Ru mus an Masalah Batasan Masalah Konsep .1 Pertistiwa Tutur

6 Tenggelamnya Kapal Van der Wijck menjadi topik menarik untuk ditelusuri dan dikaji lebih dalam lagi. Begitu juga dengan makna-makna yang terkandung dalam pantun dan peribahasa tersebut sebagai bukti kayanya khazanah sastra lisan Indonesia.

1.2 Ru mus an Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini: 1. Apakah fungsi peristiwa tutur sastra lisan: pantun dan peribahasa yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka? 2. Bagaimanakah makna sastra lisan: pantun dan peribahasa yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka?

1.3 Batasan Masalah

Penelitian ini menganalisis fungsi serta makna peristiwa tutur pantun dan peribahasa yang terdapat dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan fungsi peristiwa tutur sastra lisan: pantun dan peribahasa yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka. 7 2. Menganalisis makna sastra lisan: pantun dan peribahasa yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka. 1.4.2 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini:

1.4.2.1 Manfaat Teoretis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kajian sosiolinguistik yang pernah diteliti dan memperluas khazanah pengetahuan mengenai peristiwa tutur pantun dan peribahasa dari segi sosiolinguistik.

1.4.2.2 Manfaat Praktis:

1. Menambah pengetahuan mengenai fungsi dan makna pantun atau peribahasa sebagai sastra lisan. 2. Dapat dimanfaatkan oleh lawan tutur dalam memahami makna yang terkandung pada pantun dan peribahasa yang diucapkan penutur. 3. Sebagai referensi mahasiswa dan masyarakat umum mengenai kajian sosiolinguistik terhadap pantun dan peribahasa. 8 BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Pertistiwa Tutur Peristiwa tutur adalah sebuah aktivitas berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu Chaer, 2010: 47. Peristiwa tutur atau pertuturan speech act, speech event dalam Kamus Lingusitik Kridalaksana, 2008:191 adalah: 1 perbuatan berbahasa yang dimungkinkan oleh dan diwujudkan sesuai dengan kaidah-kaidah pemakaian unsur-unsur bahasa; 2 perbuatan menghasilkan bunyi bahasa secara berurutan sehingga menghasilkan ujaran bermakna; 3 seluruh komponen linguistik dan nonlinguistik yang meliputi suatu perbuatan bahasa yang utuh, yang menyangkut partisipan, bentuk penyampaian amanat, topik, dan konteks amanat itu; 4 pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar.” Interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang pasar dan pembeli pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Hal yang sama juga terjadi dan kita dapati dalam acara diskusi, di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya. Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur kalau memenuhi syarat seperti yang dikemukakan oleh Dell Hymes dalam Chaer, 2010: 48-49, seorang pakar sosiolinguistik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya 9 dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah diangkat dari Wadhaugh 1990: S = Situation P = Participants E = Ends A = Act Sequences K = Key I = Instrumentalities N = Norms G = Genres Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di aula serbaguna pada saat konser musik berlangsung mengharuskan kita berbicara keras, sedangkan di rumah ibadah seperti mesjid atau gereja kita cenderung berbicara pelan bahkan berbisik-bisik. Menurut Coulthard dalam Pangaribuan, 2008: 125 latar dapat mempengaruhi pilihan ragam bahasa, pada situasi resmi seperti di tempat rapat cenderung menggunakan ragam formal, begitu juga halnya dengan suku Jawa yang menggunakan ragam tinggi pada waktu upacara pernikahan. Sedangkan dalam percakapan yang dilakukan di jalan ataupun di rumah dalam keadaan santai cenderung menggunakan ragam yang lebih mengakrabkan suasana, yaitu ragam 10 informal. Jadi dapat dikatakan bahwa semua peristiwa bahasa itu terjadi dalam ruang dan waktu. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar, tetapi dalam khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya dibandingkan jika berbicara terhadap teman-teman sebayanya. Menurut Hymes dalam Pangaribuan, 2008: 126 paling sedikit ada empat peran yang dapat diperankan oleh partisipan yaitu, pembicara, penyapa, pesapa, pendengar atau pemirsa. Partisipan bisa menjalankan peran yang berbeda sekaligus, seperti pada suatu pembicaraan seorang partisipan berperan sebagai pembicara sekaligus sebagai pendengar. Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara; namun, para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan 11 hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ajaran dalam kuliah umum, percakapan biasa dan dalam pesta berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan. Key, mengacu pada nada, cara dan intonasi suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat. Hymes dalam Pangaribuan, 2008: 126 menyatakan kunci komunikasi dalam komponen tutur merajut nada tutur seirama dengan sikap dan laku penuturnya. Kunci itu kelihatan dari sikap pembicara dengan teman tuturnya, pilihan ragam, penataan nosi dan fungsi sesuai dengan norma tata krama menurut budaya penuturnya. Orang yang diajak bicara akan tahu kuncinya dengan melihat tanda-tanda khusus seperti kerdipan mata, senyuman, postur, isyarat, aspirasi dan panjang pendeknya bunyi. Orang bisa mengatakan “aku benci kamu” dengan senyuman dan kerdipan mata yang akan berarti sebaliknya. Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam atau register. Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya dan sebagainya. Juga mengacu pada pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Pangaribuan 2008: 128 meengatakan bahwa ada aturan-aturan yang tidak tertulis namun telah disepakati oleh masyarakat tutur, bila ada yang melanggar maka akan terjadi konflik, kejutan, timbulnya kesan 12 negatif dan sebagainya. Sebagai contohnya anak-anak Jawa diajar untuk tidak membantah bila dimarahi orang tuanya, sebaliknya anak Amerika dibiasakan protes untuk mempertahankan pendiriannya baik terhadap sesama maupun terhadap orang tua, hal ini dianggap mempunyai nilai yang positif bagi orang Amerika, namun untuk bangsa lain mungkin sebaliknya. Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya. Komponen tutur yang diajukan Hymes tersebut tidak jauh berbeda dengan rumusan Fishman dalam Wijana, 2006: 7 yang disebut sebagai pokok pembicaraan sosiolinguistik yaitu who speaks, what language, to whom, when, and what end. Dalam setiap peristiwa interaksi verbal atau proses komunikasi selalu terdapat beberapa komponen yang mengambil peranan dan terlibat dalam peristiwa tersebut. Bell dalam Chaer, 2004: 7 menyatakan secara tradisional terdapat tiga komponen yang telah lama diakui sebagai komponen utama dari sebuah peristiwa atau situasi komunikasi yaitu: penutur speaker, lawan tutur hearer, dan topik pembicaraan. Dengan kata lain dalam setiap proses komunikasi yang terjadi antara penutur dan lawan tutur terjadi juga apa yang disebut peristiwa tutur atau peristiwa bahasa speech event.

2.1.2 Pantun a. Pengertian Pantun

Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang dikenal luas dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti petuntun. Dalam bahasa Jawa dikenal sebagai 13 parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa baca: uppasa. Effendy 1984: 27 menyimpulkan bahwa dalam pantun, pikiran atau perasaan dilukiskan oleh tiga hal yaitu irama, bunyi dan isi. Ketentuan atau aturan-aturan dalam pantun dalam Effendy, 1984: 28 adalah sebagai berikut: a. Tiap bait terdiri dari empat baris. b. Tiap baris terdiri dari empat atau lima kata dan terdiri dari delapan sampai dua belas suku kata. c. Sajaknya bersilih dua-dua: a-b-a-b tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a. d. Dua baris pertama tanpa isi disebut sampiran, dua baris terakhir merupakan isi. Meskipun pada umumnya sampiran tidak berhubungan dengan isi, terkadang bentuk sampiran membayangkan isi.

b. Jenis Pantun