Esensi Khilafah dalam Pandangan Aswaja
C. Esensi Khilafah dalam Pandangan Aswaja
Dalam pandangan ASWAJA, esensi dan hakikat dari sebuah pemerintahan atau negara (khilafah), adalah sebagai salah satu diantara instrumen (wasâ’il) untuk usaha terwujudnya aplikasi syariat secara totalitas (kâffah) dalam kehidupan umat melalui kewajiban menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, yang menjadi cita-cita dan tujuan akhirnya (maqâshid). Karena kedudukannya yang dipandang sebagai wasîlah untuk maqâshid berupa tugas amar ma’ruf nahi munkar, maka pemerintahan atau negara tidak harus terikat dengan bentuk, sistem ataupun dasar idiologi negara tertentu. Apapun sistem, bentuk ataupun dasar idiologi yang diberlakukan, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan tidak menjadi rintangan dalam tugas dakwah Islamiyah, serta tidak menghalangi umat Islam dalam menjalankan praktek keagamaannya, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan kudeta atau merubahnya. Merubah bentuk, sistem atau dasar idiologi negara, hanya wajib dilakukan —sesuai batas kemampuan— jika nyata-nyata bertentangan dengan syariat.
Pendirian Khilafah Islamiyah bagi ASWAJA (baca: Nahdlatul Ulama) dalam konteks keIndonesiaan, bukanlah cita-cita urgen, sebab eksistensinya hanyalah sebagai wasîlah. Ada cita- cita (maqâshid) yang jauh lebih penting dan esensial dari sekedar membentuk instrumen perjuangan, yaitu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di tengah kehidupan masyarakat, dan tugas maqâshid ini bisa dilangsungkan tidak harus melalui pendirian Khilafah Islamiyah.
Pandangan seperti inilah yang mendasari sikap ASWAJA (baca: NU) yang tidak ambisi dan bercita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah di Indonesia. Karena khilafah bukanlah satu- satunya instrumen yang bisa ditempuh untuk menegakkan syariat dalam kehidupan umat.Bahkan selama ini, setiap usaha merubah bentuk dan dasar hukum negara, nyata-nyata lebih banyak memunculkan ekses negatif yang justru merugikan kaum Muslimin sendiri.Gerak perjuangan ASWAJA (NU) dalam konteks Indonesia, bukan semangat perjuangan mendirikan Khilafah Islamiyah, melainkan semangat perjuangan menegakkan syariat dalam perilaku keseharian umat. Dengan kata lain, perjuangan ASWAJA (NU) tidak dikonsentrasikan pada pembentukan sebuah wadah syariat secara formal, berupa bentuk khilafah atau sistem negara Islam, melainkan lebih dikonsentrasikan pada perjuangan aplikasi syariat dalam perilaku umat sehingga menjadi ruh dan substansi perilaku kehidupan masyarakat. Perilaku umat yang berlandaskan syariat jauh lebih penting dan lebih baik dibanding sekedar formalitas bentuk dan sistem negara Islami.
Hal ini logis, sebab jika kita jujur membaca fakta sejarah khilafah dalam Islam, sebenarnya yang layak dilabeli dengan ‘Islamiyah’ (baca: demokratis), hanyalah khilafah era Khulafa’ Arrasyidin saja. Khilafah pasca Khulafa’ Arrasyidin, secara umum telah kehilangan label ke-Islamiyah-annya, bahkan identik dengan sistem kekaisaran Romawi dan Persi.Dari sejarah ini pula bisa kita tegaskan bahwa sistem pemerintahan demokrasi sebenarnya tidak bisa diklaim sebagai produk kafir, sebab khilafah era Khulafa’ Arrasyidin adalah pemerintahan paling demokratis dari sistem demokrasi manapun.
Disamping itu, misi pendirian kembali Khilafah Islamiyah yang diusung oleh sebagian sekte dan gerakan Islam dalam konteks Indonesia dewasa ini, faktanya tidak murni hanya mengusung misi mendirikan negara Islam saja, melainkan juga mengusung paham dan idiologi aliran mereka, seperti idiologi Wahabi, Syi’ah atau lainnya. Mereka tidak akan mendirikan Khilafah Islamiyah kecuali paham dan idiologi mereka juga menjadi paham dan idiologi resmi pemerintah. Artinya, ketika khilafah berhasil didirikan, bukan mustahil mereka memberhangus kelompok ASWAJA yang bertentangan dengan paham mereka, seperti sejarah kekejaman Pemerintahan Arab Saudi dengan paham Wahhabinya.
Inilah yang menjadi alasan fundamental kenapa ASWAJA (NU) menentang setiap gerakan dan sekte yang mengusung Khilafah Islamiyah di Indonesia dan merongrong NKRI yang beridiolgi Pancasila. Dengan kenyakinan bahwa sila pertama yang mencerminkan tauhid Islam telah menjiwai sila-sila lain dalam Pancasila, dan mempertimbangkan kenyataan rakyat bangsa Indonesia yang plural dalam ras, suku dan agama, serta mempertimbangkan resiko ancaman integritas bangsa, maka ASWAJA (NU) menyatakan: bahwa NKRI dan Pancasila sebagai idiologinya, adalah final dari segala upaya membentuk negara di Indonesia. Sikap seperti ini bukan berarti ASWAJA (NU) anti khilafah, melainkan lebih demi mempertahankan eksistensi idiologi ASWAJA dan menghindarkan kekacauan umum (chaos) yang harus diprioritaskan dari sekedar mencapai kemaslahatan (mendirikan khilafah), sesuai kaidah fiqh:
Menghindari kekacauan lebih diprioritaskan dari mengupayakan kemaslahatan Apabila sejauh ini dikenal tiga model hubungan agama-negara, yaitu hubungan intergasi (agama dan negara adalah satu kesatuan); hubungan sekuler (pemisahan peran agama dalam pemerintahan); dan hubungan simbiosis (agama-negara terpisah namun saling membutuhkan dan mengisi secara timbal-balik), maka model ketiga inilah yang menjadi pilihan ASWAJA dalam memandang hubungan agama dan negara.Agama tidak harus diformalkan sebagai sebuah sistem dan bentuk suatu negara, namun agama juga tidak boleh diceraikan dari intervensi peran politik.
Pandangan politik ASWAJA seperti ini, tidak bisa dipertentangkan dengan muatan surat Alma’idah ayat 44, 45 dan 47, yang memvonis kafir, dhalim dan fasiq bagi orang yang tidak memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan Allah. Vonis kafir, dhalim dan fasiq dalam tiga ayat tersebut meski berlaku bagi umat Islam atau ahli alkitab (non Muslam), namun bila dilakukan orang mukmin, menurut T hawus: “kekafiran itu tidak mengeluarkannya dari agama”.Dan menurut Atha’; “kekafiran di bawah kekafiran, kedhaliman di bawah kedhaliman, dan kefasikan di bawah kefasikan”. Sedangkan dalam riwayat lain menurut Ibn Abbas, penguasa Muslim yang tidak memberlakukan hukum sesuai apa yang diturunkan Allah dipilah menjadi dua. Ibn Abbas mengatakan: “Orang yang mengingkari apa yang diturunkan Allah, maka dia adalah kafir, dan orang yang membenarkannya namun tidak menerapkannya, maka dia dhalim atau fasiq”. Dari sini bisa dipahami bahwa, apabila tidak memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan Allah lantaran ketidaksanggupan, atau karena justeru akan menimbulkan bahaya dan kerusakan (mafâsid), seperti ancaman disintegrasi bangsa, tekanan internasional dll., maka vonis kafir, dhalim dan fasiq tidak bisa dijatuhkan kepada umat Islam.[]
MAT ERI 06 DALIL AMALIAH KEAGAMAAN KAU M N AH DLIYYIN
Sejarah diterimanya kehadiran Islam di Nusantara dengan kondisi keagamaan masyarakat yang menganut paham animisme (Hindu, Budha), tidak bisa dilepaskan dari cara-cara dan model pendekatan dakwah para mubaligh Islam kala itu yang ramah dan bersedia menghargai kearifan budaya dan tradisi lokal. Sebuah pendekatan dakwah yang terbuka dan tidak antipati terhadap nilai-nilai normatif diluar Islam, melainkan mengakulturasikanya dengan membenahi penyimpangan didalamnya dan memasukan ruh-ruh keIslaman kedalam subtansinya. Maka lumrah jika kemudian corak amaliyah dan ritualitas Muslim Nusantara khususnya Jawa, kita saksikan begitu kental diwarnai dengan tradisi dan budaya khas lokal, seperti ritual selamatan, kenduri dan lain-lain.
Amaliyah dan ritual-ritual keagamaan yang bercorak budaya lokal dengan segala kekhasan tradisinya seperti itu, sampai kini tetap dilestarikan oleh Muslim Nusantara khususnya kaum Nahdliyin. Amaliyah keagamaan seperti itu tetap dipertahankan karena kaum nahdliyin meyakini bahwa ritual-ritual dan amaliyah yang bercorak lokal tersebut hanyalah sebatas teknis atau bentuk luaran saja, sedangkan yang menjadi subtansi di dalamnya murni ajaran-ajaran Islam. Dengan kata lain, ritual-ritual yang bercorak tradisi lokal hanyalah bungkus luar, sedangkan isinya adalah nilai-nilai ibadah yang diajarkan oleh Islam.
Sebagai contoh, ritual selamatan atau kenduri yang dilakukan dengan seremonial pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan kebiasaan lokal yang berlaku, didalamnya diisi dengan ibadah-ibadah yang dianjurkan Islam seperti bersedekah, dzikir, berdo`a, membaca Al Qur`an dan lain sebagainya. Mengenai seremonial atau penentuan waktu tersebut, tidak lebih hanyalah kemasan luar sebagai bentuk penyesuaian dengan teknis dan kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam pandangan kaum Nahdliyin kehadiran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Bukanlah untuk menolak tradisi yang telah berlaku dan mengakar menjadi kultur kebudayaan masyarakat, melainkan sekedar untuk melakukan pembenahan dan pelurusan terhadap tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan risalah Rosulullah. Budaya lokal yang mapan menjadi nilai normatif masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka Islam akan mengakulturasikanya bahkan mengakuinya sebagai bagian dari budaya dan tradisi Islam itu sendiri. Kendati demikian amaliyah dan ritual keagamaan kaum nahdliyin seperti itu sering mengobsesi sebagian pihak untuk menganggapnya sebagai praktek-praktek mistisme, Khurafat, Bid`ah bahkan syirik.
Anggapan demikian sebenarnya lebih merupakan subyektivitas akibat terjebak dalam pemahaman Islam yang sempit dan dangkal serta tidak benar-benar memahami hakekat amaliyah dan ritual kaum Nahdliyin tersebut. Pihak-pihak yang seperti itu, wajar apabila kemudian dengan mudah melontarkan tuduhan bid`ah atau syirik terhadap amaliyah dan ritualitas kaum Nahdliyin, seperti tahlilan, maulid Nabi, Manakib, Ziarah kubur dan amaliyah-amaliyah lainya. T uduhan-tuduhan bid`ah seperti itu sangat tidak berdasar secara dalil maupun ilmiah dan lebih merupakan sikap yang ncerminkan kedangkalan pemahaman keIslaman. Adapun hadis yang menyatakan: setiap bid`ah adalah sesat “Harus dibaca dan diproporsikan hanya dalam konteks ritual ibadah yang sama sekali tidak memiliki dasar hukum baik berupa dalil khusus ataupun dalil umum”.