Media Kritik Sastra Jawa Modern

Media Kritik Sastra Jawa Modern

Seperti telah dinyatakan bahwa karya-karya kritik sastra Jawa modern pada dua dekade terakhir ini tidak hanya muncul di dalam media massa berbahasa Jawa seperti Jaya Baya, Panjebar Semangat (Surabaya), Mekar Sari, Jaka Lodang, Praba (Yogyakarta), Jawa Anyar, Panakawan, dan Dharma Nyata (Sala/Surakarta), tetapi juga dimuat di dalam media massa berbahasa Indonesia seperti Jawa Pos, Surabaya Post (Surabaya), Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Minggu Pagi,

Basis (Yogyakarta), Suara Merdeka, Minggu Ini, Wawasan (Semarang), Horison, Kompas, Sinar Harapan, Pelita, Berita Yudha, Suara Karya, dan Sinar Pagi (Jakarta).

Bahkan, kalau ditelusuri lebih jauh, karya-karya kritik tersebut juga dimuat di dalam buku-buku antologi artikel, tidak hanya diterbitkan oleh penerbit professional, tetapi juga oleh kalangan instansi (pemerintah dan swasta), perguruan tinggi yang memiliki jurusan sastra, dan komunitas tertentu lain dalam rangka pelaksanaan kegiatan kebahasaan dan kesastraan (Bulan Bahasa dan Sastra, Festival Kesenian, Lustrum, dan sebagai- nya). Buku-buku antologi artikel (kritik) yang diterbitkan oleh penerbit professional, misalnya, Problematik Sastra Jawa: Sejumlah Esei Sastra Jawa Modern (1988) karya Suripan Sadi Hutomo dan Setyo Yuwono Sudikan; Sosiologi Sastra Jawa (1997) karya Suripan Sadi Hutomo; Kritik Esai Kesusastraan Jawa Modern (1989), Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern (1991), Wawasan Sastra Jawa Modern (1993) hasil suntingan Poer Adhie Prawoto; dan masih beberapa lagi, ditambah dengan kritik-kritik yang dimuat dalam beberapa majalah terbitan lembaga atau perguruan tinggi.

Karena itu, jika dilihat media yang mempublikasikannya, sebenarnya keberadaan karya-karya kritik sastra Jawa modern yang muncul cukup menggembirakan. Kendati demikian, kenyataan menunjukkan pula bahwa di antara sekian banyak media massa yang menyediakan rubrik seni dan budaya itu tidak secara rutin menampilkan karya-karya kritik sastra (artikel, resensi, ulasan, dll.). Yang secara rutin ditampilkan di dalam rubrik-rubrik tersebut adalah karya sastra (guritan ‘puisi’ dan crita cekak ‘cerita pendek’), sedangkan karya-karya kritik belum tentu tampil sekali dalam satu atau dua bulan.

Memang benar bahwa artikel dan atau ulasan itu sering muncul, tetapi artikel-artikel itu mencakupi seni-budaya pada umumnya (lukis, teater, tari, patung, dll.), sedangkan seni-sastra Memang benar bahwa artikel dan atau ulasan itu sering muncul, tetapi artikel-artikel itu mencakupi seni-budaya pada umumnya (lukis, teater, tari, patung, dll.), sedangkan seni-sastra

Satu hal yang agaknya penting untuk dicatat ialah bahwa dengan dimuatnya karya-karya kritik sastra Jawa di dalam media-media massa berbahasa Indonesia menunjukkan bahwa sastra Jawa sebenarnya telah berupaya untuk menjangkau masyarakat baca lintas-etnik. Hal demikian kemudian berpengaruh pada berbagai persoalan yang digarap; dalam arti bahwa pada umumnya karya-karya kritik yang ditulis dan dimuat di dalam media massa berbahasa Indonesia menggarap persoalan yang lebih besar, misalnya masalah komunitas kesastraan Jawa yang lebih luas yang mencakupi sistem pengarang dan kepengarangan, sistem penerbit dan penerbitan serta pemasyarakatannya, sistem pembaca, sistem kritik, atau sistem lain yang lebih umum sifatnya.

Hal di atas tampak jelas, misalnya, kalau diamati bebe- rapa artikel yang dimuat di Kompas, Suara Merdeka, Surabaya Post, Basis, dan sebagainya. Di dalam Surabaya Post, tanggal

12 Desember 1992, misalnya, dimuat artikel karya Susanto. Artikel tersebut jelas membicarakan persoalan yang lebih besar, yaitu tentang kritik sastra. Di dalam artikel tersebut penulis memberikan kritik atau penilaian bahwa sekarang ini kritik sastra Jawa memang sudah ada, tetapi bagaimanapun kritik 12 Desember 1992, misalnya, dimuat artikel karya Susanto. Artikel tersebut jelas membicarakan persoalan yang lebih besar, yaitu tentang kritik sastra. Di dalam artikel tersebut penulis memberikan kritik atau penilaian bahwa sekarang ini kritik sastra Jawa memang sudah ada, tetapi bagaimanapun kritik

Hal yang sama tampak pula pada artikel karangan Arswendo Atmowiloto di harian Kompas. Dalam artikel ber- judul “Sastra Jawa: Kekuatan Sukma, Bukan Raga” Arswendo menyatakan sesuatu yang sangat umum, yaitu bahwa sastra Jawa bukanlah hanya sastra, melainkan juga sikap, sukma, atau roh yang terus menjelma. Oleh karena itu, katanya, selama masih ada wong Jawa, sastra Jawa akan tetap ada dan eksis.

Sementa ra itu, artikel “Layakkah Novel-Novel Saku Jawa Disebut Karya Sastra” karya Poer Adhie Prawoto (Suara Merdeka , 1 November 1988), “Novel Jawa Saku: Sebuah Kritik” karya Keliek Eswe (Suara Merdeka, 23 Juni 1989), “Pertahankan Sastra Jawa Mendekam di Rak Museum” karya Satyagraha Hoerip (Kompas , Mei 1984), “Pariyem dan Napisah: Nasib Wanita Jawa di Desa” karya Suripan Sadi Hutomo (Basis, Agustus 1988), dan masih banyak lagi, semuanya juga membicarakan persoalan-persoalan umum tentang sastra Jawa modern. Dan artikel-artikel semacam ini tidak jarang justru memberikan dampak yang lebih luas bagi khalayak, tidak hanya khalayak atau masyarakat Jawa, tetapi juga masyarakat Indonesia, bahkan luar negeri. Hanya sayangnya, artikel kritik semacam ini hanya sekali-sekali saja muncul di media massa.

Perlu dicatat pula bahwa munculnya karya-karya kritik sastra Jawa (dalam bentuk artikel) di dalam media massa berbahasa Indonesia itu berhubungan dengan kenyataan bahwa media-media berbahasa Indonesia lebih mampu memberikan jaminan (ekonomi) yang lebih baik daripada media berbahasa Jawa. Hal inilah yang, antara lain, menyebabkan ruang atau rubrik-rubrik yang disediakan oleh majalah berbahasa Jawa sering kosong. Bahkan, beberapa majalah berbahasa Jawa tidak secara eksplisit (tetap, rutin) membuka rubrik kritik. Barulah Perlu dicatat pula bahwa munculnya karya-karya kritik sastra Jawa (dalam bentuk artikel) di dalam media massa berbahasa Indonesia itu berhubungan dengan kenyataan bahwa media-media berbahasa Indonesia lebih mampu memberikan jaminan (ekonomi) yang lebih baik daripada media berbahasa Jawa. Hal inilah yang, antara lain, menyebabkan ruang atau rubrik-rubrik yang disediakan oleh majalah berbahasa Jawa sering kosong. Bahkan, beberapa majalah berbahasa Jawa tidak secara eksplisit (tetap, rutin) membuka rubrik kritik. Barulah

Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa Jaya Baya, Jaka Lodang, dan Panjebar Semangat hanya menyediakan rubrik “Kabudayan” atau “Kasusastran” saja; dan rubrik ini tidak secara khusus memuat karya-karya kritik sastra, tetapi juga masalah-masalah seni-budaya pada umumnya. Barulah ketika ada artikel kritik yang masuk ke redaksi, misalnya seperti yang tampak di dalam Panjebar Semangat, Nomor 16, tanggal 17 April 1993, artikel yang berisi kritik sastra berjudul “Bapak Mothah anak Gumregah ” karangan Piek Ardijanto Soeprijadi itu diberi label (rubrik) “Kritik Sastra”.

Di antara sekian banyak majalah berbahasa Jawa yang menjadi media kritik sastra Jawa modern, tampaknya hanya Mekar Sari yang cukup banyak memberikan ruang atau rubrik kritik sastra. Setidaknya ada lima rubrik yang disediakan oleh Mekar Sari , yaitu “Kasusastran”, “Bina Basa Bina Sastra”, “Warung Cengir”, “Kritik Cerkak”, dan “Kritik Cerbung”. Hanya saja, rubrik-rubrik tersebut, dalam dua dekade terakhir ini, kehadirannya tidak secara rutin (ajeg). Bahkan, rubrik “Kritik Cerbung”, misalnya, hanya sekali-sekali muncul, di antaranya tulisan Mg. Widhy Pratiwi yang dimuat di Mekar Sari, Nomor 26, tanggal 29 Agustus 1990. Selain itu, rubrik “Kritik Cerkak” yang diasuh oleh Sri Widati dan Ratna Indriani (keduanya peneliti Balai Bahasa Yogyakarta) juga hanya bertahan tidak lebih dari dua tahun (1989--1991). Sementara itu, yang tetap bertahan lama hanyalah rubrik “Kasusastran” dan “Bina Basa Bina Sastra”.

Perlu dicatat pula bahwa ada hal menarik sehubungan dengan kehidupan kritik sastra Jawa modern. Kritik sastra ternyata tidak hanya muncul secara eksplisit di dalam rubrik- rubrik sastra dan budaya, tetapi muncul juga dalam rubrik

“Lapuran”, “Layang saka Warga”, atau “Layang Kiriman”. Hal demikian memperlihatkan dengan jelas bahwa dinamika kritik di dalam kehidupan sastra Jawa modern bersifat lebih luwes; dan barangkali inilah ciri khas kritik sastra Jawa yang –barangkali-- tidak ada di dalam kehidupan kritik sastra lainnya.