Islam Kiri/ Kiri Islam
6. Islam Kiri/ Kiri Islam
Sebagaimana liberal, istilah kiri juga sudah baku dalam teori politik. Implikasinya terjadi tarik menarik apakah yang dimaksud dengan Islam kiri adalah aspek-aspek kiri dalam Islam, ataukah kiri/sosialisme yang diramu dengan religiusitas, atau tesis-tesis kiri yang pararel dengan Islam. Hassan Hanafie, deklarator manifesto Al-Yasar Al-Islamy, menolak kiri Islam sebagai Islam yang ditafsirkan dalam konteks marxisme, marxisme yang ditafsirkan dalam konteks Islam. Dengan kata lain, Islam dalam dirinya memiliki aspek-aspek sosialistik yang bahkan sangat revolusioner.
DaIam wacana sosial istilah kiri atau sosialis dikarakterisasikan oleh T ony Fizgeraald: rationalist, scientific, optimistic; promotes and criticises industrial modernity; benefits of modernity to
be Shared by all; to be built upon the most advanced forms of capitalism; assumes that the social conditions that determine character are alterable, dan; historicises the self-interested liberal individual Dalam wilayah pemikiran politik kontemporer Islam baik di dunia Arab maupun non- Arab, cukup banyak para aktifis dan pemikir yang dapat dikelompokkan dalam sayap ini, atau setidak-tidaknya dekat dengan kelompok ini.Misalnya, Salamah Musa, T ahtawi, ShamayyiJ, Fuad Mursi (mesir), Abdallah Laroui (maroko), Abdul Khaleq Mahgoub (Sudan), (Mesir), Aziz Al-haji (Iraq), Ben Bella, Ahmad ben saleh (T unisia), Qathafi, Syari’ati (Iran), Cokro (Indonesia), Farid Farid (Afrika Selatan), dan lainnya.
Untuk memahami secara agak utuh gagasan Kiri Islam harus mengacu setidak-tidaknya ke Hassan Hanafie, atau Farid Essack. Pemikiran Kiri Islam Hanafie, menurut Isa Boullata, bertumpu pada telaah kritis sejarah sosial Islam, hermeneutika teks, dan tafsir sosial kontemporer dalam optik neomarxian, meskipun Hanifie sendiri menolak analisis ini. Dengan kerangka itu, Hanafie menyodorkan rekonstruksi T asawwuf, rethiriking tauhid, dan revitalisasi turats. Intinya adalah bagaimana memaknai Islam sebagai kekuatan pembebas atau Islam revolusioner.
Sedangkan Esack mendefinisikan teologi pembebasan AI Qur’ an sebagai “sesuatu yang bekerja ke arah pembebasan agama dari struktur serta ide sosial, politik, dan religius yang berdasarkan pada ketundukkan yang tidak kritis dan pembebasan seluruh masyarakat dari semua bentuk ketidakadilan dan eksploitasi ras, gender, kelas, dan agama”. Dengan perspektif hermeneutika Al Qur’ an, Esack menggunakan takwa dan tauhid, manusia dan kaum tertindas, keadilan dan perjuangan (jihad), sebagai kunci-kunci dalam memahami pesan inti dari Al Qur’an.
AI-Qur’an selalu mengaitkan taqwa dengan iman kepada T uhan (OS Yunus:10: 63; Al- naml, 27:53; Fushshilat,41:18, pencapaiannya sebagai tujuan ibadah kepada-Nya (AI Baqarah,2: 21), dan secara signifikan mengaitkan taqwa dengan interaksi sosial dan perhatian pada sesama yang lain seperti saling berbagai (OS AI-IaiJ,92: 5; AI-A’raf,7: 152-3) menepati janji (QS Ali “imran, 3: 76; AI-A’raf, 7: 52, dan amal baik (QS Ali Imran, 32: 172; Al Nisa, 4:126; Al Maidah, 5:93; AI Nahl, 16:127, dan melawankan orang bertaqwa dengan orang yang selalu mengejar keuntungan sesaat di dunia ( Q S An-Nisa, 4:77; AI-An’am,6:32: Yusuf, 12:57), Esack mengatakan bahwa taqwa memiliki tiga konsekeunsi: pembebasan penafsiran dari nafsu pribadi dan prasangka (sekaligus tidak menggunakan tuduhan nafsu dan dzan untuk menutupi kecenderungan ideologis dan upaya menyingkirkan opini orang lain); terjadinya keseimbangan estetik dan spirirtual penafsir; dan membawa penfasir dalam wilayah dialektika personal dan transformasi sosial politik.
T aqwa adalah antitesis penipuan diri, yang mendorong seseorang , suatu pergerakan, atau pemerintah yakin bahwa ia masa berjuang untuk rakyat. Pamaknaan ini, dengan mengaitkan taqwa dengan prinsip keadilan, kebebasan, kejujuran, dan integritas, akan meminimilkan jumIah teks yang dapat dimanipulasi demi kepentingan pribadi maupun ideologi sempit. T auhid dengan demikian tidak dimaknai dalam konteks teologis yang ahistoris, namun seialu dikaitkan dengan realitas sosial Dengan pijakan seperti ini, baginya, juga adalah syirk, memisahkan teologi dengan analisis sosial.
Konsep lain dari pemikiran Esack yang penting adalah ten tang “mustadh’afien”, istilah yang hampir sejajar dengan kaum tertindas dalam tradisi marxis. Mustadh’afien dikontraskan dengan kaum mustakbirun (05 AI Nahl,16:22; Al Mu’minun, 23:67; Luqman:31:7), mala (aristokrasi atau penguasa) (05 Hud, 11:27,28; Al Mu’minun, 23:24-33); Al Syu’ara,26: 34; kaum mutrofun--orang yang hidup mewah--; QS Saba’,34:34; AIZukhruf,43:23). Istilah itu menunjukkan bahwa kondisi ketertindasan bukanlah sesuatu yang alamiah, namun terdapat sebab struktural yang melibatkan tangan-tangan manusia, atau dengan kata lain terdapat sekelompok manusia yang harus bertanggung jawab atas kondisi ketertinadasan tersebut.