Tipe Budaya Politik dan Perilaku Politik Masyarakat Pengikut Saminisme

A. Tipe Budaya Politik dan Perilaku Politik Masyarakat Pengikut Saminisme

A.1. Tipe Budaya Politik Penelitian ini berusaha untuk mengetahui tipe budaya politik dan perilaku politik pengikut Saminisme. Sebagai dasar untuk mengetahui tipe budaya politik, maka menurut Gabriel A. Almond dan Sidney Verba (1990 : 19-20) perlu melacak empat hal pertama, pengetahuan individu terhadap sistem politik, baik mengenai pengertian sistem politik yang dianut di negaranya, sejarah, sifat-sifat konstitusi dan pengetahuan umum lainnya yang menyangkut sistem politik di negara bersangkutan.

Kedua, pemahaman individu mengenai input sistem politik, seperti pengetahuan mengenai struktur dan peranan elit politik serta mekanisme pengajuan-pengajuan tuntutan politik atau pengajuan kebijaksanaan politik. Kemudian perasaan-perasaan individu mengenai struktur elite beserta proposal kebijaksanaan yang mereka ajukan ke sistem politik.

Huzer Apriansyah

Ketiga, pemahaman individu mengenai output sistem politik, seperti pemahaman mengenai kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan oleh sistem politik. Juga mengenai mekanisme pemunculan kebijakan-kebijakan tersebut serta mengenai perasaan mereka terhadap dampak yang dirasakan dari kebijakan- kebijakan yang dikeluarkan sistem politik.

Keempat, partisipasi politik individu. Menyangkut argumentasi individu mengenai perasaannya sebagai bagian dari sistem politik. Lalu pengetahuan mereka terhadap hak-hak, kewajiban serta strategi-strategi individu untuk melakukan tekanan atau mempengaruhi sistem politik.

Data penelitian yang tersedia dapat menjelaskan ke empat hal tersebut di atas, hingga pada akhirnya dapat menentukan tipe budaya politik pengikut Saminisme di kedua dusun lokasi penelitian berdasar tiga tipe budaya politik yang dibuat oleh Verba dan Almond. Berikut ini data keadaan pengikut saminisme (Baca hasil penelitian pada bagian orientasi politik masyarakat pengikut saminisme) terkait dengan empat hal yang perlu dilacak berdasar pendapat Almond dan Verba di atas;

Terkait dengan pengetahuan individu mengenai hal-hal dasar tentang sistem politik, dapatlah kita ketahui beberapa hal ; Pertama, informan penelitian yang merupakan pengikut saminisme di lokasi penelitian memiliki pengetahuan dasar tersebut, hal ini diketahui dari pendapat-pendapat informan ketika ditanya mengenai dasar negara, kewilayahan dan sebagainya. Namun pengetahuan tersebut dapat dikatakan sangat terbatas atau sangat tidak lengkap. Deskripsi

Huzer Apriansyah

informan bersifat sangat spekulatif (menduga-duga) dan tidak akurat. Mari kita analisis beberapa pendapat berikut:

"aku ngertine Bung Karno, lha pancasila iku pikirane Sukarno, sing ngerti sak jero-jerone yo Sukarno, petani-petani nduk Ploso mung-mungan ngerti urusan tentang pancasila opo maneh sak isi-isine"

"Pancasila itu dasar negara yang mengatur kehidupan masyarakat Indonesia isinya mengenai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,. Itu yang saya tahu. Tapi terus terang saya belum tahu benar apa gunanya pancasila untuk kehidupan" (Ngasirun, karyawan di Ploso Wetan berusia 38 tahun

Dari pendapat di atas dapat kita ketahui, informan mengenal pancasila tetapi tidak mengetahui apakah pancasila dan apa guna pencasila. Bahkan cenderung spekulatif. Namun bila kita merujuk pada pendapat Ngasirun, ia bisa mengetahui gambaran umum pancasila tetapi pengetahuannya tidaklah lengkap. Meski demikian ada pendapat seorang informan yang relatif lengkap;

"Pancasila itu pandangan hidup bangsa Indonesia, yang dirumuskan oleh pendiri bangsa, ada lima sila di dalamnya. Panca itu berarti lima dan sila itu dasar, berarti lima dasar-dasar negara; meliputi: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia." (Suyoko, Klopo Duwur)

Pengetahuan informan terakhir (Bapak Suyoko) dapat dikatakan mendekati lengkap, karena informasi awal mengenai pancasila terpenuhi, hal ini dapatlah dihubungkan dengan latar belakang informan yang berpendidikan SLTA dan berprofesi sebagai guru.

Kemudian bila melihat petikan wawancara dengan informan ketika ditanya mengenai kewilayahan NKRI. Maka, gambaran pengetahuan informan, memperlihatkan adanya percampuran antara pengetahuan yang bersifat baru dengan pengetahuan yang bersifat ajaran lama (mitos). Hal ini kita ketahui dengan

Huzer Apriansyah

menghubungkan pendapat informan dengan ajaran politik Samin Surosentiko (Baca hasil penelitian, bagian ajaran politik Saminisme)

Gur tameh eling bilih sira Kebeh horal sanes turun pandawa Lan huwis nyipati kabrokalan Krandah majapait sakeng Kakrage wadya musuh. Mula sakuwit liyen kala nira Puntadewa titip tanah Jawa Marang hing Sunan Kalijaga Hiku maklumat tuwila kajantaka

(Orang samin adalah tidak lain keturunan Pandawa tepatnya Prabu Puntadewa, saudara tertua, yang berbudi luhur dan tanpa pamrih. Kedua, pada zaman senjakala Majapahit keturunan ini mengalami pukulan dari orang-orang Demak yang mabuk kemenangan. Trah pandawa di Majapahit sudah tahu siapa salah dan siapa benar. Maka sewaktu mereka tersiksa Prabu Puntadewa menampakkan kembali ke dunia Pergi ke Demak dan menitipkan keselamatan Tanah Jawa kepada Sunan Kalijaga.)

Selanjutnya pada infomasi yang diberikan informan ketiga dan keempat (Sumarni dan Supatno yang merupakan kami tuwo) bersifat out of date (informasi lama) yang tidak akurat.

Kedua, untuk mengetahui pemahaman informan mengenai input sistem politik dalam penelitian ini ditelusuri informasi yang dimiliki oleh informan mengenai pemilihan umum dan pengetahuan informan mengenai pengajuan usul kepada sistem politik. Pemilihan umum dalam pandangan informan menempatkan informan “sekedar” obyek pemilu, karena mereka memahami pemilu merupakan kewajiban untuk mencoblos. Dampak dari pilihan-pilihan mereka tidaklah terlalu menjadi perhatian. Pemilihan umum dilihat sebagai sebuah seremoni politik negara. Satu hal penting yang dapat ditangkap bahwa pemilihan umum cenderung

Huzer Apriansyah

bukanlah sesuatu yang penting untuk mereka karena bagi informan pemilu apapun hasilnya tidak berpengaruh pada nasib mereka.

Selanjutnya mari kita perhatikan pendapat mereka mengenai pengajuan usul kepada sistem politik, sebagian informan menjnawab dengan tidak tahu, karena yang tahu itu pamong desa, adapun pendapat lainnya

“sing bagian usul-usul kuwi wis ono sing ngurusi, malah biasane ono neng teve, lha kaum tani yo ora mungkin ngomong urusan-urusan penting kuwi mas, mboten ngertos, mangke malah keleru" (Rasiyo, 74 tahun. Tinggal di Ploso kediren)

“dimana-mana sudah banyak orang yang memikirkan masalah negara mas, dadi yo ra usah mumet-mumet mikirke kuwe. Lha pemerintah sing elek kuwi sing nyebabke nasib petani ora apik-apik mas ” (Iskuat petani di Kediren, usia

32 tahun)

Meski demikian, bagi Supatno dan Suyoko, dua informan yang memiliki latar belakang pendidikan yang relatif tinggi mereka mengetahui mekanisme pengajuan usul, yaitu melalui dewan perwakilan rakyat secara langsung maupun melalui surat.

Secara umum dapatlah dikatakan bahwa informan tidak memiliki pengetahuan mengenai mekanisme pengajuan usul kepada sistem politik dan cenderung acuh tehadap keadaan karena sebagai orang kecil mereka merasa tidak pantas mengurusi hal-hal tersebut.

Ketiga, pemahaman informan mengenai output dari sistem politik. Untuk menelusuri hal tersebut, dalam penelitian ini informan dimintai pendapat mengenai rencana kenaikan harga bahan bakar minyak. Secara umum infoman menolak kebijakan tersebut, karena informan merasa keadaan hidup yang sudah berat karena desakan ekonomi akan semakin berat karena kenaikan BBM akan

Huzer Apriansyah

berdampak pada kenaikan kebutuhan lainnya namun, penyikapan terhadap kebijakan tersebut ada dua pendapat utama; pendapat pertama menyatakan kalau pada akhirnya betul-betul dinaikkan mau bagaimana lagi, semua harus diterima, karena sebagai oran kecil tidak ada daya untuk menolak kebijakan tersebut. Namun ada juga pendapat yang menginginkan adanya upaya untuk menolak kebijakan tersebut, dengan cara apapun termasuk dengan aksi turun ke jalan, berikut petikan pendapat informan:

“minyak regone mundak, alamat tambah susah uripe. Ceto-ceto wis susah, malah ditambani meneh. Aku yo ora setuju rencana kuwi. Tapi nek umpamane tetep diundake yo arep piye meneh, mestine ditompo, meski jane ora lilo” (Pasno. 39 tahun, Ploso Wetan)

“bagaimana caranya kenaikan BBM harus dibatalkan, demo ya ndak apa-apa mas, ini sudah kelewatan, masak di saat susah-susah begini bbm juga dinaikkan bisa-bisa ndak makan betulan. Sekarang saja untuk beli beras susah, apalagi kalau BBM naik” (Suyoko, 38 tahun. Klopo Duwur)

Keempat, penelusuran mengenai argumentasi informan mengenai perasaannya sebagai bagian dari sistem politik juga ditelusuri dalam penelitian ini. Berikut ini beberapa petikan agumentasi informan;

“jamane wis apik, pemerintahne juga apik. Presidene yo apik. Tur uripe wong alit tetap koyo ngene wae mas. Pemerintahne apik, masyarakate mestine iso apik uripe” (Rasiyo, Ploso Wetan 74 tahun)

“Negara saat ini tidak lebih baik dari sebelum-sebelumnya, keadaan masyarakat semakin susah, nasib guru seperti saya malah tambah buruk. Dulu rasanya lebih baik dari sekarang” (Suyoko, 38 tahun. Guru tinggal di Klopo Duwur)

“..rekoso mung kudu dilakoni mas, tiyang tani yo isone koyo ngene iki, njaluk tulung pemerintah yo piye carane, ora ngerti..sing penting rekoso-rekoso waton ora nyolong” (Kawit 42 tahun tinggal di Ploso Wetan)

“..sak iki opo sih mas sing ora angel, serba susah. Pemerintahne yo aku ora ngerti kepiye-kepiye, sandangan larang, beras melu larang, kabean larang” (Suwarni, 40 tahun)

Huzer Apriansyah

"Negara kudu nduwe patokan, dadi budaya iku yo di uri-uri, presiden yo kudune nduwe pujonggo, siji seko Islam sijine seko Jowo. Nek budaya ora di uri-uri negara pastine bakal susah terus, tinggalane leluhur kuwe yo patokan, nek negara ora duwe patokan yo susah" (Sujadi, Klopo Duwur)

Ada persamaan umum bahwa muncul perasaan negatif yang cukup kuat terhadap keadaan sistem politik hari ini, terutama menyangkut penampilan, kinerja dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sistem politik.

Secara lebih ringkas, oreientasi informan akan dapat dilihat dari matrik berikut ini;

Huzer Apriansyah

Matrik 1. Pengetahuan Informan Mengenai Dasar Negara, Kewilayahan dan Pemilu

No Informan

Deskripsi Pengetahuan

Kecendrungan

1 Dasuki Saya petani tidak paham Memiliki pengeta-

yang huan dasar tapi penting ya pancasila sajalah, jauh dari lengkap begitu kata pamong.

menjelek-jelekkan pancasila

2 Rasiyo

Aku mengerti bung karno,

Pengetahuan

pancasila itu pikiran Bung

dipengaruhi nilai-

Karno, yang mengerti ya

nilai lama

Sukarno itu

3 Ngasirun Dasar negara yang menga- Pengetahuan relatif tur kehidupan masyarakat. lengkap

Isinya; ketuhanan, kemanu- siaan, persatuan, permusya- waratan dan keadilan sosial

4 Suyoko Pancasila itu pandangan Pengetahuan relatif hidup bangsa, isinya lima lenkap

(disebutkan lengkap)

Pemilu itu untuk memilih wakil rakyat dan juga presiden

5 Simun Wilayah Indonesia saya Pengetahuan dasar

tidak tahu.

ada tapi spekulatif Cikal bakal Indonesia dan dipengaruhi Majapahit

nilai lama

6 Siwan Wilayah Indonesia itu luas Pengetahuan dasar tapi saya tidak tahu mana sangat lemah

saja

7 Sumarni Indonesia itu ada 27 Pengetahuan dasar Provinsi, ada di Sumatera, cukup tapi out of Jawa, Kalimantan dan lain- date

lain

8 Supatno Wilayah Indonesia itu 27 Pengetahuan dasar provinsi, mungkin sudah cukup tapi out of ada yang baru jadi berubah date

Huzer Apriansyah

….Lanjutan Matrik 1 No

Informan

Deskripsi Pengetahuan

Kecendrungan

9 Joyo Rukiyat Pemilu ya coblosan untuk Pengetahuan dasar memilih partai dan presiden ada tapi jauh dari Sebelum

pemilu

ada lengkap

kampanye bagi anak muda Manfaat pemilu saya tidak

tahu

10 Kastamin Pemilu itu pemilihan wakil Pengetahuan dasar rakyat yang milih kita cukup

semua

11 Kawit Pemilu untuk memilih Pengetahuan relatif

anggota DPR

cukup

12 Lamirah Manfaat pemilu itu sebatas Ikut pemilu tanpa saya senang ada keramaian dasar pengetahuan

yang cukup

Dari matrik dapat kita lihat secara umum para informan memiliki pengetahuan tentang dasar negara, kewilayahan dan sistem pemilu. Namun, informasi dasar tersebut jauh dari kelengkapan. Hingga pengetahuan ini hanya bersifat sangat umum. Hal ini menunjukkan secara kognitif sesungguhnya informan tidak berada pada titik nol, bahkan bisa dibilang mencukupi. Selanjutnya, akan disajikan matrik pemahaman informan untuk mempengaruhi sistem politik.

Huzer Apriansyah

Matrik 2. Pemahaman Informan untuk mempengaruhi sistem politik No

Informan

Deskripsi Pemahaman

Kecendrungan

1 Rasiyo Yang bagian usul-usul itu Tidak ingin terlibat

sudah ada yang mengurusi

interaksi dengan

Petani

pantas sistem politik bicara/mengusulkan hal-hal dipengaruhi rasa pentingpada

tidak

pemeirntah, rendah diri sebagi

nanti malah salah

petani

2 Supatno Siapa saya bisa mengajukan Cukup punya

ke DPR

keinginan berparti- sipasi dalam sistem politik

3 Suyoko Usul disampaikan ke DPR Cukup memiliki langsung atau lewat surat keinginan

dan bisa dilakukan oleh berpartisipasi dan semua orang

memahami mekanisme

4 Dasuki Mana mungkin usulan Tidak memiliki petani didengarkan oleh keinginan

pejabat

berpartisipasi karena rasa pesimis

5 Iskuat Dimana-mana sudah banyak Pemahaman lemah orang yang memikirkan dan tidak punya

masalah negara jadi tidak keinginan perlu pusing-pusing

berpartisipasi

6 Kawit Ingin minta bantu pemerin- Pemahaman lemah

tah tapi tidak tahu caranya

tapi ada keininan untuk berinteraksi dengan sistem politik

Matrik kedua ini menjelaskan ada kecendrungan pemahaman informan terhadap input politik relatif sangat rendah. Hingga kecendrungan untuk berpartisipasi mempengaruhi sistem politik relatif rendah pula. Selanjutnya akan disajikan matrik perasaan informan terhadap sistem politik saat ini,

Huzer Apriansyah

Matrik 3. Perasaan Informan terhadap sistem politik saat ini No

Informan

Deskripsi Perasaan

Kecendrungan

1 Suradi Negara saat ini tidak punya Perasaan pathokan budaya bangsa dipengaruhi nilai tidak dipelihara. Presiden lama. Cenderung

saja tidak punya pujangga

negatif terhadap sistem politik

2 Rasiyo Zaman sudah baik, presiden Pandangan pesimis

baik, tapi hidup orang kecil tetap begini-begini saja

3 Suyoko Negara tidak lebih baik dari Pandangan sebelumnya, keadaan ma- cenderung negatif syarakat tambah susah

terhadap sistem politik

4 Kawit Sekarang susah, negara Pandangan negatif tidak membantu tapi walau dan cenderung susah tetap harus dijalani menyerah terhadap

yang penting tidak mencuri keadaan

5 Sumarni

Sekarang

hal Pandangan negatif menjadi susah, semua terhadap sistem kebutuhan tambah mahal, politik terutama negaranya tidak peduli

semua

dalam sektor ekonomi

6 Kastamin Hidup zaman Suharto lebih Pandangan enak, sekarang semua cenderung negatif

mahal. Uang sepuluh ribu dan melihat masa sekarang kecil manfaatnya orde baru lebih

baik

Matrik ketiga menunjukkan perasaan informan terhadap sistem politik, terutama terhadap pengambil kebijakan publik (negara) terbilang negatif. Selanjutnya akan dipaparkan matrik penilaian informan terhadap penampilan sistem politik dalam menghasilkan output sistem politik.

Huzer Apriansyah

Matrik 4. Penilaian Informan terhadap output sistem politik (Kenaikan BBM) No

Informan

Deskripsi Pemahaman

Kecendrungan

1 Pasno Minyak harganya naik, Sikap menolak maka hidup akan tambah output sistem susah. Sudah jelas-jelas politik tetapi tidak

hidup sudah susah malah ingin melakukan ditambah lagi kesusahannya perlawanan

kebijakan kenaikan BBM Kalau akhirnya dinaikkan

ya mau gimana lagi

2 Suyoko

Kebijakan kenaikan BBM

Menolak output

harus dibatalkan, demo ya

dan setuju

melakukan Pemeirntah sudah kelewatan perlawanan

tidak apa-apa

3 Kastamin Saya tidak setuju kenaikan Meolak output tapi

BBM

belum memiliki keinginan melawan

4 Sukardji Apapun caranya kenaikan Menolak output BBM harus dibatalkan cenderung ingin

rakyat sudah terlalu susah

melawan

5 Laminah Saya tidak tahu persoalan Tidak ada

BBM

informasi lengkap

6 Siwan Pemerintah malah buat Menolak output

susah rakyat kecil

Matrik keempat menjelaskan bahwa informan menolak kebijakan sebagai bentuk output yang memberatkan mereka, seperti kebijakan mengurangi subsidi BBM yang berdampak pada naiknya harga BBM.

Setelah melakukan penelusuran pada empat hal di atas, maka dapat dikatakan informan berada dalam kecendrungan keadaan sebagai berikut :

Huzer Apriansyah

Tabel 25. Tingkat Kecendrungan Pengetahuan Informan Mengenai Sistem Politik

Jenis Pengetahuan

Tinggi

Sedang Rendah

1. Pengetahuan mengenai hal dasar dalam sistem politik

2. Pengetahuan hak politik

3. Pengetahuan kewajiban politik

4. Pengetahuan mengenai input sistem politik

5. Pengetahuan mengenai output politik

Sumber : Data primer diolah, 2005

Tabel 26. Tingkat Kecendrungan Perasaan Informan Mengenai Sistem Politik

Perasaan Terhadap

Positif

Negatif

1. Kinerja sistem politik

2. Sebagai bagian sistem politik

3. input sistem politik

4. output sistem politik Sumber : pengolahan dari hasil penelitian

Demikianlah kecendrungan pengetahuan dan perasaan informan tehadap sistem politik. Pada tingkat perasaan informan kepada sistem politik yang ada saat ini berkecendrungan berada pada posisi negatif. Hal ini terindikasi dari komentar- komentar yang mempermasalahkan banyak hal dalam sistem politik saat ini. Ada perasaan yang membuat mereka merasa terpisah jauh (terkucil) dari sistem politik dan merasa frustrasi dengan keadaan yang dilahirkan dari sistem politik.

Selanjutnya untuk memantapkan proses analisis, perlu pula dilihat bahwa partisipasi politik dalam pemilu yang relatif tinggi ternyata tidak diikuti dengan patisipasi untuk mempengaruhi sistem politik. Dapat pula ditelusuri bahwa pemilu dipahami lebih sebagai kewajiban politik bukanhak politik, hingga yang tepenting bagi mereka adalah ikut coblosan tidak terlalu peduli dengan dampak dan

Huzer Apriansyah

konsekuasi dari pilihan mereka. Hal ini bisa kita tangkap dari penjelasan- penjelasan informan. (lihat pada hasil penelitian bagian orientasi politik, hlm. 102 s.d. 114). Maka Secara teoritis partisipasi politik tersebut bersifat semu (pseudo participation) , apalagi dari penelusuran lapangan ditemukan adanya langkah- langkah penguatan patisipasi politik melalui mobilisasi politik, terutama melalui perangkat desa. Hingga partisipasi politik lebih dikarenakan faktor mobilisasi politik bukan kesadaran politik.

Bila kita kita perhatikan tingkat partisipasi di Ploso Wetan yang mencapai 80% begitupun di Klopo Duwur dalam pemilihan pesiden dan legislatif selanjutnya kita bandingkan dengan pandangan mereka mengenai pemilihan umum, dan rata informan beranggapan bahwa pemilu tidaklah berarti secara langsung bagi kehidupan mereka. Maka dapatlah dikatakan partisipasi politik mereka dalam pemilu bukan dalam rangka memperbaiki keadaan tetapi lebih karena keinginan memenuhi kewajiban sebagai warga negara. Apalagi hal ini juga bisa dihubungkan dengan trauma masa lalu mereka yang terkena steriotipe PKI (Partai Komunis Indonesia).

Data dan analisa di atas selanjutnya akan digunakan untuk menentukan posisi tipe budaya politik pengikut Saminisme berdasarkan kategorisasi yang ditentukan oleh Almond dan Verba. Kategori ini adalah kategori dasar tipe budaya politik. Kecendrungan tipe budaya politik masyarakat pengikut Saminisme adalah bertipe subyek. Dengan alasan sebagai berikut :

Huzer Apriansyah

1. Orientasi politik kognitif yang cukup tinggi, meski bisa dikatakan pengetahuan mereka belum cukup lengkap dan ada kecendrungan dipengaruhi spekulasi. Namun tidak bisa dikatakan mendekati nol.

2. Orientasi politik afektif dan evaluatif cukup tinggi, karena informan bisa melakukan penilaian terhadap kinerja, penampilan serta output sistem poltik.

3. Tingkat partisipasi politik masih bersifat pasif dan dipengaruhi oleh mobilisasi politik dan juga dipengaruhi oleh keyakinan terhadpa ajaran politik terdahulu yang kadang sulit dijelaskan scara empiris.

4. Partisipasi politik tidak bersifat kritis, partisipasi politik dipengaruhi keinginan untuk sekedar menunaikan kewajiban. Hingga memilih dalam pemilu ditafsirkan sebagai kewajiban.

5. Informan merasa tidak pantas untuk aktif dalam mengusahakan input sistem politik, usulan-usulan kepada sistem politik dianggap bukan tugas mereka, karena perasaan mereka yang merasa terbelakang.

Namun, meski tipe dasar kebudayaan politik pengikut saminisme berkecendrungan berada pada tipe subyek karena ketegorisasi ini tidak bisa berlaku mutlak. Ambil contoh dalam konteks budaya politik pengikut Saminisme sesungguhnya tiga aspek politik masyarakat Samin berada pada posisi middle (pertengahan), tetapi bila standar kuantitatif yang digunakan mereka memiliki tingkat partisipasi politik dalam pemilu yang tinggi, namun dalam kualitas partisipasi politik mereka rendah.

Huzer Apriansyah

Bila menggunakan kategorisasi tipe politik kombinasi antar tipe murni sistem politik seperti dikemukan Gabriel almond dan Verba (1990:26-27) Menurut Almond dan Verba (1990 : 26-27) kebudayaan politik parokial, subyek dan partisipan tidak hadir dalam bentuk yang sederhana atau murni, tetapi merupakan sebuah bentuk kompleks. Terjadi interaksi antara ketiga budaya politik tersebut. Maka ada tiga bentuk budaya politik baru yang merupakan campuran antar tipe budaya politik murni, yaitu: Kebudayaan subyek parokial, kebudayaan subyek-partisipan dan kebudayaan parokial-partisipan. Berikut penjelasan yang diberikan Almond dan Verba mengenai tiga tipe kebudayaan politik campuran tersebut. (1990 : 27-32).

a. Kebudayaan subyek-parokial Kebudayaan subyek parokial merupakan suatu tipe kebudayaan politik dimana sebagian besar masyarakat menolak tuntutan eksklusif masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus. Kondisi ini biasanya runtutan sejarah peralihan dari model kerajaan menuju pemerintahan yang tersentralisasi.

b. Kebudayaan subyek-partisipan Cara bagaimana proses peralihan dari kebudayaan parokial menuju kebudayaan subyek dilakukan pasti akan mempengaruhi cara bagaimana proses peralihan dari budaya subyek meuju budaya partisipan berlangsung. Dalam proses peralihan dari budaya subyek menuju partisipan, pusat-pusat kekuasaan parokial dan, jika mereka memang ada akan mendukung pembangunan infrastruktur

Huzer Apriansyah

demokratis. Dalam budaya subyek-partisipan yang bersifat campuran itu sebagian besar penduduk telah meperoleh orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis. Sementara sisa penduduk lainnya terus diorientasikan ke arah struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif.

Ketidakstabilan struktural yang sering menyertai kultur subyek partisipan, tumpulnya infrastruktur demokratis dan sistem pemerintahan cenderung menghasilkan tendensi alienatif di antara sebagian penduduk yang berorientasi demokratik. Kebuntuan budaya politik yang bisa terjadi dalam budaya subyek partisipan ini akan cenderung melahirkan sindrom dengan unsur-unsur aspirasi kaum idealis dan keterasingan dari sistem politik, termasuk infrastruktur politik.

Budaya subyek partisipan yang bersifat campuran tersebut, jika berlangsung dalam waktu lama, juga dapat mengubah karakter sub budaya subyek. Selama perselang-selingan demokrasi itu berlangsung, maka kelompok otoritarian yang cenderung masih harus bersaing dengan kelompok demokrat dalam kerja demokrasi formal.

c. Kebudayaan parokial partisipan Dalam tipe kebudayaan parokial partisipan merupakan kecendrungan kebudayaan politik yang terjadi di negara berkembang. Karena hampir semua negara berkembnag memiliki unsur budaya parokial yang kuat. Namun persentuhan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan politik dunia membuat mereka mengorientasikan budaya politik pada budaya partisipan. Maka kondisi sistem politik dalam kebudayaan parokial partisipan ini dianalogikan oleh

Huzer Apriansyah

Almond dan Verba seperti pemain sirkus yang berakrobat di atas seutas tali. Kadang kala condong ke pemerintahan demokratis tapi kadang kala condong pada pemerintahan yang otoriter. Bila kategorisasi ini yang digunakan maka pada konteks saat ini masyarakat pengikut saminisme berada pada tipe pertama, yaitu subyek parokial. Hal ini disebabkan beberapa hal :

1. Adanya upaya pengikut saminisme keluar dari anggapan bahwa mereka adalah pengikut saminisme ortodok yang menolak perubahan dan selalu menentang pemerintah, hingga akhirnya pengikut saminisme bersikap patuh terhadap aturan-aturan yang datang dari negara. Kemudian dapat pula kita telusuri bahwa sebagian besar informan merasa lebih nyaman dan keadaan lebih baik ketika berada pada masa kepemimpinan Suharto. Dengan demikian tepatlah bahwa pola yang tersentralisasi mereka sukai, karena bagi mereka yang tepenting adalah tidak mengusik kebiasaan mereka.

2. Kecendrungan tingkat partisipasi yang disebabkan karena faktor dari luar terutama karena mobilisasi pamong desa, membuat partisipasi politik mereka belumlah berada pada posisi partisipatif-aktif.

Kondisi ini agak berbeda dengan tipe budaya politik Indonesia secara umum sebagai negara berkembang yang menurut Almond dan Verba berada pada tipe parokial partisipan.

Selanjutnya bila melihat pola-pola budaya politik berdasarkan unsur budaya yang penting yang dikemukan Robert Dahl dalam (Denis Kavanagh, 1982:11) yang menyebutkan ada empat unsur penting untuk melihat kebudayaan

Huzer Apriansyah

politik, pertama apakah partisipan bersifat pragmatik atau rasional. Kedua, apakah dalam memahami aksi bersama mereka bersifat kooperatif atau non-kooperatif. Ketiga, apakah mereka termasuk setia atau tidak terhadap sistem politik. Keempat, terkait dengan hubungan terhadap orang lain apakah mereka termasuk bisa dipercaya atau tidak.

Bila dihubungkan dengan fakta empirik di lapangan dapatlah dikatakan bahwa pengikut Saminisme cenderung tidak rasional dalam melakukakn aktivitas politik, hal ini terlihat dari partisipasi memilih dalam pemilu yang sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat mitos yang berasal dari tradisi ada pula pengaruh dari perasaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan politik, seperti dalam menentukan pilihan partai politik dalam pemilu ada yang menggunakan paramater keindahan lambang dan warna partai politik dalam menentukan pilihan.

Orientasi mereka dalam melakukan aksi bersama dengan pihak-pihak di luar komunitas di luar mereka cenderung bersifat non-kooperatif. Mereka cenderung sangat menolak hal-hal yang berbeda dengan keyakinan tradisi mereka, hingga banyak sekali aksi bersama yang mereka tolak.

A.2. Tipe Perilaku Politik Perilaku politik menurut Ramlan Surbakti (1992:141) dapat dilihat secara lebih jelas dari bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan, baik bentuk partisipasi politik langsung dalam pemilihan umum atau bentuk partisipasi lainnya yang bertujuan mempengaruhi sistem politik. Berdasar hal tersebut maka untuk

Huzer Apriansyah

melihat tipe perilaku politik pengikut saminisme digunakan data seputar partisipasi politik pengikut saminisme dalam pemilu dan dalam bentuk lainnya.

Perilaku politik masyarakat pengikut Saminisme yang tercermin dari perilaku memilih dalam pemilu menunjukkan bahwa perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh dorongan dari luar diri. Hal ini terungkap dari pernyataan- pernyataan yang dikemukakan informan bahwa himbauan dari pamong desa dan seruan di medialah yang membuat mereka merasa wajib mengikuti coblosan.

Selanjutnya di wilayah peran mengajukan usulan-usulan kepada sistem politik sebagai input bagi sistem politik tidak dilakukan oleh informan seperti terungakap dari informan bahwa, pengajuan usul keapda sistem politik bukanlah urusan mereka. Urusan tersebut sudah ada yang mengurusi, perhatikan pernyataan berikut;

“sing bagian usul-usul kuwi wis ono sing ngurusi, malah biasane ono neng teve, lha kaum tani yo ora mungkin ngomong urusan-urusan penting kuwi mas, mboten ngertos, mangke malah keleru" (Rasiyo, 74 tahun. Tinggal di Ploso kediren)

“dimana-mana sudah banyak orang yang memikirkan masalah negara mas, dadi yo ra usah mumet-mumet mikirke kuwe. Lha pemerintah sing elek kuwi sing nyebabke nasib petani ora apik-apik mas ” (Iskuat petani di Kediren, usia

32 tahun)

Pernyataan di atas menggambarkan bahwa mereka belum berperan aktif sebagai partisipan dalam sistem politik. Hal selanjutnya juga nampak dari ketidak aktifan mereka dalam lembaga-lembaga yang bisa menjadi penyalur usulan-usulan kepada sistem politik. Dari 18 informan yang merupakan pengikut Saminisme di dua dusun tersebut hanya bapak Suyoko yang aktif di Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), sebuah lembaga profesi guru di tingkat kecamatan. Selebihnya

Huzer Apriansyah

informan menjalani kehidupan sehari-hari tanpa secara langsung terlibat dengan aktifitas politik. Aktivitas politik informan baru sebatas aktivitas dalam kegiatan seremonial politik seperti pemilihan umum.

Satu hal lagi yang menarik adalah ketidakbersediaan mereka menjadi pelaku aktif dari upaya mendorongkan input politik disebabkan karena perasaan terpisahkan (alienasi) dari sistem politik karena faktor latar belakang sosial ekonomi. Informan dalam penelitian ini akan cenderung mengatakan bahwa mereka bukanlah orang yang berhak membicarakan mengenai masalah pemerintahan dan urusan politik lainnya apalagi jika dihubungkan dengan aktivitas politik mereka. Bagi mereka, latar belakang sosial ekonomi mereka tidak memungkinkan untuk menjadi partisipan dalam proses dalam sistem politik.

Di antara delapan belas (18) informan penelitian hanya seorang saja yang aktif dalam sebuah lembaga yang memungkinkan interaksi dengan sistem politik, yaitu Bapak Suyoko yang aktif dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sedangkan informan yang lain sama sekali tidak memiliki aktivitas di luar aktivitas sehari-hari mereka. Untuk mempermudah pembahasan mengenai partisipasi politik, berikut matrik mengenai alasan informan mengikuti pemilu dan faktor yang menjadi alasan mereka menentukan pilihan dalam pemilu.

Huzer Apriansyah

Matrik 5. Alasan Informan Berpartisipasi dalam Pemilu No

Informan

Deskripsi Alasan

Kecendrungan

1 Suyoko Ikut dalam pemilu untuk Kesadaran dari luar

melaksanakan

anjuran diri dan pesimis pemerintah, walau tidak dengan manfaat tahu adakah manfaatnya

pemilu

2 Kastamin

Saya ikut sekedar untuk

Kesadaran

meramaikan tidak ada

partisipasi lemah

pikiran lainnya

dan tanpa orientasi

3 Ngasirun Kata orang-orang terutama Kesadaran karena pak Carik ngomong pemilu tekanan/ajakan dari itu wajib diikuti walau luar

milihnya terserah hati saja

4 Joyo Rukiyat Pokoknya kewajiban ditu- Kesadaran naikan, siapa yang menang “sekedar tunai” terserahlah

kewajiban

Matrik 6. Alasan Informan Menentukan Pilihan Dalam Pemilu No

Informan

Deskripsi Perasaan

Kecendrungan

1 Suyoko Saya memilih berdasarkan Faktor dalam diri keinginan saya melihat yang mempenga- partai yang baik dan peduli ruhi namun pesimis pada nasib kami

dengan pemilu

2 Ngasirun

Yang penting gambar dan

Dipengaruhi faktor

warnanya bagus, itu yang

non-politik dan

saya pilih

tidak memiliki orientasi politik

3 Suradi

Dulu

Engkrek Faktor dari luar berjuang bersama Sukarno, berupa keyakinan jadi saya merasa cocok pada nilai lama dengan partai anaknya sangat berpengaruh Bung Karno

Mbah

4 Pasno Saya milih partai yang Faktor dari luar diri banyak rakyat kecilnya, sangat berpengaruh

kalau urusan lain saya tidak (eksistensi parpol) tahu

5 Rasiyo

Ya

yang Mobilisasi pihak dianjurkan pamong sajalah luar sangat berpengaruh

saya

ikut

Huzer Apriansyah

Kondisi-kondisi yang ada di seputar perilaku politik masyarakat pengikut Saminisme dan didasarkan pada matrik-matrik di atas menunjukkan bahwa mereka termasuk dalam kelompok subyek politik pasif atau bila menggunakan kategorisasi dan Samuel P. Huntington dan Joan Nelson termasuk dalam partisipasi politik yang dikerahkan (mobilizied participation). Hal ini terbukti dari kenyataan berikut ini :

1. Partisipasi dalam pemilu masih sangat dipengaruhi oleh faktor mobilisasi politik, bukan oleh kesadaran diri akan dampak yang ditimbulkan dari pemilihan umum. Mobilisasi tersebut terutama tekanan dari para pamong desa yang mengemukakan bahwa mengikuti pemilu itu adalah wajib.

2. Sangat minimnya partisipasi politik informan dalam lambaga-lembaga atau organisasi yang memungkinkan mereka ikut mempengaruhi atau paling tidak berinteraksi dengan sistem politik.

3. Adanya perasaan terasing dari sistem politik dikarenakan keadaan latar belakang sosial ekonomi mereka yang minim. Perilaku politik masyarakat pengikut Saminisme yang merupakan

masyarakat marjinal di kawasan pedesaan dapat kita bandingkan dengan perilaku masyarakat marjinal di perkotaan. Bila masyarakat pengikut Saminisme memiliki kecendrungan perilaku politik yang dimobilisasi dan tidak terlalu rasional sedangkan pada masyarakat miskin perkotaan cenderung masih memiliki rasionalitas atau dapat dikatakan memiliki partisipasi yang bersifat otonom. Hal

ini bisa kita telusuri dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahrul Hidayat 48 .

Huzer Apriansyah

Penelitian tersebut ditemukan bahwa meski mengalami keterbelakangan dari sisi ekonomi dan pendidikan tetapi masyarakat miskin di Surabaya dan Jakarta masih dapat digolongkan dalam kelompok yang mengandalkan rasionalitas dalam menentukan pilihan partai politik dan tergolong pada self motion participation sedangkan masyarakat pengikut Saminisme yang juga mengalami keterbelakangan pendidikan dan ekonomi memiliki perilaku politik yang tergolong pada partisipasi yang dikerahkan (mobilizied participation).

Bila dilihat latar belakang pendidikam dan ekonomi antara masyarakat miskin di Surabaya dan Jakarta relatif memiliki persamaan dengan pengikut Saminisme, yaitu sama-sama memiliki kekurangan ekonomi dan juga berpendidikan rendah tetapi kondisi lingkungan kewilayahan (kota dan desa) ternyata memberi pengaruh. Hal ini tentu disebabkan oleh akses informasi yang lebih luas di daerah perkotaan sedangkan di pedesaan sangat terbatas.

Selanjutnya bila yang digunakan adalah kategorisasi yang dibuat oleh Milbrath dan Goel yang membagi empat tipe perilaku politik berdasar partisipasi politik dapat dikatakan pengikut saminisme di Klopo Duwur dan Ploso Wetan termasuk dalam tipe Spektator karena memenuhi kriteria; paling tidak pernah ikut dalam pemilihan umum.

Huzer Apriansyah