Aplikasi Deep Eutectic Solvent DES dalam Bidang Biodiesel Sintesis Biodiesel

8 C. Campuran dari ZnCl 2 dengan ChCl pada perbandingan molar 1:2 juga dilaporkan memiliki titik beku dari 23 C [15] Sintesis DES dapat dibentuk dengan mengaduk secara perlahan garam dan donor ikatan hidrogen pada suhu 100 C sampai jernih dan cairan homogen terbentuk biasanya antara 0,5-2 jam. Rasio choline clorideChCl:donor ikatan hirogen yang berbeda juga diuji dari 1:0,5 mol sd 1:2 mol untuk mengetahui kombinasi yang tepat yang akan mengarah pada depresi eutektik campuran dan hebatnya, semua DES yang dibentuk menunjukkan titik leleh di bawah 100 C [25].

2.4 Aplikasi Deep Eutectic Solvent DES dalam Bidang Biodiesel

Taubert, dkk.,2014 telah melaporkan beberapa aplikasi dari DES sebagai pengganti pelarut organik konvensional dalam reaksi biologis [26]. Selain itu, DES dalam reaksi kimia juga telah banyak digunakan, seperti ekstraksi gliserol dari biodiesel, elektrodeposisi dan ekstraksi logam, pemisahan dan pemurnian proses, elektrokimia, sebagai bahan kimia, sebagai co-solvent dalam sintesis organik dan anorganik dan sebagai biokatalisis [26,25]. Dari berbagai aplikasi penggunaan DES tersebut, Gu, dkk.,2015 melaporkan penggunaan DES berbasis choline chloridegliserol 1:2 menjadi co- solvent dalam sintesis biodiesel menggunakan NaOH sebabagai katalis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa FAME dapat diperoleh hingga yield 98 [11]. Selain itu, penggunaan DES sebagai co-solvent dalam sintesis biodiesel ini memiliki kelebihan, seperti meminimalkan jumlah penggunaan pelarut volatil metanol, mempercepat dan memudahkan pemurnian biodiesel yang diperoleh. Hayyan, dkk.,2013 juga telah melaporkan penggunaan DES dalam pengolahan minyak yang memiliki kandungan asam lemak bebas tinggi dan melakukan sintesis biodiesel. Dalam penelitian digunakan low grade crude palm oil LGCPO atau minyak sawit mentah kelas rendah yang memiliki kandungan asam lemak bebas yang tinggi kandungan FFA yang diperkenalkan sebagai kemungkinan bahan baku alternatif dalam produksi biodiesel. Pengolahan awal LGCPO dilakukan dengan menggunakan DES yang terdiri dari donor ikatan hidrogen berbasis ammonium yaitu p-toluenesulfonic acid monohydratePTSA dan garam yaitu N,N- diethylenethanol ammonium chloride. Pada reaksi esterifikasi yang dilakukan, Universitas Sumatera Utara 9 kandungan FFA dari LGCPO berkurang dari 9,5 menjadi kurang dari 1. Dari hasil penelitian pada kandungan FFA 0.6±0.01 dan diperoleh konversi FFA menjadi FAME 93,67 dan diperoleh yield sebesar 93 [27].

2.5 Sintesis Biodiesel

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh banyak peneliti, biodiesel metil ester dapat dihasilkan dari minyak nabati, lemak hewani atau minyak goreng bekas. Secara global, ada lebih dari 350 tanaman yang diidentifikasi sebagai sumber potensial untuk produksi biodiesel. Baru-baru ini, biodiesel dari minyak nabati yang merupakan sumber daya terbarukan telah menjadi lebih menarik karena manfaatnya terhadap lingkungan, terutama minyak kelapa sawit karena memiliki kandungan minyak yang tinggi dan tingkat produksi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan. Di Asia, biodiesel dominan berasal dari minyak sawit, di Amerika berasal dari minyak kedelai dan di Eropa dominan dari minyak kanola Beragam bahan baku yang tersedia untuk produksi biodiesel tersebut merupakan salah satu faktor yang paling signifikan untuk produksi biodiesel [28]. Biodiesel didefinisikan sebagai asam lemak metil ester FAME atau asam lemak etil ester FAEE dari minyak nabati atau lemak hewani [29]. Saat ini, biodiesel sangat diminati untuk dikembangkan karena emisinya yang lambat dan sifat kimianya yang tidak beracun, biodegradable dan memiliki karbon yang netral [30]. Kandungan oksigen yang tinggi ≈10wt pada biodiesel memungkinkan pembakaran sempurna pada mesin, sehingga menghasilkan emisi gas buang seperti jumlah partikulat, hidrokarbon, gas CO, CO 2 dan SO x yang lebih rendah dan menjadikan bahan bakar biodiesel ramah lingkungan [13]. Keuntungan yang signifikan antara biodiesel dan bahan bakar diesel konvensional berbasis fosil adalah emisi mesin lebih bersih, merupakan sumber energi terbarukan dan dapat sebagai properti pelumas superior, sehingga menjadikannya sebagai bahan bakar alternatif yang sangat baik [29]. Biodiesel diproduksi melalui reaksi transesterifikasi minyak nabati atau lemak hewani dengan metanol etanol untuk mendapatkan mono alkil ester, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.1 [31]. Universitas Sumatera Utara 10 Gliserol Ester Alkohol O CH 2 OC R 1 R 1 COO R’ CH 2 OH O HC OC R 2 + 3R’OH R2 COO R’ + HC OH O H 2 C OC R 3 R3 COO R’ H 2 C OH Gambar 2.2 Reaksi Transesterifikasi [32] Alkohol dengan rantai pendek seperti metanol, etanol, dan butanol adalah alkohol yang banyak digunakan dalam sintesis biodiesel. Pemilihan alkohol didasarkan pada beberapa faktor termasuk pertimbangan biaya dan kinerjanya. Dari beberapa jenis alkohol yang banyak digunakan, metanol dan etanol jauh lebih disukai. Hal tersebut dikarenakan metanol lebih murah dan menguntungkan dari segi sifat fisika maupun sifat kimia dan etanol merupakan alkohol yang ramah lingkungan karena dihasilkan dari sumber daya terbarukan [32]. Namun, terdapat setidaknya dua hambatan terkait dengan sintesis biodiesel dengan proses konvensional, yaitu: 1 adanya keterbatasan perpindahan massa dan laju reaksi yang rendah karena sistem biphasic antara campuran minyak dengan metanol dan 2 terjadi kesulitan dalam pemurnian produk menghapus pengotor, seperti sabun, residu katalis, sisa metanol, gliserol dan air [11]. Sejumlah proses telah dikembangkan untuk sintesis biodiesel, diantaranya melibatkan katalis kimia, katalis enzim dan bahkan menggunakan reaksi non- katalitik superkritis, microwave dan ultrasonik [30,29]. Katalis kimia basa seperti alkali NaOH, KOH, dan NaOCH 3 telah banyak digunakan karena menghasilkan konversi yang tinggi dari trigliserida menjadi metil ester [34,33]. Katalis alkali juga telah terbukti lebih praktis diterapkan dalam industri karena waktu reaksi yang singkat dan bersifat non-korosif, sedangkan katalis asam menimbulkan korosi pada peralatan dan laju reaksi yang relatif lambat [32,34]. Selain itu, katalis alkali juga lebih murah bila dibandingkan dengan enzim [32]. Akan tetapi, katalis alkali juga memiliki kekurangan, yaitu dapat terjadi saponifikasi pada produk, terutama terjadi pada minyak atau lemak dengan kadar asam lemak bebas yang lebih dari 0,5 bb atau kadar air di atas 2 vv [31]. Selain itu, transesterifikasi menggunakan katalis kimia memiliki beberapa kelemahan yang tidak dapat dihindari, seperti Trigliserida Katalis Universitas Sumatera Utara 11 membutuhkan energi dan konsumsi metanol yang tinggi, menghasilkan sejumlah besar limbah pada saat pemurnian biodiesel dan kesulitan dalam pemulihan gliserol [33]. Sedangkan gliserol masih dapat digunakan untuk industri sabun dan kosmetik [32]. Saat ini, sintesis biodiesel dengan reaksi proses yang baru dan reaktor yang baru juga semakin diteliti, seperti reaksi non-katalitik superkritis, ultrasonik dan microwave, reaktor baru dan sebagainya [11]. Sintesis biodiesel menggunakan reaksi non-katalitik superkritis memiliki kelebihan, yaitu merupakan metode alternatif yang memecahkan masalah saponifikasi dalam sintesis biodiesel serta menghasilkan tingkat reaksi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan transesterifikasi konvensional. Namun, persyaratan suhu tinggi, tekanan tinggi dan rasio molar tinggi antara alkohol dan minyak membuat proses ini mahal untuk skala industri [33,31]. Selain itu, penggunaan co-solvents seperti n-heksana, benzena, tetrahidrofuran THF dan cairan ionik juga diperkenalkan sebagai co-solvents untuk meningkatkan miscibility minyak dan metanol serta untuk meningkatkan aktivitas katalis. Akan tetapi, meskipun banyak upaya penelitian tersebut, banyak dari metode baru masih memiliki masalah, seperti hasil produk yang rendah, proses canggih, konsumsi energi yang tinggi, biaya tinggi dan bahaya lingkungan [11]. Deep eutectic solvent DES baru-baru ini muncul sebagai generasi baru dalam pelarut ionik dengan biaya rendah. Beberapa penulis juga manyatakan DES sebagai ILs yang baik karena DES memiliki sifat fisik dan sifat pelarut yang sebanding dengan ILs, seperti densitas, viskositas, indeks bias, konduktivitas dan tegangan permukaan [35,36]. Akan tetapi, DES memiliki kelebihan, yaitu tidak beracun, tidak reaktif dengan air dan biodegradable, sehingga berpotensi sebagai pelarut ramah lingkungan yang dapat menggantikan ILs dalam berbagai aplikasi industri karena karakteristik yang sama tersebut [37,3]. Universitas Sumatera Utara 1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang