Klasifikasi strata tajuk pohon secara vertikal

B. Indeks Keanekaragaman Jenis dan Indeks Kemerataan

Keanekaragaman jenis dan struktur komunitas burung berbeda dari suatu wilayah dengan wilayah yang lainnya (Karr dalam Johnsingh dan Joshua, 1994). Keanekaragaman jenis di suatu wilayah ditentukan oleh berbagai faktor. Keanekaragaman jenis mempunyai sejumlah komponen yang dapat memberi reaksi secara berbeda-beda terhadap faktor geografi, perkembangan, dan fisik (Odum, 1993). Jenis burung yang banyak dijumpai dalam suatu komunitas adalah burung yang mempunyai densitas, dominansi, dan frekuensi yang besar. Nilai- nilai tersebut akan mempengaruhi nilai penting suatu jenis burung dalam komunitas tersebut.

periode penelitian

Gambar 5. Grafik Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan Burung di P. Geleang

Keanekaragaman jenis merupakan salah satu aspek penting dalam kajian komunitas. Hasil penelitian selama tiga periode pengamatan menunjukkan nilai indeks keanekaragaman jenis di P. Geleang tertinggi pada periode November 2006 dan nilai indeks keanekaragaman terendah pada periode Juni 2007. Nilai Keanekaragaman jenis merupakan salah satu aspek penting dalam kajian komunitas. Hasil penelitian selama tiga periode pengamatan menunjukkan nilai indeks keanekaragaman jenis di P. Geleang tertinggi pada periode November 2006 dan nilai indeks keanekaragaman terendah pada periode Juni 2007. Nilai

Dari ketiga periode penelitian yang dilakukan, nilai indeks keanekaragaman tertinggi terjadi pada periode November 2006, namun ternyata memiliki indeks kemerataan paling rendah sebesar 0,41. Hal ini dikarenakan pada periode itu kelimpahan individu setiap jenis tidak berimbang atau kemerataan jenis individunya rendah. Diantara jenis-jenis penyusun komunitas terjadi dominasi oleh jenis-jenis tertentu., sehinga distribusi jumlah tidak merata pada setiap populasi dalam komunitas. Jumlah individu Zosterops chloris mencapai 36% dari jumlah total individu, 26% Nectarinia jugularis, 14% Artamus leucorhynchus sedangkan 24% sisanya ditempati oleh tujuh jenis burung lainya (Lampiran 3).

Pada periode Juni 2007 terjadi kenaikan jumlah individu yang cukup signifikan sebesar 159% dari jumlah individu di periode November 2007. Jumlah tersebut merupakan jumlah individu terbesar yang ditemui dari ketiga periode penelitian. Nilai indeks kemerataan pada periode ini masih tergolong rendah, Pada periode Juni 2007 terjadi kenaikan jumlah individu yang cukup signifikan sebesar 159% dari jumlah individu di periode November 2007. Jumlah tersebut merupakan jumlah individu terbesar yang ditemui dari ketiga periode penelitian. Nilai indeks kemerataan pada periode ini masih tergolong rendah,

Para ilmuwan mempunyai keserupaan pengertian bahwa pulau-pulau kecil mendukung lebih sedikit jenis kehidupan dibandingkan pulau yang lebih besar. Secara umum penurunan luas kawasan pulau sampai sepersepuluh akan mengurangi setengah dari jumlah jenis (Whitten et.al , 1999). Namun pada penelitian burung, selain memperhatikan luas wilayah, kita perlu memperhatikan vegetasinya, baik komposisi maupun struktur vegetasi. Hal ini berkaitan dengan kemampuan penyediaan makanan bagi burung dan ketersediaan ruang sebagai habitat burung.

Burung adalah satwa dengan tingkat mobilisasi tinggi. Burung akan mencari habitat yang paling sesuai bagi kelangsungan hidupnya. Mekanisme migrasi temporal dan kemampuan terbang akan sangat mempengaruhi populasi, kekayaan jenis maupun indeks keanekaragaman burung pada habitat tertentu. Indeks keanekaragaman burung di P. Burung sangat berbeda dengan P. Geleang. Hasil penghitungan nilai indeks keanekaragaman jenis di P. Burung pada ketiga periode pengamatan menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis tertinggi pada periode Juni 2007 yaitu sebesar 1,91 dengan nilai kemerataan berkisar antara sebesar 0,83 (Gambar 6). Nilai keanekaragaman jenis terdsebut tergolong tinggi pada suatu kawasan. Menurut Odum (1993) keanekaragaman jenis tergolong tinggi bila keseragaman atau kesamarataan jenis (E’) mencapai Burung adalah satwa dengan tingkat mobilisasi tinggi. Burung akan mencari habitat yang paling sesuai bagi kelangsungan hidupnya. Mekanisme migrasi temporal dan kemampuan terbang akan sangat mempengaruhi populasi, kekayaan jenis maupun indeks keanekaragaman burung pada habitat tertentu. Indeks keanekaragaman burung di P. Burung sangat berbeda dengan P. Geleang. Hasil penghitungan nilai indeks keanekaragaman jenis di P. Burung pada ketiga periode pengamatan menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis tertinggi pada periode Juni 2007 yaitu sebesar 1,91 dengan nilai kemerataan berkisar antara sebesar 0,83 (Gambar 6). Nilai keanekaragaman jenis terdsebut tergolong tinggi pada suatu kawasan. Menurut Odum (1993) keanekaragaman jenis tergolong tinggi bila keseragaman atau kesamarataan jenis (E’) mencapai

Indeks keanekaragaman jenis burung di P. Burung pada periode Juni 2006 tergolong tinggi yaitu sebesar 1,77 dengan nilai indeks kemerataan sebesar 0,8. Nilai indeks kemerataan yang cukup tinggi menunjukkan bahwa penyebaran individu jenis burung sangat merata. Indeks keanekaragaman yang tinggi dapat diartikan bahwa komunitas yang ada di P. Burung sangat mendukung keberadaan jenis burung dalam habitat tersebut. Tingginya nilai keanekaragaman mmberikan indikasi bahwa keseimbangan antar jenis juga tinggi, sebagai tolok ukur stabilitas suatu komunitas. Keseimbangan jenis burung di habitat P. Burung pada periode Juni 2006 dan Juni 2007 dapat dikatakan cukup tinggi.

periode penelitian

Gambar 6. Grafik Indeks Keanekaragaman dan

Indeks Kemerataan Burung di P. Burung

Nilai indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan paling rendah terjadi pada periode November 2007. Hal ini disebabkan oleh kelimpahan individu setiap jenis tidak berimbang atau kemerataan jenis individunya rendah. Rendahnya kemerataan jenis indiividu dipengaruhi oleh dominansi suatu jenis tertentu. Mungkin suatu jenis jumlahnya sangat banyak, tetapi jenis yang lain jumlahnya sangat terbatas atau sedikit. Pada periode November 2007 terjadi penurunan jumlah total individu yang cukup signifikan sebesar 60%-63% dari periode lainya. Jumlah total jenis yang ditemui pada periode ini paling sedikit, yaitu sebanyak 8 jenis burung. Dari jumlah total individu tersebut didominasi oleh Zosterops chloris sebesar 41%, Todirhampus chloris sebesar 21,75%, Artamus leucorhynchus sebesar 15%, Nectarinia jugularis sebesar 13% sedangkan 4 jenis lainya sangat sedikit jumlah individu yang ditemui, yaitu satu individu tiap jenis (Lampiran 4).

Terjadinya perbedaan indeks keanekaragaman dan kemerataan yang nyata antara P. Geleang dan P. Burung dikarenakan masing-masing habitat mempunyai karakteristik yang berbeda, baik struktur, luas maupun fungsinya. P. Gelenag mungkin wilayahnya cukup luas, tetapi tidak menyediakan makanan dan ruang tempat tinggal yang cukup memadai bagi burung. Disamping itu, keberadaan Haliaeetus leucogaster sebagai predator menyebabkan beberapa jenis burung lebih suka hidup di pulau lain yang lebih aman. P. Burung memiliki wilayah yang sempit, tetapi vegetasinya cukup rapat. Komposisi penyusun vegetasi tersebut bermacam-macam, mulai dari tumbuhan bawah yang tergolong sebagai mangrove ikutan, seperti Ipomoea pescapre, Acanthus citrifolius, Rumput jarum, dan Terjadinya perbedaan indeks keanekaragaman dan kemerataan yang nyata antara P. Geleang dan P. Burung dikarenakan masing-masing habitat mempunyai karakteristik yang berbeda, baik struktur, luas maupun fungsinya. P. Gelenag mungkin wilayahnya cukup luas, tetapi tidak menyediakan makanan dan ruang tempat tinggal yang cukup memadai bagi burung. Disamping itu, keberadaan Haliaeetus leucogaster sebagai predator menyebabkan beberapa jenis burung lebih suka hidup di pulau lain yang lebih aman. P. Burung memiliki wilayah yang sempit, tetapi vegetasinya cukup rapat. Komposisi penyusun vegetasi tersebut bermacam-macam, mulai dari tumbuhan bawah yang tergolong sebagai mangrove ikutan, seperti Ipomoea pescapre, Acanthus citrifolius, Rumput jarum, dan

Burung memerlukan ruang atau strata tajuk pohon sebagai tempat tinggal, beraktivitas, maupun istirahat. Startifikasi tajuk vegetasi pada arsitektur pohon juga mempengaruhi kehadiran burung pada habitat tersebut. Vegetasi P. Burung sebagian besar merupakan pohon dengan stratifikasi tajuk bervariasi. Hal ini yang diduga kuat pulau ini lebih disukai burung untuk dikunjungi. Beberapa burung tidak menetap di P. Burung, hal ini terlihat dari jumlah terbanyak spesies yang dijumpai pada setiap periode pengamatan, yaitu sebanyak 10 spesies dengan jumlah total akumulasi spesies yang mencapai 15 spesies. Faktor lainya adalah

suhu lingkungan, dimana suhu lingkungan P. Geleang berkisar antara 35 0 C hingga

0 0 40 0 C sedangkan di P. Burung hanya berkisar antara 25 C hingga 28 C. Sebagai pulau yang mempunyai wilayah jauh lebih luas dibandingkan P.

Burung, P. Geleang lebih berpotensi memiliki keanekaragaman jenis yang lebih tinggi. Rendahnya keanekaragaman jenis di P. Geleang dikarenakan struktur vegetasi di P. Geleang yang tidak kompleks, dengan didominasi oleh Alang-alang dan semak belukar. Hampir 70% wilayah P. Geleang tertutup oleh Alang-alang dan semak belukar, 30% yang lain ditumbuhi Kelapa, Ingas, Cemara laut, Kudho, Jati pasir, dan tumbuhan mangrove ikutan. Formasi vegetasinya membentuk zonasi yang tidak konsisten. Bagian tepi pulau yang berbatasan langsung dengan pantai ditumbuhi oleh tumbuhan mangrove ikutan dan Cemara laut. Bagian yang Burung, P. Geleang lebih berpotensi memiliki keanekaragaman jenis yang lebih tinggi. Rendahnya keanekaragaman jenis di P. Geleang dikarenakan struktur vegetasi di P. Geleang yang tidak kompleks, dengan didominasi oleh Alang-alang dan semak belukar. Hampir 70% wilayah P. Geleang tertutup oleh Alang-alang dan semak belukar, 30% yang lain ditumbuhi Kelapa, Ingas, Cemara laut, Kudho, Jati pasir, dan tumbuhan mangrove ikutan. Formasi vegetasinya membentuk zonasi yang tidak konsisten. Bagian tepi pulau yang berbatasan langsung dengan pantai ditumbuhi oleh tumbuhan mangrove ikutan dan Cemara laut. Bagian yang

Meskipun hasil penelitian menunjukkan nilai keanekaragaman jenis burung di Pulau Geleang termasuk rendah, tetapi dari beberapa jenis burung yang ditemukan termasuk dalam jenis burung yang dilindungi. Pada saat pengamatan ditemukan dua ekor anak burung Haliaeetus leucogaster yang berumur sekitar 3 bulan. Anak burung tersebut masih berada di dalam sarang yang terletak di pohon Lannea grandis . Di P. Burung juga dijumpai Sterna sumatrana dan Caloenas nicobarica yang sedang berbiak. Ditemukanya burung yang berbiak pada pulau- pulau tersebut menandakan bahwa pulau itu merupakan habitat yang sesuai bagi perkembangbiakan burung. Dengan terdapatnya spesies burung langka dan dilindungi ini, maka diperlukan perhatian khusus agar spesies tersebut benar- benar dapat hidup dan berkembangbiak secara optimal sehingga sisa populasi yang ada dapat terhindar dari kepunahan.

Upaya perlindungan dan konservasi harus dilakukan. Disadari atau tidak habitat burung di kawasan tersebut terancam mengalami penyempitan seiring dengan meningkatnya fragmentasi, perubahan, dan kerusakan habitat di TN Karimunjawa. Program konservasi perlu dilakukan mulai sekarang dengan membentuk kerjasama dan koordinasi beberapa pihak seperti Balai Taman Nasional Karimunjawa, lembaga pendidikan, LSM, pemilik pulau, dan masyarakat sekitar. Peran dan keterlibatan masyarakat lokal dalam program konservasi harus lebih aktif dan sangat mutlak diperlukan, karena masyarakat lokal memiliki aktifitas yang lebih tinggi di sekitar kawasan. Pengelolaan kawasan

konservasi tidak hanya melibatkan masyarakat, tetapi menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama, biasa disebut sebagai konsep pengelolaan berbasis komunitas atau masyarakat. Konsep ini menegaskan bahwa masyarakat bukan lagi menjadi obyek konservasi dan pembangunan tetapi sebagai penentu konservasi dan pembangunan itu sendiri. Penyusunan perencanaan dalam skala lokal merupakan syarat awal dalam upaya membangun konservasi berbasis komunitas. Perencanaan skala lokal yang dimaksud dapat dalam bentuk rencana induk konservasi desa. Dalam perencanaan tersebut sudah tercantum tugas dan tanggungjawab para pelaku, sumber pendanaan, insentif dan disinsentif serta sanksi-sanksi hukum lainya. Pengelolaan secara buttom up oleh masyarakat berarti pengelolaan dari, oleh dan untuk masyarakat. Pengelolaan sistem ini dinilai mampu mengakomodasi semua kebutuhan dalam kerangka tujuan jangka pendek, menengah dan panjang. Perencanaan disusun oleh masyarakat melalui dialog dengan semua pihak yang berkepentingan bagi konservasi dan pembangunan di daerah tersebut. Balai TN Karimunjawa hendaknya bertindak sebagai fasilitator dan pendamping masyarakat dalam menjalankan konsep pengelolaan kawasan berbasis masyarakat lokal.

C. Dominansi

Hasil penelitian di P. Geleang dan P. Burung menunjukkan bahwa beberapa jenis memiliki kelimpahan yang sangat bervariasi. Salah satu burung memiliki jumlah individu yang besar sehingga sangat dominan dalam suatu komunitas. Sebagian jenis lainnya mempunyai kelimpahan yang kecil, maka jenis

Berdasarkan kriteria dominansi Helvoort (1973), bahwa suatu jenis dikategorikan dominan jika kelimpahan relatifnya lebih besar dari 5%, burung dikategorikan subdominan jika kelimpahan relatifnya 2%-5%, serta dikategorikan sebagai tidak dominan jika kelimpahan relatifnya 0-2%. Berdasarkan kriteria tersebut burung-burung yang ditemui di P. Geleang selama periode penelitian dikelompokkan dalam tabel berikut:

Tabel 3. Dominansi Burung di P. Geleang Pada Setiap Periode Penelitian

Periode Penelitian

Kategori Jun-06 November 2006 Jun-07

Dominan Nectarinia jugularis

Sterna bergii Sterna sumatrana

Haliaeetus leucogaster

Artamus leucorhynchus Ducula rosacea

Egreta sacra

Nectarinia jugularis Sterna anaethatus

Todirhampus chloris

Artamus leucorhynchus Zosterops chloris Zosterops chloris

Nectarinia jugularis Zosterops chloris

Sub

Artamus leucorhynchus Hirundo tahitica Haliaeetus leucogaster Dominan Haliaeetus leucogaster

Accipiter sp.

Todirhampus chloris Rhinomyias umbratilis

Tidak

Dominan Butorides striatus Butorides striatus Orthotomus ruficeps Egretta garzetta

Butorides striatus Todirhampus chloris

Rhinomyias olivacea

Ducula bicolor

Pada setiap periode penelitian menunjukkan perbedaan komposisi jenis, sehingga jenis-jenis burung yang selalu hadir dalam setiap periode penelitian saja yang dapat dibandingkan dominansinya. Burung-burung yang dikategorikan sebagai burung dominan pada periode Juni 2006 meliputi Zosterops chloris, Nectarinia jugularis, Ducula rosacea, Sterna sumatrana dan Sterna anaeethatus. Arthamus leucorhynchus dan Haliaeetus leucogaster termasuk kategori subdominan, sedangkan Todirhampus chloris, Butorides striatus dan Egretta garzetta dikategorikan sebagai burung tidak dominan (Tabel 3 dan Lampiran 5). Periode November 2006 burung-burung yang dikategorikan sebagai burung Pada setiap periode penelitian menunjukkan perbedaan komposisi jenis, sehingga jenis-jenis burung yang selalu hadir dalam setiap periode penelitian saja yang dapat dibandingkan dominansinya. Burung-burung yang dikategorikan sebagai burung dominan pada periode Juni 2006 meliputi Zosterops chloris, Nectarinia jugularis, Ducula rosacea, Sterna sumatrana dan Sterna anaeethatus. Arthamus leucorhynchus dan Haliaeetus leucogaster termasuk kategori subdominan, sedangkan Todirhampus chloris, Butorides striatus dan Egretta garzetta dikategorikan sebagai burung tidak dominan (Tabel 3 dan Lampiran 5). Periode November 2006 burung-burung yang dikategorikan sebagai burung

Dari ketiga periode tersebut, Zosterops chloris selalu memiliki nilai dominansi tinggi. Pada periode November 2006 dan Juni 2007, Nectarinia jugularis dan Artamus leucorhynchus mendominsi setelah Zosterops chloris. Nilai dominansi keduanya tertinggi pada periode November 2006 karena pada periode itu jumlah individu Nectarinia jugularis dan Artamus leucorhynchus paling banyak diantara periode lainnya. Dominansi tertinggi Zosterops chloris terjadi pada periode Juni 2007 sebesar 61%.

Nilai dominansi suatu jenis tertentu pada kawasan habitat menunjukkan karakter atau kondisi habitat tersebut. Burung adalah salah satu satwa yang peka tehadap perubahan lingkungan. Keberadaan burung dapat digunakan sebagai indikator kerusakan lingkungan. Burung-burung dengan nilai dominansi tinggi (burung dominan) secara konservasi mungkin tidak mengkhawatirkan dalam hal kepunahan jenis karena jumlah populasinya cukup besar. Burung-burung yang jumlah populasinya terlalu besar sehingga sangat dominan dalam kawasan habitat Nilai dominansi suatu jenis tertentu pada kawasan habitat menunjukkan karakter atau kondisi habitat tersebut. Burung adalah salah satu satwa yang peka tehadap perubahan lingkungan. Keberadaan burung dapat digunakan sebagai indikator kerusakan lingkungan. Burung-burung dengan nilai dominansi tinggi (burung dominan) secara konservasi mungkin tidak mengkhawatirkan dalam hal kepunahan jenis karena jumlah populasinya cukup besar. Burung-burung yang jumlah populasinya terlalu besar sehingga sangat dominan dalam kawasan habitat

Dominansi Zosterops chloris di P. Geleang cukup tinggi sebesar 61% adalah indikasi ketidakseimbangan suatu komunitas. Ketidakseimbangan ini muncul akibat ekosistem yang terganggu. Kondisi habitat yang ekstrim menyebabkan beberapa jenis vegetasi tertentu saja yang mampu bertahan hidup, sehingga hanya satwa tertentu saja yang mampu bertahan pada habitat tersebut. Salah satu faktor pembatas pada habitat P. Geleang adalah suhu yang cukup

0 tinggi, berkisar antara 35 0 C hingga 40

C. Vegetasi yang dominan adalah Alang- alang, semak dan tumbuhan bawah lainya. Kondisi ini menyediakan habitat yang cocok bagi Zosterops chloris. Perilaku khas Zosterops chloris adalah bergerak lincah dalam kelompok kecil dan terbang diantara pepohonan dan semak–semak di semua bagian pohon, khususnya di hutan semak pantai (MacKinnon, 1993).

Zosterops chloris selain pemakan serangga kecil seringkali juga sebagai penghisap madu. Pembagian relung makan ini mungkin akan menjadikan permasalahan mengingat Nectarinia jugularis adalah jenis burung penghisap madu dan Artamus leucorhynchus adalah jenis burung pemakan serangga. Ketiga jenis tersebut tentu akan bersaing dalam hal mendapatkan makanan. Zosterops chloris mungkin akan tetap mendominasi dalam persaingan karena selain populasinya cukup besar, burung ini memiliki toleransi yang lebih luas dalam hal bahan makanan. Jika populasi Zosterops chloris terus meningkat, tidak menutup kemungkinan akan mendesak populasi Nectarinia jugularis atau Artamus leucorhynchus. Pada kondisi habitat yang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan Zosterops chloris selain pemakan serangga kecil seringkali juga sebagai penghisap madu. Pembagian relung makan ini mungkin akan menjadikan permasalahan mengingat Nectarinia jugularis adalah jenis burung penghisap madu dan Artamus leucorhynchus adalah jenis burung pemakan serangga. Ketiga jenis tersebut tentu akan bersaing dalam hal mendapatkan makanan. Zosterops chloris mungkin akan tetap mendominasi dalam persaingan karena selain populasinya cukup besar, burung ini memiliki toleransi yang lebih luas dalam hal bahan makanan. Jika populasi Zosterops chloris terus meningkat, tidak menutup kemungkinan akan mendesak populasi Nectarinia jugularis atau Artamus leucorhynchus. Pada kondisi habitat yang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan

Sterna anaethatus mendominansi kedua setelah Zosterops chloris pada periode Juni 2006, tetapi jenis ini tidak ditemui lagi pada periode berikutnya. Burung ini tidak memanfaatkan P. Geleang sebagai habitat pokok. Sterna anaethatus mempunyai kebiasaan hidup di tengah laut. Mendatangi tepi pantai hanya saat cuaca buruk atau pada saat musim berbiak (MacKinnon, 1993).

Jenis yang memiliki nilai dominansi terkecil pada setiap periode adalah Butorides striatus. Burung ini selalu tidak dominan dalam setiap periode pengamatan. Selain jumlah individu yang ditemui sedikit, burung ini termasuk burung pemalu (elusif). Nilai dominansi terkecil terjadi pada periode Juni 2007 dan Juni 2006. Menurut MacKinnon (1993) Butorides striatus tercatat berbiak pada bulan Maret, Mei dan Juni. Sedikitnya jumlah individu yang teramati mungkin dikarenakan burung tersebut sedang berbiak atau mengerami telur (incubasi), sehingga tidak terdeteksi oleh peneliti. Secara global populasi Butorides striatus masih cukup banyak, namun dalam konteks konservasi P. Geleang keberadaan burung ini sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Tabel 4. Dominansi Burung di P. Burung Pada Setiap Periode Penelitian

Periode Penelitian

Kategori Jun-06 November 2006 Jun-07

Dominan Egretta sacra

Caloenas nicobarica Sterna bergii

Nectarinia jugularis

Nectarinia jugularis Nectarinia jugularis

Artamus leucorhyncus

Zosterops chloris Artamus leucorhyncus

Todirhampus cloris

Ducula bicolor Zosterops chloris

Zosterops chloris

Sterna sumatrana Sterna sumatrana

Sub

Dominan Fregata minor

Artamus leucorhyncus Fregata ariel

Egretta sacra

Todirhampus cloris Todirhampus cloris

Butorides striatus

Accipiter sp.

Sterna bergii

Amaurornis phoenicurus

Tidak

tidak ada

tidak ada

Egretta sacra

Dominan

Rhinomyias umbratilis

Tingkat dominansi burung di P. burung cukup unik karena tingkat dominansinya hampir merata pada setiap jenis. Pada periode Juni 2006 burung- burung yang dikategorikan dominan meliputi Zosterops chloris, Nectarinia jugularis, Artamus leucorhynchus, Sterna sumatrana, Sterna bergii dan Egretta sacra. Burung-burung kategori subdominan meliputi Todirhampus chloris, Fregata minor dan Fregata ariel. Pada periode November 2006 burung-burung yang termasuk kategori dominan meliputi Zosterops chloris, Nectarinia jugularis, Artamus leucorhynchus dan Todirhampus chloris. Burung-burung subdominan meliputi Egretta sacra, Butorides striatus, Accipiter sp. dan Amaurornis phoenicurus. Dalam dua periode tersebut tidak ada burung yang termasuk dalam kategori tidak dominan. Pada periode Juni 2007 burung-burung yang termasuk dalam kategori dominan meliputi Zosterops chloris, Nectarinia jugularis, Ducula bicolor, Sterna sumatrana, dan Caloenas nicobarica. Artamus leucorhynchus, Todirhampus chloris dan Sterna bergii termasuk dalam kategori subdominan Tingkat dominansi burung di P. burung cukup unik karena tingkat dominansinya hampir merata pada setiap jenis. Pada periode Juni 2006 burung- burung yang dikategorikan dominan meliputi Zosterops chloris, Nectarinia jugularis, Artamus leucorhynchus, Sterna sumatrana, Sterna bergii dan Egretta sacra. Burung-burung kategori subdominan meliputi Todirhampus chloris, Fregata minor dan Fregata ariel. Pada periode November 2006 burung-burung yang termasuk kategori dominan meliputi Zosterops chloris, Nectarinia jugularis, Artamus leucorhynchus dan Todirhampus chloris. Burung-burung subdominan meliputi Egretta sacra, Butorides striatus, Accipiter sp. dan Amaurornis phoenicurus. Dalam dua periode tersebut tidak ada burung yang termasuk dalam kategori tidak dominan. Pada periode Juni 2007 burung-burung yang termasuk dalam kategori dominan meliputi Zosterops chloris, Nectarinia jugularis, Ducula bicolor, Sterna sumatrana, dan Caloenas nicobarica. Artamus leucorhynchus, Todirhampus chloris dan Sterna bergii termasuk dalam kategori subdominan

Nilai dominansi terbesar pada periode Juni 2006 dan Juni 2007 adalah Sterna sumatrana . Hal ini dikarenakan Sterna sumatrana mempunyai jumlah individu terbesar, yaitu 29 individu pada periode Juni 2006 dan 19 individu pada periode Juni 2007, tetapi jenis ini tidak ditemui pada periode November 2006. Habitat yang paling disukai burung ini adalah pantai-pantai berkarang dan berpasir (MacKinnon, 1993). Burung ini berkembangbiak di pulau-pulau kecil lepas pantai. Saat ditemui di P. Burung, burung ini terlihat sedang berkembangbiak. Untuk kepentingan konservasi jenis, habitat P. Burung perlu dilestarikan terutama kondisi yang menyebabkan Sterna sumatrana memilih P. Burung untuk berkembangbiak. Biasanya burung ini bertelur di gosong pantai atau diatas pohon tumbang yang menjorok ke pantai.

Zosterops chloris mempunyai nilai dominansi terbesar pada periode November 2006. Salah satu penyebab kelimpahan dan dominansi Zosterops chloris di P. Burung kemungkinan karena tidak adanya predator yang mengendalikan populasinya. Keberadaan predator menunjukkan bahwa suatu ekosistem tertentu masih stabil. Faktor lainnya adalah ketersediaan makanan yang cukup melimpah. Beberapa vegetasi seperti Jambon, Lakok-lakok, Gabusan dan Lempeni pada saat pengamatan di P. Burung tampak sedang musim berbunga. Pada bulan November adalah musim kemarau, sehingga memungkinkan terjadinya imigrasi yang berasal dari P. Geleang atau pulau terdekat lainnya. Faktor inilah yang mendukung dominansi dan kelimpahan Zosterops chloris.

Pada periode Juni 2007 Ducula bicolor mempunyai nilai dominansi yang cukup tinggi setelah Sterna sumatrana yaitu sebesar 25%. Burung ini tidak teramati pada periode Juni 2006 dan November 2007. Ducula bicolor tidak menggunakan P. Burung sebagai habitat pokok. Burung ini hanya singgah sementara waktu untuk mencari makan atau mencari variasi bahan makanan. Ducula bicolor mempunyai kemampuan terbang yang kuat dan seringkali terbang diantara pulau-pulau kecil lepas pantai untuk mencari makanan (MacKinnon, 1993).

Egretta sacra menunjukkan penurunan nilai dominansi yang cukup signifikan. Burung ini termasuk kategori dominan pada periode Juni 2006, kemudian turun menjadi subdominan pada periode November 2006 dan menjadi tidak dominan pada periode Juni 2007 (Tabel 4 dan Lampiran 6). Jumlah individu yang teramati mengalami penurunan. Untuk kepentingan konservasi jenis, penurunan populasi Egretta sacra perlu diperhatikan. Banyak faktor yang menyebabkan perubahan tersebut. Burung ini biasa berburu di perairan dangkal. Makanan utamanya adalah ikan kecil, udang, dan ketam. Keberadaan organisme tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan. Mungkin Egretta sacra berpindah ke pulau lain yang lebih banyak menyediakan makanan. Kebiasaan burung ini adalah mengunjungi tepi pantai, beristirahat pada batu-batuan atau tebing karang dan berburu di tepi air (MacKinnon, 1993). Faktor kondisi lingkungan dan fakor internal spesies burung mungkin juga mempengaruhi penurunan jumlah populasi pada periode penelitian November 2006 dan Juni 2007.

Perubahan komposisi suatu habitat atau perubahan musim pada tumbuhan berimplikasi langsung terhadap ketersediaan pakan. Ketersediaan pakan ataupun ketidaktersediaan pakan akan turut merubah komposisi jenis burung maupun jumlah populasi burung yang mendiami habitat tersebut. Kelimpahan dari kebanyakan burung dibatasi oleh jenis pakannya, oleh karena itu untuk dapat hidup bersama dalam suatu komunitas burung-burung tersebut harus berbeda dalam jenis atau tipe pakan, cara atau teknik mendapatkannya dan berbeda pula dalam preferensi habitat.

D. Tingkat Kesamaan Jenis antara P. Geleang dan P. Burung

Indeks similaritas atau indeks kesamaan jenis menunjukan tingkat kemiripan spesies suatu komunitas dengan komunitas lainya. Hasil perhitungan nilai indeks similaritas Jaccard antara P. Geleang dan P. Burung mempunyai nilai indeks similaritas yang cukup tinggi, yaitu sebesar 50%. Ini menunjukkan bahwa komponen penyusun komunitas burung antara P. Geleang dan P. Burung mempunyai tingkat kesamaan sebesar 50%. Diantara 18 jenis burung yang ditemui di P. Geleang dan 15 jenis burung yang ditemui di P. Burung, 11 jenis diantaranya dapat ditemui pada kedua pulau tersebut. Tingkat perbedaan jenis komponen penyusun komunitas antara P. Geleang dan P. Burung sebesar 50%. Terdapat 7 jenis burung yang hanya dapat ditemui di P. Geleang dan tidak ditemui di P. Burung. Burung tersebut adalah Haliaeetus leucogaster, Orthotomus ruficeps, Sterna bergii, Hirundo tahitica, Rhinomyias olivacea, Ducula rosacea dan Sterna anaeethatus. Empat jenis burung yang hanya ditemui di P. Burung dan Indeks similaritas atau indeks kesamaan jenis menunjukan tingkat kemiripan spesies suatu komunitas dengan komunitas lainya. Hasil perhitungan nilai indeks similaritas Jaccard antara P. Geleang dan P. Burung mempunyai nilai indeks similaritas yang cukup tinggi, yaitu sebesar 50%. Ini menunjukkan bahwa komponen penyusun komunitas burung antara P. Geleang dan P. Burung mempunyai tingkat kesamaan sebesar 50%. Diantara 18 jenis burung yang ditemui di P. Geleang dan 15 jenis burung yang ditemui di P. Burung, 11 jenis diantaranya dapat ditemui pada kedua pulau tersebut. Tingkat perbedaan jenis komponen penyusun komunitas antara P. Geleang dan P. Burung sebesar 50%. Terdapat 7 jenis burung yang hanya dapat ditemui di P. Geleang dan tidak ditemui di P. Burung. Burung tersebut adalah Haliaeetus leucogaster, Orthotomus ruficeps, Sterna bergii, Hirundo tahitica, Rhinomyias olivacea, Ducula rosacea dan Sterna anaeethatus. Empat jenis burung yang hanya ditemui di P. Burung dan

Faktor yang menyebabkan tingginya tingkat kemiripan komposisi jenis penyusun komunitas burung di P. Geleang dan P. Burung dikarenakan letak kedua pulau tersebut berdekatan. Letak geografis yang berdekatan dan sama-sama jauh dari pulau utama (main land) sebagai sumber jenis, memungkinkan terjadinya pertukaran jenis, imigrasi, dan emigrasi diantara kedua pulau tersebut. Karakteristik habitat dan tipe vegetasi antara P. Geleang dan P. Burung sangat berbeda, namun justru fakta tersebut yang rasional untuk menghubungkan kesamaan jenis antara kedua habitat tersebut. P. Burung menyediakan struktur vegetasi yang rapat dan kompleks. Vegetasi ini berpotensi untuk menyediakan bahan makanan bagi burung. Luas wilayah P. Burung yang sangat sempit tidak memungkinkan sebagai habitat pokok semua jenis burung. Untuk memenuhi kebutuhan akan habitat/tempat tinggal, burung memilih P. Geleang yang jauh lebih luas dan letaknya relatif lebih dekat. Faktor kebutuhan pakan dan habitat yang dapat dipenuhi oleh kedua pulau tersebut menyebabkan tingginya kesamaan jenis komponen penyusun komunitas burung pada P. Geleang dan p. Burung.

Keberadaan burung di suatu habitat sangat erat kaitannya dengan faktor - faktor fisik lingkungan seperti tanah, air, temperatur, cahaya matahari serta aktor– faktor biologis yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya (Welty dan Baptista, 1988). Kehadiran suatu burung pada habitat tertentu merupakan hasil pemilihan Keberadaan burung di suatu habitat sangat erat kaitannya dengan faktor - faktor fisik lingkungan seperti tanah, air, temperatur, cahaya matahari serta aktor– faktor biologis yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya (Welty dan Baptista, 1988). Kehadiran suatu burung pada habitat tertentu merupakan hasil pemilihan

P. Burung didukung oleh struktur vegetasi yang rapat dan komplek. Kondisi vegetasi merupakan faktor penting bagi kelangsungan hidup burung. Vegetasi merupakan sumber makanan dan tempat berlindung dari predasi. Ketersediaan pakan dalam habitat yang ditempati merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran populasi burung. Burung tidak memanfaatkan seluruh habitatnya, melainkan ada seleksi terhadap beberapa bagian dari habitat tersebut yang digunakan sesuai dengan kebutuhannya (Wiens, 1992). Hal ini memberikan gambaran bahwa keanekaragaman jenis burung suatu wilayah tidak hanya ditentukan oleh luas wilayah, tetapi juga kondisi vegetasi dan kondisi lingkungan. Kemampuan adaptasi setiap jenis burung juga akan menetukan keberadaannya.

E. Penyebaran Burung dan Penggunaan Stratifikasi Tajuk Vegetasi

Penyebaran burung secara horizontal dapat dilihat melalui nilai frekuensi atau lebih mengarahkan pada tingkat keseringan burung tersebut muncul atau dapat ditemui pada suatu titik pengamatan. Jenis burung yang mempunyai jumlah populasi terbesar atau jenis dominan dalam suatu habitat, kemungkinan besar mempunyai nilai frekuensi yang tinggi pula.

0.78 0.78 0.78 i 0.8 s

rsri or

nc ogas

c ogas a sa ahi e r sp

iat tr

or

ugul ogas b tr la ops r

a g naet

euc m l g E ir undo t A y ides

period e pe ngamatan Gambar 7. Grafik Nilai Frekuensi Burung yang Ditemukan di P. Geleang

Zosterops chloris dan Nectarinia jugularis adalah burung dengan tingkat penyebaran tertinggi dari ketiga periode penelitian (Gambar 7). Jenis-jenis tersebut hampir dapat ditemui pada seluruh wilayah P. Geleang. Jenis-jenis ini dimungkinkan mempunyai rentang toleransi kondisi lingkungan serta habitat yang luas, sehingga mampu beradaptasi pada berbagai kondisi habitat. Persebaran Zosterops chloris tertinggi pada periode Juni 2007, dimana jenis ini dapat ditemui pada semua titik hitung pengambilan sampel (Gambar 7). Burung ini mempunyai populasi atau jumlah individu cukup besar, sehingga penyebarannya luas. Selain jumlah individu dan toleransi terhadap perubahan kondisi lingkungan, home range atau wilayah jelajah juga mempengaruhi penyebaran burung. Haliaeetus leucogaster mempunyai jumlah individu yang sangat kecil, tetapi dengan Zosterops chloris dan Nectarinia jugularis adalah burung dengan tingkat penyebaran tertinggi dari ketiga periode penelitian (Gambar 7). Jenis-jenis tersebut hampir dapat ditemui pada seluruh wilayah P. Geleang. Jenis-jenis ini dimungkinkan mempunyai rentang toleransi kondisi lingkungan serta habitat yang luas, sehingga mampu beradaptasi pada berbagai kondisi habitat. Persebaran Zosterops chloris tertinggi pada periode Juni 2007, dimana jenis ini dapat ditemui pada semua titik hitung pengambilan sampel (Gambar 7). Burung ini mempunyai populasi atau jumlah individu cukup besar, sehingga penyebarannya luas. Selain jumlah individu dan toleransi terhadap perubahan kondisi lingkungan, home range atau wilayah jelajah juga mempengaruhi penyebaran burung. Haliaeetus leucogaster mempunyai jumlah individu yang sangat kecil, tetapi dengan

r ekuensi

u jugu re s

u jugu rh la na tt c

gata m

S ter ec om en lo amus rt

amus rt

a ur

N rt amus hi n a C

period e pengamatan Gambar 8. Grafik Nilai Frekuensi Burung yang Ditemukan di P. Burung

Hasil penelitian di P. Burung menunjukan bahwa Zosterops chloris merupakan burung dengan penyebaran paling luas. Jenis-jenis lain yang penyebarannya tergolong luas secara berturut-turut meliputi Arthamus leucorhynchus, Todirhampus chloris, Nectarinia jugularis, dan Sterna sumatrana. Jenis yang penyebaranya paling kecil adalah Caloenas nicobarica dan Hasil penelitian di P. Burung menunjukan bahwa Zosterops chloris merupakan burung dengan penyebaran paling luas. Jenis-jenis lain yang penyebarannya tergolong luas secara berturut-turut meliputi Arthamus leucorhynchus, Todirhampus chloris, Nectarinia jugularis, dan Sterna sumatrana. Jenis yang penyebaranya paling kecil adalah Caloenas nicobarica dan

Pengukuran diversitas spesies burung pada area studi dan menghubungkan pada aspek vegetasi keanekaragaman jenis tumbuhan dan keanekaragaman lapisan tumbuhan yang dilakukan MacArthur (1967) menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis burung tidak berkorelasi dengan keanekaragaman jenis tumbuhan saja melainkan pada keanekaragaman lapisan tumbuhan dan kompleksitas struktur vegetasi. Stratifikasi vegetasi yang bervariasi akan memberikan relung atau bahkan mikrohabitat bagi burung. Perbedaan relung dapat menghindari kompetisi dalam memperoleh makanan. Mikrohabitat adalah ruang spesifik yang paling cocok sebagai tempat hidup burung. Di ruang inilah burung akan beraktivitas, mencari makanan, istirahat, berkembangbiak, bersarang, dan mengasuh anak-anaknya.

Jenis burung yang berbeda-beda dalam suatu habitat umumnya berkaitan dengan tingkatan kanopi yang berbeda pula, yang menimbulkan suatu stratifikasi vertikal sebagaimana yang terdapat pada tanaman. Penggunaan habitat oleh burung berubah-ubah tergantung penampakan habitat yang menyediakan makanan. Berubahnya aktivitas makan pada struktur vertikal di suatu pohon sangat dipengaruhi oleh penyebaran pakan di pohon tersebut.

Gambar 9. Penyebaran Burung Berdasar Stratifikasi Tajuk Vegetasi di P. Geleang

Zoosterops chloris hampir dapat ditemui disemua strata tajuk vegetasi, baik tajuk atas, tajuk tengah, tajuk bawah maupun pada tumbuhan bawah. Hal ini terkait dengan ketersediaan sumberdaya pakan. Jenis burung pemangsa (raptor) seperti Haliaeetus leucogaster dan Accipiter sp. umumnya hanya terdapat pada tajuk atas sampai tajuk tengah (Gambar 9). Tajuk tengah digunakan sebagai tempat istirahat dan bersarang. Strata tajuk yang paling banyak dihuni burung di P. Geleang adalah tajuk tengah. Tajuk tengah dari pohon menunjukkan arsitektur yang menarik dan banyak ditemukan percabangan. Tajuk ini lebih sering digunakan untuk istirahat dan tempat perlindungan, baik dari perubahan cuaca maupun pemangsaan predator.

Strata tajuk atas turut mewakili keberadaan burung yang hanya terbang melintas (flying over) pada habitat tersebut, seperti Sterna bergii, Sterna sumatrana dan Sterna anaeethatus. Habitat yang spesifik dari burung ini adalah gosong laut di sekitar pantai. Meskipun demikian, burung-burung ini sering pula memanfaatkan tajuk atas pohon di sepanjang garis pantai. Burung tidak selalu menggunakan satu strata tajuk tertentu karena mobilitas burung yang cukup tinggi. Tumbuhan bawah dan tanah merupakan strata khusus yang terpisah dari arsitektur pohon. Pada strata ini lebih banyak dihuni burung semak dan burung penghuni strata lainnya yang mencari makan sampai di semak-semak. Burung yang hampir konsisten hanya ditemui di habitat ini adalah Orthotomus ruficeps.

Gambar 10. Penyebaran Burung Berdasar Stratifikasi Tajuk Vegetasi di P. Burung

Vegetasi P. Burung mempunyai kerapatan dan struktur stratifikasi yang komplek (Gambar 10). Struktur stratifikasi semacam ini lebih banyak menyediakan habitat bagi burung. Zosterops chloris menggunakan hampir semua strata tajuk vegetasi di P. Burung. Strata tajuk atas lebih didominasi oleh Accipiter sp. dan beberapa burung pantai yang melintas seperti Fregata minor dan Fregata ariel. Tajuk tengah banyak dihuni burung pemakan serangga, burung pemakan buah-buahan dan burung pemakan nektar. Burung yang menghuni strata ini adalah Nectarinia jugularis, Artamus leucorhynchus, Zosterops chloris, Rhinomyias umbratilis dan Ducula bicolor. Pada tajuk bawah lebih didominasi oleh Todirhampus chloris dan Butorides striatus (Gambar 10).

Caloenas nicobarica lebih banyak beraktivitas dan mencari makan di permukaan tanah, terutama tanah yang terlindung oleh semak tumbuhan bawah. Burung ini menggunakan tajuk bawah pohon untuk istirahat, perlindungan, dan bersarang saat musim kawin. Pada periode Juni 2007 Caloenas nicobarica sedang berkembangbiak. Hal ini ditandai dengan ditemukannya individu immature. Burung ini merupakan burung pengunjung terbatas di pulau-pulau kecil lepas pantai dan umumnya jarang ditemukan. Termasuk burung krepuskular yang mencari makan diatas permukaan tanah. Pada siang hari hanya aktif di tempat- tempat gelap dan terlindung. Burung ini tercatat berkembangbiak di pulau-pulau kecil Laut Jawa, termasuk kepulauan Karimunjawa (MacKinnon, 1993).

Amaurornis phoenicurus lebih menyukai semak-semak di sekitar mangrove mulai dari bibir pantai hingga masuk kedaratan. Burung ini termasuk burung pemalu (elusif) yang hampir menghabiskan waktunya didalam semak,

hanya sesekali keluar tempat terbuka untuk mencari makan. Sterna sumatrana dan Sterna bergii lebih banyak beraktivitas di gosong laut, atau disekitar pohon tumbang yang menjorok kelaut. Pada waktu tertentu burung ini memanfaatkan tajuk atas pohon disepanjang bibir pantai untuk beristirahat. Pada periode Juni 2006 Sterna sumatrana teramati sedang berkembangbiak. Dalam memilih pohon untuk sarang, Sterna sumatrana lebih menyukai pohon yang tumbang menjorok ke tepi pantai. Telur – telur diletakan pada kayu tumbang. Tidak ada sarang yang jelas, hanya sedikit pembatas dari serpihan kayu untuk menjaga agar telur tersebut tidak menggelinding. Biasanya tiap sarang terdapat dua buah telur. Sterna sumatrana berkembangbiak dan mengasuh anak-anaknya di P. Burung. Makanan utama burung ini adalah ikan-ikan kecil dipermukaan air laut. Seperti burung- burung lainnya, Sterna sumatrana juga melakukan migrasi temporal untuk mencari makan. Hal inilah yang menyebabkan burung tersebut tidak ditemui saat pengamatan periode November 2006.

Pemilihan pohon oleh burung sangat dipengaruhi oleh karakteristik pohon dan kebutuhan burung akan pohon tersebut. Beberapa jenis pohon dikunjungi burung untuk diambil bunganya, dimakan buahnya atau sebagai tempat untuk mencari serangga bagi burung pemakan serangga. Burung juga memanfaatkan pohon untuk berlindung, terutama pada pohon yang tinggi atau mempunyai karakteristik arsitektur pohon yang menarik. Pergantian musim akan sangat berpengaruh pada tipe pemanfaatan pohon oleh burung dan jenis pohon yang dimanfaatkan oleh burung.

Tabel 5. Pemanfaatan Pohon Oleh Burung di P. Geleang

Ft no Jenis Vegetasi

Σ (%) Todirhampus chloris, Zoosterops chloris, Nectarinia

Jenis Burung Pengguna Vegetasi

jugularis , Rhimomyias olivacea, Haliaeetus

1 Kudho

leucogaster

5 27,78 Todirhampus chloris, Zoosterops chloris, Nectarinia

2 Gabusan

4 27,78 Todirhampus chloris, Zoosterops chloris, Artamus 3 Ketapang

jugularis , Butorides striatus

leucorinchus

3 16,67 Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis, Artamus

3 16,67 5 Cemara laut

Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis

2 11,11 7 Pongamia sp.

Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis

2 11,11 8 Morinda sp.

Nectarinia jugularis, Egretta sacra

2 11,11 9 Tembelekan

Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis

Zoosterops chloris

Vegetasi yang paling banyak dimanfaatkan burung di P. Geleang secara berurutan adalah Kudho, Gabusan, Ketapang, Jenis tumbuhan bawah (semak) dan Cemara laut. Jenis vegetasi lain yang juga dimanfaatkan diantaranya Singkil, Pongamia sp., Morinda sp., dan Tembelekan (Tabel 5). Kudho mempunyai karakteristik pohon yang tinggi, besar dengan arsitektur percabangan yang menarik. Selain dimanfaatkan buahnya, pohon ini digunakan burung untuk tempat berlindung dan istirahat. Haliaeetus leucogaster memanfaatkan pohon ini untuk bersarang. Dari data diatas tampak bahwa Haliaeetus leucogaster sangat tergantung pada pohon Kudho (Lanea grandis) untuk bersarang. Pohon yang dipilih adalah pohon yang paling besar dan paling tinggi diantara pohon-pohon lain disekitarnya. Pohon yang digunakan untuk sarang mempunyai diameter batang setinggi dada sepanjang 44 cm dengan tinggi 12 m. Haliaeetus leucogaster juga mengambil daun Kudho untuk diletakan didalam sarang. Daun ini selalu diganti dengan daun segar setiap hari. Peletakkan daun di dalam sangkar mungkin Vegetasi yang paling banyak dimanfaatkan burung di P. Geleang secara berurutan adalah Kudho, Gabusan, Ketapang, Jenis tumbuhan bawah (semak) dan Cemara laut. Jenis vegetasi lain yang juga dimanfaatkan diantaranya Singkil, Pongamia sp., Morinda sp., dan Tembelekan (Tabel 5). Kudho mempunyai karakteristik pohon yang tinggi, besar dengan arsitektur percabangan yang menarik. Selain dimanfaatkan buahnya, pohon ini digunakan burung untuk tempat berlindung dan istirahat. Haliaeetus leucogaster memanfaatkan pohon ini untuk bersarang. Dari data diatas tampak bahwa Haliaeetus leucogaster sangat tergantung pada pohon Kudho (Lanea grandis) untuk bersarang. Pohon yang dipilih adalah pohon yang paling besar dan paling tinggi diantara pohon-pohon lain disekitarnya. Pohon yang digunakan untuk sarang mempunyai diameter batang setinggi dada sepanjang 44 cm dengan tinggi 12 m. Haliaeetus leucogaster juga mengambil daun Kudho untuk diletakan didalam sarang. Daun ini selalu diganti dengan daun segar setiap hari. Peletakkan daun di dalam sangkar mungkin

Gabusan biasa dimanfaatkan burung pada bagian bunga, sedangkan Cemara laut dan Ketapang digunakan untuk bertengger, istirahat dan perlindungan. Zoosterops chloris dan Nectarinia jugularis memanfaatkan tumbuhan bawah (semak) untuk mencari makan, istirahat, dan bersarang sedangkan Artamus leucorhynchus memanfaatkan semak untuk mencari makanan terutama serangga. Beberapa jenis burung memanfaatkan lebih dari satu jenis pohon. Zosterops chloris hampir memanfaatkan semua jenis pohon yang ada. Dengan memanfaatkan bunga, burung ini telah membantu proses penyerbukan tumbuhan serta menjalankan fungsi ekologis lainnya. Burung ini tidak tergantung pada satu jenis pohon sehingga memiliki toleransi yang cukup luas dengan perubahan lingkungan dan komposisi vegetasi. Kemampuan semacam ini akan mendukung burung tersebut untuk dapat bertahan hidup lebih lama pada semua tipe habitat.

Todirhampus chloris terlihat menggunakan vegetasi yang berbeda untuk kepentingan yang berbeda pula. Burung ini menggunakan jenis vegetasi tinggi seperti Kudho untuk bertengger dan mencari panas matahari. Untuk kepentingan Todirhampus chloris terlihat menggunakan vegetasi yang berbeda untuk kepentingan yang berbeda pula. Burung ini menggunakan jenis vegetasi tinggi seperti Kudho untuk bertengger dan mencari panas matahari. Untuk kepentingan

Egretta sacra adalah burung air yang sebagian besar hidupnya berada di perairan. Burung ini lebih banyak menggunakan vegetasi tepi pantai dan mangrove. Pongamia sp. Adalah salah satu vegetasi mangrove (mangrove ikutan) yang dimanfaatkan Egretta sacra untuk bertengger (roosting tree). Burung ini tidak tergantung pada satu jenis vegetasi tetapi justru membutuhkan habitat berkarang dan pantai dangkal.

Tabel 6. Pemanfaatan Pohon Oleh Burung di P. Burung

no Jenis Vegetasi

Jenis Burung Pengguna Vegetasi

Σ Ft (%)

Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis,

1 Cemara laut

Artamus leucorinchus, Sterna sumatrana

Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis,

2 Lako-lako

3 20,00 3 Sawo kecik

Artamus leucorinchus

2 13,33 4 Bergat

Zoosterops chloris, Caloenas nicobarica

2 13,33 5 Jambon

Egretta sacra, Ducula bicolor

2 13,33 6 Semak

Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis

2 13,33 7 Lempeni

Zoosterops chloris, Artamus leucorinchus

2 13,33 8 Gabusan

Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis

2 13,33 9 Kudho

Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis

1 6,67 10 Waru laut

Ducula bicolor

1 6,67 11 Ingas

Caloenas nicobarica

1 6,67 12 Sentolok

Caloenas nicobarica

Artamus leucorinchus

Vegetasi yang paling banyak dimanfaatkan burung di P. Burung secara berurutan adalah Cemara laut, Lako-lako, Sawo kecik, Bergat, Jambon, Lempeni, Gabusan dan tumbuhan bawah atau semak (Tabel 6). Beberapa jenis lain yang Vegetasi yang paling banyak dimanfaatkan burung di P. Burung secara berurutan adalah Cemara laut, Lako-lako, Sawo kecik, Bergat, Jambon, Lempeni, Gabusan dan tumbuhan bawah atau semak (Tabel 6). Beberapa jenis lain yang

Caloenas nicobarica memanfaatkan Waru laut, Ingas, dan Sawo kecik untuk berlindung dan bersarang. Biasanya, burung ini memilih pohon yang rimbun dan terlindung dari sinar matahari. Jenis vegetasi yang disukai Caloenas nicobarica adalah jenis pohon dengan klasifikasi tiang, mempunyai percabangan yang rapat, dan rimbun daunnya. Vegetasi semacam ini digunakan untuk berlindung, karena Caloenas nicobarica sangat sensitif dengan pemangsa/predator termasuk dengan aktifitas manusia.

Nectarinia jugularis cenderung menggunakan hampir semua jenis vegetasi. Burung ini biasa memanfaatkan bunga untuk diambil madunya. Nectarinia jugularis adalah salah satu jenis burung yang dilindungi Undang- undang pada tingkat familia, karena burung tersebut berperan dalam membantu penyerbukan tanaman. Semak dan tumbuhan bawah yang sedang berbunga juga sering dikunjungi.

Artamus leucorhynchus lebih menyukai pohon-pohon tinggi menjulang,

atau batang cabang pohon kering sebagai roosting tree. Burung ini sangat atau batang cabang pohon kering sebagai roosting tree. Burung ini sangat

Di P. Burung, Egretta sacra menggunakan Bergat sebagai tempat berlindung dan kemungkinan juga sebagai tempat bersarang. Bergat adalah jenis vegetasi pohon tinggi dengan tajuk yang cukup luas. Pada saat pengamatan, Bergat yang digunakan adalah vegetasi yang termasuk klasifikasi tiang. Egretta sacra lebih banyak menggunakan vegetasi yang tumbuh didekat bibir pantai daripada vegetasi yang berada di tengah pulau. Vegetasi yang ada di P. Burung banyak menyediakan bahan makanan bagi burung. Vegetasi juga melindungi pulau dari abrasi dan gelombang laut. Hal ini sangat penting, mengingat luas P. Burung cukup sempit. Untuk kepentingan konservasi, vegetasi ini perlu dilindungi dari penebangan, untuk menjaga kelestarian kawasan serta sebagai habitat satwa liar.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN