Perubahan Geopolitik Global

I. Perubahan Geopolitik Global

Globalisasimerupakan fenomena empat hal. Pertama, etno-scape adalah orang modern yang terus menerus memperbaharui kemodernannya dengan cara mendatangi etnis yang menurutnya terbelakang. Kedua, capital-scape adalah perputaran uang pada ranah global sehingga uang itu sendiri tidak memiliki “kewarganegaraan” lagi. Ketiga, ideo-scape, artinya ide yang dapat melewati batas trans-national. Sebagai contoh, gejala terorisme yang ada di T imur T engah dapat merembet ke Indonesia. Keempat, media-scape yang mendorong dan mengkonstruksi pemikiran kita. Saat ini kita tidak dapat membendung arus informasi yang semakin kuat pasca adanya teknologi, seperti internet. Konsekuensi dari globalisasi adalah ancaman perang asimetris.

Asymetrical warfare (perang asimetris) mulai dikenal dalam perang Franco-Spanish pada tahun 1823, dan sekarang semakin dianggap sebagai salah satu komponen utama dari peperangan generasi keempat(fourth generation warfare) yaitu perang atau konflik ditandai oleh kaburnya batas antara perang dan politik atau antara tentara dan sipil, dengan ciri menonjol dari peperangan ini adalah melibatkan dua aktor atau lebih, dengan kekuatan yang tidak seimbang Asymetrical warfare (perang asimetris) mulai dikenal dalam perang Franco-Spanish pada tahun 1823, dan sekarang semakin dianggap sebagai salah satu komponen utama dari peperangan generasi keempat(fourth generation warfare) yaitu perang atau konflik ditandai oleh kaburnya batas antara perang dan politik atau antara tentara dan sipil, dengan ciri menonjol dari peperangan ini adalah melibatkan dua aktor atau lebih, dengan kekuatan yang tidak seimbang

Perkembangan mutakhir dari asymetrical warfare ini terlihat jelas dalam kasus Arab Spring[ 18 ] di mana sepeninggal rezim-rezim mapan terpecahnya masyarakat yang menolak

dikuasai satu sama lain. Mengkristalkan konflik horizontal berdasarkan aliran keagamaan, ideologi, etnik, atau klan. Melalui Arab spring, destabilisasi dan ketidakbersatuan, negara-negara kuat-lama berkehendak mempertahankan hegemoni dan dominasi atas pasokan minyak.

Setelah menggunakan taktik hard power (invasi) berhasil di Afghanistan dan Irak maka langkah berikutnya adalah dengan menggunakan softpower yang menggunakan berbagai kelompok LSM untuk menggalang gerakan sosial menumbangkan rezim. Jika upaya damai terhambat maka langkah berikutnya adalah dengan memberikan donasi, suplai senjata, mengaktifkan para pelarian di luar negeri, dan melegitimasi pihak oposisi sebagai perwakilan resmi negara.

T erjadi juga perebutan pengaruh kawasan di Jalur-jalur perdagangan dan kawasan sumberdaya alam antar kekuatan ekonomi besar dan aliansinya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari ketegangan di Selat Hormuz (T eluk Persia). Bisa dibayangkan jika meletus peperangan di T eluk Persia, maka distribusi 40% minyak dunia ke berbagai belahan bumi dari T eluk akan macet, dan sebagai dampak langsung ialah naiknya harga-harga barang dan jasa akibat melambungnya harga energi karena kelangkaan. Inilah hikmah yang dapat dipetik, betapa tinggi urgensi sebuah selat bagi geostrategi banyak negara. Perebutan pengaruh ini juga terlihat di negara-negara sekitar Selat Malaka yang menjadi jalur perairan tersibuk (di dunia) setelah Selat Hormuz di T eluk Persia. Keberadaan tersebut membuat Selat Malaka dijuluki chokepoints of shipping in the world baik untuk ekspor-impor, sosial politik, keamanan, lingkungan maupun militer dan lain-lainnya. Data Kementerian Pertahanan menyebut, sejak tahun 1999-2008 kapal- kapal yang melewati Selat Malaka meningkat 74% dan era 2020-an nanti prakiraan hilir mudik pelayaran mencapai 114.000 kapal. Menurut Goldman Sachs, kelompok negara yang bakal menguasai perekonomian tahun 2050 kelak adalah Brasil, Rusia, India dan Cina (BRIC), terutama sekali Cina dan India yang paling aktif melintasi baik Selat Malaka, Selat Sunda, maupun Selat Lombok. Bagi Indonesia sendiri, selain Selat Malaka atau selat-selat lainnya, tampaknya Selat Sunda tergolong sebagai lintasan utama dalam konteks pelayaran dunia, terutama di lingkungan Asia T enggara, ASEAN dan kawasan Asia Pasifik. Lebih utama lagi, kevitalan Selat Sunda, adalah pelayaran dari Laut China Selatan menuju Lautan Hindia.

Dalam konteks geopolitik global yang juga perlu dicermati adalah terbentuknya organisasi-organisasi kerjasama baru. Pertama, terbentuknya BRICS. BRICS merupaka akronim dari Brazil, Russia, India, Cina, dan disusul Afrika Selatan (South Africa) yang didirikan di Yaketirinburg, Rusia pada tahun 2009. Kumpulan negara industri baru (new industrial countries) yang semula terkategorisasi sebagai underdevelopment atau third world ini pada tahun 2012 mewakili 40 persen populasi dunia, 25 persen daratan, 20 persen GDP, dan mengontrol 43 persen cadangan devisa global.

18 Arab spring tidak hanya sekedar mengganti rezim-rezim di Timur Tengah tetapi juga secara perlahan menghabisi kekuatan sosial-politik Islam Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja). Faksionalisasi kelompok Islam saat ini diarahkan hanya kepada dua kelompok wahabi atau salafi, yang kerap menyebut diri sebagai Sunni, dan Syi’ah.

Kelompok ini bermula hanya fokus pada situasi peningkatan ekonomi dan reformasi institusi keuangan global. Belakangan orientasi BRICS sudah bergeser, sebagaimana dikutip dari pernyataan Presiden Cina, Hu Jintao, baru-baru ini bahwa BRICS merupakan penjaga dan promotor bagi negara-negara berkembang dan sebagai kekuatan perdamaian dunia. T ampilnya negara-negara BRICS menjadi kekuatan besar ekonomi dunia berdampak pada peningkatan anggaran pertahanan. Situs europiangeostrategy mengklasifikasi Cina sebagai potentialsuperpower di bawah AS yang masuk sebagai superpower, Rusia dan India sebagai great power di tingkat regional, dan Brazil sebagai middle power. Berdasarkan kekuatan ekonomi dan pertahanan maka BRICS memiliki daya tekan yang luar biasa dalam isu-isu ekonomi dan keamanan dunia.

Kedua, terbentuknya Shanghai Cooperation Organization (SCO). Organisasi kerjasama keamanan ini semula bernama Shanghai Five yang didirikan pada tahun 1996 di Shanghai, Cina. T erdiri dari Rusia, Cina, Kazakhstan, Kyrgistan, dan T ajikistan. Setelah masuknya Uzbekistan, tahun 2001, organisasi ini mengalami perubahan nama. SCO berfokus pada kerjasama keamanan, ekonomi, budaya, dan aktivitas militer. T ahun 2004 Mongolia ditetapkan sebagai peninjau dalam partisipasinya di dalam SCO. India, Pakistan, dan Iran menyusul di tahun berikutnya.

Ketiga, terbentuknya “Uni-Eurasia”. Gagasan ini dilontarkan Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin. Dalam artikelnya yang berjudul “Proyek Integrasi Eurasia Baru: Masa Depan yang Dimulai Hari Ini” (Harian Izvestia, 4 Oktober 2011). Gagasan yang memiliki tujuan “persatuan baru” negara-negara bekas Uni Soviet tersebut berpotensi menjadikan euro-asia sebagai poros kekuatan baru di bawah tatanan baru dunia Rusia dan Cina. Gagasan itu dimunculkan Putin di tengah menurunnya pengaruh Amerika Serikat dan Jepang di Asia-Pasifik, dan melemahnya Uni-Eropa akibat krisis ekonomi. Selain itu Putin juga bermaksud menaikkan pamor Rusia setelah diterima dalam East Asia Summit (EAS). Apa konsekuensinya? T atanan dunia baru akan menempatkan pengaruh yang kuat Rusia dan Cina atas negara-negara Asia T engara dan Pasifik Barat Daya yang nantinya mampu mengurangi dominasi Amerika Serikat di kawasan Pasifik. Poros kekuatan baru dunia tersebut menjadi sangat strategis karena membentuk satu aliansi dengan potensi kekayaan alam yang besar. Banyak pengamat yang menganggap gagasan Putin ini sebagai “Uni Soviet” dengan wajah baru dimana Cina tetap merupakan sekutu tradisonalnya. Selain itu, perkembangan wacana geopolitik global tersebut merupakan upaya Rusia untuk menggiatkan tatakelola multilateralnya dengan negara-negara bekas Uni Soviet dan Asia. Beberapa bentuk organisasi kerjasama multilateral maupun ide baru yang muncul belakangan merefleksikan perubahan geopolitik dunia. Laju dunia saat ini tidak lagi hanya ditentukan oleh Amerika Utara dan Eropa Barat tetapi juga sangat mempertimbangan eksistensi negara-negara yang menjadi kekuatan ekonomi dan militer baru.

Kekuatan lama tidak tinggal diam menerima keadaan dalam menyikapi perubahan pergeseran kekuatan dari Atlantik ke Pasifik. AS telah membangun pangkalan militernya di Darwin dan tetap mempertahankan pangkalan militernya di Jepang untuk mengimbangi pesatnya kekuatan militer Cina. War of position, meminjam istilah Gramsci, dilakukan oleh AS yang memproyeksikan penempatan bertahap 60 persen armada lautnya berada di Pasifik pada tahun 2020 sebagaimana disampaikan oleh Leon E. Panetta, Menteri Pertahanan AS, pada Juni 2012 dalam Shangri-La Dialog di Singapura. Perlombaan pembelian dan produksi senjata canggih di Asia terlihat jelas dari hampir imbangnya anggaran pertahanan negara-negara Asia yang mencapai US $ 262 trilyun pada tahun 2011 dengan negara-negara Eropa yang tergabung di dalam NAT O yang berada di bawah kisaran US $ 270 trilyun. Dari jumlah tersebut, anggaran pertahanan Cina mengambil porsi tertinggi sebanyak 30 persen.