempunyai hak untuk membentuk sebuah negara merdeka” 28 Pidato yang dikemukakan I.J. Kasimo di dalam Voolksraad tersebut sudah sangat jelas bahwa ia ingin membuktikan bahwa umat Katolik pribumi sangat mendukung dan mengupayakan kemerdekaan bagi Indonesia. Dalam pidatonya ia menegaskan bahwa orang Katolik sangat sependapat dengan “perintis besar Misi Jawa” yaitu Pastor van Lith. Pernyataan ini secara implisit memberi gambaran dua hal sekaligus. Pertama, pendidikan karakter di Kweekschool Muntilan menunjukkan keberhasilan Pastor van Lith. Pendidikan ini tidak hanya sebatas pada terciptanya kader-kader Gereja, tetapi juga kader-kader bangsa yang tanggap akan kebutuhan aktual masyarakat. Kedua, keberpihakan Pastor van Lith terhadap aspirasi nasional bangsa Indonesia yang hendak diteladani merupakan daya dorong yang sangat berharga. Misionaris Jesuit tidak hanya memberi ruang kebebasan bagi umat Katolik pribumi untuk memupuk nasionalismenya, tetapi 28 Mikhael Dua, dkk, op.cit., hlm. 40. juga mendukungnya. 29 Selain karena pendidikan karakter yang diterima I.J. Kasimo dari Pastor van Lith, pidato tersebut juga terinspirasi dari buku Chaterin dan Ferarri. Dalam buku tersebut ia menemukan bahwa setiap bangsa mempunyai hak untuk merdeka. Dari buku tersebut, ia tahu bahwa Indonesia juga mempunyai hak untuk lepas dari pemerintahan Belanda, pemerintahan yang sangat merugikan kaum pribumi. Dari pendidikan karakter dan buku-buku tentang prinsip kemerdekaan yang diterimanya inilah yang mebuat I.J. Kasimo berani berpidato mengenai keinginan untuk merdeka walaupun ia adalah kaum minoritas jika dilihat dari segi agama. Ia ingin menyadarkan kaum pribumi bahwa Indonesia mempunyai hak untuk merdeka. Indonesia berhak lepas dari belenggu pemerintah Belanda. Dari pidato tersebut I.J. Kasimo juga ingin membuktikan bahwa kendati dirinya wakil dari umat Katolik, namun sebenarnya ia mewakili kepentingan pribumi yang sedang dibelenggu oleh penjajahan bangsa asing. Sikap yang sama diungkapkannya setahun kemudian, tepatnya tanggal 19 Juli 1932 di sidang Voolksraad. Dalam sidang yang terhormat ini, ia mengemukakan sebuah pernyataan politik yang tegas, “Tuan Ketua Dengan ini saya menyatakan suku-suku bangsa Indonesia yang berada di bawah kekuasaan negeri Belanda, menurut kodratnya mempunyai hak serta kewajiban untuk membina eksistensinya sendiri sebagai bangsa, dan karenanya berhak memperjuangkan pengaturan negara sendiri sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan bangsa sesuai dengan kebutuhan nasional, yaitu sesempurna mungkin. Ini berarti bahwa negeri Belanda sebagai negara berbudaya yang terpanggil mempunyai kewajiban untuk ikut mengembangkan seluruh rakyat, dan khusunya sebagai negara penjajah, mempunyai kewajiban untuk membimbing dan merampungkan pendidikan rakyat, sehingga dengan demikian dapat 29 Anton haryono, op.cit., hlm. 204. dicapai kesejahteraan rakyat Indonesia, untuk kemudian dapat diberikan hak untuk mengatur dan akhirnya memerintah negara sendiri. ” 30 Pidato dari I.J. Kasimo tersebut sudah sangat menegaskan bahwa ia memiliki nasionalisme yang tinggi demi kepentingan bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dari pidatonya yang menekankan bahwa suku-suku bangsa Indonesia yang berada di bawah kekuasaan negeri Belanda berhak merdeka. Pidato tersebut sudah sangat jelas bahwa nasionalisme yang dimilikinya sudah meluas, tidak hanya untuk kepentingan di Jawa saja, tetapi untuk kepentingan semua suku di Indonesia. Selain itu melalui pidatonya tersebut, ia dengan tegas meminta pertanggungjawaban dari pemerintah Hindia Belanda mengenai kebijakan- kebijakan yang sangat merugikan kaum pribumi. Ia juga dengan tegas meminta kepada pemerintah Belanda untuk segera pergi dari bumi Indonesia setelah pemerintah Belanda merampungkan tanggungjawabnya untuk menyelesaikan persoalan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda sendiri. Pidato tersebut dikenal sebagai pidato yang sangat radikal diantara kaum pergerakan. Pidato tersebut sekaligus membuktikan bahwa I.J. Kasimo yang merupakan kelompok moderat bukanlah sebagian orang yang hanya menunggu kemerdekaan yang diberikan oleh pemerintah. Kelompok moderat juga bisa bersikap radikal tetapi melalui cara yang berbeda. Perjuangan I.J. Kasimo di dalam Voolksraad dalam tahun-tahun pertama memang ditujukan untuk meyakinkan para pemimpin golongan lain, bahwa golongan Katolik Indonesia adalah orang-orang nasionalis seperti golongan lain 30 Ibid., hlm. 41. juga. Hal ini terutama dilakukan dengan jalan memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. 31 Selain itu, I.J. Kasimo juga banyak memperjuangkan kepentingan rakyat khususnya dalam dua bidang, yaitu pertanian dan pendidikan yang pada saat itu dinilai sangat merugikan kaum pribumi.

3. Mendukung Petisi Soetardjo dan GAPI

Upaya I.J. Kasimo untuk mengembangkan nasionalisme kembali muncul ketika ia mendukung gagasan dari Soetardjo Kartohadikusumo, teman seperjuangannya di Voolksraad. Petisi ini berusaha mengupayakan agar diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dengan negeri Belanda dimana anggotanya harus mempunyai hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri. Pelaksanaannya akan dijalankan secara berangsur-angsur dalam waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan ditetapkan dari kesepakatan kedua belah pihak. 32 Gagasan tersebut dikenal dengan nama “Petisi Soetardjo” yang diajukan pada tanggal 15 Juli 1936. 33 I.J. Kasimo sangat peduli terhadap kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang agama apa yang mereka anut. Untuk itulah dengan jiwa nasionalisme yang ia miliki, ia turut mendukung dan berupaya agar petisi tersebut dapat terealisasi dengan baik. Selain itu ia sangat mendukung petisi Soetardjo karena petisi tersebut sangat sejalan dengan pemikirannya yang moderat. Ia ingin menuntut kemerdekaan dengan cara mengadakan perombakan di bidang ketatanegaraan, politik, ekonomi, dan sosial melalui cara-cara yang tidak 31 Tim Wartawan Kompas, op.cit., hlm. 39. 32 Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 221. 33 Tashadi, dkk, op.cit., hlm. 196. bertentangan dengan hukum. Menurutnya, kerjasama di berbagai bidang antara Indonesia dan negeri Belanda tidak akan memberikan keuntungan yang seimbang bagi kedua belah pihak . Kerja sama tersebut hanya akan menguntungkan pihak yang kuat dan merugikan pihak yang lemah saja. Untuk itulah ia turut mendukung petisi tersebut dengan harapan pemerintah Hindia Belanda bersedia memikirkan pertanggungjawabannya atas segala kerugian yang dialami Indonesia melalui petisi tersebut. Nasionalisme yang dimiliki I.J. Kasimo sangat berperan ketika ia turut serta membantu menyerbarluaskan petisi Soetardjo dikalangan masyarakat Indonesia. Hal itu dilakukannya dengan cara menyebarluaskannya melalui majalah Soeara Katholik. Soeara Katholik adalah majalah milik PPKI yang saat itu diketuai oleh I.J. Kasimo. Berkat upayanya tersebut, dengan cepat petisi ini menyebar luas di kalangan masyarakat. Usahanya untuk menyebarluaskan isi tentang petisi Soetardjo didasarkan atas dasar keinginannya agar masyarakat Indonesia turut mendukung petisi tersebut. Upaya I.J. Kasimo untuk menyebarkan petisi Soetardjo melalui majalah Soeara Katholik sudah sangat membuktikan bahwa ia adalah kaum minoritas yang nasionalis. Melalui majalah yang mempunyai label Katolik, ia tetap menyisipkan kepentingan bangsa dengan menyuarakan agar rakyat Indonesia mendukung petisi Soetardjo. Selain itu, dukungannya juga diwujudkan melalui keanggotaanya di Sentral Komite Petisi Soetardjo yang diketuai oleh Mr. Sartono. Dalam komite tersebut, I.J. Kasimo duduk sebagai anggota panitia. Sentral Komite Soetardjo adalah komite yang berusaha mencari dukungan dari partai-partai di Indonesia agar petisi Soetardjo PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mendapat dukungan dari berbagai partai-partai di Indonesia. Melalui komite tersebut, ia turut berkerja keras dengan mendirikan sub-komite melalui berbagai cabang-cabang PPKI di berbagai daerah. Dalam hal ini, nasionalismenya kembali dibuktikan dengan mendirikan sub-komite melalui PPKI. Ia tidak pernah mempermasalahkan agama untuk mencapai tujuannya dalam mengembangkan nasionalisme walaupun agama Katolik adalah agama yang minoritas. Yang terpenting adalah memerdekaan Indonesia demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan kesejahteraan umat Katolik saja. Berkat I.J. Kasimo, PPKI sebagai partai Katolik sangat berperan dalam usaha untuk turut memperjuangkan petisi Soetardjo. Upaya tersebut membuat PPKI semakin dikenal dikalangan para kaum pergerakan ataupun partai-partai yang turut memperjuangkan nasionalisme. Hal tersebut juga semakin membuktikan bahwa Katolik pribumi adalah Katolik yang nasionalis. Namun usaha-usaha untuk mewujudkan Petisi Soetardjo gagal. Keputusan Kerajaan Belanda No. 40 tanggal 16 November 1938, menegaskan petisi yang diajukan atas nama Voolksraad ditolak oleh Ratu Belanda. Alasan penolakannya antara lain ialah bahwa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri. Surat keputusan itu disampaikan pada sidang Voolksraad tanggal 29 November 1938. 34 Kekecewaan atas penolakan tersebut mendorong terbentuknya suatu federasi pada 21 Mei 1939 yang diberi nama Gabungan Politik Indonesia GAPI. Adapun organisasi politik yang tergabung di dalamnya yaitu 34 Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto, op.cit.,hlm. 229. Parindra, Gerindo, PSII, PII, Persatuan Minahasa, Pasundan, dan PPKI. 35 GAPI menuntut kepada pemerintah Belanda supaya di Indonesia membentuk parlemen yang sebenarnya, bukan parlemen sandiwara seperti Voolksraad. Untuk melancarkan aksinya tersebut, GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia KRI. Kongres Rakyat Indonesia diresmikan sewaktu diadakannnya Kongres Rakyat Indonesia yang pertama tanggal 25 Desember 1939 di Jakarta. 36 Kongres Rakyat Indonesia ini berhasil mengeluarkan keputusan antara lain adalah tuntutan agar Indonesia berparlemen penuh dan penetapan bendera Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia, serta peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia. Meskipun petisi yang didukung oleh I.J. Kasimo ini gagal, perjuangannya untuk menarik kepercayaan dari masyarakat pribumi mulai memperlihatkan hasilnya. Dalam lingkungan Voolksraad, ia sudah diterima sebagai seorang nasionalis. Berbeda dengan sebelumnya, banyak yang menganggap I.J. Kasimo adalah seorang tokoh yang pro terhadap Belanda. Selain itu, ia juga dikenal karena bisa berelasi dan bersosialisasi dengan baik di dalam GAPI. Melalui GAPI, ia bisa mendekatkan serta memperluas hubungannya dengan pemimpin-pemimpin nasional lainnya yang beragama non Katolik seperti Muhammad Husni Thamrin dan Abikusno Tjokrosuyoso. Melalui hubungan dekat antara I.J. Kasimo dan tokoh-tokoh non Katolik tersebut sangat berpengaruh bagi upayanya untuk terus mengembangkan nasionalisme. Ia semakin dikenal sebagai tokoh yang benar- benar berupaya mengembangkan nasionalisme. Karena kedekatannya dengan para 35 Tashadi, dkk, op.cit., hlm. 197. 36 Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 232. tokoh pergerakan lain , PPKI juga mendapat pengaruh yang sangat besar darinya. Untuk pertama kalinya di dalam sejarah, PPKI benar-benar ikut aktif di dalam gelanggang percaturan politik. Untuk pertama kalinya juga, golongan Katolik Indonesia secara terorganisir benar-benar ikut di dalam emansipasi bangsa yang bertujuan mencapai negara merdeka dan berdaulat. 37

4. I.J. Kasimo pada Zaman Jepang

Upaya I.J. Kasimo untuk mengembangkan nasionalisme terus berlanjut ketika Jepang berusaha masuk ke Indonesia dan merebut tampuk kekuasaan dari tangan pemerintah Hindia Belanda. Usaha Jepang untuk membangun suatu imperium di Asia telah menyebabkan suatu perang di Pasifik. Pada tanggal 8 Desember 1941 secara tiba-tiba Jepang menyerang dan membom Pearl Harbor yakni pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat yang terbesar di Pasifik. Setelah itu, tepatnya pada tanggal 10 Januari 1942 Jepang bergerak ke selatan dan menyerang Indonesia. 38 Tiga bulan kemudian, yaitu pada tanggal 8 Maret 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah dan Jepang secara resmi memegang tampuk kekuasaan di Indonesia. Bendera Hinomaru 39 menggantikan bendera Merah- Putih-Biru. Lagu kebangsaan Kimigayo 40 dikumandangkan di seluruh Nusantara. Zaman pendudukan Jepang adalah zaman dimana I.J. Kasimo mempunyai beban yang sangat berat untuk mengembangkan nasionalismenya. Hal ini dikarenakan Jepang menganggap agama Kristiani adalah agama “barat”, agama 37 Tim Wartawan Kompas, op.cit., hlm. 42. 38 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Jilid VI, Jakarta, Depdikbud, 1975, hlm. 1. 39 Hinomaru adalah lambang bendera nasional Jepang dengan sebuah lingkaran merah di tengah bidang putih. Hinomaru berarti lingkaran matahari. 40 Kimigayo adalah lagu kebangsaan Jepang yang berarti “Semoga kekuasaan yang mulia berlanjut selamanya” barat berarti agama musuh. Oleh karena itu sikap mereka terhadap golongan Kristiani sama sekali tidak menunjukkan toleransi. Banyak rohaniwan dan pemimpin awam katolik disiksa dan dibunuh oleh tentara Jepang. Tidak kurang dari 74 imam, 47 bruder, dan 160 suster meninggal. Selain itu Vikarius Apostolik Maluku dan Papua, Mgr. J. Aerts dituduh menyembunyikan senjata. Bersama 12 imam dan bruder, ia ditembak mati tanpa proses pengadilan. 41 Karena keadaan tersebut kegiatan partai Katolik lumpuh total. Dalam situasi seperti ini, pemerintah Jepang membuat sejumlah peraturan dalam rangka pengawasan dan pengaturan hidup beragama, termasuk dilarangnya penggunaan bahasa Belanda dalam kegiatan rohani. 42 Kehidupan umat Katolik pada saat itu menjadi sangat mencekam. Mereka tidak bisa menjalankan kegiatan keagamaan secara bebas. Upaya I.J. Kasimo untuk mengembangkan nasionalismenya semakin sulit ketika Jepang tidak mengikutsertakannya untuk bekerjasama dengan pemerintahan Jepang. Padahal ia adalah tokoh pergerakan yang cukup terpandang karena telah menjabat sebagai anggota Voolksraad selama lebih dari 10 tahun. Sebaliknya, tokoh-tokoh seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta, dan Sutan Syahrir yang sempat dipenjara oleh pemerintah Hindia Belanda dibebaskan dan mendapat tawaran untuk bekerjasama dengan pemerintahan Jepang. Padahal sangat jelas bahwa Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta dan Sutan syahrir adalah tokoh-tokoh yang ingin mencapai kemerdekaan melalui cara-cara yang radikal, berbeda dengan I.J. Kasimo yang ingin mencapai kemerdekaan dengan jalan moderat. Namun I.J. 41 Tashadi, dkk, op.cit., hlm. 42. 42 Ibid Kasimo yang mempunyai paham moderat malah dimasukkan ke penjara tanpa alasan yang jelas, tepatnya pada tahun 1942. 43 Meskipun I.J. Kasimo tidak mengalami penyiksaan yang kejam, namun ia sering menyaksikan bagaimana kejamnya tentara Jepang jika sedang menyiksa tahanan. Ia sangat prihatin dengan keadaan para tahanan lain. Mereka tak segan- segan menggunakan cara-cara penyiksaan yang paling kejam untuk mengorek keterangan dari seorang tahanan. 44 Setelah 53 hari di dalam tahanan, ia pun juga dibebaskan tanpa alasan yang jelas oleh tentara Jepang. I.J. Kasimo sadar bahwa pada saat zaman pemerintahan Jepang, sangat sulit mengembangkan nasionalisme yang menjadi cita-citanya. Tetapi ia tidak berdiam diri begitu saja dengan keadaan pada waktu itu. Setelah bebas dari tahanan, I.J. Kasimo mencurahkan seluruh tenaga dan waktunya untuk mensejahterakan masyarakat di bidang pertanian. Ia bekerja di kantor Jawatan Pertanian Surakarta. Ia menjabat sebagai adjun landbouw consulent penyuluh pertanian. Tugasnya antara lain memberikan bimbingan kepada para mantri tani atau demang tani. Pada waktu itu hampir semua mantri tani yang pernah bersekolah di sekolah pertanian adalah bekas murid I.J. Kasimo di Tegalgondo 45 , bahkan di antara para kepala desa di daerah Surakarta banyak juga yang pernah 43 Tim Wartawan Kompas, op.cit, hlm. 45. 44 Ibid.,hlm. 46. 45 Seperti diketahui bahwa I.J. kasimo pernah menjadi guru sekolah pertanian di Tegalgondo karena ia pernah berselisih paham dengan pimpinan tertinggi perkebunan sewaktu ia bekerja di perkebunan karet milik Belanda di Merbuh. Kasimo tidak terima ia dikatakan sebagai anak kera. Harga dirinya terasa diinjak-injak dan ia membalas perkataan pimpinan tersebut dengan menyebutnya sebagai kera. Ia melarikan diri dan ia dipindahkan ke sekolah pertanian di Tegalgondo. menjadi muridnya, sebab itu pengaruh I.J. Kasimo di bidang pertanian di daerah Surakarta sangat besar pada waktu itu. 46 Memang selama penjajahan Jepang I.J. Kasimo tidak mempunyai banyak pilihan untuk terus memperjuangkan nasionalismenya. Terlebih agama yang dianutnya sangat dibenci oleh pemerintahan Jepang. Tetapi dalam hal ini ia tidak mudah menyerah. Ia tetap berpegang teguh pada agama yang dianutnya walaupun taruhannya adalah nyawa. Ia juga tetap mengabdikan diri pada negara dengan usaha mensejahterakan rakyat di bidang pertanian. 46 Tashadi, dkk, op.cit., hlm. 170.

BAB IV SUMBANGAN PEMIKIRAN I.J. KASIMO