5. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata cara
Perlindungan khusus Bagi pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang
48
Dalam pasal 3 Peraturan ini diatur bahwa perlindungan khusus diberikan kepada saksi dan pelapor pada setiap tingkatan pemeriksaan perkara. Saksi dan
pelapor tidak dikenakan biaya apapun didalam memberikan kesaksian dipengadilan serta perlindungan khusus yang diberikan kepada mereka.
6. Menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU
nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian uang
49
Pasal 42 undang-undang ini mengatur kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan khusus kepada saksi yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan
tindak pidana pencucian uang. Selanjutnya pasal 43 UU ini menegaskan bahwa saksi tidak dapat dituntut baik secara pidana atau perdata atas pelaporan dan atau
kesaksian yang diberikan olehnya.
C. Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban Menurut UU Nomor
13 Tahun 2006 Setelah sekian lama banyak pihak menunggu lahirnya undang-undang yang
secara khusus mengenai perlindungan saksi dan korban, akhirnya pada tanggal 11 agustus 2006, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, disahkan dan diberlakukan. Sekalipun beberapa materi dalam undang- undang ini masih harus dilengkapi dengan peraturan pelaksananya, berlakunya
undang-undang ini cukup memberikan angin segar bagi upaya perlindungan korban kejahatan
48
Gloria Juris, Jurnal Hukum Fakultas Hukum UNIKA Atmajaya, Jakarta Vol 7 no.2 Mei- Agustus 2002, hlm 172.
49
Ibid, hlm 171.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dasar pertimbangan perlunya undang-undang yang mengatur perlindungan korban kejahatan dan saksi untuk disusun dengan jelas dapat dilihat pada bagian
menimbang daripada undang-undang ini, yang antara lain menyebutkan: penegak hukum sering mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan kejelasan
tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku karena tidak dapat menghadirkan saksi dan atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari
pihak tertentu. Padahal kita tahu bahwa peran saksi atau korban dalam suatu proses peradilan pidana menempati posisi kunci dalam upaya mencari dan menemukan
kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Keberadaan seorang saksi dan korban sebelum tahun 2006 merupakan suatu
hal yang kurang diperhitungkan. Didalam KUHAP sendiri, sebagai suatu bentuk HirRbg, memiliki kecenderungan dalam melindungi hak-hak warga negara yang
berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana
50
. Namun sering kita lupa bahwa proses pembuktian membutuhkan keterangan
saksi atau saksi korban korban yang bersaksi. Keberadaan keduanya sering kali tidak dihiraukan oleh aparat penegak maupun hukum di Indonesia. Keselamatan,baik
diri sendiri maupun keluarganya pada kasus-kasus tertentu menjadi taruhannya, atas kesaksiannya.
Pada tahun 2003, good will itikad baik dari pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban mulai tampak, tetapi baru sebatas pada kasus-
50
Rocky Marbun, Cerdik dan Taktis Menghadapi Kasus Hukum, Jakarta :Visi Media, 2010, hlm 86.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kasus tertentu. Perlindungan hukum yang diberikannya pun hanya dalam peraturan pemerintah PP yaitu:
1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang tata cara
Perlindungan terhadap saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam perkara Tindak Pidana Terorisme.
2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata
Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. Baru pada tahun 2006, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat DPR
mengeluarkan peraturan perundang-undangan berupa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
51
. Dan yang dimaksud dengan perlindungan dalam undang-undang ini adalah segala upaya pemenuhan hak dan
pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai ketentuan undang-
undang. Keberadaan saksi dan atau korban memang sangat diperlukan dan merupakan
suatu hal yang harus diperhatikan sebagai satu kesatuan dalam proses pemeriksaan dalam peradilan pidana. Saksi sebagai alat bukti utama ditegaskan dalam Pasal 184
KUHAP, yang menyebutkan: Alat bukti yang sah yaitu:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
51
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa
Urutan tersebut bukan hanya urutan, tetapi juga menggambarkan tingkat kekuatan pembuktian, sehingga saksi merupakan alat bukti yang memiliki kekuatan
pembuktian utama nomor satu. Pada prinsipnya perlindungan akan hak-hak seseorang sebagai saksi telah
diakomodasikan dalam KUHAP, tetapi mengingat jenis tindak pidana yang semakin beragam dan menimbulkan efek atau akibat bagi keselamatan jiwa dari saksikorban
atau keluarganya, sehingga ada hal-hal khusus yang diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2006 tersebut. Hal-hal yang diatur diluar KUHAP sebagai berikut:
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya,
serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan. 3.
Memberikan keterangan tanpa tekanan. 4.
Mendapat penerjemah. 5.
Bebas dari pertanyaan yang menjerat 6.
Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus 7.
Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan 8.
Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan 9.
Mendapatkan identitas baru 10.
Memperoleh penggantian biaya trasportasi sesuai dengan kebutuhan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11. Mendapatkan nasihat hukum
12. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir. 13.
Mendapatkan tempat kediaman baru Sementara itu, untuk korban atas pelanggaran HAM Berat, selain berhak atas hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial
52
. Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan
dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. Bahkan, dalam memberikan kesaksian didepan persidangan, jika karena kehadirannya
membuat jiwanya terancam, undang-undang dalam memberikan perlindungan terhadap saksi atau korban atau pihak keluarga dengan cara melakukan kesaksian
tanpa kehadirannya di pemeriksaan depan persidangan. Atau seperti contoh dalam Kasus Nazaruddin dengan saksi Terpidana kasus suap Wisma Atlet Mindo Rosalina
Manullang ketika ia dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan ia dikawal atau dijaga ekstra oleh pihak keamanan karena dikatakan bahwa Rosa mendapat ancaman
atau teror dari anak buah Nazarudin diluar.
53
Hal ini merupakan salah satu perwujudan dari lahirnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 dimana
keselamatan dari seorang saksi menjadi prioritas dari lembaga yang dibentuk oleh Undang-undang tersebut atau sering disebut dengan LPSK. Bahkan pada saat Rosa
bersaksi dia memakai rompi anti peluru sebagai bentuk upaya perlindungan
52
Ibid, hlm 88
53
Tribunnews.com, Rosa Pakai Rompi Anti Peluru di Sidang Nazaruddin, 16 Januari 2012.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
keselamatan atas dirinya dari ancaman yang walaupun menurut penulis ini sedikit berlebihan mengingat sudah banyak aparat keamanan yang berjaga diluar pengadilan.
Akan tetapi jika hal tersebut membuat seorang saksi nyaman maka tidak ada salahnya diberikan perlindungan yang seperti itu.
Pasal 10 UU Nomor 13 Tahun 2006 memberikan jaminan kepada warga masyarakat yang memiliki itikad baik untuk melaporkan tindak pidana dan juga saksi
yang memberikan kesaksiannya bahwa berdasarkan kesaksiannya tersebut ia tidak dapat dapat dituntut, baik secara pidana maupun gugatan secara perdata dan seorang
saksi yang juga tersangka untuk kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan
pidana yang akan dijatuhkan
54
. Ini merupakan perlindungan hak asasi seorang saksi yang diharapkan dapat memberikan keterangan sehingga terjadi kejelasan dalam
suatu perkara serta menjauhkannya dari perasaan tertekan dan takut. Dalam melakukan perlindungan atas hak-hak saksi dan korban, pemerintah
membentuk suatu lembaga yang disebut Lembaga Perlindungan Saksi dan korban LPSK seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Lembaga ini bertanggung jawab
langsung kepada presiden. Permohonan agar terlindunginya hak-hak saksi atau korban dapat diajukan
kepada LPSK tersebut. Namun, tidak serta merta permohonan tersebut disetujui, karena berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 2 UU Nomor 13 Tahun 2006, ketua
54
Bambang Waluyo, op.cit, hlm 98.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LPSK melakukan penelitian terhadap kasus tertentu dan dituangkan dalam keputusan LPSK
55
. Pada pasal 44 undang-undang nomor 13 tahun 2006 menyatakan bahwa pada
saat undang-undang ini diundangkan, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi dan atau korban dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
56
Dengan demikian hak korban dan saksi untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana tecantum dalam pasal 32 UU Nomor 36 tahun
2000 tentang pengadilan HAM dan pasal 3 PP Nomor 3 tahun 2000 dianggap tidak bertentangan dengan UU Nomor 13 tahun 2006, meskipun didalam undang-undang
tersebut tidak diatur. Demikian juga pengaturan hal-hal lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan lain tetap berlaku.
Berkaitan dengan permohonan bagi korban pelanggaran HAM berat akan haknya atas kompensasi dan hak restitusi ganti kerugian, pengajuannya dilakukan
oleh LPSK kepada pengadilan Negeri berdasarkan permohonan korban. Menurut Undang-undang tersebut diatas, meskipun hak-hak dan kepentingan
korban, telah dikuasakan pada LPSK, namun kenyataannya dalam Sistem Peradilan Pidana, korban tetap sebagai figuran atau hanya saksi korban dalam persidangan,
karena hak-hak dan kepentingan korban dalam peradilan pidana masih di wakili oleh Polisi dan Jaksa.
57
Hal ini dikarenakan belum ada pengaturan mengenai
55
Ibid, hlm 90
56
Gloria Juris, op.cit, hlm 174.
57
http:www.badilag.netdataARTIKEL KORBAN
DALAM SUDUT
VIKTIMOLOGI.pdf
, diakses pada tanggal 6 Maret 2012, pukul 11.25 WIB
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kemungkinan hakim akan memakai pendapat dari saksi dan atau korban seperti ketentuan dalam model hak-hak prosedural yang menekankan dimungkinkannya
seorang korban berperan aktif dalam persidangan yang ada. Dalam model hak prosedural ini seorang korban dapat bertindak membantu jaksa di pengadilan.
58
58
http:www.prakarsa-rakyat.orgdownloadHAMKampanye ELSAM RUU Perlindungan Saksi dan Korban, Kampanye ELSAM RUU Perlindungan Saksi dan Korban, diakses tanggal 29
Februari, pukul 10.00 WIB
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU KEJAHATAN