Budaya dan Perilaku Politik Masyarakat P

BUDAYA DAN PERILAKU POLITIK MASYARAKAT PENGIKUT SAMINISME

(Studi Kasus di Dusun Klopo Duwur Desa Klopo Duwur Kecamatan Banjarejo

dan Dusun Ploso Wetan Desa Kediren Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora Jawa Tengah)

SKRIPSI

Oleh :

HUZER APRI ANSYAH NI M : F1D0 01 043 DE PARTE ME N PE NDI DI KAN NASIO NAL UNI VE RSITAS JE NDERAL SOE DI RMAN FAKULTAS IL MU SOSIAL DAN I LMU POL ITI K JURUS AN ILMU POLITI K PURWO KE RTO 2005

Huzer Apriansyah

BUDAYA DAN PERILAKU POLITIK MASYARAKAT PENGIKUT SAMINISME

(Studi Kasus di Dusun Klopo Duwur Desa Klopo Duwur Kecamatan Banjarejo

dan Dusun Ploso Wetan Desa Kediren Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora Jawa Tengah)

SKRIPSI

Oleh :

HUZER APRI ANSYAH NI M : F1D0 01 043

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pada Program Strata Satu Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Jenderal Soedirman

DE PARTE ME N PE NDI DI KAN NASIO NAL UNI VE RSITAS JE NDERAL SOE DI RMAN FAKULTAS IL MU SOSIAL DAN I LMU POL ITI K JURUS AN ILMU POLITI K PURWO KE RTO 2005

Huzer Apriansyah

SKRIPSI BUDAYA DAN PERILAKU POLITIK MASYARAKAT PENGIKUT SAMINISME

(Studi Kasus di Dusun Klopo Duwur Desa Klopo Duwur Kecamatan Banjarejo

dan Dusun Ploso Wetan Desa Kediren Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora Jawa Tengah)

Oleh : HUZER APRIANSYAH NIM : F1D001043

Diterima dan disahkan Pada tanggal :………………..

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Bambang Suswanto, M.Si Drs. M. Soebiantoro, M.Si NIP. 131809063

NIP. 131771423

Mengetahui Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman

Drs. Bambang Kuncoro, M.Si NIP. 131569011

Huzer Apriansyah

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat Nya yang begitu luar biasa hingga penulisan skripsi berjudul Budaya dan Perilaku Politik Masyarakat Pengikut Saminisme (Studi Kasus di Dusun Klopo Duwur Desa Klopo Duwur Kecamatan Banjarejo dan Dusun Ploso Wetan Desa Kediren Kecamatan Randublatung Kaqbuapten Blora Jawa Tengah) dapat diselesaikan dengan baik.

Selanjutnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi- tingginya penulis sampaikan kepada :

1. Drs. Bambang Kuncoro, M.Si selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman yang juga merupakan pembimbing akademik penulis.

2. Drs. H. Bambang Suswanto, M.Si selaku pembimbing pertama dalam penulisan skripsi ini.

3. Drs. M. Soebiantoro, M.Si selaku pembimbing dua dalam penulisan skripsi ini.

4. Drs. Solahuddin Kusumanegara, M.Si selaku outsider dalam skripsi ini.

5. Segenap Staf pengajar di jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman.

6. DR. Heddy Shri Ahimsa-Putra antropolog senior di Jurusan Antropologi UGM, selaku tempat bertanya bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Huzer Apriansyah

7. DR. Amrih Widodo, selaku tempat bertanya penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga kebaikan, ketulusan dan kesabaran bapak-bapak mendapatkan balasan berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat dari Allah SWT. Amin

Akhirnya sebagai sebuah karya ilmiah tentulah hal-hal yang ada dalam karya ini bersifat tentatif semata, dan tentupula kekurangan masih terdapat banyak. Untuk itu saran, kritik dan masukan dari semua pihak sangat kami butuhkan untuk perbaikan karya ini di masa depan sebagai bentuk karya ilmiah yang lebih sempurna.

Purwokerto, 10 November 2005

Penulis

Huzer Apriansyah

RINGKASAN

Penelitian ini berjudul Budaya dan Perilaku Politik Masyarakat Pengikut Saminisme (Studi Kasus di Dusun Klopo Duwur Desa Klopo Duwur Kecamatan Banjarejo dan Dusun Ploso Wetan Desa Kediren Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora Jawa Tengah).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada kecendrungan masyarakat pengikut saminisme semakin terpinggirkan karena adanya faktor penghilangan identitas kesaminan yang dilakukan oleh pihak-pihak pemerintah daerah. Selanjutnya, penelitian ini menemukan bahwa orientasi-orientasi politik berupa, orientasi kognitif, afektif dan evauatif sebagai berikut : Orientasi kognitif pengikut Saminisme menunjukkan bahwa mereka memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap sistem sistem politik dan hal-hal dasar dalam negara tergolong sedang. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan mereka mengenai dasar negara, kewilayahan dan sistem pemilihan umum yang biasanya bersifat sangat umum dan tidak terperinci. Lalu aspek afektif menunjukkan bahwa mereka memiliki perasaan yang cenderung negatif terhadap sistem politik yang ada saat ini dan pada sisi evaluatif pengikut Saminisme cenderung merasa terpisah dari sistem politik. Dari kecendrungan-kecendrungan tersebut, maka dapat dikatakan tipe budaya politik murni pengikut Saminisme adalah tipe subyek dengan tipe varian gabungan termasuk dalam tipe subyek parokial.

Tipe budaya politik subyek adalah tipe dimana orientasi terahdap sistem politik dan output sistem politik relatif baik tetapi pemahaman individu sebagai partisipan aktif dalam sistem politik relatif rendah. Sedangkan tipe subyek parokial adalah tipe yang menekankan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih kompleks dari model kesukuan tetapi nilai-nilai tradisiona; masih relatif kuat mempengaruhi perilaku politik mereka.

Selanjutnya, perilaku politik dilihat dari partisipasi politik menunjukkan bahwa masyarakat Samin cenderung hanya menganggap pemilu sebagai formalitas yang harus diikuti karena faktor eksternal. Berdasar kategorisasi Milbrath dan Goel yang membagi perilaku politik berdasar partisipasi politik menjadi empat tipe; apatis, spektator, transisional dan gladiator, maka paertisipasi pengikut samin tergolong dalam tipe spektator, yaitu sekedar berpartisipasi dalam pemilu tanpa keinginan untuk terlibat lebih jauh dalam usaha mempengaruhi sistem politik. Sedangkan berdasar pendapat Huntington yang dikerahkan, maka bila partisipasi politik masyarakat pengikut Saminisme termasuk dalam tipe partisipasi yang dikerahkan.

Budaya dan perilaku politik pengikut Saminisme sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor: perasaan keterasingan atau rendah diri karena labelisasi yang negatif terhadap mereka, faktor keyakinan terhadap nilai-nilai leluhur dan kondisi sosial ekonomi mereka.

Kata Kunci : Saminisme, Etnografi, Budaya Politik, Perilaku Politik, Subyek Parokial, Partisipasi yang dikerahkan

Huzer Apriansyah

SUMMARY

The tittle of this research is Political Culture and Political Behaviour of Saminism Follower (Case Study in Klopu Duwur Sub Village of Klopo Duwur Village of Banjarejo District and Ploso Wetan Sub Residence of Kediren Village of Randublatung District of Blora Residence of Central Java.

This research found the facts are samin society in research location be marginal (periferal) society cause the local goverment try to erased the cultural identity of Saminism. The facts about political orientations of Samin society on cognitive and afection side show to us are inside in high performance but aren’t follow with an active participation to influenced the political system. From the facts of political orientations of Samin society support the political culture of them inside the subject tipe. And, for the category of political culture based on combination of political culture primary tipe the samin society inside the subject – parokial type.

Subject tipe of political culture is the tipe where the orientations of the people about political system especially about output from the political system inside the good level but the individuals perception about political participation on political system inside in poor performance. Also, the subject – parokial varian type is the type with focus on allegiance to political system and ancient value very influenced factor in this type.

After that, political behaviour of Samin Society looking from political participation on 2004 general election show to us the perception of Samin society about general election participation just formality activities for them. From the facts of that, this research conclude the political behaviour of them is the passive type. If using the political behaviour category by Samuel Huntington, the Samin’s political behaviour inside the mobilizied participation type. Mobilizied participation type is participation in political activities influenced by outside factors, like pressure by political actors or goverment. If we are use the category of political behaviour by Milbrath and Goel, the Samin political behaviour inside the spectator type. Spectator type is the type in political participation where the individuals just follow on general elections without other activities to influenced the political system. For the individuals in this type political participation just formality activities not important thing for them. The influenced factors of political culture and political behaviour of Samin society are : ancient value of Saminism, social and economic condition of them and uncomfort feeling to the political system

Keywords : Saminism, Etnography, Political Culture, Political Behaviour, Subject-Parokial Type, Mobilizied Participation

Huzer Apriansyah

!!

" #$

Huzer Apriansyah

()* ) %!+!,

)/ 01

-2 -2 &

) )< ,

!// %

3 32

%=)) 1

3 >! !

Huzer Apriansyah

DAFTAR ISTILAH ................................................................................... 156 CATATAN .................................................................................................

158 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

161 LAMPIRAN-LAMPIRAN .........................................................................

166

Huzer Apriansyah

21. Tingkat partisipasi dalam pilkada di Dusun Ploso Wetan tahun 2004 . 121

22. Perolehan suara pemilu legislatif di Desa Kediren tahun 2004 ............ 122

23. Perolehan suara pemilu presiden putaran I di Desa Kediren 2004 ....... 123

24. Perolehan suara pemilu presiden putaran I di Dusun Ploso Wetan 2004 ......................................................................

124

25. Tingkat kecendrungan pengetahuan informan mengenai sistem politik .........................................................................................

139

26. Tingkat kecendrungan perasaan informan terhadap sistem politik ....... 139

Huzer Apriansyah

DAFTAR BAGAN DAN MATRIK

No. Bagan atau Matrik Hlm.

42

1. Bagan kerangka pemikiran penelitian .............................................

56

2. Bagan model analisis interaktif .......................................................

3. Matrik pengetahuan informan mengenai dasar negara Kewilayahan dan sistem pemilu .....................................................

134

4. Matrik pemahaman informan untuk mempengaruhi Sistem politik ..................................................................................

136

5. Matrik perasaan informan terhadap sistem politik saat ini ............ 137

6. Matrik pandangan informan terhadap kenaikan BBM .................... 138

7. Matrik alasan informan berpartisipasi dalam pemilu ...................... 147

8. Matrik faktor-faktor yang mempengaruhi informan dalam Menentukan pilihan dalam pemilu ..................................................

147

Huzer Apriansyah

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Budaya politik adalah fenomena dalam masyarakat yang memiliki pengaruh terhadap struktur dan sistem politik (Sastroatmodjo, 1995 : 35). Sedangkan menurut Walter A. Rosenbaum (1975 : 4) ; The Definition of political culture refers to the collective orientation of people toward the basic elements in their political system. Terkait dengan budaya politik sebagai fenomena dalam masyarakat, maka budaya politik tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik yang merupakan proses interaksi politik antara berbagai elemen. Seperti masyarakat dengan pemerintah, sesama masyarakat atau pemerintah dengan kelompok kepentingan dan sebagainya (Sastroatmodjo, 1995 : 2).

Studi mengenai budaya dan perilaku politik ini merupakan studi yang penting bagi upaya mengenali dan memahami karakter politik dari sebuah masyarakat. Pada negara yang tengah berada dalam fase demokratisasi, pemahaman yang menyeluruh terhadap karakter budaya dan perilaku politik masyarakatnya merupakan kemutlakan. Pemahaman yang menyeluruh tersebut terkait dengan pembangunan pondasi sistem politik yang baik. Pada konteks inilah studi budaya dan perilaku politik menemukan urgensinya.

Mochtar Mas’oed dalam catatan editor sebagai pengantar tulisan Gabriel

A. Almond (Mas’oed dan MacAndrews 1987:33) bahkan menuliskan bahwa kebudayaan politik merupakan kunci untuk memahami setiap sistem politik. Tapi,

Huzer Apriansyah

perhatian terhadap kajian budaya politik di Indonesia relatif kecil dan studi yang dilakukan oleh ilmuwan politik Indonesia masih belum optimal (Nazaruddin Syamsudin, 1991 : 6). Mengenai studi perilaku politik telah sangat banyak dilakukan penelitian terutama mengenai partisipasi politik, tapi penelitian yang secara spesifik mengkaji perilaku politik masyarakat marjinal (terpinggirkan) relatif masih kecil. Penelusuran pustaka yang penulis lakukan mencatat publikasi ilmiah mengenai perilaku politik masyarakat marjinal tidak terlalu banyak. Ada sebuah publikasi yang dilakukan J.Hardimin dengan bukunya Demokrasi Indonesia dan Dinamika Politik Arus Bawah (2001), buku ini mengulas perilaku politik masyarakat marjinal di beberapa daerah di sekitar Pantai Utara Jawa (Pantura) serta sebuah publikasi hasil penelitian yang ditulis tim Yayasan Akatiga Tasikmalaya mengenai perilaku politik masyarakat Mikung (2001). Kondisi masih minimnya studi budaya politik dan perilaku politik terutama budaya dan perilaku politik masyarakat marjinal, membuat perlu untuk melakukan kajian dalam bidang tersebut.

Berbicara mengenai budaya dan perilaku politik di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang berada dalam proses transisi demokrasi, tentu akan mengingatkan kita pada tulisan Gabriel Almond dan Sidney Verba dalam terjemahan Sahat Simamora (1990 : 5). Almond dan Verba melukiskan kondisi negara yang berada pada fase transisi demokrasi akan mengalami sebuah kondisi politik dimana akan saling berhadapan nilai-nilai tradisional yang melekat kental dalam elite maupun masyarakat umum dengan nilai-nilai baru yang datang seiring perkembangan pengetahuan dan teknologi. Dalam ranah politik hal ini juga

Huzer Apriansyah

berpengaruh dalam proses pembentukan karakter politik nasional. Budaya dan perilaku politik di Indonesia merupakan hasil persinggungan antara banyak faktor termasuk di dalamnya nilai tradisional-lokal dan juga nilai sosial ekonomi lainnya. Kondisi sistem politik terkini Indonesia juga ikut dipengaruhi oleh hal- hal tersebut.

Melihat kondisi kehidupan politik di Indonesia terutama dalam aspek budaya politik bila merujuk pada studi yang dilakukan Almond dan Verba, digambarkan bahwa terjadi interaksi antara nilai-nilai dan institusi tradisional dengan nilai-nilai demokrasi baru. Institusi tradisional dalam skala yang sangat kecil terutama di beberapa daerah Jawa (Yogyakarta dan Surakarta) masih ikut memberi kontribusi dalam kancah politik lokal dan ikut menentukan karakter budaya politik setempat. Meskipun institusi lokal relatif kecil, namun nilai-nilai tradisional yang muncul di Indonesia pada era kerajaan-kerajaan ikut memberi warna hingga saat ini. Feodalisme merupakan salah satu warisan nilai yang muncul sampai saat ini, pada titik tertentu nilai tradisional ini sangat mempengaruhi budaya politik di Indonesia. Maka, dalam konteks kajian budaya politik di Indonesia terdapat keunikan-keunikan yang menambah daya tarik kajian.

Pada tingkat politik kenegaraan, kehadiran nilai-nilai tradisional dalam segala bentuk-bentuk telah menjadi penghambat bagi demokratisasi. Almond dan Verba menuliskan bahwa paling tidak ada dua faktor yang menghambat demokratisasi di negara-negara transisi demokrasi, satu diantaranya adalah masih dominannya nilai-nilai tradisional yang anti demokrasi dalam sebuah masyarakat

Huzer Apriansyah

(Almond dan Verba, 1990 : 7). Selanjutnya bila kita memperhatikan uraian Almond dan Verba mengenai budaya politik di Inggris, maka kita akan menjumpai bahwa budaya politik Inggris saat ini tak dapat dilepaskan dari proses sejarah perjalanan bangsa tersebut. Maka, bila kita kontekskan dengan kondisi Indonesia yang masing-masing masyarakatnya memiliki akar sejarah lokal yang berbeda-beda, tentu saja akan memunculkan budaya politik yang beraneka ragam. Katakanlah seperti yang diuraikan J.Mardimin ( 2001 : 6-36) antara masyarakat pesisir (pantai utara Jawa) dan masyarakat daerah pegunungan cenderung memiliki perbedaan karakter politik. Di Pesisir masyarakatnya cenderung memiliki iklim politik yang lebih egaliter daripada masyarakat di sekitar pegunungan. Hal ini juga terkait dengan faktor kesejarahan, dimana daerah yang pada masa lalu merupakan daerah sekitar pusat kerajaan dan daerah manca (jauh dari pusat kerajaan) juga memiliki perbedaan budaya politik.

Perilaku politik masyarakat Indonesia telah mengalami perkembangan seiring perjalanan sejarah bangsa. Di era penjajahan, perilaku politik bisa dikatakan dibatasi oleh kekuatan pemerintah yang menggunakan kekerasan, ruang untuk melakukan aktivitas politik sama sekali tertutup, karena kondisi yang ada adalah strong state (negara kuat) dan masyarakat lemah. Barulah pada periode politik etis tingkat partisipasi politik mulai tumbuh, meski masih sangat terbatas pada kelompok yang telah memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Selanjutnya perilaku politik rakyat Indonesia menemui titik kebangkitan ketika diselenggarakan pemilihan umum multi partai tahun 1955 di bawah orde lama.

Huzer Apriansyah

Perjalanan selanjutnya kembali membawa rakyat Indonesia pada kondisi perilaku politik pasif akibat kuatnya negara, kondisi ini terjadi ketika rezim orde lama mulai menampakkan wajah otoriternya dengan mengangkat Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Pada masa orde barupun terjadi pembatasan aktivitas politik. Rakyat dikendalikan secara penuh oleh negara. Instrumen ideologis (pancasila) dan instrumen bersenjata (militer) dijadikan pengendali aktivitas politik warga negara. Barulah ketika terjadi gerakan politik yang dimotori oleh rakyat (kelas menengah) dan mahasiswa pada tahun 1998 terjadi perubahan dalam perilaku politik warga negara.

Secara umum politik nasional telah mengalami pasang surut seiring perjalanan sejarah politik Indonesia yang telah pula memberi pengaruh bagi konstruksi budaya politik dan perilaku politik warga negara. Tetapi gejala-gejala umum tersebut merupakan gejala umum yang terpantau pada permukaan saja. Karena masih banyak aktivitas politik yang dilakukan oleh komunitas tertentu yang biasanya termarjinalkan (terpinggirkan) tidak terekam oleh intelektual Indonesia. Hingga seolah budaya politik yang terbentuk dalam masyarakat tersebut terlepas dari budaya politik Indonesia secara umum. Bagitu pula dengan perilaku politik mereka yang luput dari rekaman sejarah politik Indonesia.

Berbicara mengenai komunitas dalam masyarakat Indonesia yang memiliki kekhasan budaya dan perilaku, maka kita akan segera ingat dengan beberapa masyarakat adat. Masyarakat adat Kampung Naga di Tasikmalaya, masyarakat Baduy di beberapa daerah di Banten, masyarakat Dayak di Pedalaman Kalimantan, masyarakat Anak Dalam (Suku Kubu) di pedalaman Jambi dan

Huzer Apriansyah

Sumatera Selatan, masyarakat Tengger di Jawa Timur dan yang juga terkenal adalah masyarakat Samin yang tersebar di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Komunitas adat tersebut di atas memiliki kekhasan dalam berbagai hal. Koentjaraningrat (1981 : 155) menuliskan bahwa dalam batas wilayah sebuah negara nasional seperti Indonesia, antara kelompok-kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan atau kekhasan. Perbedaan dan kekhasan tersebut biasanya disebabkan karena adat istiadat, bahasa serta karena keyakinan religi. Secara teoritis dikenal pula istilah golongan sosial yang muncul karena tiga faktor, sistem norma, rasa identitas sosial dan keberlanjutan sosial (Koentjaraningrat 1981 : 167). Golongan-golongan sosial inilah yang kemudian memberikan pengaruh pada budaya lokal. Koentjaraningrat juga menyebutkan bahwa penggolongan sosial juga dapat terjadi karena persepsi negatif terhadap sebuah kelompok tertentu, dalam konteks ini ia mencontohkan golongan Negro atau blacks di Amerika Serikat. Sebagaimana kita ketahui kelompok di luar Negro memang mempersepsikan masyarakat yang memiliki ras negroid ini sebagai individu yang keras, anarkhis dan tidak taat aturan. Dari persepsi itulah terbentuk penggolongan sosial kepada mereka.

Di Indonesia proses marjinalisasi masyarakat tertentu telah berlangsung sejak masa penjajahan hingga masa pemerintahan orde baru. Anna Lowenhaupt Tsing menguraikan bahwa antara negara sebagai pemegang kekuasaan mulai dari masa kolonial hingga orde baru dengan masyarakat lokal yang marjinal terdapat kesenjangan yang luar biasa. Masyarakat marjinal mendapat persepsi negatif

Huzer Apriansyah

karena perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Terutama pemikiran yang berbeda dari arus utama pemikiran negara. Negara dalam persepsi kebudayaan nasional sering kali mempersepsikan orang-orang marjinal sebagai sisa-sisa dari masyarakat primitif yang memiliki kecendrungan tidak beradab. Maka, pemerintah harus mengintervensi proses sosial politik masyarakat tersebut. (anna Van Lowenhaupt 1998 : 3 – 48).

Marjinalisasi (peminggiran) terhadap kelompok masyarakat tertentu juga terjadi karena faktor sejarah perlawanan politik masyarakat tertentu. Hal ini terjadi dalam masyarakat Samin yang berkembang di Blora, Pati, Bojenegoro dan Rembang. Samin Surosentiko pengembang ajaran Samin merupakan tokoh lokal yang mengembangkan perlawanan tanpa kekerasan dengan memunculkan karakter nggendeng (Sastroatmodjo, 2003 : 10 –13). Masih menurut Sastroatmodjo (2003 : 11) ada tiga unsur dalam masyarakat Samin ; (1) Gerakan Samin serupa dengan organisasi proletariat kuno yang menentang

sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung. (2) Gerakan samin memiliki sifat yang utopis, tanpa perlawanan fisik yang mencolok. (3) Gerakan Samin melakukan tantangan terhadap pemerintah yang diperlihatkan dengan prinsip diam, tidak bersedia membayar pajak, dan tidak bersedia menyumbangkan tenaga pada pemerintah.

Realitas sejarah gerakan perlawanan masyarakat Samin inilah pula yang membuat mereka terkena stigma negatif sebagai masyarakat pembangkang. Hingga pemerintah orde baru melalui pemerintah daerah berupaya memisahkan masyarakat Samin yang masih tersisa terpisah dengan latar sejarah mereka. Pemerintah Kabupaten Blora pada tahun 1991 dengan resmi mengatakan bahwa orang Samin atau masyarakat Samin saat ini sudah tidak ada (Berita Nasional 11

Huzer Apriansyah

November 1991 dalam Basis Nomor 9-10 tahun 2000). Di tengah berbagai upaya yang dilakukan pemerintah orde baru untuk memarjinalisasi masyarakat Samin, namun Samin tetap ada dan memunculkan identitasnya dalam berbagai bentuk, seperti ekonomi, politik dan yang paling menonjol adalah melalui seni lokal.

Masyarakat Samin merupakan masyarakat yang memiliki latar belakang sosial-politik-budaya yang sangat khas. Kekhasan itu juga muncul dalam bentuk sejarah gerakan perlawanan yang mereka lakukan. Maka seiring perjalanan sejarah Indonesia yang bergerak ke arah kondisi modern termasuk di dalamnya modernisasi politik muncullah beragam pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat Samin mempertahankan eksistensi komunitas mereka. Terutama terkait dengan identitas politik perlawanan mereka, lalu bagaimana mereka bersikap terhadap berbagai rezim politik yang pernah berkuasa di Indonesia. Serta sejauh mana perubahan struktur politik dan pola perilaku politik mereka dari waktu ke waktu. Sketsa di atas dan pertanyaan-pertanyaan di atas telah menarik perhatian penulis untuk mencoba melakukan kajian mendalam mengenai budaya dan perilaku politik masyarakat Samin.

Proses pra penelitian yang dilakukan penyusun dengan penelusuran pustaka, dan mencoba melakukan kajian mengenai kemungkinan-kemungkinan metodologis yang tepat maka penelitian ini sangat mungkin dilakukan dan beragam variasi metodologis juga dapat digunakan dalam penelitian yang mengarah pada etnografi seperti penelitian ini.

1.2. Perumusan Masalah

Huzer Apriansyah

Kompleksitas faktor yang membentuk budaya politik dan perilaku politik tidak hanya terjadi dalam masyarakat modern yang telah memiliki pranata sosial politik yang lengkap, tetapi juga terjadi pada masyarakat tradisional. (Ramlan Surbakti, 1992 : 131-132). Proses interaksi antar faktor-faktor tersebutlah yang perlu dikaji. Kajian antar faktor tersebut tentu akan dapat memberikan gambaran mengenai pola budaya politik dan perilaku politik dalam sebuah masyarakat.

Pola budaya politik dan juga proses perilaku politik masyarakat tradisional juga merupakan faktor yang penting dalam pelembagaan demokrasi, khususnya di negara berkembang (Dahl, 2001 : 109). Terkait dengan hal tersebut penting untuk mendapatkan deskripsi empirik mengenai budaya dan perilaku politik masyarakat yang ada di Indonesia. Karena Indonesia adalah negara berkembang yang tengah melakukan penguatan demokrasi.

Dalam rangka memberikan gambaran yang menyeluruh dan utuh mengenai budaya dan perilaku politik masyarakat samin, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut yang akan dijawab dalam penelitian ini.

1. Bagaimanakah tipe budaya politik dan perilaku politik yang terjadi dalam masyarakat Samin ?

2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi budaya dan perilaku politik masyarakat Samin ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan tipe budaya politik dan perilaku politik yang terjadi dalam masyarakat Samin.

Huzer Apriansyah

2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi budaya dan perilaku politik masyarakat Samin.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan akan dapat menambah khasanah pengetahuan dalam kajian budaya politik dan perilaku politik di Indonesia. Khususnya dalam kajian budaya dan perilaku politik masyarakat tradisional.

2. Manfaat empiris

a. Diharapkan hasil penelitian dapat memberikan gambaran secara deskriptif mengenai budaya politik dan perilaku politik masyarakat Samin.

b. Dari hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan referensi bagi stake holders dalam menyusun kebijakan publik yang berhubungan dengan peningkatan partisipasi politik masyarakat Samin.

Huzer Apriansyah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budaya Politik

Tinjauan teoritis mengenai budaya politik dan beragam aspek yang membentuk budaya politik mutlak dilakukan dalam penelitian ini, dalam rangka menyusun pondasi teoritis dalam penelitian. Lalu dalam tinjauan teoritis mengenai budaya politik yang digunakan adalah pendekatan budaya politik yang ditawarkan oleh Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. Mengapa pendakatan Almond dan Verba yang dipilih dalam penelitian ini ? Ada beberapa alasan, antara lain ;

1. Pendekatan kebudayaan politik yang diajukan Almond dan Verba memiliki tingkat kelengkapan unsur yang tinggi bila dibandingkan dengan pendekatan lainnya, seperti yang diajukan Bernard Susser dalam tulisannya The Behavioral Ideology: A Review and a Retrospect (dalam Bernard Susser 1992 : 76-100)

2. Almond dan Verba telah menyusun uraian mengenai bagaimana interaksi antara institusi tradisional serta nilai tradisional dengan nilai- nilai baru yang dibawa oleh ilmu pengetahuan. Maka pendekatan ini sesuai bila ingin diterapkan dalam penelitian budaya politik masyarakat tradisional Indonesia.

3. Pendekatan yang dilakukan Almond dan Verba bersifat aplikatif dalam penelitian, karena pendekatan budaya politik yang mereka kemukakan telah diterapkan dalam penelitian ilmiah yang akurat di lima negara.

Huzer Apriansyah

4. Di luar hal-hal di atas sebenarnya ada sebuah faktor yang sangat menentukan mengapa penulis menggunakan pendekatan budaya politik dari Almond dan Verba, yaitu dikarenakan referensi mengenai budaya politik yang paling mudah ditemukan adalah referensi yang ditulis oleh Almond dan Verba dibanding dengan referensi yang ditulis lainnya.

Kebudayaan politik bukan merupakan sebuah kebudayaan modern secara mutlak, kebudayaan politik merupakan kombinasi antara kebudayaan modern dengan tradisi (Almond dan Verba, 1990 : 6). Maka konsekuensi dari teori tersebut adalah kajian budaya politik tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya yang mentradisi dan melekat pada kelompok masyarakat tertentu.

Almond dan Verba mendefiniskan budaya politik suatu bangsa merupakan distribusi pola orientasi khusus menuju tujuan politik di antara masyarakat bangsa tersebut (1990 : 16). Selanjutnya Almond merumuskan pola orientasi politik, rumusan ini didasarkan pada rumusan yang diajukan Talcott Parsons dan Edward

A. Shils. Berikut tiga orientasi politik tersebut;

1. Orientasi kognitif, pengetahuan tentang sistem politik dan kepercayaan pada sistem politik, peranan dan segala kewajibannya, serta input dan outputnya.

2. Orientasi afektif, perasaan terhadap sistem politik, peranannya dan penampilannya.

3. Orientasi evaluatif, keputusan dan pendapat tentang obyek–obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.

Huzer Apriansyah

Orientasi-orientasi individual dalam masyarakat terhadap negara, dapat dijadikan arah penentuan tipe kebudayaan politik suatu masyarakat. Untuk menentukan orientasi tersebut ada beberapa hal yang harus diperhatikan secara sistematis (1990 : 19 – 20). Pertama, pengetahuan individu terhadap sistem politik, baik mengenai pengertian sistem politik yang dianut di negaranya, sejarah, sifat-sifat konstitusi dan pengetahuan umum lainnya yang menyangkut sistem politik di negara bersangkutan.

Kedua, pemahaman individu mengenai input sistem politik, seperti pengetahuan mengenai struktur dan peranan elit politik serta mekanisme pengajuan-pengajuan tuntutan politik atau pengajuan kebijaksanaan politik. Kemudian perasaan-perasaan individu mengenai struktur elite beserta proposal kebijaksanaan yang mereka ajukan ke sistem politik.

Ketiga, pemahaman individu mengenai output sistem politik, seperti pemahaman mengenai kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan oleh sistem politik. Juga mengenai mekanisme pemunculan kebijakan-kebijakan tersebut serta mengenai perasaan mereka terhadap dampak yang dirasakan dari kebijakan- kebijakan yang dikeluarkan sistem politik.

Keempat, partisipasi politik individu. Menyangkut argumentasi individu mengenai perasaannya sebagai bagian dari sistem politik. Lalu pengetahuan mereka terhadap hak-hak, kewajiban serta strategi-strategi individu untuk melakukan tekanan atau mempengaruhi sistem politik.

Empat unsur pengetahuan dan pemahaman di atas oleh Almond dan Verba digunakan untuk merumuskan tipe budaya politik menjadi tiga tipe. Tipe parokial

Huzer Apriansyah

adalah tipe dengan kondisi masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang rendah mengenai empat unsur di atas serta pula perasaan yang negatif terhadap sistem politik. Tipe subyek merupakan masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang relatif baik untuk unsur pengetahuan umum mengenai sistem politik dan output politik tetapi rendah dalam pengetahuan mengenai input sistem politik serta partisipasi politik yang pasif. Tipe ketiga adalah tipe partisipan, yaitu masyarakat dengan pengetahuan dan pemahaman yang tinggi mengenai semua unsur di atas dan memiliki tingkat partisipasi politik yang aktif. (1990 : 19-20).

Penjelasan secara rinci mengenai ketiga tipe budaya politik di atas adalah sebagai berikut (1990 : 20-22)

a. Kebudayaan politik parokial Kebudayan politik parokial muncul jika frekuensi orientasi terhadap empat unsur obyek politik di atas mendekati nol. Kondisi ini biasanya terjadi dalam komunitas lokal yang otonom seperti yang ada di suku-suku pedalaman Afrika.

Tidak terdapat peran-peran politik khusus dari individu dalam komunitas, pembagian peran biasanya didasarkan pada faktor politis-ekonomis dan keagamaan. Kemudian orientasi politik tidak terlepas dari orientasi relegius dan sosial yang mereka anut.

Orientasi parokial juga mengindikasikan minimnya harapan-harapan akan perubahan yang diinisiasikan oleh sistem politik. Masyarakat dengan tipe budaya politik parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik yang ada.

Huzer Apriansyah

b. Kebudayaan politik subyek Tipe kebudayaan politik subyek memiliki frekuensi orientasi yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem tersebut. Meski demikian frekuensi orientasi terhadap aspek input sistem politik serta pemahaman terhadap individu sebagai partisipan aktif dalam sistem politik relatif kecil atau mendekati nol.

Masyarakat dengan budaya politik subyek menyadari akan otoritas pemerintah, mereka secara efektif diarahkan pada otoritas tersebut. Orientasi subyek dalam sistem politik yang telah mengembangkan pranata-pranata demokrasi lebih bersifat afektir dan normatif daripada kognitif.

c. Tipe kebudayaan politik partisipan Budaya partisipan adalah sebuah bentuk budaya dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif. Masyarakat dengan tipe budaya politik partisipan memiliki ragam aktivitas politik dalam sistem politik. Mereka cenderung menjadi aktivis masyarakat, sekalipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap sistem politik bisa dalam bentuk menerima atau menolaknya.

Almond dan Verba mengingatkan bahwa klasifikasi budaya politik berdasarkan orientasi di atas merupakan awal dari klasifikasi budaya politik, karena tidak ada budaya politik tersebut di atas yang berlaku secara murni. Setiap klasifikasi memiliki sub kelasnya (1990 : 23-24). Kebudayaan politik murni, parokial, subyek dan partisipan memiliki kesejajaran atau kesebangunan dengan

Huzer Apriansyah

struktur politik. Budaya parokial sebangun dengan struktur politik tradisional, budaya subyek sebangun dengan struktur otoritarian yang sentralistis, dan budaya partisipan sebangun dengan struktur politik demokratis.

Hubungan kesamaan dan ketidaksamaan antara budaya politik dan struktur politik dirumuskan Almond dan Verba dalam tiga karakter politik, seperti tergambar dalam tabel berikut ini; Tabel 1. Hubungan kesamaan dan ketidaksamaan antara budaya politik dan

struktur politik

(kesetiaan) (apatis)

(pengasingan)

Orientasi kognitif + + + Orientasi afektif

0 - Orientasi evaluatif +

0 - Sumber : Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, 1990 hlm.25

Keterangan : + : Frekuensi kesadaran yang tinggi, atau perasaan positif ataupun evaluasi

terhadap obyek politik. - : Frekuensi evaluasi dan perasaan negatif yang tinggi

0: Frekuensi keacuhan tinggi Karakter kesetiaan akan terwujud bila frekuensi orientasi positif (+),

selanjutnya apatis muncul tatkala positifnya orientasi kognitif tidak diikuti dengan orientasi afektif dan evaluatif atau dengan kata lain masyarakat memiliki pengetahuan mengenai sistem dan struktur politik tetapi orientasi afektif dan evaluatif sangat rendah atau mendekati nol. Pengasingan akan dilakukan masyarakat jika mereka memiliki pengetahuan mengenai struktur politik tetapi orientasi afektif dan evaluatif menunjukkan negatif (-). Sikap alienasi ini cenderung menolak institusi-institusi pemerintah dan struktur politik.

Huzer Apriansyah

Menurut Almond dan Verba (1990 : 26-27) kebudayaan politik parokial, subyek dan partisipan tidak hadir dalam bentuk yang sederhana atau murni, tetapi merupakan sebuah bentuk kompleks. Terjadi interaksi antara ketiga budaya politik tersebut. Maka ada tiga bentuk budaya politik baru yang merupakan campuran antar tipe budaya politik murni, yaitu: Kebudayaan subyek parokial, kebudayaan subyek-partisipan dan kebudayaan parokial-partisipan. Berikut penjelasan yang diberikan Almond dan Verba mengenai tiga tipe kebudayaan politik campuran tersebut. (1990 : 27-32).

a. Kebudayaan subyek-parokial Kebudayaan subyek parokial merupakan suatu tipe kebudayaan politik dimana sebagian besar masyarakat menolak tuntutan eksklusif masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus. Kondisi ini biasanya runtutan sejarah peralihan dari model kerajaan menuju pemerintahan yang tersentralisasi.

b. Kebudayaan subyek-partisipan Cara bagaimana proses peralihan dari kebudayaan parokial menuju kebudayaan subyek dilakukan pasti akan mempengaruhi cara bagaimana proses peralihan dari budaya subyek menuju budaya partisipan berlangsung. Dalam proses peralihan dari budaya subyek menuju partisipan, pusat-pusat kekuasaan parokial dan jika mereka memang ada akan mendukung pembangunan infrastruktur demokratis. Dalam budaya subyek-partisipan yang bersifat campuran itu sebagian besar penduduk telah meperoleh orientasi-orientasi input yang

Huzer Apriansyah

bersifat khusus dan serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis. Sementara sisa penduduk lainnya terus diorientasikan ke arah struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif.

Ketidakstabilan struktural yang sering menyertai kultur subyek partisipan, tumpulnya infrastruktur demokratis dan sistem pemerintahan cenderung menghasilkan tendensi alienatif di antara sebagian penduduk yang berorientasi demokratik. Kebuntuan budaya politik yang bisa terjadi dalam budaya subyek partisipan ini akan cenderung melahirkan sindrom dengan unsur-unsur aspirasi kaum idealis dan keterasingan dari sistem politik, termasuk infrastruktur politik.

Budaya subyek partisipan yang bersifat campuran tersebut, jika berlangsung dalam waktu lama, juga dapat mengubah karakter sub budaya subyek. Selama perselang-selingan demokrasi itu berlangsung, maka kelompok otoritarian yang cenderung masih harus bersaing dengan kelompok demokrat dalam kerja demokrasi formal.

c. Kebudayaan parokial partisipan Dalam tipe kebudayaan parokial partisipan merupakan kecendrungan kebudayaan politik yang terjadi di negara berkembang. Karena hampir semua negara berkembang memiliki unsur budaya parokial yang kuat. Namun persentuhan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan politik dunia membuat mereka mengorientasikan budaya politik pada budaya partisipan. Maka kondisi sistem politik dalam kebudayaan parokial partisipan ini dianalogikan oleh Almond dan Verba seperti pemain sirkus yang berakrobat di atas seutas tali.

Huzer Apriansyah

Kadang kala condong ke pemerintahan demokratis tapi kadang kala condong pada pemerintahan yang otoriter.

Mengenai kebudayaan politik dan kontekstualitas fungsi analisanya Almond dan Verba (1990 : 38) menyatakan bahwa “Hubungan antara sikap-sikap dan motivasi individu yang mempunyai ciri-ciri

tersendiri yang membentuk sistem-sistem politik dan karakter politik serta penampilan sistem politik dapat dilacak secara sistematis melalui konsep budaya politik. Dengan kata lain budaya politik adalah rantai penghubung antara makro dan mikro politik”

Terkait dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, pendekatan budaya politik Almond dan Verba akan digunakan sebagai acuan dalam memahami orientasi politik individu-individu yang secara historis dan kultural memiliki ikatan dengan komunitas Samin yang dikembangkan oleh Samin Surosentiko. Dalam konteks peran kebudayaan politik sebagai rantai penghubung antara mikro dan makro politik, tentu sangat tepat pijakan teori budaya politik ini digunakan dalam penelitian ini, karena pada titik mikro penelitian ini mencoba memahami perilaku politik dan partisipasi politik masyarakat Samin. Hingga diharapkan akan didapatkan sebuah deskripsi analitis mengenai pola-pola kebudayaan politik yang masyarakat Samin masa kini terkait dengan faktor kesejarahan yang mereka miliki serta faktor kebudayaan lokal yang ada.

Pendekatan budaya politik yang disampaikan Almond dan verba memang cenderung berbicara dalam lingkup negara, artinya budaya politik secara luas pada sebuah negara. Tetapi pada bagian pengantar (1990 : 1-5) disebutkan bahwa pendekatan budaya politik dapat digunakan untuk mengkaji kebudayaan politik dalam lingkup komunitas tertentu. Hingga secara teoritis pendekatan budaya

Huzer Apriansyah

politik Almond dan Verba ini bisa digunakan untuk melihat budaya politik masyarakat Samin. Meskipun pendekatan budaya politik Almond dan Verba ini dijadikan pondasi teoritis dari penelitian yang akan calon peneliti lakukan tetapi penelitian ini juga akan tetap memperhatikan faktor etnografi. Karena seperti dikemukan oleh Spradley bahwa kondisi khusus dalam sebuah komunitas masyarakat tidak hanya bisa dilihat dari permukaan saja tetapi harus memperhatikan kedalaman dan etnografi memberikan jalan kearah hal tersebut

Perilaku dan Partisipasi Politik

2.2.1. Perilaku Politik Pendapat Ramlan Surbakti (1992 : 131) mengenai perilaku politik menyebutkan bahwa “Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan

proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Yang melakukan kegiatan adalah pemerintah dan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu fungsi-fungsi pemerintahan yang dipegang pemerintah dan fungsi politik yang dipegang masyarakat.”

dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perilaku politik memiliki arti yang sangat luas. “Keluasan arti perilaku politik bukan saja karena perilaku politik itu

merupakan perilaku masyarakat termasuk anggotanya yang duduk dalam pemerintahan, melainkan juga karena perilaku politik ini menyangkut bidang lainnya, seperti nilai-nilai, norma-norma dan etika.” (1995 : 225).

Sejalan dengan pengertian politik yang terkait dengan input dan output sistem politik (Budiarjo, Miriam, 1985 : 8) maka perilaku politik

Huzer Apriansyah

berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat ke arah pencapaian tujuan tersebut. Politik senantiasa berkenaan dengan public goal (tujuan bersama) bukan tujuan orang perorang. (Sastroatmodjo, 1995 : 3).

Perilaku politik berkaitan dengan sikap politik. Antara sikap dan perilaku politik terdapat perbedaan. Menurut Mar’at sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap obyek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek tersebut. (Dalam Sastroatmodjo, 1995 : 4). Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas melainkan baru bersifat kecendrungan atau pre-disposisi. Sikap politik memiliki tiga komponen yaitu kognisi, afeksi dan konasi. Beranjak dari pemahaman tersebut di atas Sastroatmodjo mendefiniskan sikap politik sebagai kesiapan untuk beraksi terhadap obyek tertentu yang bersifat politik, sebagai hasil penghayatan terhadap obyek tersebut. Dengan memahami sikap politik tentu dapat digunakan sebagai perkiraan terhadap perilaku politik yang sekiranya akan terjadi. (1995 : 4-5).

Kajian mengenai perilaku politik pada akhirnya akan memunculkan pertanyaan seputar subjek politik sebagai unit analisis, apakah perilaku politik merupakan tindakan yang dilakukan lembaga

Huzer Apriansyah

atau individu. Maka terjadilah perdebatan antara penganut paham kelembagaan dan penganut paham behavioral .

Paham kelembagaan merupakan paham yang menempatkan peran lembaga-lembaga politik lebih penting daripada individu- individu aktor politik. (Sastroatmodjo, 1995 : 28) Sedangkan paham tingkah laku menurut David Apter lebih memfokuskan perhatian pada hubungan antara pengetahuan politik dan tindakan politik , bagaimana percakapan politik diperoleh dan bagaimana cara orang menyadari perisitiwa-peristiwa politik (dalam Sastroatmodjo, 1995 : 31).

Gambaran teoritis di ataslah yang kemudian memantapkan penyusun untuk menggunakan pendekatan tingkah laku dalam mengkaji orientasi politik masyarakat Samin. Penelitian ini diarahkan untuk melihat sejauh mana aktivitas politik masyarakat Samin saat ini terkait dengan konteks budaya dan sejarah yang melatarbelakangi kehidupan mereka. Maka, pendekatan tingkah laku yang lebih mengarahkan kajian dengan pendekatan kualitatif yang berarti lebih mengutamakan deskripsi yang holistik (utuh) akan sangat relevan digunakan.

Ruang Lingkup Perilaku Politik Sesuai dengan pendapat Ramlan Surbakti di permulaan

pembahasan mengenai perilaku politik ini, bahwa perilaku politik terbagi dalam dua, yaitu tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh pelaksana pemerintahan dan tindakan politik yang dipegang oleh

Huzer Apriansyah

masyarakat. Maka implikasi dari ini adalah mengenai ruang lingkup kajian ilmu politik. Sastroatmodjo (1995 : 10) menyatakan bahwa “Subyek perilaku politik dapat berupa pemerintah yang melakukan

tindakan-tindakan pembuatan keputusan politik dan pelaksanaan keputusan politik. Sedangkan subyek lainnya adalah masyarakat yang melakukan tindakan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan politik oleh pemerintah dan tindakan melaksanakan kebijakan politik atau menolaknya.”

Menurut Ramlan Surbakti (1992 : 132) perilaku politik dapat dipilih tiga kemungkinan unit analisis, yaitu individu aktor politik, agregasi politik dan tipologi kepribadian politik. Dalam kategori individu aktor politik meliputi aktor politik (pemimpin), aktivis politik, dan individu warga negara biasa. Agregasi politik yaitu individu aktor politik secara kolektif, seperti kelompok kepentingan, birokrasi, partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan dan bangsa. Sedangkan yang dapat dipelajari dalam tipologi kepribadian politik ialah tipe-tipe kepribadian pemimpin otoriter, machiavelist dan demokrat.

Terkait dengan kelembagaan politik terdapat dua macam kelembagaan politik, pertama adalah lembaga politik pemerintahan (suprastruktur politik) dan lembaga politik kemasyarakatan (infrastruktur politik) (Sastroatmodjo, 1995:11). Maka dalam kaitan tersebut ruang lingkup politik juga mencakup dua lembaga politik tersebut.

Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik Untuk memahami perilaku politik diperlukan tinjauan yang

multidimensi. Maka, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik

Huzer Apriansyah