Faktor-faktor Penghambat dalam Penerapan Resolusi Konflik- Community Governance
3. Faktor-faktor Penghambat dalam Penerapan Resolusi Konflik- Community Governance
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa resolusi konflik berbasis community governance belum dapat dilaksanakan dalam penyelesaian konflik antara PKL bermobil dengan pedagang di kawasan pasar Klewer. Banyak faktor yang mempengaruhi gagalnya suatu komunitas/organisasi dalam menyelesaikan isu-isu sosial maupun ekonomi seperti halnya pasar dan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Bowles & Gintis
commit to user
dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) adanya keterbatasan- keterbatasan yang dimiliki oleh komunitas; (2) kurangnya kerjasama berbagi dalam informasi, peralatan dan keahlian-keahlian yang dimiliki melalui networks; dan (3) kegagalan komunitas akibat kecenderungan anggota organisasi yang lebih suka mengelompok.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan resolusi konflik berbasis community governance dalam peyelesaian konflik di kawasan pasar Klewer adalah sebagai berikut: pertama, keengganan dari pihak-pihak yang berkonflik sendiri untuk menyelesaiakan masalah ini dengan cara negosiasi dan saling bekerjasama untuk menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak. Seperti yang diutarakan di atas tadi bahwa menurut HPPK maupun HPTPPK, PKL bermobil harus ditertibkan, harus disterilkan dan tidak ada kesepakatan bagi yang melakukan pelanggaran. Ini sesuai dengan pendapat dari Bapak Ahmad Fathoni, yaitu:
“tidak ada kesepakatan untuk hal yang melanggar aturan. Mereka kan melanggar aturan, aturan yang dilanggar itu Perda No 1 Tahun
2010 tentang pengelolaan dan perlindungan pasar tradisional. Yang kedua, Perda No 7 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan tempat khusus parkir, kemudian Undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Sekarang tinggal bagaimana Pemkot Surakarta, DPP, UPTD Parkir dan Satpol PP menertibkan mereka. ” (wawancara 1 Agustus 2012)
Sedangkan dari pihak PKL bermobil sendiri terkesan tidak memperdulikan pedagang pasar Klewer maupun pedagang pasar
commit to user
sendiri. Mereka terkesan acuh dan membiarkan konflik ini terjadi terus- menerus. Mereka beranggapan bahwa mereka tidak mengganggu pedagang pasar dan mereka tidak bertanggungjawab terhadap konflik yang sedang terjadi di kawasan pasar Klewer ini. Hal ini seperti yang diungapkan oleh perwakilan Batik Najwa yang merupakan PKL bermobil:
“ndak, ndak, ndak pernah ambil pusing ngono ora. Kan pancen pengen dodol tok ning kene, kan banyak mbak, kan gampang mbak
nemui wong/pedagang dari luar seperti dari Bali, dari Surabaya. Kalo di dalem kan gak mungkin ketemu orang-orang dari luar kota kan ndak, kayak jemput bola gitu lho mbak, malah pada ngoyak ke sini. Kan kita gak usah ngirim ke luar nanti kan lama-kelamaan tahu nomer hp saya kan nanti langsung dikirim. Kalo sudah transfer baru dikirim barangnya, kalo di sana kan orang solonya aja. Kalo di luar kan banyak yang beli, yang belanja dari luar kan banyak mbak. Yang protes sih tetep ada, yang protes terutama dari dalem. Ya kita secara kepala dingin aja, ndak usah marah-marah, saya juga memaklumi dari sana, kita harus mengambil sikap yang bijak. Dilihat, kalo sini gak jualan kan orang-orang pasti larinya ke sana tapi kan setelah ada yang jualan di sini kan orangnya ndak langsung ke sana, ke sini dulu. Masalahnya sih mungkin harga, padahal harganya sama, gak dibedain, misal di sini 1juta di sana juga 1 juta. Cuma sana punya pikiran sendiri mungkin barangkali, harganya di sini lebih murah padahal ndak, 1.100.000 ya tetep 1.100.000, kita ndak beda-bedain konsumen. Masalahe kasihan sono ik yo.” (wawancara 17 September 2012)
Yang kedua adalah HPPK dan HPTPPK beranggapan bahwa yang dapat menyelesaikan konflik adalah Pemkot Surakarta. Mereka beranggapan bahwa Pemkot Surakarta yang dapat menyelesaikan persoalan ini secara efektif dan efisien karena Pemkot Surakarta dirasa memiliki power, kekuasaan dan sumber daya untuk dapat menyelesaikan konflik tersebut. Menurut mereka, Pemkot Surakarta harus berani melakukan penertiban dan berani memberikan sanksi sesuai dengan Perda
commit to user
Pemkot Surakarta. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Bapak Kusbani: “yang dapat menyelesaikan konflik ini walikota, harus, harus
berani. Makanya kan saya minta keberanian walikota seperti apa. Selain itu, saya juga minta ketegasan Pemerintah dalam penegakan aturan, perda-perda yang harus ditegakkan. Sudah ada perda, sudah ada kesepakatan, itu tinggal...umpamanya taman parkir, ketegasan UPTD Parkirnya apa???UPTD Parkir bagaimana menertibkan mereka, kalo memang mobil itu untuk dagang ya harus di luar taman parkir. ” (wawancara 2 Agustus 2012)
Hal yang hampir sama juga dilontarkan oleh Bapak Ahmad Fathoni selaku Sekertaris HPTPPK yang mengatakan bahwa:
“ya seharusnya penyelesaian yang efektif untuk menyelesaikan PKL bermobil dengan pedagang pasar itu pemerintah melalui DPP. Nah, kenapa seperti itu? Karena menurut Perda No. 1 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan perlindungan pasar tradisional. Di dalam Perda tsb kan disebutkan bahwa yang namanya transaksi jual-beli kan harus di toko, yang namanya pedagang itu harus punya toko. Jadi, maka diluar itu, mereka disebut pedagang ilegal, pedagang ilegal itu ada dendanya, ada aturannya, mereka kan tidak boleh. ” (wawancara 1 Agustus 2012)
Selain kedua faktor tersebut, terdapat faktor yang ketiga. Di dalam faktor ketiga ini terdapat hal-hal kecil yang mengakibatkan organisasi tidak dapat melakukan kegiatannya secara maksimal. Hal inilah yang dialami oleh HPTPPK dan HPPK. Berdasarkan hasil penelitian kemarin, diketahui bahwa HPTPPK mengalami kekosongan ketua karena ketua dari HPTPPK sendiri sedang vakum dan memilih menjadi pengurus dari KPPK. Hal ini menyebabkan roda organisasi berjalan timpang karena ketua organisasi yang merupakan penanggung jawab dari organisasi tersebut tidak aktif di dalam organisasi. Hal ini menyebabkan organisasi
commit to user
HPTPPK juga dirangkap oleh sekertaris HPTPPK. pendapat ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Bapak Ahmad Fathoni:
“ketua HPTPPK itu sekarang menjadi pengurus KPPK, ketua kami sibuk disana, kayak vakum gitu lho, akhir-akhir ini. Banyak kebijakan-kebijakan yang langsung saya ambil alih. ” (wawancara 1 Agustus 2012)
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian di lapangan, diketahui bahwa periode kepengurusan HPTPPK sendiri sebenarnya sudah habis dan belum ada pergantian kepengurusan. Hal ini juga merupakan buntut dari adanya kekosongan ketua organisasi. Ini sesuai dengan pendapat dari bapak Ahmad Fathoni:
“Cuma ini memang agak lama, jadi karena kesibukan ketua, sebenarnya ini sudah habis masa kepengurusan yang lama maksud saya memang harus sudah diganti. Tapi karena kesibukan beliau,
saya sudah ngomong bolak balik, “pak ini sudah saatnya pergantian pengurus karena masa kerja kita menurut AD/ART sudah hab is.”
Tapi beliau mengatakan, “nanti wae pak fathoni, ini saya sedang sibuk di pasar K lewer.” Akhirnya roda organisasi itu berjalan timpang, banyak kebijakan2 yang langsung saya ambil alih. Masa kerja kami kan sebenarnya sudah habis, seharusnya kalo masa kerja sudah habis kan melakukan laporan pertanggungjawaban kepada anggota, kepada pedagang kemudian terjadilah sebuah pergantian pengurus, kan gitu? Lah, ini belum ditempuh. Pergantian pengurus terjadi 3 tahun sekali, disebutkan dalam AD/ART. Ketika terjadi pemilihan pengurus, yang memilih adalah anggota dalam hal ini adalah pedagang. ”( wawancara 1 Agustus 2012)
HPPK atau Himpunan Pedagang Pasar Klewer juga mempunyai masalah yang tidak kalah rumit. HPPK harus menghadapi KPPK atau Komunitas Pedagang Pasar Klewer yang merupakan komunitas tandingan yang sengaja dibuat oleh beberapa orang yang kecewa dengan HPPK.
commit to user
beberapa pengurus dan anggota HPPK dalam masa kepengurusan sebelumnya. Mereka merasa dicurangi ketika pembentukan kepengurusan HPPK yang baru sehingga orang-orang ini membuat komunitas baru yang disebut dengan KPPK. Selain itu, HPPK juga harus berkonflik dengan KPPK dalam masalah revitalisasi pasar Klewer. KPPK mempunyai keinginan agar pasar Klewer segera direvitalisasi karena bangunan pasar Klewer yang sekarang sudah tidak layak dan membahayakan bagi penjual dan pembeli pasar Klewer. Sedangkan HPPK ingin tetap mempertahankan bangunan pasar Klewer karena pasar Klewer merupakan cagar budaya yang memang harus dilindungi. Hal-hal semacam ini juga membuat pengurus HPPK tidak dapat cepat dan tidak maksimal dalam mengambil keputusan tekait dengan PKL bermobil.
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang menjadi penyebab gagalnya pendekatan community governance tidak semuanya mengacu pada pendapat Bowles & Gintis. Hanya ada dua faktor yang sesuai dengan pendapat dari Bowles & Gintis, yaitu adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh komunitas dan kegagalan komunitas akibat kecenderungan anggota organisasi yang lebih suka mengelompok. Keterbatasan yang dimiliki oleh komunitas di sini adalah keterbatasan komunitas dalam hal power dan kekuasaan. Komunitas PKL bermobil, HPPK dan HPTPPK tidak memiliki power dan sumber kekuasaan yang cukup untuk menyelesaikan konflik ini. Meskipun HPPK
commit to user
Surakarta akan tetapi HPPK dan HPTPPK tidak bisa berbuat banyak untuk menghadapi PKL bermobil. Apabila HPPK dan HPTPPK langsung berhadapan dengan PKL bermobil maka akan menimbulkan konflik horisontal yang akan merugikan banyak pihak. HPPK dan HPTPPK hanya bisa mendesak Pemkot Surakarta untuk segera menyelesaikan konflik ini. Sedangkan komunitas PKL bermobil tidak memiliki power dan tidak ada pihak-pihak yang memiliki sumber kekuasaan yang melindungi mereka. Mereka hanya bisa pasrah apabila ditertibkan dan digusur oleh Pemkot Surakarta. Keterbatasan yang dimiliki oleh komunitas ini yang menyebabkan HPPK dan HPTPPK menyerahkan semua penyelesaian masalah ini kepada Pemerintah Kota Surakarta. Mereka menganggap bahwa Pemkot Surakarta memiliki power, kekuasaan dan sumber daya untuk memberikan jalan keluar terbaik.
Faktor kedua yang sesuai dengan pendapat dari Bowles dan Gintis adalah kegagalan komunitas akibat kecenderungan anggota organisasi yang lebih suka mengelompok. Hal ini dialami oleh HPPK yang anggota organisasinya harus terpecah dengan adanya organisasi tandingan yaitu KPPK atau Komunitas Pedagang Pasar Klewer. Dengan adanya organisasi tandingan ini menyebabkan konsentrasi dan komitmen anggota organisasi juga ikut terpecah. Jika hal ini dibiarkan maka organisasi baik itu HPPK dan KPPK tidak akan bertahan lama karena anggota organisasi akan dibingungkan oleh dualisme organisasi di dalam suatu wilayah yang sama
commit to user
organisasinya. Komunitas PKL bermobil juga sudah mengalami hal yang sama. Tidak adanya komunitas resmi yang menaungi PKL bermobil diakibatkan karena komunitas-komunitas yang dahulu menaungi komunitas PKL bermobil yang berasal dari berbagai daerah pecah satu per satu. Hal ini diakibatkan karena banyaknya komunitas di dalam PKL bermobil, PKL bermobil yang berasal dari Pekalongan mendirikan komunitas sendiri yaitu P4CS atau Paguyuban Pedagang Pekalongan Pasar Cinderamata Surakarta, begitu pula komunitas PKL bermobil dari Pemalang, Jepara dan Kusus, mereka juga memiliki komunitas sendiri- sendiri. Akan tetapi, komunitas-komunitas tersebut akhirnya pecah sehingga sampai sekarang tidak ada komunitas resmi yang menaungi komunitas PKL bermobil. Pecahnya komunitas-komunitas di dalam PKL bermobil dikarenakan komunitas-komunitas tersebut tidak dapat bertahan akibat anggota komunitas yang sering berganti dan berubah yang disebabkan karena penertiban yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta. Penertiban yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta menyebabkan banyak dari anggota komunitas PKL yang menjadi jera dan tidak ikut-ikutan berjaulan.
Meskipun hanya ada dua faktor yang sesuai dengan teori dari Bowles & Gintis yang memang benar-benar terjadi dan benar-benar dialami oleh HPPK, HPTPPK dan komunitas PKL bermobil tetapi terdapat faktor utama yang menyebabkan gagalnya pendekatan community
commit to user
utama tersebut adalah prinsip yang dipegang teguh oleh masing-masing pihak yang berkonflik untuk tidak mau bekerjasama. Mereka tidak mau bekerjasama dalam mencari jalan keluar terbaik atau suatu pemecahan masalah yang dapat diterima oleh kedua belah pihak melalui jalan negosiasi dan saling berkomunikasi. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan resolusi konflik berbasis community governance tidak dapat diterapkan dan digunakan untuk dapat menyelesaikan konflik antara PKL bermobil dengan pedagang di kawasan Pasar Klewer.
commit to user