BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU KEJAHATAN
MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
A. Pengertian Pelaku Kejahatan
Membahas tentang pelaku kejahatan dan kejahatannya, seperti menilai dua sisi pada satu keping mata uang. Berbeda tapi saling berhubungan. Karena pelaku
kejahatan adalah orang yang melakukan kejahatan, sementara kejahatan adalah jenis perbuatan jahat yang dilakukannya
59
. Masalah pelaku kejahatan dan kejahatan merupakan masalah yang tak pernah lekang dari perbincangan, baik dalam studi ilmu
hukum mau pun studi kriminilogi, bahkan kini dalam studi pemahaman ilmu keamanan security science. Karena selama ada manusia dalam suatu kelompok
besar mau pun kecil, pasti ada kejahatan terjadi. 1.
Pengertian pelaku kejahatan menurut mazhab kriminologi klasik.
Seperti yang telah dijelaskan di awal tulisan ini, yang dimaksud dengan pelaku kejahatan adalah orang yang melakukan perbuatan jahat. Namun dalam studi
kriminologi, orang yang melakukan perbuatan jahat dengan penjahat memiliki batasan yang berbeda. Orang yang melakukan perbuatan jahat bisa siapa saja, kapan
saja dan dimana saja. Jenis kejahatan yang dilakukan pun sangat relatif. Bisa berarti kejahatan yang tidak melanggar hukum, tapi bisa juga kejahatan yang memang
melanggar ketentuan hukum. Di sini letak relativitasnya. Sedangkan yang dimaksud dengan penjahat, ialah orang yang kerap melakukan tindakan kejahatan dan
59
http:sekuritipro.comarticle85587pelaku-kejahatan-dan-kejahatan.html, Memahami
Pelaku Kejahatan dan Proses Kejahatan dari Terminologi Krimonologi, diakses tanggal 6 Februari 2012 pukul 10.43 WIB.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menjadikan kejahatan sebagai pekerjaannya. Maka ketika seseorang dinyatakan sebagai pelaku kejahatan, belum berarti yang bersangkutan adalah penjahat. Tetapi
ketika seseorang dinyatakan sebagai penjahat, maka orang itu sudah pasti adalah anggota masyarakat yang pekerjaannya melakukan perbuatan pelanggaran hukum dan
mengakibatkan kerugian materil atau kerugian ekonomi terhadap seseorang, kelompok,lembaga bahkan negara.
Sementara definisi tentang kejahatan juga memiliki pengertian yang relatif, yaitu tidak semata-mata bisa diukur menurut ketentuan hukum berdasarkan undang-
undang yang berlaku. Tapi ketika seseorang melakukan perbuatan jahat dan perbuatannya itu menimbulkan kerugian bagi seseorang mau pun kelompok, sanksi
yang pertama dialaminya adalah sanksi sosial. Orang itu akan tidak disukai atau tidak dipercaya oleh masyarakatnya tadi. Kemudian ketika perbuatan jahatnya itu
dimasukkan ke dalam ranah hukum, maka sanksi yang akan diberlakukan kemudian adalah sanksi yang ditetapkan oleh undang-undang. Jika menurut hukum positif di
Indonesia, yang bersangkutan bisa terkena sanksi pidana atau perdata, tergantung pada jenis kejahatan yang dilakukan.
Ada pun yang dimaksud dengan relativitas kejahatan ialah bergantung kepada kondisi ruang dan waktu, serta siapa yang menamakan perbuatan tersebut sebagai
perbuatan kejahatan atau tingkah laku human behavior yang didefinisikan sebagai kejahatan oleh manusia yang mengkualifikasikan dirinya sebagai bukan pelaku
kejahatan. Namun meskipun kejahatan itu memiliki sifat relative subyektif, ada pula perbedaannya yang disebut
“mala in se” dengan “mala in prohibita”. Yang dimaksud dengan “mala in se” adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sebagai kejahatan, sudah dengan sendirinya merupakan suatu kejahatan. Sedangkan “mala in prohibita” ialah suatu perbuatan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan
apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam undang-undang. Jika merujuk kepada paradigma kriminologi, sebaiknya lebih dulu mencermati
sejarahnya yaitu dari mazhab klasik sampai kepada mazhab kritis. Mengenai mazhab klasik sudah mulai berkembang sejak akhir abad 19 di Inggris yang selanjutnya
menyebar luas ke berbagai negara Eropa dan Amerika. Psikologi menjadi dasar dari mazhab tersebut yaitu bersifat individualistis, intelektualistis dan voluntaristis. Yakni
kebebasan kehendak yang sedemikian rupa, membuat tidak ada kemungkinan untuk menyelidiki lebih lanjut tentang sebab-sebab kejahatan atau pun usaha-usaha
pencegahan kejahatan. Tetapi ketika suatu perbuatan dinilai telah bertentangan atau melanggar undang-undang, sanksi hukum akan berlaku. Pandangan tersebut
selanjutnya menjadi landasan pengembangan hukum pidana serta doktrin yang berpengaruh sampai saat ini.
Mazhab klasik dalam kriminologi menyebutkan bahwa orang yang melanggar Undang-Undang
tertentu, harus
menerima hukuman
yang sama
tanpa mempertimbangkan usia, kondisi psikologis, kaya miskin, status sosial serta keadaan-
keadaan lainnya. Hukuman yang dijatuhkan harus berat dan proporsional. Lombroso, sebagai salah satu pelopor mazhab kriminologi klasik di abad 19 menegaskan dalam
teorinya yaitu tentang penjahat yang dilahirkan atau born criminal. Bahwa seorang penjahat dari sejak lahirnya telah membawa ciri-ciri khusus untuk menjadi penjahat,
atau boleh juga dengan perkataan lain yaitu penjahat merupakan bakat bawaan dari lahir. Pendapatnya itu dilandasi bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
di luar kesadaran dirinya, baik yang berupa faktor biologis ciri-ciri fisik mau pun faktor kultural. Dan ternyata, pengaruh teori Lombroso masih berpengaruh sampai
sekarang. Contohnya, bila ada orang yang berwajah sangar, hidung agak bengkok, dahi lebar, tidak ramah, pandangan matanya nanar serta penampilannya terkesan
urakan dan semacamnya yang terkesan tidak simpatik, akan muncul kecurigaan bahwa orang tersebut adalah pelaku kejahatan atau orang yang memiliki bakat
penjahat dan berpotensi untuk berbuat kejahatan. Kemudian teori Lombroso itu dikembangkan oleh para ahli kriminologi
lainnya seperti Tarde, Lacasagne, WA Bonger dan Sutherland. Yaitu menurut para kriminolog klasik tersebut, kejahatan adalah produk sistem sosial yang bertumpu
pada struktur kesempatan berbeda atau diffrential oportunity structure, selain juga disebabkan oleh faktor kemiskinan, rasisme, kecemburuan sosial dan sejenisnya.
2.
Pengertian pelaku kejahatan menurut Mazhab Krimininologi Baru atau Mazhab Kritis.
Pada permulaan abad 20, atau persisnya di sekitar tahun 1960-an paska usainya perang dingin, dari negeri Paman Sam sampai ke berbagai penjuru dunia
telah muncul pemahaman baru tentang kriminologi yang disebut sebagai persepsi krimonologi baru atau persepsi kriminologi kritis dan radikal. Yaitu pengungkapan
terhadap kejahatan semakin kritis, selektif, obyektif dan waspada. Sehingga persepsi baru ini menepis persepsi mazhab klasik yang memandang kejahatan dengan
perspektif subyektif konvensional seperti teori Lombroso dan para kriminolog klasik lainnya. Salah seorang tokoh kriminologi yang mempelopori kelahiran persepsi
mazhab baru itu adalah seorang profesor ahli hukum yaitu Labbeling yang kemudian
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dikenal dengan Teori Labbeling atau Labbeling Theory. Pemikiran Labbeling tersebut dinyatakan oleh Howard Becker, bahwa pada dasarnya kejahatan merupakan suatu
proses yang berhubungan dengan pengaruh kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Sehingga sampai pada suatu rumusan bahwa pemahaman terhadap perbuatan
jahat atau kejahatan bukan sekedar kualitas perbuatan yang dilakukan pelaku kejahatan, tetapi justru sebagai akibat diterapkannya peraturan dan sanksi-sanksi.
Artinya seperti kata pemeo sekarang, undang-undang atau peraturan dibuat bukan untuk membangun norma bermasyarakat tapi justru untuk dilanggar. Maka menurut
teori Labbeling, dalam memahami masalah tindakan kejahatan bukan sekedar membahas soal penjahat atau pelaku kejahatannya, melainkan lebih ditekankan
kepada bagaimana penyebab proses terjadinya kejahatan tersebut dan bagaimana cara kejahatan itu dilakukan. Munculnya persepsi mazhab kriminologi baru itu memang
membawa perubahan besar dalam perkembangan pengetahuan kriminologi.
60
Yakni pelaku kejahatan dan perbuatan kejahatan tidak lagi dipandang sebagai milik kaum
pinggiran yang hidup dengan kemiskinan atau keterbatasan ekonomi. Karena ketika di tengah kehidupan kaum pinggiran yang memiliki keterbatasan ekonomi,
keterbatasan pengetahuan hukum dan semacamnya, tetapi memiliki keseimbangan sosial budaya yang hidup saling gotong royong, saling peduli dan saling
menghormati, tidak pernah ada potensi terjadinya kejahatan atau pun pelaku kejahatan. Singkat kata, tindak kejahatan bukan lagi terdapat pada kaum miskin,
orang-orang bertampang sangar dan lusuh, tapi justru berpotensi terjadi dan dilakukan oleh kaum cerdik cendekia kaum intelektual yang memiliki pendidikan tinggi dan
60
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kecukupan ekonomi, memiliki status sosial terpandang dan semacamnya. Inilah yang kemudian di lingkup kriminologi dikenal dengan sebutan White Collar Crime
kejahatan kerah putih atau penjahat berdasi . Sebagai contoh kejahatan korporasi Corporate Crime misalnya, yang di antara jenisnya adalah kejahatan penggelapan
pajak, penjarahan hak atas penguasaan tanah adat seperti yang belum lama ini terjadi di Mesuji
–Lampung Selatan serta daerah-daerah lainnya, penyelundupan dan penjualan senjata api, narkoba, perdagangan manusia, pencetakan uang palsu, sampai
kepada yang paling fatal yaitu kejahatan korupsi. Proses kejahatan kerah putih terjadi karena adanya dis-harmoni dalam kehidupan masyarakat elit yang sangat kompetitif
dan penuh kemunafikan. Kualitas proses kejahatan kerah putih jauh lebih berbahaya dan sangat merugikan secara ekonomi, sosial dan budaya, ketimbang kejahatan
jalanan street crime karena dilakukan dengan cara yang sangat berkualitas. Demikianlah perkembangan terminologi kriminologi yang membuktikan
bahwa ilmu pengetahuan itu hidup dan dinamis karena berevolusi dan bukan karena akumulasi. Inilah yang kemudian disebut sebagai Lompatan Paradigmatik dalam
perkembangan dunia ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan kriminologi. 3.
Pengertian pelaku kejahatan menurut Ilmu Keamanan.
Pengetahuan kriminologi dalam pendalaman ilmu keamanan, bukan semata untuk mendalami pengetahuan tentang pelaku kejahatan dan kualitas proses
kejahatannya serta akibat yang ditimbulkan, tetapi berpijak kepada fungsi pengetahuan keamanan yang tujuannya adalah mencegah atau menekan terjadinya
potensi kejahatan. Karena dasar dari ilmu keamanan adalah melindungi obyek yang diamankan, bukan berfungsi untuk menghadapi terjadinya proses kejahatan atau pun
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pelanggaran hukum dan aturan lainnya. Maka dengan mengetahui dan memahami bagaimana potensi proses jenis kejahatan bisa terjadi, khususnya yang terkait dengan
obyek yang perlu diamankan, ilmu keamanan memproduksi sistem keamanan untuk menangkal terjadinya potensi kejahatan tersebut. Maka selayaknya pula para pekerja
di bidang jasa profesi keamanan, baik dari tingkat manager sampai petugas lapangan, patut memahami dan mendalami terminologi kriminologi sebagai salah satu dasar
dalam pelaksanaan tugas pekerjaannya.
61
Sedangkan penggolongan dari pelaku kejahatan ini sendiri dapat kita lihat dari pendapat Capelli yang menggolongkan pelaku kejahatan sebagai berikut:
a. Penjahat karena faktor psikophatologis yakni seperti orang sakit jiwa, dan
orang yang berjiwa abnormal. b.
Penjahat karena kemunduran jiwa yakni orang yang cacat setelaah usia lanut dan orang-orang yang menderita cacat sejak kanak-kanak sehingga sukar
menyesuaikan diri dalam masyarakat. c.
Penjahat karena faktor social yakni penjahat karena factor kebiasaan dan penjahat karena mendapat kesulitan ekonomi atau fisik.
62
B. Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Mulai dari Berstatus