Komposisi Komunitas Cacing Tanah Pada Lahan Pertanian Organik Dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo).

(1)

KOMPOSISI KOMUNITAS CACING TANAH PADA LAHAN

PERTANIAN ORGANIK DAN ANORGANIK

(Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan

Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo)

TESIS

SRI JAYANTHI

Oleh

117030016/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

KOMPOSISI KOMUNITAS CACING TANAH PADA LAHAN

PERTANIAN ORGANIK DAN ANORGANIK

(Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan

Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo)

TESIS

Oleh

SRI JAYANTHI

117030016/BIO

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister pada Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis :

Nama Mahasiswa

KOMPOSISI KOMUNITAS CACING TANAH PADA LAHAN PERTANIAN ORGANIK DAN ANORGANIK (Studi

Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk

Meningkatkan Kesuburan Tanah di

Desa Raya Kecamatan Berastagi

Kabupaten Karo)

: SRI JAYANTHI Nomor Induk Mahasiswa : 117030016 Program Studi : Magister Biologi

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

NIP . 19621214 199103 2 001 NIP . 19700102 199702 2 002 Dr. Erni Jumilawaty, M.Si

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed

NIP. 19660209 199203 1 003 NIP.19631026 199103 1 001 Dr. Sutarman, M.Sc


(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

KOMPOSISI KOMUNITAS CACING TANAH PADA LAHAN

PERTANIAN ORGANIK DAN ANORGANIK

(Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan

Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo)

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini salah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya di jelaskan

sumbernya dengan benar.

Medan, 30 Juli 2013

117030016 SRI JAYANTHI


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Sri Jayanthi

NIM : 117030016

Program Studi : Magister Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyutujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksekutif (Non-Executive Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

Komposisi Komunitas Cacing Tanah Pada Lahan Pertanian Organik Dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo). Beserta Perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksekutif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih data, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 30 Juli 2013


(6)

Telah diuji pada Tanggal : 30 Juli 2013

PANITIAN PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS Anggota : 1. Dr. Erni Jumilawaty, M.Si

2. Dr. T. Alief Aththorick, M.Si

3. Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed


(7)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Sri Jayanthi

Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 13 Agustus 1987

Alamat Rumah : Jl. Kasih Dusun II No. 29, Kelurahan Kedai Durian, Kec. Deli Tua, Kab. Deli Serdang

Telepon : 085276464626

e-mail : srijayanthizainoen@gmail.com Instansti tempat Bekerja : -

Alamat Kantor : -

Telepon : -

DATA PENDIDIKAN

SD : SDN 104214 Tamat : 1999 SMP : SMP Swasta Yapena 45 Medan Tamat : 2002 SMA : SMA Swasta Raksana Medan Tamat : 2005 Strata-1 : Biologi FMIPA USU Tamat : 2010


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T., berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan penelitian tesis ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Laporan ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada areal pertanian organik dan anorganik di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo dan di Laboratorium Sistematika Hewan Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, USU dengan judul “Komposisi Komunitas Cacing tanah Pada Lahan Pertanian Organik dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo)”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM). Sp.A(K), Direktur Program Pascasarjana Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Bapak Dr. Sutarman, M.Sc, ketua Program Pascasarjana Biologi Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed dan Ibu Dr. Suci Rahayu, M.Si selaku sekretaris program pascasarjana biologi USU.

Terimakasih yang tak terhingga dan setinggi-tingginya kepada Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S dan Ibu Dr. Erni Jumilawaty, M.Si selaku dosen pembimbing yang dengan penuh perhatian memberikan bimbingan kepada penulis dan ucapan terimakasih kepada Bapak Dr. T. Alief Aththorick, M.Si dan Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed selaku dosen penguji yang telah memberikan saran sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang telah membiayai penulis selama pendidikan, serta ucapan terimakasih kepada Bapak Drs. Arlen H.J, M.Si, Dinas Pertanian Kabupaten Karo, Bapak Tanta Organik, Bapak Mail dan keluarga atas izin, fasilitas dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama mengadakan penelitian di areal pertanian organik dan anorganik, terimakasih juga kepada Bapak-Ibu dosen/staf pengajar di Pascasarjana Biologi dan kepada Bapak Erwin, Ibu Ros dan Ibu Ipit atas bantuan dan partisipasinya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Zulfan, Aini, Rivo, Mahya yang dengan setianya menemani penulis dalam melakukan penelitian serta kepada adik-adik Zulfan, Popo, Afni, Fika, Siska, Zubir, Mamat, teman-teman di Pascasarjana Biologi stambuk 2011 serta pihak-pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya.

Terimakasih penulis ucapakan kepada Ibunda Syawaliyah, ayahanda Syahrial Zainoen, kakanda Dian Prihatini A.md, abanganda Amri Zatasa, SP dan adikanda Fardhan arifin, A.md serta keluarga besar atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.


(9)

Komposisi Komunitas Cacing Tanah pada Lahan Pertanian Organik dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo)

Abstrak

Penelitian dilakukan di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara dan di Laboratorium Sistematika Hewan Depatermen Biologi, Univesitas Sumatera Utara, Medan pada bulan Januari - April 2013. Penelitian dilakukan secara purposive random sampling dengan menggunakan metode kuadrat dan hand sorting serta menganalisis unsur hara (C-organik, N, P dan K) dengan kombinasi perlakuan yaitu tanah pertanian organik, OMCo (kontrol = tanpa cacing tanah), OMCa (inokulasi cacing tanah Pheretima sp.) dan OMCb (inokulasi cacing tanah Pontoscolex corethrurus). Pada perlakuan yang menggunakan tanah pertanian anorganik yaitu AnMCo (kontrol = tanpa cacing tanah), AnMCa (inokulasi cacing tanah Pheretima sp.) dan AnMCb (inokulasi cacing tanah P. corethrurus). Hasil penelitian lapangan ditemukan 1 spesies famili Glocossicidae (P. corethrurus) dan 3 spesies famili Megascolidae (Amynthas sp.,

Megascolex sp. dan Pheretima sp.). kepadatan cacing tanah pada pertanian organik (128,000 ind/m2) dan anorganik (73,600 ind/m2). Ada perbedaan komposisi komunitas cacing tanah pada lahan pertanian organik (Pheretima sp. 50,833%, P. corethrurus 40,000%, Amynthas sp. 7,500%, Megascolex sp. 1,667%) dan anorganik (P. corethrurus 49,275%, Pheretima sp. 46,377%,

Amynthas sp. 4,384%).P. corethrurus dan Pheretima sp. merupakan jenis cacing tanah yang karakteristik pada lahan pertanian organik dan anorganik. Hasil analisis unsur hara tanah menunjukkan ada peningkatan unsur C, N dan K bila dibandingkan dengan hasil analisis unsur hara pada areal pertanian organik dan anorganik.


(10)

Community composition Earthworm on Agricultural Land Organic and inorganic (Case Study: Study Eartworm to Improve Soil Fertility in the Raya village,

Berastagi Sub District, Karo District)

Abstract

The study had been done in the Raya village, Berastagi Sub District, Karo District, North Sumatra and Animal Systematics Laboratory Department Biology, of North Sumatra University, Medan in January to Aprch 2013. The study conducted by purposive random sampling using the method of least squares and hand sorting and then analyzing nutrients (organic C, N, P and K) with a combination of treatments that organic farms OMCo (control = no earthworms), OMCa (inoculation Pheretima sp. earthworm) and OMCb (inoculation Pontoscolex corethrurus earthworm). On treatment using inorganic agricultural land that is AnMCo (control = no earthworms), AnMCa (inoculation of Pheretima sp. earthworms) And AnMCb (inoculation P. corethrurus earthworm). The results of field research found 1 family Glocossicidae species (P. corethrurus) and 3 species of family Megascolidae (Amynthas sp., Megascolex sp., And Pheretima sp.). Density of earthworms in organic farming (128,000 ind/m2) and inorganic (73,600 ind/m2). There are differences in community composition of earthworms on organic farms (Pheretima sp. 50,833%, P. corethrurus 40,000%, Amynthas sp. 7,500%, Megascolex sp. 1,667%) and inorganic (P. corethrurus 49,275%, Pheretima sp. 46,377%, Amynthas sp. 4,348%). P. corethrurus and Pheretima sp. is a characteristic species of earthworms in organic and inorganic agricultural land. Soil nutrient analysis results showed no increase in the elements C, N and K when compared with the results of the nutrient analysis of organic and inorganic agricultural areas.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 4

1.3 Tujuan 4

1.4 Hipotesis 5

1.5 Manfaat Penelitian 5

1.6 Diagram Alur Penelitian 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Cacing Tanah 7

2.2 Ekologi Cacing Tanah 9

2.3 Peranan Cacing Tanah 13

2.4 Pertanian Organik dan Anorganik 15 BAB III BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat 19

3.2 Deskripsi Area 19

3.3 Metode Penelitian 21

3.3.1 Lapangan 21

3.3.2 Laboratorium 21

3.4 Pelaksanaan Penelitian Di Lapangan 22 3.4.1 Pengambilan Sampel Cacing Tanah Dengan

Metode Kuadrat dan Hand sortir. 22 3.4.2 Identifikasi Cacing Tanah 23 3.5 Pelaksanaan Penelitian Dilaboratorium (Kajian

Spesies Bioindikator Kesuburan Tanah) 23 3.5.1 Pengambilan Sampel Tanah 23 3.5.2 Pengumpulan Sampel Cacing Tanah 23 3.5.3 Kajian Cacing Tanah Sebagai Bioindikator

Kesuburan Tanah 23

3.5.4 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah 24

3.6 Analisis Data 25


(12)

3.6.2 Laboratorium 26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Spesies Cacing Tanah Yang Ditemukan 27 4.2 Faktor Fisik Kimia Tanah Pada Lahan Pertanian

Organik dan Anorganik

34 4.3 Kepadatan (ind/m2) dan Kepadatan Relatif (%) 37 Populasi Cacing Tanah

4.4 Frekuensi Kehadiran (FK) Spesies Cacing Tanah Pada Lahan Pertanian Organik dan Anorganik

38 4.5Cacing Tanah Yang Karakteristik Pada Lahan

Pertanian Organik dan Anorganik

38 4.6 Analisis korelasi pearson antara faktor fisik kimia

lingkungan dengan kepadatan

39 4.7 Faktor Fisik Kimia Tanah Setelah Inokulasi Cacing

Tanah Pada Media Tanah Pertanian Organik dan Anorganik

40

4.8 Pertambahan Populasi dan Berat Cacing Tanah 46 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 49

5.2 Saran 50


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi komponen kimiawi pada kascing 14

2 Parameter sifat fisik kimia tanah 25

3 Cacing tanah yang ditemukan pada lahan pertanian organik dan anorganik

27 4 Nilai faktor fisik-kimia tanah pada lahan pertanian organik

dan anorganik

34 5 Kepadatan (individu/m2), kepadatan relatif (%) dan

komposisi komunitas populasi cacing tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik

37

6 Nilai frekuensi kehadiran (FK) spesies cacing tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik

38 7 Cacing tanah yang kepadatan relatifnya (KR) ≥ 10% dan

frekuensi kehadiran (FK) ≥ 25% pada lahan pertanian organik dan anorganik

39

8 Nilai analisis korelasi pearson antara faktor fisik kimia lingkungan dengan kepadatan

40 9 Nilai suhu, kelembapan dan pH pada perlakuan media tanah

pertanian organic

41 10 Nilai suhu, kelembapan dan pH pada perlakuan media tanah

pertanian anorganik

41 11 Nilai faktor kimia tanah setelah inokulasi cacing tanah pada

media tanah pertanian organik dan anorganik


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram Alur Pemikiran 6

2 Morfologi Cacing Tanah 7

3 Plot Pengambilan Sampel Cacing Tanah 22

4 Cacing Ponthoscolex corethrurus 30

5 Cacing Amynthas sp. 31

6 Cacing Megascolex sp. 32

7 Cacing Pheretima sp. 33

8 Rata-rata pertambahan berat (biomassa) populasi cacing tanah (mg/10 hari) pada setiap perlakuan

46 9 Rata-rata pertambahan jumlah populasi cacing tanah (ind/10

hari) pada setiap perlakuan


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman A Peta Administrasi Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara 56

B Foto Lokasi Penelitian 57

C Foto Kerja 58

D Data Fisik Kimia Pada Media Perlakuan 60

E Data analisis C, N, P dan K tanah 61

F Data pertambahan berat cacing tanah pada setiap media perlakuan


(16)

Komposisi Komunitas Cacing Tanah pada Lahan Pertanian Organik dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo)

Abstrak

Penelitian dilakukan di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara dan di Laboratorium Sistematika Hewan Depatermen Biologi, Univesitas Sumatera Utara, Medan pada bulan Januari - April 2013. Penelitian dilakukan secara purposive random sampling dengan menggunakan metode kuadrat dan hand sorting serta menganalisis unsur hara (C-organik, N, P dan K) dengan kombinasi perlakuan yaitu tanah pertanian organik, OMCo (kontrol = tanpa cacing tanah), OMCa (inokulasi cacing tanah Pheretima sp.) dan OMCb (inokulasi cacing tanah Pontoscolex corethrurus). Pada perlakuan yang menggunakan tanah pertanian anorganik yaitu AnMCo (kontrol = tanpa cacing tanah), AnMCa (inokulasi cacing tanah Pheretima sp.) dan AnMCb (inokulasi cacing tanah P. corethrurus). Hasil penelitian lapangan ditemukan 1 spesies famili Glocossicidae (P. corethrurus) dan 3 spesies famili Megascolidae (Amynthas sp.,

Megascolex sp. dan Pheretima sp.). kepadatan cacing tanah pada pertanian organik (128,000 ind/m2) dan anorganik (73,600 ind/m2). Ada perbedaan komposisi komunitas cacing tanah pada lahan pertanian organik (Pheretima sp. 50,833%, P. corethrurus 40,000%, Amynthas sp. 7,500%, Megascolex sp. 1,667%) dan anorganik (P. corethrurus 49,275%, Pheretima sp. 46,377%,

Amynthas sp. 4,384%).P. corethrurus dan Pheretima sp. merupakan jenis cacing tanah yang karakteristik pada lahan pertanian organik dan anorganik. Hasil analisis unsur hara tanah menunjukkan ada peningkatan unsur C, N dan K bila dibandingkan dengan hasil analisis unsur hara pada areal pertanian organik dan anorganik.


(17)

Community composition Earthworm on Agricultural Land Organic and inorganic (Case Study: Study Eartworm to Improve Soil Fertility in the Raya village,

Berastagi Sub District, Karo District)

Abstract

The study had been done in the Raya village, Berastagi Sub District, Karo District, North Sumatra and Animal Systematics Laboratory Department Biology, of North Sumatra University, Medan in January to Aprch 2013. The study conducted by purposive random sampling using the method of least squares and hand sorting and then analyzing nutrients (organic C, N, P and K) with a combination of treatments that organic farms OMCo (control = no earthworms), OMCa (inoculation Pheretima sp. earthworm) and OMCb (inoculation Pontoscolex corethrurus earthworm). On treatment using inorganic agricultural land that is AnMCo (control = no earthworms), AnMCa (inoculation of Pheretima sp. earthworms) And AnMCb (inoculation P. corethrurus earthworm). The results of field research found 1 family Glocossicidae species (P. corethrurus) and 3 species of family Megascolidae (Amynthas sp., Megascolex sp., And Pheretima sp.). Density of earthworms in organic farming (128,000 ind/m2) and inorganic (73,600 ind/m2). There are differences in community composition of earthworms on organic farms (Pheretima sp. 50,833%, P. corethrurus 40,000%, Amynthas sp. 7,500%, Megascolex sp. 1,667%) and inorganic (P. corethrurus 49,275%, Pheretima sp. 46,377%, Amynthas sp. 4,348%). P. corethrurus and Pheretima sp. is a characteristic species of earthworms in organic and inorganic agricultural land. Soil nutrient analysis results showed no increase in the elements C, N and K when compared with the results of the nutrient analysis of organic and inorganic agricultural areas.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kabupaten Karo merupakan suatu daerah di Propinsi Sumatera Utara yang terletak di dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan dan merupakan daerah hulu sungai. Kabupaten Karo terkenal sebagai daerah penghasil berbagai buah-buahan, bunga-bungaan dan sayur-sayuran. Mata pencaharian penduduk yang paling utama adalah usaha di bidang pertanian pangan, hasil hortikultura dan perkebunan rakyat. Kabupaten Karo terdiri dari 17 kecamatan, salah satunya adalah kecamatanBerastagi yang memiliki iklim sejuk dan cocok sebagai lahan pertanian sayuran dataran tinggi. Daerah tersebut telah lama berfungsi sebagai sentra sayuran dan buah-buahan. Jenis sayuran yang banyak dihasilkan di daerah tersebut adalah tomat, kol, kentang, labu, cabe, buncis, wortel, lobak dan lain sebagainya (BPS. Kabupaten Karo, 2012). Daerah tersebut mensuplai berbagai jenis sayur-sayuran dan buah-buahan untuk kebutuhan daerah baik di perkotaan/kabupaten di Sumatera Utara, bahkan sampai ke Propinsi Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jambi, Batam serta kebutuhan hotel-hotel di daerah pariwisata.

Kegiatan pertanian masyarakat di Kabupaten Karo pada umumnya masih menggunakan pupuk anorganik, namun demikian ada beberapa lahan pertanian yang telah menggunakan variasi pupuk anorganik dengan pupuk organik dan ada pula yang hanya menggunakan pupuk organik. Sistem pertanian berbasis bahan

high input energi seperti pupuk kimia dan pestisida dapat merusak sifat-sifat tanah dan berakibat pada menurunnya produktivitas tanah pada waktu yang akan datang. Pertanian yang menggunakan low input energy seperti penggunaan bahan organik diyakini mampu memelihara kesuburan tanah dan kelestarian lingkungan


(19)

et al., 2003). Menurut Parmelee et al., (1998), penggunaan pupuk kimia secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama dapat merusak sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, sedangkan penggunaan bahan organik ke dalam tanah diyakini dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa pengolahan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman pertanian secara monokultur dan polikultur serta penggunaan pestisida untuk pemberantas hama pada sistem pertanian konvensional dapat menyebabkan penurunan biodiversitas makrofauna tanah, diantaranya cacing tanah (Ansyori, 2004 dan Bartz et al., 2009 ). Schwert (1990) menjelaskan bahwa peranan cacing tanah sangat penting dalam proses dekomposisi bahan organik tanah. Bersama-sama mikroba tanah lainnya terutama bakteri, cacing tanah ikut berperan dalam siklus biogeokimia dengan cara memakan serasah daun dan materi tumbuhan mati lainnya sampai hancur.

Hanafiah, et al., (2005) menjelaskan bahwa cacing tanah mempunyai andil yang besar didalam melakukan perombakan materi tumbuhan dan hewan yang telah mati, serta turut berperan dalam menentukan fertilitas tanah. Menurut Rukmana (1999), cacing tanah berperan dalam menyuburkan lahan pertanian, meningkatkan daya serap air permukaan, memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan degradasi limbah organik. Dewi (2001) menjelaskan bahwa kepadatan cacing tanah berkorelasi positif dengan porositas, N total dan kelembaban tanah. Selain itu, cacing tanah sebagai bagian dari fauna dalam tanah berpotensi sebagai bioindikator kondisi tanah. Biomassa dan kepadatan cacing tanah diketahui merupakan bioindikator yang baik untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan horison organik, kelembaban tanah dan kualitas humus.

Edwards dan Lofty (1977) menyatakan bahwa cacing tanah juga dapat mengubah nitrogen tidak tersedia menjadi tersedia setelah dikeluarkan berupa kotoran (kascing). Kascing (kotoran) cacing tanah mengandung kadar N dan P yang tinggi, yaitu lebih tinggi dari kandungan hara lapisan tanah bagian atas


(20)

selain itu kascing cacing tanah juga mengandung unsur Ca, Mg dan Mn yang sangat berguna bagi tanaman.

Wallwork (1970) menyatakan bahwa cacing tanah dalam melakukan aktivitas hidupnya sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, baik faktor abiotik maupun biotik dimana dia berada (hidup), seperti kondisi-kondisi fisik, kimia, biotik dan ketersediaan makanannya, serta cara pengolahan tanah yang secara umum dapat mempengaruhi populasi cacing tanah, baik kehadiran, penyebaran, kelimpahan maupun keanekaragaman spesiesnya. Selain itu, cacing tanah pada habitatnya dari waktu ke waktu senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya.

Tim Sintesis Kebijakan (2008) menyatakan bahwa peran biota tanah, khususnya cacing tanah dalam mempertahankan kualitas tanah tidak diragukan lagi, tetapi kemampuan tersebut kurang dimanfaatkan karena masih banyak teknologi yang belum dikuasai. Teknologi yang diperlukan untuk pemanfaatan cacing tanah meliputi seleksi spesies unggul, pemeliharaan, perbanyakan, dan penggunaannya yang bertujuan untuk memperbaiki sifat fisik-kimia tanah. Subowo (2008) menyatakan, untuk memperbaiki dan mempertahankan kesuburan tanah tropis dapat dilakukan dengan memanipulasi populasi biologi tanah.

Sampai saat ini penelitian tentang peran cacing tanah (bioindikator) pada ekosistem tanah pertanian tropis baik yang bersifat organik maupun anorganik dan tanggapannya terhadap kegiatan pertanian modern belum banyak dilakukan mengingat peranan cacing tanah dalam ekosistem tanah sangatlah besar. Berdasarkan hal tersebut penelitian komposisi komunitas cacing tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo) perlu dilakukan.


(21)

1.2Permasalahan

Para petani di Kabupaten Karo mengupayakan berbagai cara untuk meningkatkan hasil pertanian, diantaranya dengan menggunakan pupuk anorganik dan ada juga yang menggunakan pupuk anorganik yang dikombinasikan dengan pupuk organik dan ada beberapa yang menggunakan pupuk organik saja. Pemakaian pupuk organik diyakini mampu memelihara kesuburan tanah dan kelestarian lingkungan sekaligus dapat mempertahankan atau meningkatkan produktivitas tanah. Penggunaan bahan organik ke dalam tanah diyakini dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, sedangkan pemakaian pupuk anorganik dapat merusak sifat-sifat tanah dan pada akhirnya akan menurunkan produktifitas tanah untuk waktu yang akan datang dan akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap ekosistem tanah. Diasumsikan penggunaan pupuk baik organik dan anorganik akan mempengaruhi kehidupan hewan tanah, satu diantaranya adalah cacing tanah. Permasalahan dalam penelitian ini adalah belum diketahui bagaimanakah ”Komposisi Komunitas Cacing Tanah pada Lahan Pertanian Organik dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

1.3Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengetahui jenis cacing tanah pada areal pertanian yang diberi pupuk organik dan anorganik.

b. Mengetahui sifat fisik kimia tanah pada areal pertanian yang diberi pupuk organik dan anorganik

c. Mengetahui komposisi komunitas cacing tanah pada areal pertanian .

yang diberi pupuk organik dan anorganik

d. Mengetahui cacing tanah yang karakteristik pada areal pertanian .

yang diberi pupuk organik dan anorganik.


(22)

e. Mengetahui peranan cacing tanah yang karakteristik untuk merubah sifat fisik kimia tanah pada media tanah pertanian organik dan anorganik

f. Mengetahui pertambahan berat dan jumlah populasi cacing tanah yang karakteristik pada media tanah pertanian organik dan anorganik.

1.4 Hipotesis

a. Terdapat perbedaan jenis cacing tanah pada areal pertanian yang diberi pupuk organik dan anorganik.

b. Terdapat perbedaan sifat fisik kimia tanah pada areal pertanian yang diberi pupuk organik dan anorganik.

c. Terdapat perbedaan komposisi komunitas cacing tanah pada areal pertanian yang diberi pupuk organik dan anorganik.

d. Terdapat jenis cacing tanah yang karakteristik pada areal pertanian organik dan anorganik yang dapat digunakan sebagai bioindikator kesuburan tanah.

e. Terdapat perbedaan sifat fisik-kimia tanah akibat inokulasi cacing tanah karakteristik pada media tanah pertanian organik dan anorganik.

f. Terdapat perbedaan pertambahan berat dan jumlah populasi cacing tanah karakteristik pada media tanah pertanian organik dan anorganik.

1.5 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Sebagai informasi bagi Dinas Pertanian Kabupaten Karo dan instansi lain yang terkait.

b. Sebagai informasi bagi petani mengenai budidaya cacing tanah untuk meningkatkan kesuburan tanah

c. Sebagai informasi bagi peneliti selanjutnya terutama bagi yang ingin melakukan kajian yang lebih mendalam tentang peranan cacing tanah dalam kesuburan tanah.


(23)

DESA RAYA, KEC. BERASTAGI, KAB. KARO

Penghasil sayuran, bunga dan buah-buahan (Tomat, kol, sawi, labu, cabe, buncis, wortel,dahlia

dsb)

Kimia Tanah

Perlakuan Cacing Tanah

Pupuk Anorganik Pupuk Organik

Ekosistem Tanah

Penelitian 1.6 Diagram Alur Pemikiran

Diagram alur pemikiran penelitian

komposisi komunitas cacing tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik (Studi kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo) dapat dilihat pada gambar 1.

Pupuk Urea, TSP, dsb Humus, Kotoran lembu.

Negatif Positif

Suhu, Kelembaban pH, N-total, P-tersedia, K, Keberadaan Jenis, KepadatanPopulasi, dsb C-organik Frekuensi Kehadiran (Komposisi Komunitas)

= Negatif (jangka pendek dan tidak bersahabat dengan lingkungan hidup) = Positif (jangka panjang dan bersahabat dengan lingkungan hidup)

Gambar 1. Diagram Alur Pemikiran

Biologi tanah (cacing tanah) Fisika

Tanah

Analisis Data

Komposisi Komunitas Cacing Tanah


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Cacing Tanah

Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata) yang digolongkan dalam filum Annelida dan klas Clitellata, Ordo Oligochaeta. Pengolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi, karena tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (chaeta), yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior. Pada bagian anteriornya terdapat mulut dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium (Edward & Lofty, 1977). Morfologi cacing tanah dapat dilihat pada gambar 2.


(25)

Rukmana (1999) menyatakan bahwa cacing tanah bersifat hermaprodit atau biseksual. Artinya, pada tubuhnya terdapat dua alat kelamin, yaitu jantan dan betina. Namun, untuk pembuahan cacing tanah tidak dapat melakukannya sendiri, tetapi harus dilakukan oleh sepasang cacing tanah. Dari perkawinan tersebut, masing-masing cacing tanah dapat menghasilkan satu kokon yang didalamnya terdapat beberapa butir telur. Subowo (2008) menyatakan bahwa kopulasi dan produksi kokon biasanya dilakukan pada bulan panas.

Berbagai hasil penelitian didapat lama siklus hidup cacing tanah hingga mati mencapai 1-10 tahun. Palungkun (1999), menjelaskan siklus hidup cacing tanah dimulai dari kokon, cacing muda (juvenil), cacing produktif dan cacing tua. Lama siklus hidup tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan, dan jenis cacing tanah. Kokon yang dihasilkan dari cacing tanah akan menetas setelah berumur 14 - 21 hari. Setelah menetas, cacing tanah muda ini akan hidup dan dapat mencapai dewasa kelamin dalam waktu 2,5 - 3 bulan. Saat dewasa kelamin cacing tanah akan menghasilkan kokon dari perkawinannya yang berlangsung selama 6 - 10 hari dan masa produktifnya berlangsung selama 4-10 bulan.

Sherman (2003) menjelaskan bahwa cacing tanah tidak mempunyai kepala, tetapi mempunyai mulut pada ujungnya (anterior) yang disebut

prostomium. Bagian belakang mulut terdapat bagian badan yang sedikit segmennya dinamakan klitelium yang merupakan pengembangan segmen-segmen, biasanya mempunyai warna yang sedikit menonjol atau tidak dibandingkan dengan bagian tubuh lain. Cacing tanah tidak mempunyai alat pendengar dan mata, tetapi peka sekali terhadap sentuhan dan getaran, sehingga dapat mengetahui kecenderungan untuk menghindari cahaya, selain itu cacing tidak mempunyai gigi.


(26)

2.2 Ekologi Cacing Tanah

Paoletti (1999), menyatakan bahwa cacing tanah secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan tempat hidupnya, kotorannya, kenampakan warna, dan makanan kesukaannya sebagai berikut:

(1) Epigaesis;cacing yang aktif dipermukaan, warna gelap, penyamaran efektif, tidak membuat lubang, kotoran tidak nampak jelas, pemakan serasah di permukaan tanah dan tidak mencerna tanah. Contohnya : Lumbricus rubellus

dan L. castaneus.

(2) Anazesis;berukuran besar, membuat lubang terbuka permanen ke permukaan tanah; pemakan serasah di permukaan tanah dan membawanya ke dalam tanah, mencerna sebagian tanah, warna sedang bagian punggung, dengan penyamaran rendah, kotoran di permukaan tanah atau terselip di antara tanah. Contohnya : Eophila tellinii, Lumbricus terrestris, dan Allolobophora longa.

(3) Endogaesis; hidup di dalam tanah dekat permukaan tanah, sering dalam dan meluas, kotoran di dalam lubang, tidak berwarna, tanpa penyamaran, pemakan tanah dan bahan organik, serta akar-akar mati. Contohnya :

Allolobophora chlorotica, Allolobophora caliginosa, dan Allolobophora rosea.

(4) Coprophagic; hidup pada pupuk kandang, seperti : Eisenia foetida, Dendrobaena veneta, dan Metaphire schmardae.

(5) Arboricolous; hidup di dalam suspensi tanah pada hutan tropik basah, seperti :

Androrrhinus spp.

Berdasarkan jenis makanannya cacing tanah dibagi menjadi tiga, yaitu: (1)

litter feeder (pemakan bahan organik sampah, kompos, pupuk hijau), (2) limifagus (pemakan tanah subur/mud atau tanah basah), dan (3) geofagus

(pemakan tanah) (Lee 1985). Kelompok geofagus akan memakan masa tanah dan

litter feeder/limifagus biasanya dengan mendesak masa tanah. Hal ini berhubungan dengan kegiatan membuat lubang yang berbeda pada tiap jenis cacing tanah. Ada yang dilakukan dengan mendesak masa tanah dan ada juga


(27)

Aktivitas hidup cacing tanah dalam suatu ekosistem tanah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: iklim (curah hujan, intensitas cahaya dan lain sebagainya), sifat fisik dan kimia tanah (temperatur, kelembaban, kadar air tanah, pH dan kadar organik tanah), nutrien (unsur hara) dan biota (vegetasi dasar dan fauna tanah lainnya) serta pemanfaatan dan pengelolaan tanah (Buckman & Brady, 1982). Selanjutnya Wallwork (1970) menjelaskan bahwa keberadaan dan kepadatan fauna tanah, khusunya cacing tanah sangat ditentukan oleh faktor abiotik dan biotik. Disamping itu faktor lingkungan lain dan sumber bahan makanan, cara pengolahan tanah, seperti di daerah perkebunan dan pertanian turut mempengaruhi keberadaan dan distribusi cacing tanah tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan cacing tanah sebagai berikut:

a. Kelembaban tanah

Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas pergerakan cacing tanah karena sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75-90 % dari berat tubuhnya. Itulah sebabnya usaha pencegahan kehilangan air merupakan masalah bagi cacing tanah. Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup dalam kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara berpindah ke tempat yang lebih sesuai atau pun diam. Lumbricus terrestris misalnya, dapat hidup walaupun kehilangan 70% dari air tubuhnya. Kekeringan yang lama dan berkelanjutan dapat menurunkan jumlah cacing tanah (Wallwork, 1970; Edward & Lofty, 1977).

Rukmana (1999) menjelaskan bahwa kelembaban tanah yang terlalu tinggi atau terlalu basah dapat menyebabkan cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati. Sebaliknya bila kelembaban tanah terlalu kering, cacing tanah akan segera masuk ke dalam tanah dan berhenti makan serta akhirnya mati.

b. Suhu (temperatur) tanah

Kehidupan hewan tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah. Suhu yang ekstrim tinggi atau rendah dapat mematikan hewan tanah. Di samping itu suhu tanah pada


(28)

umumnya mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme hewan tanah. Tiap spesies hewan tanah memiliki kisaran suhu optimum (Odum, 1996).

Suhu tanah pada umumnya dapat mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme. Tiap spesies cacing tanah memiliki kisaran suhu optimum tertentu, contohnya L. rubellus kisaran suhu optimumnya 15 – 18 0C, L. terrestris

± 10 0C, sedangkan kondisi yang sesuai untuk aktivitas cacing tanah di permukaan tanah pada waktu malam hari ketika suhu tidak melebihi 10,5 0C (Wallwork, 1970).

c. pH tanah

Kemasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas cacing tanah sehingga menjadi faktor pembatas penyebaran dan spesiesnya. Umumnya cacing tanah tumbuh baik pada pH sekitar 4,5- 6,6, tetapi dengan bahan organik tanah yang tinggi mampu berkembang pada pH 3 (Fender dan Fender, 1990).

Tanah pertanian di Indonesia umumnya bermasalah karena pH-nya asam. Tanah yang pH-nya asam dapat mengganggu pertumbuhan dan daya berkembangbiak cacing tanah, karena ketersediaan bahan organik dan unsur hara (pakan) cacing tanah relatif terbatas (Rukmana, 1999). Di samping itu, tanah dengan pH asam kurang mendukung percepatan proses pembusukan (fermentasi) bahan-bahan organik. Oleh karena itu, tanah pertanian yang mendapatkan perlakuan pengapuran sering banyak dihuni cacing tanah. Pengapuran berfungsi menaikkan (meningkatkan) pH tanah sampai mendekati pH netral (Brata, 2006).

Cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, karena itu pH merupakan faktor pembatas dalam menentukan jumlah spesies yang dapat hidup pada tanah tertentu. Dari penelitian yang telah dilakukan secara umum didapatkan cacing tanah menyukai pH tanah sekitar 5,8-7,2 karena dengan kondisi ini bakteri dalam tubuh cacing tanah dapat bekerja optimal untuk mengadakan pembusukan.


(29)

Penyebaran vertikal maupun horizontal cacing tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah (Edwards & Lofty, 1970).

d. Kadar Organik

Suin (1997) mengatakan materi organik tanah sangat menentukan kepadatan organisme tanah. Materi organik tanah merupakan sisa-sisa tumbuhan, hewan organisme tanah, baik yang telah terdekomposisi maupun yang sedang

terdekomposisi. Selanjutnya Buckman & Brady (1982) mengatakan bahwa materi organik dalam tanah tidaklah statis tetapi selalu ada perubahan dengan

penambahan sisa-sisa tumbuhan tingkat tinggi dan penguraian materi organik oleh jasad pengurai. Materi organik mempunyai pengaruh besar pada sifat tanah karena dapat menyebabkan tanah menjadi gembur, meningkatkan kemampuan mengikat air, meningkatkan absorpsi kation dan juga sebagai ketersediaan unsur hara.

Bahan organik tanah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan populasi cacing tanah karena bahan organik yang terdapat di tanah sangat diperlukan untuk melanjutkan kehidupannya. Bahan organik juga mempengaruhi sifat fisik-kimia tanah dan bahan organik itu merupakan sumber pakan untuk menghasilkan energi dan senyawa pembentukan tubuh cacing tanah (Anwar, 2007) .

e. Vegetasi

Suin (1982) menyatakan bahwa pada tanah dengan vegetasi dasarnya rapat, cacing tanah akan banyak ditemukan, karena fisik tanah lebih baik dan sumber makanan yang banyak ditemukan berupa serasah. Menurut Edwards & Lofty (1977) faktor makanan, baik jenis maupun kuantitas vegetasi yang tersedia di suatu habitat sangat menentukan keanekaragaman spesies dan kerapatan populasi cacing tanah di habitat tersebut. Pada umumnya cacing tanah lebih menyenangi serasah herba dan kurang menyenangi serasah pohon gugur dan daun


(30)

yang berbentuk jarum. Selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah lebih menyenangi daun yang tidak mengandung tanin.

2.3 Peranan Cacing Tanah

Cacing tanah merupakan organisme tanah yang memiliki peranan penting pada pertumbuhan tanaman yang telah diketahui lebih dari seabad yang lalu, sejak terbit publikasi buku dari Charles Darwin berjudul The formation of vegetable mould through the action of worms pada tahun 1881. Peranan utama cacing tanah adalah untuk mengubah bahan organik, baik yang masih segar maupun setengah segar atau sedang melapuk, sehingga menjadi bentuk senyawa lain yang

bermanfaat bagi kesuburan tanah (Buckman dan Brady, 1982). Selanjutnya Suin (1982) mengatakan bahwa cacing tanah juga berperan memperbaiki aerasi tanah dengan cara menerobos tanah sedemikian rupa sehingga pengudaraan tanah menjadi lebih baik, disamping itu cacing tanah juga menyumbangkan unsur hara pada tanah melalui eksresi yang dikeluarkannya, maupun dari tubuhnya yang telah mati.

Makrofauna tanah, khususnya cacing tanah merupakan bagian dari biodiversitas tanah yang berperan penting dalam perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah melalui proses imobilisasi dan humifikasi. Dalam dekomposisi bahan organik, makrofauna tanah lebih banyak berperan dalam proses fragmentasi (comminusi) serta memberikan fasilitas lingkungan mikrohabitat yang lebih baik bagi proses dekomposisi lebih lanjut yang dilakukan oleh kelompok mesofauna dan mikrofauna tanah serta berbagai jenis bakteri dan fungi (Lavelle et al., 1994).

Secara umum peranan cacing tanah adalah sebagai bioamelioran (jasad hayati penyubur dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya dalam memperbaiki sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan organik, pelapukan mineral, sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah (Hanafiah et al., 2005).


(31)

Hegner & Engeman (1978) menyatakan bahwa pembentukan pori-pori tanah dilakukan oleh cacing tanah sehingga campuran bahan organik dan anorganik membentuk bahan-bahan lain yang tersedia bagi tanah. Cacing tanah juga dapat meningkatkan daya serap tanah dalam menyerap air pada waktu hujan karena cacing tanah memiliki kemampuan membuat liang-liang dalam tanah. Oleh sebab itu persediaan air dalam tanah akan lebih teratur, sehingga menjamin pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman yang baik akan menyebabkan daun-daun tumbuhan lebih baik. Apabila daun-daun-daun-daun yang telah tua jatuh akan menjadi humus sehingga secara langsung cacing tanah mengurangi banjir pada saat hujan dan menjaga persedian air pada musim kering.

Suin (1982) menyatakan bahwa tanah dengan kepadatan populasi cacing tanahnya tinggi akan menjadi subur, sebab kotoran cacing tanah (kasting) yang bercampur dengan tanah merupakan pupuk yang kaya akan nitrat organik, posfat, dan kalium, yang membuat tanaman mudah menerima pupuk yang diberikan ke tanah, disamping formasi bahan organik tanah dan mendistribusikan kembali bahan organik di dalam tanah. Komposisi komponen kimiawi pada kascing dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Komposisi komponen kimiawi pada kascing Komposisi Kimiawi Komposisi (%)

Na 0,82

Kalium (K) 0,43

KTK 13,20

Magnesium (Mg) 1,41

Al 0,00

Ca 13,59

Sumber: Subowo, 2002

Wallwork (1976) menyatakan bahwa cacing tanah dan organisme tanah lainnya merupakan variabel biotis penyusun suatu komunitas yang memiliki beberapa peranan, diantaranya adalah sebagai pengurai dalam rantai makanan, jembatan transfer energi kepada organisme yang memiliki tingkat tropik yang lebih tinggi, membantu kegiatan metabolisme tumbuhan dengan menguraikan


(32)

serasah daun-daunan dan ranting. Disamping itu cacing tanah dapat digunakan untuk mengestimasi kondisi ekologis suatu ekosistem tanah. Selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah juga dapat mengubah kondisi tanah yang didiaminya melalui keunikan aktivitas dan perilakunya. Hewan ini memakan tanah berikut bahan organik yang terdapat di tanah dan kemudian dikeluarkan sebagai kotoran di permukaan tanah. Aktivitas ini menyebabkan lebih banyak udara yang masuk ke dalam tanah, tanah menjadi teraduk dan terbentuk agregasi-agregasi sehingga tanah dapat menahan air lebih banyak dan menaikkan kapasitas air tanah. Cacing tanah sangat penting dalam proses dekomposisi bahan organik tanah.

Kegiatan cacing tanah menerowongi tanah dapat membentuk pori mikro yang mantap dan sambung menyambung melancarkan daya antar air, memudahkan proses pertukaran gas, menyediakan medium yang baik bagi pertumbuhan akar (Notohadiprawiro, 1998).

2.4 Pertanian Organik dan Anorganik

Pertanian organik dibanyak tempat dikenal dengan istilah yang berbeda-beda. Ada yang menyebut sebagai pertanian lestari, pertanian ramah lingkungan, sistem pertanian berkelanjutan dan pertanian organik itu sendiri. Penggunaan istilah pertanian organik/Organic Farming pertama kali oleh Northbourne pada tahun 1940 dalam bukunya yang berjudul Look to the Land. Northbourne menggunakan istilah tersebut tidak hanya berhubungan dengan penggunaan bahan organik untuk kesuburan lahan, tetapi juga kepada konsep merancang dan mengelola sistem pertanian sebagai suatu sistem utuh atau organik, mengintegrasikan lahan, tanaman panenan, binatang dan masyarakat (Lotter, 2003).

Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang bertujuan untuk tetap menjaga keselarasan sistem alami dengan memanfaatkan dan mengembangkan


(33)

Mutiarawati (2001) menyatakan bahwa, sistem pertanian organik mempunyai konsep antara lain:

- Suatu budidaya pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia (buatan) - Mewujudkan sikap dan perilaku hidup yang menghargai alam

- Berkeyakinan bahwa kehidupan adalah anugerah Tuhan, harus dilestarikan.

Suwantoro (2008) mendefinisikan pertanian organik sebagai suatu sistem produksi pertanian yang berasaskan daur ulang secara hayati. Daur ulang hara dapat melalui sarana limbah tanaman dan ternak, serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Pertanian organik menurut IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movements), 2005 didefinisikan sebagai sistem produksi pertanian yang holistic dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan. Pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversity, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.

Salah satu alasan pentingnya pengembangan pertanian organik adalah persoalan kerusakan lahan pertanian yang semakin parah. Penggunaan pupuk kimia secara terus-menerus menjadi penyebab menurunnya kesuburan lahan bila tidak diimbangi dengan penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati (Ansyori, 2004).

Sistem pertanian konvensional selain menghasilkan produksi yang meningkat dan terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pertanian itu sendiri dan lingkungan lainnya. Keberhasilan yang dicapai dalam sistem pertanian konvensional hanya bersifat sementara, karena lambat laun ternyata tidak dapat dipertahankan akibat rusaknya habitat pertanian itu sendiri. Oleh karena itu perlu upaya untuk memperbaiki sistem pertanian konvensional dengan mengedepankan kaidah-kaidah ekosistem yang berkelanjutan (Aryantha,


(34)

2003).

Kemajuan teknologi dalam bidang pertanian sebagai dampak dari revolusi industri, revolusi kimia dan revolusi hijau, mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara global, namun juga membawa dampak negatif. Mutiarawati (2001) menyatakan bahwa, penggunaan sarana produksi pertanian yang tak terbarukan (not renewable) seperti pupuk buatan dan pestisida secara terus menerus pada sistem pertanian konvensional dan dengan takaran yang berlebihan, menyebabkan antara lain:

- Pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia pertanian - Membahayakan kesehatan manusia dan hewan

- Menurunkan keanekaragaman hayati

- Meningkatkan resistensi organisme pengganggu

- Menurunkan produktivitas lahan karena erosi dan pemadatan tanah

Keberlanjutan produksi pertanian membutuhkan pemeliharaan kualitas tanah. Istilah kualitas tanah (soil quality) yang diaplikasikan pada ekosistem menunjukkan kemampuan tanah untuk mendukung secara terus menerus pertumbuhan tanaman pada kualitas lingkungan yang terjaga. U ntuk aplikasi di bidang pertanian, yang dimaksud kualitas tanah adalah kemampuan tanah yang berfungsi dalam batas-batas ekosistem yang sesuai untuk produktivitas biologis, mampu memelihara kualitas lingkungan dan mendorong tanaman dan hewan menjadi sehat (Magdoff, 2001).

Penilaian kualitas tanah melalui pengukuran sifat fisik dan kimia, seperti kelembaban tanah, kemantapan agregat, kepadatan tanah, jumlah air tersimpan, hara tersedia, sifat meracun alumunium dan lainnya sering kali memiliki kelemahan, karena diukur oleh peralatan dan ekstraktan kimia yang diasumsikan memiliki kemampuan yang sama dengan kemampuan kerja akar tanaman dan hanya menggambarkan kondisi pada saat tersebut saja. Oleh karena itu pemanfaat


(35)

salah satu alternatif. Menurut Doran dan Zeiss (2000), ada lima kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu indikator termasuk bioindikator untuk dapat menilai kualitas tanah, yaitu:

(1) Sensitif terhadap variasi pengelolaan

(2) Berkorelasi baik dengan fungsi tanah yang menguntungkan

(3) Dapat digunakan dalam menguraikan proses-proses di dalam ekosistem (4) Dapat dipahami dan berguna untuk pengelolaan lahan; serta

(5) Mudah diukur dan tidak mahal

Di dalam tanah terdapat berbagai jenis biota tanah, antara lain mikroba (bakteri, fungi, aktinomisetes, mikroflora, dan protozoa) serta fauna tanah. Masing-masing biota tanah mempunyai fungsi yang khusus. Dalam kaitannya dengan tanaman, mikroba sangat berperan dalam membantu pertumbuhan tanaman dalam penyediaan hara (mikroba penambat N, pelarut P), membantu penyerapan hara (cendawan mikoriza arbuskula), memacu pertumbuhan tanaman (penghasil hormon), dan pengendali hama-penyakit (penghasil antibiotic, antipogen). Demikian pula fauna tanah, setiap grup fauna tanah mempunyai fungsi ekologis yang khusus. Keanekaragaman biota dalam tanah dapat digunakan sebagai indikator biologis kualitas tanah. Salah satu biota tanah yang memegang peranan penting dalam siklus hara didalam tanah yang bersifat saprofagus maupun geofagus adalah cacing tanah (Tim Sintesis Kebijakan, 2008).


(36)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari 2 tahap yaitu: 1)Tahap 1

Komposisi komunitas cacing tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

2)Tahap 2

Kajian cacing tanah (bioindikator) pada lahan pertanian organik dan anorganik untuk meningkatkan kesuburan tanah.

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian tahap 1 yaitu komposisi komunitas cacing tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik dilakukan pada bulan Januari tahun 2013 di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara sedangkan penelitian tahap 2 yaitu kajian cacing tanah (bioindikator) pada lahan pertanian organik dan anorganik untuk meningkatkan kesuburan tanah dilakukan pada bulan Februari – Maret tahun 2013 di Laboratorium Sistematika Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Deskripsi Area

Kecamatan Berastagi merupakan salah satu dari 17 Kecamatan yang ada di Kabupaten Karo (Peta Kabupaten Karo dapat dilihat pada lampiran A) dengan Ibukota Kecamatan Berastagi yang berjarak 11 km dari Kabanjahe sebagai Ibukota Kabupaten dan 65 km dari Medan ibukota Propinsi. Kecamatan Berastagi


(37)

dengan luas ± 3.050 Ha berada pada ketinggian rata-rata 1375 m dpl dengan temperatur 19 0

-C dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

-Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Barus Jahe

-Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat/Kecamatan Merdeka

-Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe (BPS Kecamatan Berastagi, 2012).

Areal pertanian organik dan anorganik (Foto lokasi pada lampiran B) yang diteliti masing-masing memiliki luas ± 6000 m2

a. Pertanian Organik

. Deskripsi lokasi lahan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Pertanian organik berada pada koordinat 03°08’46,1” BB dan 098°30’28,9” BT dengan ketinggian 1312 mdpl. Lokasi ini ditanam dengan tanaman brokoli (Brassica oleraceae), selada (Lactuca sativa), kol/ kubis (Brassica oleraceae), daun bawang (Allium fistulosum), labu (Cucurbita muschota), daun mint (Mentha piperita), jipang, sawi (Brassica rapa), kopi (Coffea), cabai (Capsicum annum), kacang koro (Phaseolus sp.), buncis (Phaseolus vulgaris), gladiol (Gladiol spp) dan rosemary. Pupuk yang digunakan pada lahan ini adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran lembu yang telah diolah menjadi kompos.

b. Pertanian anorganik

Pertanian aorganik berada pada koordinat 03°09’49,8” BB dan 098°30’38” BT dengan ketinggian 1340 mdpl. Lokasi ini ditanam dengan tanaman tomat (Solanum lycopersicum), selada (Lactuca sativa), wortel (Daucus carota), sawi (Brassica rapa), labu (Cucurbita muschota), cabai (Capsicum annum), bunga krisan (Chrysanthemum morifolium), bunga dahlia (Dahlia pinata), jagung (Zea


(38)

mays). Pupuk yang digunakan pada lahan ini adalah pupuk kimia NPK yang berasal dari pabrik.

3.3 Metoda Penelitian 3.3.1Lapangan

Penelitian tahap pertama, penentuan lokasi penelitian dilakukan secara

Purposive Random Sampling yaitu pada dua areal tanah pertanian yaitu pertanian organik dan pertanian anorganik, di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo. Disetiap lokasi diukur titik koordinatnya dengan GPS. Plot dibuat secara acak dengan menggunakan metode kuadrat dan pengambilan sampel cacing tanah dilakukan dengan Metoda Sortir Tangan (Hand Sorting) (Minnich, 1977; Lee, 1985; Coleman et al., 2004, Bignell et al. 2008).

3.3.2Laboratorium

Penelitian tahap kedua, kajian cacing tanah sebagai bioindikator kesuburan tanah dilakukan secara eksperimental di Laboratorium Sistematika Hewan, Departemen Biologi, FMIPA, USU dengan menggunakan jenis cacing tanah yang termasuk kelompok bioindikator, yaitu yang mendapatkan spesies/jenis nilai KR > 10 % dan FK > 25 % dengan 5 kali ulangan dan perlakuan sebagai berikut:

OMC0 : Tanah pertanian organik + makanan (Kontrol)

OMCa : Tanah pertanian organik + makanan + spesies Pheretima sp.

OMCb : Tanah pertanian organik + makanan + spesies Pontoscolex corethrurus AnMC0 : Tanah pertanian anorganik + makanan (Kontrol)

AnMCa : Tanah pertanian anorganik + makanan + spesies Pheretima sp. AnMCb : Tanah pertanian anorganik + makanan + spesies Pontoscolex

corethrurus

Keterangan: Tanah Pertanian organik/anorganik = 900 gram Makanan (Sawi dan Kol yang difermentasi) = 300 gram Cacing tanah = 5 ekor.


(39)

3.4 Pelaksanaan Penelitian di Lapangan (Tahap 1)

3.4.1 Pengambilan Sampel Cacing Tanah Dengan Metode Kuadrat dan Hand sortir.

a.Pada masing-masing areal dibuat sebanyak 15 plot yang berukuran 25 x 25 cm dengan menggunakan bingkai seukuran itu untuk memudahkan pengambilannya (Plot pengambilan sampel cacing tanah dapat dilihat pada gambar 3).

b.Tanah dari tiap kuadrat diambil dengan kedalaman 20 cm kemudian tanahnya dimasukkan ke dalam goni. Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 06.00-09.00 WIB.

c.Selanjutnya tanah langsung disortir untuk mendapatkan cacing tanah. d.Cacing tanah yang didapat dikumpulkan dan dibersihkan dengan air

serta dihitung jumlahnya, kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel dan diawetkan dengan alkohol 70%,

e. Selanjutnya sampel cacing tanah dibawa ke Laboratorium Sistematika Hewan FMIPA USU Medan untuk diidentifikasi dan dihitung jumlah individu dari masing-masing jenis yang didapatkan, metoda ini cukup efektif seperti yang dilakukan oleh Suin (1997). (Foto kerja pada lampiran C).

Gambar 3. Plot Pengambilan Sampel Cacing Tanah Bingkai Pengambilan Sampel 25 cm x 25 cm


(40)

3.4.2 Identifikasi Spesies Cacing Tanah

Sampel Cacing tanah yang telah diawetkan dengan menggunakan alkohol 70% terlebih dahulu dikelompokkan sesuai dengan jenisnya, selanjutnya dideterminasi dan diidentifikasi dengan melihat morfologi menggunakan mikroskop stereo binokuler serta beberapa buku acuan Stephenson (1932), Edwards & Lofty (1977), Fender & Fender (1990), James (1990) dan Suin (1997).

3.5 Pelaksanaan Penelitian Dilaboratorium (Tahap 2, Kajian Spesies Bioindikator Kesuburan Tanah)

3.5.1 Pengambilan Sampel Tanah

Tanah diambil dari lahan pertanian organik dan anorganik di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara dengan kedalaman 0-20 cm. Tanah dimasukkan ke dalam goni. Setelah itu tanah dikompositkan dan dicampurkan merata, kemudian dibawa ke Laboratorium Sistematika Hewan, Departemen Biologi, FMIPA, USU.

3.5.2 Pengumpulan Sampel Cacing Tanah

Sampel cacing tanah dikumpulkan dari lahan pertanian organik dan anorganik di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Cacing tanah yang didapatkan dimasukkan ke dalam ember atau plastik yang telah berisi tanah/media dan dibawa ke laboratorium untuk dikaji pada media perlakuan yang telah disediakan. Cacing tanah yang dikaji adalah cacing tanah yang merupakan spesies karakteristik.

3.5.3 Kajian Cacing Tanah Sebagai Bioindikator Kesuburan Tanah

a.Ember yang digunakan sebagai tempat perlakuan atau media sebanyak 30 buah. Kemudian pada masing- masing ember dimasukkan tanah yang


(41)

dan ditambah dengan makanan cacing tanah (sesuai dengan komposisi yang telah ditetapkan).

b.Selanjutnya setiap ember yang telah berisi dengan media perlakuan diisi dengan jenis cacing tanah yang telah diaklimatisasi, yaitu cacing tanah yang menjelang dewasa sebanyak 5 ekor setiap perlakuan, dengan berat relatif sama pada masing-masing ulangan.

c.Kemudian ember-ember tempat media dan cacing tanah ditutup dengan kain kasa warna hitam, agar cacing tanahnya tidak keluar dan tetap aktif dalam memanfaatkan media.

d. Kondisi sifat fisik media, seperti kelembaban, temperatur dan pH media diperiksa setiap tiga hari (Lampiran D) dan dilakukan pengamatan pertumbuhan/pertambahan jumlah individu dan berat (biomassa) populasi cacing tanah selama 10 hari sekali selama dua bulan (± 60 hari). Setelah 2 bulan kemudian tanah/media perlakuan dianalisis kembali sifat fisik-kimianya dengan cara cacing tanah dikeluarkan dari media perlakuan. Setiap media perlakuan yang mendapat perlakuan yang sama dikompositkan dan digabungkan secara merata lalu diambil sebanyak 500 g untuk dianalisis sifat kimia tanahnya di Laboratorium Riset & Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

3.5.4 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah

Tanah pada masing-masing lokasi penelitian (pertanian organik dan anorganik) dan media perlakuan cacing tanah diukur kelembaban relatif, suhu, N, P, K, C organik dan pH. Pengukuran kelembaban relatif, suhu dan pH tanah dilakukan sebelum tanah diambil. Kelembaban relatif dan pH diukur dengan menggunakan

Soil Tester, suhu tanah diukur pada bagian permukaan dengan kedalaman 10 cm menggunakan Soil Thermometer.

Pengukuran N, P, K, dan C-organik dilakukan di Laboratorium Riset & Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Tanah yang diperoleh


(42)

dibersihkan dari sisa-sisa tumbuhan dan hewan tanah lainnya, kemudian dicampur sampai rata dan diambil sebagian untuk dianalisis dengan metode yang tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter sifat fisik kimia tanah

PARAMETER SATUAN METODE

fisik:

- Suhu ºC

- Kelembaban %

Kimia: - pH - N total - P- tersedia - K - C-Organik % Ppm me/100 g % Kjeldhal Bray II Ekstraksi NH4

Walkley & Balck OAC pH 7

3.6. Analisis data 3.6.1Lapangan

Jenis Cacing tanah dan jumlah individu masing-masing jenis yang di dapatkan dihitung: Kepadatan populasi, Kepadatan Relatif masing-masing jenis, Frekuensi kehadiran, dan komposisi (Wallwork, 1970, Southwood, 1966 dalam

Suin 1997) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

a. Kepadatan populasi (K)

b. Kepadatan Relatif (KR)


(43)

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

Dimana: 0-25% = Konstansinya sangat jarang (aksidental) 25-50% = Konstansinya jarang (aksesoris)

50%-75% = Konstansinya sering (konstan) >75% = Konstansinya sangat sering (absolut)

d. Komposisi Komunitas: ditentukan dengan cara mengurutkan nilai KR tertinggi sampai terendah.

e. Bioindikator : apabila nilai KR > 10 % dan nilai FR > 25%

3.6.2Laboratorium

Analisis data untuk kajian cacing tanah untuk meningkatkan kesuburan tanah dilakukan secara deskriptif. Parameter tanah yang dianalisis adalah unsur hara C-organik, N, P dan K tanah (Lampiran E).

Data sekunder yang diamati adalah pertambahan jumlah individu dan berat (biomassa) cacing tanah. Pengamatan ini dilakukan 10 hari sekali selama 2 bulan (± 60 hari) (Lampiran F).


(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Spesies Cacing Tanah Yang Ditemukan

Hasil penelitian dan identifikasi yang dilakukan pada lahan pertanian organik dan anorganik di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo didapatkan 4 spesies cacing tanah dari 2 Famili, Glossocolecidae 1 spesies dan Megascolecidae 3 spesies (Tabel 3).

Tabel 3. Cacing tanah yang ditemukan pada lahan pertanian organik dan anorganik

No. Famili Spesies/Jenis Lokasi

I II 1. Glossoscolecidae 1) Pontoscolex corethrurus + +

2. Megascolecidae 2) Amynthas sp. + +

3) Megascolex sp. + -

4) Pheretima sp. + +

Jumlah Spesies 4 3

Keterangan: I = Lahan Pertanian Organik, II = Lahan Pertanian Anorganik, (+) = Ditemukan, (-) = Tidak Ditemukan

Pada Tabel 3 terlihat bahwa jumlah jenis cacing tanah lebih banyak ditemukan pada lahan pertanian organik, sebanyak 4 jenis (Pontoscolex corethrurus, Amynthas sp., Megascolex sp. dan Pheretima sp.), dibandingkan pada lahan pertanian anorganik sebanyak 3 jenis (P. corethrurus, Amynthas sp. dan Pheretima sp.). Jenis cacing tanah Megascolex sp. tidak ditemukan pada lahan pertanian anorganik hal ini diduga karena pada lahan pertanian organik menggunakan kompos berupa kotoran lembu sedangkan pada lahan pertanian anorganik diberikan perlakuan tambahan berupa pupuk NPK. Diduga keberadaan jenis cacing Megascolex sp. dipengaruhi akibat penggunaan dari kompos yang berasal dari kotoran lembu. Jenis cacing tanah Megascolex sp. lebih suka hidup


(45)

lebih dari 1%, terlindungi dari sinar matahari, kelembaban tanah berkisar antara 80-90% dan lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH sedikit asam yaitu kurang dari 6 (John, 1998). Habitat seperti ini sangat spesifik bagi Megascolex sp. ini untuk tumbuh dan berkembang biak dengan baik.

Populasi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana cacing tanah itu berada. Lingkungan yang dimaksud disini adalah kondisi-kondisi fisik, kimia, biotik dan makanan yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi populasi cacing tanah. Menurut Hanafiah et al (2003) faktor-faktor ekologis yang memengaruhi cacing tanah meliputi: (a) keasaman (pH), (b) kelengasan, (c) temperatur, (d) aerasi dan CO2, (e) bahan organik, (f) jenis, dan (g) suplai nutrisi.

Banyaknya jenis cacing tanah yang ditemukan di lahan pertanian organik diduga karena lahan yang diberikan pupuk organik berupa kompos akan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (cacing tanah) sedangkan lahan yang diberikan pupuk kimia secara intensif akan mempengaruhi atau menurunkan kualitas tanah yang dicirikan dengan terjadinya pemadatan tanah dan berkurangnya pori tanah, hal ini akan menyebabkan organisme dalam tanah akan mati karena kekurangan oksigen. Kelembaban dan kadar organik pada lahan pertanian organik lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian anorganik (Tabel 4), hal ini sesuai dengan pernyataan Notohadiprawiro (1998) komunitas yang kaya akan nutrisi mempunyai banyak organisme. Sedikitnya jumlah spesies yang didapatkan di lahan pertanian anorganik disebabkan oleh rendahnya kandungan kadar organik tanah dan kelembaban tanah (Tabel 4). Suin (1997) menyatakan bahwa kadar air tanah sangat menentukan kehidupan hewan tanah. Umumnya pada tanah yang rendah kadar airnya keberadaan cacing tanah juga rendah, hal ini karena cacing tanah memerlukan air yang banyak untuk menjaga kelembaban tubuhnya.


(46)

Spesies cacing tanah yang ditemukan pada lahan pertanian organik dan anorganik memiliki ciri spesifik sesuai dengan peran ekologis pada habitatnya serta kebiasaan dalam menggali terowongan (Wallwork, 1970). Hasil penelitian didapatkan 2 sifat yaitu endogeik (P. corethrurus) dan anesik (Amynthas sp.,

Megascolex sp. dan Pheretima sp.) (Barrat, 2002). Cacing endogeik hidup di dalam tanah yang lebih dalam dan memakan tanah serta kumpulan bahan-bahan organik. Cacing tanah jenis ini tidak memiliki pigmen tubuh dan membuat liang horizontal yang bercabang ke dalam tanah. Kelompok cacing ini berperan penting dalam mencampur serasah di atas tanah dengan tanah lapisan bawah (Lee, 1985).

Cacing anesik hidup di dalam sistem liang vertikal yang lebih permanen, dapat meluas beberapa meter ke dalam tanah. Cacing jenis ini mengeluarkan sisa pencernaannya (kasting) pada permukaan tanah, sehingga berperan penting dalam meningkatkan kadar biomass dan kesuburan tanah lapisan atas. Pengaruh cacing ini terlihat lebih cepat terhadap produktivitas tanaman semusim yang berakar dangkal (Hanafiah et al., 2005). Ciri khusus keempat spesies cacing tanah yang ditemukan sebagai berikut :


(47)

1. Family Glossocolecidae, Ponthoscolex cerethrurus

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 4. Ponthoscolex corethrurus: morfologi tubuh (a), klitelum berbentuk sadel (b), seta tipe lumbrisine (c), prostomium prolobus (d).

Tanda-tanda khusus:

Panjang tubuh berkisar antara 45-120 mm, diameter 2-3 mm, dan jumlah segmen antara 120-167 warna bagian dorsal coklat kekuningan, bagian ventral abu-abu keputihan, warna ujung anterior kekuningan dan ujung posterior coklat kekuningan, prostomium prolobus, klitelium berbentuk sadel pada segmen ke 13-17 berwarna kekuningan, pada bagian dorsal menebal sedangkan bagian ventral tidak. Tipe seta lumbricine di bagian dorsal tubuh, terlihat lebih jelas pada bagian posterior, lubang kelamin jantan terletak pada segmen 20/21 dan lubang kelamin betina tidak jelas (Gambar 4).

Cacing tanah jenis P. corethrurus ini ditemukan pada lahan pertanian organik dan anorganik. Hanafiah dkk (2005) menyatakan bahwa cacing tanah dari famili Glossocolicidae banyak terdapat di lahan pertanian. Blakemore (2002) menyatakan penyebaran P. Corethrurus meliputi Indonesia (Sumatera dan Jawa),


(48)

Malay Peninsula, Filipina, dan India. Suin (1997) menyatakan bahwa cacing tanah jenis P. corethrurus ini memiliki sebaran yang sangat luas di Indonesia, dan banyak ditemukan pada semak belukar, padang rumput, dan tidak ditemukan pada hutan yang lebat. Selanjutnya John (1998) menjelaskan bahwa cacing tanah dari jenis P. corethrurus juga ditemukan di Sumatera Utara, yaitu pada areal perkebunan kelapa sawit, coklat dan karet, serta areal pertanian tanaman pangan.

2. Family Megascolecidae, Amynthas sp.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 5. Amynthas sp.: morfologi tubuh (a), klitelum berbentuk annular (b), prostomium tipe epilobus (c), seta perichitine (d).

Tanda-tanda khusus:

Panjang tubuh berkisar antara 60-158 mm, diameter 3-5 mm, dan jumlah segmen antara 87-167 warna bagian dorsal coklat kemerah-merahan, bagian ventral coklat pucat, warna ujung anterior coklat dan ujung posterior coklat kekuningan, prostomium epilobus, klitelium berbentuk annular pada segmen 14-16 dengan warna coklat muda. Tipe seta perichaetine tersebar diseluruh segmen. Lubang kelamin jantan terletak pada segmen 18 dan lubang kelamin betina terletak pada segmen 14 tidak jelas (Gambar 5).


(49)

Cacing tanah jenis Amynthas sp. ini ditemukan pada lahan pertanian organik dan anorganik. Cacing tanah jenis Amynthas sp. ini merupakan spesies kosmopolit sehingga sering ditemukan diberbagai tipe habitat. Penyebaran

Amynthas meliputi Asia, Oceania dan Australasia (Blakemore 2002).

3. Family Megascolecidae, Megascolex sp.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 6. Megascolex sp.: morfologi tubuh(a), klitelum berbentuk annular (b), prostomium tipe epilobus (c), seta perichitine (d).

Tanda-tanda khusus:

Panjang tubuh berkisar antara 90-130 mm, diameter 3-4 mm dengan jumlah segmen antara 134-178. Warna bagian dorsal merah keunguan, bagian ventral pucat atau coklat keputihan. Warna ujung anterior coklat keputihan dan ujung posterior abu-abu coklat. Prostomium epilobus. Klitelium berbentuk annular dimulai pada segmen ke 14-16, mempunyai setae dengan tipe Perichaetine. Lubang kelamin jantan pada segmen 18, lubang kelamin betina pada septa 7/8-8/9 (Gambar 6).


(50)

Suin (1997) menyatakan bahwa cacing tanah jenis Megascolex sp. ini memiliki sebaran yang sangat luas di Indonesia, dan banyak ditemukan pada semak belukar, padang rumput, dan tidak ditemukan pada hutan yang lebat, cacing tanah ini ditemukan pada lahan pertanian organik.

4. Famili Megascolidae, Pheretima sp.

(a) (b)

(c)

(d)

Gambar 7. Pheretima sp.: morfologi tubuh (a), klitelum berbentuk annular (b), prostomium tipe epilobus (c), seta perichitine (d).

Tanda-tanda khusus:

Panjang tubuh berkisar antara 150-185 mm, diameternya 5-6 mm, dan jumlah segmen antara 125-145. Warna bagian dorsal coklat keunguan, bagian ventral pucat atau abu-abu keputihan. Warna ujung anterior coklat kekuningan dan ujung posterior coklat pucat/kuning. Prostomium epilobus. Klitelium berbentuk annular dan tidak menebal, segmennya jelas, mempunyai setae dengan tipe Perichaetin.

Genus ini mempunyai sepasang lubang jantan di segmen ke 18 dan satu lubang betina di segmen ke 14 (Gambar 7).


(51)

Cacing tanah ini umumnya ditemukan pada tanah yang banyak ditumbuhi oleh vegetasi penutup tanah, berupa rumput dan semak, serta tumpukan bahan organik berupa serasah daun atau kompos. Blakemore (2002) menyatakan bahwa

Pheretima tersebar di Indonesia, Malaysia, Borneo, New Guinea India dn Stephenson (1923) Burma, dan Andamans. Penyebaran cacing ini di Indonesia telah dilaporkan, yaitu di pulau Sumba dan propinsi Jawa Barat Suin (1982). Selanjutnya John (1998) menjelaskan bahwa cacing tanah dari jenis Pheretima sp. ditemukan di Sumatera Utara, pada bagian pinggir tumpukan sampah kota, areal perkebunan kelapa sawit dan areal pertanian tanaman pangan.

4.2 Faktor Fisik Kimia Tanah Pada Lahan Pertanian Organik dan Anorganik

Hasil pengukuran faktor fisik kimia tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo didapatkan 4 faktor yang diduga mempengaruhi kehadiran cacing tanah yaitu kelembaban, C-organik, N-total, P dan K (Tabel 4).

Tabel 4. Nilai faktor fisik-kimia tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik

No. Parameter Satuan Lokasi

I II

1. Suhu Tanah °C 15 15,4

2. Kelembaban % 62,7 53,7

3. pH - 6,9 6,8

4. C-Organik % 1,67 1,47

5. N-total % 0,22 0,29

6. P- tersedia ppm 16,52 21,30

7. K-tukar Me/100 1,921 2,350

8. C/N - 7,59 5,06

Keterangan: I = Lahan Pertanian Organik, II = Lahan Pertanian Anorganik (Lampiran C)

Pada Tabel 4 terlihat perbedaan faktor fisik kimia pada lahan pertanian organik dan anorganik yang mempengaruhi kehadiran cacing. Faktor yang sangat besar mempengaruhi kehadiran cacing tanah adalah kelembaban tanah. Kelembaban tanah pada pertanian organik sebesar 62,7% sedangkan pada


(52)

pertanian anorganik sebesar 53,7%. Kelembaban sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan cacing tanah karena tubuh cacing tanah mengandung air sebanyak 75-90%, sehingga kelembaban tanah yang rendah akan mengakibatkan cacing tanah dehidrasi dan berakibat pada kematian. Menurut Ivask et al., (2006) kelembaban tanah sangat mempengaruhi kepadatan cacing tanah. Hal tersebut dibuktikan bahwa kepadatan spesies cacing tanah lebih banyak pada lahan pertanian organik dibandingkan dengan anorganik (Tabel 5).

Selain kelembaban, C-organik tanah juga mempengaruhi kehadiran tanah. C-organik tanah pada lahan pertanian organik 1,67% sedangkan anorganik 1,47%. Pada dasarnya cacing tanah dapat berkembangbiak pada tanah yang subur, tanah yang subur adalah tanah yang memiliki kandungan unsur hara yang tinggi. Menurut Buckman & Brady (1982) menyatakan bahwa bahan organik tanah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan populasi cacing tanah, karena bahan organik yang terdapat didalam tanah sangat diperlukan oleh cacing tanah untuk melanjutkan kehidupannya. Selanjutnya Walwork (1970) menyatakan bahwa keberadaan spesies cacing tanah pada suatu areal sangat ditentukan oleh kandungan bahan organik di areal tersebut. Apabila kandungan organik pada suatu daerah tinggi maka spesies cacing tanah juga akan banyak karena pada umumnya, tanah yang memiliki bahan organik yang tinggi memiliki aerasi dan porositas tanah yang baik.

Hasil analisis kandungan N, P dan K lebih tinggi pada pertanian anorganik dibandingkan dengan pertanian organik. Nilai N dipertanian organik sebesar 0,22%, P sebesar 16,52 ppm dan nilai K sebesar 1,921 m.e/100 sedangkan pada lahan pertanian anorganik nilai N sebesar 0,29%, P sebesar 21,30 ppm dan nilai K sebesar 2,350 m.e/100. Tingginya nilai NPK pada lahan pertanian anorganik disebabkan adanya pemupukan NPK kimia secara intensif pada lahan pertanian anorganik. Namun tingginya kadar NPK dipertanian anorganik tidak diikuti dengan meningkatnya kelimpahan cacing tanah dilahan tersebut. Hal ini sesuai


(53)

NPK anorganik tanpa kombinasi dengan sampah organik tidak berpengaruh terhadap populasi maupun biomassa cacing tanah.

Hasil analisis sifat fisik kimia tanah yang didapatkan selain kelembaban, C-organik, N, P dan K tanah, suhu tanah merupakan sifat fisik tanah yang berpengaruh terhadap kehadiran cacing tanah. Dari hasil analisis, suhu pada pertanian organik sebesar 15 °C sedangkan pada pertanian anorganik sebesar 15,4 °C. Suhu pada kedua lahan pertanian ini tidak jauh berbeda, sehingga faktor suhu tanah dianggap tidak terlalu berpengaruh pada kondisi lahan ini dan kisaran suhu 15 °C - 15,4 °C merupakan kisaran suhu optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rukmana (1999) cacing tanah dapat bertumbuh dan berkembang jika suhu lingkungannya mendukung karena suhu lingkungan sangat berpengaruh pada proses metabolisme, pertumbuhan, respirasi dan reproduksi. Suhu optimum untuk pertumbuhan cacing tanah adalah berkisar antara 15 °C – 25°C. Bila suhu terlalu tinggi dan terlalu rendah, maka proses fisiologis akan terganggu.

Selain suhu tanah, pH tanah atau keasaman tanah berpengaruh pada kehadiran cacing tanah. Hasil analisis pH pada pertanian organik sebesar 6,9 dan pada pertanian anorganik sebesar 6,8. pH optimum cacing tanah dapat bertahan hidup adalah pada pH netral. Namun, ada beberapa jenis cacing tanah yang dapat bertahan hidup pada pH 3 - 9. Sehingga pH pada lahan pertanian organik dan anorganik adalah pH yang optimum untuk pertumbuhan cacing tanah. Maftu’ah & Maulia (2009) menyatakan bahwa pH optimal untuk kelangsungan hidup cacing tanah antara 6 - 7,2.

4.3 Kepadatan (individu/m2

Hasil analisa didapatkan kepadatan cacing tanah yang sangat berbeda pada lahan pertanian organik dan anorganik (Tabel 5), kepadatan populasi cacing tanah pada

) dan Kepadatan Relatif (%) Populasi Cacing Tanah


(54)

lahan pertanian organik (128,000 individu/m2) lebih tinggi dibandingkan dengan anorganik (73,600 individu/m2

Tabel 5. Kepadatan (individu/m ).

2

), kepadatan relatif (%) dan komposisi komunitas populasi cacing tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik

No Spesies Lokasi I Lokasi II

K KR KK K KR KK

1. Amynthas sp. 9,600 7,500 3 3,200 4,348 3

2. Megascolex sp. 2,133 1,667 4 - - -

3. Pheretima sp. 65,067 50,833 1 34,133 46,377 2

4. Pontoscolex corethrurus 51,200 40,000 2 36,267 49,275 1

Jumlah 128,000 100 73,600 100

Keterangan: I = Lahan Pertanian Organik, II = Lahan Pertanian Anorganik, K = Kepadatan, KR = Kepadatan Relatif, KK = Komposisi Komunitas

Pada Tabel 5 terlihat Pheretima sp. memiliki nilai kepadatan tertinggi pada lahan pertanian organik sebesar 65,067 individu/m2 dan kepadatan relatif 50,833%, Megasscolex sp. memiliki nilai kepadatan terendah sebesar 2,133 individu/m2 dan kepadatan relatif 1,667%. Pada lahan pertanian anorganik P. corethrurus memiliki nilai kepadatan tertinggi sebesar 36,267 individu/m2 dan nilai kepadatan relatif 49,275%, Amynthas sp. memiliki nilai kepadatan terendah sebesar 3,200 individu/m2 dan nilai kepadatan relatif 4,348%. Tingginya kepadatan Pheretima sp. dan P. corethrurus pada lahan pertanian organic dan anorganik disebabkan karena kedua spesies ini merupakan organisme kosmopolit. Buch et al., (2011) menyatakan bahwa cacing ini memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap berbagai perubahan kondisi lingkungan.

Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan Suin (1997) cacing tanah dari jenis P. corethrurus dan Pheretima sp. ini sangat luas penyebarannya di Indonesia dan banyak ditemukan pada semak belukar, padang rumput, Tetapi tidak ditemukan di hutan yang lebat. Dewi et al (2007) menyatakan bahwa P. corethrurus merupakan spesies cacing tanah eksotic endogeic yang dominan dan banyak ditemukan pada berbagai penggunaan lahan pertanian di Lampung Barat.


(55)

4.4 Frekuensi Kehadiran (FK) Spesies Cacing Tanah Pada Lahan Pertanian Organik dan Anorganik

Frekuensi kehadiran sering dinyatakan sebagai konstansi kehadiran. Frekuensi kehadiran itu dapat dikelompokkan atas spesies aksidental (sangat jarang) bila konstansinya 0-25%, spesies assesori (jarang) konstansinya 25-50%, konstan (sering) yang konstansinya 50-75% dan spesies absolut (sangat sering) bila konstansinya > 75% (Suin, 1997) (Tabel 6).

Tabel 6. Nilai frekuensi kehadiran (FK) spesies cacing tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik

No Spesies Lokasi I Lokasi II

FK (%) Konstansi FK (%) Konstansi

1. Amynthas sp. 18,182 Aksidental 8,333 Aksidental

2. Megascolex sp. 6,061 Aksidental - -

3. Pheretima sp. 36,364 Assesori 45,833 Assesori

4. Pontoscolex corethrurus 39,394 Assesori 45,833 Assesori

Jumlah 100 100

Keterangan: I = Lahan Pertanian Organik, II = Lahan Pertanian Anorganik, FK = Frekuensi Kehadiran, Aksidental = Sangat Jarang, Assesori = Jarang.

Pada Tabel 6 terlihat bahwa pada lahan pertanian organik ditemukan 2 spesies yang bersifat aksidental yaitu Amynthas sp. dan Megascolex sp. dan 2 spesies yang bersifat assesori yaitu Pheretima sp. dan P. corethrurus, sedangkan pada lahan pertanian anorganik ditemukan 1 spesies yang bersifat aksidental yaitu

Amynthas sp. dan 2 jenis yang bersifat assesori yaitu Pheretima sp. dan

Pontoscolex corethrurus. Tingginya nilai FK spesies pada lahan menyatakan bahwa kehadiran spesies tersebut semakin tinggi, artinya spesies tersebut sering atau lebih banyak ditemukan pada lahan tersebut dibandingkan dengan spesies yang lain.

4.5 Cacing Tanah Yang Karakteristik Pada Lahan Pertanian Organik dan Anorganik

Untuk mengetahui kondisi lingkungan yang baik dan dapat mendukung kehidupan dan perkembangbiakan cacing tanah pada suatu habitat dapat diketahui


(56)

berdasarkan nilai KR > 10% dan nilai FK > 25% (Suin, 1997). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada lahan pertanian organik dan anorganik didapatkan 2 jenis cacing tanah yang karakteristik (Tabel 7).

Tabel 7. Cacing tanah yang kepadatan relatifnya (KR) ≥ 10% dan frekuensi kehadiran (FK) ≥ 25% pada lahan pertanian organik dan anorganik

No Spesies Lokasi I Lokasi II

KR (%) FK (%) KR (%) FK (%)

1. Pheretima sp. 50,833 36,364 46,377 45,833

2. Pontoscolex corethrurus 40,000 39,394 49,275 45,833

Keterangan: I = Lahan Pertanian Organik, II = Lahan Pertanian Anorganik, KR = Kehadiran Relatif, FK = Frekuensi Kehadiran

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa Pheretima sp. (Megascoleidae) dan P. corethrurus (Glocossicidae) merupakan cacing tanah yang karakteristik pada lahan pertanian organik dan anorganik. Keadaan ini menunjukkan bahwa cacing tanah tersebut merupakan spesies yang memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap kondisi lingkungan, karena dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik. Hal ini sesuai yang dijelaskan oleh Suin (2002) bahwa cacing tanah yang memiliki kisaran toleransi yang luas pada umumnya bersifat kosmopolitan, selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah yang memiliki nilai KR ≥ 10% dan FK ≥ 25% menunjukkan bahwa hewan tersebut dapat hidup dan berkembang dengan baik di habitatnya.

4.6 Analisis Korelasi Pearson Antara Faktor Fisik Kimia Lingkungan Dengan Kepadatan

Korelasi merupakan teknik analisis yang termasuk dalam salah satu tehnik pengukuran hubungan/asosiasi yang digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel (Sarwono & Herlina, 2012). Berdasarkan hasil analisis faktor fisik kimia tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik yang dikorelasikan dengan kepadatan cacing tanah per plot maka diperoleh nilainya pada Tabel 8.


(57)

Tabel 8. Nilai analisis korelasi pearson antara faktor fisik kimia lingkungan dengan kepadatan

Lokasi Spesies Suhu Kelembaban pH

Organik Amynthas sp. + 0,151 - 0,635* + 0,342

Megascolex sp. - 0,288 + 0,166 + 0,000

Pheretima sp. + 0,546* - 0,891** + 0,174

Pontoscolex corethrurus + 0,456 - 0,431 - 0,245 Anorganik Amynthas sp. - 0,173 + 0,212 + 0,371

Pheretima sp. - 0,060 + 0,001 + 0,440

Pontoscolex corethrurus - 0,126 + 0,067 + 0,212

Keterangan: * = korelasi signifikan pada level 0,05, ** = korelasi signifikan pada level 0,01

Pada dasarnya kepadatan cacing tanah sangat berpengaruh terhadap faktor fisik kimia tanah (suhu, kelembaban dan pH). Pada Tabel 8 menunjukkan hasil analisis korelasi pearson antara faktor fisik kimia tanah pada pertanian organik dengan kepadatan cacing yang memiliki korelasi yang nyata dan sangat nyata, yaitu Amynthas sp. dengan kelembaban pada korelasi signifikan 0,05 (-0,635),

Pheretima sp. dengan suhu dengan korelasi signifikan 0,05 (+0,546) dan kelembaban dengan korelasi signifikan 0,01 (-0,891). Hal ini menunjukkan bahwa faktor fisik yang berkorelasi dengan kepadatan cacing tanah adalah suhu tanah dan kelembaban tanah.

Pada Tabel 8 juga terlihat perbedaan arah korelasi pearson antara faktor fisik kimia tanah dengan kepadatan cacing tanah, dimana menurut Sarwono & Herlina (2012) apabila didapatkan nilai positif (+) menunjukkan hubungan yang searah antara nilai faktor fisik kimia tanah, maka nilai kepadatan akan semakin tinggi pula, sedangkan nilai negatif (-) menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik kimia tanah dengan nilai kepadatan cacing tanah.

4.7 Faktor Fisik Kimia Tanah Setelah Inokulasi Cacing Tanah Pada Media Tanah Pertanian Organik dan Anorganik

Dari hasil analisa faktor fisik kimia (suhu, kelembaban dan pH) pada media pertanian organik (Tabel 9) dan anorganik (Tabel 10) dengan perlakuan cacing tanah maupun tanpa cacing tanah didapatkan hasil yang sangat bervariasi.


(1)

(2)

Lampiran D. Data Fisik Kimia Tanah Pada Media Perlakuan

Media Tanah Organik Media Tanah Anorganik


(3)

Lampiran E. Data analisis C, N, P dan K tanah


(4)

(5)

Lampiran F.Data pertambahan berat dan jumlah populasi cacing tanah pada setiap media perlakuan

Data pertambahan berat populasi cacing tanah pada setiap media perlakuan

PERLAKUAN HARI PENGAMATAN

H0 H10 H20 H30 H40 H50 H60

AnMCa 80 85 84 83 83 67 59

AnMCb 80 83 82 76 75 73 70

OMCa 80 120 100 92 91 62 40

OMCb 80 82 89 89 83 80 68

Data pertambahan jumlah populasi cacing tanah pada setiap media perlakuan

PERLAKUAN HARI PENGAMATAN

H0 H10 H20 H30 H40 H50 H60

AnMCa 5 4,8 4,6 4,2 4 3,8 3,6

AnMCb 5 5 4,6 4,6 4,6 4,2 4

OMCa 5 5 4,8 4,6 3,4 2,6 2

OMCb 5 5 4,8 4 3 3 2,2


(6)

Dokumen yang terkait

Kajian Jenis Cacing Tanah sebagai Bioindikator di Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo

3 62 77

Struktur Komunitas Makrofauna Tanah Pada Lahan Pertanian Anorganik dan Organik Di Kabupaten Karo

8 81 100

Struktur Komunitas Makrofauna Tanah Pada Lahan Pertanian Anorganik dan Organik Di Kabupaten Karo

0 1 14

Struktur Komunitas Makrofauna Tanah Pada Lahan Pertanian Anorganik dan Organik Di Kabupaten Karo

0 0 2

Struktur Komunitas Makrofauna Tanah Pada Lahan Pertanian Anorganik dan Organik Di Kabupaten Karo

0 0 4

Struktur Komunitas Makrofauna Tanah Pada Lahan Pertanian Anorganik dan Organik Di Kabupaten Karo

0 0 11

Komposisi Komunitas Cacing Tanah Pada Lahan Pertanian Organik Dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo).

0 2 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Cacing Tanah - Komposisi Komunitas Cacing Tanah Pada Lahan Pertanian Organik Dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo).

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Komposisi Komunitas Cacing Tanah Pada Lahan Pertanian Organik Dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo).

0 0 6

Komposisi Komunitas Cacing Tanah Pada Lahan Pertanian Organik Dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo).

0 0 15