RESOLUSI KONFLIK

3. RESOLUSI KONFLIK

Resolusi konflik merupakan proses untuk mendapatkan output atau hasil konflik melalui manajemen konflik. Menurut Deutsch yang dikutip oleh Zhiyong Lan dalam A Conflict Resolution Approach to Public

keasertifan

commit to user

konflik. lebih lanjut, Deutsch menjelaskan bahwa: “Conflict resolution literature pays close attention to the different

roles play by actors in a conflict. It categorizes the actors in three groups: (1) interested audience to the conflict-observers or onlookers, either sympathetic or nonsympathetic; (2) parties to the conflict; and (3) conflict resolvers-arbitrators, mediators or facilitators. ”

“Para literatur resolusi konflik mencermati peran berbeda yang dimainkan oleh aktor dalam konflik. Aktor-aktor ini dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) publik yang tertarik terhadap konflik, pengamat konflik atau penonton, baik yang menaruh perhatian terhadap konflik ataupun tidak, (2) pihak-pihak yang berkonflik, dan (3) orang-orang yang dapat memecahkan konflik seperti: arbiter, mediator atau fasilitator .”

Di dalam resolusi konflik, metode yang dapat digunakan dapat dikelompokkan menjadi pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik atau melalui pihak ketiga. Pengaturan sendiri dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik dengan cara melakukan berbagai pendekatan dan negosiasi untuk menyelesaikan konflik dan menciptakan solusi konflik seperti yang mereka harapkan. Intervensi pihak ketiga terdiri atas resolusi melalui proses pengadilan, proses administrasi dan resolusi perselisihan alternatif (Wirawan, 2010: 177).

Berikut merupakan penjelasan lebih rinci mengenai beberapa macam metode resolusi konflik:

a. Pengaturan sendiri Pengaturan sendiri merupakan salah satu bentuk resolusi konfflik dimana pihak-pihak yang terlibat konflik menyusun strategi maupun taktik konflik untuk menyelesaikan konflik yang sedang dihadapi. Di

commit to user

negosiasi untuk menyelesaikan konflik dan menciptakan solusi sesuai harapan mereka. Pola interaksi konflik tergantung pada keluaran konflik yang diharapkan, potensi konflik, lawan konflik dan situasi konflik (Wirawan, 2010: 178). Berikut merupakan interaksi konflik yang sering digunakan dalam metode resolusi konflik pengaturan sendiri:

 Interaksi konflik dengan keluaran yang diharapkan mengalahkan

lawan konflik (win-lose solution) Di dalam model ini, pihak yang terlibat konflik bertujuan memenangkan konflik dan mengalahkan lawan konfliknya. Pihak yang terlibat konflik berupaya mencari solusi konflik mengalahkan lawan konfliknya dengan berbagai pertimbangan, yaitu: merasa mempunyai kekuasaan lebih besar dari lawan konfliknya; merasa mempunyai sumber konflik yang lebih besar; menganggap obyek konflik sangat penting bagi kehidupan dan harga dirinya; situasi konflik menguntungkan dan merasa bisa mengalahkan lawan konfliknya (Wirawan, 2010: 178). Win-lose solution dapat terjadi ketika pihak-pihak yang berkonflik menggunakan gaya manajemen konflik seperti kompetisi (competing) dan kompromi (compromising). Dalam hal ini, masing-masing pihak berusaha untuk meraih sesuatu dengan mengorbankan pihak lain yang dapat menciptakan konflik di kemudian hari (Sudarmo, 2011: 216).

commit to user

 Interaksi konflik dengan tujuan menciptakan kolaborasi atau

kompromi (win-win solution) Win-win solution dapat terjadi ketika pihak-pihak yang sedang berkonflik menggunakan gaya manajemen jenis kolaborasi (collaborating) atau problem solving. Gaya manajemen tipe ini berusaha melakukan rekonsiliasi perbedaan-perbedaan yang mendasari. Win-win solution berusaha memecahkan isu-isu konflik untuk menciptakan keuntungan bersama bagi pihak-pihak yang berkonflik. Kondisi win-win solution ini diciptakan dengan menghilangkan penyebab-penyebab konflik. Metode ini merupakan gaya interpersonal menajemen konflik yang paling disukai (Sudarmo, 2011: 216).

 Interaksi konflik menghindar Tujuan dari interaksi ini adalah untuk menghindarkan diri dari

situasi konflik. Ada beberapa alasan yang mendasari pihak yang terlibat konflik untuk menghindari konflik, yaitu: tidak senang atas ketidaknyamanan sebagai akibat terjadinya konflik; menganggap penyebab konflik tidak penting; tidak mempunyai cukup kekuasaan untuk memaksakan kehendak; menganggap situasi konflik tidak bisa dikembangkan sesuai kehendaknya dan belum siap melakukan negosiasi (Wirawan, 2010: 180). Gaya manajemen tipe menghindar (avoiding) dapat mengakibatkan lose-lose conflict. Dengan gaya manajemen ini, alasan/penyebab konflik masih terus terpendam

commit to user

merupakan bentuk ekstrim dari tidak adanya perhatian, konflik dianggap tidak ada dan berharap agar konflik tersebut dapat hilang/berlalu dengan sendirinya (Sudarmo, 2011: 215).

 Interaksi konflik mengakomodasi Interaksi konflik ini bertujuan untuk menyenangkan lawan konflik dan mengorbankan diri. Berikut adalah perilaku dari interaksi

konflik mengakomodasi: bersikap pasif dan ramah kepada lawan konflik; memperhatikan lawan konflik sepenuhnya dan mengabaikan diri sendiri; menyerah pada solusi yang diminta lawan konflik dan memenuhi keinginan lawan konflik (Wirawan, 2010: 181). Interaksi konflik mengakomodasi (accomodating) juga dapat mengakibatkan lose-lose conflict. Gaya manajemen accomodating pada dasarnya mengabaikan perbedaan dan mengabaikan esensi riil dari konflik itu sendiri. Gaya manajemen ini lebih menonjolkan persamaan dan bidang-bidang yang disepakati bersama. Perdamaian diciptakan melalui pengakuan bersama yakni tujuan bersama (Sudarmo, 2011: 215).

b. Intervensi pihak ketiga Intervensi pihak ketiga dilakukan apabila pihak-pihak yang terlibat konflik tidak dapat menyelesaikan konflik yang sedang dihadapinya. Pihak ketiga yang disebut intervener melakukan intervensi ke dalam konflik. Intervener bersikap pasif menunggu datangnya pihak yang

commit to user

bersikap aktif dengan emmbujuk kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik. Pihak ketiga dapat berupa lembaga pemerintah, lembaga arbitrase yang dibentuk berdasarkan undang- undang, lembaga mediasi hingga pihak ketiga yang dibentuk berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang terlibat konflik (Wirawan, 2010: 184). Intervensi pihak ketiga dapat dibagi menjadi lima, yaitu:

 Resolusi konflik melalui proses pengadilan Dalam resolusi konflik melalui pengadilan perdata, salah satu pihak atau kedua belah pihak yang terlibat konflik meneyrahkan solusi konfliknya pada pengadilan perdata di Pengadilan Negeri melalui gugatan penggugat terhadap tergugat. Proses pengadilan umumnya didahului dengan permintaan hakim agar kedua belah pihak berdamai. Jika perdamaian tidak tercapai, hakim akan memeriksa kasusnya dan mengambil keputusan. Keputusan yang diambil hakim dapat berupa win-lose solution atau win-win solution. Apabila salah satu atau kedua belah pihak tidak puas atas keputusan hakim tersebut, mereka dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Jika keputusan di Pengadilan Tinggi masih belum memuaskan, mereka dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di Mahkamah Agung, keputusan untuk peninjauan kembali dapat dimintakan apabila ada bukti baru (Wirawan, 2010: 184).

commit to user

 Resolusi konflik melalui proses atau pendekatan legislasi Resolusi konflik melalui pendekatan legislatif adalah penyelesaian

konflik melalui perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif. Konflik yang diselesaikan menggunkaan metode ini adalah konflik yang besar dan meliputi populasi yang besar, tetapi mempunyai pengaruh terhadap individu anggota populasi. Dalam konflik politik seperti konflik mengenai batas daerah dan konflik pemekaran wilayah. Dalam bidang bisnis, misalnya konflik perlindungan kosumen serta konflik monopoli dan persaingan tidak sehat. Penyelesaian konflik melalui proses legislatif memerlukan banyak waktu karena memerlukan penyusunan naskah akademik, penyususnan draf Undang-undang dan pembahasan Undang- undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah pembuatan Undang-undang, Peraturan Pemerintah diperlukan untuk melaksanaknnya (Wirawan, 2010: 185-186).

 Resolusi konflik melalui proses administrasi

Resolusi konflik melalui proses administrasi adalah resolusi konflik melalui pihak ketiga yang dilakukan oleh lembaga negara bukan lembaga yudikatif yang menurut Undang-undang atau Peraturan Pemerintah diberi hak untuk menyelesaikan perselisiahan atau konflik dalam bidang tertentu. Resolusi konflik ini banyak digunakan dalam bidang bisnis, ketenagakerjaan, lingkunagn dan hak asasi manusia di Indonesia. Lembaga-lembaga negara yang

commit to user

seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk menyelesaikan konflik terkait praktik monopoli dan persaingan usaha; Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang bertugas menyelesaikann konflik antara pengusaha dan konsumen; dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) yang bertugas menyelesaikan perselisihan/konflik industrial. Selain itu, juga terdapat ombudsman yang merupakan pejabat publik non partisipan yang meneliti keluhan mengenai pelanggaran hak dan ketidakadilan yang dialami oleh anggota masyarakat oleh kebijakan dan perlakuan lembaga pemerintah, lembaga nirlaba dan perusahaan (Wirawan, 2010: 186).

 Resolusi perselisihan alternatif Resolusi perselisihan alternatif (alternative dispute resolution- ADR) adalah resolusi konflik melalui pihak ketiga yang bukan pengadilan dan proses administrasi yang diselenggarakan oleh lembaga yudikatif dan eksekutif. ADR terdiri atas mediasi dan arbitrase. Mediasi merupakan proses manajemen konflik dimana pihak-pihak yang terlibat konflik menyelesaikan konflik mereka melalui negosiasi untuk mencapai kesepakatan bersama (Wirawan, 2010: 200). Tujuan dari mediasi adalah untuk menciptakan win-win solution dan mencari kesepakatan bersama. Sedangkan arbitrase menurut Christopher A. Moore dalam Wirawan (2010: 214) adalah

commit to user

pihak yang terlibat konflik meminta bantuan pihak ketiga yang imparsial (tidak memihak) dan netral untuk membuat keputusan mengenai obyek konflik. Keluaran dari keputusan arbitrase bisa bersifat nasehat dan tidak mengikat atau bisa juga berupa keputusan yang mengikat pihak-pihak yang terlibat konflik.

 Rekonsiliasi Rekonsiliasi adalah proses resolusi konflik yang mentransformasi

ke keadaan sebelum terjadinya konflik yaitu keadaan kehidupan yang harmonis dan damai (Wirawan, 2010: 195). Sedangkan menurut Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan dan pengampunan, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa. Pihak-pihak yang terlibat konflik harus saling memaafkan dan tidak menyisihkan dendam yang dapat menimbulkan konflik baru di kemudian hari. Rekonsiliasi digunakan untuk menyelesaikan konflik politik dan sosial yang melanggar hak asasi manusia secara berat di Indonesia. (Wirawan, 2010: 195).

commit to user

Davis dan Keating (Sudarmo, 2011: 71) mendefinisikan governance sebagai “the process by which institutions, both state and non-state interact to manage nation‟s affairs” (suatu proses interaksi institusi- institusi mencakup institusi-institusi negara dan institusi-institusi non- negara untuk mengelola persoalan bangsa). Lebih lanjut, Stoker dalam Isu- isu Administrasi Publik (Sudarmo, 2011: 36) merinci konsep governance dalam lima proposisi, yaitu:

a. Pertama, governance mengacu pada serangkaian institusi dan aktor yang berasal dari dalam pemerintah maupun di luar pemerintah.

b. Kedua, governance mengidentifikasikan kekaburan batas-batas dan tanggung jawab untuk menangani isu-isu ekonomi dan sosial.

c. Ketiga, governance mengidentifikasikan ketergantungan kekuasaan yang terlibat dalam hubungan antara insitusi yang terlibat dalam tindakan kolektif (collective action).

d. Keempat, governance adalah tentang jaringan-jaringan para aktor yang sifatnya self-governing (mengelola dirinya) secara otonom.

e. Kelima, governance mengakui kapasitas untuk mencapai sesuatu dengan tidak menggantungkan pada kekuatan pemerintah untuk mengkomando atau menggunakan otoritasnya. Governance memandang pemerintah mampu menggunakan alat-alat dan teknik- teknik baru untuk mengendalikan atau membina.

commit to user

Community Engagement: Re-theorising Participation in Governance (Eversole: 2011: 56) mengatakan bahwa :

“governance as characterised by „innovation, negotiation and transformative partnerships‟, with knowledge exchange,

democratisation and decentralisation of decision making key to this new way of working. Bringing a range of communities and institutions into the processes of governing is thus painted as an egalitarian win-win situation: it not only gives these diverse communities and institutions a voice in decisionmaking, it mobilises their agency, knowledge, ideas, and networks to solve entrenched policy problems .”

“ governance ditandai dengan 'inovasi, negosiasi dan kemitraan yang transformatif', dengan pertukaran pengetahuan, demokratisasi dan desentralisasi pengambilan keputusan yang merupakan cara kerja baru. Membawa berbagai komunitas dan lembaga ke dalam proses governing untuk menghasilkan win-win situation: governance tidak hanya memberikan suara-suara komunitas dan institusi yang

beragam dalam pengambilan keputusan, governance juga memobilisasi lembaga, pengetahuan, ide, dan jaringan untuk memecahkan masalah kebijakan yang sudah mengakar. ”

Lebih lanjut, Kooiman & Van Vlet dan Stoker dalam buku karangan Sudarmo (2011: 35) mengatakan bahwa esensi governance adalah fokusnya dalam mekanisme-mekanisme memerintah yang tidak menggantungkan pada pilihan otoritas dan sangsi pemerintah. Konsep governance ini mengacu pada penciptaan struktur atau sebuah aturan yang tidak bisa dipaksakan dari luar tetapi merupakan hasil dari interaksi berbagai aktor yang terlibat dalam memerintah/mengelola dan satu sama lain mempengaruhi. Dalam buku Isu-isu Administrasi Publik karya Sudarmo (2011: 74-75) dijelaskan bahwa governance pada dasarnya mengacu pada dua hal yakni state dan non-state. Yang termasuk dalam

commit to user

kelompok bangsawan yang memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan orang banyak dan memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan kelompok masyarakat lain. Sedangkan, non-state mencakup berbagai kelompok bisnis (bisnis formal yang bertaraf internasional, nasional maupun lokal). Di dalam non-state juga terdapat society, seperti kelompok-kelompok kepentingan yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari kebijakan pemerintah, kelompok kepentingan yang memeperjuangkan haknya kepada pemerintah, maupun kelompok masyarakat yang terkena dampak kebijakan pemerintah.

Di dalam konsep governance ini, gaya memerintah dan mengelola isu-isu sosial dan ekonomi tidak hanya diambil alih oleh pemerintah tetapi juga mengikutsertakan aktor-aktor non-pemerintah. Aktor-aktor non- pemerintah atau sering disebut dengan stakeholders ikut serta dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan/kebijakan. Meskipun demikian, peran pemerintah/negara pada isu-isu sentral memegang peranan paling dominan dalam menentukan sebuah kebijakan yang akan diambil. New Paradigm of Governance dalam Journal of Management and Governance (2003: 211) mengatakan bahwa:

“Governance is not only contol, incentive and ownership structure. It is also the allocation of decision rights, as well as normative and

value based control. Governance is not only something „internal‟ to the firm, but also cuts across organizations. ”

“Governance tidak hanya berbicara soal kontrol, intensif dan struktur organisasi. Governance juga merupakan alokasi dalam pengambilan

keputusan yang dikontrol secara normatif dan sesuai dengan nilai-

commit to user

organisasi/perusahaan tetapi juga di luar organisasi atau lintas organisasi .”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa governance merupakan suatu proses memerintah ataupun mengelola isu-isu sosial maupun ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak-pihak di luar pemerintah. Terkadang governance tidak membutuhkan komando dan sangsi dari pemerintah untuk menyelesaikan isu-isu sosial maupun ekonomi yang sedang dihadapi. Non-state atau pihak-pihak di luar pemerintah lebih mengutamakan interaksi diantara para anggotanya untuk menyelesaikan isu-isu substantif yang dihadapi dengan berpegang pada aturan dan norma yang ada. Meskipun demikian, peran pemerintah/negara tetap diperlukan dalam melakukan governance. Lebih lanjut dalam Local Government and Community Governance: A Literature Review (Hambleton, 2011: 4) dijelaskan mengnai pendekatan governance, yaitu:

“Governance, on the other hand, involves government plus the looser processes of influencing and negotiating with a range of

public and private sector agencies to achieve desired outcomes. A governance perspective encourages collaboration between the public, private and non-profit sectors to achieve mutual goals ”.

“Governance, di sisi lain juga melibatkan pemerintah dengan proses yang bebas dalam mempengaruhi dan bernegosiasi dengan berbagai lembaga sektor publik dan swasta untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sebuah pendekatan governance mendorong kolaborasi antara sektor swasta, sektor publik dan sektor non-profit untuk mencapai tujuan bersama ”.

Dari pendapat Hambleton tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan governance pada dasarnya tidak dapat lepas dari campur tangan pemerintah. Governance lebih mengutamakan kolaborasi diantara

commit to user

isu-isu sosial untuk memeperoleh hasil yang dapat diterima semua pihak. Berbicara mengenai isu-isu konflik yang terjadi di Indonesia, ada sebagian masyarakat yang meragukan peran pemerintah karena mereka menganggap bahwa pemerintah tidak tuntas dalam menyelesaikan berbagai isu-isu konflik yang berkembang. Sebagian masyarakat menganggap bahwa suatu civil society atau community juga dapat menyelesaikan masalah publik melalui jaringan atau social capital yang dibangunnya (Sudarmo, 2011: 189). Bowles & Gintis dalam Social Capital and Community Governance (2002: 420) memberikan definisi mengenai community, yaitu sebagai:

“By community we mean a group of people who interact directly, frequently, and in multi-faceted ways. People who work together are

usually communications in this sense, are some neighbourhoods, groups of friends, professional and business networks, gangs, and sport leagues”. “sekelompok orang-orang yang berinteraksi secara langsung,

dilakukan secara intensif dan dengan berbagai cara. Orang-orang yang bekerja sama dalam komunitas ini, biasanya adalah masyarakat yang hidup berdampingan atau bertetangga di suatu kampung, kelompok-kelompok teman, professional, jaringan bisnis, geng, dan atau kelompok-kelompok olah raga. ”

Lebih lanjut, Bowles & Gintis memberikan penjelasan tentang community dalam Local Government and Community Governance: A Literature Review (2011: 5) yaitu:

“Communities, however, may solve problems that both states and markets are ill-equipped to address, especially where the nature of social interactions or of the goods and services being transacted makes contracting highly incomplete or costly. Community governance relies on dispersed private information often unavailable to states, employers, banks, and other large formal organizations to

commit to user

conformity with or deviation from social norms. An effective community monitors the behaviour of its members, rendering them accountable for their actions.”

“Komunitas dapat memecahkan masalah-masalah yang tidak dapat ditangani oleh negara maupun pasar, khususnya ketika interaksi sosial atau transaksi barang dan jasa menjadi tidak lengkap atau mahal. Community governance bergantung pada informasi pribadi yang seringkali tidak tersedia bagi negara, pengusaha, bank dan organisasi formal lainnya untuk menerapkan rewards dan punishment kepada para anggota yang patuh atau melanggar norma- norma sosial. Community yang efektif bahkan mampu memantau perilaku anggotanya, untuk membuat mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka ”.

Dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa suatu komunitas pada dasarnya memiliki kemampuan untuk dapat menyelesaikan masalah- masalah yang sedang dihadapi. Sebuah komunitas dapat menyelesaikan masalah-masalahnya melalui berbagai informasi yang tersedia di dalam komunitas tersebut. Berbagai informasi yang tersedia di dalam sebuah komunitas dapat digunakan oleh komunitas tersebut untuk mengontrol perilaku anggota-anggota organisasinya melalui penerapan rewards and punishment . Di sisi lain, terdapat keraguan sebagaian masyarakat terhadap peran pemerintah dalam mengatasi isu-isu konflik menyebabkan sebagian masyarakat berusaha menyelesaikan isu-isu konflik yang ada melalui komunitas yang mereka bentuk. Komunitas dianggap dapat menjadi media pemecah konflik ketika pasar maupun pemerintah gagal dalam mengelola konflik. Menurut Bowles & Gintis dalam Isu-isu Administrasi Publik (Sudarmo, 2011: 190), alasan komunitas dapat menyelesaikan isu-isu konflik yang gagal dilakukan oleh pemerintah dan pasar adalah karena

commit to user

perilaku, kapasitas-kapasitas dan kebutuhan-kebutuhan para anggotanya. Para anggota memanfaatkan informasi tersebut untuk menjaga norma- norma dan menjamin bahwa apa yang dilakukannya tidak akan mengakibatkan persoalan-persoalan bahaya moral yang bisa muncul, dan untuk proses pemilihan pengambilan keputusan untuk menghindari resiko yang merugikan di kemudian hari.

Selain itu, dalam Social Capital for Community Governance, komunitas dapat lebih efektif dalam mempercepat dan memanfaatkan insentif yang secara tradisional telah diatur oleh orang-orang untuk meregulasi aktivitas bersama baik ity melalui trust, solidaritas, timbal balik, reputasi, kebanggaan pribadi, menghormati, balas dendam maupun retribusi satu sama lain (Sudarmo, 2008: 106). Sedangkan kegagalan pasar dan pemerintah dalam mengelola konflik diakibatkan karena informasi yang penting untuk merancang dan menegakkan pertukaran dan perintah tidak bisa secara efektif digunakan oleh state atau pihak di luar komunitas. Informasi yang ada di dalam komunitas terkadang tidak dapat diperoleh dan tidak tersedia bagi pemerintah maupun pasar, hal inilah yang menyebabkan pemerintah maupun pasar tidak dapat mengelola konflik secara efektif (Sudarmo, 2011: 190).

Lebih lanjut, di dalam Social Capital & Community Governance (Bowles & Gintis, 2002: 424) dijelaskan bahwa: “Several aspects of communities account for their unique capacities

as governance structures. First, in a community the probability that

commit to user

thus there is a strong incentive to act in socially beneficial ways now to avoid retaliation in the future. Second, the frequency of interaction among community members lowers the cost and raises the benefits associated with discovering more about the characteristics, recent behavior and likely future actions of other members. The more easily acquired and widely dispersed this information, the more will community members have an incentive to act in ways that result in collectively beneficial outcomes. Third, communities overcome free-rider problems by its members directly punishing „anti-social‟ actions of others. Monitoring and punishment by peers in work teams, credit associations, partnerships, local commons situations, and residential neighborhoods is often an effective means of attenuating incentive problems that arise where individual actions affecting the well being of others are not subject to enforceable contracts (Bowles & Gintis, 2002: 424). ”

Menurut pendapat Bowles Gintis di atas, terdapat beberapa aspek khusus dari sebuah komunitas yang dapat mencerminkan kapasitas sebagai struktur governance, yaitu :

a. Pertama, dalam sebuah komunitas, dimungkinkan bahwa para anggota yang berinteraksi hari ini, tingkat interaksi mereka di masa mendatang akan meningkat atau tinggi. Dengan demikian, dalam dirinya terdapat dorongan kuat untuk bertindak dengan cara-cara yang menguntungkan secara sosial untuk menghindari hal-hal yang merugikan di masa depan.

b. Kedua, frekuensi interaksi diantara para anggota komunitas mengurangi biaya dan menaikkan keuntungan berkaitan dengan penemuan karakteristik-karakteristik perilaku sekarang ini dan kemungkinan tindakan-tindakan yang akan datang dari para anggota lainnya. Semakin informasi mudah diperoleh dan semakin luas penyebarannya, semakin para anggota komunitas akan memiliki dorongan atau rancangan untuk

commit to user

menguntungkan secara kolektif.

c. Ketiga, komunitas mengatasi masalah free-rider (salah satu penyebab market failure ) yang dilakukan oleh para anggotanya dengan cara menghukum langsung tindakan- tindakan „anti sosial‟ yang dilakukan oleh pihak lain yang memboncengnya. Monitoring dan hukuman oleh kolega dalam sebuah tim kerja, asosiasi kredit, kemitraan, situasi-situasi kehidupan kelas bawah di tingkat lokal, dan kampung permukiman (seperti rukun tetangga, rukun warga, kelompok dasa wisma) bisa menjadi cara-cara yang efektif untuk mengurangi dorongan timbulnya masalah dimana tindakan-tindakan individu yang mengganggu kesejahteraan atau ketenteraman pihak lain tidak dapat dilakukan.

Sebuah komunitas untuk dapat melakukan governance dengan efektif maka ia harus memiliki kapasitas untuk belajar, melakukan eksperimen dan beradaptasi secara kreatif terhadap ancaman-ancaman dan peluang-peluang yang ada (Innes & Booher dalam Sudarmo, 2008: 103). Untuk membangun kapasitas yang memadai bagi governance, komunitas perlu melakukan interaksi dan berbagi peran secara teratur diantara para pemain yang beraneka ragam dalam memecahkan masalah dan melakukan kerjasama untuk melaksanakan tugas-tugas baru yang sangat kompleks berkenaan dengan pemecahan masalah bersama yang dihadapinya (Burns & Stalker, 1996; Sudarmo, 2008: 103-104).

commit to user

(Sudarmo, 2008: 104), kapasitas komunitas adalah: “interaksi human capital, sumber daya organisasi, dan social capital

dalam sebuah komunitas yang dapat mengontrol untuk memecahkan masalah-masalah kolektif dan memperbaiki atau menjaga kesejahteraan komunitas. Kapasitas komunitas bisa berjalan melalui proses informal sosial dan atau usaha- usaha informal terorganisir.”

Dari pengertian di atas, maka dapat diketahui batasan-batasan dari community governance , yaitu (Sudarmo, 2008: 104):

a. Proses informal sosial, yaitu kemampuan suatu organisasi untuk dapat mengorganisasi dirinya secara informal. Di dalam proses ini, dilihat bagaimana organisasi dapat mengelola anggota-anggota organisasi dengan berbagai perbedaan latar belakang. Proses informal sosial ini juga dilakukan dengan cara memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di dalam organisasi dan dengan menerapkan aturan-aturan dan sanksi-sanksi kepada anggota-anggota organisasi. Proses informal sosial organisasi tidak didasarkan pada struktur yang hirarkis, aturan dan prosedur yang kaku dan mekanistik dalam setiap proses pembuatan keputusan karena mengingat dunia ini berada dalam situasi global, bergerak cepat, uncertain dan unpredictable dengan sempurna.

b. Kemauan belajar dari pengalaman sebelumnya dan hal-hal yang belum diketahui untuk mengantisipasi hal-hal yang akan datang. Unsur kedua ini dapat dilihat dari kesiapan dan cara yang digunakan organisasi dalam menghadapi berbagai permasalahan. Organisasi harus responsif dan memiliki daya tanggap yang cepat terhadap

commit to user

tidak diinginkan; ia harus mendasarkan pada informasi dan ide-ide yang dimiliki para anggotanya; dan untuk menjalankan akivitasnya, ia secara internal dan eksternal harus berkolaborasi dalan sebuah sistem networks untuk berbagi keahlian dan informasi. Di sini, organisasi dituntut untuk belajar dari berbagai pengalaman yang telah dihadapi sehingga organisasi tidak akan terjebak dalam masalah atau keadaan yang sama. Organisasi juga dituntut untuk menggali berbagai kekuatan dan kelemahan yang dimiliki sehingga organisasi dapat membuat keputusan yang cepat dan tepat.

c. Bekerja dalam waktu yang jelas dan nyata melalui networks (social capital ). Ciri-ciri networks yang dapat meningkatkan kapasitas organisasi adalah: para anggota networks harus didorong untuk berani berbagi dengan anggota yang lain dan para anggota networks harus memiliki kapasitas untuk berkontribusi. Ada tiga jenis networks yang dapat dilakukan di dalam social capital, yaitu: (1) bonding social capital yang melihat interaksi internal dalam diri paguyuban atau organisasi PKL dalam mengelola, mengorganisasi dan menata dirinya. (2) bridging social capital yang melihat interaksi antara PKL dan kelompok non-PKL tetapi bukan pemerintah. (3) linking social capital yang melihat interaksi antara PKL dan pemerintah. Dalam konteks community governance untuk resolusi konflik, bridging social capital bahkan berperan penting untuk memperkuat dan memperbaiki

commit to user

network seperti ini bisa menjadi kekuatan penekan bagi dominasi state yang pro status quo untuk melakukan perubahan-perubahan. Dalam unsur ketiga ini, organisasi harus memiliki jaringan komunisasi yang terbangun diantara para anggotanya dengan percaya satu sama lain dan berbagi pengetahuan-pengetahuan dan hal-hal yang belum diketahui satu sama lain. Para anggota dapat bekerja dengan cara-cara yang kooperatif dalam suatu networks sebagaimana yang diperlukan dalam sistem yang sangat kompleks.

d. Kesediaan berbagi peran diantara keanekaragaman pelaku/stakeholder sebagai sumber daya manusia dan sumber daya non-manusia lainnya yang tersedia. Kesedian berbagai peran tidak luput dari pengaruh network yang ada di dalam organisasi. Network dalam organisasi dapat digunakan oleh anggota organisasi untuk berbagi informasi, pengetahuan maupun hal-hal yang belum diketahui satu sama lain.

e. Terselenggaranya distribusi intelegensia untuk memecahkan masalah bersama. Distribusi intelegensia menuntut kesediaan berbagi informasi dan komunikasi terbuka diantara anggota organisasi. Kedua hal tersebut yang menjamin transparansi, responsivitas dan akuntabilitas satu sama lain dan adaptasi terhadap situasi lingkungan yang uncertain dan kompleks. Organisasi memiliki kemampuan untuk mengumpulkan informasi dari lingkungan sebagai dasar pengambilan

commit to user

yang terjadi melalui strategi yang dibangunnya.

Dari batasan-batasan community governance di atas, Innes & Booher (Sudarmo, 2008: 104) menjelaskan bahwa untuk melihat bagaimana community governance , perlu juga melihat komunitas dari:

a. Kualitas yang dimiliki oleh anggota yang membentuk komunitasnya. Perubahan di setiap tingkatan kolaborasi suatu networks system tergantung pada kapasitas individu karena inteligensia sistem yang adaptif dan kompleks tergantung pada kapasitas yang dimiliki individu dalam komunitas. Individu yang memiliki kapasitas besar akan mampu melihat perannya dalam sebuah sistem yang lebih besar dan melihat implikasi-implikasi tindakannya daripada hanya berfokus pada tugas-tugas atau masalah yang sedang dihadapi. Individu yang memiliki kapasitas mampu melakukan hal ini karena ia mau belajar dan menyerap berbagai macam infomasi yang diberikan kepadanya. Individu yang memiliki kapasitas juga dapat bekerja dengan baik bersama orang lain karena kolaborasi atau kerjasama tersebut memperluas kekuasan atau kekuatannya.; ia juga dapat melakukan inisiatif dan mampu memberikan kepemimpinan melalui visi, kemampuan untuk melakukan inspirasi dan membantu orang lain untuk mengembangkan kapasitas mereka (Innes & Booher dalam Sudarmo, 2008: 104).

commit to user

memiliki kapasitas tidak berlandaskan pada struktur hirarkis, aturan dan prosedur yang kaku dan mekanistik dalam pembuatan suatu keputusan. Organisai yang memiliki kapasitas harus dengan cepat merespon suatu perubahan yang cepat dan sulit diantisipasi. Untuk itu, organisasi harus mendasarkan pada informasi dan ide-ide dari para anggotanya. Selain itu, organisasi harus melakukan kolaborasi atau kerjasama dalam berbagi keahlian dan informasi kepada para anggotanya ketika melakukan aktivitasnya. Dengan demikian, terdapat jaringan organisasi sehingga terbentuk suatu kepercayaan antara anggota-anggota organisasi dengan organisasi itu sendiri. Dengan adanya kapasitas, organisasi dapat mengumpulakan informasi dari lingkungan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang terjadi melalui strategi yang dibangunnya (Innes & Booher dalam Sudarmo, 2008: 104-105).

Untuk dapat meningkatkan kapasitas sebagai community governance , Bowles & Gintis (Sudarmo, 2008: 110) mengajukan sejumlah usulan agar komunitas mampu melakukan governance, diantaranya adalah:

a. Pertama, para angota komunitas seharusnya memproduksi sendiri hasil-hasil kesuksesan dan kegagalan-kegagalan yang mereka hasilkan dalam memecahkan masalah kolektif yang mereka hadapi.

b. Kedua, komunitas yang bekerja dengan baik memerlukan lingkungan hukum dan pemerintahan yang mendukung komunitas agar bisa

commit to user

bukanlah substitusi tetapi saling melengkapi.

c. Ketiga, perlu ditegakkannya etika liberal tentang perlakuan yang sama

dan penegakan kebijakan-kebijakan anti diskriminasi.