Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Mi Instan di Indonesia

(1)

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA

INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA

OLEH:

CITRA PUSPASARI H14101124

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(2)

RINGKASAN

CITRA PUSPASARI. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Mi Instan Di Indonesia (dibimbing oleh ARIEF DARYANTO).

Dilihat dari sisi demografi, Indonesia dengan populasi penduduk yang besar saat ini mencapai lebih dari 210 juta jiwa, merupakan pasar yang potensial bagi produk mi instan. Peluang pasar industri mi instan masih cukup besar terlihat dari kapasitas produksi mi instan dari perusahaan yang telah beroperasi pada tahun 2003 mencapai 1,7 juta ton. Hasil riset pada tahun 2004 menunjukkan bahwa dari sisi konsumsi, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi mi instan per kapita (56-57 bungkus) per tahun terbesar ketiga di dunia setelah Korea dan Jepang sedangkan di dunia Indonesia merupakan negara produsen mi instan terbesar kedua setelah Cina dengan tingkat pertumbuhan sebesar 10 persen dari tahun 1999 sampai tahun 2000. Potensi pasar mi instan yang ada pada tahun 1999 sampai dengan 2003 sebenarnya mencapai 2,5 juta ton sampai dengan 2,6 juta ton dengan penyerapan mi instan rata-rata baru sebesar 34,4 persen.Volume ekspor terus meningkat dengan laju perubahan sebesar 15,5 persen per tahun dan 16,2 persen untuk nilai ekspornya. Volume impor juga meningkat 40 persen per tahun dan 31,1 persen untuk nilai impornya.

Persaingan yang semakin ketat membuat produsen mi instan melakukan persaingan yang tidak sehat. Adanya dugaan praktek monopoli seperti penguasaan bahan baku mi instan yang dilakukan oleh Indofood melalui PT Bogasari Flour Mills akan menghambat pertumbuhan industri kecil. Adanya kebijakan impor tepung terigu sebagai bahan baku pembuatan mi secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan produsen mi instan di Indonesia. Apalagi setelah krisis moneter menyebabkan nilai mata uang rupiah terdepresiasi yang berdampak pada harga tepung terigu dalam negeri karena kebutuhan tepung terigu dalam negeri sebagian besar masih dipenuhi melalui impor. Dengan harga bahan baku dan biaya produksi yang meningkat mengharuskan produsen meningkatkan harga mi instan untuk meminimalkan kerugian.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri mi instan di Indonesia serta menganalisis implikasi kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Peneltian ini juga bertujuan untuk menganalisis hubungan antar struktur dengan kinerja.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data-data tersebut di antaranya diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), PT Capricorn Indonesia Consult Inc. (CIC), Corinthian Infopharma Corpora (CIC), Departemen Perindustrian (Depperin) dan Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) Institut Pertanian Bogor. Pengumpulan data juga dilakukan dengan mengambil data-data dari buku, kliping, jurnal ekonomi, laporan-laporan penelitian industri tepung terigu dengan studi kasus industri mi instan melalui penelitian kepustakaan serta


(3)

data elektronik melalui internet. Selanjutnya data-data tersebut diolah dengan bantuan software E-Views 4.1 dan menggunakan metode analisis Ordinary Least Square (OLS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) dan ekspor memberikan pengaruh yang negatif terhadap Price Cost Margin (PCM). Kedua variabel tersebut berpengaruh negatif karena jika pada saat krisis moneter menjual produk dengan harga yang murah akan menurunkan keuntungan namun volume penjualannya meningkat dan bahan baku yang digunakan masih tergantung oleh impor dimana impor dinilai dengan dolar. Sedangkan ekspor juga dinilai dengan dolar dan adanya biaya-biaya seperti pajak ekspor yang tinggi serta regulasi dalam negeri yang sulit menyebabkan biaya produksi mi instan dengan harga jual mi instan yang diekspor sama sehingga tidak berpengaruh terhadap keuntungan. Variabel impor berpengaruh negatif namun tidak signifikan karena adanya politik dumping dengan menetapkan tarif masuk barang yang tinggi. Sedangkan efisiensi-X, produktivitas, produktivitas periode sebelumnya dan pertumbuhan memberikan berpengaruh positif terhadap PCM disebabkan suatu perusahaan memproduksi sebuah produk dengan sumber daya yang lebih sedikit sehingga perusahaan lebih efisien untuk meningkatkan kapasitas produksi.

Berdasarkan data-data yang telah diolah, struktur pasar yang terjadi di industri mi instan termasuk ke dalam struktur pasar oligopoli ketat. Rata-rata CR4 yang diperoleh pada periode penelitian yaitu sebesar 51,71 persen. Nilai Minimum Efficient Scale (MES) sebesar 25,58 persen. MES yang lebih besar dari 10 persen menggambarkan hambatan masuk pasar yang tinggi pada suatu industri.

Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan pada industri mi instan (struktur-perilaku-kinerja) yaitu dengan mengeluarkan

kebijakan impor bahan baku mi instan. Kebijakan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu dengan mengeluarkan kebijakan dalam investasi, ekspor, impor dan dalam bidang pengawasan bahan baku dan produksi. Kebijakan-kebijakan itu dilakukan agar industri mi instan di Indonesia berjalan secara sehat mengingat persaingan dalam industri mi instan sangat ketat.


(4)

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA

INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA

Oleh

CITRA PUSPASARI H14101124

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(5)

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juni 2006

Citra Puspasari H14101124


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Citra Puspasari lahir pada tanggal 12 Oktober 1983 di Jepara. Penulis anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Supomo dan Aisah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan Sekolah Dasar Jatingaleh Dalam I Semarang, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 5 Semarang dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 4 Semarang dan lulus pada tahun 2001.

Pada tahun 2001 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir sehingga dapat menjadi sumber daya yang berguna. Penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Mi Instan Di Indonesia”. Industri mi instan merupakan topik yang sangat menarik karena industri tersebut mempunyai persaingan yang ketat dalam pasar dan merupakan salah satu industri makanan yang dalam waktu relatif cepat dapat menghadapi dampak dari krisis ekonomi. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec, yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr., yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan Beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Toni Irawan, S.E., terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. Meskipun demikian, segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua penulis, yaitu Bapak Supomo dan Ibu Aisah serta Kakak penulis atas kesabaran, nasehat, doa dan dorongan semangat yang diberikan bagi penulis, penulis mengucapkan terima kasih kepada Saudara Thaufiq Abadi atas bantuannya selama penyusunan skripsi ini dalam memberikan dorongan semangat bagi penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua peserta Seminar Hasil


(9)

Penelitian yang telah memberikan saran dan kritik yang sangat membantu penulis dalam melakukan perbaikan penyusunan skripsi ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2006

Citra Puspasari H14101124


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 13

1.4. Manfaat Penelitian ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 14

2.1. Konsep Dasar Ekonomi Industri ... 14

2.2. Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja ... 15

2.2.1. Struktur Pasar ... 21

2.2.2. Perilaku Pasar ... 31

2.2.3. Kinerja Pasar ... 33

2.3. Defenisi Mi Instan ... 35

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 38

2.5. Kerangka Pemikiran... 40

2.6. Hipotesis... 42

III. METODE PENELITIAN... 44

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 44

3.2. Metode Analisis ... 45

3.2.1. Analisis Struktur Pasar (Market Structure)... 45

3.2.2. Perilaku Pasar (Market Conduct) ... 48

3.2.3. Kinerja Pasar (Market Performance) ... 49

3.2.4. Hubungan Struktur dan Kinerja ... 49

3.3. Analisis Time Series (Runtun Waktu) ... 53


(11)

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA

INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA

OLEH:

CITRA PUSPASARI H14101124

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(12)

RINGKASAN

CITRA PUSPASARI. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Mi Instan Di Indonesia (dibimbing oleh ARIEF DARYANTO).

Dilihat dari sisi demografi, Indonesia dengan populasi penduduk yang besar saat ini mencapai lebih dari 210 juta jiwa, merupakan pasar yang potensial bagi produk mi instan. Peluang pasar industri mi instan masih cukup besar terlihat dari kapasitas produksi mi instan dari perusahaan yang telah beroperasi pada tahun 2003 mencapai 1,7 juta ton. Hasil riset pada tahun 2004 menunjukkan bahwa dari sisi konsumsi, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi mi instan per kapita (56-57 bungkus) per tahun terbesar ketiga di dunia setelah Korea dan Jepang sedangkan di dunia Indonesia merupakan negara produsen mi instan terbesar kedua setelah Cina dengan tingkat pertumbuhan sebesar 10 persen dari tahun 1999 sampai tahun 2000. Potensi pasar mi instan yang ada pada tahun 1999 sampai dengan 2003 sebenarnya mencapai 2,5 juta ton sampai dengan 2,6 juta ton dengan penyerapan mi instan rata-rata baru sebesar 34,4 persen.Volume ekspor terus meningkat dengan laju perubahan sebesar 15,5 persen per tahun dan 16,2 persen untuk nilai ekspornya. Volume impor juga meningkat 40 persen per tahun dan 31,1 persen untuk nilai impornya.

Persaingan yang semakin ketat membuat produsen mi instan melakukan persaingan yang tidak sehat. Adanya dugaan praktek monopoli seperti penguasaan bahan baku mi instan yang dilakukan oleh Indofood melalui PT Bogasari Flour Mills akan menghambat pertumbuhan industri kecil. Adanya kebijakan impor tepung terigu sebagai bahan baku pembuatan mi secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan produsen mi instan di Indonesia. Apalagi setelah krisis moneter menyebabkan nilai mata uang rupiah terdepresiasi yang berdampak pada harga tepung terigu dalam negeri karena kebutuhan tepung terigu dalam negeri sebagian besar masih dipenuhi melalui impor. Dengan harga bahan baku dan biaya produksi yang meningkat mengharuskan produsen meningkatkan harga mi instan untuk meminimalkan kerugian.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri mi instan di Indonesia serta menganalisis implikasi kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Peneltian ini juga bertujuan untuk menganalisis hubungan antar struktur dengan kinerja.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data-data tersebut di antaranya diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), PT Capricorn Indonesia Consult Inc. (CIC), Corinthian Infopharma Corpora (CIC), Departemen Perindustrian (Depperin) dan Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) Institut Pertanian Bogor. Pengumpulan data juga dilakukan dengan mengambil data-data dari buku, kliping, jurnal ekonomi, laporan-laporan penelitian industri tepung terigu dengan studi kasus industri mi instan melalui penelitian kepustakaan serta


(13)

data elektronik melalui internet. Selanjutnya data-data tersebut diolah dengan bantuan software E-Views 4.1 dan menggunakan metode analisis Ordinary Least Square (OLS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) dan ekspor memberikan pengaruh yang negatif terhadap Price Cost Margin (PCM). Kedua variabel tersebut berpengaruh negatif karena jika pada saat krisis moneter menjual produk dengan harga yang murah akan menurunkan keuntungan namun volume penjualannya meningkat dan bahan baku yang digunakan masih tergantung oleh impor dimana impor dinilai dengan dolar. Sedangkan ekspor juga dinilai dengan dolar dan adanya biaya-biaya seperti pajak ekspor yang tinggi serta regulasi dalam negeri yang sulit menyebabkan biaya produksi mi instan dengan harga jual mi instan yang diekspor sama sehingga tidak berpengaruh terhadap keuntungan. Variabel impor berpengaruh negatif namun tidak signifikan karena adanya politik dumping dengan menetapkan tarif masuk barang yang tinggi. Sedangkan efisiensi-X, produktivitas, produktivitas periode sebelumnya dan pertumbuhan memberikan berpengaruh positif terhadap PCM disebabkan suatu perusahaan memproduksi sebuah produk dengan sumber daya yang lebih sedikit sehingga perusahaan lebih efisien untuk meningkatkan kapasitas produksi.

Berdasarkan data-data yang telah diolah, struktur pasar yang terjadi di industri mi instan termasuk ke dalam struktur pasar oligopoli ketat. Rata-rata CR4 yang diperoleh pada periode penelitian yaitu sebesar 51,71 persen. Nilai Minimum Efficient Scale (MES) sebesar 25,58 persen. MES yang lebih besar dari 10 persen menggambarkan hambatan masuk pasar yang tinggi pada suatu industri.

Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan pada industri mi instan (struktur-perilaku-kinerja) yaitu dengan mengeluarkan

kebijakan impor bahan baku mi instan. Kebijakan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu dengan mengeluarkan kebijakan dalam investasi, ekspor, impor dan dalam bidang pengawasan bahan baku dan produksi. Kebijakan-kebijakan itu dilakukan agar industri mi instan di Indonesia berjalan secara sehat mengingat persaingan dalam industri mi instan sangat ketat.


(14)

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA

INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA

Oleh

CITRA PUSPASARI H14101124

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(15)

(16)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juni 2006

Citra Puspasari H14101124


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Citra Puspasari lahir pada tanggal 12 Oktober 1983 di Jepara. Penulis anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Supomo dan Aisah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan Sekolah Dasar Jatingaleh Dalam I Semarang, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 5 Semarang dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 4 Semarang dan lulus pada tahun 2001.

Pada tahun 2001 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir sehingga dapat menjadi sumber daya yang berguna. Penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.


(18)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Mi Instan Di Indonesia”. Industri mi instan merupakan topik yang sangat menarik karena industri tersebut mempunyai persaingan yang ketat dalam pasar dan merupakan salah satu industri makanan yang dalam waktu relatif cepat dapat menghadapi dampak dari krisis ekonomi. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec, yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr., yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan Beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Toni Irawan, S.E., terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. Meskipun demikian, segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua penulis, yaitu Bapak Supomo dan Ibu Aisah serta Kakak penulis atas kesabaran, nasehat, doa dan dorongan semangat yang diberikan bagi penulis, penulis mengucapkan terima kasih kepada Saudara Thaufiq Abadi atas bantuannya selama penyusunan skripsi ini dalam memberikan dorongan semangat bagi penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua peserta Seminar Hasil


(19)

Penelitian yang telah memberikan saran dan kritik yang sangat membantu penulis dalam melakukan perbaikan penyusunan skripsi ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2006

Citra Puspasari H14101124


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 13

1.4. Manfaat Penelitian ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 14

2.1. Konsep Dasar Ekonomi Industri ... 14

2.2. Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja ... 15

2.2.1. Struktur Pasar ... 21

2.2.2. Perilaku Pasar ... 31

2.2.3. Kinerja Pasar ... 33

2.3. Defenisi Mi Instan ... 35

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 38

2.5. Kerangka Pemikiran... 40

2.6. Hipotesis... 42

III. METODE PENELITIAN... 44

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 44

3.2. Metode Analisis ... 45

3.2.1. Analisis Struktur Pasar (Market Structure)... 45

3.2.2. Perilaku Pasar (Market Conduct) ... 48

3.2.3. Kinerja Pasar (Market Performance) ... 49

3.2.4. Hubungan Struktur dan Kinerja ... 49

3.3. Analisis Time Series (Runtun Waktu) ... 53


(21)

3.4. OLS (Ordinary Least Square)... 55

3.5. Uji Statistika dan Ekonometrika ... 57

IV. GAMBARAN INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA ... 62

4.1. Sejarah Perkembangan ... 62

4.1.1. Sejarah Perkembangan Mi Instan di Dunia... 62

4.1.2. Sejarah Perkembangan Mi Instan di Jepang ... 64

4.1.3. Sejarah Perkembangan Mi Instan di Indonesia... 66

4.2. Gambaran Umum Industri Mi Instan ... 66

4.2.1. Modal Asing Dalam Industri Mi Instan ... 69

4.2.2. Profil Perusahaan Mi Instan ... 72

4.3. Saluran Distribusi Industri Mi Instan... 78

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 80

5.1. Struktur Pasar ... 80

5.1.1. Konsentrasi Pasar ... 82

5.1.2. Hambatan Masuk Pasar... 83

5.2. Perilaku Pasar... 85

5.2.1. Strategi Harga... 85

5.2.2. Strategi Produk... 86

5.2.3. Strategi Promosi ... 88

5.3. Kinerja Pasar ... 90

5.4. Hubungan Struktur Dan Kinerja ... 91

5.5. Implikasi Kebijakan ... 96

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

6.1. Kesimpulan ... 100

6.2. Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 106


(22)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1.1.Urutan Negara Produsen Mi Instan di Dunia, Tahun 1999-2000 ... 3 1.2.Konsumsi dan Potensi Pasar Mi Instan Tahun 1999 sampai 2003 ... 3 1.3.Perkembangan Produksi Mi Instan Indonesia Tahun 1999 sampai

Tahun 2003 ... 5 1.4.Produksi Mi Instan Menurut Produsen Tahun 2000 ... 5 1.5.Ukuran Pasar dan Nilai Pasar Mi Instan Tahun 2003 ... 6 1.6.Ekspor dan Impor Mi Instan Tahun 1999 sampai Tahun 2003... 7 1.7.Kinerja Produksi Mi Instan Nasional Tahun 2002... 9 2.1. Tipe-Tipe Struktur Pasar ... 22 2.2. Tipe-tipe Pasar... 23 2.3. Pengukuran-Pengukuran Konsentrasi Perusahaan ... 26 2.4. Jadwal Penurunan Tarif Bea Masuk dari Tahun 1995 Sampai

Tahun 2003 ... 43 4.1. Kapasitas Produksi Produsen Mi Instan Aktif Tahun 2004 ... 72 4.2. Modal Asing dalam Bisnis Mi Instan di Indonesia Tahun 2004... 74 4.3. Perusahaan Yang Sudah Mendapat Ijin Produksi Mi Instan

Tahun 2004 ... 75 5.1. Hasil Dugaan Persamaan PCM pada Industri Mi Instan di

Indonesia ... 98 5.2. Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen ... 99


(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 2.1. Pendekatan Tradisional Structure Conduct Performance (S-C-P) ... 19 2.2. Paradigma Structure Conduct Performance (S-C-P)... 20 2.3. Klasifikasi Berdasarkan Wadah, Pengemasan, Rasa dan Pembuatan... 38 2.4. Skema Alur Pemikiran Konseptual... 45 4.1. Saluran Distribusi Industri Mi Instan ... 84


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Nilai CR1 dan CR4 Industri Mi Instan di Indonesia (1986-2003) ... 114 2. Nilai Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Mi Instan Indonesia

(1986-2003)... 115 3. Price-Cost-Margin Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003)... 116 4. Nilai Efisiensi-X Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003) ... 117 5. Ekspor dan Impor Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003) ... 118 6. Nilai Produktivitas Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003) ... 119 7. Trend Permintaan Mi Instan Dunia... 120 8. Hasil Estimasi Regresi Industri Mi Instan ... 121


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mi instan telah menjadi kebutuhan pokok bagi sebagian masyarakat Indonesia. Kenaikan konsumsi mi instan yang juga sebagai salah satu sumber karbohidrat disebabkan karena selera masyarakat terhadap pangan berubah seiring dengan semakin maraknya jenis pangan olahan yang siap saji dan praktis, serta dapat diperoleh dengan mudah. Perubahan gaya hidup masyarakat juga berpengaruh pula pada gaya makan.

Selain itu tingginya konsumsi mi instan dikarenakan produk mi instan yang dihasilkan sangat beragam dan promosinya juga kuat. Banyak ragam jenis dan cara memasak dari mi. Produk mi dapat dengan cepat diolah, disajikan dan dengan kemasan yang bagus serta variasi harga yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan pilihan-pilihan produk mi sesuai dengan kemampuan. Konsumen produk mi juga meliputi semua golongan, tidak hanya golongan atas tetapi juga menengah dan bawah. Selain itu mi instan juga mudah dijumpai diberbagai tempat tidak hanya di swalayan tetapi juga di pasar tradisional atau warung kecil di pedesaan.

Di lihat dari sisi demografi, Indonesia dengan populasi penduduk yang besar saat ini mencapai lebih dari 210 juta jiwa, merupakan pasar yang potensial bagi produk mi instan. Namun jika dibandingkan dengan jumlah penduduk tersebut, konsumsi mi instan per kapitanya masih rendah di kisaran 1 bungkus per


(26)

minggu. Hal ini yang menyebabkan banyak produsen yang menganggap peluang pasar industri mi instan masih cukup terbuka lebar dan menjanjikan.

Dari sisi bahan baku, meskipun bahan baku industri mi instan masih dikuasai oleh Indofood melalui PT Bogasari Flour Mills dan semua segmen pasarnya dibuat dari harga rendah hingga premium, namun pemain baru dalam industri ini terus bermunculan mencari celah-celah pasar yang ada. Selain itu kondisi perekonomian Indonesia yang mulai membaik turut mendorong menciptakan pasar yang menjanjikan, bahkan kini banyak produsen giat mempromosikan produk mi instannya.

Industri mi instan berkembang pesat hingga mencapai 20 produsen dengan 31 pabrik yang tersebar di seluruh Indonesia dengan dua ratus merek lebih dan kapasitas produksi mencapai 13,5 milyar bungkus per tahun, naik 29 persen dari tahun 1995 yang baru 10,5 milyar bungkus per tahun. Kapasitas produksi ini diperkirakan akan meningkat sejalan dengan beroperasinya beberapa pabrik baru yang sedang dibangun saat ini.

Pada tahun 2004 ditunjukkan bahwa dari sisi konsumsi, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi mi instan per kapita (56-57 bungkus) per tahun terbesar ketiga di dunia setelah Korea dan Jepang yang konsumsi mi instan mencapai 100 bungkus per kapita per tahun. Indonesia merupakan negara produsen mi instan terbesar kedua setelah Cina dengan tingkat pertumbuhan sebesar 10 persen dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2000. Urutan negara produsen mi instan di dunia dapat dilihat pada Tabel 1.1.


(27)

Tabel 1.1. Urutan Negara Produsen Mi Instan di Dunia, Tahun 1999-2000 No Negara Produksi 1999

(Juta Bungkus)

Produksi 2000 (Juta Bungkus)

Pertumbuhan (Persen)

1. Cina 29060 31966 10.00

2. Indonesia 11000 12100 10.00

2. Jepang 7150 7685 7.48

4. Korea Selatan 3635 3999 10.01

5. Thailand 1520 1672 10.00

Sumber : Capricorn Indonesia Consult, 2002

Total konsumsi mi instan di Indonesia selama periode 1999 sampai 2003 meningkat dengan laju perubahan rata-rata 10,7 persen per tahun dari 718 ribu ton atau sekitar 9 milyar bungkus pada tahun 1999 menjadi 1,1 juta ton atau sekitar 13,5 milyar bungkus pada tahun 2003. Jika diasumsikan semua penduduk mengkonsumsi mi instan rata-rata dalam seminggu tiga bungkus seukuran 80 gram atau setara dengan 12,48 kg per tahun, berarti potensi pasar mi instan yang ada pada tahun 1999 sampai dengan 2003 sebenarnya mencapai 2,5 juta ton sampai dengan 2,6 juta ton. Berarti penyerapan mi instan selama kurun waktu tersebut rata-rata baru sebesar 34,4 persen. Hal ini masih jauh dibandingkan Korea Selatan dan Jepang yang tingkat konsumsinya mencapai 100 bungkus per kapita per tahun. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.2. Konsumsi Mi Instan di Indonesia.

Tabel 1.2. Konsumsi dan Potensi Pasar Mi Instan Tahun 1999 sampai 2003

Tahun Konsumsi Peluang pasar

1999 718017.7 2507878.6 2000 803688.7 2533755.9 2001 871429.3 2560812.4 2002 951956.3 2589504.7 2003 1077334.8 2622021.3

Potensi mi instan (%) 34.4 65.6


(28)

Produksi mi instan juga mengalami peningkatan pesat sejalan dengan meningkatnya permintaan dan konsumsi masyarakat. Selama periode tersebut laju peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 1996 yaitu sebesar 13,6 persen. Hal ini terjadi karena pada tahun 1996 produk mi instan merupakan makanan yang sangat populer di Indonesia yang ditandai dengan semakin banyaknya produsen-produsen baru yang masuk ke dalam industri mi instan (Capricorn Indonesia Consult, 2002).

Hingga akhir tahun 2003, tercatat 31 perusahaan yang aktif masuk dalam industri mi instan dengan kapasitas produksi sekitar 1,7 juta ton atau sekitar 23,7 milyar bungkus. Sementara 17 perusahaan lagi sudah keluar dari persaingan dan 13 perusahaan lagi bersiap masuk ke industri ini. Dari 31 perusahaan tersebut, 5 perusahaan diantaranya mendapat fasilitas penanaman modal asing (PMA), yaitu PT ABC President Enterprises Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT I Tsun Food Indonesia, PT Jakaranatama Food Industry dan PT Nissin Mas. Selama periode 1999 sampai 2003, produksi mi instan secara umum meningkat dengan laju perubahan rata-rata 10,8 persen per tahun. Pada tahun 1999 produksinya baru mencapai 730 ribu ton atau sekitar 10,4 milyar bungkus yang terus meningkat seiring meningkatnya permintaan dan pada tahun 2003 produksinya menjadi 1,1 juta ton atau sekitar 15 milyar bungkus. Dilihat dari tingkat pemanfaatan kapasitas yang ada (utility) pada tahun 2003 baru mencapai 64,1 persen. Pada 2003, kenaikan produksi tersebut erat kaitannya dengan bermunculannya merek-merek baru mi instan di pasar yang dengan terus-menerus mengiklankan di layar televisi. Selain itu kenaikan produksi juga disebabkan oleh


(29)

peningkatan realisasi produksi beberapa produsen yang mulai meningkatkan usahanya. Produksi mi instan di Indonesia tahun 1999 sampai 2003 dapat dilihat pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3. Perkembangan Produksi Mi Instan Indonesia Tahun 1999 sampai 2003

Tahun Produksi 1999 730002.2 2000 817149.7 2001 886717.4 2002 969988.4 2003 1097855.4

utility (%) 64.1

Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004

Berdasarkan pangsa pasarnya produksi mi instan di Indonesia saat ini masih dikuasai oleh PT Indofood Sukses Makmur. Pangsa pasar Indomie pada tahun 2003 mencapai 325,2 ribu ton atau sekitar 30,2 persen dari total pasar sebesar 1,1 juta ton (Corinthian Infopharma Corpora, 2004). Produksi mi instan Indonesia menurut produsen pada tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 1.4.

Tabel 1.4. Produksi Mi Instan Menurut Produsen, 2000 Nama Perusahaan Produksi

(Ton)

Ekivalent (Juta Bungkus)

Share (Persen) PT Indofood Sukses Makmur Tbk. 695152.9 9930.8 85.1 PT ABC President Enterprises

Indonesia

31260.9 446.6 3.8 PT Jakaranatama Food Industry 20981.1 299.7 2.6 PT Supmi Sakti/ Nestle Indonesia 15374.4 219.6 1.9

PT Nissin Mas 12576.0 179.7 1.5

PT Sentrafood Indonusa Corp. 11600.0 165.7 1.0

PT Sentraboga Inti Selera 8320.0 118.9 1.0

PT Saritama Tunggal 7737.7 105.3 0.9

PT Dellifood Sentosa Corp. 8926.7 99.0 0.8

PT Serena Indopangan Industri 2400.0 34.3 0.3

Produsen lainnya 5184.0 74.1 0.6

Total 819149.7 11673.7 99.9


(30)

Dengan semakin banyaknya pemain baru dalam industri mi instan maka Indofood sudah mulai menurun pangsa pasarnya, walaupun Indofood masih tetap pemegang pangsa pangsa pasar mi instan tertinggi yaitu 75 persen yang pada tahun 2002 mencapai hingga 88 persen. Ukuran pasar dan nilai pasar mi instan 2003 dapat dilihat pada Tabel 1.5.

Tabel 1.5. Ukuran Pasar dan Nilai Pasar Mi Instan, 2003 No Merek Ukuran Pasar (Ton) Ekivalen (Juta Bungkus) Peranan (Persen) Nilai Pasar (Rp. Juta) Peranan (Persen)

1. Indomie 325220.7 4028.0 30.2 3959201.6 35.7 2. Sarimi 178731.7 2239.4 16.6 1638949.0 14.8

3. Supermi 101704.8 1367.0 9.4 996766.8 9.0

4. Sakura 70860.0 1181.0 6.6 541419.5 4.9 5. Gaga 100 44012.2 440.1 4.1 444522.9 4.0

6. ABC 43718.8 619.9 4.1 522102.1 4.7

7. Salam mi 36679.9 501.9 3.4 386759.6 3.5 8. Mi sedap 28384.5 362.4 2.6 248176.5 2.2

9. Alhami 14541.8 172.1 1.3 126085.5 1.1

10. Selera Rakyat 13226.2 225.1 1.2 129899.9 1.2 11. Nissin mi 12606.9 191.6 1.2 119921.2 1.1 12. Gaga mi 11575.2 192.9 1.1 118336.0 1.1

13. Lainnya 196072.2 3136.7 18.2 1871905.2 16.9 Total 1077334.8 14658.2 100.0 11104045.8 100.0

Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004

Dari segi pemasaran, meskipun masih kecil jika dibandingkan dengan produksinya, namun secara rata-rata volume ekspor terus meningkat dengan laju perubahan sebesar 15,5 persen per tahun dan 16,2 persen per tahun untuk nilai ekspornya. Demikian pula pada sisi impor, meskipun volumenya masih sangat kecil, namun secara rata-rata volume impor selama periode tersebut meningkat 40 persen per tahun dan nilai impornya meningkat 31,1 persen per tahun. Ekspor dan impor mi instan tahun 1999 sampai 2003 akan ditunjukkan pada Tabel 1.6.


(31)

Tabel 1.6. Ekspor dan Impor Mi Instan Tahun 1999 sampai 2003

Ekspor Impor Tahun

Volume (Ton)

Nilai (Ribu US$)

Volume (Ton)

Nilai (Ribu US$)

1999 12514 9350.8 532 453.7

2000 14514 10453.8 1053 797.1

2001 16620 12569.6 1332 963.5

2002 19949 14352.8 1917 1313.0

2003 22273 17018.8 1752 1201.9

Perubahan (%) 16 16.2 40 31.1

Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004

Sejalan dengan pertumbuhan kebutuhan rumah tangga dengan kesadaran gizi dan penganekaragaman makanan yang ditunjang oleh keadaan ekonomi yang semakin membaik serta berkembangnya bisnis di bidang produk mi instan merupakan keadaan yang mendukung kondisi permintaan di pasar domestik. Selain itu adanya orientasi ekspor ke pasar luar negeri telah mampu menciptakan lahan investasi yang lebih terbuka lebar untuk industri pengolahan mi instan, termasuk perluasan dan modernisasi industri-industri yang sudah ada.

1.2. Perumusan Masalah

Industri mi instan adalah salah satu dari banyak industri berorientasi pasar domestik yang menunjukkan loncatan yang tajam dalam konsentrasi pasar yang dapat menjadi indikasi adanya tindakan anti persaingan. Tahun 1975 industri mi mempunyai rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar 44 persen, tetapi meningkat menjadi 75 persen pada tahun 1985 dan menjadi 96 persen pada tahun 1995.

PT Sarimi Asli dimiliki oleh Salim Group, yang melalui PT Bogasari Flour Mills mendapatkan monopoli penggilingan gandum, bahan baku utama industri mi instan. Pada pertengahan tahun 1980-an, Salim Group lewat PT


(32)

Indofood mengambil alih PT Sanmaru dan kemudian PT Supermi. Sejak saat itu PT Indofood telah menjadi penghasil mi instan terbesar di Indonesia. PT Indofood kemudian mengalihkan distribusi dari seluruh produknya dari distributor independen ke Indomarco, suatu perusahaan distribusi milik Salim Group.

Sebelum deregulasi pasar terigu, semua penghasil mi yang membeli terigu dari Bulog, termasuk group Salim harus membayar harga yang sama. Karena group Salim mendapat keuntungan dari penjualannya ke Bulog, maka perusahaan tersebut telah memiliki bahan baku utamanya, yaitu tepung terigu dengan harga yang lebih rendah. Makin banyak terigu yang digunakan Indofood maka makin banyak gandum yang dapat diimpor dan diproses oleh Bogasari secara menguntungkan. Keunggulan biaya group Salim telah memungkinkannya menjual mi lebih banyak dengan menurunkan harga dan menambah penjualan (Laporan Kebijakan Persaingan Indonesia, 1999).

Bila dilihat dari siapa produsen mi instan pasti sudah bisa terlihat bahwa Indofood group sebagai penguasa industri mi instan. Indofood Group merupakan sub group dari Salim Group yang memerger 18 perusahaan makanan olahan sebagai divisi dari Salim Group. Sedangkan perusahaan pesaingnya diantaranya adalah PT ABC President, PT Jakaranatama, PT Nissin Mas, PT Artha Millenia, dan PT Delly Food. Total kapasitas produksi secara nasional pada tahun 2002 adalah sebesar 950.600 ton dan ternyata mi instan bermerek Indomie mampu diproduksi sebesar 4,3 milyar bungkus dari 9,5 milyar bungkus total produksi mi instan atau sekitar 45 persen total produksi.


(33)

Munculnya produsen baru mi instan akan membuat persaingan akan menjadi semakin kompetitif antar perusahaan. Hingga tahun 2003, tercatat 31 perusahaan yang aktif bersaing dalam industri mi instan dengan kapasitas produksi sekitar 1,7 ribu ton atau 23,7 milyar bungkus. Sementara 17 perusahaan lagi sudah keluar dari persaingan dan 13 perusahaan lagi yang bersiap untuk masuk industri mi instan. Dari sini terlihat bahwa dalam industri mi instan persaingan semakin ketat dan apabila perusahan tersebut tidak dapat mempertahankan kinerjanya maka perusahaan itu akan tersisih karena kalah bersaing dengan perusahaan lain yang lebih berkembang. Kinerja produksi mi instan nasional tahun 2002 dapat disajikan pada Tabel 1.7.

Tabel 1.7. Kinerja Produksi Mi Instan Nasional, 2002

Kinerja Produksi Mi Instan Nasional 2002 (Ton)

Perusahaan Kelompok Merek Kapasitas

PT Indofood Sukses Makmur

Indofood Indomie,Supermi, Sakura, Super Cup, 3 Ayam, Pop Bihun, Pazto, Chatz Mie, My Noodlelez

782000

PT Myojoprima Lestari

Indofood Myojo

PT Jakaranatama Wicaksana Michiyo, Gaga Mi 100, Gaga Mi Soto

33600 PT Nissin Mas Roda Mas Nissin Mas, Doraemon, Cup

Newdless

31000 PT ABC President ABC ABC, President, Top Rame 48000

PT Artha Millenia Orang Tua Happy Mie 47500

PT Nestle Indonesia

Nestle Maggi 10000

PT Delly Food SC Miduo, Mi Gelas, Roma 40000

PT Sentra Food IC. Medco Salam Mie 36000

PT Asia Inti Selera Mikita, Ayam 2 Telor 46200 Sumber : Capricorn Indonesia Consult, 2002

Kinerja pasar dipengaruhi oleh struktur dan perilaku pasar. Kinerja yang baik terutama mencakup harga yang rendah, efisiensi, inovasi dan keadilan. Pada


(34)

umumnya konsentrasi industri yang terjadi di negara-negara maju disebabkan oleh kekuatan untuk menguasai pasar. Meskipun salah satu dari perusahaan tersebut menguasai (untuk beberapa waktu) sebagian pasar, yang lain akan segera mengejar kembali dan menyeimbangkan modal serta keuntungan. Persaingan keras seperti ini yang berlangsung terus menerus akan mengendalikan usaha perusahaan dan memaksa harga turun mendekati tingkat biayanya, hal ini yang terjadi di dalam industri mi instan.

Produksi aktual mi instan di Indonesia selama lima tahun belakangan ini mengalami peningkatan dengan laju perubahan rata-rata 10,8 persen per tahun. Pada 1999, produksi sebesar 730 ribu ton dan meningkat menjadi 1,1 juta ton pada 2003. Selama periode tersebut laju peningkatan tertinggi terjadi pada 2003, yang meningkat 13,2 persen dibanding tahun sebelumnya. Lonjakan produksi tersebut erat kaitannya dengan bermunculannya merek-merek baru mi instan di pasar. Dalam industri mi instan untuk mempertahankan produknya maka perusahaan akan melakukan promosi-promosi dengan pemberian hadiah atau diskon, namun hal itu ternyata dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat pada industri mi instan nasional. Pemberian hadiah atau diskon yang semakin tidak realistis akan menyebabkan produsen mi instan harus mensubsidi harga mi instan agar tetap terjangkau oleh masyarakat dengan menjual mi di bawah harga, karena harga mi instan tidak pernah mengalami kenaikan secara signifikan. Sedangkan, kenaikan harga bahan baku mi instan lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan kenaikan harga produk mi instan.


(35)

Di negara berkembang konsentrasi terjadi karena kekuasaan pemerintah dalam perencanaan ekonomi, kebijakan impor, proteksi yang berlebihan dan fasilitas lisensi. Semakin banyaknya industri mi instan saat ini, kemungkinan terjadinya persaingan yang tidak sehat yang menyebabkan industri mi instan yang mungkin memiliki pangsa pasar yang lebih kecil tidak dapat memasuki pasar karena perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang lebih besar melakukan kecurangan. Kecurangan itu dapat berupa persengkokolan dalam menetapkan harga atau melakukan perang tarif sehingga akan menghambat perusahaan lain untuk masuk pasar. Pada tahun 2003 baik Departemen Keuangan maupun Badan Pusat Statistik (BPS) belum memberi kejelasan mengenai penetapan dan pembagian tarif bea masuk bagi mi instan. Namun pada 2004 Dirjen Bea dan Cukai serta Departemen Keuangan telah menerbitkan tarif bea masuk bagi industri mi instan, sehingga ada kejelasan agar penetapan tarif dapat berjalan adil sesuai pembagian kelompok komoditinya dan tidak ada penyalahgunaan tarif bea masuk.

Seperti pada pengadaan bahan baku mi instan sampai saat ini masih dikuasai oleh Indofood yang bahan bakunya disuplai oleh PT Bogasari Flour Mills. Tetapi tidak dengan perusahaan lain mereka harus membeli bahan baku dengan harga yang jauh lebih tinggi. Di sini Indofood lebih diuntungkan dengan biaya produksi yang lebih rendah dan Indofood sebagian besar telah menguasai pangsa pasar, maka keuntungan yang didapat akan jauh lebih tinggi.

Apabila tidak ada pengawasan yang ketat akan menciptakan suatu bentuk persaingan yang tidak sehat dimana akan merugikan pesaing lain. Perusahaan


(36)

besar dapat memproduksi produk yang lebih murah dibanding perusahaan kecil jika kurva biaya industri menunjukkan skala ekonomis yang besar, maka suatu perusahaan akan mencapai biaya rata-rata yang terendah dengan pangsa pasar yang tinggi. Harga yang lebih murah ini tentunya akan menarik perhatian konsumen guna beralih ke barang tersebut. Selanjutnya permintaan barang tersebut akan naik dan membuat keuntungan (return) perusahaan bertambah besar.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang ada, yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk struktur pasar industri mi instan di Indonesia? 2. Bagaimana perilaku pasar industri mi instan di Indonesia?

3. Bagaimana kinerja industri mi instan di Indonesia? 1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian mengenai industri mi instan ini adalah :

1. Menganalisis struktur pasar industri mi instan di Indonesia. 2. Menganalisis perilaku pasar industri mi instan di Indonesia. 3. Menganalisis kinerja industri mi instan di Indonesia.

4. Bagaimana implikasi kebijakan pada industri mi instan di Indonesia. 1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai tambahan informasi bagi pelaku ekonomi khususnya bagi pelaku industri mi instan untuk melakukan


(37)

persaingan yang sehat yang berbasis pada ketentuan-ketentuan dasar persaingan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna dalam pengambilan keputusan yang rasional dan logis bagi pelaku industri mi instan dalam menjalankan usahanya supaya tidak menghambat pesaing lain untuk masuk pasar dan sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya. Bagi penulis merupakan proses belajar untuk lebih kritis dalam menganalisis suatu permasalahan yang sedang terjadi di sektor industri dan dapat lebih memberikan wawasan yang lebih luas mengenai industri mi instan di Indonesia.


(38)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Dalam penelitian mengenai industri mi instan di Indonesia serta struktur, perilaku dan kinerjanya, perlu disajikan kajian-kajian teoritis yang berkaitan dengan struktur pasar dan bentuk persaingan sehingga dapat menjelaskan bagaimana hubungan struktur-perilaku-kinerja suatu industri yang saling bersaing dalam pasar. Analisis definisi pasar terdiri dari tiga langkah: pertama, mendefinisikan pasar produk yang relevan; selanjutnya pasar geografis yang relevan; dan terakhir menentukan semua perusahaan yang turut serta dalam pasar produk dan geografis yang relevan. Definisi pasar mengemukakan semua produk yang dapat dianggap sebagai subtitusi yang berarti bagi produk yang sedang dipelajari. Definisi pasar geografis ialah mendefenisikan areal geografis dari pasar. Analisis menentukan perusahaan yang aktif yaitu perusahaan tersebut sanggup menawarkan produk-produk untuk dijual di pasar yang relevan dalam periode waktu yang wajar (Asian Development Bank, 2001).

2.1. Konsep Dasar Ekonomi Industri

Secara mikro, industri adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang homogen, atau barang-barang yang mempunyai sifat saling mengganti yang sangat erat. Secara makro, industri adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah (Hasibuan, 1994).

Ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi. Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaaan yang secara relatif lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi


(39)

struktur pasar, perilaku dan kinerja pasar. Dalam ekonomi industri terdapat dua sisi yang menarik, di satu sisi ekonomi industri merupakan seperangkat konsep dan analisa mengenai persaingan dan monopoli dengan berbagai macam pasar yang berada di antara keduanya. Di sisi lain, ekonomi industri juga berkaitan dengan pasar riil yang sangat diramaikan oleh adanya persaingan antar perusahaan (Jaya, 2001).

Beberapa alasan ekonomi industri menjadi semakin penting untuk dipelajari, baik di negara-negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Pertama, praktek-praktek struktur pasar yang semakin terkonsentrasi dalam kegiatan bisnis dan praktek-praktek perilakunya menimbulkan kerugian bagi konsumen. Kedua, semakin tinggi konsentrasi industri cenderung mengurangi persaingan antar perusahaan sehingga menciptakan perilaku yang kurang efisien. Ketiga, konsentrasi industri yang tinggi membawa konsentrasi kekayaan yang melemahkan usaha-usaha pemerataan, baik dilihat dari pemerataan pendapatan, kesempatan kerja, maupun kesempatan berusaha. Keempat, kaitan struktur industri dengan penyelesaian masalah-masalah ekonomi membawa lebih jauh intervensi pemerintah. Kelima, kajian-kajian tentang struktur-perilaku dan kinerja industri tidak terlepas dari masalah-masalah produksi dan distribusi ( Hasibuan, 1994).

2.2. Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja

Bain (1956) menyatakan bahwa dalam hubungan analisis struktur-perilaku-kinerja tidak lagi terbatas pada variabel mikro, seperti konsentrasi pasar produk, permodalan, bentuk-bentuk persaingan, serta masalah-masalah biaya dan


(40)

efisiensi alokasi, tetapi telah mulai berkenaan dengan variabel ekonomi makro, seperti kebijaksanaan pemerintah tentang proteksi, rintangan masuk, rintangan perdagangan, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan investasi asing.

Beberapa aspek yang dipelajari dalam kaitannya dengan struktur-perilaku-kinerja industri.

1. Aspek kebebasan memilih dan berusaha walaupun masih ada intervensi pemerintah yang pada akhirnya akan berubah menjadi suatu bentuk persaingan,

2. Aspek peluang yang sama, baik dalam pengertian sebagai pembeli dan penjual, maupun dalam kesempatan, dan pemerataan pendapatan,

3. Aspek keadilan dan kewajaran terhadap praktek-praktek bisnis yaitu melalui pelarangan praktek-praktek bisnis yang tidak wajar dan adanya kepastian hukum,

4. Aspek kesejahteraan masyarakat, yaitu efisiensi alokasi sumber-sumber ekonomi, kesempatan kerja, kestabilan harga, kesehatan, dan lingkungan yang bersih,

5. Aspek kemajuan, yaitu adanya kebebasan, keadilan dan kesejahteraan.

Untuk mengamati hubungan antara struktur-perilaku-kinerja dalam ekonomi industri maka dapat dilihat dari hubungan struktur dan kinerja industri, pengamatan kinerja dan perilaku yang kemudian dikaitkan lagi dengan struktur, menelaah kaitan struktur terhadap perilaku dan kemudian baru diamati kinerjanya, kinerja tidak perlu diamati lagi, oleh karena telah dijawab dari hubungan struktur dan perilakunya. Struktur pasar menggambarkan pangsa pasar dari


(41)

perusahaan-perusahaan. Struktur pasar merupakan kunci penting dari pola konsep konvensional dalam ekonomi industri. Struktur pasar juga mempengaruhi perilaku dari perusahaan. Struktur dan perilaku akhirnya akan mempengaruhi kinerja pasar. Yang utama dari struktur-perilaku-kinerja adalah determinan-determinan yang membentuk struktur itu sendiri, yaitu skala ekonomi dan disekonomi (Hasibuan, 1994).

Martin (1993) berpendapat bahwa pendekatan struktur-perilaku-kinerja digunakan untuk menganalisa hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja industri mi instan. Teori struktur, perilaku dan kinerja industri menyebutkan bahwa struktur, perilaku dan kinerja mempunyai tiga kategori utama untuk melihat monopoli dan persaingan yang terjadi di pasar. Dalam versi sederhana, struktur pasar bersifat eksogen dan menentukan perilaku perusahaan dalam pasar tersebut dan selanjutnya akan menentukan kinerja. Aspek-aspek struktur adalah jumlah perusahaan, ukuran besarnya perusahaan, kondisi hambatan masuk, sedangkan perilaku mencakup masalah kolusi, perilaku, inovasi, kebijakan harga, output dan iklan (Yunianti, 2001).

Pada analisis struktur, perilaku dan kinerja terdapat dua model pendekatan Structure Conduct Performance (SCP). Pertama, SCP School yang menekankan bahwa kekuatan pasar dari perusahaan merupakan sumber penyebab buruknya kinerja pasar dan pasar berada pada kondisi persaingan tidak sempurna dengan demikian pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk membatasi perilaku perusahaan. SCP School menekankan bahwa tingkat konsentrasi dan keuntungan yang tinggi diintepretasikan sebagai indikator penguasaan dan penyalahgunaan


(42)

penguasaan pasar. Dengan demikian masyarakat akan merasakan dampak negatifnya dan pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk membatasi perilaku perusahaan. Kedua, SCP Chicago School menyatakan bahwa sumber utama terjadinya kekuatan monopoli adalah pemerintah, sehingga agar tercapai kinerja pasar yang diinginkan sebaiknya di serahkan pada mekanisme pasar (Alistair, 2004). Paradigma Chicago meyakini bahwa keberhasilan perusahaan (firm success) yang diukur dengan tingkat keuntungan dan pangsa pasarnya mengindikasikan kepuasan konsumen, bukan kinerja yang buruk (Daryanto,2003). Pandangan lainnya adalah The New Industrial Economics yang menekankan pada peran perilaku yaitu apresiasi terhadap dimensi strategis dari keputusan perusahaan. Perusahaan tidak hanya bereaksi dan beradaptasi terhadap kondisi eksternal, tapi juga berusaha agar lingkungan ekonomi berada pada posisi yang dapat memberi keuntungan dengan pertimbangan bahwa pesaingnya juga akan melakukan hal yang sama.

Paradigma SCP berpendapat bahwa konsentrasi pasar yang tinggi membuat perusahaan lebih mudah untuk menguasai pasar dan menghasilkan keuntungan atau margin yang tinggi. Penguasaan pasar yang tinggi cenderung menghasilkan kinerja pasar yang buruk, yaitu konsumen harus membayar harga yang sangat tinggi (Daryanto, 2003).

Dasar paradigma SCP sendiri dicetuskan oleh Edward S. Mason, seorang dosen di University of Harvard tahun 1930-an. Tahun 1979, Scherer juga turut mengembangkan pendekatan SCP menjadi lebih luas dengan penjelasan yang logis, sehingga mempengaruhi para ekonom-ekonom dunia saat itu untuk


(43)

memandang SCP sebagai suatu cara yang biasa digunakan dalam menganalisis suatu industri (Shepherd, 1992). Berikut merupakan gambar pendekatan tradisional struktur-perilaku-kinerja.

KONDISI DASAR

STRUKTUR PERILAKU KINERJA

Gambar 2.1. Pendekatan Tradisional Structure Conduct Performance (S-C-P) Sumber: Daryanto, 2004

Dalam ekonomi industri struktur pasar menggambarkan pangsa pasar dari perusahaan. Dan untuk memperluas pangsa pasar, suatu perusahaan menghadapi sejumlah rintangan. Setiap struktur pasar berada di antara monopoli (pangsa pasar yang tinggi dan rintangan masuk yang tinggi) dan persaingan murni (pangsa pasar kecil dan rintangan masuk kecil). Struktur industri manufaktur erat kaitannya dengan tiga hal, yakni tingkat diversifikasi produk, intensitas pemakaian faktor-faktor produksi, termasuk SDA dan orientasi pasar. Gambar 2.2. menunjukkan bahwa struktur dan perilaku kemudian mempengaruhi kinerja pasar. Kinerja yang baik terutama mencakup harga yang rendah, efisiensi, inovasi dan keadilan. Kondisi dasar yang diwakili oleh elastisitas permintaan dapat melihat struktur, semakin elastis ada kecenderungan struktur pasar yang semakin terkonsentrasi. Struktur pasar yang semakin terkonsentrasi antara lain akan menyebabkan adanya kecenderungan dalam kekakuan harga. Hal ini dapat berpengaruh pada perilaku pasar.


(44)

UKURAN-UKURAN

Kondisi Permintaan Kondisi Penawaran Elastisitas Permintaan Skala Ekonomi Elastisitas silang dari Ekonomi Vertikal permintaan

STRUKTUR Ukuran distribusi Perusahaan Pangsa Pasar

Konsentrasi Rintangan masuk Elemen-elemen lain

PERILAKU Kerja sama dengan pesaing Strategi melawan pesaing Iklan

KINERJA

Harga-biaya dan Kemajuan teknologi pola keuntungan Keseimbangan dalam X-efisiensi pendistribusian Pengalokasian Pengaruh-pengaruh yang efisien lainnya

Gambar 2.2. Paradigma Structure Conduct Performance (S-C-P) Sumber : Jaya, 2001

Dalam penelitian-penelitian empiris pada umumnya tingkah laku perusahaan seringkali diabaikan. Pengujian hipotesis dengan pola hubungan seperti di atas selalu terbentur variabel tingkah laku yang sulit diukur dan dijabarkan sehingga sulit untuk mendapatkan hasil pengujian yang berarti untuk hubungan antara struktur dan perilaku. Oleh karena itu, perkiraan atas kinerja industri dapat diketahui melalui unsur-unsur pasar yang dimasukkan sebagai variabel bebas.


(45)

Pengujian hipotesa pola hubungan struktur dan kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu indikator tertentu dari struktur pasar seperti tingkat konsentrasi penjual dan menggunakan PCM sebagai indikator kinerja. Tetapi akan lebih baik bila memasukkan unsur-unsur struktur pasar yang lain dalam pengujian.

2.2.1. Struktur Pasar

Defenisi pasar adalah sebagai suatu kelompok penjual dan pembeli yang mempertukarkan barang yang dapat disubtitusikan. Kemampuan subtitusi barang merupakan kunci pokok sehingga ekonomi muncul sebagai daya tarik bagi pasar-pasar individu. Tiap pasar-pasar dibatasi oleh dua dimensi yaitu jenis produk dan daerah geografis (Jaya, 2001). Struktur pasar merupakan suatu variabel yang digunakan untuk menentukan perilaku perusahaan dan interaksi antara perilaku dan struktur pasar menentukan kinerja. Selanjutnya kinerja mempunyai pengaruh terhadap pembentukan struktur. Dalam struktur pasar selain memperhatikan jumlah perusahaan juga harus memperhatikan ukuran atau besaran distribusi dari perusahaan tersebut.

Secara teoritis struktur pasar dapat dibedakan menjadi dua yaitu persaingan sempurna dan persaingan tidak sempurna. Persaingan tidak sempurna dibedakan menjadi tiga yaitu persaingan monopoli, oligopoli dan monopolistik. Struktur pasar dapat dilihat dari tiga hal yaitu jumlah perusahaan, tipe produksi dan hambatan masuk (Hasibuan, 1994). Ringkasan tipe-tipe struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 2.1.


(46)

Tabel 2.1. Tipe-Tipe Struktur Pasar

Tipe Pasar Jumlah

Perusahaan Tipe Produksi

Hambatan Masuk 1. Persaingan Sempurna Banyak Homogen Bebas 2. Persaingan Tidak

Sempurna a.Persaingan Monopolistik b.Oligopoli c.Monopoli Banyak Sedikit

Satu atau kolusi

Diferensiasi Diferensiasi Diferensiasi Bebas Terbatas Sangat terbatas Sumber: Hasibuan, 1994

Dalam struktur pasar terdapat beberapa elemen-elemen yang termasuk didalamnya yaitu pangsa pasar, konsentrasi pasar dan hambatan-hambatan untuk masuk. Ketiga elemen tersebut akan dijelaskan lebih lanjut dibawah ini.

1. Pangsa Pasar (Market Share)

Pangsa pasar adalah perbandingan antara hasil penjualan suatu perusahaan dengan total penjualan industri. Setiap perusahaan memiliki pangsa pasarnya sendiri, dan besarnya berkisar antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Pangsa pasar mencerminkan proksi keuntungan bagi perusahaan karena pangsa pasar yang besar biasanya menandakan kekuatan pasar yang besar dalam menghadapi persaingan dan sebaliknya. Pangsa pasar dapat dihitung dengan beberapa cara yaitu berdasarkan nilai penjualan, unit penjualan, unit produksi dan kapasitas produksi. Pada produk yang bersifat homogen biasanya pangsa pasar diukur dengan menggunakan unit atau volume penjualan sedangkan pada pasar yang produknya heterogen pangsa pasar dihitung terhadap total penjualan. Beberapa tipe pasar dengan kondisi pangsa pasar dapat dilihat pada Tabel 2.2.


(47)

Tabel 2.2. Tipe-tipe Pasar

Tipe Pasar Kondisi Utama Contoh

Monopoli murni Suatu perusahaan yang memiliki 100 persen dari pangsa pasar.

PLN, TELKOM, PAM Perusahaan yang

dominan (dominant firm)

Suatu perusahaan yang memiliki 50-100 persen dari pangsa pasar dan tanpa pesaing yang kuat.

Surat kabar lokal atau nasional, film kodak, batu baterai.

Oligopoli ketat Penggabungan empat perusahaan

terbesar yang memiliki pangsa pasar 60-100 persen. Kesepakatan di antara mereka untuk menetapkan harga relatif mudah.

Bank-bank lokal, siaran TV, bola lampu, sabun, toko buku, rokok kretek dan semen.

Oligopoli longgar Penggabungan empat perusahaan terbesar yang memiliki 40-60 persen pangsa pasar, kesepakatan mereka untuk menetapkan harga sebenarnya tidak mungkin.

Kayu, perkakas rumah tangga, mesin-mesin kecil, perangkat keras, majalah, batu baterai, obat-obatan.

Persaingan monopolistik

Banyak pesaing yang efektif, tidak satu pun yang memiliki lebih dari 10 persen pangsa pasar.

Pedagang eceran, penjual pakaian Persaingan murni Lebih dari 50 persen pesaing yang

mana tidak satupun yang memiliki pangsa pasar yang berarti.

Sapi dan unggas

Sumber : Jaya, 2001

Shepherd (1992) menyatakan pangsa pasar yang mencapai 100 persen termasuk dalam monopoli murni, jika satu perusahaan mempunyai pangsa pasar lebih dari 40 persen dan tidak mempunyai pesaing yang berarti termasuk dalam perusahaan dominan. Jika pangsa pasar mencapai lebih dari 60 persen termasuk dalam oligopoli ketat. Semakin besar pangsa pasar maka semakin besar pula hak monopoli bagi perusahaan yang bersangkutan. Derajat kekuatan pasar pada umumnya akan muncul ketika pangsa pasar mencapai 15 persen, pada tingkatan yang lebih tinggi yaitu 25-30 persen derajat monopoli menjadi signifikan, dan pada tingkat 50-60 persen biasanya perusahaan mempunyai kekuatan pasar yang sangat besar. Kesuksesan perusahaan biasanya selain digambarkan oleh profit


(48)

tetapi juga oleh besarnya pangsa pasar. Secara umum terdapat hubungan yang positif antara pangsa pasar dan keuntungan (Yunianti, 2001).

2. Konsentrasi (Concentration)

Konsentrasi industri merupakan suatu variabel yang dapat diukur dan pada umumnya pengukuran ini lebih banyak dilakukan untuk derajat struktur oligopoli (Hasibuan, 1994). Konsentrasi sering digunakan sebagai ukuran tingkat persaingan. Konsentrasi juga sering dipakai sebagai alat analisis struktur pasar, perilaku dan kinerja perusahaan yang beroperasi di dalamnya dan secara tidak langsung menjadi indikator perilaku anti persaingan atau kolusi (Satriawan dan Wigati, 2002). Geroski (1991) mengungkapkan bahwa pesaing baru dalam industri atau pasar akan mengurangi konsentrasi pasar apabila ukuran perusahaan tersebut relatif sama besar dengan ukuran perusahaan-perusahaan yang ada di industri atau pasar tersebut. Keluarnya perusahaan dari suatu industri atau pasar akan meningkatkan konsentrasi apabila ukuran perusahaan yang keluar relatif kecil dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam industri tersebut.

Pengukuran konsentrasi tersebut dapat memperlihatkan perubahan-perubahan namun perubahan-perubahan tersebut kurang terlihat dalam jangka pendek. Menurut Shepherd dalam Yunianti (2001) mengemukakan bahwa konsentrasi adalah penjumlahan pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan terbesar yang sering diukur pada empat perusahaan terbesar. Nilai konsentrasi pasar dapat menunjukkan derajat oligopoli. Studi empiris yang dilakukan oleh Bain menunjukkan adanya hubungan positif antara kondisi entry dan konsentrasi pasar terhadap kekuatan pasar dimana semakin tinggi konsentrasi pasar dan semakin


(49)

sulit suatu industri baru untuk memasuki pasar maka kekuatan pasar akan semakin tinggi.

Greer dalam Hasibuan (1994) menjelaskan bahwa ada empat sebab pokok adanya konsentrasi, yakni pertama, nasib baik (luck); kedua, sebab teknis; ketiga, karena kebijaksanaan pemerintah; dan keempat, kebutuhan bisnis, sehingga ada kebijaksanaan perusahaan untuk mengambil keputusan tertentu. Bird (1999) menyatakan hipotesis konsentrasi-kolusi bahwa industri dengan jumlah perusahaan sedikit dan rasio konsentrasi empat perusahaan (CR4, merupakan pangsa pasar empat perusahaan terbesar) di atas 75 persen mempunyai masalah dengan persaingan dibanding industri dengan jumlah perusahaan yang lebih banyak dan konsentrasi dibawah 50 persen.

Konsentrasi dapat diukur dengan menggunakan indeks konsentrasi yaitu statistik yang dikembangkan untuk menghasilkan ukuran ringkasan struktur pasar. Ukuran pasar konsentrasi yang umumnya digunakan adalah persentase dari seluruh jumlah pengiriman yang dipasok oleh empat perusahaan terbesar. Ukuran lain adalah Hirschmann-Herfindahl Index (HHI) yang menimbang pangsa pasar rata-rata dari semua perusahaan dalam sebuah industri (Asian Development Bank, 2001). Indeks konsentrasi memiliki kelemahan yaitu ketidakmampuan untuk menunjukkan atau memberikan gambaran ukuran atau kontribusi dari masing-masing perusahaan di pasar. Walters dalam Yunianti (2001) menyatakan bahwa indeks konsentrasi mempunyai kelemahan dari perhitungan konsentrasi adalah bahwa nilai konsentrasi (CR) tidak dapat menunjukkan tentang kondisi potensial


(50)

dari entry. Pengukuran-pengukuran konsentrasi perusahaan dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Pengukuran-Pengukuran Konsentrasi Perusahaan

Pengukuran Rumusρ

Rasio konsentrasi

CR =

= n i i MS 1 Indeks Hirshcman-Herfindahl

H =

2

= n i MSi 1 Indeks Rosenbluth R =

= n i pi i 1 ) . 2 ( 1 -1 Indeks Entrophy

E = . log( 1) 1

= n i pi i p

Sumber: Jaya, 2001

Dimana : Msi = jumlah perusahaan terbesar i

ρ = pangsa pasar perusahaan ke-i (%) n = jumlah perusahaan terbesar

Menurut Martin dalam Yunianti (2001) menyatakan bahwa apabila empat perusahan terbesar menguasai 40 persen atau lebih terhadap total penjualan termasuk ke dalam pasar oligopoli.

Pengukuran indeks konsentrasi :

a. Rasio Konsentrasi yang standar memerlukan data mengenai ukuran pasar secara keseluruhan dan ukuran perusahaan-perusahaan yang memimpin dalam pasar.

b. Indeks Hirschman-Herfindahl merupakan penjumlahan kuadrat pangsa pasar semua perusahaan dalam suatu industri.

c. Indeks Rosenbluth didasarkan pada peringkat setiap perusahaan dan pangsa pasarnya.


(51)

d. Indeks Entropy mengukur semua pangsa pasar semua perusahaan dalam industri.

Teori ekonomi memperkirakan bahwa kekuatan pasar lebih berlaku dalam pasar yang menunjukkan tingkat konsentrasi yang tinggi. Kekuatan perusahaan dicerminkan oleh sedikitnya perusahaan yang menguasi pasar atau adanya perusahaan dominan dalam suatu industri.

3. Hambatan Untuk Masuk (Barrier To Entry)

Menurut Asian Development Bank (2001) barrier to entry dapat didefenisikan sebagai setiap bentuk karakteristik pasar yang menghambat pendatang (entrant) baru untuk bersaing atas dasar yang sama dengan perusahaan yang sudah ada. Dalam defenisi ini, kombinasi biaya yang hilang (sunk cost) dan skala ekonomi dapat menjadi barrier to entry.

Menurut Bain (1956) penentu utama kondisi entry adalah skala ekonomi yang besar, diferensiasi produk dan keuntungan biaya absolut antara perusahaan yang ada dengan yang baru. Kondisi entry sangat menentukan degree of competition baik yang aktual maupun yang potensial sehingga dapat diduga mempengaruhi kinerja dan struktur. Pesaing potensial adalah perusahaan-perusahaan di luar pasar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesaing yang sebenarnya (Jaya, 2001).

Menurut Geroski dalam Satriawan dan Wigati, 2002 entry dapat didefenisikan sebagai:


(52)

(2) entry ditandai dengan didirikannya perusahaan baru dalam satu industri yang serupa oleh perusahaan yang masih beroperasi dalam industri tersebut;

(3) pengambilalihan (akuisisi) suatu perusahaan oleh perusahaan lain satu lingkup industri;

(4) penggabungan beberapa macam produk oleh perusahaan yang masih beroperasi dalam industri tersebut sehingga menciptakan pangsa pasar baru; (5) masuknya perusahaan yang dimiliki oleh pemodal asing ke industri dalam

negeri.

Weiss (1965) mendefenisikan entry mencakup dua hal yaitu nama perusahaan baru dan terdapat bangunan baru dalam suatu industri. Sedangkan Besanko et al. (1996) menyatakan bahwa entry dapat didefenisikan sebagai masuknya suatu produk baru jasa baru yang ditawarkan oleh perusahaan telah atau baru beroperasi ke dalam suatu pasar atau industri.

Ada beberapa hal umum mengenai hambatan masuk pasar yang harus diketahui. Pertama, hambatan-hambatan yang timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak hanya dalam bentuk perangkat legal maupun kondisi yang dapat berubah dengan cepat. Kedua, hambatan dibagi mulai dari tingkatan tanpa hambatan sama sekali seperti pasar persaingan sempurna, hambatan rendah, hambatan sedang, sampai hambatan tingkat tinggi dimana tidak ada lagi jalan untuk masuk pasar, seperti pada pasar dimana terdapat perusahaan yang menjadi monopolis. Ketiga, hambatan merupakan sesuatu yang kompleks. Peranan hambatan untuk masuk suatu pasar masih diperdebatkan. Beberapa ahli ekonomi memandangnya sebagai suatu yang penting. Tetapi pandangan utama saat ini


(53)

menyatakan rintangan-rintangan dan pesaing baru merupakan hal kedua yang mungkin memodifikasi pengaruh pangsa pasar dan pemusatan. Hanya dalam kasus tertentu pesaing yang potensial menguasai pasar.

Shepherd dalam Juwita (2004) membagi hambatan untuk masuk menjadi dua jenis, yaitu : hambatan eksogen dan hambatan endogen.

1). Hambatan Eksogen

Hambatan untuk masuk ke dalam pasar yang sifatnya berada diluar kontrol dari leading firms dan merupakan suatu penyebab fundamental yang tidak dapat diubah.

(a). Capital (Modal)

Perusahaan yang dominan dan ukurannya lebih besar akan memperoleh keuntungan berupa biaya yang murah dan persediaan modal yang cukup. Hal ini akan menjadi hambatan untuk masuk bagi industri yang bersifat padat modal (capital intensive).

(b). Skala Ekonomi

Skala ekonomi yang besar akan membuka pendatang baru untuk berproduksi pada tingkat yang sama. Penambahan output oleh perusahaan baru mungkin relatif lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah permintaannya. Akibatnya harga produk akan jatuh, bahkan mungkin jatuh dibawah kurva biaya perusahaan baru tersebut. Jadi, tidak ada tempat bagi perusahaan baru selama perusahaan lama dapat memenuhi jumlah permintaan yang efisien.


(54)

(c). Diferensiasi Produk

Diferensiasi produk muncul karena strategi periklanan dan pemasaran yang bertujuan untuk memberikan pilihan bagi konsumen terhadap produk (merek) tertentu.

(d). Diversifikasi

Perusahaan yang melakukan diversifikasi dapat melimpahkan sumber daya yang berlebih pada setiap cabang untuk mencegah masuknya pendatang baru. (e). Intensitas Penelitian dan Pengembangan

Pendatang baru yang ingin berpartisipasi dalam pasar yang mengandalkan keunggulan teknologi memerlukan biaya penelitian dan pengembangan yang besar.

(f). High Durability of Firm Specific Capital

Sunk cost adalah investasi yang dikeluarkan oleh investor yang tidak memiliki kegunaan lain selain untuk proyek tersebut, atau dimana investasi tersebut tidak dapat dijual kembali untuk kegiatan industri lain. Sunk cost yang besar akan mengurangi keinginan dari pendatang baru untuk masuk ke dalam pasar karena resiko yang terlalu besar.

(g). Integrasi Vertikal

Jika integrasi vertikal efisien, pesaing harus masuk dalam dua tingkatan atau lebih agar dapat menyesuaikan dengan struktur biaya perusahaan lama. Hal ini membutuhkan banyak modal, penelitian dan pengembangan yang sering menaikkan resiko.


(55)

2). Hambatan Endogen

Termasuk ke dalam hambatan endogen antara lain kebijakan harga dari establish firm, penciptaan kelebihan kapasitas, image dari loyalitas merk suatu produk, strategi penguasaan produk, strategi bahan baku.

Peranan hambatan untuk masuk suatu pasar masih diperdebatkan (Jaya, 2001). Apabila ada kebebasan keluar-masuk, akan sulit untuk menyingkirkan perusahaan-perusahaan dalam industri terutama harga di atas biaya marjinal dan tingkat keuntungan. Adanya keuntungan yang dihasilkan dengan persaingan non-harga, tanpa hambatan sama sekali, bebas masuk, yang mana akan terus berlanjut sampai tingkat keuntungan menurun.

2.2.2. Perilaku Pasar

Perilaku pasar merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan perusahaan untuk mencapai tujuan tertentu. Scherer (1990) menyatakan terdapat tiga kriteria untuk melihat perilaku industri yaitu strategi harga, kondisi entry dan tipe produk. Martin dalam Yunianti (2001) menyatakan bahwa perilaku strategis perusahaan hanya ada pada pasar oligopoli. Perilaku industri dapat dilihat pada strategis perusahaan dalam mementukan jumlah dominasi output, penentuan harga, advertensi, pemilihan teknologi, kegiatan dalam pasar dan juga dalam kebijakan produk. Sedangkan menurut Jaya (2001) pada perusahaan ada beberapa perilaku yang terjadi antara lain penetapan harga, strategi produksi, kolusi dan penawaran vertikal.

Salah satu contoh nyata perilaku yang terjadi di perekonomian Indonesia adalah oligopoli. Perilaku oligopoli merupakan suatu fenomena yang rumit,


(56)

namun peranan oligopoli dalam pasar-pasar riil umumnya tidak terlalu besar (Jaya, 2001). Perilaku perusahaan dalam oligopoli memiliki beberapa kemungkinan. Pertama, dalam suatu industri yang bersifat oligopoli, perusahaan-perusahaan akan menempatkan diri dalam kerjasama rapi yang bertindak sebagai perusahaan monopoli dengan menetapkan harga jual yang tinggi dan sedikit inovasi. Kedua, perusahaan-perusahaan akan terlibat dalam perang harga dan inovasi tiada henti. Sedangkan kemungkinan yang ketiga adalah perusahaan-perusahaan tersebut berada diantara kedua kemungkinan pertama dan kedua.

Perilaku perusahaan-perusahaan juga mengenal adanya integrasi vertikal, merger. Integrasi vertikal dapat menimbulkan ekonomisasi dan berdampak anti persaingan. Merger vertikal dan peraturan vertikal dalam pasar termasuk pemeliharaan harga penjualan kembali yang merupakan isu persaingan. Alasan-alasan untuk melakukan integrasi vertikal dan merger antara lain adalah untuk meningkatkan pangsa pasar, pertumbuhan, mendapatkan laba yang lebih tinggi, efisiensi dan juga untuk mengurangi ketidakpastian usaha. Integrasi dan konglomerasi termasuk dalam kegiatan merger (Hasibuan, 1994).

1. Integrasi Vertikal

Hasibuan (1994) mendefenisikan integrasi vertikal adalah penggabungan perusahaan-perusahaan yang mempunyai kelanjutan proses produksi. Jenis integrasi juga dapat dibagi dua, yakni integrasi ke hulu (up stream) dan integrasi ke hilir (down stream). Perusahaan yang menerapkan strategi integrasi vertikal ke hulu (up stream) adalah perusahaan yang memproduksi sendiri input yang dibutuhkannya. Sedangkan integrasi vertikal ke hilir (down stream) adalah


(57)

perusahaan yang memutuskan untuk menyalurkan output yang dihasilkan kepada konsumen melalui perusahaan yang terintegrasi dengannya.

Jaya (2001) menyatakan bahwa integrasi vertikal diluar dugaan sulit diukur, salah satu metodenya adalah menghitung tahap-tahap produksi semakin banyak tahapan yang dicakup, semakin besar integrasinya.

2. Merger

Secara umum kegiatan integrasi dapat temasuk dalam merger, tetapi dengan syarat ada keterkaitan dalam kelanjutan proses produksi. Pengertian merger lebih luas yaitu satu atau lebih perusahaan yang tidak sejenis dan juga tidak ada kaitan kelanjutan proses produksi dapat melakukan penggabungan (Hasibuan, 1994).

Efek-efek dari merger-merger vertikal adalah keseimbangan antara dua hal:

2. Penghematan bersih yang diperoleh dengan merger yang tidak dapat diperoleh dengan pertumbuhan langsung atau kontrak jangka panjang,

3. Efek-efek antikompetitif yang dapat terjadi seperti meningkatkan halangan memasuki pasar.

Pada kenyataannya pangsa pasar yang tinggi menimbulkan anggapan bahwa biaya-biaya sosial dari merger vertikal melebihi keuntungan. Ketidakseimbangan biasanya tidak begitu besar dan beberapa kasus tertentu akan condong ke arah lain, belum ada cara pengukuran keseimbangan tersebut dan karenanya tingkat-tingkat permulaan pada pangsa pasar hanya dapat diperkirakan. Konsensus diantara para ahli mungkin berada dalam batas 15 persen sampai 30


(58)

persen pangsa pasar untuk kedua perusahaan. Batasan-batasan antitrust yang terjadi saat ini berkisar antara 10 persen sampai 20 persen, merger vertikal antara dua perusahaan dengan pangsa pasar 20 persen akan ditentang dan pada akhirnya tidak diperbolehkan (Jaya, 2001).

2.2.3. Kinerja Pasar

Setiap perusahaan pasti akan mempunyai tujuan untuk menguasai pasar, tujuan itu yang disebut dengan kinerja. Kinerja secara lebih rinci dapat dilihat dari laba, efisiensi, pertumbuhan (termasuk perluasan pasar), kesempatan kerja, prestise profesional, kesejahteraan personalia, dan juga kebanggaan kelompok. Kinerja tergabung antara kinerja ekonomi dan non ekonomi (Hasibuan, 1994). Kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek, namun biasanya dipusatkan pada tiga aspek pokok yaitu, efisiensi, kemajuan teknologi, dan keseimbangan dalam distribusi (Jaya, 2001).

Daryanto (2004) mengungkapkan yang dimaksud dengan kinerja adalah: 1. Apakah perusahaan-perusahaan meningkatkan kesejahteraan ekonomi?

2. Apakah mereka bekerja secara efisien, menghindari pemborosan faktor-faktor produksi yang langka sifatnya?

3. Apakah alokasi faktor-faktor produksi telah efisien secara ekonomis?

4. Apakah perusahaan-perusahaan secara efektif meningkatkan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi?

Ada beberapa pertimbangan yang digunakan untuk menjadikan perusahaan tertentu mempunyai kinerja yang baik sebagai barometer harga. Pertama, jika terjadi persaingan yang kurang sehat dalam suatu industri oligopoli. Kedua, dapat


(59)

mengurangi kerja administrasi, karena perhitungan ongkos-ongkos yang berulang-ulang. Ketiga, perusahaan yang menjadi barometer itu telah menunjukkan prestasi yang bagus, yang hampir tidak meleset ramalan-ramalannya (Hasibuan, 1994). Menurut Jaya (2001) dalam kinerja pasar terdapat konsekuensi dan kekuatan pasar yaitu kemampuan perusahaan-perusahaan untuk mempengaruhi harga produk-produk yang mereka jual kepada konsumen. Pada kenyataannya kekuatan pasar dapat mempengaruhi secara mencolok terhadap harga, keuntungan, inovasi, keadilan dan nilai-nilai lainnya. Dalam kinerja juga memperhatikan pertumbuhan dan kelayakan hal ini dikarenakan pertumbuhan dan kelayakan membutuhkan suatu usaha yang cermat, menunjukkan bagian-bagiannya dan kemungkinan pengaruh-pengaruh monopoli yang ditimbulkannya.

2.3. Deskripsi Produk Mi Instan

Berdasarkan kondisi sebelum dikonsumsi, mi dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok, yaitu mi basah (boiled noodle), mi kering (steam and fried noodle), mi mentah (raw chinese noodle) serta mi instan (instan noodle).

Mi adalah produk makanan setengah jadi yang terbuat dari campuran tepung terigu berkadar protein tinggi dengan bahan tambahan lain seperti air, telur, bumbu tertentu, pewarna makanan dan bahan pengawet makanan. Berkembangnya teknologi pangan berpengaruh juga terhadap produk mi yang dihasilkan dan dijual di pasaran. Sekarang ini mi tidak hanya terbuat dari tepung terigu saja, tetapi mi dapat juga dibuat dari berbagai jenis tepung biji-bijian.

Mi basah adalah mi yang biasa dijual di pasar tradisional dan supermarket. Mi basah biasanya berwarna kuning segar, memiliki tekstur kenyal dan aromanya


(60)

khas. Pembuatan mi basah dapat dilakukan sendiri di rumah dengan menggunakan alat khusus untuk membuat mi. Perbedaan mi basah dengan mi instan adalah digunakannya minyak goreng dalam proses pembuatan mi basah yang berfungsi untuk melembabkan mi, sedangkan mi instan dibuat dengan melalui beberapa proses dalam pabrik sehingga mempunyai rasa dan bentuk yang lebih tahan lama.

Mi instan adalah mi kering buatan pabrik. Mi ini hanya bisa diproduksi oleh pabrik karena proses pengeringannya menggunakan alat pengering tertentu. Mi instan buatan pabrik dijual dalam berbagai kemasan menarik. Ada yang masih perlu pengolahan tertentu, tapi ada juga yang tinggal ditambah air panas dan siap dikonsumsi.

Mi instan secara umum adalah sejenis makanan berbentuk pasta yang bahan bakunya berasal dari tepung terigu yang diolah dengan merebus dalam air panas yang kemudian diberi bumbu sesuai dengan selera yang ada dalam kemasannya untuk siap disantap (Corinthian Infopharma Corpora, 2004).

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3551-2000 yang dikeluarkan oleh Dewan Standarisasi Nasional, mi instan (instan noodle) didefinisikan sebagai mi yang dibuat dari adonan tepung terigu atau tepung beras atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lainnya, dapat diberi perlakuan dengan bahan alkali. Proses pregelatinisasi dilakukan sebelum mi dikeringkan dengan proses penggorengan atau proses dehidrasi lainnya (Corinthian Infopharma Corpora, 2004).

Mi instan disini adalah mi yang bermerek (branded) yang berbentuk pasta diolah dari tepung terigu dan biasanya dikemas sedemikian rupa dengan plastik,


(61)

aluminium foil, cup, box dan sebagainya. Instan sendiri dicirikan dengan adanya penambahan bumbu dan memerlukan proses rehydrasi untuk siap dikonsumsi (Corinthian Infopharma Corpora, 2004).

Mi instan terbuat dari tiga bahan baku yaitu tepung terigu, minyak sayur, dan bumbu penyedap (seasoning). Secara sederhana proses pembuatan mi instan diawali dengan menyediakan bahan baku yang akan digunakan, kemudian dilakukan proses pencampuran antara air, bahan baku yang akan digunakan kemudian dilakukan proses pencampuran antara air, bahan baku utama dan bahan baku tambahan yang bertujuan untuk membentuk tekstur (mixing). Selanjutnya dilakukan pessing, yaitu proses yang menghasilkan lembaran-lembaran untaian mi dan siap untuk pengukusan (steaming). Pengukusan dilakukan untuk membunuh bakteri dan merupakan proses yang menentukan tekstur mi. Setelah itu dilakukan proses pemotongan dan siap untuk proses penggorengan (cutting). Proses selanjutnya adalah pendinginan untuk kemudian siap dikemas (cooling), yang berfungsi untuk melindungi produk dari pengaruh luar (Corinthian Infopharma Corpora, 2004).

Defenisi mi instan menurut Japan Agricultural Standards (JAS) adalah mi instan dibuat dari bahan tepung beras atau tepung gandum yang diberi tambahan bumbu atau rempah-rempah. Mi diproses sedemikian rupa untuk meningkatkan elastisitas dan viskositas, kemudian mi didehidrasikan, ditambahkan aroma kemudian mi instan siap diolah. JAS mengklasifikasikan mi instan menurut wadah, pengemasan, rasa dan pembuatan dimana pada dasarnya mi instan dibagi


(1)

Lampiran 6. Nilai Produktivitas Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003)

Keterangan: Tahun Dasar 1993 (1993=100) Sumber: Badan Pusat Statistik, 1986-2003, diolah

Tahun Nilai Output (000 Rp)

Nilai Input Tenaga Kerja (000 Rp)

Produktivitas (%)

1986 77753194 6989042 11.13

1987 85194307 7428701 11.47

1988 84834528 6666410 12.73

1989 174015019 14488762 12.01

1990 233477659 16518707 14.13

1991 356442815 63512531 5.61

1992 479378711 30507646 15.71

1993 1014085032 41039459 24.71

1994 896117268 53141704 16.86

1995 1043282092 115277987 9.05

1996 1373373532 111239016 12.35

1997 817865663 59025548 13.86

1998 1885887653 21262216 88.70

1999 1584943654 55606842 28.50

2000 1747393553 732127237 2.39

2001 1536891036 70233935 21.88

2002 1655551529 87251603 18.97


(2)

Lampiran 7. Trend Permintaan Mi Instan Dunia

*Perkiraan tahun 2003 direvisi. **Italia, Spanyol, dll.

Sumber : Japan Agricultural Standards. 2006

No. Negara 2001 2002 2003 2004

1 Cina, Hong Kong 212.0 231.0 320.0 390.0

2 Indonesia 99.0 109.0 112.0 120.1

3 Jepang 53.5 52.7 54.0 55.4

4 Amerika Serikat 30.0 33.0 37.8 38.0

5 Korea Selatan 36.4 36.5 36.0 36.5

6 Filipina 18.0 20.0 22.0 25.0

7 Vietnam 11.4 17.0 23.0 24.8

8 Thailand 16.5 17.0 17.2 17.8

9 Rusia 6.0 15.0 15.0 15.2

10 Brazil 10.4 11.9 11.1 11.5

11 Mexico 5.3 6.4 7.5 10.0

12 Taiwan 9.0 9.4 10.0 9.5

13 Malaysia 5.8 7.4 8.2 8.7

14 Saudi Arabia, UAE 0.6 0.6 0.6 5.0

14 Nigeria 5.0

16 India 1.8 2.3 3.0 4.3

17 Inggris 2.3 2.5 2.6 2.6

18 Polandia, Hungaria, Czech 1.6 2.0 2.2 2.3

19 Kanada 1.5 1.5 1.5 1.8

20 Kamboja 1.3 1.3 1.3 1.7

21 Australia 1.5 1.5 1.5 1.5

22 Jerman 1.4 1.4 1.4 1.4

23 Singapura 1.2 1.2 1.2 1.2

24 Fiji and outskirt islands 0.8 0.8 0.8 0.8

25 Myanmar 0.7 0.7 0.7 0.7

25 Nepal 0.7 0.7 0.7 0.7

27 Afrika Selatan 0.5 0.5 0.5 0.5

28 New Zealand 0.4 0.4 0.4 0.4

29 Perancis 0.35 0.35 0.4 0.4

30 Norwegia, Finlandia, Swedia, Denmark 0.3 0.3 0.3 0.3

31 Netherlands 0.3 0.3 0.3 0.3

32 Peru 0.1 0.2 0.2 0.2

33 Belgia 0.1 0.1 0.1 0.1

34 Lainnya** 2.0 2.0 2.0 2.0


(3)

Lampiran 8. Hasil Estimasi Regresi Industri Mi Instan

Uji Akar Unit (

Unit Root Test

)

Null Hypothesis: PCM has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.018147 0.0077 Test critical values: 1% level -3.886751

5% level -3.052169

10% level -2.666593

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: D(CR4) has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -14.81561 0.0000 Test critical values: 1% level -4.297073

5% level -3.212696

10% level -2.747676

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: XEFF has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.168686 0.0402 Test critical values: 1% level -3.886751

5% level -3.052169

10% level -2.666593

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: D(PRODUKTIVITAS,2) has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -27.83648 0.0001 Test critical values: 1% level -4.420595

5% level -3.259808

10% level -2.771129


(4)

Uji Autokolerasi

Uji Heteroskedastisitas

Null Hypothesis: LXPOR has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.996492 0.0554 Test critical values: 1% level -3.886751

5% level -3.052169

10% level -2.666593

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: D(LIMPOR) has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.973850 0.0016 Test critical values: 1% level -3.959148

5% level -3.081002

10% level -2.681330

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: GRS has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.087346 0.0574 Test critical values: 1% level -4.200056

5% level -3.175352

10% level -2.728985

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.127776 Probability 0.882834 Obs*R-squared 0.729378 Probability 0.694413

White Heteroskedasticity Test:


(5)

Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen

Uji Stasioneritas

Hasil Estimasi Regresi

D(CR4) XEFF D(PROD,2) D(PROD

(-1),2) XPOR D(LIMPOR) GRS

D(CR4) 1.000000 -0.225702 0.087977 0.108234 -0.145939 0.084288 0.541802 XEFF -0.225702 1.000000 0.246341 -0.073276 -0.053333 -0.357949 -0.380939 D(PROD,2) 0.087977 0.246341 1.000000 -0.512100 0.068384 -0.099889 0.033702

D(PROD (-1),2)

0.108234 -0.073276 -0.512100 1.000000 -0.098078 -0.310727 0.105764 XPOR -0.145939 -0.053333 0.068384 -0.098078 1.000000 0.180454 -0.192395 D(LIMPOR) 0.084288 -0.357949 -0.099889 -0.310727 0.180454 1.000000 0.152505 GRS 0.541802 -0.380939 0.033702 0.105764 -0.192395 0.152505 1.000000

Variabel Tingkat

Kestasioneran

PCM

level

CR4

first difference

XEFF

level

PROD

second difference

LX

level

LM

first difference

GRS

level

Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 03/28/06 Time: 16:10 Sample(adjusted): 1989 2003

Included observations: 15 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(CR4) -0.150710 0.109995 -1.370157 0.2130

XEFF 0.416685 0.116016 3.591617 0.0088

D(PRODUKTIVITAS,2) 0.093031 0.045660 2.037464 0.0810 D(PRODUKTIVITAS(-1),2) 0.228412 0.046827 4.877785 0.0018

XPOR -0.004662 0.053339 -0.087394 0.9328

D(LIMPOR) -3.549973 4.600581 -0.771636 0.4656

GRS 0.924177 0.391593 2.360044 0.0503

C 4.808103 7.401131 0.649644 0.5366

R-squared 0.897155 Mean dependent var 27.37667 Adjusted R-squared 0.794310 S.D. dependent var 12.95437 S.E. of regression 5.875211 Akaike info criterion 6.683888 Sum squared resid 241.6267 Schwarz criterion 7.061514 Log likelihood -42.12916 F-statistic 8.723350


(6)

Nilai Variabel Endogen dan Eksogen

Sumber : BPS, 1986-2003, diolah.

Obs PCM CR4 XEFF PRODUKTIVITAS EXPOR IMPOR GRS

1986 26.69000 44.43000 55.10000 11.13000 0.290000 0.250000 171.2700

1987 21.46000 44.91000 42.75000 11.47000 0.800000 0.200000 0.100000

1988 21.25000 46.21000 40.05000 12.73000 3.780000 0.140000 0.000000

1989 11.24000 68.41000 24.26000 12.01000 3.430000 0.310000 1.050000

1990 19.81000 57.64000 36.80000 14.13000 6.780000 0.300000 0.340000

1991 22.31000 69.74000 66.54000 5.610000 10.15000 0.400000 0.530000

1992 38.25000 67.16000 80.06000 15.71000 12.45000 0.540000 0.340000

1993 34.31000 96.13000 31.14000 24.71000 18.43000 0.960000 20.16000

1994 32.15000 47.05000 55.98000 16.86000 20.76000 1.430000 -0.910000

1995 26.54000 41.41000 54.76000 9.050000 26.15000 1.430000 0.160000

1996 35.17000 46.92000 66.77000 12.35000 46.90000 1.750000 0.320000

1997 33.62000 45.46000 59.86000 13.86000 20.04000 3.480000 -0.400000

1998 44.98000 50.93000 73.11000 88.70000 12.50000 1.510000 1.310000

1999 32.27000 50.09000 55.45000 28.50000 36.09000 1.580000 -0.160000

2000 -7.060000 43.82000 53.61000 2.390000 71.09000 3.890000 0.100000

2001 39.90000 41.60000 64.18000 21.88000 90.06000 5.980000 -0.120000

2002 21.21000 34.79000 35.53000 18.97000 83.48000 7.410000 0.080000