Budaya Jawa dan Kritik

Budaya Jawa dan Kritik

Sebagaimana diketahui bahwa sesungguhnya tradisi kritik di dalam masyarakat Jawa, lebih-lebih masyarakat yang telah menyerap sekian banyak pola berpikir Barat yang mengedepankan sikap rasional seperti sekarang ini, telah berkembang dengan baik. Hal demikian tampak, misalnya, sebagian besar anggota masyarakat, terutama masyarakat yang telah mengenyam pendidikan, lebih-lebih pendidikan tinggi, mulai menyadari bahwa kritik bukan lagi merupakan sesuatu yang bersifat negatif, yang menyakitkan hati, melainkan merupakan sesuatu yang positif, sesuatu yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk melihat, memperbaiki, dan mengem- bangkan diri. Oleh sebab itu, sering didengar bahwa setelah melakukan suatu pekerjaan, orang (masyarakat) justru mengha- rapkan saran dan kritik dari orang lain karena mereka merasa bahwa dengan saran dan kritik itu kesalahan atau kekurangan Sebagaimana diketahui bahwa sesungguhnya tradisi kritik di dalam masyarakat Jawa, lebih-lebih masyarakat yang telah menyerap sekian banyak pola berpikir Barat yang mengedepankan sikap rasional seperti sekarang ini, telah berkembang dengan baik. Hal demikian tampak, misalnya, sebagian besar anggota masyarakat, terutama masyarakat yang telah mengenyam pendidikan, lebih-lebih pendidikan tinggi, mulai menyadari bahwa kritik bukan lagi merupakan sesuatu yang bersifat negatif, yang menyakitkan hati, melainkan merupakan sesuatu yang positif, sesuatu yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk melihat, memperbaiki, dan mengem- bangkan diri. Oleh sebab itu, sering didengar bahwa setelah melakukan suatu pekerjaan, orang (masyarakat) justru mengha- rapkan saran dan kritik dari orang lain karena mereka merasa bahwa dengan saran dan kritik itu kesalahan atau kekurangan

Kenyataan menunjukkan bahwa di dalam masyarakat Jawa kritik memang telah memiliki konotasi positif, dalam arti bahwa hal itu telah disadari dan diterima, bahkan diharapkan, dengan baik. Kendati demikian, kenyataan menunjukkan pula bahwa masih cukup banyak masyarakat (orang) yang tidak mempraktikkan hal itu sepenuhnya; dalam arti bahwa secara lahiriah mereka menerima dan menganggap kritik sebagai sesuatu yang baik, sebagai sesuatu yang diharapkan, tetapi tidak jarang di dalam praktik mereka justru berbuat sebaliknya. Jadi, lebih jelasnya, penerimaan mengenai kritik sebagai hal yang baik hanya di mulut saja. Hal ini tampak jelas, misalnya, ketika kritik dilancarkan, mereka (yang dikritik) kemudian marah dan sakit hati; lebih-lebih jika kritik itu diungkapkan secara lugas, terus terang, dan terbuka atau di muka umum. Dari peristiwa semacam inilah biasanya pihak yang dikritik memberikan reaksi dan kemudian menganggap bahwa mereka (yang mengkritik) ora njawani ‘tidak sesuai dengan etika Jawa’, tidak tahu diri, dan sebagainya.

Realitas di atas mengindikasikan bahwa sesungguhnya tradisi kritik yang hidup di dalam masyarakat Jawa, tidak terkecuali masyarakat Jawa modern sekarang ini, masih menjadi sesuatu yang fenomenal. Artinya, tradisi kritik tersebut masih berada dalam suatu tataran tarik-menarik antara harapan dan kenyataan, antara teori dan praktik. Namun, kenyataan tersebut dapat dipahami karena sikap dan tata-kelakuan sebagaimana berkembang dan dikembangkan di dalam masyarakat Jawa tradisional (masa lalu) masih berpengaruh kuat hingga saat ini. Di satu sisi masyarakat telah terpenetrasi oleh budaya Barat yang rasional-demokratis, tetapi di sisi lain mereka tidak mampu Realitas di atas mengindikasikan bahwa sesungguhnya tradisi kritik yang hidup di dalam masyarakat Jawa, tidak terkecuali masyarakat Jawa modern sekarang ini, masih menjadi sesuatu yang fenomenal. Artinya, tradisi kritik tersebut masih berada dalam suatu tataran tarik-menarik antara harapan dan kenyataan, antara teori dan praktik. Namun, kenyataan tersebut dapat dipahami karena sikap dan tata-kelakuan sebagaimana berkembang dan dikembangkan di dalam masyarakat Jawa tradisional (masa lalu) masih berpengaruh kuat hingga saat ini. Di satu sisi masyarakat telah terpenetrasi oleh budaya Barat yang rasional-demokratis, tetapi di sisi lain mereka tidak mampu

Pola budaya Jawa tradisional (keraton) yang berpegang pada konsep dasar priyayi yang mengedepankan sikap alus ‘halus’ dan rasa ‘rasa’ (Koentjaraningrat, 1974; Geertz, 1981) yang sejak dulu menjadi angger-angger ‘pedoman’ bagi kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa itulah yang menye- babkan sebagian masyarakat Jawa dewasa ini belum sepenuhnya mampu menerapkan tradisi kritik yang rasional-demokratis. Hal itu terjadi karena di dalam setiap melakukan sesuatu (pekerjaan, kritik, atau apa pun) masyarakat (orang) Jawa selalu berpegang pada sikap yang luhur dan ideal; dan sikap demikian tercermin jika seseorang dapat mengendalikan dan mampu menjauhkan diri dari tindakan yang grusa-grusu ‘tergesa-gesa’, emosi, kasar, apalagi tindakan yang berten-tangan atau konfrontatif. Atau dengan kata lain, semua itu dilakukan dengan cara yang sopan dan santun.

Jika memang pada diri orang lain ada sesuatu yang tidak sesuai dan perlu dikritik, misalnya, kritik itu haruslah disampaikan secara halus (alus) dan tersamar (semu) (bdk. Hardjowirogo, 1989). Semua itu dilakukan tidak lain agar segalanya berada dalam keadaan harmoni (tata-tentrem); dan keadaan demikian hanya dapat dicapai jika di antara mereka (orang, masyarakat) dapat bersikap saling menghargai dan saling menghormati (rukun dan urmat) (bdk. Suseno, 1988). Dan sikap demikian dapat tercipta jika masing-masing dapat menguasai diri yang dilandasi oleh sikap rila ‘rela (berkorban)’, narima ‘menerima (apa adanya)’, dan sabar ‘sabar (dalam bertindak)’ (de Jong, 1985).