Inovasi Kebijakan Melalui Strategi Adapt
Inovasi Kebijakan Melalui Strategi Adaptasi dan Mitigasi
dalam Perlindungan Iklim di Indonesia
Sasmito Jati Utama
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Agenda adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim berdasar fakta empiris dan normatif di Indonesia demikian penting dilakukan. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui bentuk inovasi kebijakan melalui strategi adaptasi dan mitigasi dalam perlindungan iklim di Indonesia, baik pada level pemerintah pusat maupun pada level pemerintah daerah. Pendekatan yang dilakukan dalam kajian ini melalui studi kepustakaanmelalui laporan ilmiah peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain. Hasil kajian menunjukkan bahwa agenda adaptasi perubahan iklim difokuskan pada area yang rentan terhadap perubahan iklim, yakni: sumber daya air, pertanian, perikanan, pesisir dan laut, infrastruktur dan pemukiman, kesehatan, dan kehutanan. Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional di Indonesia dalam rangka mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan antisipasi dampaknya ke depan. Tujuan jangka panjang dari agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah terintegrasinya adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional dan terdistribusi pada semua level pemerintahan.
Kata kunci : climate chane, policy adoption, mitigation
“......and due to their higher population densities and extensive land cover modification, a majority of cities are expected to experience more dramatic climate-induced changes than surrounding areas” (Grimmond, 2007). (.......dan karena kepadatan penduduk yang lebih tinggi serta alih fungsi lahan yang meluas, mayoritas dari perkotaan diperkirakan akan mengalami dampak
perubahan iklim secara lebih dramatis daripada daerah di sekitarnya) 1
Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling banyak menyita perhatian dunia. R.A Reinstein menyebut perubahan iklim sebagai ” the most complex public policy issue ever to face goverment.” 2 . Eksistensi ancaman perubahan iklim yang bersifat global
tersebut, mendorong terbentuklah kerjasama global menyangkut isu perubahan iklim. Dibawah kerangka United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang terbentuk sebagai salah satu hasil dari pertemuan Earth Summit di
1 Grimmond, S, 2007, ✁ ✂ ✄ ☎ ✆✝ ✄ ✞ ✆✟ ☎ ✠☎ ✡ ☛☞✟ ✂ ✄ ☞ ✌ ☎ ✍✆ ✟ ☎ ✎ ✏ ☎✞ ✄☞ ✑✒ ✄ ☎ ✓ ✏ ✔ ✕✟ ✖ ✄ ☞ ✌ ✗✗✏ ✖ ✞ ✘ ✙✗ ✁ ✂ ✄☎ ✚✄ ✎ ✆☎ ✓ . The Geographical Journal, ✢✛✜ (1), hal 83–88.
2 Reinstein, RA. 1993, ✑☞✆✎ ✄ ✞ ✏ ✣ ✏ ✓ ✟ ✞ ✆✞ ✄ ✞ ✆✟ ☎ ✘ , The Washington Quarterly Vol. 16 No. 1 hal 79-95, Electronic Copy Available At: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01636609309451439#
Halaman 1 dari 30
Brazil pada tahun 1992. 3 Hingga saat ini sudah lebih dari 180 negara yang telah meratifikasi konvensi ini. Indonesia sendiri meratifikasi konvensi ini melalui UU No. 6
tahun 1994. Konvensi ini kemudian ditindak lanjuti dengan diadakannya rangkaian pertemuan lanjutan untuk mengimplementasikan konvensi tersebut. Negara-negara yang berpartisipasi dalam UNFCCC bertemu dalam forum Conference of the Parties (CoP) yang hingga tahun 2007 telah berlangsung 13 kali. UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) mengkategorikan kelompok negara industri maju, bersama kelompok negara ekonomi transisi dalam bentuk negara Annex 1. 4 Langkah
untuk mencapai tujuan konvensi tersebut, maka sebuah protokol telah diadopsi pada pelaksanaan CoP ke-3 tahun 1997 di Kyoto. Protokol ini kemudian dikenal dengan nama Protokol Kyoto. Aspek terpenting dari Protokol Kyoto ini mensyaratkan bahwa negara- negara Annex 1, secara bersama-sama berkewajiban untuk mengurangi tingkat emisi total GRK Annex 1 sebesar 5,2 % level emisi tahun 1990. Kewajiban tersebut dilaksanakan sesuai dengan komitmen masing-masing negara Annex 1 yang tercantum dalam Annex B Protokol Kyoto, yang berlaku untuk masa komitmen pertama Protokol Kyoto.
Pertemuan di Kyoto juga melahirkan sebuah terobosan dalam konteks transfer teknologi dan bantuan bagi negara-negara berkembang yaitu Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih. CDM disebut sebagai ”kejutan Kyoto (Kyoto surprise)” karena sepanjang negosiasi, hanya dibahas dua mekanisme reduksi emisi gas rumah kaca yang dapat diterapkan oleh negara-negara Annex 1 dalam upaya memenuhi target reduksi emisi nasional masing-masing, yaitu perdagangan emisi (emission trading) dan implementasi bersama (joint implementation).
Indonesia sebagai negara pihak dalam Protokol Kyoto, telah meratifikasi Protokol Kyoto pada tanggal 28 Juli 2004 melalui sidang Pleno yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Hal ini mengingat dampak perubahan iklim di Indonesia demikian besar, sebagaimana Laporan Analisa Lingkungan Indonesia Oktober tahun 2009 yang diterbitkan oleh The World Bank Group dengan tema “Berinvestasi Untuk Yang Lebih Berkelanjutan Indonesia” sebagai berikut :
3 Orbethur, Sebastian & Herman E. Ott, 1999. ✦ ✁ ✂✄☎ ✆ ☎ ✝✞☎ ✆☎✟☎✠ ✡ ☛☞ ✆ ✁ ✞☞ ✌ ✆ ✍☎ ☞ ✌ ✠ ✎✠✍✏ ✌ ✆ ✁ ✝☎ ✠✍✟ ✄ ✑☎ ✞ ✆ ✁
New York : Springer, 1999, hal. 7-8 4 Negara-negara industri memiliki kewajiban tersendiri. Mereka dikategorikan dalam negara-negara
yang tergolong dalam Annex I dan Annex II Konvensi Perubahan Iklim. Negara-negara Annex I terdiri dari 41 negara yang terdiri dari 24 negara OECD ( ✛✞✖ ✌ ☞ ✍✗ ✌ ✆ ✍☎ ☞ ☎✑ ✘ ✟ ☎ ☞☎ ✏ ✍✟ ✎☎ ☎ ✙✁ ✞✌ ✆ ✍☎ ☞ ✌☞✚
) ditambah dengan negara-negara Eropa Timur yang ekonominya sedang dalam transisi ( ✎☎ ✔ ☞ ✆ ✞✍✁ ✓ ☎☞ ✘ ✟ ☎ ☞ ☎ ✏ ✍✟ ✓ ☛☞ ✦ ✞ ✌ ☞ ✓✍✆ ✍☎ ☞ /CEIT). Sedangkan negara Annex II terdiri dari 24 negara OECD. Negara-negara berkembang dikenal dengan nama Non-Annex I. Negara-negara Annex I secara kolektif memiliki kewajiban menurunkan emisinya sebesar 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 dan pada tahun 2008-2012. Di samping itu pelaporan inventarisasi nasionalnya harus disampaikan ke Sekretariat Konvensi Perubahan Iklim lebih awal dibanding dengan negara-negara Non-Annex I. Mereka juga memiliki kewajiban untuk melaporkan kegiatan transfer teknologi dan bantuan keuangannya
1. Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur yang tidak terlalu tinggi. Temperatur rata-rata tahunan di Indonesia terlihat naik sekitar 0.3 derajat Celsius (oC) per tahun sejak 1990 dan terjadi untuk semua musim sepanjang tahun, relatif konsisten atau sedikit lebih rendah dibanding perkiraan tren pemanasan karena perubahan iklim. Tahun 1990-an merupakan dasawarsa terpanas dan kenaikan 1oC pada 1998 (di atas rata-rata 1961 – 1990) menjadikannya tahun terpanas di negara itu dalam abad ke-20 (Hulme, dkk., 1999).
2. Indonesia akan mendapat curah hujan yang lebih tinggi. Perubahan iklim diperkirakan akan menaikkan curah hujan per tahun di Indonesia sebesar 2 hingga 3 persen (Ratag, 2001 dalam Susandi, 2007). Seluruh negara ini akan mendapat curah hujan yang lebih tinggi, sementara perubahan terbesar terjadi di Maluku. Kenaikan curah hujan diperkirakan akan berlanjut dan, karena perubahan iklim, musim hujan akan lebih pendek (lebih sedikit jumlah hari hujan dalam setahun), yang menyebabkan risiko banjir naik secara signifikan.
3. Ketahanan pangan di Indonesia akan terancam oleh perubahan iklim. Perubahan iklim akan mengubah curah hujan, penguapan, air limpasan, dan kelembapan tanah; karena itu akan berpengaruh pada pertanian dan tentu saja ketahanan pangan. Kemarau akibat El Nino tahun 1997 mempengaruhi 426,000 hektar sawah. Penurunan produksi (diukur sebagai deviasi persentase dari rata-rata bergerak lima- tahun) selama delapan tahun El Nino antara 1965 dan 1997 rata-rata 4 persen. Variabilitas produksi selama 1963-1998 terbesar untuk jagung (13.5 persen) terutama karena perubahan area tanam (World Bank, 2008). Untuk beberapa wilayah tertentu, kerugian mungkin lebih tinggi: Jawa Timur/Bali, wilayah dengan musim hujan yang singkat, diperkirakan mencapai 18 persen untuk musim panen Januari-April (Naylor dkk., 2007). Model yang menyimulasikan dampak perubahan iklim terhadap tanaman (Goddard Institute of Space Studies, UK Meteorological Offi
ce) memperlihatkan penurunan hasil panen di Jawa Barat dan Jawa Timur. Perubahan iklim kemungkinan akan mengurangi kesuburan jangka panjang tanah 2 hingga 8 persen, mengakibatkan penurunan produksi padi sebesar 4 persen per tahun, kedelai sebesar 10 persen, dan jagung sebesar 50 persen (Amin, 2004 dan Parry dan Nih, 1992).
4. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berkaitan erat dengan perubahan iklim. Selama tahun-tahun El Nino, area total lahan dan hutan yang mengalami kebakaran meningkat secara signifi kan, demikian pula dengan emisi karbon (Pemerintah Indonesia, 2007). Kebakaran ini menghancurkan habitat, mencemari daerah aliran sungai, menyusutkan jumlah keanekaragaman hayati, dan meningkatkan pencemaran udara, serta membahayakan kesehatan. Kebakaran gambut terkait El Nino pada 1997/98 di Indonesia diklasifi kasikan sebagai salah satu dari sepuluh 4. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berkaitan erat dengan perubahan iklim. Selama tahun-tahun El Nino, area total lahan dan hutan yang mengalami kebakaran meningkat secara signifi kan, demikian pula dengan emisi karbon (Pemerintah Indonesia, 2007). Kebakaran ini menghancurkan habitat, mencemari daerah aliran sungai, menyusutkan jumlah keanekaragaman hayati, dan meningkatkan pencemaran udara, serta membahayakan kesehatan. Kebakaran gambut terkait El Nino pada 1997/98 di Indonesia diklasifi kasikan sebagai salah satu dari sepuluh
5. Variabilitas curah hujan akan berpengaruh buruk pada sumber air. Kenaikan dan penurunan curah hujan akan berpengaruh buruk pada pembangkit hidrolistrik dan persediaan air minum, keduanya tergantung pada suplai teratur dari waduk. Data dari delapan bendungan selama enam tahun El Nino memperlihatkan bahwa produksi PLTA di bawah normal. Kekurangan air di waduk juga akan berpengaruh pada ketersediaan air minum, terutama di kota besar. Sebaliknya, curah hujan yang tinggi yang menyebabkan kekeruhan akan merusak fasilitas pemrosesan air, mencemari persediaan air dan meningkatkan biaya pengolahan air (Pemerintah Indonesia,2007).
6. Kenaikan permukaan air laut akan menggenangi zona pesisir yang produktif. Perubahan iklim juga akan menaikkan permukaan air laut karena pertambahan volume air laut dan melelehnya selubung es kutub. Permukaan air laut di Teluk Jakarta akan naik setinggi 0.57 sentimeter (cm) per tahun. Kedalaman area yang tergenang berkisar antara 0.28 dan 4.17 pada 2050 (Meliana 2005 dalam Susandi, 2007). Hal ini bersama dengan penurunan permukaan tanah sebesar 0.8 cm per tahun, sebagaimana diamati di Teluk Jakarta, dapat berdampak besar pada prasarana dan produktivitas kota, (Priambodo, 2005). Selain itu, di kabupaten pedesaan seperti Karawang dan Subang, penurunan pasokan padi lokal sebesar 95 persen (turun 300,000 ton) diperkirakan akan terjadi karena tergenanginya daerah pesisir. Di beberapa kabupaten, produksi jagung akan turun 10,000 ton, sekitar setengahnya karena tergenang air laut. Dalam skala nasional, analisis baru-baru ini oleh Columbia University memperlihatkan risiko kenaikan permukaan air laut yang meluas di Indonesia. Wilayah dengan kepadatan penduduk lebih dari 1,000 orang per kilometer persegi seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya, adalah wilayah yang paling terkena dampak kenaikan permukaan air laut (CIESIN, 2007). Secara total, ada 41,610,000 orang Indonesia yang tinggal dalam jarak sepuluh meter dari permukaan laut rata-rata. Mereka inilah yang paling rentan terhadap perubahan permukaan air laut (IIED, 2007).
7. Kenaikan permukaan air laut akan mengurangi mata pencarian pertanian dan pesisir. Kenaikan permukaan air laut juga akan berpengaruh pada produksi ikan dan udang. Di kabupaten Karawang dan Subang, kerugian itu diperkirakan lebih dari 7,000 ton dan 4,000 ton masing-masing (bernilai lebih dari US$ 0.5 juta). Di hilir Daerah Aliran Sungai Citarum, kenaikan permukaan air laut dapat menyebabkan tergenanginya sekitar 26,000 hektar kolam dan 10,000 hektar lahan pertanian. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya 15,000 ton hasil ikan dan berbagai jenis udang, dan sekitar
940,000 ton produksi beras. Efeknya secara keseluruhan akan mengurangi potensi pendapatan rata-rata. Pengurangan hasil yang diperkirakan ini akan membebani petani padi US$ 10 hingga US$ 17 per tahun, petani kedelai US$ 22 hingga US $72, dan petani jagung US$ 25 to US $130 per tahun. Di Kabupaten Subang saja, diperkirakan penurunan hasil panen ini akan menyebabkan sekitar 43,000 buruh tani kehilangan pekerjaan. Di samping itu, lebih dari 81,000 petani harus mencari sumber penghasilan lain karena sawah atau kolam ikan dan tambak udangnya tergenang karena kenaikan permukaan air laut (Parry & Nih, 1992).
8. Pemanasan air laut akan mempengaruhi keanekaragaman hayati bahari. Perubahan iklim akan menyebabkan kenaikan suhu air laut Indonesia sebesar 0.2 hingga 2.5oC. Terumbu karang seluas 50,000 km2 di Indonesia, sekitar 18 persen total terumbu karang dunia, sudah berada dalam keadaan sulit. Peristiwa El Nino tahun 1997 – 1998 saja diperkirakan menyebabkan pemutihan pada 16 persen terumbu karang dunia. Dalam Survei tahun 2000, hanya 6 persen terumbu karang Indonesia yang berada dalam kondisi sangat baik, 24 persen dalam kondisi baik, dan 70 persen sisanya dalam kondisi sedang hingga rusak (John Hopkins University dan Terangi, 2003). Survei di Taman Nasional Bali Barat menemukan bahwa sebagian besar terumbu karang berada dalam kondisi rusak. Lebih dari setengah penurunan kualitas diakibatkan pemutihan terumbu karang. Ini menempatkan Taman Nasional Bali Barat sebagai tempat yang mengalami bencana (Wilkinson, 2000 dalam Setiasih, 2006). Di Pulau Pari, dalam Taman Nasional Pulau Seribu, 50 – 60 persen terumbu karangnya ditemukan mengalami pemutihan pada 1997 (Irdez 1998 dalam Setiasih, 2006); sepuluh tahun kemudian, ini meningkat menjadi 90-95 persen (Pemerintah Indonesia, 2007b)
9. Perubahan iklim akan menyebabkan berjangkitnya penyakit yang dibawa air dan vektor. Pada akhir 1990-an, El Nino dan La Nina diasosiasikan dengan mewabahnya malaria, demam berdarah, dan sampar. Malaria menyebar hingga ke dataran tinggi dan terdeteksi untuk pertama kalinya di tempat setinggi 2,103 m di tanah tinggi Irian Jaya pada 1997 (Epstein, dkk., 1998). Pada 2004, galur demam berdarah yang lebih mematikan mungkin muncul kembali. Demam berdarah menyebar lebih cepat dan membunuh lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya, terutama pada tahun-
tahun La Nina (Pemerintah Indonesia, 2007). 5
5 Lihat Susandi, Armi et al (2007), ✓ ✁✂ ✄ ☎ ✆ ✓✝ ✄ ✞ ✟ ✆ ✁✞ ✠✄ ✡ ✄ ☛☎ ✄ ☞ ✌☎ ✍ ✎ ✁✍☎ ✏ ☛✁✑ ✄ ✒☎✔✕✖ ✗✏ ☛ ✘☛✏ ✙ ✆ ✑ ☎ ✁✏ ✞ , Proceedings of Annual Scientifi c Meeting HAGI, Semarang, Indonesia (13-15 November 2006). Hulme, Mike and
Sheard, Nicola (1999), ✓ ✁✂ ✄ ☎ ✆ ✓✝ ✄ ✞ ✟ ✆ ✘☛✏ ✙ ✆ ✑ ☎ ✁✏ ✞ ✍ ✁✞ ✌✞ ✕ ✏ ✞ ✆ ✍✁✄ . Climatic Research Unit. United Kingdom : University of East Anglia and WWF International, 1999 Ratag, Mezak (2 March 2007), Perubahan Iklim :
. Jakarta : Badan Metereologi dan Geofisika. Naylor, Rosamond et al. (2007), ✣✍ ✍✆ ✍✍✁✞ ✟ ☎✝✆ ☛✁ ✍✡ ✍ ✏✗ ✑ ✁✂ ✄ ☎ ✆ ✤✄ ☛✁✄ ✚ ✁ ✁☎ ✖ ✄✞✕ ✑ ✁ ✂✄☎✆ ✑ ✝ ✄ ✞✟ ✆ ✗✏ ☛
, PNAS Early Edition, May 1, 2007. World Bank (2008), Adapting to Climate Change: The Case of Rice in Indonesia, Report No. 44434-ID. Parry, M.L and Nih, A.R. Magalhaes and N.H.
TUJUAN PENELITIAN
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk inovasi kebijakan melalui strategi adaptasi dan mitigasi dalam perlindungan iklim di Indonesia, baik pada level pemerintah pusat maupun pada level pemerintah daerah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan. Kegiatan dalam metode ini dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah mengenai bentuk bentuk strategi adaptasi dan mitigasi dalam perlindungan iklim di Indonesia, baik pada level pemerintah pusat maupun pada level pemerintah daerah sebagai suatu bentuk dalam inovasi kebijakan. Informasi akan hal tesebut, dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, peraturan- peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain.
HASIL DAN DISKUSI
Perubahan Iklim Sebagai Krisis : Aksi Penanganan di Indonesia
Eksistensi Indonesia sebagai negara Non Annex I menjadikan tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca, namun Indonesia sangat berkepentingan untuk berperan aktif dalam upaya global untuk menghambat laju penurunan kondisi biosfer karena perubahan iklim. Indonesia meratifikasi Konvensi Kerangka PBB mengenai Perubahan Iklim lewat UU No. 6 tahun 1994. Sepuluh tahun kemudian Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto lewat UU No. 17 tahun 2004. Komitmen tersebut saat ini membutuhkan usaha dan tindakan nyata yang menyeluruh, mencakup seluruh sektor pengemisi gas rumah kaca. Komitmen tersebut harus pula secara serentak diterapkan dengan usaha perbaikan pemenuhan syarat kualitas hidup rakyat dan kualitas lingkungan hidup, dan tercermin dalam pengelolaan sektor-sektor produksi dan konsumsi prioritas untuk tindakan mitigasi dan adaptasi. Oleh karenanya dengan meratifikasi Protokol Kyoto, maka Indonesia dapat berpartisipasi dalam pengembangan proyek Clean Development Mechanism (CDM), yang dimulai pada 2005, melalui
. Nairobi: Kenya : United Nations Environment Programme. OFDA/CRED (2007), ✦ ✁
, Catholic University of Louvain, Belgium. CIESIN, 2007. ✂✄ ✩ ✓ ✟✞ ☎ ✝✄ ✆ ✗✁ ✆ ✍✝☎ ✕
. s.l. : Columbia University, 2007. IE (2007), Energy Security and Sustainable Development, The Indonesia Energy Economics Review Volume 2-2007, Periodical published by IIEE, Jakarta Setiasih, Naneng (2006), ✻✞ ✟✝ ✻✞ ✔ ✞ ☎ ★ ✞ ☎ ✝✄ ✆✞ ✟ ✂✞ ✔✫
. s.l. : Friends of the Reefs Project WWF Indonesia.
Dalam empat hingga lima tahun terakhir, isu perubahan iklim telah mendapatkan perhatian yang lebih luas dalam penyusunan kebijakan dan program pembangunan jangka panjang. Sejumlah kajian tentang dampak perubahan iklim terhadap berbagai sektor dan bidang serta peri-kehidupan masyarakat Indonesia juga telah dilakukan. Secara umum strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim adalah integrasi program aksi keduanya kedalam rencana pembangunan nasional jangka panjang, menengah dan jangka pendek, yang dituangkan dalam program kerja kementerian dan kelembagaan.
Proses pengintegrasian tersebut terjadi melalui beberapa tahap dan proses. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 – 2025, perubahan iklim dinyatakan sebagai tantangan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 juga mengidentifikasi dampak perubahan iklim di Indonesia terhadap upaya untuk mencapai target-target yang ditetapkan dalam rencana pembangunan tersebut. Walaupun demikian, strategi pembangunan nasional yang dituangkan dalam RPJMN 2004-2009 belum secara lengkap mempertimbangkan aksi untuk melaksanakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara sektoral dan lintas- sektoral.
Tindakan adaptasi adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim, sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat positifnya. Dalam pengertian lain adaptasi adalah upaya untuk mengelola hal yang tidak dapat dihindari. Dalam hal ini upaya perubahan dilakukan dengan asumsi bahwa perubahan iklim merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari dan terjadi secara global. Tindakan mitigasi adalah upaya utuk mengatasi penyebab perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi/meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dari berbagai sumber emisi. Dalam pengertian lain mitigasi adalah upaya untuk menghindari hal yang tidak dapat dikelola. Dalam hal ini upaya perubahan dilakukan pada sumber penyebab pemanasan global. Secara umum langkah adaptasi dilakukan dengan asumsi bahwa perubahan iklim yang terjadi sudah tidak dapat dielakkan karena sudah, sedang dan akan terjadi, sehingga diperlukan perubahan pola dan tingkah laku untuk penyesuaiannya. Sedangkan langkah mitigasi dilakukan dengan asumsi bahwa masih ada harapan perubahan iklim dapat dicegah terutama untuk generasi mendatang. Apabila langkah adaptasi dilakukan dengan benar maka akan dapat mengurangi dampak Tindakan adaptasi adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim, sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat positifnya. Dalam pengertian lain adaptasi adalah upaya untuk mengelola hal yang tidak dapat dihindari. Dalam hal ini upaya perubahan dilakukan dengan asumsi bahwa perubahan iklim merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari dan terjadi secara global. Tindakan mitigasi adalah upaya utuk mengatasi penyebab perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi/meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dari berbagai sumber emisi. Dalam pengertian lain mitigasi adalah upaya untuk menghindari hal yang tidak dapat dikelola. Dalam hal ini upaya perubahan dilakukan pada sumber penyebab pemanasan global. Secara umum langkah adaptasi dilakukan dengan asumsi bahwa perubahan iklim yang terjadi sudah tidak dapat dielakkan karena sudah, sedang dan akan terjadi, sehingga diperlukan perubahan pola dan tingkah laku untuk penyesuaiannya. Sedangkan langkah mitigasi dilakukan dengan asumsi bahwa masih ada harapan perubahan iklim dapat dicegah terutama untuk generasi mendatang. Apabila langkah adaptasi dilakukan dengan benar maka akan dapat mengurangi dampak
Perhatian terhadap fenomena perubahan iklim semakin meningkat di kalangan pemangku kepentingan di Indonesia, termasuk pembuat kebijakan, menjelang Konferensi para Pihak ke-13 (COP-13) dari Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali pada Desember tahun 2007. Untuk pertama kalinya, pemerintah mengeluarkan naskah Rencana Aksi Nasional menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI), yang mencakup situasi fenomena perubahan iklim di Indonesia dan usulan rencana aksi mitigasi gas rumah kaca dan adaptasi terhadap peningkatan pemanasan global dan perubahan iklim, melalui koordinasi antar sektor pembangunan.
Lebih kurang enam bulan setelah COP 13, dengan mempertimbangkan perlunya meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan untuk memperkuat posisi Indonesia di forum perundingan internasional dalam pengendalian perubahan iklim, Presiden RI membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) melalui Peraturan Presiden No. 46/2008. Presiden RI menjadi Ketua DNPI, yang dibantu oleh dua orang Wakil Ketua, yakni Menko Perekonomian dan Menko Kesra, 17 Menteri terkait dan Kepala BMKG sebagai anggota. Untuk melaksanakan mandatnya, maka Presiden menunjuk seorang Ketua Harian, Kepala Sekretariat, dan dibantu oleh Kelompok-kelompok Kerja (Pokja) sebagai pelaksana kegiatan Dewan sehari-hari.
Upaya untuk mengoperasionalkan rekomendasi dalam RAN-PI kedalam RPJMN 2004-2009 coba dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) melalui penyusunan naskah National Development Planning: Indonesia Response to Climate Change. Naskah yang kemudian dikenal sebagai “Yellow Book” ini mulai diperkenalkan secara terbatas saat berlangsungnya COP 13, tetapi baru dipublikasikan secara penuh pada tahun 2008. Yellow Book juga ditujukan sebagai dokumen perantara (bridging document) yang mempertimbangkan berbagai isu sektoral dan lintas sektoral yang sensitif terhadap perubahan iklim, sekaligus untuk mempertajam program pembangunan yang dituangkan dalam RPJMN 2004-2009, dan sebagai masukan dalam merumuskan RPJMN 2010-2014.
Naskah “Yellow Book” Bappenas berusaha mengintegrasikan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan nasional. Selain itu ditetapkan juga prioritas sektor untuk adaptasi yaitu: (i) pertanian dan (ii) daerah pesisir, pulau-pulau kecil, kelautan dan perikanan; dan untuk mitigasi yaitu: (i) energi dan pertambangan, (ii) kehutanan. Lebih daripada itu, isi yang terpenting dari “Yellow Book” adalah daftar proyek dari sektorsektor prioritas dan non-prioritas yang terkait dengan perubahan iklim.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) juga telah menyelesaikan penyusunan Second National Communication (SNC) pada tahun 2009. Sesuai dengan Konvensi Perubahan Iklim, pelaporan inventori gas rumah kaca dalam bentuk National Communication merupakan salah satu bentuk tanggung jawab negara berkembang. National Communication Indonesia yang pertama dibuat pada tahun 1994, dengan basis emisi tahun 1990. SNC mencakup inventori emisi GRK pada rentang tahun 2000-2005. Pada dasarnya SNC merupakan dokumen inventori emisi GRK dari berbagai sektor di Indonesia, dimana yang dihitung adalah emisi GRK bersih. SNC menjadi dokumen acuan bagi penentuan kebijakan dan prioritas aksi mitigasi perubahan iklim.
Dalam upaya mengintegrasikan lebih lanjut perubahan iklim dalam pembangunan nasional, BAPPENAS menyusun dokumen kebijakan perencanaan sektoral yang disebut Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR). Menurut BAPPENAS, “peta jalan sektoral” bertujuan mengintegrasikan perubahan iklim kedalam perencanaan pembangunan sektoral dan lintas sektor, serta untuk mempercepat implementasi berbagai sektor yang relevan untuk menghadapi perubahan iklim. ICCSR mencakup jangka waktu pembangunan selama 20 tahun, dengan prioritas pembangunan yang ditentukan sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah 5 tahunan.
Pada formulasi strategi adaptasi, ICCSR mengintegrasikan kerangka penilaian resiko akibat pemanasan global dan dampak perubahan iklim yang telah terjadi dan akan terjadi di Indonesia untuk menentukan tingkat ancaman bahaya iklim (climate hazards) dan dampaknya pada sektor-sektor yang relevan. Prioritas dan rencana aksi adaptasi ditentukan berdasarkan pada tingkat dampak yang terjadi. Adapun strategi mitigasi dicapai melalui proses analisa terhadap skenario laju emisi GRK pada setiap sektor berdasarkan kajian tingkat pertumbuhan emisi dari sektor-sektor tersebut, dan dilakukan analisa terhadap skenario mitigasi untuk setiap sektor (energi, transportasi, industri, kehutanan dan limbah/sampah). Naskah ICCSR merinci berbagai rencana kegiatan untuk sektor-sektor energi, industri, transportasi, limbah, kehutanan, sampah, pertanian, kelautan dan perikanan, air serta kesehatan yang dikategorikan dalam 3 kelompok aktivitas. Sesuai dengan rencananya, berbagai rencana aksi yang telah dikaji seharusnya diimplementasikan sebagai rangkaian program kerja pada kementerian dan lembaga yang terkait, sesuai dengan prioritas pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang berlaku selama 5 tahun.
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) telah melakukan kajian Indonesia GHGs Abatement Cost Curve, untuk melakukan identifikasi berbagai peluang dan pilihan-pilihan aksi mitigasi untuk menurunkan emisi GRK Indonesia berdasarkan biaya penurunan (abatement cost) dari setiap aksi mitigasi tersebut. Laporan kajian DNPI ini telah Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) telah melakukan kajian Indonesia GHGs Abatement Cost Curve, untuk melakukan identifikasi berbagai peluang dan pilihan-pilihan aksi mitigasi untuk menurunkan emisi GRK Indonesia berdasarkan biaya penurunan (abatement cost) dari setiap aksi mitigasi tersebut. Laporan kajian DNPI ini telah
41 persen, sebagaimana telah digariskan oleh Presiden RI. Sesuai dengan profil emisi GRK maka Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) adalah salah satu bentuk program mitigasi GRK yang penting bagi Indonesia. Untuk mengimplementasikan program REDD plus di Indonesia, pada 20 September 2010, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden yang menetapkan pembentukan Satuan Tugas REDD. Satuan Tugas ini akan dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto, kepala UKP4 (Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan), dengan sejumlah pejabat yang mewakili kementerian dan lembaga yang relevan sebagai anggotanya (Bappenas, KLH, Kementerian Keuangan, Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional dan DNPI). Tugas Satgas REDD sebagaimana yang dicantumkan dalam Kepres adalah memastikan terbentuknya strategi nasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD plus) dan rencana nasional
untuk aksi pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan 6 . Sebagai bagian dari tugas dibawah Satgas REDD, sebuah Strategi Nasional
Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Stranas REDD plus) juga baru dipublikasikan. 7 Stranas REDD plus mencoba mengidentifikasi penyebab terjadinya
deforestasi dan degradasi hutan dan perumusan strategi yang diperlukan untuk menekan penyebab tersebut dalam rangka mengurangi emisi serta peningkatan serapan dan simpanan karbon dari kegiatan konservasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari, restorasi ekosistem, dan berbagai usaha peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan tanaman. Tahapan pelaksanaan REDD+ di Indonesia, yang secara umum dibagi dalam tiga tahap: (1) penyusunan strategi yang mencakup strategi nasional dan rencana aksi nasional REDD plus; (2) membangun kesiapan dan pelakasanaan tindakan awal berupa pembangunan infrastruktur prasyarat REDD+, pemenuhan kondisi pemungkin dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan awal; dan (3) implementasi yang mencakup pengarusutamaan REDD+ dalam pembangunan, integrasi REDD+ ke dalam RPJMN dan implementasi penuh, terutama di daerah-daerah percontohan berdasarkan kriteria yang ditentukan. Dalam naskah Stranas REDD plus yang pertama, belum dicantumkan rencana aksi yang rinci untuk diimplementasikan di masing-masing tahap.
Dalam hal teknologi untuk mitigasi perubahan iklim, pada tahun 2009, Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
6 http://www.thejakartapost.com/news/2010/09/24/kuntoro-mangkusubrotochairs-redd-task-
force.html
7 Draft pertama Naskah Stranas REDD tertanggal 23 September 2010. Naskah ini disusun oleh Bappenas, bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian 7 Draft pertama Naskah Stranas REDD tertanggal 23 September 2010. Naskah ini disusun oleh Bappenas, bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian
Untuk mendukung pembuatan Strategi Nasional Adaptasi dan Rencana Aksi Adaptasi menghadapi perubahan iklim, DNPI telah menyelesaikan Adaptation Science
and Policy Study 8 . Kajian mencoba mengidentifikasi berbagai kajian dan analisis yang telah dilakukan oleh berbagai institusi yang terkait dengan adaptasi perubahan iklim di
Indonesia. Melalui kajian ini, dicoba untuk mengidentifikasi celah (gap) dan kebutuhan untuk mengembangkan strategi adaptasi, kebutuhan strategi pendanaan serta kebutuhan teknologi untuk Indonesia. Sejumlah kementerian sektoral, misalnya Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah membuat kajian terkait dengan identifikasi tantangan dan pilihan-pilihan adaptasi di sektor pertanian, dan strategi adaptasi untuk kelautan dan kawasan pesisir.
Perkembangan selanjutnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca sebagai dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pembangunan nasional. Peraturan tersebut secara detail memuat rencana aksi, bentuk kegiatan, periode pelaksanaan, lokasi serta indeks penurunan emisi gas rumah kaca. Oleh karenanya Pemerintah Indonesia pada tahun 2010 sebelumnya telah menyusun Strategi Nasional REDD+ dan Pedoman Pengukuran Karbon untuk mendukung Penerapan REDD+ di Indonesia. Upaya Pemerintah Indonesia untuk ‘membumikan’ persoalan gas rumah kaca ditingkat daerah juga dilakukan, dengan diterbitkannya Panduan Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) pada tahun 2011. Adapun visualisasi hubungan aksi dunia internasional dengan aksi pemerintah Indonesia terhadap perubahan iklim dan global warming dalam bingkai kebijakan dapat dilihat pada bagan berikut :
8 Kajian ini berjudul ☛ ✁✂✄ ✁ ✄ ☎✆ ✝ ✞ ✟ ☎✠ ✝✟ ✠ ✁✝ ✡✆ ☞☎✟ ✌ ✞✄ ✍ ☎✠ ✎ , yang dilakukan oleh DNPI dan LAPI ITB, atas dukungan UK Aid dan British Council. Kajian ini dimulai pada Maret 2010 dan diselesaikan pada Juli
2010.
Gambar 1. Visualisasi Hubungan Aksi Dunia Internasional Dengan Aksi Pemerintah Indonesia Terhadap Perubahan Iklim Dan Global Warming Dalam Bingkai Kebijakan
Kondisi di Indonesia, konfigurasi dampak perubahan iklim sebagaimana disampaikan dalam tabel 6 demikian komplek, walau demikian dapat diinventarisir beberapa bidang pembangunan yang terkait erat dengan dampak perubahan iklim tersebut. Secara umum dampak perubahan iklim meliputi bidang-bidang diantaranya (1) sektor sumber daya air; (2) sektor kelautan dan perikanan; (3) sektor pertanian; (4) sektor kesehatan; (5) sektor kehutanan; (6) sektor transportasi; (7) sektor Industri; (8) sektor energi; dan (9) sektor pengolahan limbah. Sektor-sektor yang telah diinvetarisir tersebut kemudian dikelompokkan dlam prioritas penanganan diantara mitigasi dan adaptasi. Sektor yang diterapkan strategi adaptasi meliputi ; (1) sektor sumber daya air; (2) sektor kelautan dan perikanan; (3) sektor pertanian; dan (4) sektor kesehatan. Sedangkan yang diperlukan penanganan mitigasi meliputi : (1) sektor kehutanan; (2) sektor transportasi; (3) sektor Industri; (4) sektor energi; dan (5) sektor pengolahan limbah. Visualisasi strategi penanganan ini dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 2. Visualisasi Strategi Penanganan Perubahan Iklim
Kenyataan menunjukkan, aksi Pemerintah Indonesia cukup serius, dalam menangani dampak perubahan iklim ini. Berbagai riset dilakukan sebagaimana DNPI
telah menyelesaikan Adaptation Science and Policy Study 9 . dapat disimpulkan bahwa kajian untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia telah cukup banyak dan
beragam. Berbagai kajian baik dilakukan oleh, kementerian, badan, Non Govermental Organization-NGO, LSM, perguruan tinggi memberi kontribusi sekaligus dapat menjadi acuan dalam perumusan strategi dan rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Analisa terhadap dampak perubahan iklim, dari berbagai kajian mampu dirumuskan program prioritas yang didasari rasionalitas atas pilihan program tersebut. Program prioritas masing-masing sektor tersebut dipandang sangat perlu untuk ‘diintervensi’ melalui kebijakan dan kegiatan aksi pada level nasional, bahkan hingga level daerah.
9 Opcit, DNPI, 2010, ☛ ✁ ✂ ✄ ✁ ✄ ☎✆ ✝ ✞ ✟ ☎✠ ✝ ✟✠ ✁✝ ✡ ✆ ☞☎✟ ✌ ✞✄✍ ☎✠ ✎
Inovasi Kebijakan dalam Perubahan Iklim Melalui Strategi Adaptasi dan
Mitigasi Antar Level Pemerintah
Sebagaimana diketahui, Pemerintah Indonesia demikian serius untuk melakukan penanganan perubahan iklim, mengingat dampak nyata maupun dampak potensial yang ada berdasarkan penelaahan beberapa kajian menunjukkan, “kondisi” krisis lingkungan tengah terjadi di Indonesia. Pada perspektif inovasi kebijakan, maka pada level pemerintah pusat (nasional), Pemerintah Indonesia secara makro melakukan tindakan strategi adaptasi yang berorientasi kepada eksistensi hasil konvensi dan kebijakan dunia internasional akan perubahan iklim. Hal ini sebagaimana pendapat Berry dan Berry (1999), bahwa inovasi kebijakan yang terdapat pada level pemerintah pusat hasil dari emulasi kebijakan-kebijakan yang sebelumnya (konvensi dan kebijakan dunia internasional) yang diadopsi dalam kebijakan perlindungan iklim di Indonesia. Sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang sebelumnya merupakan faktor pendorong dalam inovasi kebijakan yang ada. Artinya proses adopsi berlangsung sebagai bentuk adaptasi kebijakan internasional yang berlaku secara holistik.
Secara lebih detail, kuatnya peran dunia internasional mempengaruhi kebijakan internal Pemerintah Indonesia adalah dengan adanya Clean Development Mechanism (CDM) sebagai program implementasi membantu negara-negara berkembang mencapai pembangunan berkelanjutan, sekaligus membantu negara maju mencapai pelaksanaan kewajiban membatasi dan mengurangi emisi melalui mekanisme pendanaan. Pelaksanaan CDN dapat dilaksanakan melalui bilateral, multilateral dan unilateral. Pada dasarnya kegiatan CDM dapat dibedakan atas kegiatan yang menurunkan emisi GRK pada sumber dan kegiatan yang menyerap GRK dari atmosfer. Kegiatan yang menurunkan emisi dari sumber biasanya terfokus pada sektor yang memanfaatkan energi, sementara kegiatan untuk menyerap GRK dari atmosfer, dikenal pula sebagai carbon sequestration, adalah kegiatan non-energi seperti kehutanan. Adapun sektor- sektor yang termasuk kedalam CDM, antara lain : sektor energi, transportasi, industri, komersial & rumah tangga, persampahan dan kehutanan. Hal ini apabila dikomparasikan dengan sektor-sektor yang diintervensi dalam kebijakan penanganan iklim di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Komparasi Sektor CDM dengan Sektor yang Diatur dalam Kebijakan Penanganan Perubahan Iklim Di Indonesia No.
Sektor Penanganan
CDM
Kebijakan Indonesia
1 Kelautan dan Perikanan
2 Pertanian
3 Kesehatan
4 Sumber Daya Air
9 Pengolahan Limbah √ √
10 Komersial
√ x Tangga
Rumah
Keterangan : √ = Ya x = Tidak
Beragam inovasi kebijakan pada pada level pemerintah pusat (nasional), yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 – 2025, Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, Rencana Aksi Nasional menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI, National Development Planning: Indonesia Response to Climate Change – Yellow Book, Second National Communication (SNC), Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR), Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca; Strategi Nasional REDD+ dan Pedoman Pengukuran Karbon untuk mendukung Penerapan REDD+, juga dipengaruhi oleh kondisi riil yang terjadi di Indonesia. Artinya bahwa kebijakan-kebijakan yang sebelumnya bukanlah salah satu faktor penentu timbulnya inovasi kebijakan pada skala nasional, akan tetapi juga desakan fakta empiris tentang dampak yang ditimbulkan dari adanya perubahan iklim di Indonesia. Adapun pemetaan atas dampak, rasionalitas strategi adaptasi dan strategi serta program prioritas dalam penanganan perubahan iklim di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Pemetaan Atas Dampak, Rasionalitas Strategi Adaptasi Dan Strategi Serta Program Prioritas Dalam Penanganan Perubahan Iklim Di Indonesia
Bentuk
No Dampak
Sektor
Program Prioritas
Rasionalitas
Strategi
1. a. Indonesia akan
Belum spesifiknya cakupan adaptasi mengalami
Kelautan dan Peningkatan kapasitas
perubahan iklim dalam regulasi dan kenaikan
Perikanan
hukum dan kebijakan
kebijakan yang ada temperatur yang
mengenai adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim di
tidak terlalu tinggi
wilayah pesisir dan laut
2 b. Ketahanan pangan
Gagal tanam/gagal panen; kerusakan di Indonesia akan
Pertanian
Penelitian Pengembangan
infrastruktur pertanian; meningkatnya terancam oleh
Antisipasi, Adaptasi, dan
frekuensi, intensitas dan distribusi perubahan iklim
Mitigasi Perubahan Iklim
luas wilayah pertanian yang terkena c. Indonesia akan
banjir, kekeringan
Meningkatnya risiko penularan hujan yang lebih
3 mendapat curah
Adaptasi
Kesehatan
Penguatan sistem kesehatan sebagai respon
penyakit akibat dari tinggi
perkembangbiakan, pengembangan, d. Kebakaran hutan
terhadap perubahan iklim
serta penyebaran vektor
4 dan lahan di
Menurunnya debit bendungan Indonesia
Sumber Daya Kajian Kerentanan
(Pekalongan, Jateng, dll) serta berkaitan erat
Air
Perubahan Iklim pada
adanya kekeringan dan banjir di dengan perubahan
Wilayah Sungai dan
wilayah Jawa-Bali, Nusatenggara, iklim
Pengembangan
Infrastruktur Sumber Daya
Sumatera
e. Variabilitas curah
Air dalam Peningkatan
hujan akan
Kapasitas Tampungan
berpengaruh buruk
Sumber Daya Air
Besarnya potensi kawasan hutan f. Kenaikan
5 pada sumber air
Kehutanan
Pengurangan emisi dari
seluas 137,09 jt ha dan lahan gambut permukaan air laut
pencegahan kebakaran
hutan dan degradasi lahan seluas 17 jt ha (sekitar 10% dari luas akan menggenangi
hutan gambut
negara)
6 zona pesisir yang
Pengurangan GHGs yang paling produktif
Transportasi
Peningkatan Integrasi
efektif dan memiliki co-benefit yang g. Kenaikan
moda yang lebih rendah
sangat tinggi adalah dengan permukaan air laut
karbon atau angkutan
pendekatan shift, yaitu mengalihkan akan mengurangi
umum untuk penumpang
pergerakan pada kendaraan yang mata pencarian
dan barang
lebih rendah emisinya serta pertanian dan
memperbaiki manajemennya.
7 pesisir
Konservasi energi pada industri akan h. Pemanasan air
Mitigasi
Industri
Capacity Building Bidang
memberi dampak penghematan laut akan
Konservasi Energi
energi hingga 57%
Target Tahun 2025 : Minyak Bumi 20 keanekaragaman
8 mempengaruhi
Energi
Pengembangan dan
%, Batu bara 33 %, Gas 30 %, hayati bahari
Pemanfaatan Energi
geothermal 5%, Renewable Energi i. Perubahan iklim
Terbarukan
5%, Coal to Liquids 2% and Biofuels akan
Hampir seluruh Tempat Pembuangan berjangkitnya
9 menyebabkan Pengolahan
Program peningkatan
Akhir Sampah merupakan open penyakit yang
Limbah
kualitas landfill
dumping yang menyebabkan GHGs. dibawa air dan
vektor Sumber: diolah dari bahan Presentasi Bappenas, 2009, Penyusunan Road Map Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim
ke dalam
http://www.dephut.go.id/files/Presentasi _Roadmap_Bapenas_09.pdf
Proses adaptasi kembali terjadi, bersamaan dengan adopsi atas dampak yang ditimbulkan dari adanya perubahan iklim. Artinya pada skala nasional, inovasi kebijakan dalam bentuk munculnya beragam kebijakan-kebijakan level pusat, dipengaruhi oleh Proses adaptasi kembali terjadi, bersamaan dengan adopsi atas dampak yang ditimbulkan dari adanya perubahan iklim. Artinya pada skala nasional, inovasi kebijakan dalam bentuk munculnya beragam kebijakan-kebijakan level pusat, dipengaruhi oleh
Tabel 3. Kebijakan Makro, Meso, dan Mikro pada Skala Nasional Terkait Langsung dengan Penanganan Perubahan Iklim Di Indonesia
Bentuk Kebijakan Mikro No
Sektor
Kebijakan Makro
Kebijakan Meso
Strategi
1. Kelautan dan
• Rencana Aksi Nasional menghadapi
Perikanan
Perubahan Iklim (RAN-PI)
2 Pertanian
• National Development Planning:
Peraturan Presiden Republik
Indonesia Response to Climate
Indonesia Nomor 61 Tahun 2011
Change – Yellow Book, Second
Tentang Rencana Aksi Nasional
Adaptasi
National Communication (SNC)
Penurunan Emisi Gas Rumah
• Indonesia Climate Change Sectoral
Kaca
3 Kesehatan
Roadmap (ICCSR)
• Undang-Undang Nomor 17 Tahun
4 Sumber Daya
Air
2004 tentang Ra� fi kasi Protokol Kyoto
5 Kehutanan
• Rencana Aksi Nasional menghadapi
• Rencana
Perubahan Iklim (RAN-PI)
Pembangunan Jangka Panjang
• National Development Planning: Indonesia Response to Climate
(RPJP) 2005 –
Change – Yellow Book, Second
National Communication (SNC)
Peraturan Presiden Republik
• Dokumen
• Indonesia Nomor 61 Tahun 2011
Indonesia Climate Change Sectoral
Rencana
Tentang Rencana Aksi Nasional
Roadmap (ICCSR)
Pembangunan
• Strategi Nasional REDD+ dan
Penurunan Emisi Gas Rumah
Jangka
Kaca
Pedoman Pengukuran Karbon untuk Menengah
Nasional
mendukung Penerapan REDD+
• Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2004 tentang Ra� fi kasi Protokol Kyoto
6 Transportasi
• Rencana Aksi Nasional menghadapi
7 Industri
Perubahan Iklim (RAN-PI)
8 Energi
• National Development Planning:
9 Pengolahan
Indonesia Response to Climate
Peraturan Presiden Republik
Limbah Indonesia Nomor 61 Tahun 2011
Change – Yellow Book, Second
National Communication (SNC)
Tentang Rencana Aksi Nasional
• Indonesia Climate Change Sectoral
Penurunan Emisi Gas Rumah
Roadmap (ICCSR)
Kaca
• Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Ra� fi kasi Protokol Kyoto
Sumber: diolah penulis, 2012.
Telaah empiris beragam upaya pemerintah Indonesia dalam perubahan iklim, cukup banyak dilakukan melalui adanya program Clean Development Mechanism (CDM). Berikut beberapa proyek CDM yang dikembangkan di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4. Proyek CDM Di Indonesia
No Nama Proyek
Uraian
Lokasi
1. Bahari Co-
Aceh Tamiang, Composting
Proyek manajemen limbah dari industri minyak sawit. Limbah diolah
menjadi kompos untuk mengurangi emisi gas methana dari limbah minyak NAD Project
sawit. Reduksi emisi diperkirakan mencapai 58,458 ton CO2 per tahun dalam jangka waktu 10 tahun.
Dumai, Sumatera Biomassa
2 Nagamas
Implementasi proyek Permata Hijau Group (PHG) yang melibatkan
kontruksi pembangkit biomas di terminal induk PHG di Dumai, Sumatera. Cogeneration
Dari proyek ini diharapkan dapat menurunkan CO2 sebesar 75.147
Project
ton/tahun. Penurunan emisi GRK ini dilakukan dengan tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil untuk mengoperasikan generator.
3 Gandaerah
Riau, Sumatera Hendana Co-
Aktivitas dari proyek ini adalah proyek yang dilakukan di Propinsi Riau,
Sumatera. Proyek ini akan menghindari emisi gas methana melalui proses Composting
pengomposan. Proyek ini akan menggunakan limbah padat dan cair dari
Project
pabrik kelapa sawit untuk memproduksi kompos organik yang dapat digunakan untuk pemupukan perkebunan kelapa sawit. Proyek ini diperkirakan dapat mengurangi emisi sebesar 81.629 ton CO2/tahun.
4 Gas Turbine Co- Aktivitas proyek ini bertujuan untuk mengurangi emisi GRK dengan Cikampek, Jawa generation Project
mengenalkan sistem pembangkit turbine gas oleh PT. Sumi Rubber Indonesia (SURINDO), yang merupakan perusahaan ban automobile di Cikampek, Jawa Barat. Sistem pembangkit turbin gas ini akan menggunakan tenaga listrik dari gas alam dan menghasilkan energi listrik mencapai 56 GWh/tahun serta 148.860 ton panas. Dan hasil ini akan dimanfaatkan untuk operasi SURINDO.
5 Pangkalan Pangkalan Brandan Palm Oil Waste Power Plant, melakukan pembakaran Pangkalan Brandan, Brandan Palm Oil
Sumatera Utara Waste Power Plant
220.000 ton/tahun ampas buah sawit dari 6 pabrik pengolahan minyak
sawit untuk menggerakkan 10.3 MW di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Proyek ini dikembangkan di bawah program Pembina Institute di Kanada dan Tata Energy Research Institute (TERI) di India yang sedang mengeksplorasi aplikasi CDM di Asia. Potensi pengurangan emisi sebesar 565.000 ton CO2e untuk jangka waktu 10 tahun. Sekarang, proyek ini sedang mencari investor dari negara maju (Annex I)
6 The Greenhouse
Yogyakarta Gases Emission
Tipe dari proyek ini adalah proyek transportasi. Tujuan utama untuk
menyediakan sistem transportasi umum kota yang atraktif dan ramah
Reduction
lingkungan. Sistem ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan mobilitas
Programme for
populasi penduduk kota dan dapat mengurangi emisi dari sistem
Urban Buses in
transportasi yang digunakan saat ini. Diharapkan proyek ini dapat