Makna Sastra Lisan: Pantun dan Peribahasa

61 bermarwah tinggi sehingga pantang baginya menikahi bekas istri orang K Key diucapkan dengan nada tegas dan intonasi lantang I Instrumentalities melalui lisan. N Norms merupakan norma penolakan yang diutarakan melalui peribahasa. G Genres berbentuk peribahasa Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi referensial karena bercerita tentang pemuda yang merasa hina jika menikahi bekas istri orang walaupun ia mencintai wanita itu.

4.2 Makna Sastra Lisan: Pantun dan Peribahasa

4.2.1 Makna Pantun

Bukit putus, Rimba Keluang direndam jagung dihangusi Hukum putus badan terbuang terkenang kampung kutangisi TKVW, 2002: 5 Makna pantun di atas adalah ketika seseorang telah memutuskan untuk merantau, pergi jauh dari kampung halamannya, dari sanak saudaranya, maka menangis adalah salah satu cara mereka mengobati rindu pada tanah kelahirannya. Batang kapas nan rimbun daun urat terentang masuk padi Jika lepas laut Ketahun 62 merantau panjang hanya lagi TKVW, 2002: 5 Makna pantun di atas adalah janganlah pulang ke kampung halaman jika tidak berhasil di tanah orang ketika merantau. Kalau tidak ranggas di Tanjung cumanak ampaian kain Kalau tidak emas dikandung dunsanak jadi rang lain TKVW, 2002: 8 Makna pantun di atas adalah jika pulang dari perantauan tidak menjadi orang berhasil, maka kelak dianggap orang asing di tanah kelahiran sendiri. Pulau Pandan jauh di tengah di balik Pulau Angsa Dua Hancur adik dikandung tanah rupa adik terkenang jua TKVW, 2002: 14 Makna pantun di atas adalah walaupun seseorang telah pergi ke alam baka, budi baiknya masih selalu diingat. Ombak putih-putih Ombak datang dari laut 63 Kipas lenso putih Tanah Mengkasar sudah jauh TKVW, 2002: 19 Makna pantun di atas adalah menyatakan pelepasan para perantau dari Makassar ke perantauan.

4.2.2 Makna Peribahasa

Nan sehasta, nan sejengkal, dan setampok sebuah jari. TKVW, 2002: 6 Makna dari peribahasa di atas adalah sekecil-kecilnya kemungkinan. Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang. TKVW, 2002: 18 Makna peribahasa di atas adalah hidup harus diperjuangkan dengan kerja keras dan pantang menyerah. Sirih nan secabik, pinang nan segetap. TKVW, 2002: 94 Makna peribahasa di atas adalah sebagai penanda hendak meminang gadis di masyarakat Minangkabau. Mengebat tidak erat, memancung tidak putus, lengau di ekor kerbau, debu di atas tunggul, lecah lekat di kaki. TKVW, 2002: 101 Makna peribahasa di atas adalah sebagai sesuatu yang tak dianggap, tak ada artinya, dipandang sebelah mata. 64 Hereng dengan gendeng, ribut nan mendingin, renggas nan melanting, dikaji adat dan lembaga, yang tidak lapuk dihujan, nan tidak lekang dipanas, jalan raya titian batu, nan sebaris tidak hilang nan sehuruf tidak lupa. TKVW, 2002: 102 Makna peribahasa di atas adalah tentang adat istiadat Minangkabau yang kekal dan turun-temurun harus dipatuhi sebagai landasan permusyawaratan dalam menentukan keputusan diterima atau tidaknya sebuah peminangan. Pinang di bawah sirih di atas. TKVW, 2002: 102 Makna peribahasa di atas adalah sebagai penanda lamaran yang sah dalam budaya Minangkabau. Ruas telah bertemu dengan buku, bagai janggut pulang ke dagu, sama berbangsa keduanya, satu bulan satu matahari. TKVW, 2002: 103 Makna peribahasa di atas menyatakan keselarasan, kesetaraan, kesepadanan, dan keserasian antara satu dengan lainnya. Mengubah cupak nan usali. TKVW, 2002: 103 Makna peribahasa di atas adalah peringatan untuk tidak melanggar adat yang sudah ada sejak dahulu kala dan diwarisi turun-temurun. 65 Sudah ke laut, sudah ke darat, bukan saja sembarang orang. Kalau memang demikian bertemu dalam penglihatan, patut dibalas kita balas, patut dibalik kita balik. TKVW, 2002: 105 Makna peribahasa di atas adalah membalas perbuatan baik dengan baik, buruk dengan buruk. Yang mengebat erat memancung putus. Memperkatakan baik dan buruk, hina dan mulia dari pagi, telah berkering tempat duduk, telah berhabis pinang sirih. Mencari yang akan elok. TKVW, 2002: 105 Makna peribahasa di atas adalah bermusyawarahlah terlebih dahulu sebelum menentukan keputusan. Rupanya bulat belum segolong, picak belum setapik di antara kami semuanya. TKVW, 2002: 108 Makna peribahasa di atas adalah jangan mengambil keputusan ketika masih ada ketidaksepakatan dalam permufakatan. Kayu yang bercabang tidak boleh dihentakkan. TKVW, 2002: 108 Makna peribahasa di atas adalah tidak baik membuat keputusan sepihak. Tiba tampak muka, berjalan tampak punggung. TKVW, 2002: 109 66 Makna peribahasa di atas adalah gunakanlah adab sopan santun dalam kehidupan, datang dan pulang dengan berpamitan, begitu juga jika hendak meminang perempuan hendaknya baik-baik datang ke orang tuanya. Mengharapkan kejatuhan bintang di langit, umur habis badan pun payah, laba hilang rugi bertemu, melarat diangan-angan, sengsara dikira-kira. TKVW, 2002: 113 Makna peribahasa di atas adalah mengharapkan sesuatu yang sia-sia dan tak ada gunanya. Tidak boleh menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan, apalagi terhadap orang yang telah meminum air ayah bunda kita, dan kita pun begitu pula kepadanya. TKVW, 2002: 116 Makna peribahasa di atas jangan mengkhianati orang-orang terdekat yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Makan hati berulam jantung. TKVW, 2002: 117 Makna peribahasa di atas adalah kehidupan penuh lara dan tertekan oleh keadaan. Selebat-lebatnya hujan, akhirnya akan teduh jua. TKVW, 2002: 128 Makna peribahasa di atas adalah semua masalah ada solusinya. 67 Rumah gedang ketirisan, adat pusaka tak berdiri, mayat terbujur tengah rumah, gadis gedang belum berlaki. TKVW, 2002: 131 Makna peribahasa di atas adalah larangan memperebutkan warisan dalam budaya Minangkabau kecuali 4 hal yaitu rumah yang tak layak, tidak beradat pusaka, ada kemalangan, dan perempuan yang belum menikah. Tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah. TKVW, 2002: 132 Makna peribahasa di atas adalah tak ada gunanya mempertahankan sesuatu yang tak pantas dipertahankan. Laksana roda pedati, turun naik silih berganti. TKVW, 2002: 182 Makna peribahasa di atas adalah kehidupan yang akan silih berganti dari susah ke senang begitu juga sebaliknya. Pinang akan disurutkannya ke tampuk, sirih akan dipulangkannya ke gagang. TKVW, 2002: 184 Makna peribahasa di atas adalah mengembalikan sesuatu ke asalnya semula. Segenap daun kehidupanku kau regas, segenap pucuk pengharapanku kau patahkan TKVW, 2002: 187 Makna peribahasa di atas adalah harapan yang putus dan asa yang tak sampai. Tak tersudu diitik, tak termakan diayam. TKVW, 2002: 187 68 Makna peribahasa di atas adalah sesuatu yang tak diduga dan tak disangka. Berenang di dalam mas, bersayap uang kertas. TKVW, 2002: 188 Makna peribahasa di atas adalah hidup kaya raya. Tak lapuk dihujan, tak lekang dipanas. TKVW, 2002: 188 Makna peribahasa di atas adalah adat istiadat yang kekal abadi. Pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa. TKVW, 2002: 189 Makna peribahasa di atas adalah pantang lelaki menikahi wanita bekas istri orang. 69 BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan