RESOLUSI KONFLIK BERBASIS COMMUNITY GOVERNANCE

5. RESOLUSI KONFLIK BERBASIS COMMUNITY GOVERNANCE

Resolusi konflik pada hakikatnya merupakan output/hasil yang diperoleh dari proses manajemen konflik (Wirawan, 2010: 130). Pada dasarnya, terdapat beberapa metode resolusi konflik yang dapat digunakan dalam menyelesaikan suatu konflik, yaitu win-lose approach, lose-lose strategy dan win-win approach. Berikut merupakan penjelasan lebih rinci mengenai metode resolusi konflik menurut Fisher (2004: 4-5), yaitu:

a. The win-lose approach. Win-lose approach merupakan salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam menyelesaikan sebuah konflik. Di dalam pendekatan ini, pihak-pihak yang berkonflik saling berkompetisi untuk dapat menjadi pemenang. Pihak yang memiliki sumber daya dan kekuasaan dapat dipastikan menang sedangkan pihak lain yang lemah dan memiliki sumber daya yang terbatas serta tidak memiliki kekuasaan dipaksa untuk kalah. Strategi yang digunakan dalam pendekatan ini adalah dengan memaksa pihak lain untuk menyerah. Pihak-pihak yang berkonflik dapat menggunakan strategi yang resmi seperti pengambilan suara terbanyak atau putusan pengadilan, serta dapat menggunakan strategi lain seperti ancaman,

commit to user

konflik secara keseluruhan karena pihak yang kalah akan berusaha untuk menggugat dan memenangkan konflik (Fisher, 2004: 4-5).

b. The lose-lose strategy. Lose-lose strategy dapat dicapai ketika pihak- pihak yang berkonflik menganggap bahwa ketidaksepakatan diantara mereka tidak dapat terelakkan sehingga mereka membagi rata berbagai perbedaan dan kesulitan yang ada diantara mereka. Pendekatan ini digunakan ketika pihak-pihak yang berkonflik menggunakan gaya manajemen kompromi yang sederhana. Hasil dari pendekatan ini adalah masing-masing pihak yang berkonflik mendapatkan sebagian dari apa yang diinginkan dan mereka mendapatkan kepuasan parsial (Fisher, 2004: 5).

c. The win-win approach. Win-win approach merupakan upaya sistematis untuk memaksimalkan tujuan dari kedua belah pihak melalui pemecahan masalah kolaboratif. Konflik dipandang sebagai masalah yang harus diselesaikan bukanlah perang yang harus dimenangkan. Perbedaan yang mendasar adalah kedua belah pihak harus menghadapi masalah, bukan salah satu pihak melawan pihak yang lain. Metode ini fokus pada kebutuhan dan kendala dari kedua belah pihak dan bukan merupakan strategi menekankan yang dirancang untuk menaklukkan. Definisi masalah secara keseluruhan, analisis dan pengembangan alternatif dilakukan sebelum keputusan konsensus mengenai solusi yang disepakati bersama. Kedua belah

commit to user

yang hanya bisa dicapai ketika kedua belah pihak saling bekerjasama. Ada penekanan pada kualitas hubungan kerja jangka panjang antara kedua belah pihak jika dibandingkan dengan akomodasi. Komunikasi yang dilakukan adalah secara terbuka dan langsung serta ancaman dan pemaksaan adalah metode yang dilarang untuk digunakan. Asumsi dibuat ketika ada integrasi perjanjian dari berbagai sumber daya yang ada didalam hubungan kerjasama ini. Sikap dan perilaku diarahkan pada peningkatan kepercayaan dan penerimaan bukan eskalasi kecurigaan ataupun permusuhan. Win-win approach membutuhkan tingkat kesabaran dan keterampilan yang sangat tinggi di dalam suatu kerjasama dan pemecahan suatu masalah (Fisher, 2004: 5).

Dari beberapa pendekatan resolusi konflik di atas, maka pendekatan yang dianggap paling menguntungkan pihak-pihak yang berkonflik adalah win-win approach . Untuk itulah digunakan resolusi konflik dengan pendekatan community governance dalam penyelesaian konflik di kawasan Pasar Klewer untuk menghasilkan win-win solutions. Resolusi konflik berbasis community governance adalah proses penyelesaian suatu konflik yang menggunakan pendekatan community governance untuk menciptakan win-win solutions . Merujuk pada pendapat dari Sudarmo, community governance sendiri mendasarkan pada penyebaran informasi swasta/ informal yang sering tidak dijumpai pada states dan organisasi-organisasi formal lainnya dalam menerapkan rewards dan punishment kepada para

commit to user

pendekatan community governance, komunitas dianggap lebih efektif dan mampu memonitor perilaku para anggotanya untuk membuat mereka accountable terhadap tindakan-tindakannya. Berkebalikan dengan state dan market, komunitas dianggap lebih efektif dalam mempercepat dan memanfatkan insentif yang secara tradisional telah diatur oleh orang-orang untuk meregulasi aktivitas bersama: trust, solidaritas, timbal balik, reputasi, kebanggaan pribadi, menghormati, balas dendam dan retribusi satu sama lain (2008: 106).

Untuk dapat melihat penerapan resolusi konflik yang dapat menghasilkan win-win solutions, maka kita dapat mengacu pada aspek- aspek community governance. Aspek-aspek yang membentuk dan melekat dalam community governance menurut Sudarmo (2008: 104), yaitu:

a. Proses informal sosial. Proses informal sosial suatu organisasi dapat dilihat dari cara organisasi tersebut mengelola anggota-anggotanya baik melalui peraturan, norma maupun sanksi-sanksi yang diberikan. Selain itu, proses informal sosial mengharuskan sebuah organisasi untuk dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di dalam organisasinya tersebut. Di dalam proses informal sosial ini, organisasi tidak didasarkan pada struktur yang hirarkis, aturan dan prosedur yang kaku dan mekanistik dalam setiap proses pembuatan keputusan. Dalam kaitannya dengan resolusi konflik, adanya proses informal sosial

commit to user

mudah, cepat dan efisien dalam mengambil suatu keputusan. Bahkan jika organisasi dihadapkan pada masalah yang kompleks dan membutuhkan penanganan yang segera, organisasi dapat membuat keputusan yang efektif dan implementable. Proses informal sosial juga dapat meningkatkan kemandirian organisasi dalam mempertahankan dan meningkatkan keberlangsungan organisasinya dengan tidak bergantung pada pihak lain.

b. Kemauan belajar dari organisasi. Kemauan belajar organisasi dapat dilihat dari kesiapan dan cara organisasi dalam menghadapi berbagai permasalahan. Organisasi harus responsif dan memiliki daya tanggap yang cepat terhadap perubahan yang cepat dan sulit diantisipasi dan bahkan ha-hal yang tidak diinginkan; ia harus mendasarkan pada informasi dan ide-ide yang dimiliki para anggotanya; dan untuk menjalankan akivitasnya, ia secara internal dan eksternal harus berkolaborasi dalam sebuah sistem networks untuk berbagi keahlian dan informasi. Apabila dikaitkan dengan resolusi konflik, unsur kedua ini menuntut organisasi untuk menggali berbagai kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya untuk dapat membuat keputusan yang cepat dan tepat dalam berbagai kondisi, termasuk dalam situasi yang uncertain dan unpredictable sekalipun. Di sini, organisasi harus mau belajar dari pengalaman- pengalaman sebelumnya dan dari hal-hal yang belum diketahui

commit to user

atau keadaan yang sama.

c. Bekerja dalam network (social capital). Dalam poin ketiga ini, organisasi harus memiliki jaringan komunisasi yang terbangun diantara para anggotanya dengan percaya satu sama lain dan berbagi pengetahuan-pengetahuan dan hal-hal yang belum diketahui satu sama lain. Para anggota dapat bekerja dengan cara-cara yang kooperatif dalam suatu networks sebagaimana yang diperlukan dalam sistem yang sangat kompleks. Dengan adanya network yang kuat, berbagai informasi akan dengan mudah diakses dan diterima oleh anggota-anggota organisasi. Network yang kuat dalam organisasi dapat membuat organisai dengan cepat mengetahui berbagai permasalahan yang sedang ada dan dihadapi oleh anggota-anggota organisaisnya. Di samping membangun network di dalam organisasi, organisasi juga perlu membangun network dengan organisai lain. Hal ini berguna ketika organisai menghadapi suatu konflik atau keadaan yang kompleks, organisasi dapat meminta bantuan organisasi lain untuk ikut membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

d. Interaksi human capital & sumber daya organisasi.

Unsur keempat ini diartikan sebagai kesediaan berbagi peran diantara keanekaragaman pelaku/stakeholder sebagai sumber daya manusia dan sumber daya non-manusia lainnya yang tersedia. Interaksi human capital di dalam organisai membutuhkan jaringan kerja (network)

commit to user

anggota organisasi untuk berbagi informasi, pengetahuan maupun hal- hal yang belum diketahui satu sama lain. Hampir sama dengan proses informal sosial, dalam kesediaan berbagi informasi dan peran dalam suatu organisasi, organisasi tidak didasarkan pada struktur yang hirarkis, aturan dan prosedur yang kaku dan mekanistik dalam setiap proses pembuatan keputusan. Interaksi human capital & sumber daya organisasi dalam kaitannya dengan resolusi konflik sangat berguna untuk memperoleh berbagai informasi, pengetahuan maupun hal-hal lainnya. Dengan adanya informasi yang cepat dan lancar maka anggota-anggota organisasi dapat dengan mudah memberikan masukan, saran maupun ide-ide pemecahan dalam mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi bersama.

e. Distribusi intelegensia dalam mengatasi masalah free-rider.

Dasar dari distribusi intelegensia adalah menuntut kesediaan berbagi informasi dan adanya komunikasi yang terbuka diantara anggota organisasi. Kedua hal tersebut yang dapat menjamin transparansi, responsivitas dan akuntabilitas satu sama lain dan adaptasi terhadap situasi lingkungan yang uncertain dan kompleks. Ketika aspek ini dikaitkan dengan resolusi konflik maka distribusi intelegensia ini dapat membuat organisasi mampu untuk mengumpulkan berbagai informasi dari lingkungan. Informasi-informasi ini dijadikan dasar bagi organisasi dalam pengambilan keputusan untuk dapat melakukan

commit to user

komunikasi yang lancar di dalam organisasi ini, mengakibatkan organisasi dapat melakukan strategi yang telah dibuatnya dengan efektif sehingga permasalahan yang sedangd dihadapi oleh organisasi dapat segera terselesaikan.

Dari aspek-aspek community governance di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek yang satu juga mempengaruhi aspek yang lain atau dengan kata lain aspek-aspek community governance tidak dapat berdiri sendiri. Untuk itulah diperlukan adanya penerapan aspek-aspek community governance secara berkesinambungan ketika suatu organisasi/komunitas dihadapkan pada situasi yang mengharuskan ia berhadapan dengan organisasi/komunitas lain. Dengan diterapkannya unsur-unsur community governance secara terintegrasi maka akan menghasilkan solusi konflik yang bersifat win-win solutions.

Namun demikian, suatu organisasi/komunitas juga dapat gagal dalam menyelesaikan isu-isu sosial maupun ekonomi seperti halnya pasar dan pemerintah. Menurut Bowles & Gintis (2002: 427-428), kegagalan komunitas ini dapat dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh komunitas itu sendiri. Keterbatasan ini dapat terjadi karena komunitas yang merupakan kelompok kecil berusaha ikut campur dalam urusan para aggotanya sehingga membatasi keuntungan yang mereka peroleh dari hasil perdagangan.

commit to user

peralatan dan keahlian-keahlian yang dimiliki melalui networks telah menjadikan komunitas tersebut tidak mampu memperoleh kemanfaatan dari situasi yang ada.

c. Kegagalan komunitas juga terjadi akibat kecenderungan anggota organisasi yang lebih suka mengelompok menjadi kelompok- kelompok yang secara kultural dan demographis homogen. Komunitas seperti ini tidak akan bertahan lama apabila para individu bebas untuk bergerak keluar masuk.