PELAKU KEJAHATAN DIDASARKAN ATAS ASAS EQUALITY BEFORE
THE LAW” B.
Permasalahan
Banyaknya perbedaan-perbedaan perlindungan yang diberikan baik kepada korban maupun kepada pelaku kejahatan menimbulkan kontroversi dalam
masyarakat. Maka untuk lebih dapat dipahami bagaimana sebenarnya perlindungan korban kejahatan dan pelaku kejahatan itu dalam perundang-undangan penulis
menarik permasalahan sebagai berikut; 1.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban kejahatan menurut UU No 13 Tahun 2006 ?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pelaku kejahatan menurut KUHAP?
3. Bagaimana perbandingan perlindunganhukum terhadap korban dan pelaku
kejahatan didasarkan pada asas equality before the law?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu: 1.
Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan kepada korban kejahatan sebelum dan sesudah lahirnya UU Nomor 13 tahun 2006.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan kepada pelaku
kejahatan menurut KUHAP. 3.
Untuk mengetahui perbandingan perlindungan korban dan pelaku kejahatan didasarkan atas asas equality before the law.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Manfaat Teoritis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Adapun manfaat dari karya tulis ini adalah untuk memperkaya literatur- literatur yang ada sebelumnya, khususnya mengenai perlindungan terhadap
korban dan pelaku kejahatan pada lapangan hukum. Karya tulisan ini diharapkan menjadi acuan untuk penelitian yang lebih mendalam lagi.
2. Manfaat Praktis
Dengan karya tulisan ini diharapkan pelaksanaan daripada perlindungan korban dan pelaku kejahatan dilapangan hukum pidana dapat berjalan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.
D. Keaslian Penulisan
Adapun karya tulis dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP
KORBAN DAN
PELAKU KEJAHATAN DIDASARKAN ATAS ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW
” dibuat dengan sebenarnya oleh penulis dengan dibantu oleh buku-buku dari
kepustakaan yang ada. Keaslian Penulisan ini juga bisa dibuktikan dengan adanya surat Keterangan Lulus Perpustakaaan yang ditetapkan oleh Kepala Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tertanggal 29 September 2011. Dan apabila ternyata dikemudian hari ada masalah berkenaan dengan karya tulis ini maka
penulis akan bersedia mempertanggungjawabkannya. E.
Tinjauan Pustaka
Pengertian-pengertian: 1.
Perlindungan hukum Perlindungan berasal dari kata lindung yang artinya menempatkan diri
dibawah sesuatu supaya tersembunyi. Sedangkan perlindungan memiliki pengertian
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
suatu perbuatan maksudnya melindungi; memberi pertolongan.
11
Kata hukum berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk kata tunggal. Kata jamaknya adalah Alkas
yang selanjutnya diambil alih kedalam bahasa Indonesia menjadi hukum. Didalam pengertian hukum terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat
melakukan paksaan. Istilah hukum ini sendiri ada bermacam-macam. Recht yang berasal dari kata Rechtum yang mempunyai arti bimbingan atau tuntutan atau
pemerintahan. Kata ius ini berasal dari kata Iubre yang artinya mengatur atau memerintah. Perkataan mengatur atau memerintah itu mengandung dan berpangkal
pada kewibawaan. Bellefroid mengatakan bahwa hukum yang berlaku dimasyarakat yang
mengatur tata tertib masyarakat. Itu didasarkan atas kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Utrecht memberikan rumusan bahwa hukuman itu adalah himpunan
petunjuk hidup perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengatur tata tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan.
Selanjutnya Prof. Mr. Paul Scholten dalam bukunya Algemene Deel, 1934 hal 16, hukum itu adalah suatu petunjuk tentang apa yang layak dikerjakan apa yang tidak,
jadi hukum itu adalah suatu Pemerintah. Van Vollehoven dalam bukunya het adapt recht Van Nederland Indie, hukum itu adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup
yang bergolak terus menerus dalam keadaan bentur-membentur tanpa hentinya dengan gejala-gejala yang lainnya.
11
Wjs. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka , Jakarta: 1961, hlm 794.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sebagai kesimpulan dari rumusan sarjana tentang hukum, hukum adalah himpunan dari semua peraturan-peraturan yang hidup bersifat memaksa, beriskan
petunjuk baik, merupakan perintah dan larangan-larangan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dengan maksud mengatur tata tertib dalam pergaulan atau kehidupan
masyarakat. Peraturan-peraturan yang hidup maksudnya meliputi peraturan-peraturan yang tidak tertulis yang terdapat dalam kebiasaan dan adat istiadat. Peraturan yang
bersifat memaksa berarti melanggar perintah dan larangan berakibat akan mendapat sanksireaksi dari organ pemerintah seperti juru sita, jaksa, polisi dan sebagainya juga
dari masyarakat. Jadi pengertian dari perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintahan, swasta
yang bertujuan untuk mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraaan hidup sesuai dengan hak-hak-hak asasi yang ada.
2. Pengertian korban Victims dan Perlindungan terhadap korban tindak pidana
menurut UU Nomor 13 Tahun 2006 Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang
perorangan, tetapi biasa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu korbannya bisa juga berasal dari bentuk
kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan, ataupun ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan.
12
Berbagai pengertian korban banyak ditemukan baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas tentang korban
kejahatan, sebagaian diantaranya adalah sebagai berikut: a.
Arief Gosita
12
Dikdik M Arief Mansur dan Eliatris Gultom, op.cit, hlm 45.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Menurutnya, korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan
diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
13
b. Muladi
Korban victims adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental,
emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum
pidana dimasing-masing Negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan c.
UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
14
Menurut Undang-Undang ini yang dimaksud dengan korban adalah orang yang mengalami kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
15
d. UU Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Menurut Undang-Undang ini yang dimaksud dengan korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik
fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai
13
Arif Gosita, op.cit, hlm 90.
14
UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
15
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
akibat pelanggaran hak asasi yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
16
e. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Menurut Undang-Undang ini Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari anacaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun.
17
f. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Menurut Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Korban adalah
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
18
Pengertian Korban menurut UU nomor 13 Tahun 2006 ini sama dengan pengertian korban menurut UU nomor 44 Tahun 2008 tentang pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan korban. Dan menurut kamus Crime Dictionary korban atau Victim
adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda
16
UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
17
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat.
18
UU RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”.
19
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban diatas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang
secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian penderitaan bagi diri sendiri kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi
termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi
penderitaanya atau untuk mencegah viktimasi. Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian korban
yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang
ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan. 3.
Pengertian pelaku tindak pidana Pengertian pelaku menurut KUHP dirumuskan dalam pasal 55 ayat 1 yaitu
dipidana sebagai tindak pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, dan mereka yang sengaja menganjurkan orang lain
supaya melakukan per buatan. Terhadap kalimat “dipidana sebagai pelaku” itu
timbullah perbedaan pendapat dikalangan para penulis hukum pidana, yaitu apakah yang disebut pasal 55 ayat 1 KUHP itu adalah pelaku dader atau hanya disamakan
sebagai pelaku alls dader. Dalam hal ini ada 2 dua pendapat, yaitu : a.
Pendapat yang luas ekstentif
19
Bambang Waluyo, op.cit, hlm 9.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pendapat ini memandang sebagai pelaku dader adalah setiap setiap orang yang menimbulkan akibat yang memenuhi rumusan tindak pidana, artinya
mereka yang melakukan yang memenuhi syarat bagi yang terwujudnya akibat yang berupa tindak pidana. Jadi menurut pendapat ini, mereka semua yang
disebut dalam pasal 55 ayat 1 KUHP itu adalah pelaku dader. Penganutnya adalah M.v. T, Pompe, Hazewinkel suringa, Van Hanttum, dan Moeljatno.
b. Pendapat yang sempit resktriktif
Pendapat ini memandang dader adalah hanyalah orang yang melakukan sendiri rumusan tindak pidana. Jadi menurut pendapat ini, si pelaku dader
itu hanyalah yang disebut pertama mereka yangmelakukan perbuatan pasal 55 ayat 1 KUHP, yaitu yang personal persoonlijk dan materiil melakukan
tindak pidana, dan mereka yang disebut pasal 55 ayat 1 KUHP bukan pelaku dader, melainkan hanya disamakan saja ask dader. Penganutnya adalah
H.R. Simons, Van Hamel, dan Jonkers. Mereka yang melakukan tindak pidana zij die het feit plegeen terhadap
perkataan ini terdapat beberapa pendapat : 1
Simons, mengartikan bahwa yang dimaksudkan dengan zij die het feit plegeen ialah apabila seseorang melakukan sendiri suatu tindak pidana,
artinya tidak ada temannya alleendaderschaft 2
Noyon, mengartikan bahwa yang dimaksud dengan zij die het feit plegeen ialah apabila beberapaorang lebih dari seorang bersama-sama melakukan
suatu tindak pidana.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sarjana lain menyatakan bahwa sebenarnya dengan dicantumkannya perumusan zij die het feitplgeen itu dalam pasal 55 KUHP adalah overbody atau
berkelebihan, sebab jika sekiranya perumusan itu tidak dicantumkan dalam pasal tersebut, maka akan dapat ditemukan siapa pelakunya, yaitu:
1 Dalam delik formal, pelakunya ialah setiap orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi rumusan delik. 2
Dalam delik materil, pelakunya ialah setiap orang yang menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. dalam delik yang memenuhi
unsur kedudukan kualitas, pelakunya adalah setiap orang yang memiliki unsur kedudukan kualitas sebagaimana dilakukan dalam delik.
Misalnya, dalam delik-delik jabatan, yang dapat melakukannya adalah pegawai negeri. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaku
adalah setiap orang yang memenuhi semua unsur yang terdapat dalam perumusan tindak pidana.
4. Pengertian kejahatan
Pengertian kejahatan crime sangatlah beragam, tidak ada defenisi baku yang didalamnya mencakup semua aspek kejahatan secra komprehensif. Ada yang
memberikan pengertian kejahatan dari aspek yuridis, sosiologis, maupun kriminologis.
Berbicara tentang kejahatan kita harus lebih dulu melihat dari sudut mana pengertian kejahatan itu ditinjau. Secara umum pada dasarnya kejahatan ini diberikan
pada suatu jenis atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
perbuatan jahat.
20
Munculnya perbedaan dalam mengartikan kejahatan dikarenakan perspektif orang dalam memandang kejahatan sangatlah beragam, disamping
tentunya perumusan kejahatan akan sangat dipengaruhi oleh jenis kejahatan yang akan dirumuskan.
21
Kejahatan dalam bahasa Belanda “misdaad” yang berarti kelakuan atau
perilaku kejahatan dan atau perbuatan kejahatan. Secara etimologi kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan. Kejahatan
merupakan suatu perbuatan atau tingkah laku yang sangat ditentang oleh masyarakat dan paling tidak disukai oleh rakyat.
22
Kejahatan adalah suatu hasil interaksi karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Kejahatan
secara luas juga bisa diartikan sebagai suatu tindakan-tindakan yang menimbulkan penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta dianggap jahat. Kejahatan adalah
perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis atau hukum positif.
23
Van Bammelen merumuskan kejahatan adalah tiap kelakuan yang tidak bersifat susila dan merugikan, yang menimbulkan
begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakan atas kelakuan itu dalam
bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut. Jika dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, perumusan kejahatan dalam hal ini adalah semua
20
Chainur Arrasjid, op.cit, hlm 39.
21
Dikdik M Arief Mansur dan Eliatris Gultom, op.cit, hlm 55.
22
Abdul wahid, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM, dan Hukum Bandung : Refika Aditama, 2004, hlm. 52.
23
Tb. Irman, Anatomi Kejahatan Perbankan Bandung : MQS Publishing, 2006, hlm 5.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Kalau melihat secara sosiologis, kejahatan merupakan suatu
perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat.
24
Walaupun masyarakat mempunyai berbagai macam perilaku yang berbeda-beda, akan tetapi didalamnya
bagian-bagian tertentu yang memiliki pola yang sama. Keadaan ini mungkin oleh karena adanya sistem keadaan dalam masyarakat yang berbeda dan pluralistik.
Pengertian kejahatan secara sosiologis ini juga menurut W.A.Bonger adalah suatu kelakuan yang asosial dan yang amoral yang tidak dikehendaki oleh kelompok
pergaulan dan secara sadar ditentang oleh pemerintah.
25
Dari segi hukum, kejahatan merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan barang siapa yang
melakukan suatu perbuatan bertentangan dengan undang-undang tersebut maka akan dihukum. Dipandang dari segi kejiwaan psikologis, setiap perbuatan manusia adalah
dicerminkan oleh kejiwaan dari manusia yang bersangkutan, yang dalam tindakannya sampai dimana manusia tersebut dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma yang
terdapat dalam masyarakatnya. Jadi dapat dikatakan bahwa perbuatan jahat kejahatan yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat tersebut tertentu
yang oleh karena itu pula perbuatan itu dapat dikatakan adalah titik normal abnormal. Masalah kejahatan harus kita lihat dengan memperhatikan hubungan
antara semua fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Jadi mereka yang terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan antara lain adalah
26
:
24
Ibid, hlm. 53.
25
http:ichwanmuis.com?p=178
, Defenisi Kejahatan, diakses tanggal 1 Maret 2012, pukul 13.00 WIB.
26
Arif Gosita, op.cit, hlm. 139.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Pihak-pihak pelaku kejahatan, korban kejahatan;
b. Pembuat Undang-Undang Pidana yang merumuskan, menentukan macam
perbuatan apa saja yang merupakan suatu kejahatan; c.
Kepolisian yang mengusut, mulai menguatkan adanya kejahatan; d.
Kejaksaan yang menuntut, menguatkan dan berusaha membuktikan terjadinya kejahatan antara lain dengan memamfaatkan pihak korban sebagai saksi;
e. Kehakiman yang memutuskan ada atau tidaknya suatu kejahatan;
f. Petugas pembinaan dan pelaksana hukuman terhadap pelaku kejahatan;
g. Pengamat atau penyaksi yang mengamati dan menyaksikan terjadinya
kejahatan, yang pada hakekatnya juga mempunyai peranan dalm terjadinya atau tidak terjadinya suatu kejahatan karena tindakan penyaksi bersifat
mencegah atau membiarkan kelangsungan kejahatan tersebut. Pada awalnya, kejahatan hanyala
h merupakan “cap” yang diberikan masyarakat pada perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak layak atau bertentangan
dengan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, ukuran untuk menentukan apakah suatu perbuatan merupakan kejahatan
adalah “apakah masyarakat secara umum akan menderita kerugian secara ekonomis serta perbuatan tersebut secara psikologis merugikan sehingga dimasyarakat muncul
rasa tidak aman dan melukai masyarakat. Karena ukuran pertama dalam menentukan apakah suatu perbuatan
merupakan kejahatan atau bukan adalah norma-norma yang hidup dan dianut dalam masyarakat setempat, tentunya sukar untuk menggolongkan jenis-jenis perbuatan
yang dapat disebut dengan kejahatan. Kesukaran ini muncul sebagai dampak dari
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
adanya keberagaman suku dan budaya. Bagi suatu daerah suatu perbuatan mungkin merupakan suatu kejahatan, tetapi didaerah lain perbuatan tersebut bisa saja bukan
merupakan suatu kejahatan. Namun kita tidak boleh digiring kearah pendikotomian antara budaya dan masyarakat. Kejahatan tetaplah kejahatan, tidak boleh dilegalkan
dengan mengatasnamakan adat dan budaya karena kejahatan tetap saja merupakan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
5. Pengertian Asas Equality Before The Law
Asas ini menentang keberpihakan didepan hukum. Untuk itulah maka dituntut untuk menyamakan derajat setiap orang didepan hukum.
27
Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara hukum rechtstaat sehingga harus ada perlakuan yang
sama bagi setiap orang dihadapan hukum gelijkheid van iedeer voor de wet. Dengan demikian elemen yang melekat mengandung makna perlindungan yang sama didepan
hukum equal protection on the law dan mendapatkan keadilan yang sama didepan hukum equal justice under the law. Tegasnya hukum acara pidana tidak mengenal
adanya perlakuan yang berbeda terhadap orang yang terkait dengan peradilan baik sebagai tersangka, saksi, maupun korban sebagaimana ditentukan pasal 5 ayat 1 UU
nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum KUHAP dan karena itu pulalah untuk menjaga kewibawaan pengadilan, maka segala
intervensi terhadap pengadilan dilarang kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.
F. Metode Penulisan