Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan sumberdaya alam, terutama dari hasil pertanian. Sektor pertanian menjadi sektor penting sebagai penyedia input bagi sektor lain, sehingga sektor pertanian dikatakan berpengaruh dalam struktur perekonomian Indonesia. Seiring dengan berkembangnya perekonomian bangsa, maka Indonesia mulai mencanangkan masa depan menuju era industrialisasi, dengan pertimbangan sektor pertanian akan semakin kuat.
Sektor perkebunan merupakan bagian dari sektor pertanian yang dianggap pertumbuhannya paling konsisten jika dilihat dari hasil produksi, luas areal lahan, dan produktivitasnya. Sektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah yang tercermin dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB). Berdasarkan harga yang berlaku, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang dimana penyediaan lapangan kerja merupakan masalah yang mendesak, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan. Menurut BPS (2011), tanaman perkebunan Indonesia mampu menghasilkan 153 884.70 miliar rupiah terhadap PDB Indonesia, sedangkan untuk tenaga kerja sektor ini mampu menyerap 39 328 915 tenaga kerja.
Beberapa komoditas perkebunan yang dianggap penting di Indonesia, seperti: karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kakao, teh, dan tebu merupakan komoditas unggulan yang menyumbang devisa bagi negara secara rutin. Kelapa sawit, karet dan kakao tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan tanaman
(2)
perkebunan lainnya dengan laju pertumbuhan lebih dari lima persen per tahun. Pertumbuhan yang pesat dari ketiga komoditas tersebut pada umumnya berkaitan dengan tingkat keuntungan pengusahaan komoditas tersebut relatif lebih baik dan juga kebijakan pemerintah untuk mendorong perluasan areal komoditas tersebut guna meningkatkan jumlah produksi.
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang memegang peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia, yakni sebagai penghasil devisa negara, penyedia lapangan kerja, mendorong pengembangan agribisnis dan agroindustri, karena kakao dianggap sebagai salah satu komoditas unggulan subsektor perkebunan dari 15 komoditas unggulan nasional yang dicanangkan untuk dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia karena ekspor kakao Indonesia mampu membantu untuk meningkatkan devisa Indonesia, hal ini dibuktikan dengan mampunya kakao sebagai penyumbang devisa Indonesia peringkat keempat setelah kelapa sawit, karet, dan kelapa. Indonesia yang juga dikenal sebagai negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia turut berperan aktif dalam ekspor komoditas kakao dunia karena Indonesia menyumbang sebesar 15 persen kakao untuk dunia. (Direktorat Jendral Perkebunan , 2010).
Indonesia sebagai negara pengekspor dituntut untuk meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan pasar internasional sehingga sering mengesampingkan permintaan dalam negeri sendiri. Konsumsi kakao dalam negeri hanya berkisar sepertiga dari total produksi kakao Indonesia. (Direktorat Jendral Perkebunan, 2010).
Kakao merupakan komoditas yang paling banyak dikelola oleh rakyat, pada periode 1987-2009, luas areal kakao PR bertambah dengan laju rata-rata sebesar
(3)
39.46 persen per tahun sedangkan pada tahun 1967-1986 rata-rata pertumbuhan luas areal kakao PR hanya sebesar 21.56 persen per tahun. Sebaliknya luas areal kakao PBN dan PBS tidak mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama periode 1987-2009, namun cukup besar peningkatannya pada periode sebelumnya yakni pada tahun 1967-1986 yang mana besarnya masing-masing adalah 23.59 persen dan 37.97 persen.
Tabel 1 akan menunjukkan bahwa periode empat tahun terakhir yakni 2005-2008, luas areal kakao PR dan PBN mengalami peningkatan masing-masing sebesar 7.14 persen dan 11.06 persen, sementara luas areal kakao PBS relatif tidak mengalami peningkatan luas areal yaitu sebesar 0.36 persen
Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Kakao Indonesia Menurut Status Penguasaannya Tahun 2005-2008
Tahun PR PBN PBS Total
Luas (Ha) Growth (%) Luas (Ha) Growth (%) Luas (Ha) Growth (%) Luas (Ha) Growth (%)
2005 1 081 102 - 38 295 - 47 649 - 1 167 046
-2006 1 219 633 12.81 48 930 27.77 52 257 9.67 1 320 820 13.18 2007 1 272 782 4.36 57 343 17.19 49 155 (5.94) 1 379 279 4.43 2008 1 326 784 4.24 50 584 (11.79) 47 848 (2.66) 1 425 216 3.33 2009* 1 372 705 3.46 55 165 9.06 47 473 (0.78) 1 475 343 3.52
Rata-rata 6.22 10.56 0.07 6.11
Keterangan: * = angka sementara
Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2010
Seiring dengan perkembangan luas areal maka produksi kakao Indonesia juga terus mengalami peningkatan dari tahun 1967-2009 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 18.15 persen. Peningkatan produksi yang cukup signifikan terjadi pada PR periode 1987-2009 hingga mencapai 90.19 persen. Sementara itu, produksi kakao untuk PBN dan PBS juga terus mengalami peningkatan walaupun dalam kuantitas yang relatif kecil. Berikut ini produksi kakao periode 2000-2009 akan disajikan dalam tabel 2.
(4)
Tabel 2. Produksi kakao di Indonesia Menurut Status Pengusahaan Tahun 2000-2009
Tahun PR PBN PBS
2000 363628 34790 22724
2001 476924 33905 25975
2002 511379 34083 25693
2003 634877 32075 31864
2004 636783 25830 29091
2005 693701 25494 29633
2006 702207 33795 33384
2007 671370 34643 33993
2008 740681 31130 31783
2009* 694783 32588 31070
Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2010
Tingginya permintaan kakao turut meningkatkan konsumsi kakao di Indonesia. Menurut BPS (2010), konsumsi kakao Indonesia dibedakan atas konsumsi cokelat instan dan cokelat bubuk. Perkembangan konsumsi kedua jenis cokelat tersebut dari tahun 1981-2008 relatif berfluktuatif namun cenderung mengalami peningkatan yaitu masing-masing sebesar 35.71 persen untuk konsumsi cokelat instan dan 17.31 persen untuk konsumsi cokelat bubuk. Konsumsi cokelat bubuk sangat berfluktuasi dan tertinggi terjadi pada tahun 1996 yang mencapai 20.8 gr/kapita. Perkembangan konsumsi cokelat instan juga berfluktuasi dan cenderung meningkat sejak tahun 2004, hingga pada akhirnya tahun 2005 mencapai 31.2 gr/kapita, kemudian sejak tahun 2006 konsumsi cokelat instan berfluktuasi cenderung menurun hingga pada tahun 2008 hanya mencapai 23.4 gr/kapita. Pada tabel 3akan ditunjukkan besarnya konsumsi cokelat instan dan cokelat bubuk masyarakat Indonesia dari tahun 1981 hingga tahun 2008.
(5)
Cokelat Instan Cokelat Bubuk
Tahun Konsumsi Pertumbuhan Konsumsi Pertumbuhan
(gr/ kapita) (%) (gr/ kapita) (%)
1981 - - 10.4
-1984 - - 5.2 -50
1987 - - 5.2 0
1990 - - 5.2 0
1993 - - 10.4 100
1996 - - 20.8 100
1999 7.8 - 5.2 -75
2002 15.6 100 10.4 100
2003 7.8 -50 5.2 -50
2004 15.6 100 10.4 100
2005 31.2 100 10.4 0
2006 15.6 -50 10.4 0
2007 23.4 50 10.4 0
2008 23.4 0 10.4 0
Rata-rata 35.71 17.31
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 H ar ga d om es ti k ( R p )
(6)
Disisi lain, pada kenyataannya harga kakao ini masih dianggap rendah dibanding komoditas sawit dan karet, sehingga banyak perkebunana kakao yang dikonversi menjadi sawit maupun karet. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa butuh adanya perbaikan kinerja industri pada kakao. Menurut Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditas (Bappebti, 2011), harga kakao pada tahun 2011 menurun dari tahun 2010 yaitu dari 3 400 dolar AS per ton menjadi 2 200 dolar AS per ton. Hal ini juga diakibatkan dari nilai ekspor yang menurun dari tahun 2010 ke tahun 2011 sebesar 40 persen, yakni dari 430 000 ton menjadi 207 000 ton, sedangkan produksi kakao terus meningkat. Hal ini dipengaruhi karena terjadinya krisis eropa pada tahun 2011, sedangkan tujuan utama ekspor kakao Indonesia adalah Eropa. Selain itu pada penutupan perdagangan di Bursa ICE, harga kakao terus melemah karena prediksi bahwa permintaan terhadap komoditas pangan akan mengalami penurunan. Harga kakao berjangkan untuk kontrak pengiriman bulan September mengalami penurunan sebesar 12 dolar AS (0.52 persen) dan ditutup pada posisi 2 307 dolar AS per ton. Penurunan harga yang terjadi pada kakao ini diprediksi karena permintaan akan komoditas pangan, termasuk kakao ikut menurun sehingga berimbas pada pukulan harga yang melemah. (Kompas, 2012)
Namun, bagi industri pengolahan kakao masalah harga yang dipaparkan diatas tidak menjadi satu hambatan yang menakutkan dalam pengolahan kakao. Hal ini jelas terlihat kontras karena menurut BPS (2011), industri masih menjadi konsumen terbesar kakao. Hal ini didukung karena industri lebih menghasilkan nilai tambah yang lebih. Menurut Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI, 2009) dalam Rahmanu (2009) menyatakan bahwa perusahaan pengolahan kakao yang ada di Indonesia berjumlah 28 perusahaan,namun hingga sampai tahun 2006 hanya ada
(7)
15 perusahaan yang tersedia dan dari 15 perusahaan pengolahan kakao hanya 10 perusahaan saja yang melakukan aktivitas produksi dan sisanya lima perusahaan lagi tidak melakukan aktivitas produksi. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi pengolahan kakao di Indonesia belum berkembang dengan baik, namun pada kenyataannya permintaan akan kakao terus mengalami peningkatan baik di pasar domestik maupun pasar intenasional. Menurut data BPS (2011), terdapat beberapa perusahaan baru yang masuk dalam industri kakao. Masuknya perusahaan baru dalam pengolahan kakao menggambarkan bahwa produksi kakao Indonesia mengalami peningkatan dan menjadi perhatian yang terus dikembangkan. Daerah-daerah yang menjadi sentra pemasok kakao juga terus mengalami peningkatan produksi sebagai penyumbang kakao Indonesia. Industri dinilai mampu memperbaiki kondisi yang tidak stabil dalam perkebunan kakao. Melalui peran industri maka dapat dilihat bagaimana persaingan kakao secara industrialisasi. Selain itu dari struktur industri yang tercipta dapat ditentukan bagaimana kinerja industri yang tepat dan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kinerja dari masing-masing industri.
Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan adanya pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP). Pendekatan SCP ini mampu menjelaskan bagaimana langkah yang semestinya diambil, karena dengan mengetahui struktur, perilaku, dan kinerja pasar maka dapat diketahui kebijakan mana yang paling tepat untuk dilakukan. Antara struktur, perilaku, dan kinerja industri yang saling berhubungan satu sama lain dan ketiga hal ini akan saling mempengaruhi. Oleh karena itu penelitian dengan pendekatan SCP ini penting untuk dilakukan.
(8)
1.2. Rumusan Masalah
Kakao merupakan salah satu komoditas sektor perkebunan yang memiliki peran penting dalam sektor perekonomian Indonesia. Menurut Direktorat Jendral Perkebunan (2010), kakao merupakan salah satu komoditas unggulan dalam subsektor perkebunan yang dicanangkan untuk dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia karena kakao Indonesia mampu meningkatkan devisa negara.
Potensi kakao sebagai salah satu komoditas unggulan menyebabkan tingginya permintaan akan kakao, tingginya permintaan yang meningkat setiap tahun diiringi dengan meningkatnya konsumsi kakao di Indonesia.
Menurut Direktorat Jendral Perkebunan (2010), permintaan kakao untuk tahun 2010-2012 diprediksi akan mengalami peningkatan. Selama periode 1969-2009, ekspor total Indonesia mencapai lebih dari 70 persen dari total produksinya, dan sisanya digunakan untuk konsumsi dalam negeri dengan industri sebagai konsumen terbesar dalam konsumsi kakao. Hal ini disebabkan karena sangat elastisnya harga ekspor rill kakao dalam mempengaruhi kakao nasional. Sedangkan yang dikonsumsi oleh masyarakat dari konsumsi industri hanya sebesar 23.4 gr/kapita cokelat instan dan 10.4 gr/kapita cokelat bubuk pada tahun 2008. Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) pada tahun 2006, dari total kapasitas terpasang industri pengolahan nasional yang mencapai 300 ribu ton, pemanfaatan kapasitas produksinya baru 50 persen saja atau sekitar 150 ribu ton. Berikut proyeksi permintaan kakao Indonesia tahun 2010-2012 akan dipaparkan pada tabel 4.
(9)
Tabel 4. Proyeksi Permintaan Kakao Indonesia, 2010-2012
No Tahun Ekspor
(Ton)
Industri (Ton)
Total permintaan (Ton)
1 2010 573 378 150 000 762 378
2 2011 596 503 150 000 746 503
3 2012 616 629 150 000 766 629
Rata-rata pertumbuhan
(%) 0.43 0.00 0.73
Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2010
Selama periode tahun 2010-2012, permintaan kakao diproyeksikan akan naik sebesar 0.73 persen. Kenaikan ini disebabkan karena volume ekspor 0.43 persen. Pada tahun 2010 total permintaan biji kakao kering diproyeksikan mencapai 726.38 ribu ton, kemudian naik menjadi 746.50 ribu ton pada tahun 2011 dan diproyeksikan naik kembali pada tahun 2012 menjadi sebesar 766.63 ribu ton.
Disamping karena faktor tingginya permintaan yang disebutkan diatas, industri pengolahan kakao di Indonesia juga turut mengambil peran dalam mengolah kakao dalam negeri. Adanya industri yang mengelola kakao karena kakao memiliki potensi untuk bersaing sebagai komoditas perkebunan, selain itu kakao juga mampu menghasilkan keuntungan dan sangat besar peluangnya untuk dijadikan sebagai produk berbahan dasar kakao yang lebih baik. Tingginya permintaan produk berbahan dasar kakao ini dinilai mampu menghasilkan keuntungan yang lebih, sehingga tidak sedikit perusahaan yang masuk kedalam industri pengolahan kakao ini. BPS (2011) mempublikasi bahwa jumlah perusahaan yang masuk dari tahun 2000-2009 cenderung berfluktuatif. Jumlah perusahaan yang masuk dalam industri pengolahan kakao tertinggi terjadi pada tahun 2002, yaitu sebanyak 34 perusahaan, sedangkan jumlah perusahaan terendah terdapat pada tahun 2009. Pada tabel 5 akan dicantumkan banyaknya jumlah perusahaan yang masuk dalam industri pengolahan kakao.
(10)
Tabel 5. Jumlah Perusahaan yang Masuk Dalam Industri Kakao, 2000-2009
Tahun Jumlah Perusahaan Tahun Jumlah Perusahaan
2000 24 2005 31
2001 26 2006 25
2002 34 2007 18
2003 25 2008 18
2004 17 2009 15
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Masuk dan keluarnya jumlah perusahaan ini membuktikan bahwa persaingan akan kakao Indonesia cukup kompetitif, semakin sedikit jumlah perusahaan dalam suatu industri menunjukkan bahwa tingginya hambatan untuk masuk dalam industri, selain itu tingginya hambatan juga menggambarkan kinerja yang baik dalam suatu industri. Sedangkan mudahnya suatu perusahaan baru untuk masuk ke dalam industri kakao terjadi karena mudahnya memperoleh informasi, rendahnya hambatan masuk indusri, banyaknya penjual, dan produk yang homogen. Hal ini menjadi satu perhatian karena akan meninmbulkan suatu struktur pada industri kakao Indonesia yang berdampak pada penetapan harga (perilaku industri) dan kinerja industri kakao dalam negeri. Namun untuk memasuki suatu industri kakao tidaklah mudah, industri kakao baru harus dapat memahami kondisi pasar yang ada.
Struktur industri yang tercipta tidak dapat dihindari, namun untuk menciptakan suatu persaingan yang diinginkan dalam industri dapat melakukan perbaikan perilaku dan kinerja industri dengan meninjau struktur industri yang telah tercipta, karena ketiga hal ini memang sangat erat hubungannya. Pada akhirnya penelitian ini akan melihat bagaimana persaingan kakao dari segi industri dengan melakukan analisis struktur, perilaku, dan kinerja dari masing-masing industri. Dari
(11)
rumusan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi perumusan masala dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana struktur industri kakao di Indonesia? 2. Bagaimana perilaku industri kakao di Indonesia?
3. Bagaimana kinerja industri kakao yang ada di Indonesia?
4. Bagaimana hubungan struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja industri kakao di Indonesia?
Dari keempat rumusan masalah ini penulis berharap dapat mengetahui hasil yang menjadi penelitian penulis sehingga dapat memperoleh dan menyajikan hasil yang tepat.
1.3. Tujuan Penelitian
Melihat dari rumusan masalah yang telah dipaparkan maka tujuan penelitian dilakukan untuk menjawab rumusan masalah, yang akan dipaparkan dalam empat poin yaitu:
1. Mengetahui struktur industri kakao yang ada di Indonesia 2. Mengetahui perilaku industri kakao yang ada di Indonesia 3. Mengetahui kinerja industri kakao yang ada di Indonesia
4. Mengetahui hubungan struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao, serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja industri kakao di Indonesia
Secara singkat penelitian ini akan membahas tentang struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao yang ada di Indonesia sehingga pada akhirnya dapat memberi kebijakan yang paling tepat.
(12)
1.4.Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca, pelaku usaha/industri kakao, maupun stakeholder yang berpartisipasi di dalamnya sehingga dapat mengambil kebijakan yang sesuai, maka diharapkan dari penelitian ini dapat :
1. Memberikan informasi mengenai persaingan kakao dari segi industri melalui pendekatan struktur, perilaku, dan kinerja industri (SCP).
2. Membantu industri kakao dalam mengambil keputusan yang tepat dengan melihat aspek SCP.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas mengenai struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao di Indonesia dengan data yang digunakan bersifat time series pada tahun 2000-2009 melalui pendekatan SCP. Dalam penelitian ini akan dibatasi dengan hasil olahan kakao menjadi cokelat, dalam arti penelitian ini lebih mengkerucutkan pada cokelat. Data yang diperoleh untuk melanjutkan penelitian ini berasal dari kode industri KBLI 15314 yaitu industri pengupasan, pembersihan, dan pengeringan kakao menjadi konsumsi cokelat. Adapun penelitian ini dilakukan untuk melihat bahwa kakao Indonesia juga bersaing didalam negeri. Disamping itu penelitian mengenai SCP ini mampu melihat persaingan yang terjadi didalam industri dengan melihat bagaimana struktur dan perilakunya. Dan melalui kinerja mampu melihat keuntungan yang diperoleh sehingga dapat memprediksi produksi
(13)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis
Ekonomi pertanian merupakan suatu aplikasi ilmu ekonomi dengan bidang pertanian, dimana ilmu ini digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan pertanian. Menurut Mubyarto (1989), ekonomi pertanian pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nations. Ilmu ekonomi pertanian didefinisikan sebagai bagian dari ilmu ekonomi umum yang mempelajari fenomena-fenomena dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pertanian baik mikro maupun makro. Cramer and Jensen (1994), mengemukakan bahwa ekonomi pertanian adalah pengaplikasian ilmu sosial yang menghadapkan bagaimana manusia memilih untuk menggunakan teknik ekonomi dengan kondisi sumberdaya yang semakin terbatas dan langka seperti lahan, tenaga kerja, kapital, dan manajemen untuk memproduksi makanan dan serat hingga untuk memproduksinya kepada masyarakat. Terjadinya permintaan kakao merupakan jumlah dari seluruh permintaan individual, karena masing-masing individu dihadapkan pada pilihan, seperti permintaan yang tidak terbatas dan adanya keterbatasan sumberdaya.
Cramer and Jansen (1994), mengungkapkan bahwa dalam pasar terdapat pelaku pasar yang mengendalikan keadaan pasar, hal ini dinyatakan sebagai perilaku pasar. Perilaku pasar adalah pola tingkah laku para pelaku pasar dalam melakukan penyesuaian dengan struktur pasar yang dihadapi dapat berupa praktek-praktek penentu harga komoditi, seragamnya biaya pemasaran, praktek-praktek persaingan bukan harga seperti kolusi, pasar gelap, praktek-praktek tidak jujur dan
(14)
kebijaksanaan harga yang kurang mendorong perbaikan mutu. Keragaan pasar sangat ditentukan oleh struktur pasar dan perilaku pasar. Keragaan pasar dapat dilihat dari tingkat harga dan marjin pemasaran.
Cramer and Jensen (1994) juga mengungkapkan bahwa terdapat beberapa jenis struktur pasar berdasarkan persaingan yang terjadi, yaitu:
(a) Persaingan Sempurna/Persaingan Murni (Pure Competition). Pasar ini ditandai dengan banyaknya perusahaan dalam industri, produknya bersifat homogen, dan terdapat kebebasan perusahaan secara individu dalam masuk atau keluar industri.
(b) Monopoli Murni (Pure Monopoly). Pasar ini ditandai dengan hanya ada satu perusahaan dalam industri serta produk perusahaan yang bersifat diferensiasi. (c) Monopsoni (Monopsony), yaitu pasar dengan satu pembeli yang menghadapi
banyak penjual.
(d) Pasar persaingan tidak sempurna (Imperfect Competition). Beberapa struktur pasar yang termasuk di dalamnya, yaitu pasar yang terdiri atas dua penjual disebut duopoli dan pasar yang terdiri dari sejumlah kecil penjual (lebih dari dua) disebut oligopoli. Sebaliknya, situasi pasar dengan dua pembeli disebut duopsoni dan pasar dengan sejumlah kecil pembeli disebut oligopsoni.
(e) Persaingan Monopolistis (Monopolistic Competition). Pasar jenis ini merupakan suatu organisasi pasar yang terdiri dari banyak perusahaan yang menjual komoditi sangat serupa tetapi tidak identik.
Tomek (1990) mengemukakan bahwa struktur pasar adalah berbagai aspek yang ada di pasar yang dapat mempengaruhi pelaku pasar, dimana pelaku pasar
(15)
terdiri dari produsen dan konsumen. Struktur pasar dibedakan menjadi empat kelompok. Adapun faktor-faktor dalam struktur pasar yaitu:
1. Banyaknya Penjual dan Pembeli
Penjual dan pembeli yang bertindak sebagai pelaku pasar akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang terjadi dalam sebuah pasar. Banyaknya penjual dan pembeli tentu akan mempengaruhi penentuan harga dan besarnya penguasaan pasar. Semakin sedikit jumlah penjual dalam suatu pasar maka penguasaan terhadap pasar semakin kuat dan cenderung monopoli.
2. Derajat Perbedaan Produk (Homogen atau Terdiferensiasi)
Kondisi produk dibagi menjadi dua jenis, yaitu: produk yang homogen dan heterogen. Perbedaan jenis produk dapat mempengaruhi perilaku produsen yang berada didalam pasar untuk bersaing. Perbedaan corak produk (produk differentiation) memberikan keluasan yang lebih besar bagi produsen guna mengatur strategi pasar. Produk yang memiliki ciri khusus atau unik biasanya cenderung digemari oleh konsumen tertentu. Melalui keunggulan produk tersebut pihak produsen memiliki kekuatan tambahan guna mengendalikan keadaan pasar sehingga mampu menjadi monopolis di wilayah-wilayah pasarnya sendiri. Konsumen dihadapkan pada pilihan produk yang terbatas. Dengan demikian, keadaan ini menciptakan kekuatan pasar bagi produsen yang bersangkutan sehingga produsen tersebut pada gilirannya akan mampu mengendalikan keadaan pasar. Sebaliknya bila produk yang ditawarkan produsen bersifat homogen maka hal ini menyebabkan konsumen memiliki banyak alternatif pilihan untuk berbelanja. Konsumen dapat memilih pada konsumen mana saja sehingga hal tersebut memberikan alternatif yang terbatas bagi produsen dalam
(16)
membuat keputusan pasar. Dengan demikian pasar cenderung kompetitif dan produsen tidak dapat mengendalikan keadaan pasar guna menentukan harga dan output di dalam pasar yang secara semena-mena. Selanjutnya, harga dan output pasar akan tercipta melalui mekanisme pasar.
3. Hambatan Untuk Memasuki Pasar
Hambatan untuk memasuki sebuah pasar dapat dilihat dari mudah tidaknya suatu pesaing untuk masuk ke dalam suatu pasar. Hambatan untuk memasuki sebuah pasar dapat disebabkan oleh munculnya persaingan yang semakin ketat. Hambatan ini dapat dilihat dari mudah atau tidaknya pesaing-pesaing potensial untuk masuk ke pasar. Salah satu cara yang digunakan untuk melihat hambatan masuk dalam penelitian ini adalah dengan mengukur skala ekonomi yang dillihat melalui output perusahaan yang menguasai pasar.
4. Mudah atau Tidaknya Informasi yang Diperoleh
Adanya informasi yang tidak sempurna akan mempengaruhi kemampuan pasar untuk menetapkan harga keseimbangan/ekuilibrium. Pembuktian efisiensi dari harga persaingan mengasumsikan bahwa harga ekuilibrium ini diketahui oleh semua pelaku ekonomi. Jika beberapa pelaku ekonomi tidak memiliki informasi penuh tentang harga yang berlaku dan mutu produk tidak tersedia secara bebas, tangan tak terlihat Adam Smith tidak akan sangat efektif. Keputusan-keputusan yang tidak tepat yang didasari oleh informasi yang salah tentang harga atau mutu dapat menghasilkan alokasi yang tidak efisien.
Pasar persaingan sempurna dicirikan dengan banyaknya jumlah penjual dan pembeli yang berada dalam pasar, jenis produk yang dipasarkan bersifat homogen, tidak ada hambatan untuk memasuki sebuah pasar bagi pesaing, dan informasi
(17)
mengenai pasar mudah untuk diperoleh. Sebaliknya, pada pasar monopoli hanya ada satu penjual dan berperan sebagai penentu harga, produk yang dipasarkan terdiferensiasi, hambatan yang sulit untuk memasuki sebuah pasar karena sudah ditentukan, seperti: modal teknologi, skala ekonomi, dan informasi mengenai pasar sangat sulit untuk diperoleh. Tidak jauh berbeda dengan pasar monopoli, pasar oligopoli juga hanya terdiri dari beberapa penjual, produk yang dipasarkan homogen maupun terdiferensiasi, ada hambatan yang cukup besar untuk memasuki sebuah pasar, dan sulit untuk memperoleh informasi mengenai pasar oligopoli. Sedangkan, pada pasar monopolistik hampir sama dengan pasar persaingan dimana banyak penjual dan pembeli dalam pasar, produk yang dipasarkan terdiferensiasi, tidak ada hambatan untuk masuk dan keluar pasar, dan mudah untuk memperoleh informasi. (Gambar 2)
CenderungPerfect Competition CenderungMonopoly
Sumber:Agricultural Product Prices(Tomek, 1990)
Pasar Persaingan Sempurna Pasar Oligopoli Pasar Monopolistik Pasar Monopoli Banyak penjual pembeli Produk homogen Tidak ada hambatan masuk pasar Informasi mudah diperoleh Banyak penjual pembeli Produk terdiferensiasi Informasi mudah diperoleh Tidak ada hambatan masuk pasar Terdapat beberapa penjual Produk homogen & terdiferensiasi Terdapat hambatan masuk pasar Informasi sulit untuk diperoleh satu penjual dan banyak pembeli Produk terdiferensiasi Besar hambatan masuk pasar Informasi sangat sulit diperoleh
(18)
Tomek (1990) mengungkapkan bahwa penetapan harga dan keuntungan yang terjadi pada pasar persaingan sempurna berasal dari jumlah permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar sehingga terjadi harga keseimbangan pada titik
equilibrium. (Gambar 3 dan 4)
P P
S
P P MR= MC= P
D Q Q
i.) PPS pada pasar ii.) PPS pada perusahaan Gambar 3. Penetapan Harga Pasar Persaingan Sempurna
P MC AC P* AVC AC*
Q* Q
Gambar 4. Keuntungan Pasar Persaingan Sempurna
Menurut Nicholson (1999), penentuan harga pada pasar monopoli akan memaksimalkan laba dengan berproduksi di tingkat dimana pendapatan marginal sama dengan biaya marginal dan akan dijelaskan dalam gambar 5.
P
MC
P* AC
MR D Q
(19)
Gambar 5. Penentuan Harga Pasar Monopoli
Gambar selanjutnya menunjukkan bahwa Q* akan menghasilkan harga sebesar P* di pasar sehingga laba yang diperoleh pada perusahaan monopli adalah sebesar P*EAC. (Gambar 6)
Harga, biaya MC
P* E AC
C A
MR D
Keluaran per periode Q*
Gambar 6. Keuntungan Pasar Monopoli Penetapan harga pada pasar oligopoli terdiri dari empat model, yaitu:
1. Quasi-competitive model: mengasumsikan bahwa perilaku pengambilan keputusan harga oleh semua perusahaan (harga diberlakukan tetap), dengan kata lain tindakan perusahaan dalam oligopoli tidak mempengaruhi harga pasar dan perusahaan lain. Perusahaan bertindak sebagaiprice taker.
2. Cartel model: mengasumsikan bahwa perusahaan-perusahaan yang ada dipasar bergabung membentuk kartel, dimana kartel bertindak sebagai monopoli.
3. Cournot model: mengasumsikan bahwa perusahaan menganggap tindakannya dapat mempengaruhi harga pasar, tetapi tidak berpengaruh pada tindakan perusahaan lain.
4. Conjectural variations model: mengasumsikan bahwa perusahaan dalam oligopoli menganggap bahwa tindakannya dapat mempengaruhi harga pasar dan tindakan perusahaan lain. Perusahaan sebagaiprice leader.
(20)
Penetapan harga pada pasar monopolistik yang dijelaskan oleh gambar dibawah ini terjadi ketika kurva permintaan berpotongan dengan biaya rata-rata sehingga tidak mungkin memperoleh laba yang lebih. Perusahaan hanya dapat bertahan pada tingkat output dimana MR=MC. (Gambar 7)
P
P* MC
AC MR D
Q* Q
Gambar 7. Penetapan Harga Pasar Monopolistik
Keuntungan maksimum pada pasar monopolistik dapat dilihat dari kurva permintaan yang terletak diatas kurva biaya rata-rata yang dijelaskan pada gambar 8.
P
MC
P* a AC
c b
MR D Q
Q*
Gambar 8. Keuntungan Pasar Monopolistik
Mubyarto (1989) mengemukakan bahwa dalam ekonomi pertanian terdapat tiga hal yang saling berkaitan yaitu: harga, permintaan, dan penawaran. Salah satu gejala ekonomi yang sangat penting yang berhubungan dengan perilaku petani baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen adalah harga. Harga merupakan ukuran nilai dari barang-barang dan jasa-jasa. Suatu barang memiliki harga karena
(21)
disebabkan oleh dua hal yaitu: barang itu berguna dan barang itu jumlahnya terbatas. Barang-barang yang berguna bagi manusia dan jumlahnya terbatas ini disebut barang-barang ekonomi.
2.1.1. Keseimbangan Pasar
Keseimbagan pasar terjadi karena adanya permintaan dan penawaran dalam suatu pasar. Permintaan adalah Jumlah barang atau komoditas yang mampu dibeli oleh seorang konsumen karena peningkatan pendapatan riil akan tergantung dari efek substitusi dan efek pendapatannya. Penawaran dapat dilihat dari kurva penawaran agregat yang merupakan merupakan penjumlahan secara horizontal kurva penawaran individual di pasar. Kurva penawaran dapat didefinisikan sebagai kurva tempat kedudukan hubungan antara jumlah barang atau komoditas yang ditawarkan pada berbagai tingkat harga.
Mubyarto (1989) menyatakan bahwa inti dari teori permintaan dan penawaran adalah terjadinya harga keseimbangan sebagai akibat permainan bersama gaya-gaya permintaan dan penawaran. Teori keseimbangan ini akan dijelaskan dalam gambar 9 berikut.
P S
P*
D Q
q*
(22)
Kondisi keseimbangan yang terjadi di pasar tentunya menjadi relatif tidak stabil apabila ada kekuatan-kekuatan yang mendorong harga dan jumlah barang atau komoditas yang pada akhirnya akan mencapai keseimbangan baru.
2.1.2. Konsep Ekonomi Industri
Jaya (2001) menyatakan bahwa konsep-konsep industri sangat penting untuk diketahui dan dipahami. Konsep ekonomi industri berkaitan erat dengan aspek ekonomi. Ekonomi industri merupakan seperangkat konsep dan analisis mengenai persaingan dan monopoli dengan berbagai macam pasar yang berada diantara keduanya. Ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi yang membantu menjelaskan mengapa suatu pasar perlu diorganisir dan bagaimana pengorganisasiannya mempengaruhi cara kerja pasar industri. Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaan yang secara relatif lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar, perilaku, dan kinerja pasar.
Hasibuan (1993) dalam Sari (2011) mengemukakan bahwa pengertian industri dapat dibedakan secara makro dan mikro. Secara mikro, pengertian industri adalah kumpulan perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang- barang homogen atau barang-barang yang mempunyai sifat saling mengganti yang sangat erat. Pengertian industri secara makro adalah kegiatan yang menciptakan nilai tambah, yakni semua produk barang maupun jasa. jadi dapat disimpulkan pengertian industri secara luas yaitu suatu unit usaha yang melakukan kegiatan ekonomi yang mempunyai tujuan untuk menghasilkan barang dan jasa yang terletak pada satu bangunan atau lokasi tertentu serta memiliki catatan administrasi
(23)
tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seseorang atau lebih yang bertanggungjawab atas resiko usaha tersebut.
2.2. Pendekatan Struktur, Perilaku, dan Kinerja Pasar
Ekonomi industri menyebutkan bahwa para ahli ekonomi melakukan pendekatan-pendekatan untuk melihat hubungan keterkaitan antara struktur, perilaku, dan kinerja pasar yang masing-masing pendekatan memiliki pola tersendiri di dalam mempelajari hubungan keterkaitan perilaku industri sehingga mewarnai perbedaan dalam struktur analisis yang dilakukan, akan tetapi antara struktur, perilaku, dan kinerja pasar memiliki hubungan ketergantungan satu dengan yang lainnya. Teori Structure, Conduct, Performance (SCP) ini menjelaskan bahwa kinerja suatu industri pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh struktur pasar. Struktur pasar (structure) dianggap akan mempengaruhi perilaku dan strategi perusahaan dalam suatu industri dan perilaku (conduct) akan mempengaruhi kinerja (performance), Paradigma SCP menyatakan bahwa konsentrasi pasar yang tinggi akan membuat perusahaan lebih mudah untuk menguasai pasar dan menghasilkan keuntungan atau marjin yang tinggi, dimana srtuktur pasar mempengaruhiprofitabilitassecara positif.
2.2.1. Struktur Pasar
Struktur pasar menunjukkan karakteristik pasar, seperti elemen sejumlah pembeli dan pejual, keadaan produk, keadaan pengetahuan penjual dan pembeli, serta keadaan rintangan/hambatan pasar. Perbedaan pada elemen-elemen itu akan membedakan cara masing-masing pelaku pasar dalam industri berperilaku, yang pada gilirannya akan menentukan perbedaan kinerja pasar yang terjadi. Keadaan
(24)
jumlah dan distribusi penjual dalam pasar mempengaruhi harga jual yang berlaku dan output yang terdapat di dalam pasar.
Pada struktur pasar persaingan sempurna ditandai oleh adanya sejumlah besar penjual di dalam pasar dan masing-masing diantara mereka memiliki kekuatan pasar yang relatif sama. Sebagai akibatnya para pesaing pasar tidak memiliki kekuatan pasar yang berguna untuk mengendalikan keadaan pasar, selanjutnya keadaan harga dan output pasar berjalan menurut mekanisme pasar. Berbeda dengan kondisi pada pasar monopoli dimana jumlah penjual bersifat tunggal sehingga keadaan pasar dapat dikendalikan sepenuhnya oleh monopolis, baik dari segi penentuan harga maupun jumlah output. Menurut Jaya (2001), elemen dalam struktur pasar terdiri dari: pangsa pasar, konsentrasi, dan hambatan. 1) Pangsa Pasar(Market Share)
Pangsa pasar menunjukkan besarnya persentase pendapatan perusahaan dari total pendapatan industri yang dapat diukur dari 0-100 persen. Semakin tinggi pangsa pasar maka semakin tinggi pula kekuatan pasar yang dimiliki perusahaan tersebut. Perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang sangat dominan akan menciptakan monopoli yang bersandar pada profit yang maksimal, hal sebaliknya juga jika pangsa pasar suatu perusahaan rendah maka persaingan yang tercipta yaitu persaingan sempurna/persaingan efektif.
2) Konsentrasi(Concentration)
Konsentrasi atau pemusatan merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopolis dimana perusahaan tersebut menyadari adanya saling ketergantungan. Kelompok perusahaan ini terdiri dari 2, 4, dan 8 perusahaan. Jaya (2001) mengungkapkan bahwa suatu hubungan yang positif antara keuntungan
(25)
dan tingkat konsentrasi ini adalah merupakan halangan masuk yang besar bagi perusahaan baru karena dengan keuntungan yang diperoleh maka perusahaan-perusahaan yang ada dalam industri akan berusaha untuk meningkatkan konsentrasinya.
3) Hambatan Masuk Pasar(Barrier to Entry)
Hambatan untuk memasuki sebuah pasar dapat dilihat dari mudah tidaknya suatu pesaing untuk masuk ke dalam suatu pasar. Hambatan untuk memasuki sebuah pasar dapat disebabkan oleh munculnya persaingan yang semakin ketat. Salah satu cara yang digunakan untuk melihat hambatan masuk dalam penelitian ini adalah dengan mengukur skala ekonomi yang dillihat melalui output perusahaan yang menguasai pasar. Nilai output tersebut kemudian dibagi dengan output total industri. Data ini disebut denganMinimum Efficiency Scale(MES).
Produsen yang efisien dalam berproduksi pada dasarnya memiliki kekuatan alamiah untuk menghambat para pesaing potensial untuk memasuki pasar. Harga jual produk yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dapat diatur pihak produsen yang mapan menurut selera yang diinginkan. Produsen yang mapan dapat menentukan tingkat harga dan output yang diinginkan untuk menentukan keuntungan. Sebaliknya pada produsen yang memiliki keputusan yang lemah dalam memasuki pasar akan sulit menentukan tingkat harga dan output, hal ini pula yang menyebabkan produsen lemah akan sering gagal melakukan penetrasi pasar dan menguasai keadaan pasar.
Jaya (2001) mengemukakan bahwa masuknya hambatan dalam mencakup segala sesuatu akan memungkinkan terjadinya kecepatan pesaing baru. Shepherd (1990) dalam Sari (2001), menyatakan bahwa hambatan terdiri dari dua jenis, yaitu
(26)
hambatan eksogen dan hambatn endogen. Hambatan eksogen merupakan hambatan untuk masuk ke dalam suatu pasar yang berasal dari luar perusahaan, seperti: modal, skala ekonomi, diferensiasi produk, diferensiasi intensitas penelitian dan pengembangan, investasi yang besar dan integritas vertikal. Sedangkan hambatan endogen dapat berupa kebijakan harga dari establish firm, strategi penguasaan produksi, strategi penggunaan bahan baku, strategi pemasaran produk dan image
dari loyalitas merek produk itu sendiri. Pada tabel 4 akan dipaparkan perbedaan mendasar dari masing-masing struktur pasar.
Tabel 4. Perbedaan Pasar Berdasar Struktur Pasar
Tipe pasar Pangsa pasar Produk Hambatan Informasi
Persaingan sempurna
Pesaing >50 persen dan tidak satupun produsen yang dapat menguasai pangsa pasar dan didalamnya banyak penjual dan pembeli
Homogen Tidak ada Mudah memperoleh informasi
Monopoli Menguasai 100 persen pangsa pasar dan hanya ada satu penjual
Tidak memiliki pengganti
Sangat sulit memasuki pasar
Sangat sulit memperoleh informasi
Monopolistik Tidak satupun produsen yang menguasi pangsa pasar >10 persen dan didalamnya banyak penjual
Heterogen Mudah untuk memasuki pasar
Mudah untuk memperoleh informasi
Oligopoli Menguasai pangsa pasar sekitar 60 persen dan terdapat beberapa penjual
Homogen dan heterogen Sulit memasuki pasar Sulit memperoleh informasi
Sumber: Ekonomi Industri (Jaya, 2001) 2.2.2. Perilaku Pasar
Tindakan produsen dalam menjalankan suatu pasar memiliki ciri tersendiri untuk menjalankan usahanya dalam suatu pasar sehingga hal ini akan berpengaruh pada perbedaan strategi yang dijalankan dalam melaksanakan penetrasi pasar. Menurut Teguh (2010), pasar yang berstruktrur oligopoli cenderung memiliki perilaku kolusi, meskipun perilaku ini juga dapat terjadi pada pasar monopoli.
(27)
Setiap pesaing yang berada pada pasar oligopoli pada dasarnya memiliki dua pilihan untuk berkolusi, yaitu menganut kolusi formal atau kolusi informal. Kolusi formal ditandai dengan adanya perjanjian-perjanjian yang bersifat mengikat. Perjanjian ini dapat meliputi persetujuan harga, produksi, wilayah pasar dan lainnya yang sifatnya saling menguntungkan. Disamping itu pada persekutuan yang bersifat formal diberlakukan pula ancaman-ancaman yang dikenakan kepada setiap anggota yang melakukan pelanggaran perjanjian yang telah disepakati.
Berbeda dengan kolusi informal, anggota yang tergabung dalam persekutuan ini tidak saling mengenal secara langsung satu dengan yang lainnya secara tepat. Sebaliknya mereka akan bersekutu secara diam-diam guna menciptakan situasi yang aman bagi masing-masing pesaing yang terdapat di dalam pasar. (Teguh, 2010)
Pemimpin pasar (leader) biasanya akan menentukan harga dan output menurut pandangannya yang menguntungkan dan terhindar dari ancaman pemerintah dan persaingan pasar. Sebaliknya perusahaan-perusahaan kecil akan mengikuti harga yang telah disepakati oleh pemimpin pasar. Perusahaan-perusahaan kecil bebas menentukan pilihan apakah akan mengikuti keputusan pemimpin pasar atau menentukan harga jual sesuai keputusan sendiri, namun dengan konsekuensi yang diterima yaitu akan menghadapi ancaman kemungkinan keluar dari pasar. (Teguh, 2010)
2.2.3. Kinerja Pasar
Teguh (2010) mengemukakan bahwa kinerja pasar merupakan hasil-hasil atau prestasi yang muncul di dalam pasar sebagai reaksi akibat terjadinya tindakan-tindakan para pesaing pasar yang menjalankan berbagai strategi dan menguasai
(28)
kondisi pasar. Kinerja pasar dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti harga, keuntungan, dan efisiensi.
Harga sering dijadikan sebagai faktor terpenting dalam pembedaan kinerja pasar yang bersaing sempurna dengan pasar yang tidak bersaing. Pada pasar persaingan sempurna harga jual yang terjadi di pasar cenderung lebih rendah karena mengikuti gejolak pasar yang berlangsung dikarenakan di dalam pasar tidak ada satupun produsen yang dapat mengendalikan pasar. Sebaliknya pada pasar yang tidak bersaing seperti monopoli harga jual di pasaran cenderung tinggi karena produsen monopolis memiliki kemampuan penuh guna mengendalikan pasar sehingga monopolis dapat menentukan harga jual yang tinggi sesuai kehendaknya dibanding harga jual yang ditentukan oleh persaingan pasar sempurna.
Dalam hal keuntungan, pasar persaingan sempurna akan menerima keuntungan normal (normal profit). Produsen umumnya berproduksi pada situasi harga sama dengan biaya marjinal dan biaya rata-rata. Sebaliknya pada pasar monopoli, keuntungan yang diterima adalah super normal (extra profit) karena produsen berproduksi pada tingkat harga diatas biaya rata-rata pada rentangan kurva biaya rata-rata yang sedang menurun. Dengan kata lain, monopolis sengaja berproduksi pada situasi kapasitas produksi yang rendah sehingga keuntungan yang diperolah menjadi lebih tinggi. Akibat dari penentuan keuntungan ini akan mempengaruhi efisiensi ekonomi.
2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai analisis Struktur, Perilaku, Kinerja telah banyak dilakukan, terutama penelitian mengenai industri. Beberapa penelitian mengenai analisis struktur, perilaku, kinerja industri diantaranya:
(29)
1. Sari (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Struktur, Perilaku, Kinerja Industri Pengolahan Susu di Indonesia, menyimpulkan bahwa bentuk struktur pasar industri susu di Indonesia adalah oligopoli ketat dengan rata-rata ratio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) sebesar 72.68 persen,
hambatan masuk pasar dengan melihat nilai MES sebesar 29.05 persen yang tergolong cukup tinggi. Perilaku industri pengolahan susu ini dapat dilihat dari strategi penerapan harga, strategi produk, dan promosi. Kinerja industri ini tergolong rendah dengan nilai PCM sebesar 25.10 persen, growth sebesar 37.62 persen, dan x-eff sebesar 20.32 persen. Hasil kinerja yang masih rendah ini disimpulkan terjadi karena dalam proses produksi terjadi peningkatan biaya dan industri belum mampu menekan biaya produksi dengan baik.
2. Sucianti (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Pakan Ternak di Indonesia menyimpulkanbahwa struktur industri pakan ternak di Indonesia tergolong dalam pasar oligopoli longgar dengan rata-rata konsentrasi sebesar 38.33 persen. Penetapan harga bergantung pada harga bahan baku pakan, peningkatan mutu produk ditingkatkan sesuai dengan SNI, promosi yang dilakukan melalui iklan, majalah, dan internet. Kinerja industri dilihat dari nilai rata- rata PCM sebesar 20.43 persen, x-eff sebesar 31.96 persen, dan growthsebesar 25.17 persen. Hal ini menyimpulkan bahwa kinerja perusahaan yang masih rendah belum dikelola dengan baik. 3. Is (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Daya Saing Kakao di
Pasar Internasional menyimpulkan bahwa struktur pasar kakao dipasar internasional menunjukkan kecenderungan ke arah pasar persaingan oligopoli
(30)
namun sedikit memiliki kekuatan monopoli dengan nilai CR4 sebesar 82
persen dan nilai rata- rataHerfindahl Indexsebesar 2.621.
4. Rahmanu (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia menyimpulkan bahwa kakao olahan Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif pada tahun 1988 hingga tahun 1995 dengan nilai RCA dibawah satu dan memiliki keungulan komparatif pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2006 dengan nilai RCA diatas satu. Hal ini dikarenakan pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 nilai ekspor hasil olahan kakao masih relatif sedikit dan mulai meningkat pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2006 seiring dengan meningkatnya permintaan hasil olahan kakao dunia untuk memenuhi kebutuhan konsumsi industri makanan dan minuman dunia.
5. Yuliati (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Daya Saing Ekspor Kakao Indonesia Tahun 2005-2009 menyimpulkan bahwa dengan hasil perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA) komoditi kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang tinggi. Pada periode tersebut nilai RCAnya selalu lebih besar dari satu dan Indeks konsentrasi pasar kakao berada pada kisaran 39.47- 44.45 persen.
Dari referensi penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat dibedakan bahwa penelitian yang dilakukan pada Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia mampu bersaing secara industrialisasi dengan hasil struktur industri yang tercipta adalah oligopoli selama periode 2000-2009. Struktur oligopoli dinilai mampu menghasilkan keuntungan yang cukup tinggi dan mampu menciptakan persaingan yang kondusif, sehingga dapat
(31)
disimpulkan bahwa persaingan kakao di Indonesia akan lebih efektif jika dikelola oleh industri pengolahan kakao. Penulis mengharapkan adanya keberlanjutan mengenai penelitian Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia yang lebih lanjut untuk melihat persaingan kakao di periode selanjutnya
(32)
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Operasional
Penelitian ini akan membahas tentang struktur, perilaku, dan kinerja industri pasar kakao yang ada di Indonesiaselama periode 2000-2009. Penelitian ini berguna untuk mengetahui bagaimana struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao yang ada di Indonesia. Berdasarkan kerangka pemikiran analisis struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao di Indonesia, penelitian ini bermula dari permintaan kakao yang terus mengalami peningkatan, sehingga menciptakan persaingan pada sektor industri. Disamping itu persaingan yang terjadi antar industri akan mempengaruhi penerapan harga dan kinerja bagi masing-masing industri tersebut. Selanjutnya hal ini akan mempengaruhi struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao di Indonesia.
Masuknya industri baru juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan persaingan dalam industri sehingga dapat menciptakan perbedaan dalam suatu industri baru dapat menyebabkan persaingan yang baru bagi industri lainnya.
Struktur pasar akan dijelaskan dengan besarnya pangsa pasar, konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar, dan hambatan untuk memasuki pasar. Perilaku pasar dapat dijelaskan secara deskriptif dengan melihat strategi harga dan strategi promosi yang dijalankan oleh perusahaan pengolahan kakao. Sedangkan untuk kinerja pasar dapat dinilai dengan analisis Price Cost Margin (PCM) dan nilai efisiensi. Setelah diperoleh hasil penilaian struktur, perilaku, dan kinerja maka hal yang dilakukan selanjutnya adalah melihat hubungan antara struktur, perilaku, dan kinerja pasar ini. Selanjutnya hal yang dianalisis adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pasar kakao dengan melihat keterkaitan antara
(33)
variabel-produktivitas (PROD), jumlah perusahaan dan efisiensi internal (X-eff) yang ditetapkan sebagai variabel independen, dan PCM ditetapkan sebagai variabel dependen. Pada akhirnya hasil yang diperoleh akan dapat menjelaskan kebijakan yang seharusnya diambil.
Gambar 10. Alur Kerangka Pemikiran Penelitian Tingginya permintaan kakao
Masuknya perusahaan baru dalam industri pengolahan kakao
Struktur Pasar •Pangsa pasar • CR4,
•Hambatan masuk pasar
Perilaku pasar •Strategi harga •Strategi promosi
Kinerja Pasar •PCM •X-eff
Hubungan antara Struktur, Perilaku, dan Kinerja
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pasar kakao di Indonesia
Rekomendasi saran Persaingan industri terhadap produk
berbahan dasar kakao
Berpengaruh terhadap penetapan harga dan kinerja masing-masing industri
Perbaikan struktur, perilaku, dan kinerja
(34)
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan studi kasus Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia. Kegiatan penelitian ini dilakukan pada bulan Februari- Juli 2012.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementrian Pertanian, Direktorat Jendral Perkebunan seperti nilai input, nilai output, nilai tambah, input tenaga kerja, barang yang dihasilkan dari seluruh perusahaan kakao yang ada di Indonesia, dan data lainnya, serta referensi lain (perpustakaan, buku, penelitian terdahulu, dan internet). Data yang diperoleh merupakan time series dari tahun 2000-2009.
4.3. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode statistik deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif untuk menganalisis perilaku industri kakao di Indonesia dilakukan dengan cara wawancara terhadap PT. Ceres dan PT. Mayora sebagai salah satu perwakilan industri kakao di Indonesia untuk mendapatkan informasi yang lebih pasti. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis struktur dan kinerja industri kakao dengan pendekatan SCP dan untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri kakao di Indonesia digunakan pendekatan OLS (Ordinary Least Square) dengan bantuan software Microsoft Excel 2007, Minitab 14, dan Eviews 6.
(35)
4.3.1. Analisis Struktur Pasar
Untuk mengetahui suatu struktur pasar maka ada komponen yang harus diperhatikan seperti: pangsa pasar, derajat perbedaan produk, hambatan masuk pasar, informasi yang diperoleh untuk memamsuki sebuah pasar, dan konsentrasi rasio.
4.3.1.1. Pangsa Pasar
Penguasaan pasar bagi perusahaan memiliki pangsa pasar yang berbeda-beda berkisar 0-100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Secara ringkas pangsa pasar menggambarkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dari hasil penjualan. Jaya (2001) merumuskan pangsa pasar sebagai berikut:
MSi= 100%
Dimana:
Msi = Pangsa pasar perusahaan i (%) Si = Penjualan perusahaan i (rupiah)
Stot = Penjualan total seluruh perusahaan (rupiah)
4.3.1.2. Derajat Perbedaan Produk
Derajat perbedaan produk dijelaskan secara deskriptif dengan tujuan untuk melihat apakah suatu pasar komoditas produk menetapkan produknya sebagai komoditas homogen ataupun heterogen, karena perbedaan jenis produk dapat mempengaruhi perilaku produsen yang berada didalam pasar untuk bersaing. Perbedaan corak produk (produk differentiation) memberikan keluasan yang lebih besar bagi produsen guna mengatur strategi pasar.
(36)
4.3.1.3. Hambatan Masuk Pasar
Hambatan dalam memasuki pasar dapat dilihat dengan munculnya berbagai pesaing baru dalam suatu pasar guna mendapatkan keuntungan dan menguasai pasar. Untuk melihat suatu hambatan dalam pasar dapat mengunakan pengukuran skala ekonomis melalui pendekatan output peusahaan. Nilai ini disebut dengan
Minimum Efficiency Scale (MES) yang dirumuskan oleh Jaya (2001) sebagai berikut:
MES = 100%
4.3.1.4. Informasi
Informasi yang diperoleh oleh suatu pasar akan dijelaskan secara deskriptif karena ketika informasi yang tidak sempurna terjadi maka akan mempengaruhi kemampuan pasar untuk menetapkan harga keseimbangan/ ekuilibrium. Pembuktian efisiensi dari harga persaingan mengasumsikan bahwa harga ekuilibrium ini diketahui oleh semua pelaku ekonomi.
4.3.1.5. Rasio Konsentrasi (CR)
Tingkat konsentrasi dapat dihitung melalui rasio konsentrasi (CR). Rasio konsentrasi merupakan presentase dari total output industri atau pendapatan penjualan. Rasio sejumlah perusahaan mengukur pangsa pasar relatif dari total output industri yang dipertanggungjawabkan oleh perusahaan-perusahaan itu. Jaya (2001) merumuskan konsentrasi rasio sebagai berikut:
CRm =
Penelitian ini menggunakan rasio dari empat perusahaan (CR4) yang menunjukkan
pangsa pasar empat perusahaan terbesar dalam industri pengolahan kakao di Indonesia yang dirumuskan dengan:
(37)
CR4= atau CR4= ms1+ ms2+ ms3+ ms4
Dimana:
CR4 : Rasio konsentrasi sebanyak 4 perusahaan (%)
Msi : pangsa pasar perusahaan i (%)
Pangsa pasar diukur dari tingkat konsentrasi melalui rasio konsentrasi. Rasio konsentrasi yang digunakan menunjukkan besarnya kontribusi nilai penjulan output perusahaan terbesar terhadap total nilai produksi industri. Semakin besar angka persentasinya (mendekati 100 persen) maka konsentrasi industri dari produk tersebut semakin besar, yang menggambarkan bentuk pasarnya adalah monopoli. Sebaliknya, jika empat perusahaan menguasai minimal 40 persen pangsa pasar maka struktur industri tersebut adalah berbentuk oligopoli.
4.3.2. Analisis Perilaku Pasar
Perilaku pasar dianalisis secara deskriptif dengan tujuan untuk memperoleh informasi mengenai perilaku perusahaan dalam industri itu sendiri. Perilaku menganalisis tingkah laku dan penerapan strategi perusahaan dalam suatu industri untuk merebut pangsa pasar dan mengalahkan pesaing. Perilaku industri kakao di Indonesia akan dianalisis dengan melihat strategi harga, strategi produk dan promosi yang dilakukan.
4.3.2.1. Strategi Harga
Strategi penerapan harga tergantung dari beberapa faktor produksi terutama bahan baku. Dalam industri kakao ini penerapan harga dilihat dari apakah ada kesepakatan yang terjadi dalam industri sesama pesaing yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Strategi dalam penentuan harga ini merupakan unsur
(38)
yang menghasilkan pendapatan bagi para produsen. Harga juga merupakan unsur yang paling flexibel dimana unsur ini dapat berubah dengan cepat.
4.3.2.2. Strategi Produk dan Promosi
Strategi yang dilakukan oleh perusahaan ataupun industri- industri lain dalam memproduksi suatu produk perlu melihat kondisi pasar karena dalam memilih barang konsumen cenderung memperhatikan tiga hal, yaitu: nilai, biaya, dan kepuasan. Selanjutnya akan dilihat pula apakah terdapat stategi khusus yang perlu dilakukan seperti melakukan diversifikasi produk ataupun kesepakatan jumlah penawaran produk. Selain itu ada pula strategi lain yang dilakukan oleh produsen seperti promosi. Promosi merupakan suatu bagian yang penting dalam menjual produk untuk mempertahankan keberlangsungan produksi, pengembangan inovasi, dan mendapatkan keuntungan(profit).
4.3.3. Analisis Kinerja Pasar
Analisis kinerja industri kakao di Indonesia dilakukan dengan analisisPrice Cost Margin (PCM), efisiensi internal (X-eff) dan pertumbuhan output (Growth).
PCM didefinisikan sebagai indikator kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga diatas biaya produksi dan juga sebagai persentase keuntungan dari kelebihan penerimaan atas biaya langsung. Tingkat PCM yang tinggi pada umumnya dapat tercipta jika konsentrasi rasio yang tinggi, artinya semakin tinggi nilai tambah dalam suatu industri maka kinerja industri tersebut juga semakin efisien dalam meminimumkan biaya sehingga keuntungan yang diperoleh akan semakin besar. PCM dirumuskan sebagai rasio dari nilai tambah perusahaan atau industri dikurangi dengan total seluruh pengeluaran upah dari perusahaan atau industri terhadap nilai output industri tersebut. Secara ringkas PCM menggambarkan hubungan antara
(39)
struktur pasar terhadap kinerja perusahaan, Jaya (2001) merumuskan PCM sebagi berikut:
PCM = 100%
Efisiensi internal (X-eff) menunjukkan kemampuan perusahaan dalam suatu industri untuk menekan biaya produksi. Semakin efisien suatu industri maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar pula. Untuk mengukur tingkat efisiensi internal dirumuskan dengan: (Jaya, 2001)
Efisiensi-X = 100%
Produktivitas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan output pada periode waktu dengan membandingan input tenaga kerja yang dikeluarkan. Untuk mengukur produktivitas memerlukan rumus: (Jaya, 2001)
Produktivitas = 100%
4.3.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Industri Kakao di Indonesia
Analisis hubungan struktur dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kinerja dapat dianalisis dengan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) atau metode kuadrat sederhana. Hal ini dilakukan karena penggunaan metode OLS dianggap paling tepat untuk menggambarkan hubungan antara variabel dan penggunaannya juga lebih mudah dibanding metode lainnya dalam pendeskripsian hasil regresi. Bentuk umum dari persamaan dari regresi linear sederhana ini yaitu:
Yi = β0+ β1Xi+ εi
Nilai PCM dijadikan sebagai variabel dependen karena PCM menggambarkan keuntungan dari suatu industri serta mewakili variabel kinerja itu
(40)
sendiri, sedangkan nilai CR4, Minimum Efficiency Scale (MES), Growth,
produktivitas (PROD), efisiensi internal (X-eff), dan jumlah perusahaan (JLP) menjadi variabel independen karena diduga dapat mempengaruhi variabel dependen (PCM). Berdasarkan variabel dependen dan variabel independen maka bentuk persamaan yang diduga yaitu:
PCMt= β0+ β1CR4+ β2MES +β3PROD + β4X-eff +β5JLP+ εi
Dimana:
PCM : Proksi keuntungan perusahaan terbesar (%) CR4 : Rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (%)
MES :Minimum Efficiency Scale(%)
X-eff : Efisiensi internal (%)
PROD : Produktivitas tenaga kerja (%)
JLP : Jumlah perusahaan
ε : Galat
β0 : Intersep(β0 >0)
β1, β3,β4,β5,β6 :Koefisien kemiringan parsial (β0, β1, β3,β4,β5> 0)
4.4. Uji Statistik
Uji statistik dilakukan untuk menganalisis hubungan-hubungan antar variabel dengan menentukan parameter-parameter yang akan diestimasi dan melakukan pengujian-pengujian sehingga model tersebut dapat dikatakan baik. Pengujian dilakukan dengan uji statistik terhadap model penduga melalui uji F. Uji t digunakan untuk parameter-parameter regresi serta melihat besarnya (persen) variabel bebas (independen) dan dijelaskan oleh variabel dependen melalui koefisien determinasi(R-Squared).
(41)
4.4.1. Uji R- Squared (R2)
Menurut Gujarati (1978), besaran R2 atau yang dikenal sebagai koefisien determinasi merupakan besaran yang paling lazim digunakan untuk mengukur kebaikan-suai (goodness of fit) garis regresi.secara verbal, R2 mengukur proporsi (bagian) atau prosentase total variasi dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi. R2 memiliki dua sifat, yaitu: R2 merupakan besaran yang nilainya selalu positif, dan batas R2adalah 0≤ R2 ≤1. Dengan kata lain, R2digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam memprediksi nilai keragaman yang dapat dijelaskan oleh variabel independen terhadap variabel dependen. Nilai R2 akan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya jumlah variabel independen yang dimasukkan ke dalam model.
4.4.2. Uji F
Uji F digunakan untuk melihat apakah model penduga yang digunakan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam model, selain itu Uji F dapat juga digunakan untuk mengetahui pengaruh seluruh variabel independen terhadap variabel dependen.
Hipotesis:
H0: b1 = b2=...= bi = 0 (dimana tidak ada variabel independen yang berpengaruh
terhadap variabel dependen)
H1: minimal ada salah satu bi ≠ 0 (dimana terdapat variabel independen yang
berpengaruh terhadap variabel dependen) Kriteria uji:
Probability F-Statistic < α, maka tolak H0 dan simpulkan minimal ada variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen.
(42)
Probability F-Statistic > α, maka terima H0 dan simpulkan tidak ada variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen.
4.4.3. Uji t
Uji t digunakan untuk mengetahui tingkat signifikan variabel independen atau untuk menguji apakah regresi dari masing- masing variabel independen yang dipakai terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen.
Hipotesis:
H0: b1 = b2 =...= bi= 0 (dimana variabel independen-i tidak mempengaruhi variabel
dependen)
H1: bi≠ 0 (dimana variabel independen- i mempengaruhi variabel dependen)
Kriteria uji:
Probability t-Statistic < α, maka tolah H0 dan simpulkan variabel independen-i
berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.
Probability t-Statistic > α, maka terima H0 dan simpulkan variabel independen-i
tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. 4.5. Uji Ekonometrika
Pengujian ekonometrika dalam suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui perilaku atau kejadian dalam hal ekonomi dengan mengaji secara statistik atau matematika. Dalam ekonometrika dilakukan empat pengujian, yaitu:uji normalitas, uji autokorelasi, uji multikolinearitas, uji heterokedastisitas.
4.5.1. Uji Normalitas
Uji normalitas atau uji kenormalan sisaan Kolomogorov-Smirnov dilakukan untuk memeriksa apakah sisaan mendekati distribusi normal. Uji ini bertujuan untuk membandingkan distribusi data yang akan diuji normalitasnya dengan
(43)
distribusi normal baku. Distribusi normal baku adalah data yang telah ditransformasikan ke dalam bentuk Z-Score dan diasumsikan normal. Hipotesis pada ujiKolmogorov-Smirnovadalah sebagai berikut (Lains, 2006):
H0: Sisaan menyebar normal
H1: Sisaan tidak menyebar normal
Uji statistik yang digunakan: Z(X) =
Keterangan:
Z(X) = Angka baku X = Angka pada data S = Simpangan baku Kaidah pengujian:
Jika Zhit < Ztabel maka tolak Ho Jika Zhit > Ztabel maka terima Ho
Jika keputusan yang diperolah menolak Ho, artinya error term atau sisaan yang diperolah tidak menyebar normal dan sebaliknya, jika keputusan menerima Ho maka sisaan yang diperoleh telah menyebar normal.
4.5.2. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas didefinisikan dengan adanya korelasi yang kuat antara variabel independen dalam model persamaan. Adanya multikolinearitas dalam persamaan regresi akan berdampak pada varian koefisien regresi menjadi besar yang akan menyebabkan standard error terlalu tinggi sehingga kemungkinan penduga koefisien regresi menjadi tidak signifikan secara statistik. Pengujian multikolinearitas dapat dilihat dari pengujian Variance Inflation Factor (VIF).
(44)
Juanda (2009) mengemukakan bahwa pedoman regresi yang bebas dari multikolinearitas adalah mempunyai nilai dibawah 10. Sebaliknya, nilai VIF yang lebih besar dari 10 mengindikasikan terjadinya multikolinearitas.
4.5.3. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Adanya autokorelasi dalam persamaan regresi dapat mengakibatkan bahwa penduga yang diperoleh dengan menggunakan OLS tidak lagi bersifat BLUE. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin-Watson. Dalam Firdaus (2004), untuk melihat autokorelasi dapat menggunakan ketentuan sebagai berikut:
DW Kesimpulan
Kurang dari 1.10 1.10-1.54
1.55-2.46 2.46-2.90 Lebih dari 2.91
Ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Tidak ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Ada autokorelasi Sumber: Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif (Firdaus, 2004)
4.5.4. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas pada umumnya terjadi pada data cross-section. Jika ragam sisaan tidak sama atau var (εi)=E(εi2)=σi2 untuk setiap pengamatan dari
variabel bebas dalam model regresi, maka terjadi masalah heteroskedastisitas. Untuk melihat terjadinya heteroskedastisitas adalah dengan melihat plot antar sisaan dengan dugaan respon. Jika ragam sisaan homogen maka seharusnya plot antar sisaan tersebut tidak memiliki pola apapun. Cara mengatasi heteroskedastisitas adalah dengan transformasi peubah respon atau metode terkecil terboboti (weight least square) dan dengan cara transformasi terhadap peubah
(45)
peubah respon hasil transformasi tersebut, atau dapat juga dilakukan dengan uji
White Heteroscedasticity.Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini yaitu: Ho : Tidak terdapat heteroskedastisitas
H1: Terdapat heteroskedastisitas
Kaidah pengujian yaitu:
Probabilitas observasi R-Squared < α maka tolak Ho Probabilitas observasi R-Squared > α maka terima Ho
Jika keputusan yang diambil adalah menolak Ho maka dalam model terdapat heteroskedastisitas, sebaliknya jika keputusan menerima Ho maka dalam model tidak terdapat heteroskedastisitas.
(46)
V. GAMBARAN UMUM 5.1. Prospek Kakao Indonesia
Indonesia telah mampu berkontribusi dan menempati posisi ketiga dalam perolehan devisa senilai 668 juta dolar AS dari ekspor kakao sebesar ± 480 272 ton pada tahun 2005. Mengingat kakao sebagai komoditas ekspor unggulan setelah karet dan minyak sawit, maka pemerintah bertekad untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab potensi lain lahan yang cukup dan sesuai untuk pertanaman kakao, juga didukung fasilitas riset yang memadai dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kakao Indonesia, tersedianya SDM yang memadai sehingga mempunyai potensi untuk menjadikan Indonesia mampu menghasilkan kakao selaras dengan pertumbuhan dan permintaan dunia. (Departemen Pertanian, 2006)
Indonesia masih memiliki prospek yang sangat besar untuk pengembangan perkakaoan baik dari tingkat hulu sampai dengan hilir. Negara maju lainnya seperti Amerika Serikat, Singapura, dan Malaysia mampu membangun industri kakao yang notabene tidak memiliki bahan baku. Industri kakao bukan hanya semata-mata untuk industri makanan, tetapi industri kosmetika juga memerlukan bahan baku hasil olahan kakao. (Departemen Pertanian, 2006)
Tercatat bahwa pada periode 1997-2002 laju pertumbuhan ekspor kakao Indonesia mencapai 12 persen, sementara pertumbuhan ekspor kakao dunia hanya 3.51 persen. Disamping itu hingga pada tahun 2005 ekspor kakao Indonesia masih berkembang dengan 3.30 persen, sementara rata-rata ekspor dunia mencapai 1.70 persen. Pertumbuhan permintaan dunia akan kakao dan produk olahannya seperti yang terjadi di negara-negara maju Eropa dan Amerika meningkat 2-4 persen per
(47)
tahun. Sementara tingkat konsumsi di negara berkembang seperti Indonesia diperkirakan baru mencapai 0.06 kg/kapita/tahun juga akan meningkat sejalan dengan tingkat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. (Departemen Pertanian, 2006)
Indonesia berhasil menjadi produsen kakao kedua terbesar dunia berkat keberhasilan dalam program perluasan dan peningkatan produksi yang mulai dilaksanakan sejak awal tahun 1980-an. Pada saat ini areal perkebunan kakao tercatat seluas 914 ribu hektar, tersebar di 29 propinsi dengan sentra produksi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur. Sebagian besar (lebih dari 90 persen) areal perkebunan kakao tersebut dikelola oleh rakyat (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).
5.1.1. Produksi Kakao di Indonesia
Produksi kakao Indonesia pada tahun 2005 dapat digambarkan sebagai berikut: wilayah Sulawesi sebesar 439 167 ton (67.3 persen), wilayah Sumatera sebesar 99 725 ton (15.3 persen), wilayah Jawa-Bali- Nusa Tenggara sebesar 47 910 ton (7.3 persen), wilayah Maluku dan Irian Jaya sebesar 37 673 ton (5.8 persen) dan wilayah Kalimantan sebesar 27 875 ton (4.3 persen). Hal tersebut menunjukkan bahwa wilayah Sulawesi merupakan sentra kakao terbesar di Indonesia dengan luas areal tanaman kakao 593 448 ha (59.8 persen). (Departemen Pertanian, 2006)
Perkembangan produksi kakao secara nasional selama lima tahun terakhir rata-rata adalah 5.9 persen per tahun, sementara itu untuk PR mengalami lonjakan yang cukup signifikan yaitu 6.9 persen, sedangkan untuk PBN dan PBS cenderung
(48)
konstan dan beberapa diantaranya mengalami penurunan. (Departemen Pertanian, 2006)
Sementara itu, disisi lain industri pengolahan kakao dalam negeri menghasilkan semi dan final produk dengan jumlah perusahaan yang ada di Indonesia sebanyak 16 perusahaan dengan kapasitas terpasang 325 000 ton/th dan kapasitas terpakai baru mencapai 165 000 ton/th atau hanya 51 persen. Hal ini dikarenakan keterbatasan untuk memperoleh bahan baku yang berkualitas di dalam negeri. (Departemen Pertanian, 2006)
5.1.2. Konsumsi Kakao di Indonesia
Menurut data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dipublikasikan oleh BPS (2010), konsumsi kakao Indonesia dibedakan atas konsumsi cokelat bubuk dan cokelat instan. Perkembangan konsumsi kedua jenis cokelat tersebut dari tahun 1982-2008 relatif berfluktuatif namun cenderung mengalami peningkatan yakni masing-masing sebesar 35.71 persen untuk konsumsi cokelat instan dan 17.31 persen untuk konsumsi cokelat bubuk. Konsumsi cokelat bubuk sangat berfluktuatif dan tertinggi terjadi pada tahun 1996 yang mencapai 20.8 gr/kapita. Sementara data konsumsi cokelat instan hasil SUSENAS hanya tersedia sejak tahun 1999-2008.
5.2. Industri Kakao di Indonesia
Industri hilir pengolahan kakao nasional memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan mengingat ketersediaan bahan baku biji kakao yang cukup melimpah di dalam negeri. Selama ini Indonesia tercatat sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Pada tahun 2010 produksi biji kakao Indonesia mencapai 600 000 ton. Pengembangan industri hilir
(49)
kakao nasional yang kini sedang digalakkan pemerintah Kementerian Perindustrian diharapkan mampu meningkatkan perolehan nilai tambah di dalam negeri yang pada gilirannya akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah, meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan mendongkrak perolehan devisa dari kegiatan ekspor produk olahan biji kakao. (Kementerian Perindustrian, 2012)
Beberapa kebijakan yang kurang mendukung upaya pengembangan industri hilir kakao dalam negeri sehingga industri hilir kakao nasional kurang berkembang, antara lain adanya kebijakan pengenaan pajak produk primer dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang PPN atas komoditi primer. Pengenaan PPN sebesar 10 persen mengakibatkan beralihnya biji kakao yang tadinya diolah di dalam negeri menjadi diekspor dalam bentuk biji, sehingga industri pengolahan kakao tidak memperoleh bahan baku yang cukup. Akibatnya, beberapa perusahaan pengolahan biji kakao tidak dapat beroperasi. (Kementerian Perindustrian, 2012)
Dalam rangka menumbuhkan kembali industri pengolahan kakao, maka tahun 2007 pemerintah mencabut kebijakan pengenaan PPN melalui PP No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Namun kebijakan ini belum serta merta menghidupkan industri yang sudah terlanjur tidak beroperasi. Pemerintah melakukan upaya peningkatan produksi biji kakao melalui Program Gerakan Nasional Kakao pada tahun 2009 dan masih berlanjut sampai sekarang. (Kementerian Perindustrian, 2012)
(50)
Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah melakukan kebijakan pengenaan Bea Keluar Biji Kakao pada bulan April 2010 melalui PMK No. 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Bea Keluar Kakao. Rangkaian kebijakan tersebut diambil pemerintah dalam rangka menghidupkan kembali industri pengolahan kakao dalam negeri. Keberhasilan kebijakan ini juga terlihat dari data ekspor biji kakao yang menurun pada tahun 2010 dibandingkan tahun 2009. Sedangkan ekspor biji kakao sampai dengan bulan Mei 2011 mencapai 97 265 ton, turun dibandingkan dengan ekspor Januari-Mei 2010 sebesar 158 855 ton. Sedangkan ekspor kakao olahannya meningkat pada periode Januari-Mei 2011 sebesar 55 651 ton dibandingkan Januari-Mei 2010 sebesar 35 508 ton. (Kementerian Perindustrian, 2012)
(51)
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Analisis Struktur Pasar Industri Kakao di Indonesia
Struktur pasar dapat dianalisis dengan tiga pokok elemen, yaitu nilai pangsa pasar, konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4), dan hambatan masuk
pasar yang dianalisis dengan pendekatanMinimum Effisiency Scale(MES). Namun dalam penelitian yang dilakukan terdapat keterbatasan data mengenai data penjualan sehingga penentuan struktur pasar industri kakao ini akan dianalisis melalui konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4) danMinimum Effisiency
Scale(MES).
6.1.1. Konsentrasi Pasar
Konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4) menggambarkan
perwakilan dari empat perusahaan terbesar yang ada di Indonesia sehingga melalui pendekatan CR4 akan digunakan untuk melihat persentase total output empat
perusahaan terbesar terhadap total output keseluruhan industri. Dalam industri kakao yang ada di Indonesia diperoleh nilai rata-rata CR4 dari tahun 2000 hingga
2009 adalah sebesar 67.41 persen. Hal ini menunjukkan bahwa empat perusahaan terbesar memiliki persaingan dalam pasar oligopoli. Menurut Jaya (2001) pasar oligopoli dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu oligopoli longgar dan oligopoli ketat. Pembedaan ini didasarkan pada besarnya nilai konsentrasi pasar. Jika konsentrasi pasar berkisar 40-60 persen maka dikelompokkan menjadi oligopoli longgar, sedangkan konsentrasi pasar yang berkisar 60-100 persen digolongkan ke dalam oligopoli ketat, maka dapat disimpulkan industri kakao yang ada di Indonesia merupakan pasar oligopoli ketat. Dalam ekonomi industri sistem
(52)
38,96 43,95 57,38
45,37
55,6 70,13 99,28
80,67
92,39 95,56
0 20 40 60 80 100 120
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
P
e
r
se
n
(53)
6.1.2. Hambatan Masuk Pasar
Masuk dan keluarnya suatu industri dapat menggambarkan persaingan yang terjadi dalam industri tersebut sehingga hambatan untuk masuk pasar dapat terdeteksi. Melalui pendekatan Minimum Effisiency Scale (MES) dapat diketahui besarnya persentase hambatan untuk masuk pasar. Nilai MES yang diperoleh dengan cara membagi nilai output terbesar perusahaan dengan total output dalam industri. Sepanjang tahun 2000 hingga 2009, rata- rata nilai MES industri kakao di Indonesia adalah sebesar 45.12 persen. Semakin tinggi nilai MES, maka hambatan untuk memasuki pasar akan semakin sulit pula. Menurut Comanous dan Wilson (1967) dalam Sari (2011) nilai MES yang lebih dari 10 persen menggambarkan hambatan masuk pasar yang tinggi pada suatu industri. Nilai MES terbesar terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 89.81 persen. Hal ini disebabkan karena melonjaknya nilai output kakao pada tahun 2006. Tidak jauh berbeda dengan pengaruh output pada nilai CR4, peningkatan nilai output ini dapat disebabkan
karena peningkatan nilai input. Disamping itu, banyaknya jumlah perusahaan yang berada dalam pasar juga ikut berpengaruh karena semakin sedikit jumlah perusahaan maka peluang untuk bersaing akan semakin besar. Jumlah industri pada tahun 2006 berjumlah 25 industri, nilai ini berkurang dari tahun 2005 yang berjumlah 31 industri kakao. Sebaliknya nilai MES terendah berada tahun 2003 yang hanya sebesar 15.51 persen. Hal ini dapat disebabkan karena menurunnya nilai output kakao dari 590 290 435 menjadi 296 577 445 pada tahun 2002 sehingga persentase output industri ikut menurun.
(54)
23,56 29,3 21,73 15,51
54,86
45,61 89,81
53,46 64,13
53,18
0 20 40 60 80 100
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
P
e
r
se
n
(1)
74 Lampiran 3.Minimum Efficiency Scale(MES) Industri Kakao di Indonesia Tahun
2000-2009
Tahun Output Perusahaan Terbesar (Ribu Rupiah)
Total Output Industri (Ribu Rupiah)
MES (%)
2000 62 163 875 263 853 460 23.56
2001 70 614 320 240 969 260 29.3
2002 128 256 772 590 290 435 21.73
2003 46 007 587 296 577 445 15.51
2004 192 711 296 351 244 265 54.86
2005 295 311 225 647 417 058 45.61
2006 9 251 770 925 10 301 956 289 89.81
2007 4 841 127 279 9 054 992 867 53.46
2008 5 589 697 517 8 715 613 643 64.13
2009 3 576 317 200 6 724 8099 186 53.18
Rata- rata 45.12
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009(diolah)
Lampiran 4.Price Cost MarginIndustri Kakao di Indonesia Tahun 2000-2009
Tahun Nilai tambah Upah Barang yang
dihasilkan
PCM (%) (Ribu Rupiah) (Ribu Rupiah)
2000 110 554 773 76043610 264 170 855 13.06
2001 82 915 493 71665597 546 520 564 2.06
2002 134 445 546 79858653 956 036 285 5.71
2003 165 500 577 82 597 018 314 687 698 26.34
2004 104 654 868 68 672 660 277 234 625 12.98
2005 291 731 553 70 019 665 627 646 059 35.32
2006 9 124 196 157 99 664 514 10 291 943 973 87.68
2007 953 452 348 32 043 885 8 855 296 258 10.41
2008 1 054 320 496 27 304 429 8 512 405 877 12.06
2009 927 433 194 442 414 646 6 633 874 799 7.31
Rata- rata 21.29
(2)
75 Lampiran 5. Efisiensi Internal Industri Kakao di Indonesia Tahun 2000-2009
Tahun Nilai tambah (Ribu Rupiah)
Nilai input (Ribu Rupiah)
X-eff (%)
2000 110554773 153298687 72.12
2001 82915493 158053767 52.46
2002 134445546 455844889 29.49
2003 165500577 131076868 126.27
2004 104654868 246589397 42.44
2005 291731553 355685505 82.02
2006 9124196157 117760132 774.71
2007 953452348 8101540519 11.77
2008 1054320496 7661293147 13.76
2009 927433194 5797375992 15.99
Rata- rata 122.10
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009(diolah)
Lampiran 6. Produktivitas Industri Kakao di Indonesia Tahun Nilai Output
(Ribu Rupiah)
Nilai Input Tenaga Kerja (Ribu Rupiah)
Produktivitas (%)
2000 263 853 460 76 043 610 350
2001 240 969 260 71 665 597 336.2
2002 590 290 435 79 858 653 739.2
2003 296 577 445 82 597 018 359.1
2004 351 244 265 68 672 660 511.5
2005 647 417 058 70 019 665 924.6
2006 10 301 956 289 99 664 514 10 336.5
2007 9 054 992 867 32 043 885 28 258.1
2008 8 715 613 643 27 304 429 31 920.2
2009 6 724 809 186 442 414 646 1 520
Rata- rata 7 525.54
(3)
76 Lampiran 7. Hasil Regresi Industri Kakao di Indonesia tahun 2000-2009 dengan
menggunakansoftware Minitab 14
Regression Analysis: PCM versus MES; CR4; ... The regression equation is
PCM = - 13,5 + 0,163 MES + 0,057 CR4 + 0,0895 X-eff - 0,000042 Produktivitas + 0,555 Jumlah perusahaan
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant -13,47 26,94 -0,50 0,643
MES 0,1630 0,4267 0,38 0,722 7,3 CR4 0,0568 0,3242 0,18 0,869 4,2 X-eff 0,08949 0,02639 3,39 0,028 2,9 Produktivitas -0,0000420 0,0003935 -0,11 0,920 1,8 Jumlah perusahaan 0,5553 0,7942 0,70 0,523 1,9
S = 10,8652 R-Sq = 91,8% R-Sq(adj) = 81,6%
PRESS = 51686,3 R-Sq(pred) = 0,00%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P Regression 5 5306,1 1061,2 8,99 0,027 Residual Error 4 472,2 118,1
Total 9 5778,3
Source DF Seq SS
MES 1 2180,5
CR4 1 188,3 X-eff 1 2877,0 Produktivitas 1 2,5 Jumlah perusahaan 1 57,7
Unusual Observations
Obs MES PCM Fit SE Fit Residual St Resid 7 89,8 87,68 89,59 10,82 -1,91 -1,85 X
X denotes an observation whose X value gives it large influence.
(4)
Residual P e r c e n t 20 10 0 -10 -20 99 90 50 10 1 Fitted Value R e s id u a l 80 60 40 20 0 10 5 0 -5 -10 Residual F r e q u e n c y 15 10 5 0 -5 -10 4,8 3,6 2,4 1,2 0,0
Obser vation Or der
R e s id u a l 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 10 5 0 -5 -10
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals Residuals Versus t he Fit t ed Values
Hist ogram of t he Residuals Residuals Versus t he Order of t he Dat a
Residual Plots for PCM
RESI 1 P e r c e n t 20 10 0 -10 -20 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Mean 0,106 -4,44089E-16 StDev 7,243 N 10 KS 0,238 P-Value Probability Plot of RESI 1
(5)
RINGKASAN
SEPTIANA ULY A. S. SITORUS. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia. Dibimbing olehADI HADIANTO.
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang memegang peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia, terutama sebagai penghasil devisa negara, penyedia lapangan kerja, mendorong pengembangan agribisnis dan agroindustri. Laju permintaaan kakao terus meningkat setiap tahun seiring dengan meningkatnya konsumsi produk berbahan dasar kakao. Menurut BPS (2010), konsumsi kakao Indonesia dibedakan atas konsumsi cokelat instan dan cokelat bubuk. Perkembangan konsumsi kedua jenis cokelat tersebut dari tahun 1981-2008 relatif berfluktuatif namun cenderung mengalami peningkatan yaitu masing-masing sebesar 35.71 persen untuk konsumsi cokelat instan dan 17.31 persen untuk konsumsi coklat bubuk.
Tingginya permintaan tersebut menciptakan persaingan di sektor industri produk berbahan dasar kakao. Hal ini berdampak pada penetapan harga dan kinerja pada industri kakao di Indonesia yang selanjutnya akan mempengaruhi struktur, perilaku, dan kinerja industri itu sendiri.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: 1) stuktur industri, 2) perilaku industri, 3) kinerja industri kakao di Indonesia, dan 4) faktor-faktor yang mempengaruhi struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao di Indonesia. Industri kakao yang dimaksud dalam penelitian ini adalah industri kakao dengan kode KBLI 15314 yaitu industri pengupasan, pembersihan, dan pengeringan kakao menjadi konsumsi cokelat, dan waktu analisis yang dilakukan pada periode 2000-2009. Adapun metode yang digunakan untuk menganalisis tujuan 1,2,3 adalah metode
Structure, Conduct, Performance (SCP), sedangkan metode yang digunakan untuk menjawab tujuan ke-4 adalahOrdinary Least Square(OLS).
Struktur industri menggambarkan bagaimana keadaan industri kakao ini, yang dinilai dari beberapa elemen seperti konsentrasi ratio (CR4), hambatan masuk
pasar (MES), pangsa pasar, derajat perbedaan produk, dan informasi yang diperoleh untuk masuk dalam suatu industri. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata nilai CR4adalah sebesar 67.41 persen, besarnya nilai rata-rata MES adalah sebesar 45.12
persen, produknya terdiferensiasi, dan akan sulit untuk memperoleh informasi untuk memasuki industri, sehingga dapat disimpulkan bahwa industri kakao ini bersifat oligopoli.
Perilaku industri kakao di Indonesia dilihat dari strategi harga, strategi produk dan strategi promosi. Strategi harga dilihat dengan pertimbangan biaya produksi, strategi produk dilihat dengan pengklasifikasian dari harga produk, dan strategi promosi dilakukan secara visual melalui iklan. Sedangkan untuk kinerja industri kakao dilihat dari besarnya PCM yaitu 21.29 persen, X-eff sebesar 122.10 persen. Dilihat dari besarnya PCM, nilai ini tergolong rendah untuk kinerja suatu industri. Rendahnya kinerja industri kakao ini diduga karena besarnya nilai tambah belum bisa menutupi nilai input secara maksimal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri digambarkan oleh variabel dependen yang dijelaskan dengan variabel Price Cost Margin (PCM),
(6)
sedangkan yang menjadi variabel independen adalah CR4, MES, produktivitas
(PROD), efisiensi internal (X-eff), dan jumlah perusahaan (JLP). Dari lima variabel independen ini hanya ada satu variabel saja yang berpengaruh signifikan, yaitu efisiensi internal (x-eff). Hal ini sesuai dengan hipotesa karena efisiensi internal menggambarkan upaya untuk meminimumkan biaya produksi, hal ini dimana semakin tinggi efisiensi internal akan meningkatkan PCM.
Berdasarkan hasil analisis, saran yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu: industri diharapkan mampu menekan biaya produksi dan mampu meningkatkan nilai output menjadi lebih tinggi, sehingga nilai tambah ikut meningkat dan dapat menutupi biaya input sehingga kinerja dari masing-masing industri ikut meningkat dan semakin meningkatkan persaingan sehingga hanya industri yang mampu bertahanlah yang akan tetap ada dalam suatu persaingan. Kata kunci : Struktur, Perilaku, Kinerja Industri Kakao