Gerakan Moral Mahasiswa

b) Gerakan Moral Mahasiswa

T erlepas dari sejarah panjang perjalanan gerakan mahasiswa di Indonesia, kekuatan mahasiswa hanya mampu menjadi kelompok preasure group yang ternyata di dorong oleh kepentingan kelompok tertentu. Pada sisi lain mahasiswa tidak mampu memberikan satu rumusan konseptual dan solusi atas berbagai problematika transisi. Kegagalan-kegagalan yang tetap harus kita akui sebagai bentuk kelemahan kita bersama, yang salah satunya disebabkan keterjebakan kita dalam stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral.

Sejarah panjang mengenai peran gerakan mahasiswa di Indonesia, memang telah mengoreskan tinta sejarah dengan menyebut gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral. Hal ini tentunya dilatar belakangi dengan keberhasilan gerakan mahasiswa menumbangkan rezim Soekarno tahun 1966, Soeharto tahun 1998 dan Gus Dur tahun 2001, yang konon katanya digerakkan oleh berhentainya proses demokratisasi, penegakan HAM, tidak berjalannya supremasi sipil dan supremasi hukum serta lain-lainnya. Latar belakang inilah yang kemudian cukup signifikan mempengaruhi kemunculan stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral yang katanya akan selalu menyuarakan kepentingan rakyat banyak dengan idiom-idiom demokrasi, HAM, supremasi sipil dan lain-lain.

Meminjam istilah Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemuda, mengenai peran pemuda yang sangat besar dalam menentukan masa depan sebuah bangsa. Dimana dalam peran ini mahasiswa menjadi bagian didalamnya. Selain itu adanya pepatah Arab yang berbunyi “Syubhanul yaum rijaalul ghoddi (Pemuda Sekarang Adalah pemimpin masa depan)”. Kedua hal tersebut di atas paling tidak menjadi landasan epistimologi yang akan semakin menguatkan stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral, sebagaimana kuatnya memori kolektif masyarakat yang menyebut bahwa pemuda Indonesia pada tahun 1908 telah mempunyai andil Meminjam istilah Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemuda, mengenai peran pemuda yang sangat besar dalam menentukan masa depan sebuah bangsa. Dimana dalam peran ini mahasiswa menjadi bagian didalamnya. Selain itu adanya pepatah Arab yang berbunyi “Syubhanul yaum rijaalul ghoddi (Pemuda Sekarang Adalah pemimpin masa depan)”. Kedua hal tersebut di atas paling tidak menjadi landasan epistimologi yang akan semakin menguatkan stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral, sebagaimana kuatnya memori kolektif masyarakat yang menyebut bahwa pemuda Indonesia pada tahun 1908 telah mempunyai andil

Budiaman Sudjatmiko pada tahun 2000 dalam tulisannya Demoralisasi Gerakan Mahasiswa menyebutkan bahwa yang disebut dengan demoralisasi gerakan mahasiswa diartikannya dengan surutnya atau tidak adanya kekompakkan berbagai elemen gerakan mahasiswa pada waktu itu dalam merespon isu-isu yang berkembang saat itu, yang menarik pengertian dari pemengalan kata demoralisasi, dengan mengartikan bahwa de- yang artinya tidak atau mengecil dan moral yang diartikan respon mahasiswa yang mengunakan idiom-idiom demokratisasi, HAM, supremasi hukum dan lain-lain.

Gerakan mahasiswa tidak pernah mengunakan gerakan moral sebagai pilihan bentuk aktualisasinya, tetapi yang dilakukannya adalah gerakan politik. Hal ini dilatar belakangi oleh beberapa alasan, pertama, gerakan mahasiswa dalam orientasinya yang ingin melakukan perubahan, selalu mengunakan ukuran perubahan struktur atau lebih spesifik perubahan kebijakan sebagai ukuran keberhasilannya. Fenomena tentang perubahan struktur atau perubahan kebijakan yang terjadi di Indonesia selalu dihasilkan dari proses gerakan politik bukan gerakan moral. Kedua, stigma gerakan moral tidak lain adalah bentuk justifikasi dari kebenaran akademis yang kelahirannya dilatar belakangi karena independensi perguruan tinggi, yang berimplikasi pada cara pandang bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan yang masih murni dan independen yang sangat jauh dari kepentingan pragmatis dan kepentingan politik tertentu. Padahal realitas empiriknya gerakan mahasiswa banyak mendapatkan donor dari partai politik, pemerintah, founding internasional dan lain-lain. Ketiga, gerakan mahasiswa yang mengklaim dirinya menyuarakan aspirasi rakyat dengan mengunakan idiom demokrasi, HAM, supremasi sipil, supremasi hukum dan yang lainnya, telah menjadikan idiom-idiom tersebut sebagai standar moral gerakan. Standar moral yang cenderung dikotomis karena pada realitasnya, moral kemudian kemudian menjadi alat untuk mengukuhkan eksistensi gerakan mahasiswa dan menyerang lawan (baca : negara) yang pada sisi lain negara yang dalam perwujudannya sebagai bentuk dari konsep trias politika (eksekuti, legeslatif dan yudikatif) juga mengunakan idiom yang sama dalam menjalankan tugas dan fungsinya, tetapi kemudian mengapa gerakan structural negara dalam kontes yang sama tidak disebut sebagai gerakan moral tetapi lebih cenderung disebut gerakan politik yang identik dengan relasi kuasa. Keempat, moral dalam gerakan mahasiswa sebenarnya hanya menyetuh pada aspek psikologi, emosional dan romantisme, bukan moral yang menjadi élan dan subtansi dari gerakan, karena kebangkitan gerakan mahasiswa lebih signifikan dipengaruhi faktror eksternal yang lebih massif. Contohnya adalah terbentuknya Badan Kerja Sama Pemuda-Militer (BKSPM) yang terbentuk tahun 1957, adalah bentuk infiltrasi politik ABRI. dan gerakan mahasiswa tahun 1974/1975 yang melakukan pembakaran produk- produk Jepang di Indonesia, yang terkenal dengan Malari, sebenarnya hanyalah akibat dari pertarungan antara AS dan Jepang untuk memperebutkan pasar di Indonesia.

Untuk itu, refleksi bersama atas internal gerakan mahasiswa yang katanya sebagai tulang punggung masa depan bangsa harus segera mungkin dilakukan. Keberadaan moral dalam gerakan mahasiswa tidak lain adalah bentuk pelarian dari individu seorang mahasiswa yang tidak mampu membebaskan diri dari belenggu moral dalam konteks pribadi, yang kemudian membawanya dalam komunitas gerakan mahasiswa. T idak bebasnya belenggu disini meliputi, Pertama, belenggu moral dalam prespektif teologis yang mengikat relasi manusia dengan T uhan dalam menjalankan hukum agama dan kewajiban sebagai seorang hamba-Nya dimana terdapat penilaian atas perilaku individu yang kemudian disebut dengan dosa atau tidak dosa dan halal Untuk itu, refleksi bersama atas internal gerakan mahasiswa yang katanya sebagai tulang punggung masa depan bangsa harus segera mungkin dilakukan. Keberadaan moral dalam gerakan mahasiswa tidak lain adalah bentuk pelarian dari individu seorang mahasiswa yang tidak mampu membebaskan diri dari belenggu moral dalam konteks pribadi, yang kemudian membawanya dalam komunitas gerakan mahasiswa. T idak bebasnya belenggu disini meliputi, Pertama, belenggu moral dalam prespektif teologis yang mengikat relasi manusia dengan T uhan dalam menjalankan hukum agama dan kewajiban sebagai seorang hamba-Nya dimana terdapat penilaian atas perilaku individu yang kemudian disebut dengan dosa atau tidak dosa dan halal

Dari penjelasan di atas, maka moral sebenarnya adalah system nilai yang berlaku universal bagi individu bukan komunitas (baca gerakan) dan menjadi alat mekanisme kontrol atas perilaku individu dalam menjalankan kehidupannya bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.