Struktur, Perilaku, dan Performansi Industri Manufaktur di Indonesia

Sebelum krisis ekonomi pada tahun 1997, industri manufaktur di Indonesia tumbuh dengan laju 10 setiap tahunnya, lebih besar dari pertumbuhan GDP yang hanya 7,1 per tahun. Setelah krisis ekonomi pada tahun 1997, laju pertumbuhan sektor industri manufaktur menurun drastis menjadi hanya 3,8 per tahun selama tahun 2000- 2003. Penurunan laju pertumbuhan sektor industri manufaktur tersebut terjadi pada sektor-sektor industri yang padat sumber daya alam seperti minyak bumi dan gas, makanan, minuman dan tembakau, kayu dan produk dari kayu, serta kertas dan percetakan. Tabel 1.2 Pertumbuhan Industri Manufaktur Indonesia Periode 1993-1997 dan 2000-2003 Sektor 1993 1997 2000 2003 Manufacturing Industries Mfg Petroleum Gas Petroleum Refinery Natural Gas Mfg. Excl. Petroleum Gas Food, Beverage, Tobacco Textile, Leather, Footwear Wood Wood Products Paper Products Chemicals Rubber Cement, Non-Metalic Iron Basic steel Transport Eq. Mach. App. Misc. Mfg Products 10.0 2.1 1.7 2.7 11.1 16.2 5.4 2.2 10.6 8.8 13.4 7.9 5.2 9.5 3.8 -3.8 -5.1 -1.9 4.7 2.4 5.1 1.0 2.6 11.7 9.6 -0.6 9.8 18.6 GDP 7.1 3.8 Sumber : CSIS, 2004

1.2 Struktur, Perilaku, dan Performansi Industri Manufaktur di Indonesia

Seperti dijelaskan sebelumnya, struktur industri di Indonesia dicirikan dengan tingginya tingkat konsentrasi pada beberapa perusahaan oligopolistik. Tingginya konsentrasi di Indonesia disebabkan diantaranya oleh tindakan pemerintah. Kebijakan, regulasi, dan intervensi pemerintah yang banyak memproteksi, mendorong dan mengalokasikan rente ekonomi pada perusahaan tertentu. Dukungan pemerintah tersebut memperkuat posisi dan kontrol perusahaan terhadap pasar. Menurut Pradiptyo 1996, pemerintah turut andil dalam menciptakan struktur industri yang oligopolistikmonopoli. Berdasarkan SK Mendekop No. 75kpi83, pemerintah melegitimasi keberadaan asosiasi-asosiasi bagi para pengusaha dan pelaku bisnis sektor riil. Pada tahun 1980, tercatat hanya ada satu jenis asosiasi yang didirikan, yaitu GKBI Gabungan Koperasi Batik Indonesia. Sejak penetapan kebijakan tersebut, pada tahun 1983 muncul 70 asosiasi baru. Jumlah asosiasi tersebut terus bertambah dan hingga tahun 1994, tercatat 377 asosiasi yang tersebar di berbagai propinsi di Indonesia. Keberadaan asosiasi pada dasarnya memungkinkan bagi para pengusaha untuk berkumpul dan membentuk kesepakatan pemasaran. Pada skala usaha kecil, asosiasi sangat membantu pengembangan usaha tanpa mengakibatkan distorsi harga dan kesejahteraan masyarakat yang signifikan. Permasalahan yang timbul, keberadaan asosiasi di Indonesia, sebagian besar anggotanya adalah pengusaha besar, dengan hegemoni dan kekuatan lobi mereka memanfaatkan asosiasi yang dianggotainya sebagai sarana mengembangkan dan memantapkan pangsa pasar. Dengan demikian terjadi praktek penetapan harga antar pengusaha dan keadaan tersebut justru malah menimbulkan distorsi pasar. Jadi keberadaan asosiasi tersebut tidak lebih dari kartel dagang yang merugikan konsumen dan produsen input. Kebijakan pemerintah sejak tahun 1986 untuk menciptakan lingkungan yang lebih kompetitif ini memiliki pengaruh yang sedikit terhadap penurunan konsentrasi Bird,1999. Walaupun konsentrasi di Indonesia tetap tinggi tetapi menunjukan adanya trend penurunan pada periode 1975 – 1993 seperti pada tabel berikut : Tabel 1.3 Rata-rata Konsentrasi Industri Manufaktur di Indonesia Periode 1975 – 1993 Sumber : Bird 1999 Walaupun menurut penelitian Bird di atas menunjukan bahwa adanya penurunan konsentrasi, tetapi menurut Pradiptyo 1995, secara riil struktur pasar di sektor industri cenderung semakin oligopolistik. Sebagai gambaran: pada tahun 1975 struktur pasar yang relatif bersaing terdapat pada 76 subsektor industri 62,81, berdasarkan klasifikasi lima digit ISIC. Jumlah itu berkurang menjadi 64 subsektor 50,79 pada tahun 1991. Di lain pihak, struktur pasar yang oligopolistik bertambah cukup signifikan dari 37 sub sektor 30,58 menjadi 62 sub sektor 49,21. Hal ini juga mengindikasikan bahwa Tahun Rata-rata CR4 1973-1993 1975 63.6 1976 61.9 1977 61.5 1978 61.2 1979 60.0 1980 57.9 1981 57.5 1982 56.0 1983 54.5 1984 53.6 1985 52.6 1986 52.4 1987 52.3 1988 51.8 1989 52.1 1990 50.9 1991 51.8 1992 53.7 1993 53.5 Change 1975-93 -10.1 jumlah perusahaan di sektor industri yang tumbuh pesat selama kurun waktu 1975 – 1991 tidak cukup mampu menurunkan penguasaan pasar oleh perusahaan-perusahaan besar dengan laju yang setara. Penurunan pangsa pasar perusahaan-perusahaan besar lebih lamban dibandingkan dengan kenaikan jumlah perusahaan. Hal ini juga ditunjukan oleh bukti bahwa selama periode 1996-2000 terjadi peningkatan rata-rata konsentrasi yang disertai peningkatan rata-rata marjin keuntungan di sektor industri manufaktur. Pada bulan April tahun 1998, pemerintah Indonesia dengan IMF melakukan MOU memorandum of understanding di mana salah satu bagiannya memuat persetujuan pemerintah untuk menerima draft undang-undang tentang persaingan usaha dari DPR yang mulai dilaksanakan pada tahun 1999. Undang-undang ini diharapkan bisa mengurangi tingkat konsentrasi yang tinggi di Indonesia. Kebijakan ini diharapkan bisa membebaskan pasar dari segala kendala untuk masuk barrier to entry sehingga membuka pasar terhadap perusahaan-perusahaan baru Wigati dan Satriawan, 2002. Upaya pemerintah untuk menciptakan struktur industri yang kompetitif ini ialah bertujuan agar pasar menjadi lebih efisien sehingga akhirnya konsumen tidak dirugikan. Lingkungan industri yang kompetitif akan memungkinkan keuntungan yang tinggi tidak dinikmati oleh segelintir perusahaan saja sehingga kesejahteraan bersama bisa terwujud. Struktur industri yang terkonsentrasi ini tentu saja akan mempengaruhi perilaku dan performansi industri. Struktur industri yang cenderung terkonsentrasi akan menyebabkan sumber daya terkonsentrasi pada beberapa perusahaan sehingga performansi industri dipengaruhi secara dominan oleh perilaku segelintir perusahaan saja Kalirajan, 1993. Tulisan ini berusaha menjabarkan hubungan antara struktur, perilaku, dan performansi industri manufaktur di Indonesia selama periode 1996-2000. Penulis beranggapan bahwa selama periode tersebut terjadi perubahan yang signifikan dari struktur, perilaku, dan performansi industri sehubungan adanya krisis ekonomi dan disahkannya UU anti monopoli pada tahun 1999 sehingga diharapkan bisa menjelaskan dengan baik hubungan antara struktur, perilaku, dan performansi industri manufaktur di Indonesia.

II. Kerangka Teori dan Studi Literatur