Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Ditjen P2PL Kementerian Kesehatan RI 2013, sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan Maret 2013,
HIVAIDS tersebar di 345 69,4 dari 497 KabupatenKota di seluruh provinsi di Indonesia dilaporkan 103.759 kasus HIV, 43.347 kasus AIDS dan 8.288 kasus
yang meninggal, dimana persentase AIDS laki-laki sebesar 55,4, perempuan sebesar 28,8 dan yang tidak melapor jenis kelamin sebesar 15,8. Berdasarkan
data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara 2013, sampai Maret 2013 terdapat 6.824 kasus HIV terdiri dari 4.920 laki-laki dan 1.748 perempuan.
6
2.4 Patogenesis Infeksi HIV
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara vertikal, horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik
secara langsung dengan diperantarai benda tajam yang menembus dinding pembuluh darah secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak
seperti yang terjadi pada kontak seksual. Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk kedalam sel target. Sel yang
menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4.
Reseptor CD4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit, makrofag, langerhan’s, sel dendrite, astrosit, dan makroglia. Kemudian untuk masuk ke sel
HIV memerlukan chemokine receptor yaitu CXCR4 dan CCR5, beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Intensitas ikatan gp120 HIV
dengan reseptor CD4 ditentukan melalui peran regio V terutama V3. Stabilitas dan potensi ikatan diperkuat oleh ko-reseptor CCR5 dan CXCR4. Semakin kuat
dan meningkatnya intensitas ikatan tersebut akan diikuti oleh proses interaksi lebih lanjut yaitu terjadi fusi membrane HIV dengan membrane sel target atas
peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transcriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel
target. Setelah masuk ke sel target, HIV melepaskan single strand RNA ssRNA. Enzim reverse transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk
mensintesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi sehingga menjadi double
Universitas Sumatera Utara
strand DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam nukleus, menyatu dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase.
Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai
keadaan laten.
2,12
2.5 Siklus Hidup HIV
HIV merupakan retrovirus obligat intraseluler dengan replikasi sepenuhnya di dalam sel host gambar 2.2. Di dalam siklus hidup HIV, rangkaian
asam nukleat berperan pada fungsi intrinsik. Asam nukleat merupakan zat kimia yang bertanggung jawab atas penyimpanan dan penyampaian semua informasi
genetik untuk yang di perlukan guna perencanaan pembentukan fungsi sel. Asam nukleat mengandung deoksiribosa disebut asam deoksiribo nukleat atau DNA.
Yang mengandung ribosom disebut asam ribonukleat atau RNA. DNA berperan membawa informasi genetik untuk sintesis protein. RNA termasuk mRNA
messenger RNA, tRNA transfer RNA dan rRNA ribosomal RNA bertugas melaksanakan instruksi yang dibawa DNA.
2
Untuk terjadinya infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel host yaitu molekul CD4. Molekul sel CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar
terhadap HIV, terutama terhadap molekul glikoprotein gp120 dari seluruh virus. Diantara sel tubuh yang memiliki molekul sel CD4 paling banyak adalah sel
limfosit-T. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada reseptor CD4 limfosit T. Setelah menempel, terjadi diskontinuitas dari membran
sel limfosit-T, terjadi fusi kedua membran HIV dan limfosit sehingga seluruh komponen virus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T kecuali selubungnya.
Selanjutnya, RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi suatu DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-ase H, RNA
yang asli dihancurkan sedang seuntai DNA melalui bantuan enzim polymerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel
limfosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel host dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten,
atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung dari aktivitas dan
Universitas Sumatera Utara
diferensiasi sel host limfosit-T CD4 yang terinfeksi, sampai suatu saat terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi dengan
kecepatan yang sangat tinggi.
2,12
Gambar 2.2 Siklus Hidup dan Patogenesis HIV
13
Perjalanan infeksi HIV, jumlah limfosit T-CD4, jumlah virus dan gejala klinis melalui 3 fase:
2.5.1 Fase Infeksi Akut
Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru virion. Viremia dari begitu banyak virion tersebut
memicu munculnya sindroma infeksi akut dengan gejala yang mirip sindroma flu yang juga mirip dengan infeksi mononukleosa. Sekitar 50-70 orang terinfeksi
HIV mengalami sindroma infeksi akut selama 3 sampai 6 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum yaitu demam, faringitis, limfadenopati,
artralgia, mialgia, letargia, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare, anoreksia dan penurunan berat badan. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit-T yang
dramatis dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respon
Universitas Sumatera Utara
imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih di atas 500 selmm
3
dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV.
2,12
2.5.2 Fase Infeksi Laten
Pembentukan respons imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam Sel Dendritik Folikuler SDF dipusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan
virion dapat dikendalikan, gejala hilang, dan mulai memasuki fase laten. Pada fase ini jarang ditemukan virion diplasma sehingga jumlah virion diplasma
menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe. Sehingga penurunan limfosit-T terus terjadi walaupun
virion diplasma jumlahnya sedikit. Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200 selmm
3
, setelah terjadi serokonversi positif individu umumnya belum menunjukkan gejala klinis Asimptomatis.
2,12
2.5.3 Fase Infeksi Kronik
Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfe terus terjadi replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus.
Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Respons imun tidak mampu meredam jumlah virion yang
berlebihan tersebut. Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4 hingga dibawah 200
selmm
3
. Penurunan limfosit-T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi sekunder.
Perjalanan penyakin semakin progresif yang mendorong kearah AIDS.
2,12
Gambar 2.3 Perjalanan Infeksi HIV
12
Universitas Sumatera Utara
2.6 Kriteria Diagnosis Infeksi HIV
Diagnosis HIVAIDS ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO dan hasil pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan laboratorium mulai dari uji penapisan. Dengan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk
mendeteksi keberadaan virus HIV. Sebagai penyaring digunakan tehnik ELISA enzyme-linked immunusorbent assay, aglutinasi atau dot-blot immunobinding
assay. Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku pada saat ini, selalu didahului dengan konseling pra-test
atau informasi singkat. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu menjalani serangkaian pemeriksaan yang meliputi penilaian stadium klinis,
penilaian imunologis pemeriksaan jumlah CD4 dengan tujuan untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan ARV
atau tidak dan pemeriksaan laboratorium dilakukan sebelum memulai terapi.
2,4
Tabel 2.1 Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV
4
Keadaan Umum
Kehilangan berat badan 10 dari berat badan dasar Demam terus menerus atau intermiten, temperature oral 37,5
C yang lebih dari satu bulan
Diare terus menerus atau intermiten yang lebih dari satu bulan Limfadenopati meluas
Kulit
• PPE dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genitalia genital Warts, folikulitis dan
psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV.
Infeksi
Infeksi Jamur • Kadidiasis Oral
• Dermatitis seboroik • Kandidiasis vagina berulang
Infeksi Viral • Herpes Zoster berulang atau melibatkan lebih dari
satu dermato • Herpes genital berulang
• Moluskum kontangiosum • Kondiloma
Gangguan • Batuk lebih dari satu bulan
• Sesak nafas
Universitas Sumatera Utara
Pernafasan • Tuberkulosis
• Pneumonia berulang • Sinusitis kronis atau berulang
Gejala Neurologis • Nyeri kepala yang semakin parah terus-menerus
dan tidak jelas penyebabnya • Kejang demam
• Menurunnya fungsi kognitif
2.6.1 Stadium Klinis
Pada tahun 1990, WHO mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi
dengan virus HIV-1. Penilaian stadium klinis Tabel 2.2 ditentukan setelah diagnosis infeksi HIV ditegakkan serologi danatau virologi. Stadium klinis
bermanfaat untuk menilai status penderita saat diagnosis HIV ditegakkan dan follow-up penatalaksanaan, serta menjadi pedoman untuk memulai terapi
profilaksis kotrimoksazol danatau intervensi lainnya yang berhubungan dengan infeksi HIV, termasuk kapan memulai terapi ARV. Stadium klinis berhubungan
dengan angka harapan hidup prognosis dan progresifitas penyakit tanpa terapi ARV.
14
Tabel 2.2 Klasifikasi Klinis HIV berdasarkan kriteria WHO
Stadium I
Gambaran Klinis
. Asimptomatik 2. Limfadenopati generalisata
II 1. Berat badan menurun 10
2. Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus
oral yang rekuren, kheilitis angularis 3. Herves zoster dalam 5 tahun terakhir
4. Infeksi saluran nafas atas atau seperti sinusitis Bakterialis
III
Berat badan menurun 10 . Diare kronis yang berlangsung 1 bulan.
Demam 1 bulan. Kandidiasis orofaringeal.
Oral Hairy Leukoplakia. TB paru dalam tahun terakhir.
Infeksi bakterial yang berat seperti pneumonia,
Universitas Sumatera Utara
piomiositis
IV
HIV wasting syndrome. Pneumonia Pneumocystis Carini.
Toksoplasmosis Otak. Diare kriptosporidiosis 1 bulan.
Kriptokokosis ekstrapulmonal. Retinitis virus Citomegalo.
Herves simpleks mukokutan 1 bulan. Leukoensefalopati multifokal progresif.
Mikosis diseminata seperti histoplasmosis.
. Kandidiosis esofagus, trakhea, bronchus dan paru. . Mikobakteriosis atipikal diseminata.
. Septisemia salmonelosis non tifoid. . Tuberkulosis di luar paru.
. Limfoma. . Sarkoma Kaposi.
. Ensefalopati HIV
2.7 Antiretroviral ARV
Prinsip pengobatan ARV tidak menyembuhkan tetapi dapat menghentikan proses penyakit pada penderita HIV untuk beberapa tahun. Pemberian ARV tidak
serta merta segera diberikan begitu saja pada penderita yang dicurigai. Sebelum mendapatkan terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan
konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidup. ARV harus diberikan secara kombinasi, paling tidak melibatkan 3 jenis obat untuk
mendapatkan efek optimal serta memperkecil resistensinya.
2,4
Terdapat tiga kelompok obat ARV, masing-masing ARV memiliki cara yang berbeda dalam merusak atau menghambat HIV yaitu
4,14-16
:
2.7.1 Reverse Transcriptase Inhibitors
HIV membutuhkan suatu enzim yang dikenal dengan reverse transcriptase untuk menginfeksi sel inang dan mereproduksi dirinya. Seperti namanya obat ini
memperlambat produksi dari enzim transkriptase enzim dan membuat HIV tidak dapat menginfeksi sel dan menduplikasi sel. Golongan obat reverse transcriptase
ini terdiri dari:
Universitas Sumatera Utara
2.7.1.1 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors
Obat nucleoside reverse transcriptase inhibitors NRTIs Juga dikenal sebagai nukleoside analog, adalah obat jenis pertama untuk menghambat HIV.
Dikenal mulai tahun 1987.
2.7.1.2 Non- Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors
Golongan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors NNRTIs mulai dikenal pada tahun 1997 dan secara umum dikenal sebagai non-nukleosid.
2.7.1.3 Nukleotide Reverse Transcriptase Inhibitors
Sebenarnya hanya ada satu jenis obat ini yaitu tenofovir. Obat ini bekerja dengan mencegah reverse transkriptase enzim tapi dalam cara yang berbeda
dengan obat reverse transcriptase lain.
Tabel 2.3 ARV golongan Reverse Transcriptase Inhibitors Nukleosid analog Reverse
Transcriptase Inhibitos NRTI
Non Nucleside Reverse
Transcriptase Inhibitors
NNRTIs Nucleotide
Reverse Transcriptase
inhibitors NRTIs
- 3TC Lamivudine - Abacavir Ziagen, ABC
- AZT Retrovir,
zidovudine - Combivir AZT3TC
- Trizivir AZT3TCabacavir
- D4T Zerit, stavudine - ddC Hivid, zalcitabine
- ddI Videx tablet Videx
C capsule, - FTC Emtriva,
emtricitabine - Delavirdine
Rescriptor - Efavirenz Sustiva
- Nevirapine Viramune
Tenofovir Viread
2.7.2 Protease Inhibitor PI
Jenis kedua dari obat ARV adalah protease inhbitor. Diperkenalkan pertama kali tahun 1995. Protease inhibitor menginhibisi protease yaitu suatu
Universitas Sumatera Utara
enzim digestif yang memecah protein dan merupakan salah satu dari banyak enzim yang digunakan oleh HIV untuk menduplikasikan dirinya. PI berperan
dalam mencegah sebelum enzim protease dalam HIV merusak dan memotong rantai enzim dan protein.
17
Tabel 2.4 ARV Golongan Protease Inhibitor Protease Inhibitor PI
Lopinavirritonavir Kaletra Amprenavir Agenerase
Atazanavir Reyataz Indinavir Crixivan
Nelfinavir Viracept Ritonavir Norvir
Saquinavir Fortovase soft gel Invirase hard gel Tipranavir PNU
2.7.3 Fusion atau Inhibisi Entry
Permukaan dari HIV bermuatan protein yang dikenal sebagai gp 41 dan gp120. Ini adalah protein yang mempersiapkan HIV untuk melekatkan dirinya
atau masuk kedalam sel. Dengan mencegah salah satu dari protein tersebut, akan memperlambat proses reproduksi dari HIV. Sebagai contoh T20 adalah fusi
inhibitor yang melekat pada gp41. Obat T20 berbeda dari obat lainnya karena harus disuntikkan. T20 adalah suatu protein karena itu tidak dapat diberikan
secara oral karena tidak dapat dicerna. Salah satu T20 adalah fruzeon atau enfuvirtid.
2.8 Zidovudine
Zidovudine 3’-Azido-3’-deoxythymidine pertama kali disintesa pada tahun 1960 yang digunakan sebagai anti kanker namun tidak efektif. Pada tahun
1985 digunakan sebagai bahan aktif secara in vitro dan obat penting yang digunakan untuk pengobatan lini pertama infeksi HIV-1. Secara struktur
merupakan timidin nukleosida endogen dan merupakan kelompok azido N3 pada gugus hidroksil -OH posisi 3’ dari rantai deoksiribosa, yang dapat mencegah
dan memutuskan pembentukan rantai posfodiester yang dibutuhkan untuk
Universitas Sumatera Utara
replikasi DNA virus.
30,31
Obat ini tergolong analog nukleosida atau nucleoside reverse transcriptase inhibitor NRTI.
20
Gambar 2.4 Struktur kimia Zidovudine
21
Nama dagang : Retrovir
®
, Adovi
®
, Avirzid
®
Rumus molekul : C
10
H
13
H
5
O
4
Berat molekul : 267,2 grmol
Sinonim : Azido deoksitimidin, Azidotimidin, AZT, Zidovudinum,
3’-Azido-3’-deoksitimidin Fungsi
: Antiretroviral
2.8.1 Farmakokinetik dan Metabolisme
Pemberian zidovudine secara oral sangat cepat diserap melalui saluran pencernaan pada saat lambung tidak kosong. Distribusi obat tersebut terjadi secara
difusi pasif dan lipofilik relatif dengan bioavailabilitas mencapai 63 . Konsentrasi plasma maksimal tercapai dalam 0,4-1,4 jam setelah pemberian obat.
Sekitar 25 AZT terikat protein terutama albumin.
19,21
Zidovudin dapat di temukan di seluruh cairan tubuh selain plasma dengan volume distribusi sekitar
1,4 Lkg . Waktu paruh plasma dari zidovudin sekitar 1 jam.
19
Zidovudin dimetabolisme terutama di mitokondria sel hati oleh enzim sitokrom p3A4
melalui 5-’glikoronidase membentuk metabolit glukoronidase yang stabil yang diekskresi melalui ginjal. Sekitar 14-20 obat tersebut tidak berubah namun 60-
70 dari metabolisme utama di ekskresi melalui urin. Zidovudin secara perlahan-
lahan dapat
menembus cairan
serebrospinal dengan
konsentrasi maksimal dicapai dalam 2 jam.
16,19,21
Universitas Sumatera Utara
2.8.2 Farmakodinamik
Zidovudin merupakan suatu nukleosida analog sintesis. Secara intraseluler, zidovudin difosforilasi untuk metabolit 5’-triphospat aktif AZT-TP
yang berfungsi untuk menghambat reverse transcriptase RT melalui pemutusan rantai DNA setelah bergabung dengan nukleosida analog. AZT-TP adalah
inhibitor lemah dari seluler rantai DNA polymerase α dan gama . Dalam studi
kombinasi obat AZT memiliki hubungan sinergis dengan NRTI abacavir, ddI, Lamivudin dan zalcitabine, NNRTI delavirdine dan nevirapine, dan protease
inhibitor PI indinavir, nelfinavir, ritonavir dan saquinavir dan bekerja secara aditif dengan interferon alfa.
22
2.8.3 Keamanan, Toleransi dan efek samping
Zidovudin termasuk golongan NRTI, bila di kombinasi dengan lamividin dan efavirenz merupakan pengobatan yang sangat efektif untuk pasien HIV yang
naïf.
8,23
Respon imunologi dalam peningkadan kadar CD4 dalam penggunaa obat tersebut selama 48 minggu dapat mencapai 155 selmm
3
.
23
Zidovudin memiliki toksisitas dengan spektrum yang luas sehingga efek samping yang mungkin timbul akibat penggunaan zidovudin adalah sakit kepala,
mual dan muntah, nyeri otot, kelelahan peningkatan fungsi hati dan asidosis laktat, neutropenia, dan miopati. Penggunaan dalam waktu yang lama dapat
megakibatkan kulit dan kuku menghitam. Efek samping lebih lanjut yang paling sering terjadi adalah anemia. Anemia terjadi bila awal pengobatan dengan kadar
sel CD4 rendah 200 selmm
3
sehingga dapat menyebabkan efek toksisitas terhadap hematologi yang berat. Efek tersebut dapat menyebabkan supresi
sumsum tulang dimana efek tersebut berhubungan dengan durasi pengobatan dan kadar sel CD4. Pada pasien dengan kadar sel CD4 awal pengobatan 100 selmm
3
kejadian anemia dpt mencapai 2-14, namun jika kadar sel CD4 awal pengobatan 100selmm
3
kejadian toksisitas hematologi akan lebih berat. Anemia dapat terjadi setelah 1 sampai 2 bulat setelah menggunakan zidovudin, anemia tersebut
terjadi akibat defisiensi triposfat yang dapat menghambat kematangan sel induk.
17
Penelitian di India membuktikan bahwa prevalensi anemia yang disebabkan karena pemakaian AZT bervariasi antara 5,42 - 9,62.
24
Agarwal dkk, study
Universitas Sumatera Utara
retrospektif melaporkan bahwa insidensi anemia pada pasien HIV yang menggunakan pengobatan dengan zidovudin tinggi.
9
Efek samping yang muncul saat pengobatan dapat menimbulkan efek yang merugikan yaitu tingkat
kepatuhan makan obat menjadi rendah sehingga mempengaruhi tingkat keberhasilan terapi, kegagalan virology dan memperburuk kualitas hidup
penderita.
9,17
Studi Lesotho di Zambia menyatakan bahwa tingkat mortalita sangat tinggi pada pasien yang menggunakan regimen AZT.
Semua efek samping ini bersifat reversible jika obat tersebut dihentikan.
23,25
2.9 Tenofovir
Tenofovir TDF adalah obat yang dipakai sebagai bagian dari terapi antiretroviral ART. Obat ini sejak tahun 2001 di Amerika Serikat digunakan
sebagai obat antiretroviral untuk penderita HIV. Tenofovir termasuk golongan analog nukleotida atau nucleotide reverse transcriptase inhibitor NtRTI dan
merupakan 9-R-2phospho-nomethoxypropyl adenin PMPA.
22,26
Gambar 2.5 Struktur kimia Tenofovir
22
Nama dagang : Viread
®
Rumus molekul :C
19
H
30
N
5
O
10
P.C
4
H
4
O
4
Berat molekul : 305.2 grmol
Sinonim : Tenofovir disoproxil fumarat TDF
Fungsi : antiretrovilal
Universitas Sumatera Utara
2.9.1 Farmakokinetik dan Metabolisme
Tenofovir mudah larut dalam air dan mudah diabsorbsi melalui usus, bioavaibilitasnya adalah 30 setelah mengkonsumsi makanan berlemak tinggi
dan 25 bila berpuasa. Penelitian secara in vitro menyatakan bahwa TDF tidak memiliki sitokrom CYP 450 dan tidak dimetabolisme di hati. TDF dieliminasi
secara luas dan cepat, obat tersebut 80 tidak berubah dalam urine selama 3-4 hari dengan waktu paruh yang relative lama 12-18 jam, dengan volume distribusi
sekitar 0,51 Ljamkg.
27
Tabel 2.5 Dosis TDF pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau yang menjalani
hemodialisis.
27
Renal impairment classification
Creatinine clearance mLmin
Administration
Normal 50
Every 24 hours Moderate
30-49 Every 48 hours
Severe 10-29
Every 72 to 96 hours Hemodialysis
10 12 hours of dialysis
2.9.2 Farmakodinamik
Tenofovir termasuk golongan NtRTI yang berfungsi menghambat enzim reverse transcriptase. Enzim ini mengubah bahan genetik RNA HIV
menjadikannya bentuk DNA. Ini harus terjadi sebelum kode genetik HIV dapat dimasukkan ke kode genetik sel yang terinfeksi HIV. Tenofovir pertama kali
dihidrolisa di dinding usus dengan boxylesterase selanjutnya di hati dihidrolisis oleh phosphodiesterase, kemudian TDF memasuki sel melalui trasporter anion
organik. Setelah masuk ke dalam sel oleh enzim adenilatkinase TDF akan dirubah menjadi tenofovir mono-fosfat TDF-MP, pembentukan kedua oleh nukleotida
fosfat kinase akan membentuk tenofovir difosfat TDF-DP. TDF-DP inilah yang aktif menghambat reverse transcriptase virus.
Secara in vitro tenofovir bekerja secara sinergis dan aditif bila di kombinasi dengan ARV tertentu dan tidak ada
Universitas Sumatera Utara
interaksi antagonis. Obat tersebut aktivitas sinergis kuat dengan AZT dan nevirapine NVP dan aktivitas sinergis ringan dengan ddI dan nelfinavir NFV.
27
2.9.3 Keamanan, Toleransi dan efek samping
Mulai tahun 2010 WHO mulai menyarankan regimen pengobatan lini pertama antiretroviral yaitu zidovudin AZT dan tenofovir TDF. Dari dua
pilihan ini TDF memiliki keuntungan yang lebih banyak karena obat tersebut ditoleransi dengan baik, dalam memonitoring efek samping lebih sedikit dalam
pemeriksaan laboratorium, memiliki sitotoksik yang minimal, harga yang murah dan memiliki efek imunomodulator.
Suatu penelitian selama 12 minggu menyatakan bahwa terdapat kegagalan virologi sebesar 91 pada pasien yang
mendapatkan pengobatan yang mengandung TDF, ddI, dan 3TC. Efek samping yang sering dijumpai adalah mual, muntah, hilang nafsu makan. Tenofovir dapat
mengakibatkan kerusakan pada ginjal sehingga sebaiknya fungsi ginjal harus dipantau.
27,28
Studi 907 yang merupakan studi randomaized double-blaind yang menggunakan terapi tenofovir 300 mg sekali sehari terbukti menunjukkan
kemampuan untuk mempertahankan penekanan virus dalam jangka panjang pada sebagian besar pasien HIV dan memiliki frekuensi rendah untuk terjadinya mutasi
K65R.
26
2.10 Tatalaksana Pemberian ARV
Untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 bila tersedia dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah
untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi ARV atau belum.
4
Pengobatan ARV terdiri dari obat-obat yang dapat memperlambat reproduksi HIV pada tubuh. Agar pengobatan ini dapat lebih efektif dalam waktu
yang lama maka diperlukan terapi kombinasi dari beberapa obat ARV.
15,16
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.6 Indikasi Pemberian ARV berdasarkan kriteria WHO:
4
Target populasi Stadium
klinis Jumlah sel
CD4 Rekomendasi
ODHA dewasa Stadium klinis
1 dan 2 350 selmm
3
Belum mulai terapi Monitor gejala
klinis dan jumlah sel CD4 setiap 6-12
bulan
350 selmm
3
Mulai terapi Stadium klinis
3 dan 4 Berapapun
jumlah sel CD4 Mulai terapi
Pasien dengan ko- infeksi TB
Apapun stadium klinis
Berapapun jumlah sel CD4
Mulai terapi Pasien dengan ko-
infeksi Hepatitis B kronik aktif
Apapun stadium klinis
Berapapun jumlah sel CD4
Mulai terapi
Ibu hamil Apapun
stadium klinis Berapapun
jumlah sel CD4 Mulai terapi
Untuk pasien baru HIVAIDS, ada 4 pilihan panduan ARV sebagai lini pertama pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO dan juga dipakai di
Indonesia Tabel 2.7.
4
Tabel 2.7 Panduan ARV lini pertama AZT + 3TC +
NVP Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine
ATAU AZT + 3TC +
EFV Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz
ATAU TDF + 3TC
ATAU FTC + NVP
Tenofovir + Lamivudine atau Emtricitabine + Nevirapine
ATAU
TDF + 3TC atau FTC + EFV
Tenofovir + Lamivudine atau Emtricitabine + Efavirenz
AZT= Zidovudine, 3TC=Lamivudine, NVP=Nevirapine, TDF=Tenofovir, FTC=Emtricitabine, EFV=Efevirenz
2.11 Pemantauan klinis dan laboratorium selama terapi ARV lini pertama