Proses Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca dan Institusi

Gambar 4. Proses Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca dan Institusi

Lebih lanjut, berdasarkan kewenangan yang dimiliki (administrative) dan pelibatan dalam proses penyusunan BAU (Business-As-Usual) /Baseline serta opsi mitigasi (kemampuan teknis), maka dapat dilakukan pembagian sektor. Pembagian sektor merupakan pembagian peran pemerintah pusat dan daerah (provinsi) dalam penyusunan BAU dan opsi mitigasi atau disebut juga dengan menu sektoral. Berdasarkan karakteristik-karakteristik ini terdapat tiga kategori yaitu:

1. Sektor Campuran (Mixed sektor)

Sektor campuran adalah sektor yang sulit dibagi kewenangannya antara pusat dan daerah. Pusat memiliki otoritas pada sektor ini, tetapi pada tahap implementasi, bantuan dari daerah untuk mewujudkan pelaksanaan kebijakan akan sangat besar. Karena itu, sektor ini melibatkan koordinasi bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam kegiatan pengurangan emisi. Dalam kategori sektor campuran adalah sektor kehutanan, lahan gambut dan pertanian. Pemerintah pusat atau kelompok kerja nasional (National working group) yang dikoordinasi oleh Bappenas akan membuat nasional BAU/Baseline dan kemudian mendistribusikan hasil BAU tersebut ke provinsi-provinsi (misalnya Papua, Kaltim) (berkoordinasi dengan Bappeda dan dinas kehutanan) sehingga Provinsi-provinsi dapat membuat BAU masing-masing. Pemerintah pusat akan memberikan bimbingan teknis dan arahan menyangkut penyusunan BAU dan opsi mitigasi. Pemerintah daerah dan pusat (kelompok kerja dan Bappenda/dinas) dapat membuat usulan opsi mitigasi untuk setiap provinsi. Usulan-usulan Sektor campuran adalah sektor yang sulit dibagi kewenangannya antara pusat dan daerah. Pusat memiliki otoritas pada sektor ini, tetapi pada tahap implementasi, bantuan dari daerah untuk mewujudkan pelaksanaan kebijakan akan sangat besar. Karena itu, sektor ini melibatkan koordinasi bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam kegiatan pengurangan emisi. Dalam kategori sektor campuran adalah sektor kehutanan, lahan gambut dan pertanian. Pemerintah pusat atau kelompok kerja nasional (National working group) yang dikoordinasi oleh Bappenas akan membuat nasional BAU/Baseline dan kemudian mendistribusikan hasil BAU tersebut ke provinsi-provinsi (misalnya Papua, Kaltim) (berkoordinasi dengan Bappeda dan dinas kehutanan) sehingga Provinsi-provinsi dapat membuat BAU masing-masing. Pemerintah pusat akan memberikan bimbingan teknis dan arahan menyangkut penyusunan BAU dan opsi mitigasi. Pemerintah daerah dan pusat (kelompok kerja dan Bappenda/dinas) dapat membuat usulan opsi mitigasi untuk setiap provinsi. Usulan-usulan

2. Sektor Tertutup (Isolated sektor) Sektor ini disebut sektor tertutup karena pada sektor ini pemerintah provinsi

memiliki kewenangan penuh untuk menangani penyusunan BAU dan opsi mitigasi dimana secara administratif dan teknis sektor ini merupakan kewenangan penuh daerah, yang termasuk ke dalam sektor tertutup adalah sektor persampahan. Provinsi (Bappeda dan dinas terkait ) perlu menentukan metodologi BAU dan opsi mitigasi berdasarkan dokumen yang disusun oleh nasional. Masing-masing provinsi akan menyerahkan BAU dan opsi mitigasi itu diserahkan ke kelompok kerja nasional untuk diseleksi dan bilamana terpilih dapat dijadikan satu menjadi National BAU dan usulan opsi mitigasi.

3. Sektor Terbuka (Open sektor)

Sektor ini disebut sektor terbuka karena pada sektor ini penyusunan BAU dan opsi mitigasi sifatnya yang lintas daerah atau lebih tepat menjadi kewenangan pemerintah nasional, yang termasuk ke dalam sektor ini adalah sektor industri dan sektor transportasi . Pada sektor ini, Pemerintah provinsi memiliki keterbatasan dalam pelibatan penyusunan BAU dan opsi mitigasi. Peran daerah adalah penyediaan data-data yang diperlukan untuk menyusun BAU, pada tahap implementasi dan reporting. Contohnya yang langsung ditangani oleh pusat adalah sektor industri dan transportasi. Daerah tidak terlibat secara penuh atau terbatas keterlibatannya dalam proses penyiapan BAU dan opsi mitigasi, karena sudah ditangani langsung oleh nasional working group/sektor. Keterlibatan daerah pada sektor ini adalah dalam tahap implementasi dan reporting saja, juga penyediaan data-data awal.

Paparan tentang fakta empiris dan normatif di Indonesia nampak jelas bahwa penanganan masalah perubahan iklim dalam konteks pembangunan membutuhkan manajemen risiko iklim saat ini secara efektif, dan pada saat bersamaan juga mampu mengembangkan sistem pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim jangka-panjang. Upaya tersebut membutuhkan pendekatan lintas-sektor baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal. Hal yang mendasar adalah, upaya adaptasi harus disertai upaya mitigasi karena upaya adaptasi tidak akan dapat efektif apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Pertimbangan mendasar bahwa, Paparan tentang fakta empiris dan normatif di Indonesia nampak jelas bahwa penanganan masalah perubahan iklim dalam konteks pembangunan membutuhkan manajemen risiko iklim saat ini secara efektif, dan pada saat bersamaan juga mampu mengembangkan sistem pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim jangka-panjang. Upaya tersebut membutuhkan pendekatan lintas-sektor baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal. Hal yang mendasar adalah, upaya adaptasi harus disertai upaya mitigasi karena upaya adaptasi tidak akan dapat efektif apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Pertimbangan mendasar bahwa,

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Agenda adaptasi perubahan iklim difokuskan pada area yang rentan terhadap perubahan iklim, yakni: sumber daya air, pertanian, perikanan, pesisir dan laut, infrastruktur dan pemukiman, kesehatan, dan kehutanan. Untuk mencapai pembangungan yang tahan terhadap resiko iklim, pada masing-masing area fokus perlu untuk diketahui: 1) tujuan agenda perubahan iklim yang ingin dicapai terkait erat dengan tujuan pembangunan nasional, yang dapat juga diselaraskan dengan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia; 2) kondisi yang ada pada masing- masing area fokus saat ini baik biofisik, program dan inisiatif yang ada serta institusi yang bertanggung jawab terhadap dampak perubahan iklim; 3) perubahan kunci yang diperlukan pada program, investasi atau rencana yang sudah ada; dan 4) investasi dan kegiatan tambahan atau baru yang diperlukan.

Dengan kondisi sebagai negara berkembang, kemampuan Indonesia dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim belumlah sebaik negara-negara maju. Oleh karena itu dikhawatirkan bahwa pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah bisa terhambat karena dampak perubahan iklim. Golongan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah masyarakat miskin yang juga merupakan golongan yang paling terkena dampak terhambatnya pembangunan nasional. Dengan demikian, respon terhadap perubahan iklim harus mengikutsertakan program pengentasan kemiskinan.

Strategi nasional menghadapi perubahan iklim juga perlu diarahkan pada pengembangan rekayasa sosial agar masyarakat dapat mengalami perubahan sosial secara terencana, sistematis dan menyeluruh yang dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan kehidupan sosial dan ekologi. Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional dalam rangka mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan antisipasi dampaknya ke depan. Tujuan jangka panjang dari agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah terintegrasinya adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional.

Agenda adaptasi dalam strategi pembangunan untuk menghadapi anomali iklim atau variabilitas iklim saat ini, antara lain dengan cara :

• Program pengurangan resiko bencana terkait iklim melalui program penghutanan kembali, penghijauan terutama di kawasan hutan/lahan yang kritis, baik di hulu maupun di hilir (kawasan pesisir) dengan keterlibatan masyarakat;

• Peningkatan kesadaran dan penyebarluasan informasi perubahan iklim dan informasi adaptasi pada berbagai tingkat masyarakat terutama untuk masyarakat yang rentan sebagai tindakan kesiap-siagaan dini dan peningkatan kesadaran tentang bencana iklim yang semakin meningkat;

• Peningkatan kapasitas pengkajian ilmiah tentang perubahan iklim dan dampaknya serta upaya pengendaliannya serta mengembangkan model proyeksi perubahan iklim jangka pendek, menengah dan panjang untuk skala lokal atau regional yang diperlukan untuk menilai kerentanan dan dampak iklim serta menyusun rencana dan strategi kebijakan adaptasi terhadap perubahan iklim untuk jangka pendek, menengah dan panjang;

• Peninjauan kembali kebijakan-kebijakan inti yang secara langsung maupun tidak langsung akan dipengaruhi oleh perubahan iklim. Kemudian mengidentifikasi penyesuaian seperti apa yang harus dilakukan terhadap program-program yang didesain dengan kebijakan-kebijakan itu dengan mempertimbangkan arah perubahan iklim dan kenaikan muka air laut serta perubahan kondisi sosial-ekonomi untuk mendapatkan kebijakan dan program yang lebih tahan terhadap perubahan iklim;

• Peningkatan kapasitas untuk mengintegrasikan perubahan iklim dengan pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim kedalam perencanaan, perancangan infrastruktur, pengelolaan konflik, dan pembagian kawasan air tanah untuk institusi pengelolaan air;

• Pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim kedalam kebijakan dan program di berbagai sektor (dengan fokus pada penanggulangan bencana, pengelolaan sumberdaya air, pertanian, kesehatan dan industri);

• Pengembangan isu perubahan iklim dalam kurikulum sekolah menengah dan perguruan tinggi; • Pengembangan sistem pengamatan cuaca, iklim dan hidrologi khususnya di luar Jawa dan peningkatan kapasitas BMG dalam membuat ramalan cuaca dan iklim yang lebih akurat mencakup seluruh Indonesia;

• Pengembangan sistem infrastruktur dan tata-ruang serta sektor-sektor yang tahan dan tanggap terhadap goncangan dan perubahan iklim, dan pengembangan serta penataan kembali tata ruang wilayah, khususnya pada kawasan pantai.

Upaya adaptasi, seperti tertulis dalam Dokumen “Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim” (lebih dikenal dengan Dokumen RAN-PI) harus dilakukan melalui beberapa pendekatan: 1) mengintegrasikan agenda adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang, 2) meninjau kembali dan menyesuaikan inisiatif atau program yang ada sehingga menjadi tahan (resilience) terhadap perubahan iklim, 3) melembagakan pemanfaatan informasi iklim sehingga mampu mengelola resiko iklim, 4) mendorong daerah otonom untuk mengintegrasikan pertimbangan resiko iklim ke dalam perencanaan pembangunan daerah, 5) memperkuat informasi dan pengetahuan untuk mengurangi resiko iklim sekarang dan masa yang akan datang, 6) memastikan tersedianya sumber daya dan pendanaan yang berasal dari dalam negeri untuk kegiatan adaptasi serta memanfaatkan semaksimal mungkin bantuan pendanaan internasional, 7) memilih opsi no-regrets (tanpa penyesalan), yakni mengambil tindakan adaptasi, meski misalnya perubahan iklim tidak terjadi, sehingga manfaat yang diperoleh selain dapat mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim sekaligus mendatangkan manfaat bagi pembangunan nasional, dan 8) mendorong terbentuknya dialog nasional sehingga dapat mempercepat proses pengimplementasian agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia.

REFERENSI

Bappenas, 2009, Penyusunan Road Map Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim ke dalam Perencanaan Pembangunan Nasional. http://www.dephut.go.id/files/Presentasi _Roadmap_Bapenas_09.pdf

CIESIN, 2007. Population Density Within and Outside of a 10 m Low Elevation Coastal Zone in Western Indonesia. s.l. : Columbia University, 2007

IE (2007), Energy Security and Sustainable Development, The Indonesia Energy Economics Review Volume 2-2007, Periodical published by IIEE, Jakarta.

Grimmond, S, 2007, Urbanization And Global Environmental Change: Local Effects Of Urban Warming. The Geographical Journal, 173 (1), hal 83–88

Hulme, Mike and Sheard, Nicola (1999), Climate Change Projections in Indonesia. Climatic Research Unit. United Kingdom : University of East Anglia and WWF International, 1999

Johnson. 1992, dalam Fabby Tumiwa et al, 2010, Kertas Kebijakan : Strategi Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim: Status dan Kebijakan Saat Ini., 2010. Penerbit: Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit, Indonesia. ISBN: 978-979- 1157-29-2

Available At : http://www.scribd.com/document_downloads/direct/50684525?extension=pdf&ft= 1325914369< =1325917979&uahk= J6ydWpx8bQvDVz9uAcBw9ssfm+g, hal 14

Laporan Analisa Lingkungan Indonesia Oktober Tahun dengan tema “Berinvestasi Untuk Yang Lebih Berkelanjutan Indonesia”, 2009 yang diterbitkan oleh The World Bank Group, Jakarta

http://www- wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer /WDSP/IB/2009/11/19/000333038_20091119000502/Rendered/PDF/507620v20Revis1b ox0info10CEA1bahasa.pdf.

Naylor, Rosamond et al. (2007), Assessing the risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture, PNAS Early Edition, May 1, 2007.

Nasrullah, 2010, Perubahan Iklim Dan Trend Data Iklim, Electronic Copy Available At: http://manado.kaukustujuhbelas.org/content/files/1307525387.pdf

Orbethur, Sebastian & Herman E. Ott, 1999. The Kyoto Protocol : International Climate Policy for the 21st Century. New York : Springer, 1999, hal. 7-8

Olson, M, 1965. The logic of collective action. Cambridge, MA: Harvard University Press OFDA/CRED (2007), The International Disaster Database, Catholic University of Louvain,

Belgium. Pusat Standardisasi dan Lingkungan. 2008. Hutan Dan Pemanasan Bumi. Makalah

disampaikan dalam Seminar “Sosialisasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan (Nilai Intrinsik) Sumberdaya Hutan Tingkat Propinsi Jawa Barat, 3 April 2008, Departemen Kehutanan

Ratag, Mezak (2 March 2007), Perubahan Iklim : Perubahan Variasi Curah Hujan, Cuaca dan Iklim Ekstrim. Jakarta : Badan Metereologi dan Geofi sika.

Reinstein, RA. 1993, Climate Negotitations, The Washington Quarterly Vol. 16 No. 1 hal 79-95,

Available At: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01636609309451439#

Electronic

Copy

Republik Indonesia, Rencana aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan IKlim, (Kementrian Lingkungan Hidup RI, Jakarta 2007), hal, 22

Setiasih, Naneng (2006), Bali Barat National Park (BBNP) Coral Monitoring Report. s.l. : Friends of the Reefs Project WWF Indonesia.

Susandi, Armi et al (2007), Climate Change in Jakarta: Its Historical Study for Projection, Proceedings of Annual Scientifi c Meeting HAGI, Semarang, Indonesia (13-15 November 2006).