Resolusi Konflik-Community Governance dalam Penyelesaian Konflik antara PKL Bermobil dengan Pedagang di Kawasan Pasar Klewer

2. Resolusi Konflik-Community Governance dalam Penyelesaian Konflik antara PKL Bermobil dengan Pedagang di Kawasan Pasar Klewer

Konflik antara PKL bermobil dan pedagang di kawasan pasar Klewer sudah terjadi selama 9 tahun dan sampai sekarang belum menemukan solusi. Di dalam penelitian ini, penulis akan mencoba melakukan analisis dengan menggunakan metode resolusi konflik berbasis community governance dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di kawasan pasar Klewer. Kriteria atau dimensi yang digunakan untuk melihat potensi dari penerapan resolusi konflik berbasis community governance adalah berdasarkan teori dari Sudarmo (2008: 104), yaitu:

a. Proses informal sosial

b. Kemauan belajar dari organisasi

c. Bekerja dalam network (social capital)

d. Interaksi human capital & sumber daya organisasi

e. Distribusi intelegensia dalam mengatasi masalah free-rider

commit to user

mengenai penerapan resolusi konflik berbasis community governance dalam penyelesaian konflik yang terjadi di kawasan pasar Klewer adalah sebagai berikut:

a. Proses informal sosial

Proses informal sosial di sini merupakan proses dimana organisasi atau komunitas mengorganisasi dirinya sendiri, mengorganisasi anggota-anggota organisasinya. Proses ini sangat penting dan diperlukan oleh setiap organisasi informal untuk dapat mempertahankan organisasinya. Setiap komunitas atau organisasi memiliki proses informal sosial yang berbeda. Hal ini dapat disesuaikan oleh berbagai latar belakang dan budaya anggota organisasi maupun lingkungan dimana organisasi atau komunitas itu tinggal. Begitu pula dengan komunitas PKL bermobil, HPPK maupun HPTPPK.

Proses informal sosial yang dilakukan oleh HPTPPK, HPPK maupun komunitas PKL bermobil dilakukan dengan mengelola anggota-anggota organisasinya terlebih dahulu. Pengorganisasian ini dilakukan dengan menyamakan kepentingan anggota organisasi dengan visi, misi dan kepentingan dari organisasi atau komunitas tersebut. Pembentukan organisasi atau komunitas yang memiliki visi, misi dan kepentingan yang sama dengan anggota organisasi akan memberikan kemudahan bagi organisasi untuk mengelola anggota-anggotanya.

commit to user

dalam hal visi, misi dan kepentingan tidak akan dipengaruhi oleh berbagai latar belakang dan budaya yang membentuk organisasi atau komunitas tersebut. Untuk itulah diperlukan kepentingan yang sama diantara anggota organisasi ketika akan membentuk suatu organisasi atau komunitas. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Bapak Ahmad Fathoni, yaitu:

“Kalo jenengan kembali melihat definisi dari paguyuban itu sendiri, paguyuban adalah kumpulan orang-orang yang kebetulan satu kepentingan dan mereka memang tidak ada ikatan-ikatan tertentu. Tapi memang mereka mendirikan sebuah organisasi yang disebut dengan HPTPPK sendiri itu otomatis pedagang yang berjualan di pasar Cinderamata menjadi anggota kami, seperti itu. Terbentuknya HPTPPK ini karena pedagang pasar Cinderamata memang mempunyai kepentingan yang sama yaitu beraktivitas dan berdagang di pasar Cinderamata. Karena memiliki kepentingan yang sama itulah kemudian mendirikan sebuah organisasi yang disebut dengan HPTPPK .” (wawancara 1 Agustus 2012)

Komunitas pedagang pasar Cinderamata atau yang lebih dikenal sebagai HPTPPK hanya mengelola kepentingan yang sifatnya sama yaitu kepentingan untuk beraktivitas dan melakukan perdagangan di area pasar Cinderamata. Sedangkan kepentingan yang sifatnya hak asasi, seperti agama, partai dan yang lainnya, komunitas ini tidak ikut campur. Komunitas ini juga berusaha untuk melakukan pendampingan terhadap kepentingan-kepentingan pedagang pasar Cinderamata atas kebijakan Pemkot Surakarta yang terkadang tidak berpihak pada pedagang pasar. HPTPPK menjadi wadah bagi pedagang pasar Cinderamata untuk menyuarakan aspirasinya terhadap kebijakan

commit to user

merugikan pedagang pasar Cinderamata maka HPTPPK akan berjuang untuk mendapatkan keadilan dan akan menggugat Pemkot Suarakarta. Seperti halnya kasus yang sedang dihadapi oleh pedagang pasar Cinderamata dengan keberadaaan PKL bermobil. HPTPPK berusaha menyuarakan aspirasinya kepada Pemkot Surakarta untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan terhadap keberadaan PKL bermobil yang dianggap merugikan mereka. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Bapak Ahmad Fathoni:

“ya, tadi saya mengatakan bahwa organisasi ini berdiri karena mempunyai satu kepentingan yang sama, diantaranya adalah

sama-sama berdagang di pasar Cinderamata. Nah, terkait dengan ini ya himpunan hanya mengelola kepentingan-kepentingan yang sifatnya sama. Kalo yang terkait di luar kepentingan itu yo tidak kan. Seperti seumpamanya partai, agama, dsb kami tidak bisa mempermasalahkan itu. Siapapun dan agamanya apapun kalo kita berdagang ya melebur saja, kita masuk ke organisasi itu ke himpunan itu dalam rangka membela. Jadi, secara umum berdirinya himpunan itu untuk mendampingi atau memberikan dampingan kepada kepentingan-kepentinagn mereka atas kebijakan Pemerintah Kota Solo yang kadang-kadang tidak berpihak kepada pedagang, untuk itu sebenarnya. Nah, dari niatan ini kemudian apabila ada kebijakan yang salah atau tidak berpihak, kami kemudian menggugat, meminta, kayak termasuk ada pelanggaran PKL bermobil melakukan transaksi jual-beli di mobil, itu kan pelanggaran. Kami mengetahui bahwa mereka sebenarnya gak boleh, kami minta kepada Pemerintah Kota. “kae nglanggar lho, ditegur, gak boleh dia melakukan transaksi seperti itu ”, misalnya seperti itu. Nah, sebenarnya ini kan kepentingan pedagang secara keseluruhan bukan kepentingan himpunan tapi karena kepentingan yang sama ini, karena kita itu memang mendampingi hak-hak mereka, kami kemudian menyuarakan itu. Kami melakukan upaya pendampingan untuk kepentingan pedagang pasar Cinderamata. ” (wawancara 1 Agustus 2012)

commit to user

himpunan pasar Klewer atau HPPK tidak menyurutkan sikap toleransi, solidaritas dan saling menghormati diantara para anggota himpunan. Dengan adanya sikap-sikap tersebut, berbagai perbedaan yang ada tidak menyebabkan suatu permusuhan atau adanya suatu kesenjangan, tetapi dengan adanya berbagai perbedaan ini menjadi sebuah keunikan yang dimiliki oleh organisasi. HPPK juga melakukan berbagai pendekatan dan mengakomodir berbagai perbedaan diantara anggota organisasi untuk menciptakan kerukunan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Bapak Kusbani, yaitu:

“ya pertama kita lakukan pendekatan dulu, sebagai pengurus kita melakukan pendekatan dengan etnis cina, etnis jawa, etnis arab, ya ini keunikannya di sini. Jadi keunikan klewer tanpa adanya konflik seperti itu, ada kerukunannya. Lha ini kita sebagai himpunannya mengakomodir itu, penyerapan itu dengan hati-hati. Itukan sampai ke agama, misalkan agama hindu itu kan ada kegiatan atau acaranya masing-masing, yang nasrani ada kelompoknya sendiri, ini selalu kita akomodir. ” (wawancara 2 Agustus 2012)

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti terhadap PKL bermobil, PKL bermobil pada dasarnya tidak memiliki komunitas resmi yang dapat menaungi mereka, seperti halnya HPPK atau HPTPPK. Mereka cenderung untuk berdiri sendiri-sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Bapak Ahmad Fathoni selaku Sekertaris dari HPTPPK:

“g ada mbak. Dulu pernah ada, tapi pecah mereka. Dulu itu namanya P4CS, Paguyuban Pedagang Pekalongan Pasar

commit to user

(wawancara 1 Agustus 2012) Meskipun demikian, PKL bermobil yang berasal dari berbagai

daerah di luar Surakarta ini mempunyai kepentingan yang sama yaitu ingin berdagang di kawasan pasar Klewer. Meski tidak memiliki suatu komunitas resmi namun jika mereka mempunyai kepentingan yang sama, mereka dapat disebut sebagai sebuah komunitas. Selain memiliki kepentingan yang sama antara PKL yang satu dengan PKL yang lain, PKL-PKL bermobil ini juga melakukan aktivitas atau kegiatannya dalam satu tempat yang sama yakni area parkir pasar Cinderamata atau lahan parkir Alun-alun Utara Keraton Surakarta.

Tidak adanya komunitas yang resmi dan tidak adanya suatu kepengurusan, tidak menyebabkan PKL-PKL bermobil ini tidak terorganisisr. Mereka juga memiliki komunikasi dan solidaritas tinggi diantara para PKL bermobil. Ini dapat dibuktikan dengan adanya keakraban yang terjalin diantara para PKL ketika mereka sedang menunggu konsumen atau pembeli. Meskipun mereka berdiri sendiri tetapi mereka tetap saling membantu dengan cara saling meminjamkan barang. Apabila barang dagangan yang dimiliki oleh seorang PKL itu habis maka ia akan meminjam kepada rekannya yang memiliki barang dagangan yang hampir sama. Cara seperti ini digunakan untuk menghindari konflik daiantara PKL bermobil karena rebutan konsumen.

commit to user

mayoritas berasal dari Pekalongan sehingga barang yang dijual hampir sama. Selain memiliki kesamaan barang yang dijual, mereka juga berasal dari luar daerah yang rata-rata memiliki budaya yang sama yaitu Pekalongan, Jepara maupun Kudus. Dengan adanya latar belakang budaya yang hampir sama inilah yang menyebabkan mereka mudah bergaul dan menjalin keakraban satu sama lain. Latar belakang budaya yang hampir sama ini juga menyebabkan PKL bermobil mempunyai adat istiadat dan kebiasaan yang hampir sama, seperti cara bicara maupun bahasa yang digunakan. Hal-hal seperti itulah yang dapat menyebabkan komunikasi yang ada diantara para PKL bermobil ini sangat baik sehingga mereka dapat saling bertukar informasi.

Gambar 4.7

PKL bermobil di Alun-alun Utara Keraton Surakarta

Proses informal sosial yang dilakukan oleh HPPK maupun HPTPPK juga dilakukan dengan menerapkan aturan-aturan yang

commit to user

mengikat para anggotanya dan memaksa anggota untuk meematuhi peraturan itu. Peraturan-peraturan yang berlaku di dalam organisasi ini dibuat sendiri oleh pengurus organisasi berdasarkan masukan dari anggota-anggota organisasi dan telah dituangkan dalam AD/ART dari masing-masing organisasi. Pemberian sanksi juga diberikan kepada anggota organisasi yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma yang telah ditetapkan. Sanksi yang diberikan oleh pengurus HPTPPK ketika ada salah satu anggota organisasi melakukan pelanggaran adalah dengan melakukan koordinasi dengan Kepala Pasar dan Dinas Pengelola Pasar. HPTPPK akan berkoordinasi dengan kepala pasar dan DPP untuk mengambil langkah apa yang harus diambil dalam memberikan sanksi. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Bapak Ahmad Fathoni selaku Sekertaris HPTPPK:

“ya itu ada AD/ARTnya. Ada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang mengatur tentang bagaimana kepengurusan,

bagaimana masa kerja..itu ada disitu. Norma atau aturan yang berlaku itu dibentuk sendiri oleh pengurus, jadi perwakilan pedagang kan pengurus himpunan itu tadi membuat suatu aturan yang disebut AD/ART. AD/ART itu berisi tentang bagaimana kita itu menjadi pengurus, dan bagaimana kita mengelola pedagang. Terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota organisasi, nanti kita koordinasi dengan Kepala Pasar dan DPP. Kalo Kepala Pasar kan berdominisil di pasar itu, kalo DPP kan ada di pemerintahan. Nah, kalo ada pelanggaran kan biasanya terkait dengan aturan yang telah dibuat oleh Pemerintah Kota. Contoh: pasar dibuka pukul 7 sampai pukul 4, nah ternyata ada pedagang yang membuka lebih dari itu, kami atas nama himpunan kemudian koordinasi dengan kepala pasar. Pak, itu ada yang melanggar aturan. Jadi, kami hanya sekedar itu saja nanti yang menegur dan yang membuat keputusan untuk diapakan tetep

commit to user

kalau terkait administrasi termasuk mereka nginep atau tinggal atau domisili atau dia menyalahgunakan kios yang seharusnya untuk jualan digunakan untuk yang lain, itu kami melaporkan. ” (wawancara 1 Agustus 2012)

Proses informal sosial yang ada dalam HPTPPK juga ditunjukkan dengan tidak adanya struktur dan prosedur yang hirarkis ketika anggota-anggota HPTPPK ingin menyampaikan aspirasinya. Anggota organisasi hanya perlu menyampaikan aspirasi tersebut pada forum- forum organisasi seperti rapat anggota ataupun dengan menyampaikan kritik dan sarannya langsung kepada pengurus dari HPTPPK. Dengan tidak adanya struktur dan prosedur yang birokratik dan mekanistik memberikan kemudahan kepada HPTPPK sendiri untuk mengetahui keadaan dan situasi yang ada di dalam organisasi serta dapat mengontrol perilaku-perilaku anggota-anggota organisasinya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Bapak Ahma d Fathoni, yaitu”

“Peran anggota itu biasane yo mereka hanya menyampaikan „gendu-gendu rasa‟ atau perasaan-perasaan tidak puas kepada kami. Kalo anggota pengin menyampaikan „gendu-gendu rasa‟ ya langsung aja disampaikan ke kita (pengurus HPTPPK) atau pas nanti rapat anggota. Kami ini kan organisasi informal, jadi tidak harus mereka datang ke kantor dengan membawa surat resmi, proposal dan mengajukan minta pendampingan kan endak. ” (wawancara 1 Agustus 2012)

Di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dari HPPK telah diatur mengenai kewajiban dan hak dari anggota organisasi; tujuan, fungsi dan kegiatan dari himpunan; serta keanggotaan dan kepengurusan dari himpunan atau organisasi tersebut. Terkait dengan kewajiban dari anggota organisasi, setiap anggota

commit to user

dan ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh Rapat Umum Anggota (Musyawarah Anggota) dan pengurus himpunan. Selain itu, anggota himpunan berkewajiban untuk membayar uang iuran setiap bulan dan uang iuran terkait dengan kebijakan yang ditentukan berdasarkan kesepakatan dan persetujuan anggota himpunan (pasal 7 Anggaran Rumah Tangga HPPK).

Di dalam pasal 7 Anggaran Rumah Tangga HPPK tersebut telah dijelaskan mengenai kewajiban dari anggota HPPK. Kewajiban anggota organisasi terkait iuran ini merupakan sumber daya organisasi yang nantinya dimanfaatkan untuk membiayai semua aktivitas dari HPPK. Uang iuran yang rutin dibayarkan oleh anggota organisasi merupakan bentuk kemandirian HPPK dalam mencari sumber pendanaan. HPPK memanfaatkan anggota organisasi untuk mendapatkan sumber daya non-manusia yaitu uang. Di dalam AD/ART ini juga dijelaskan mengenai pengambilan keputusan di dalam HPPK. Pada pasal 23, pengambilan keputusan yang dilakukan oleh HPPK adalah dengan cara musyawarah untuk mufakat. Cara ini dilakukan untuk menstimulus anggota organisasi untuk menyampaikan pendapatnya. Hal ini merupakan salah satu proses informal sosial dalam hal memanfaatkan sumber daya organisasi yang dilakukan oleh HPPK.

commit to user

Untuk dapat melakukan pendekatan community governance, suatu organisasi atau komunitas harus mampu belajar dari pengalaman sebelumnya. Pengalaman-pengalaman itu nantinya akan digunakan oleh organisasi untuk mengantisipasi hal-hal yang akan terjadi di masa yang akan datang. Kemampuan belajar dari pengalaman tidak hanya berasal dari pengalaman yang dialami sendiri oleh organisasi melainkan juga pengalaman yang dialami oleh organisasi lain. Hal ini yang dilakukan oleh Himpunan Pedagang Pasar Klewer ketika melakukan network dengan organisasi lain. Dalam melakukan network ini, HPPK belajar dari pengalaman organisasi lain. HPPK menjadikan pengalaman dari organisasi lain untuk nantinya dikoreksi dan dijadikan bahan evaluasi dalam mengambil keputusan sehingga ketika HPPK dihadapkan pada masalah yang sama, HPPK sudah mempunyai antisipasi. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Kusbani, yaitu:

“ya saling kita koreksi seperti adanya pasar-pasar yang telah dibangun itu ternyata bisa memetik pengalaman itu. Misalkan dari pasar-pasar yang telah dibangun Pemkot, itu tidak sesuai dengan yang dikehendaki pedagang, try out ya. Lha Pemkot memaksa

“pokoke tak bangunke sing koyo ngene”, ternyata tidak sesuai yang diharapkan oleh pedagang. Lha ini, pengalaman-pengalaman seperti ini. Kedua, mengetahui bagaimana pangsa pasar itu diantara pangsa pasar yang lain itu ternyata berbeda sekali. Ini yang dapat menjadi pengalaman-pengalaman. ” (wawancara 2 Agustus 2012)

Kemauan belajar dari HPTPPK ketika dihadapkan pada suatu persoalan juga diperlihatkan ketika Ketua HPTPPK sudah tidak lagi

commit to user

persoalan yang sedang dihadapi oleh himpunan ini. Menghadapi situasi seperti itu, Sekertaris HPTPPK langsung mengambil alih pengambilan keputusan ketika menghadapi suatu persoalan yang membutuhkan penanganan secara cepat. Banyak kebijakan-kebijakan yang langsung diambil oleh Bapak Ahmad Fathoni ketika Ketua dari HPTPPK sendiri lebih fokus menjadi pengurus KPPK (Komunitas Pedagang Pasar Klewer). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Fathoni:

“ketua HPTPPK itu sekarang menjadi pengurus KPPK, ketua kami sibuk disana, kayak vakum gitu lho, akhir-akhir ini. Banyak kebijakan-kebijakan yang langsung saya ambil alih. ” (wawancara

1 Agustus 2012) Terkait dengan kemauan belajar yang dimiliki oleh PKL bermobil

dalam usaha untuk dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi terutama persoalan dengan pedagang di kawasan pasar Klewer ini, PKL bermobil cenderung memilih untuk tidak menanggapi permasalahan yang ada dan memilih untuk tidak peduli. PKL bermobil memilih bersikap acuh terhadap berbagai protes dan keluhan dari pedagang pasar dan memilih untuk tetap melakukan jual- beli di lahan parkir kawasan pasar Klewer. PKL bermobil juga lebih memilih untuk kucing-kucingan dengan Satpol PP dan satpam pasar dalam menjajakan barang dagangannya. Mereka tidak ambil pusing dan tidak terlalu memikirkan dampak dari aktivitas yang mereka lakukan. Hal ini diakui oleh salah satu PKL bermobil asal Pekalongan yaitu Batik Najwa yang menyatakan bahwa:

commit to user

“ndak, ndak, ndak pernah ambil pusing ngono ora. Kan pancen pengen dodol tok ning kene, kan banyak mbak, kan gampang mbak nemui wong/pedagang dari luar seperti dari Bali, dari Surabaya. Kalo di luar kan banyak yang beli, yang belanja dari luar kan banyak mbak. Yang protes sih tetep ada, yang protes terutama dari dalem. Ya kita secara kepala dingin aja, ndak usah marah-marah, saya juga memaklumi dari sana, kita harus mengambil sikap yang bijak. Dilihat, kalo sini gak jualan kan orang-orang pasti larinya ke sana tapi kan setelah ada yang jualan di sini kan orangnya ndak langsung ke sana, ke sini dulu.

Masalahe kasihan sono ik yo.” (wawancara 17 September 2012) Bagi PKL bermobil, apa yang mereka lakukan tersebut tidak

melanggar peraturan karena bagi PKL bermobil, mereka hanya melakukan bongkar muat barang yang akan dikirim ke pasar Klewer dan pasar Cinderamata. Dan PKL bermobil hanya menjual dagangan karena pembeli atau bakul tersebut memang memilih untuk mengambil barang dari mereka. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari PKL bermobil asal Pekalongan, yaitu:

“kita kan di sini cuma bongkar muat barang dagangan yang nantinya akan kita kirim ke dalam pasar. Pembeli juga lebih memilih untuk membeli di sini ketimban g di dalam pasar.” (joglosemar.com, 7 Agustus 2012)

Aspek kedua dari community governance ini tidak diterapkan oleh PKL bermobil karena komunitas ini kurang responsif dan tidak tanggap terhadap persoalan yang sedang membelitnya. Komunitas PKL bermobil ini lebih memilih untuk mengabaikan dan tidak peduli terhadap konflik yang sedang dihadapi. Hal inilah yang menyebabkan konflik di kawasan pasar Klewer sampai saat ini belum menemukan solusi. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Batik Najwa yang merupakan PKL bermobil asal Pekalongan yang mengatakan bahwa:

commit to user

“ndak, ndak, ndak pernah ambil pusing ngono ora. Kan pancen pengen dodol tok ning kene. Yang protes sih tetep ada, yang protes terutama dari dalem. Ya kita secara kepala dingin aja, ndak usah marah-marah, saya juga memaklumi dari sana, kita harus

mengambil sikap yang bijak.” (wawancara 17 September 2012) Unsur kedua dalam community governance yaitu kemauan belajar

dari organisasi tidak dapat diterapkan oleh PKL bermobil karena para PKL bermobil tidak berusaha untuk menggali kekuatan dan kelemahan yang dimiliki untuk dapat membuat suatu keputusan ketika mereka menghadapi situasi yang kompleks dan uncertain. Selain itu, kemauan belajar juga belum sepenuhnya ditunjukkan oleh HPPK maupun HPTPPK ketika dihadapkan pada persoalan dengan PKL bermobil. Konflik yang terjadi di kawasan pasar Klewer ini sudah terjadi lebih dari 9 tahun dan selama kurun waktu itu, HPPK maupun HPTPPK tidak berusaha untuk menyelesaikan persoalan ini sendiri. HPPK dan HPTPPK lebih cenderung untuk menyerahkan semua penyelesaian konflik ini kepada Pemerintah Kota Surakarta. Mereka tidak mencoba untuk melakukan dialog dengan PKL bermobil untuk mencari solusi terbaik tetapi mereka justru ingin agar PKL bermobil disterilkan atau ditertibkan. Ini sesuai dengan pendapat dari Bapak Ahmad Fathoni, yang mengatkan bahwa:

“tidak ada kesepakatan untuk hal yang melanggar aturan. Mereka kan melanggar aturan, aturan yang dilanggar itu Perda No 1

Tahun 2010 tentang pengelolaan dan perlindungan pasar tradisional. Yang kedua, Perda No 7 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan tempat khusus parkir, kemudian Undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Sekarang tinggal bagaimana Pemkot Surakarta, DPP, UPTD

commit to user

Agustus 2012)

c. Bekerja dalam network (social capital)

Network merupakan salah satu aspek penting dalam kaitannya dengan community governance. Dengan adanya network yang terjalin, maka komunitas akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi. Network juga menjadi salah satu sarana untuk melakukan koreksi dan evaluasi terhadap permasalahan-permaslahan yang terjadi di luar sana. Selain itu, dengan adanya network ini, komunitas atau organisasi dapat lebih siap dalam menghadapi perubahan iklim pasar dan dapat mengetahui pekembangan iklim pasar sekarang ini. Untuk itulah network sangat diperlukan oleh komunitas atau organisasi, begitu pula dengan HPPK, HPTPPK maupun komunitas PKL bermobil. Bapak Kusbani menuturkan bahwa:

“Manfaat dari network itu ya kita dapat saling koreksi, seperti adanya pasar-pasar yang telah dibangun itu, ternyata kita bisa memetik dari pengalaman itu. Misalkan dari pasar-pasar yang telah dibangun Pemkot, itu tidak sesuai dengan yang dikehendaki pedagang, try out ya. Lha P emkot memaksa “pokoke tak bangunke sing koyo ngene”, ternyata tidak sesuai yang diharapkan oleh pedagang. Lha ini, pengalaman-pengalaman seperti ini dapat kita pelajari. Kedua, kita dapat mengetahui bagaimana pangsa pasar. Pangsa pasar itukan berbeda antara pangsa pasar yang satu dengan pangsa pasar yang lain, ternyata itu berbeda sekali. Inilah yang dapat menjadi pengalaman- pengalaman. ” (wawancara 2 Agustus2012)

Dalam melakukan network atau jaringan kerja ini, HPPK dan HPTPPK menggunakan istilah silaturahmi. Hal ini dikarenakan mayoritas pedagang yang ada di kawasan pasar Klewer ini beragama

commit to user

dilakukan oleh HPPK maupun HPTTPK ini tidak hanya di dalam paguyuban (bonding social capital) saja, tetapi HPPK dan HPTPPK juga bersilatuhmi dengan sesama paguyuban PKL (bridging social capital ) maupun kerjasama atau silaturahmi dengan Pemerintah Kota Surakarta sendiri atau disebut dengan linking social capital. Berikut ini merupakan penjelasan lebih rinci.

Himpunan Pedagang Pasar Klewer melakukan bonding social capital , bridging social capital dan linking social capital dalam kaitannya dengan network yang dilakukan. HPPK melakukan bonding social capital dengan melakukan proses informal sosial seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. HPPK mengorganisasi dirinya secara informal dengan cara mengelola anggota-anggota organisasinya, membuat peraturan dan norma-norma yang berlaku di HPPK, menerapkan sanksi-sanksi apabila ada anggota himpunan yang melakukan pelanggaran dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki oleh himpunan tersebut. Bridging social capital yang dilakukan oleh HPPK adalah dengan melakukan kerjasama atau silaturahmi dengan paguyuban atau komunitas pedagang pasar lain, seperti HPTPPK maupun komunitas pasar yang lain. HPPK juga bekerja sama dengan berbagai ormas-ormas yang ada di Surakarta. Sedangkan dalam melakukan linking social capital, HPPK melakukan network dengan Pemerintah dan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

commit to user

pembatasan network sehingga organisasi ini dapat bekerjasama dengan siapa saja. Hal ini seperti yang telah diungkapkan oleh Bapak Kusbani selaku perwakilan dari HPPK:

“semua lini kita lakukan, itu ke politik, bisa ke ormas-ormas. Politik ya ke anggota-anggota dewan, kita juga kerjasama dengan

ormas, dengan partai yang dinaungi juga. Jadi kita pendekatan ke sana. Kita juga ada komunikasi diantara anggota kita sendiri, ke paguyuban yang lain, ini selalu ada. HPPK tidak melakukan pembatasan network, kita buka seluas-luasnya. ” (wawancara 2 Agustus 2012)

Hampir sama dengan HPPK, Himpunan Pedagang Taman Parkir Pasar Klewer atau HPTPPK juga melakukan network dengan berbagai pihak. Selain melakukan interaksi internal dalam himpunan (bonding social capital ) dengan melakukan proses informal sosial, HPTPPK juga melakukan bridging social capital dengan paguyuban atau komunitas lain, seperti Papatsuta atau Pasamuan Paguyupan Pasar Tradisional Kota Surakarta. Papatsuta merupakan suatu paguyuban yang menaungi paguyuban-paguyuban pasar yang ada di seluruh Kota Surakarta. Di dalam Papatsuta ini terdapat 43 paguyuban pasar yang bergabung, dan salah satunya adalah HPTPPK. Sedangkan linking social capital yang dilakukan oleh HPTPPK adalah dengan melakukan jaringan kerja dengan Pemerintah Kota Surakarta, salah satunya adalah Dinas Pengelola Pasar (DPP) Kota Surakarta. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ahmad Fathoni:

commit to user

“HPTPPK itu punya jaringan paguyuban-paguyuban ke seluruh paguyuban pasar yang ada di Kota Solo yang berjumlah 43 pasar, yang tergabung dalam Papatsuta. Papatsuta itu Pasamuan Paguyupan Pasar Tradisional Kota Surakarta. Papatsuta ini merupakan sebuah paguyuban lagi yang mengayomi pasar-pasar tradisional tapi perwakilan dari paguyuban. Di Nusukan ada paguyuban di sana, itu juga teman kami, di Kleco juga ada paguyuban juga di sana itu teman kami. Nah orang-orang yang ada di paguyuban-paguyuban ini kemudian diwadahi satu wadah organisasi yang namanya Papatsuta itu. ” (wawancara 1 Agustus 2012)

Dengan adanya jaringan kerja yang dilakukan oleh HPTPPK ini, Papatsuta memberikan pendampingan kepada HPTPPK dalam menangani masalah yang sedang dihadapi oleh HPTPPK. Pendampingan yang dilakukan oleh Papatsuta ini dapat dicontohkan seperti ikut menyuarakan atau mendesak Pemerintah Kota Surakarta untuk melakukan penertiban. Selain itu, pendampingan yang dilakukan oleh Papatsuta dapat dilakukan dengan cara memasukkan persoalan yang sedang dihadapi oleh peagang pasar Cinderamata ke berbagai media massa. Seperti yang diungkapkan oleh perwakilan dari HPTPPK:

“Itu, tadi yo seumpama kalo seandainya persoalan PKL bermobil tidak bisa diselesaikan oleh paguyuban tingkat pasar, itu biasanya kami minta kepada Papatsuta untuk ikut menyuarakan atau mendesak Pemerintah Kota Surakarta untuk mentertibkan, biasanya dengan cara seperti itu. Jadi, tidak beda juga dengan...ya itu, network kami/jaringan kerja kami ya itu. Jadi kalo kami merasa tidak punya power, powernya kayak masih dianggap remeh oleh Pemerintah Kota ketika mendampingi kepentingan pedagang begitu, nanti kami merapat ke Papatsuta. Nanti Papatsuta melakukan pendampingan kepada kami melalui, biasanya dengan cara memasukkan persoalan kami ke berita media, kemudian kita akan berbondong-bondong ke DPP atau kemudian mengkoordinasi pedagang untuk berdemo. Seperti itu. ”( wawancara 1 Agustus 2012)

commit to user

HPTPPK ketika HPTPPK menghadapi persoalan dengan P3C (Paguyuban Pedagang Pasar Cinderamata). Persoalan ini terjadi sebelum adanya konflik dengan PKL bermobil. Masalah ini terjadi akibat P3C yang merupakan paguyuban baru memiliki kepentingan untuk membangun kios baru yang nantinya akan dijual. Akan tetapi, HPTPPK dan pedagang-pedagang pasar Cinderamata melakukan penolakan terhadap rencana tersebut. Di sinilah peran Papatsuta dalam melakukan pendampingan terhadap HPTPPK. hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ahmad Fathoni:

“Jadi, persoalan pasar Cinderamata dari dulu tidak hanya satu terkait dengan PKL bermobil itu. Dulu pada zaman Pak Darmo masih S2, di sini sedang gencar-gencarnya pro-kontra pembangunan. Jadi di sini dulu mau dibangun lagi. Tiba-tiba saja dulu ada paguyuban baru, namanya P3C, kepentingan mereka itu hanya untuk bisa membangun kios baru untuk kemudian dijual. Kemudian HPTPPK dan pedagang yang lain itu tidak mau atau menolak keinginan itu padahal pada waktu itu sudah mendapat izin dari Pemerintah Kota. Tapi karena ada penolakan dari pedagang, tapi penolakan dari pedagang itu yo tidak begitu saja direspon oleh Pemerintah Kota, kami menggunakan cara-cara demo, kemudian ke media massa, kemudian kami minta bantuan ke Papatsuta. Papatsuta mendatangkan tokoh-tokoh, orang-orang yang punya power. Cara-cara seperti itulah yang kami gunakan. ” (wawancara 1 Agustus 2012)

Terkait konflik yang terjadi sekarang ini, Papatsuta juga sudah melakukan pendampingan kepada himpunan pasar Cinderamata ini. Pendampingan yang dilakukan adalah dengan cara mengekspos atau memasukkan persoalan yang sedang dihadapi oleh HPTPPK ke media massa. Selain itu, Papatsuta juga ikut menyuarakan aspirasi pedagang

commit to user

diungkapkan oleh Bapak Ahmad Fathoni berikut ini:

“Oh, sudah, sudah. Tapi pada waktu itu, Papatsuta hanya mengekspos PKL bermobil ke media Solopos dan Joglo Semar. Dan tindak lanjutnya adalah….kebetulan saya masuk menjadi tim

11, tim itu yang godok Raperda Pasar tahun 2010 dan DPRD Kota Surakarta itu juga melibatkan Papatsuta, diantaranya saya yang ikut menyuarakan bagaimana caranya di lingkungan pasar Klewer maupun pasar Cinderamata steril dari PKL bermobil. Dulu menyuarakan di dewan, di kantor dewan. ” (wawancara 1 Agustus 2012)

Sedangkan network yang dilakukan oleh PKL bermobil adalah dengan melakukan jaringan kerja dengan sesama PKL bermobil atau bonding social capital . PKL bermobil tidak hanya melakukan jaringan kerja dengan PKL yang satu wilayah dengan mereka tetapi mereka juga saling bekerjasama dengan PKL yang berasal dari daerah lain. PKL bermobil yang berasal dari Pekalongan juga bekerjasama dengan PKL dari daerah lain seperti PKL dari Jepara, Kudus maupun dari Pemalang. Dengan adanya jaringan kerja yang dilakukan oleh PKL bermobil, informasi yang diperolah antara satu PKL dengan PKL yang lain akan cepat sampai. Mereka dapat saling bertukar informasi melalui handphone maupun ketika mereka sedang bercakap-cakap biasa. Dengan adanya network ini, PKL bermobil dapat saling memberikan informasi ketika Pemkot Surakarta bersama satpam pasar sedang melakukan penertiban. Mereka akan memberitahu teman-teman PKL yang lain melalui handphone apabila Satpol PP dan satpam pasar

commit to user

tersebut, PKL-PKL bermobil yang lain akan segera menutup dagangan mereka.

Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh penulis, setiap PKL bermobil mempunyai stiker yang berlogo AM. Stiker ini digunakan oleh PKL bermobil untuk memudahkan mereka dalam melakukan transaksi jual-beli. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Batik Najwa, salah satu PKL bermobil:

“Setiap pedagang punya stiker AM. Itu fungsinya, yo misal kalo polisi paling nanti dimintain, cuma periksa. Kalo sudah ada AM, kalo sudah seperti itu kan nanti ngasih uang 10 ribu-20 ribu nanti mereka kan pasti nawar. Saya ndak tahu mabak AM kui opo, wong saya bukan yang punya mobil, saya cuma ikut-ikutan tok pake stiker AM. Pokoknya untuk mempermudahkan, kalo ada AM itu kayak ada stimunonya gitu mbak. Kalo pake itu

insyaAllah akeh slamete.” (wawancara 17 September 2012)

Gambar 4.8

Mobil yang menggunakan Stiker AM

commit to user

capital ), pihak-pihak yang berkonflik baik itu HPPK, HPTPPK maupun PKL bermobil telah melakukan berbagai jaringan kerja (network) baik itu bonding social capital, bridging social capital maupun linking social capital . Namun demikian, untuk dapat menerapkan metode community governance ini diperlukan kerjasama atau network diantara pihak-pihak yang berkonflik. Hal ini bertujuan agar network yang terjalin diantara HPPK, HPTPPK maupun PKL bermobil dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk saling memahami dan mengetahui hal-hal yang menjadi permasalahan. Dengan adanya network ini, pihak-pihak yang berkonflik dapat duduk bersama dan bersama-sama mencari jalan keluar atau solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.

Dalam kenyataannya, pihak-pihak yang berkonflik tidak mau melakukan kerjasama atau network untuk menyelesaikan konflik di kawasan pasar Klewer ini. HPPK dan HPTPPK lebih cenderung untuk menyerahkan semua penyelesaian konflik ini kepada Pemerintah Kota Surakarta. Mereka menganggap bahwa Pemkot Surakartalah yang paling bertanggungjawab dan dapat menyelesaikan konflik ini. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Bapak Kusbani, yaitu:

“yang dapat menyelesaikan konflik ini Walikota, harus, harus berani. Makanya kan saya minta keberanian Walikota seperti apa. Selain itu, saya juga minta ketegasan Pemerintah dalam penegakan aturan, perda-perda yang harus ditegakkan. Sudah ada perda, sudah ada kesepakatan, itu tinggal...umpamanya taman

commit to user

menertibkan mereka, kalo memang mobil itu untuk dagang ya harus di luar taman parkir. ” (wawancara 2 Agustus 2012)

Sedangkan PKL bermobil lebih memilih untuk bersikap acuh dan beranggapan bahwa mereka tidak mengganggu aktivitas pedagang pasar. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Batik Najwa yang mengatakan bahwa:

“ndak, ndak, ndak pernah ambil pusing ngono ora. Kan pancen pengen dodol tok ning kene, kan banyak mbak, kan gampang mbak nemui wong/pedagang dari luar seperti dari Bali, dari Surabaya. Kalo di dalem kan gak mungkin ketemu orang-orang dari luar kota kan ndak, kayak jemput bola gitu lho mbak, malah pada ngoyak ke sini. Kan kita gak usah ngirim ke luar nanti kan lama-kelamaan tahu nomer hp saya kan nanti langsung dikirim. Kalo sudah transfer baru dikirim barangnya, kalo di sana kan orang solonya aja. Kalo di luar kan banyak yang beli, yang belanja dari luar kan banyak mbak. Yang protes sih tetep ada, yang protes terutama dari dalem. Ya kita secara kepala dingin aja, ndak usah marah-marah, saya juga memaklumi dari sana, kita harus mengambil sikap yang bijak. Dilihat, kalo sini gak jualan kan orang-orang pasti larinya ke sana tapi kan setelah ada yang jualan di sini kan orangnya ndak langsung ke sana, ke sini dulu. Masalahnya sih mungkin harga, padahal harganya sama, gak dibedain, misal di sini 1 juta di sana juga 1 juta. Cuma sana punya pikiran sendiri mungkin barangkali, harganya di sini lebih murah padahal ndak, 1.100.000 ya tetep 1.100.000, kita ndak beda-

bedain konsumen. Masalahe kasihan sono ik yo.” (wawancara 17 September 2012)

d. Interaksi human capital & sumber daya organisasi

Penerapan resolusi konflik berbasis community governance juga bergantung pada interaksi human capital dan sumber daya organisasi. Untuk dapat melakukan pendekatan community governance, anggota- anggota organisasi perlu berinteraksi dan saling berkomunikasi. Komunikasi ini diperlukan agar informasi yang ada di dalam organisasi

commit to user

itu, dengan adanya komunikasi dan aliran informasi yang lancar, anggota-anggota organisasi apat bergerak cepat dalam memberikan masukan maupun saran dalam menghadapi masalah organisasi.

Untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi oleh organisasi, peran serta anggota sangat dibutuhkan. Inilah yang disadari oleh komunitas pedagang pasar Cinderamata atau masyarakat lebih mengenal sebagai HPTPPK. HPTPPK sadar betul akan pentingnya peran serta dari anggota-anggota organisasi. Untuk itu, HPTPPK membuka kesempatan bagi para anggotanya untuk ikut berpartisispasi dalam menyelesaiakan konflik dengan PKL bermobil. Hal ini sesuai dengan pendapat dari perwakilan HPTPPK, Ahmad Fathoni:

“HPTPPK juga melibatkan anggotanya dalam menyelesaikan berbagai konflik yang dihadapi. Jadi biasanya begini, salah satu contoh rapat anggota, rapat paguyuban itu biasane pengurus melakukan rapat internal pengurus kemudian dari masukan- masukan pengurus-pengurus ini itu mengundang beberapa perwakilan pedagang terkait apa yang menjadi persoalan. Kayak kasus, seumpama...ini sudah mulai bersuara ini temen-temen pedagang, sudah banyak yang masuk ke saya supaya ada tindakan dari saya, dari pengurus gitu lho. Tapi saya ngomong ke mereka,

“kondisi kita itu sangat memprihatinkan, ketua paguyubannya tidak eksis, sekarang sedang bulan puasa, kalo kita kontroversial,

bentrok, dsb itu kan resikonya lebih tinggi. Akhirnya memang saya ngerem gitu lho mbak, ini sudah banyak yang bersuara. “lik carane koyo ngene iki sing dodol ra payu, dsb”. Itu kan salah satu

bentuk protes mereka sebenarnya, dan mereka minta untuk segera ditindaklanjuti. Tapi harus bagaimana kami melakukan hal itu gitu lho. Nanti kalo sudah ada suara-suara seperti ini, kami mencoba kontak dengan ketua, “pak, udah kaya gini ini gimana???” “udah pak Fathoni buat undangan, nanti kita rapatkan”. Ini dalam waktu dekat, insyaAllah kami akan

commit to user

Agustus 2012) Terkait dengan peran anggota dari HPTPPK sendiri dalam

persoalannya dengan PKL bermobil, anggota organisasi sudah menyampaikan pendapat maupun kritik-kritiknya kepada pengurus HPTPPK sendiri. Di dalam menyuarakan aspirasinya, anggota organisasi langsung menyampaikan pendapat atau masukan-masukan kepada pengurus, baik melalui rapat maupun ketika sedang kumpul- kumpul di depan kios. Anggota organisasi tidak perlu membuat proposal atau tidak perlu berhadapan dengan sistem yang birokratis ketika mereka akan menyampaikan pendapat. Mereka tinggal datang ke pengurus HPTPPK atau langsung menemui Bapak Ahmad Fathoni selaku Sekertaris HPTPPK dan mengungkapkan apa yang menjadi perhatian dan menjadi bebannya saat itu. Anggota organisasi juga dilibatkan ketika HPTPPK menyuarakan dan meminta keadilan kepada Pemerintah Kota Surakarta dengan melakukan demo dan tidak membayar retribusi kepada Pemkot Surakarta. Hal ini dilakukan agar Pemkot Surakarta mau mendengarkan aspirasi dari pedagang Cinderamata. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Bapak Ahmad Fathoni yaitu:

“Peran anggota itu biasane yo mereka hanya menyampaikan „gendu-gendu rasa‟ atau perasaan-perasaan tidak puas kepada

kami. Yang menindaklanjuti yo kami, kecuali ketika mereka dilibatkan dengan cara demo. Terkait dengan ide-ide dari anggota, ide-ide dari anggota, salah satunya ide dan informasi ya yang paling penting. Sebenarnya kan saya kalo tiap hari gak liat tho,

commit to user

isih dodolan ngono kui kie piye?”. Itu kan salah satu informasinya. Ya informan lah informan, nanti secara fisik kami libatkan untuk demo, seperti itu. Trus kemudian, saya memerintahkan mereka untuk tidak membayar retribusi, itu kan keterlibatan mereka juga. Pernah kalo seandainya saya minta gak usah bayar retribusi, yang gak bayar saya tok kan gak mungkin, tidak direspon. Tapi nek kita lakukan bareng-bareng, pemerintah

kota akan berpikir, “waduh, jumlahe sakmono akehe ra mbayar retribusi kabeh yo modar nho”, kan gitu. Akhirnya dengan melibatkan mereka secara bareng-bareng itu direspon, kelihatan ada power. ” (wawancara 1 Agustus 2012)

Kesempatan juga diberikan oleh pengurus HPPK kepada anggota organisasi untuk ikut turun tangan dalam menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi organisasi, termasuk permasalahan dengan PKL bermobil. Pengurus HPPK memberikan informasi terkait masalah- masalah yang sedang dihadapi organisasi di dalam pertemuan pedagang. Kemudian pengurus memberikan kesempatan kepada anggota untuk memberikan masukan dan saran, masukan dan saran tersebut ditampung untuk selanjutnya dijadikan pertimbangan dalam menyelesaikan masalah organisasi. Di dalam komunitas ini, keputusan yang melibatkan banyak orang dan merupakan masalah yang serius maka HPPK akan mengadakan musayawarah dengan anggota-anggota organisasi. Hal ini seperti yang diungkapkan Bapak Kusbani:

“ya kalau masalah internal, kami selesaikan di internal. Kalau eksternal, kita permasalahan apa baru nanti kita...kalau masalah

Klewer, ke eksternalnya kan gak ada permasalahan yang berarti bisa dikatakan gak ada masalah. Masalah anggota dilibatkan atau tidak, pertama kan kita menginformasikan, kita adakan pertemuan dengan anggota organisasi yang namanya pertemuan pedagang. Di situ kita informasikan dulu, lha itu menyerap kemauan

commit to user

pedagang. Bisa dibilang ini musyawarah. Ada permasalahan yang harus kita angkat ke musyawarah, ada juga masalah yang harus kita selesaikan hanya di perwakilan kepengurusan tersebut. Peran anggota ya bisa ke kritik, ke ide bisa, ke penyelesaian permasalahan, memberikan masukan. ” (wawancara 2 Agustus 2012)

Untuk menyelesaiakan berbagai persoalan yang dihadapi, HPPK lebih mengutamakan musyawarah. Untuk itulah, HPPK sering mengadakan rapat, baik rapat umum anggota, rapat umum anggota luar biasa, rapat presidium maupun rapat-rapat yang lain. Hal ini juga telah diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HPPK yang telah disahkan pada 23 Februari lalu. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bapak Kusbani:

“kalo rapat yang dilakukan pengurus harian itu seminggu sekali, kalo pengurus inti itu satu bulan sekali dan kalau semua pengurus

3 bulan sekali. Pengurus harian itu kan sekertaris, bendahara dan ketua trus yang kepengurusan inti kan yang membawahi bidang- bidang, nanti kalau sudah bidang-bidang kan lalu sub bidang. Yang kita bicarakan dalam rapat itu kan pertama, permasalahan yang ada; kedua, kondisi organisasi ini dan ketiga, permasalahan ke eksternal, bagaimana dan apa yang harus kita lakukan. ” (wawancara 2 Agustus 2012)

Sumber daya organisasi selain sumber daya manusia (SDM) juga diperlukan untuk mendukung pendekatan community governance. Sumber daya non-manusia diperlukan agar organisasi dapat membiayai kegiatan maupun aktivitasnya sendiri atau dapat dikatakan bahwa organisasi dapat mengorganisasi dirinya sendiri. Di lingkungan pasar Cinderamata sendiri, pengurus HPTPPK melakukan pengelolaan terhadap MCK dan melakukan pengelolaan terhadap kios yang akan

commit to user

pengurus HPTPPK sendiri tersebut, maka himpunan ini dapat membiayai berbagai kegiatan yang dilakukan. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Bapak Ahmad Fathoni:

“Terkait dengan pengelolaan uang himpunan juga alhamdulillah punya beberapa sumber keuangan, diantaranya kami juga

mengelola MCK (mandi, cuci, kakus), kami juga mengelola kios yang dikontrakkan. Nah, uang ini juga dikelola oleh paguyuban secara transparan tetapi uangnya ada di bendahara. Terkait dengan penggunaan uang ini, yo tadi untuk kepentingan himpunan dan pedagang. Kayak, seumpama contoh, besok mau ada acara buka bersama yo sumbernya dari uang itu. Cuma yang jadi persoalan, kan kita sudah, tadi kan saya sudah ngomong, kami masa kerja kami kan sudah habis, seharusnya kalo masa kerja sudah habis kan melakukan laporan pertanggungjawaban kepada anggota, kepada pedagang kemudian terjadilah sebuah pergantian pengurus, kan gitu?? Lah, ini belum ditempuh. Pergantian pengurus terjadi 3 tahun sekali, disebutkan dalam AD/ART. Ketika terjadi pemilihan pengurus, yang memilih adalah anggota dalam hal ini adalah pedagang. ” (wawancara 1 Agustus 2012)

Sedangkan di dalam HPPK sendiri, sumber pendanaan sudah jelas diatur dalam AD/ART HPPK. Di dalam Anggaran Dasar HPPK yaitu pasal 13, pembiayaan himpunan didapat dari iuran anggota dan bantuan serta usaha-usaha lain yang sah serta bersifat tidak mengikat. Sedangkan dalam pasal 7 dari Anggaran Rumah Tangga HPPK telah dituliskan bahwa setiap anggota berkewajiban membayar uang iuran setiap bulan dan uang iuran yang terkait dengan kebijakan yang ditentukan berdasarkan kesepakatan dan persetujuan anggota himpunan. Seluruh iuran dan pembiayaan himpunan ini nantinya akan digunakan untuk kepentingan anggota organisasi dan akan dikembalikan kepada anggota organisasi melalui berbagai kegiatan yang dilakukan oleh

commit to user

mengadakan buka bersama dan ketika Hari Raya Idul Fitri, pengurus akan mengadakan halal bi halal diantara anggota organisasi. Semua dana yang digunakan untuk mengadakan acara ini berasal dari iuran anggota HPPK.

Di kalangan PKL bermobil sendiri, interaksi human capital juga diperlukan agar informasi yang ada di dalam maupun di luar komunitas dapat segera tersampaikan ke PKL-PKL bermobil. Interaksi yang terjalin diantara PKL bermobil tidak dilakukan searah, mereka saling bertukar informasi baik tentang konsumen atau pembeli, kebijakan- kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta maupun masalah-masalah yang lain. Dalam memberikan informasi, mereka saling terbuka dan dilakukan tanpa menggunakan sistem yang birokratis. Ketika ada salah seorang PKL yang mempunyai informasi, dia akan memberitahukan teman-teman sesama PKL mengenai informasi yang ia ketahui. Contohnya, ketika Pemkot Surakarta dalam hal ini Satpol PP, DPP dan UPTD Perparkiran Kota Surakarta bersama dengan satpam pasar melakukan penertiban rutin terhadap PKL bermobil. Ketika penertiban tersebut, PKL bermobil saling memberikan informasi sehingga mereka dapat segera menutup dagangan mereka dan terhindar dari penertiban tersebut.

commit to user

Aktivitas PKL bermobil di Alun-alun Utara

Dan apabila PKL bermobil menghadapi suatu masalah, seperti masalah dengan pedagang di kawasan pasar Klewer, mereka akan saling memberikan masukan mengenai apa yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka akan berdiskusi untuk mengambil tindakan atau keputusan apa yang harus mereka ambil untuk menangani masalah tersebut. PKL bermobil tidak memiliki sumber pendanaan yang memang khusus disediakan untuk kepentingan mereka bersama. Karena mereka berdiri sendiri-sendiri, maka sumber pendanaan yang mereka miliki juga digunakan untuk keperluan mereka sendiri.

e. Distribusi intelegensia dalam mengatasi masalah free-rider

Untuk menghadapi konflik yang terjadi di kawaan pasar Klewer ini, setiap organisasi membutuhkan distribusi informasi yang lancar. Distribusi informasi dan adanya komunikasi yang terbuka dapat

commit to user

Komunikasi yang terbuka dan lancar serta tidak birokratis menyebabkan aliran informasi yang ada dalam organisasi menjadi cepat dan tidak berbelit-belit. Informasi sangat dibutuhkan karena dengan adanya informasi, anggota maupun pengurus organisasi dapat segera mengtahui jika di dalam organisasi tersebut ada masalah yang harus segera diselesaikan.

Hal yang sama juga terjadi di lingkungan pasar Cinderamata, di lingkungan ini komunikasi dan aliran informasi sangat terbuka dan dapat diakses oleh siapa saja. Dengan adanya komunikasi yang tidak birokratis menybabkan anggota dari HPTPPK ini merasa nyaman ketika menyampaikan aspirasi, masukan maupun kritik kepada pengurus himpunan. Komunikasi yang terbuka ini juga mengakibatkan ketersediaan informasi yang ada di lingkungan pasar Cinderamata ini menjadi lancar. Hal ini sesuai dengan pendapat Sekertaris HPTPPK:

“ketersediaan informasi di sini sangat bagus sebenernya karena di sini kan tidak berlaku protokoler ya, tidak birokratif lah. Saya pengurus kemudian di sebelah saya pedagang biasa, kan biasane dalam obrolan biasa saja kadang-kadang ada persoalan yang muncul, mereka menyampaikan. Jadi komunikasi itu terjalin sangat baik karena memang keadaan kami kebetulan memang satu lokasi, satu kepentingan, tidak harus mereka datang ke kantor dengan membawa surat resmi, proposal dan mengajukan minta pendampingan kan endak. Biasane ha nya „gendu-gendu rasa‟ ketika kami mengobrol, pasar sepi, “kok masalahe ngene-ngene yow”, “yowis nak nu ngko tak hubungi ketuaku ben bisa menyelesaikan persoalan ini”. Ini yang terkahir itu, ada jual-beli kios yang pesoalane sudah sampai tingkat DPP karena ada 2 orang pedagang yang akan tersingkir gara2 jual-beli kios itu monopoli. Ada 4 kios, 4 orang ini, 4 kios ini kan dihuni oleh 4

commit to user

saya, kemudian saya kontrakan ke jenengan, nah jenengan niku ngontrake lagi, semua ini ngontrak semua. Kebetulan saya itu mau tak jual, lah ketika mau tak jual itu, saya hanya menjual ke jenengan, 3 orang ini tidak saya kasih kesempatan untuk beli. Itu kan monopoli. Ini persoalannya sudah besar, sudah sampai tingkat DPP bahkan kemungkinan hari ini ada rapat nyelesaikan itu. Itu salah satunya. Nah itu, pedagang yang bersangkutan itu kan mendatangi kami, “pak, kami punya persoalan seperti ini, mohon nanti ditindaklanjuti”. “oh, ya”. Ketika saya sebagai pengurus, saya komunikasi dengan pihak di DPP untuk supaya menyelesaikan persoalan ini. Ya, ya kayak gitu lah, pendampingan-pendampingan yang sifatnya tidak terlalu rumit, tidak protokoler. ”( wawancara 1 Agustus 2012)

Tidak terlalu beda dengan HPTPPK, HPPK juga menjamin ketersediaan informasi di kalangan anggota organisasinya. Di lingkungan pasar Klewer ini, anggota maupun pengurus organisasi saling memberikan informasi. Informasi-informasi yang terkait dengan persoalan yang sedang dihadapi oleh HPPK ini akan dijadikan pedoman untuk melakukan tindakan. Bapak Kusbani yang merupakan Humas dari HPPK mengungkapkan:

“saling memberikan informasi, pedagang memberikan informasi permasalahan yang ada di lapangan, kita mengakomodir

bagaimana kita harus menyelesaikan, kita kerjasama dengan pengurus untuk mengambil suatu tindakan. Kalo ke eksternal, dengan otomatis kita kerjasama dengan Pemerintah Kota. Dan apabila pedagang mempunyai keluhan atau ide-ide nanti bisa datang langsung ke kantor HPPK untuk memberikan informasi masalah/informasi yang lain. ” (wawancara 2 Agustus 2012)

Informasi yang terbuka dan dapat diakses siapa saja menjamin adanya transparansi di dalam organisasi. Transparansi atau keterbukaan inilah yang dianut oleh HPPK dalam melakukan kegiatan atau aktivitasnya sehari-hari. Semua informasi terkait masalah yang sedang

commit to user

dan dipertanggungjawabkan pada rapat yang dihadiri oleh semua pengurus dan anggota dari HPPK. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Bapak Kusbani:

“semuanya keterbukaan, keterbukaan masalah/semua informasi tanpa adanya...inikan HPPK dari pedagang untuk pedagang dan

tidak ada yang ditutup-tututpi. Kalau masalah transparansi keuangan, kita kan ada laporan tiap bulanan, triwulan itu kan ada laporannya dan kita beritahukan ke semua pedagang. Semua keluar/masuknya uang itu, kita informasikan ke pedagang sampai ke saldonya juga kita informasikan. Kalo masalah informasi yang lain, tadi kita ada beberapa tahapan, ada yang saat kita rapat, musyawarah atau bisa pada saat kita umumkan menggunakan informasi melalui radio gapuro. ” (wawancara 2 Agustus 2012)

Sedangkan upaya yang dilakukan oleh HPTPPK sendiri untuk menjamin ketersediaan informasi bagi anggota-anggota organisasi dilakukan dengan cara melakukan sosialisasi. Sosialisasi yang dilakukan oleh HPPK ini terkait peraturan-peraturan baru dari Pemkot Surakarta. Sosialisasi yang dilakukan oleh pengurus HPTPPK ini bertujuan agar pedagang pasar Cinderamata tidak buta peraturan dan selalu update dengan Perda-perda baru dari Pemkot Surakarta. Hal ini seperti diungkapkan oleh Bapak Ahmad Fathoni yaitu:

“pengurus melakukan sosialisasi, diantaranya tentang peraturan Perda. Jadi biasanya nanti, komunikasi Pemerintah Kota lewat DPP kalo ada perda baru, kayak ini yang terbaru itu DPP membuat Perda No. 1 Tahun 2010, itukan sudah ditetapkan menjadi perda baru. Lah, untuk sampai ke pedagang, DPP mengundang himpunan, pedagang, paguyuban ini untuk diajak bersama melakukan sosialisasi Perda. Lewat paguyuban ini, paguyuban menyampaikan kepada temen-temen pedagang yang lain bahwa sekarang ada perda baru, perdanya kayak gini, kayak gini. Kemudian terkait dengan peningkatan kualitas pedagang,

commit to user

transaksi administrasi, transaksi yang lain secara tradisional, tidak modern tidak profesional. Ini ada upaya dari pemerintah kota biar pedagang itu bisa melakukan transaksi secara profesional, kami dilatih, kami didiklat tentang manajemen keuangan, tentang manajemen penataan. Itu kami didiklat, tapi didiklat itu biasane perwakilan dari paguyuban dan perwakilan dari pedagang. Lha informasi itu kan masuknya lewat paguyuban. ”( wawancara 1 Agustus 2012)

Selain itu, transparansi yang dilakukan HPTPPK terkait masalah keuangan juga sangat terbuka. Pengurus himpunan akan selalu menginformasikan persoalan apapun kepada para anggota himpunan. Hal ini dilakukan agar terbentuk kepercayaan antara pengurus dan anggota HPTPPK. Hal ini sesuai dengan pendapat Sekertaris HPTPPK:

“biasane transparansi itu terkait dengan pengelolaan keuangan. Nek informasi, kami juga sangat terbuka, kalo ada persoalan apapun, kami selalu sampaikan ke pedagang. Lha seumpama ada sosialisasi dari DPP terkait dengan Perda yang baru, kami juga sampaikan ke sana. Terkait dengan pengelolaan uang himpunan juga alhamdulillah punya beberapa sumber keuangan, diantaranya kami juga mengelola MCK (mandi, cuci, kakus), kami juga mengelola kios yang dikontrakkan. Nah, uang ini juga dikelola oleh paguyuban secara transparan tetapi uangnya ada di bendahara. Terkait dengan penggunaan uang ini, yo tadi untuk kepentingan himpunan dan pedagang juga. Kayak, seumpama contoh, besok mau ada acara buka bersama yo sumbernya uang itu. Kami tidak pernah menghimpun uang dari pedagang, seperti iuran gitu, gak pernah ”( wawancara 1 Agustus 2012)

Komunikasi yang terbuka dan adanya aliran informasi yang lancar dan cepat juga ada di dalam komunitas PKL bermobil. Ini terbukti ketika penulis melakukan wawancara dan observasi di lingkungan PKL. Dalam melakukan wawancara dan observasi ini, penulis mendapati bahwa di lingkungan PKL bermobil ini tercipta komunikasi yang baik antar PKL yang satu dengan PKL bermobil yang

commit to user

sedang terjadi di kawasan tersebut. Hal ini seperti yang dialami oleh penulis, ketika penulis sedang melakukan observasi dan wawancara pada tanggal 17 September lalu. Saat itu, penulis sedang mewawancarai salah satu perwakilan PKL yang berasal dari Pekalongan yaitu Batik Najwa dan ketika penulis akan melakukan wawancara pada tanggal 20 September dengan informan yang berbeda, penulis mendapati banyak PKL yang sudah mengetahui kalau penulis sedang melakukan penelitian terkait konflik antara PKL bermobil dengan pedagang di kawasan pasar Klewer sehingga banyak PKL bermobil yang kemudian tidak mau diwawancarai. Hal ini membuktikan bahwa, kesediaan untuk berbagi informasi dan keterbukaan komunikasi juga dilakukan oleh PKL bermobil.

Dari pemaparan mengenai aspek-aspek penerapan resolusi konflik berbasis community governance di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa aspek yang belum sepenuhnya diterapkan oleh HPPK, HPTPPK maupun PKL bermobil. Aspek-aspek tersebut adalah aspek tentang kemauan belajar dari organisasi dan aspek mengenai bekerja dalam network (social capital). Sedangkan aspek mengenai proses informal sosial, aspek tentang interaksi human capital & sumber daya organisasi serta aspek mengenai distribusi intelegensia dalam mengatasi masalah free-rider sudah dapat diterapkan dan dilakukan, baik oleh komunitas PKL

commit to user

berbasis community governance belum dapat diterapkan dalam penyelesaian konflik di kawasan pasar Klewer. Hal ini bukan dikarenakan unsur-unsur community governance yang gagal diterapkan tetapi karena masing-masing pihak yang berkonflik memang tidak mau menyelesaikan konflik ini dengan cara negosiasi dan bekerjasama untuk mendapatkan kesepakatan bersama. HPPK dan HPTPPK mempunyai prinsip bahwa PKL bermobil sudah melanggar banyak peraturan dan mereka harus disterilkan dan ditertibkan. HPPK dan HPTPPK tidak mau bekerjasama dan bernegosiasi dengan orang yang telah melanggar peraturan. Sedangkan dari komunitas PKL bermobil sendiri, mereka tidak mau menyelesaikan konflik ini secara bersama-sama karena mereka merasa tidak merugikan pedagang pasar dan mereka menganggap bahwa konflik yang terjadi di kawasan pasar Klewer bukanlah tanggungjawab mereka. Hal inilah yang menyebabkan win-win solutions tidak dapat tercipta.

Berdasarkan hasil analisis di atas maka penerapan resolusi konflik berbasis community governance yang dapat menghasilkan solusi konflik yang bersifat win-win solutions tidak dapat digunakan dalam penyelesaian konflik di kawasan pasar Klewer. Sedangkan resolusi konflik yang benar- benar ada dan sedang terjadi di kawasan pasar Klewer adalah resolusi konflik dengan menggunakan metode win-lose approach. Berdasarkan metode ini, PKL bermobil adalah pihak yang dilemahkan sedangkan HPPK dan HPTPPK merupakan pihak yang menang. Hal ini karena HPPK

commit to user

yang memiliki kekuasaan, seperti Papatsuta, Pemerintah Kota Surakarta dan juga DPRD Kota Surakarta. HPPK dan HPTPPK juga mendapatkan perlindungan langsung dari Pemkot Surakarta karena pedagang pasar Klewer maupun pedagang pasar Cinderamata merupakan tanggung jawab dari Pemkot Surakarta sehingga mereka harus dilindungi. Selain itu, kawasan pasar Klewer merupakan kawasan yang memang diperuntukkan bagi pedagang pasar Klewer maupun pasar Cinderamata. Sedangkan PKL bermobil yang notabene merupakan distributor yang berasal dari luar kota Surakarta tidak memiliki power atau kekuasaan sehingga dia dipaksa untuk menyerah dan dianggap sebagai pihak yang kalah. PKL bermobil merupakan pihak yang sengaja dilemahkan karena PKL bermobil dianggap sebagai tamu. Karena hal itulah, PKL bermobil harus mematuhi peraturan- peraturan yang ada dan berlaku di kota Surakarta khususnya di kawasan pasar Klewer apabila mereka tetap mau berdagang di kawasan pasar Klewer.

Dengan menggunakan metode win-lose approach ini, strategi yang digunakan adalah dengan memaksa pihak lain dalam hal ini adalah PKL bermobil untuk menyerah. Strategi yang digunakan diantaranya adalah penertiban yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta, pemasangan spanduk dan pemberian surat edaran yang berisi himbauan dan larangan bagi PKL bermobil untuk berjualan. Selain itu, adanya power yang dimiliki HPPK dan HPTPPK membuat mereka berani untuk melakukan

commit to user

oleh HPPK dan HPTPPK ini tidak mungkin akan disalahkan oleh Pemkot Surakarta karena Pemkot Surakarta lebih berpihak kepada HPPK dan juga HPTPPK. PKL bermobil yang memang tidak memiliki power dan tidak ada pihak yang dapat membela dan melindungi mereka, hanya dapat menerima segala konsekuensi yang ada dan tidak dapat melakukan banyak

hal. Itulah sebabnya, PKL bermobil lebih memilih untuk “kucing- kucingan” dalam melakukan transaksi jual-beli di kawasan pasar Klewer.

Selain karena terdapat dua unsur dari community governance yang belum mampu diterapkan secara maksimal oleh HPPK, HPTPPK maupun PKL bermobil, terdapat beberapa faktor yang juga menjadi penghambat penerapan resolusi konflik berbasis community governance dalam penyelesaian konflik di kawasan pasar Klewer. Faktor-faktor penghambat ini akan dibahas pada sub bab selanjutnya.