PENAFSIRAN SAYYID QUTHB TENTANG JAHILIAH DALAM AL- QUR’AN

BAB IV PENAFSIRAN SAYYID QUTHB TENTANG JAHILIAH DALAM AL- QUR’AN

1st. Pengertian Jahiliah Menurut Sayyid Quthb Sebelum membahas penafsiran Sayyid Quthb tentang jahiliah dalam al- Qur’an, penting kiranya untuk diketahui lebih dulu tentang pengertian jahiliah menurut Sayyid Quthb. Memahami masalah ini akan memberikan suatu pengantar bagi penafsiran Quthb atas kata tersebut dalam al-Qur’an.

Tidak seperti mayoritas muslim yang berpendapat bahwa jahiliah merupakan suatu periode atau masa sebelum datangnya Islam, Sayyid Quthb menekankan bahwa jahiliah bukanlah suatu masa yang telah lewat yang tidak akan terulang lagi tetapi lebih merupakan suatu keadaan yang ada pada suatu masyarakat atau individu. Keadaan ini tidak hanya terdapat pada orang yang beragama di luar Islam, tetapi bahkan pada orang yang beragama Islam pun

mungkin saja ada. 1 Pendapat ini tentu saja mencengangkan mengingat hampir seluruh umat

Islam mengakui bahwa jahiliah adalah masa sebelum Islam. Bahkan, ucapan Nabi –ketika menyatakan bahwa orang yang terbaik di masa jahiliah adalah yang

١ Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1992), vol. VI, h. 904. Selanjutnya disebut Zhilâl

terbaik di masa Islam jika ia paham 2 - mengindikasikan demikian. Begitu juga para

sahabat seperti ‘A’isyah yang menceritakan tentang pernikahan yang ada pada masa jahiliah 3 dan seorang sahabat yang menanyakan kepada Nabi tentang

tingkah lakunya di masa jahiliah yang mendatangi peramal 4 .

Dengan bukti-bukti tersebut, baik berupa pernyataan Nabi dan sahabat, cukup mengherankan jika Sayyid tetap berpendapat jahiliah merupakan suatu keadaan, bukan masa yang telah lewat. Apakah ini berarti Quthb tidak mengetahui hadis Nabi dan ucapan ‘A’isyah serta sahabat lainnya? Cukup riskan untuk menganggapnya demikian karena mustahil rasanya jika pemikir sekelasnya tidak mengetahui hadis dan perkataan sahabat tersebut. Begitu juga jika melihat pada kitab tafsirnya yang menjadikan kitab-kitab hadis sebagai referensi cukup untuk menafikan pertanyaan tersebut. Jika demikian halnya, nampaknya Sayyid Quthb mempunyai pertimbangan lain untuk mendukung pendapatnya itu.

Apa yang Sayyid Quthb kemukakan mungkin dapat ditelusuri pada latar belakang kehidupan dan aktivitasnya yang terus menerus berada dalam tekanan. Tak dapat disangkal bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi tidak saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya,

pengalaman, kondisi sosial, politik, dan sebagainya. 5

٢ Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb Ahâdîts al-Anbiyâ’, no. 3123

٣ Ibid, Kitâb al-Nikâh, no. 4732 ٤ Muslim ibn al-Hajjâj, Shahîh Muslim, Kitâb al-Salâm, no. 4133 ٥ M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 77

Pendapat Sayyid Quthb bahwa jahiliah merupakan suatu keadaan atau

kondisi mungkin timbul dari pengalaman pribadinya dan kenyataan yang ia alami bahwa apa yang dahulu ada pada masyarakat sebelum datangnya Islam berupa perilaku maupun keyakinan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam ternyata saat ini pun masih tetap ada dengan bentuk yang berbagai macam, bahkan oleh orang yang menganut agama Islam itu sendiri.

Selama di Amerika, Sayyid Quthb menyaksikan betapa moralitas masyarakat di sana telah jatuh walaupun mencapai kemajuan pesat dalam bidang

ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengalaman hidup selama dua tahun di negeri itu turut andil dalam menjadikan dirinya seorang fundamentalis. 6 Kemudian, persekongkolan yang dilakukan Amerika dan Inggris terhadap Mesir juga membuatnya mengerti bagaimana watak Barat yang sesungguhnya. Begitu juga pemerintahan Mesir di bawah Gamal Abdul Nasser yang berorientasi pada paham sekular dan menolak usul Sayyid Quthb untuk memakai syariat Islam sebagai dasar negara. Puncaknya adalah perlakuan buruk yang menimpanya dan orang- orang yang memperjuangkan Islam yang dilakukan oleh pemerintahnya sendiri

yang nota bene merupakan pemeluk Islam. 7 Ini semua tentu mempengaruhi pemikiran Sayyid Quthb dalam merumuskan pandangannya tentang jahiliah. Hal ini sebenarnya juga disadari oleh, misalnya, Ahmad Amîn ketika menyebutkan bahwa dengan datangnya Islam tidak secara otomatis nilai-nilai dan

٦ Emmanuel Sivan, Radical Islam, (New Haven and London: Yale University Press, 1985), h. 22

Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi; Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb , (Bandung: Pena Merah, 2004), h. 77-78

perbuatan yang dahulu ada pada masyarakat sebelum Islam lenyap begitu saja. 8

Jika pada masyarakat sebelum datangnya Islam kegemaran berpesta dengan minuman keras dan penyanyi dan penari wanita sebagai menu utama merupakan sesuatu yang disukai, Amîn juga menyebut hal itu terjadi dan dilakukan bahkan oleh Yazîd ibn Mu’âwiyah, salah seorang khalifah Bani Umayyah yang menurutnya kehidupan pribadi Yazîd lebih condong kepada kehidupan jahiliah

daripada kehidupan Islami. 9 Walaupun demikian, Amîn tidak melangkah sejauh Quthb yang menyebut saat ia hidup sebagai masa jahiliah. Perilaku jahiliah

mungkin terjadi dan tetap ada sesudah datangnya Islam sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi, akan tetapi hal itu tidak membuat dikotomi masa jahiliah dengan masa Islam menjadi kabur atau hilang.

Sebaliknya, Sayyid Quthb mengemukakan dengan adanya kemiripan keadaan antara saat sekarang dengan masa sebelum Islam membuatnya berpikir untuk mendefinisikan ulang pengertian jahiliah yang selama ini diyakini oleh mayoritas muslim sebagai masa sebelum Islam. Ini terlihat ketika ia menafsirkan QS al-Ahzâb/33:33 yang berbicara tentang larangan untuk berperilaku/berhias seperti orang-orang jahiliah. Sesudah memaparkan penafsiran terdahulu tentang perilaku jahiliah, Sayyid Quthb menulis bahwa ini merupakan bentuk perilaku jahiliah yang disorot al-Qur’an untuk menyucikan masyarakat Islam dari pengaruhnya. Lebih jauh, ia menyebutkan bahwa jahiliah merupakan suatu keadaan masyarakat yang mempunyai gambaran tertentu yang keadaan ini dapat

٨ Ahmad Amîn, Fajr al-Islam, (Singapura: Sulayman Mar’i, 1965), h 78

٩ Ibid, h. 81

terjadi kapan saja dan dimana saja. Dengan definisi inilah Sayyid Quthb menyebut

masa ia hidup sebagai masa jahiliah yang tidak ada kesucian dan keberkahan bagi orang yang hidup di dalamnya. 10 Secara lebih tegas, Sayyid Quthb menguraikan

jahiliah sebagai bentuk penyimpangan dari otoritas kekuasaan Allah. Ia menyatakan,

(Kejahiliahan ini berpijak pada pelanggaran terhadap kekuasaan Allah di muka bumi, khususnya adalah tentang ulûhiyyah, yaitu al-Hâkimiyyah. Jahiliah ini memberikan otoritas kekuasaan ini kepada manusia sehingga sebagian dari mereka menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan. Bukan dalam bentuk primitif yang sederhana yang dikenal dalam kejahiliahan zaman lampau, namun dalam bentuk klaim tentang hak menciptakan pandangan hidup, nilai-nilai, hukum, undang-undang, sistem, dan institusi yang steril dari manhaj Allah bagi kehidupan ini dan dalam hal yang tidak diizinkan oleh Allah…)

Dengan definisi ini, dengan pasti ia menyebutkan bahwa saat ini semua masyarakat berada dalam kejahiliahan seperti yang dialami oleh Islam ketika pertama kali mncul atau bahkan lebih buruk lagi. Segala yang ada saat ini, sudut pandang manusia, kepercayaan, tradisi, adat, hukum, dan undang-undang semuanya merupakan produk jahiliah yang tidak sesuai dengan hukum Islam yang, tentunya, bagi orang yang mengikutinya berarti ia telah menodai

١٠ Zhilâl, vol. XXII, h. 2861 ١١ Sayyid Quthb, Ma’âlim fi al-Tharîq, (tt: al-Ittijad al-Islami al-‘Alami, 1985), h. 8.

Selanjutnya disebut Ma’âlim

kemutlakan Allah sebagai penguasa yang mempunyai hak untuk membuat

undang-undang yang tidak ada seorang pun mempunyai kewenangan untuk itu. Lalu, masyarakat seperti apa yang dipandang Sayyid Quthb sebagai masyarakat jahiliah? Ia menyebutkan bahwa pada dasarnya masyarakat jahiliah adalah setiap masyarakat yang tidak mengikhlaskan penghambaannya kepada Allah semata yang tampak secara jelas dalam keyakinan dan pandangan hidup mereka. Dengan definisi ini, dapat digolongkan ke dalam masyarakat jahiliah semua masyarakat sekarang yang ada di muka bumi.

Masyarakat itu adalah masyarakat komunis karena mereka mengingkari keberadaan Allah dan menganggap bahwa kekuatan yang mengatur seluruh eksistensi adalah materi atau alam; masyarakat penyembah berhala seperti yang terdapat di India, Jepang, Filipina dan Afrika karena menganut akidah dan sistem peribadatan yang bertentangan dengan syariat Islam; masyarakat Yahudi dan Nasrani di seluruh dunia karena konsep kepercayaan mereka yang telah menyimpang seperti konsep trinitas dan mempertuhankan pemuka agama mereka; dan masyarakat yang menyatakan diri sebagai masyarakat Islam. Untuk yang terakhir mereka termasuk kategori masyarakat jahiliah bukan karena mereka menuhankan selain Allah tetapi lantaran mereka tidak merealisasikan penghambaan kepada Allah semata dalam sistem kehidupan mereka, memberikan hak memerintah kepada orang yang lain dari Allah dan menerima sistem, hukum,

nilai, adat, dan sebagainya. 12

١٢ Ibid, h. 88-91

Dengan rumusan baru tentang jahiliah ini, Sayyid Quthb nampaknya juga

memandang masa jahiliah sebelum Islam sebagai cermin untuk menilai suatu masyarakat yang ada sesudahnya. Jika masyarakat sesudah Islam menganut nilai- nilai dan mempunyai keadaan seperti masyarakat sebelum Islam, masyarakat itu patut disebut sebagai masyarakat jahiliah.

Bagi para pembelanya, terdapat kesalahpahaman tentang ide jahiliah yang dilontarkan oleh Sayyid Quthb. Sebagian orang, seperti disinyalir oleh Bahnasawi, menganggap dan memahami jika suatu masyarakat telah dinilai jahiliah itu berarti telah kafir dan keluar dari Islam. Lebih buruknya lagi, orang-orang itu menyandarkan dan menyebutkan bahwa itu merupakan pendapat Sayyid Quthb

padahal Sayyid Quthb sendiri tidak pernah menyatakan demikian. 13 Kesalahpahaman ini, bagi Gilles Kepel sebagimana dikutip Bahnasawi, terjadi karena hukuman mati yang terlalu dini bagi Sayyid Quthb yang pada akhirnya pemikirannya dipahami oleh para pengikutnya dengan segala kesamarannya yang

membuat mereka melakukan pengkafiran tanpa bisa dikendalikan. 14 Peristiwa pembunuhan mantan Menteri Wakaf pada 1977 oleh kelompok

al-Takfîr wa al-Hijrah dan pembunuhan Presiden Anwar Sadat pada 1981 oleh Tanzhîm al-Jihâd terjadi karena pengaruh dan terinspirasi oleh Sayyid Quthb yang

dijuluki sebagai Arsitek Islam Radikal oleh Esposito. 15 Walaupun julukan itu

١٣ K. Salim Bahnasawi, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb, terj. Abdul Hayyie al- Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 79

lihat dalam Ibid, h. 204 ١٥ John L. Esposito, Ancaman Islam; Mitos atau Realitas? Terj. Alwiyyah Abdurrahman

dan MISSI, (Bandung: Mizan, 1996), h. 152

terlalu berlebihan untuk Sayyid Quthb, boleh jadi pembunuhan itu terjadi karena

kesalahan dalam memahami dan menafsirkan tulisan Sayyid Quthb ketika memvonis jahiliah dan menganggapnya sebagai suatu kebolehan untuk melakukan tindak kekerasan. Kesalah-pahaman ini timbul karena menyamaratakan pengertian jahiliah yang dimaksud Sayyid Quthb. Demikian menurut para pembelanya.

Namun demikian, pembelaan ini terasa aneh karena Sayyid Quthb sendiri telah menggolongkan masyarakat yang mengaku Islam namun tidak merealisasikan penghambaan kepada Allah sebagai masyarakat jahiliah seperti tersebut di atas. Seluruh masyarakat yang disebut jahiliah itu dalam pandangan Sayyid Quthb bukan masyarakat Islam. Semua masyarakat itu mempunyai satu persamaan, yaitu kehidupan di dalamnya tidak berdasarkan penghambaan diri

sepenuhnya kepada Allah. 16 Dengan demikian, pernyataan Bahnasawi bahwa harus ada pembedaan pengertian tentang jahiliah menurut Sayyid Quthb dan tidak

menyamaratakannya tidak dapat diterima mengingat Sayyid Quthb sendiri secara tegas menyatakan masyarakat jahiliah adalah masyarakat yang keluar dan tidak termasuk dalam masyarakat Islam.

Untuk memperjelas masalah, perlu kiranya disebutkan bagaimana definisi masyarakat Islam menurut Sayyid Quthb yang membedakannya dengan masyarakat jahiliah. Dalam pandangan Sayyid Quthb, masyarakat Islam adalah masyarakat yang tergambar di dalamnya penghambaan kepada Allah dari mulai

١٦ Ma’âlim, h. 93

keyakinan dan pandangan hidup setiap individunya, simbol dan ritual

peribadatannya, hingga pada sistem sosial dan undang-undangnya. 17 Perlu disebutkan pula di sini pernyataan dari Afif bahwa untuk dapat

memahami pandangan Sayyid Quthb dengan baik, harus diingat posisi Sayyid Quthb sebagai seorang ideolog al-Ikhwân al-Muslimûn. Sebagai seorang ideolog, Sayyid Quthb berusaha menggerakkan aktivitas para pengikutnya dalam memperjuangkan cita-cita mereka. Karenanya, pandangan-pandangannya bersifat

“menggerakkan.” 18 Jika pernyataan ini diterima, mungkin saja pandangan Sayyid Quthb tentang jahiliah mempunyai tujuan untuk menggerakkan para pembacanya khususnya para anggota kelompok al-Ikhwân al-Muslimûn.

Di atas telah disebutkan kalau menurut para pembelanya telah terjadi kesalahpahaman tentang pengertian jahiliah yang dimaksud Sayyid Quthb. Bahnasawi menyatakan bahwa untuk menghindari kesalahpahaman ini perlu dibedakan kategori jahiliah yang dimaksud. Ia menyebut ada dua hal yang menyebabkan suatu masyarakat dinilai jahiliah oleh Sayyid Quthb: perilaku/perbuatan dan keyakinan/akidah. Untuk yang pertama, suatu masyarakat akan dinilai jahiliah jika mempunyai perilaku yang bertentangan dengan syariat Islam. Dalam kategori ini, masyarakat itu tetap merupakan masyarakat Islam hanya saja keislaman mereka telah ternodai oleh perbuatan yang mereka lakukan. Adapun terhadap masyarakat yang melakukan penyimpangan dari sisi akidah, mereka inilah yang disebut Sayyid Quthb telah keluar dari barisan masyarakat

١٧ Ibid, h. 85

١٨ Afif Muhammad, Dari Teologi, h. 85

Islam dan digolongkan sebagai kafir. Singkatnya, sifat jahiliah yang yang

dilekatkan kepada orang-orang kafir maksudnya adalah jahiliah keyakinan dan bila ditujukan kepada orang-orang Islam berarti yang dimaksud adalah jahiliah

perbuatan. 19 Untuk membuktikan hal ini ia merujuk pada penafsiran Sayyid Quthb atas QS al-Nisâ’/4:94 yang berbicara tentang keharusan untuk bersikap teliti dan tidak boleh menyakiti atau membunuh orang yang telah mengucapkan syahadat. Ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb menyatakan bahwa Allah memerintahkan kaum muslim agar ketika berperang hendaknya tidak memulai peperangan dengan seseorang atau membunuh sebelum memperoleh kejelasan. Cukup kiranya dengan melihat lahiriah Islam lewat perkataan lisan. Sebab tidak ada dalil yang

membatalkan perkataan lisan. 20 Apa yang dilakukan Bahnasawi dengan membagi jahiliah yang dimaksud

Sayyid Quthb kepada dua kategori nampaknya tidak tepat karena Sayyid Quthb tidak pernah membedakan antara dua hal tersebut. Baginya, pembedaan hanya ada pada dua bentuk masyarakat: masyarakat jahiliah dan masyarakat Islam; masyarakat jahiliah adalah masyarakat yang berseberangan dengan masyarakat Islam, tidak ada alternatif ketiga. Ketegasan yang tak kenal kompromi inilah yang membuat sebagian orang menggolongkannya ke dalam kelompok fundamentalis.

١٩ Bahnasawi, Butir-butir, h. 85-86 ٢٠ Ibid, h. 88. Untuk penafsiran Sayyid atas ayat tersebut lihat dalam Zhilâl, vol. V, h. 737

Mengenai penafsiran Sayyid Quthb yang dijadikan bukti pembedaan itu

juga kurang tepat karena ayat tersebut berbicara dalam keadaan perang dan dalam rangka mencari tahu keislaman seseorang. Seorang yang berasal dari masyarakat jahiliah kemudian bertemu dengan sekelompok orang dan mengucapkan salam – yang menunjukkan dirinya muslim- maka orang tersebut tidak boleh dibunuh karena secara lahir ia telah menunjukkan bahwa dirinya seorang muslim. Dalam konteks inilah Sayyid Quthb menegaskan ketidakbolehan untuk membunuh orang yang mengaku Islam karena perkataannya sudah cukup dijadikan bukti keislamannya walaupun mungkin orang itu sebenarnya bukan seorang muslim.

Memahami pernyataan Sayyid Quthb tersebut secara parsial juga akan menimbulkan kontradiksi dengan pernyataan Sayyid Quthb yang lain tentang penyebutan seorang muslim. Memahami penafsiran di atas hanya seperti itu akan memunculkan anggapan bahwa Sayyid Quthb hanya mencukupkan diri dengan pengakuan lidah untuk menggolongkan seseorang ke dalam Islam dan tidak mementingkan amal perbuatan. Padahal, Sayyid Quthb menganggap bahwa hanya sekadar pengakuan saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai muslim. Ribuan kali seseorang menegaskan dirinya beriman namun jika pengakuannya

tidak disertai dengan amal maka dia bukanlah seorang mukmin. 21 Jika pembedaan yang dikemukakan Bahnasawi di atas tidak dapat

diterima, nampaknya penjelasannya terhadap maksud Sayyid Quthb tentang masyarakat lebih tepat. Ia menyebutkan bahwa sebenarnya yang dimaksud Sayyid

٢١ Zhilâl, vol. V, h. 693

Quthb dengan masyarakat jahiliah bukanlah masyarakat sebagai suatu kumpulan

individu tetapi lebih sebagai sebuah sistem atau peraturan sebuah negara. Suatu negara yang mempunyai sistem atau peraturan yang tidak sesuai dengan syariat

Islam itulah yang disebut Sayyid Quthb sebagai masyarakat jahiliah. 22 Jika pendapat ini benar, ini berarti pernyataan Sayyid Quthb tentang masyarakat jahiliah terkait dengan usahanya dalam rangka mengganti sistem dan peraturan sekular yang dijalankan Gamal Abdul Nasser di Mesir dengan sistem dan peraturan yang sesuai dengan syariat Islam karena –seperti dikatakan Afif- Sayyid Quthb adalah seorang ideolog yang seluruh pandangannya bersifat menggerakkan.

Penilaian Bahnasawi ini juga berkaitan erat dengan status penduduk yang berada di dalam negara yang memakai hukum dan peraturan yang tidak sesuai dengan syariat Islam yang menurutnya tetap berada dalam Islam. Jadi, menurutnya, yang dimaksud dengan masyarakat jahiliah dalam pandangan Sayyid Quthb adalah ideologinya dan institusi yang menerapkannya, bukan

penduduknya. 23 Adapun penduduk yang menganut Islam dan melaksanakan ajaran Islam tetap dipandang sebagai seorang muslim

Dengan penjelasannya ini, terlihat bahwa pandangan Sayyid Quthb tentang masyarakat jahiliah tidak terkait dengan individu tetapi sebuah negara sehingga tidak memunculkan kesan bahwa Sayyid Quthb membenarkan ide pengkafiran. Ini juga memberikan kejelasan bahwa Sayyid Quthb tidak menilai sebagai kafir seseorang yang disebut dengan jahiliah karena Nabi sendiri pernah

٢٢ Bahnasawi, Butir-butir, h. 202

٢٣ Ibid, h. 204

meyebut Abû Dzarr sebagai orang yang mempunyai sifat jahiliah. Seandainya

Sayyid Quthb juga menyebut individu yang mempunyai sifat jahiliah dengan kafir berarti ia juga mengkafirkan Abû Dzarr sebagai orang yang telah disematkan sifat jahiliah oleh Nabi. Mustahil rasanya Sayyid Quthb berpendapat demikian mengingat ia selalu memuji para sahabat sebagai generasi terbaik yang pernah ada

sepanjang sejarah Islam. 24 Memang tepat rasanya jika masyarakat yang dimaksud Sayyid Quthb

adalah sebuah negara. Baginya, adanya negara Islam adalah suatu keharusan sebab tanpa negara maka syariat Islam sulit ditegakkan. 25 Secara implisit berarti

masyarakat Islam tidak akan tercipta tanpa ada negara. Dengan adanya negara Islam, secara otomatis syariat Islam akan berjalan dan individu yang ada di dalamnya juga akan menjalankan syariat Islam. Ini menunjukkan bahwa Sayyid Quthb memprioritaskan pendirian negara Islam dan menjadikannya sebagai sarana untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk individu-individu yang patuh dalam menjalankan syariat dan hukum-hukum Allah.

Setiap individu akan dapat melaksanakan syariat Islam jika ada sebuah negara yang mempunyai hukum dan peraturan berdasarkan syariat Islam karena sebuah negara mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk mengatur individu- individu yang ada di dalamnya. Sebaliknya, tanpa negara Islam, akan sulit untuk menjadikan tiap individu dapat melaksanakan syariat Islam. Konsekuensi atas pandangannya tentang kewajiban mendirikan negara Islam membuatnya

٢٤ Ma’âlim, h. 11

٢٥ Zhilâl, vol. VI, h. 825

berhadapan dengan gagasan nasionalisme dan sosialisme Arab yang dipelopori

oleh Nasser. 26

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Kepel yang dikutip Bahnasawi ketika menyebutkan bahwa jahiliah yang dimaksud oleh Sayyid Quthb adalah sebuah ungkapan untuk masyarakat yang dipimpin oleh penguasa fasik yang ingin membuat orang-orang menjadi hambanya dan menyembahnya. Penguasa tersebut memerintah berdasarkan hawa nafsu dan tidak melaksanakan prinsip al-Qur’an

dan Sunnah Nabi. 27 Apa yang diungkapkan Kepel tersebut –ketika menyebut penguasa fasik yang tidak memerintah berdasarkan ajaran Islam berarti menginginkan orang- orang menjadi hamba dan menyembahnya- selaras dengan pandangan Sayyid Quthb yang menyebutkan pendirian negara Islam pada dasarnya adalah mengesakan Allah dari dua sisi ulûhiyyah dan rubûbiyyah-Nya dan memurnikan

penyembahan hanya pada-Nya. 28 Pernyataan ini mengandung konsekuensi jika suatu negara tidak berdasarkan pada syariat Islam dan ketetapan Allah berarti menodai prinsip penyembahan kepada Allah dengan melakukan penyembahan pada selain-Nya.

Namun demikian, sesudah jelas bahwa masyarakat yang dimaksud Sayyid Quthb adalah sebuah negara, tidak berarti kritikan terhadapnya menjadi hilang. Abu Zayd misalnya, walaupun mengakui bahwa seruan dan kecaman Sayyid

٢٦ Afif Muhammad, Dari Teologi, h. 135 ٢٧ lihat dalam Bahnasawi, Butir-butir, h. 200 ٢٨ Zhilâl, vol. VI, h. 825

Quthb bertujuan untuk mengganti pemerintahan nasser, ia menganggap apa yang

dilakukan Sayyid Quthb telah menggeser persoalan dari pertikaian dunia menjadi pertikaian agama. Adalah kekeliruan jika menganggap pertikaian antara al- Ikhwan dengan kelompok Revolusi sebagai pertikaian agama. Justru sebenarnya pertikaian tersebut seputar kekuasaan politik, atau seputar hâkimiyyah dalam

pengertian mengatur masyarakat. 29 Perbuatan menggeser persoalan dunia menjadi persoalan agama ini

disamakan oleh perbuatan yang dilakukan Bani Umayyah yang mengangkat Mushhaf ketika berhadapan dengan tentara Ali. Siapa yang berani menolak mengambil hukum (tahkim) kepada kitab Allah tentunya hanya mereka yang

agama dan akidahnya diragukan. 30 Dengan kata lain, perbuatan Sayyid Quthb, seperti halnya Bani Umayyah, mencari legitimasi dari teks-teks agama untuk mendukung pendapatnya tentang negara. Padahal, ada wilayah khusus bagi efektivitas teks dan ada wilayah lain bagi efektivitas akal dan pengalaman dimana

tidak ada tempat bagi efektivitas teks dalam wilayah ini. 31

Kritikan Abu Zayd ini merupakan suatu kewajaran mengingat terdapat perbedaan sudut pandang antara dirinya dengan Sayyid Quthb dalam hal konsep negara. Jika Abu Zayd menganggap suatu negara tidak membutuhkan teks-teks agama dan mencukupkan diri dengan akal dan pengalaman yang menunjukkan ia menganut pemikiran sekular, bagi Sayyid Quthb pendirian negara tidak dapat

٢٩ Nashr Hâmid Abû Zayd, Naqd al-Khithâb al-Dînî, (Kairo: Maktabah Madbûli, 1995), h. 110

٣٠ Ibid, h. 111 ٣١ Ibid, h. 85

dilakukan hanya dengan akal semata karena manusia tidak mampu untuk

mengetahui semua hukum semesta, bahkan juga hukum yang mengatur fitrahnya sendiri, menyebabkan manusia tidak mampu menciptakan syariat untuk mengatur

kehidupannya sendiri. 32

Pada dasarnya, penolakan Sayyid Quthb atas segala bentuk hukum dan ideologi selain Islam berkaitan dengan pemurnian penyembahan kepada Allah semata sebagai penguasa langit dan bumi dan pembebasan manusia dari penyembahan kepada sesama. Ini, menurutnya, merupakan inti dari agama itu sendiri yang sejak semula memang bertujuan membebaskan manusia di muka

bumi dari segala macam bentuk kekuasaan selain kekuasaan Allah. 33 Dengan demikian, pendirian negara Islam bagi Sayyid Quthb bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi menjadi kewajiban yang harus diwujudkan demi terlaksananya dan tegaknya syariat Islam di bumi.

Pandangan Sayyid Quthb tentang negara Islam itu seakan menguatkan penilaian Bahnasawi dan Kepel yang berpendapat masyarakat jahiliah yang dimaksud Sayyid Quthb lebih merupakan pandangannya terhadap sistem dan peraturan suatu negara dan tidak mengarah pada individu. Jahiliah menurut Sayyid Quthb bukanlah suatu masa yang telah lewat dan tak dapat terulang lagi tetapi terkait dengan kondisi atau keadaan suatu masyarakat atau tepatnya negara yang tidak menjalankan syariat Islam dan mencari hukum lain yang dibuat oleh manusia.

٣٢ Ma’âlim, h. 100

٣٣ Zhilâl, vol. IX, h. 1434

2nd. Jahiliah dalam al-Qur’an Menurut Sayyid Quthb Jika di atas disebutkan bahwa jahiliah menurut Sayyid Quthb adalah suatu keadaan dalam masyarakat yang kemudian dipahami dengan negara, itu tidak berarti Sayyid Quthb menolak penyebutan masa pra Islam sebagai jahiliah. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang perilaku dan adat kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Arab pra-Islam, Sayyid Quthb pun menyebutnya sebagai perilaku dan kebiasaan masyarakat jahiliah. Perbuatan mengubur anak perempuan hidup-hidup karena malu yang merupakan kebiasaan buruk yang dilakukan bangsa Arab pra-Islam disebut Sayyid Quthb sebagai perbuatan tercela yang dilakukan oleh bangsa Arab (pada

masa) jahiliah. 34 Pernyataan ini jelas selaras dengan pendapat mufassir lain seperti al-Khâzin yang menyebut perbuatan itu adalah perbuatan yang dilakukan kaum

jahiliah jika mereka mendapatkan anugerah anak perempuan. 35 Walau demikian, yang menarik adalah Sayyid Quthb tidak semata-mata menjadikan perbuatan keji yang diceritakan al-Qur’an itu sebagai penggalan sejarah yang telah hilang dengan datangnya Islam. Ia justru mengaitkan perbuatan itu dengan keberadaan akidah yang benar terhadap Allah. Menurutnya, perbuatan itu dilakukan karena masyarakat Arab sebelum Islam tidak memiliki akidah yang

٣٤ Zhilal, vol. XIV, h. 2177. Lihat juga dalam vol. XXX, h. 3839 yang menceritakan bagaimana pembunuhan itu dilakukan oleh sang ayah terhadap anak perempuannya atau

bagaimana perlakuannya jika ia tidak mau membunuh anaknya itu dengan memakaikan jubah pada si anak dan menyuruhnya menggembala hewan ternak.

Ali ibn Muhammad al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl fi Ma’âni al-Tanzîl, (Beirut: Dar al- Fikr, tt), vol. III, h. 120

benar. Ketiadaan akidah itu menyebabkan terjadinya bentuk penyimpangan dalam

masyarakat seperti yang terlihat dalam perbuatan itu. Sebaliknya, dengan adanya akidah yang benar akan terciptalah suatu masyarakat yang ideal. Suatu masyarakat yang mempunyai akidah yang benar akan memahami bahwa perempuan –makhluk yang dibenci masyarakat jahiliah- merupakan bagian dari umat manusia; menghinanya berarti menghina unsur kemanusiaan yang mulia dan menguburnya berarti pembunuhan terhadap diri manusia (al-Nafs al-

Basyariyyah ). 36 Sayyid Quthb tidak hanya berhenti sampai di situ. Ia juga mengaitkan cerita perbuatan tercela itu dengan realitas yang ada. Jika suatu masyarakat telah menyimpang dari akidah yang benar maka masyarakat itu akan kembali kepada bentuk jahiliah. Ini terjadi pada masa sekarang di mana suatu masyarakat yang mempunyai bentuk dan gambaran seperti itu: anak perempuan tidak disambut dengan gembira ketika lahir dan perempuan tidak mendapat perlakuan yang sama dengan lelaki. Menurutnya, ini merupakan salah satu bentuk berhala jahiliah yang

berkembang akibat penyimpangan terhadap akidah Islam. 37

Di sini terlihat bagaimana Sayyid Quthb menafsirkan ayat yang berkenaan dengan pembunuhan anak perempuan itu untuk mengangkat citra perempuan dan mengemukakan bagaimana al-Qur’an menempatkannya jauh lebih tinggi daripada pandangan masyarakat Arab jahiliah dan menyebut masyarakat yang melakukan perendahan martabat perempuan sebagai masyarakat yang mengadopsi nilai

٣٦ Zhilal, vol. XIV, h. 2178

٣٧ Ibid

jahiliah itu dan meninggalkan ajaran Islam. Akibat dari meninggalkan ajaran

Islam dan mengadopsi nilai jahiliah yang membuat perempuan tidak dimuliakan. Tidak mungkin akan muncul rasa penghormatan kepada perempuan dari lingkungan jahiliah selamanya. Penghormatan kepada perempuan muncul dari ajaran dan syariat Islam yang memuliakan manusia secara keseluruhan baik laki-

laki maupun perempuan. 38 Pengaitan antara apa yang terjadi pada masyarakat Arab jahiliah dahulu

dengan yang terjadi pada saat sekarang tidak hanya dilakukan oleh Sayyid Quthb seperti terlihat di atas. Quraish Shihab juga mengaitkan perbuatan mengubur anak perempuan hidup-hidup yang dilakukan masyarakat Arab dahulu dengan aborsi yang dilakukan masyarakat modern yang menurutnya lebih kejam dan lebih buruk karena dilakukan di tengah maraknya pembicaraan tentang hak asasi manusia dan di tengah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Ia menuturkan,

“Pelaku aborsi pada masa jahiliah modern ini melakukannya bukan karena takut miskin, baik sekarang menyangkut dirinya, maupun kelak menyangkut anaknya. Tetapi perbuatan keji itu mereka lakukan, pada umumnya untuk menutup malu yang menimpa mereka setelah terjadi ‘kecelakaan’ akibat dosa ibu mereka, bukan karena khawatir malu akibat perlakuan buruk orang lain terhadap anak-anak mereka. Pada zaman jahiliah yang lalu, mereka membunuh antara lain karena khawatir anak diperkosa atau berzina, sedang pada masa jahiliah modern anak dibunuh karena

ibunya sendiri diperkosa atau telah berzina”. 39 Pembahasan tentang hukum dan ketetapan yang tidak diambil dari ajaran

Islam seperti halnya ketetapan mengubur hidup-hidup anak perempuan

٣٨ Zhilal, vol. XXX, h. 3840 ٣٩ M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), vol. VII, h. 263

merupakan masalah yang cukup disoroti dengan serius oleh Sayyid Quthb. Dari

sinilah ia menganggap dunia saat ini seluruhnya hidup dalam kejahiliahan dilihat dari sumber yang menjadi landasan pokok unsur-unsur kehidupan dan

sistemnya. 40 Jika demikian pandangannya, bagaimana penafsirannya atas ayat- ayat yang berbicara tentang hukum dan ketetapan, dugaan, perilaku, dan kesombongan jahiliah?

1. Hukm Jâhiliyyah Ayat yang menyebutkan secara eksplisit tentang hal itu terdapat pada QS al-Mâ’idah/5:50. نﻮﻨﻗﻮﯾ مﻮﻘﻟ ﺎﻤﻜﺣ ﷲا ﻦﻣ ﻦﺴﺣأ ﻦﻣو نﻮﻐﺒﯾ ﺔﯿﻠﮭﺠﻟا ﻢﻜﺤﻓأ

Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?

Sebelumnya, perlu dijelaskan di sini bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa pembunuhan yang terjadi antara dua suku Yahudi yang ada di Madinah: Bani Nadlîr dan Bani Qurayzhah. Seorang anggota suku yang pertama membunuh anggota suku yang kedua. Mengingat Nabi merupakan pemimpin dari masyarakat Madinah, penyelesaiannya diserahkan pada beliau yang kemudian memutuskan hukuman mati kepada si pembunuh. Keputusan yang Nabi berikan ini sesuai dengan hukum yang tertulis di Tawrat bahwa jiwa dibalas dengan jiwa.

٤٠ Ma’âlim, h. 8

Namun demikian, Bani Nadlîr menolak hukuman tersebut dan menyatakan Nabi

tidak berhak memberikan putusan kepada mereka. 41 Dengan demikian, terlihat bahwa konteks pembicaraan ayat ini adalah

pembunuhan dan penolakan Bani Nadlîr atas ketetapan yang diberikan Nabi berdasarkan Tawrat. Ini tentang ayat 50. Adapun tentang hukum dan ketetapan lain yang ada pada masyarakat Arab jahiliah seperti kepercayaan terhadap Bahîrah, Sâ’ibah, Washîlah, Ham, juga tentang pembunuhan anak perempuan hidup-hidup yang telah diuraikan di atas seluruhnya itu mencerminkan pengambilan hukum dan ketetapan berdasarkan hawa nafsu dan tidak mempunyai landasan yang kuat; suatu hal yang merupakan ciri masyarakat sebelum Islam.

Secara umum, Sayyid Quthb juga menafsirkan hukum jahiliah sebagai hukum yang tidak diambil dari hukum Allah; hukum yang berasal dari hawa nafsu dan pandangan picik manusia. Tidak itu saja. Bagi Sayyid Quthb, hal yang demikian itu berarti hukum manusia atas manusia yang mengandung implikasi penyembahan manusia kepada manusia, keluar dari penyembahan kepada Allah,

dan menolak ulûhiyyah Allah. 42

Pengambilan hukum selain hukum Allah inilah yang menjadikan manusia terpuruk dan menyimpang dari petunjuk Allah dan mengingkari fitrah manusia itu sendiri. Keunggulan generasi pertama dalam pandangannya bukan karena mereka menjumpai dan hidup bersama Nabi, walaupun hal itu tentu mempunyai pengaruh

٤١ al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, vol. I, h. 465. Lihat juga dalam ‘Abd Allah ibn ‘Umar al- Baydlâwî, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, (Kairo: Mushthafâ al-Bâbî al-Halabi wa Awlâduh,

1939), vol. I, h. 234

Zhilâl, vol. VI, h. 904

dalam membentuk keimanan mereka, tetapi lebih karena mereka menjadikan al-

Qur’an semata sebagai sumber rujukan dalam hidup. Dari al-Qur’an mereka memetik pelajaran dan dengannya mereka diubah menjadi tokoh-tokoh besar. Hal itu terjadi bukan karena umat manusia saat itu kekurangan peradaban, budaya, ilmu pengetahuan, atau rujukan lain. Romawi, Persia, Yunani, masing-masing memiliki peradaban yang telah dijadikan rujukan oleh masyarakat lain namun hal itu tidak membuat para sahabat berpaling dari al-Qur’an. Inilah salah satu faktor utama yang menjadikan generasi sahabat menjadi generasi istimewa yang hingga

saat ini tidak lagi dihasilkan dalam sejarah Islam. 43 Dalam QS al-Mâ’idah/5:50, Sayyid Quthb menguraikan setidaknya ada

dua hal yang dapat diambil. Hal pertama adalah ayat ini –dan rentetan ayat sebelumnya yang berbicara tentang pengambilan hukum- menetapkan ulûhiyyah dan rubûbiyyah Allah atas manusia. Penetapan ini berarti menerima dan mengakui syariat Allah. Menolak atas penetapan ini berarti menolak mengakui ulûhiyyah dan rubûbiyyah Allah dan kekuasaan-Nya. Hal kedua adalah masalah prioritas pilihan. Tidak ada hak apapun bagi manusia untuk menyatakan bahwa syariat buatan manusia lebih baik atau sama dengan syariat Allah. Kemudian ia mengaku sebagai muslim atau mukmin. Jika ada yang melakukan hal itu berarti ia menganggap dirinya lebih tahu dari Allah tentang urusan manusia, lebih baik

hukumnya dalam mengatur manusia dari hukum Allah. 44

٤٣ Ma’âlim, h. 13-14

٤٤ Zhilâl, vol. VI, h. 889

Persoalan pengambilan hukum ini juga membuat manusia terbagi menjadi

dua kelompok besar: mereka yang mengambil hukum dengan syariat Allah dan menerimanya dengan sepenuh hati yang termasuk dalam agama Allah dan mereka yang mengambil hukum buatan manusia dalam bentuk apapun dan menerimanya yang berarti mereka berada dalam jahiliah. Untuk kelompok terakhir ini, Sayyid Quthb menegaskan bahwa mereka yang tidak mencari hukum Alah berarti mencari hukum jahiliah; yang menolak syariat Allah berarti menerima syariat

jahiliah dan hidup dalam jahiliah. 45 Kelompok terakhir inilah yang ingin dihilangkan oleh Islam. Ini karena Islam adalah sebuah gerakan pemberontakan yang ingin mnghancurkan setiap pola hubungan antarmanusia yang menuhankan sebagian di atas sebagian lainnya. Sebab, setiap sistem hukum yang di dalamnya manusia dapat bertindak sewenang-wenang bahkan ia sendiri menjadi sumber kekuasaannya, tidak lain merupakan tindakan penuhanan manusia atas manusia

lainnya. 46 Pendapat demikian hampir senada dengan yang dilontarkan oleh al- Thabâthabâ’i ketika menjelaskan bahwa orang yang mengambil hukum selain dari hukum Tuhan berarti menafikan tuhan sebagai satu-satunya pembuat hukum yang wajib ditaati dan mengesampingkannya berarti mengingkari keberadaan Tuhan sebagai pencipta dan pengatur kehidupan di alam semesta ini dan menjadikan

pembuat undang-undang dan hukum itu sebagai tuhan. 47

٤٥ Zhilâl, vol. VI, h. 904 ٤٦ Ma’âlim, h. 59

٤٧ Muhammad Husayn al-Thabâthabâ’i, al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur’ân, (Beirut: Mu’assasah al-A’lami li al-Mathbû’ah, 1983), vol. V, h. 356

Selanjutnya ia menyatakan jika hal ini dilakukan orang di luar Islam, hal

itu tidak menjadi persoalan dan mungkin dapat diterima karena mereka memang tidak mengakui kebenaran agama Islam sehingga wajar jika tidak mengambil hukum dari ajaran Islam. Namun, bagi orang Islam, atau orang yang mengaku Islam, jika mereka melakukannya, itu berarti ia termasuk golongan orang kafir,

zhalim, dan fasik. 48 Penyebutan orang yang tidak mengambl hukum Tuhan dengan kafir ini tentu didasarkan pada QS al-Ma’idah/5:44 yang menerangkan

kewajiban orang Yahudi untuk mengambil hukum dari Tawrat dan bagi yang mengingkarinya berarti termasuk dalam golongan kafir. Ayat tersebut adalah

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi) yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi)takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat- ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu

adalah orang-orang yang kafir. 49

٤٨ Zhilâl, vol. VI, h. 905 ٤٩ Lihat juga dalam ayat 45 dan 47 dalam surat yang sama yang menyebutkan bahwa orang yang tidak mengambil hukum dan memutuskan perkara menurut apa yang telah diturunkan

Allah maka orang itu termasuk dalam golongan zalim dan fasik.

Demikian implikasi yang diberikan Sayyid Quthb tentang pengambilan

hukum selain dari yang diturunkan oleh Allah. Mengambil hukum dari selain Allah berarti mengingkari fitrahnya sendiri sebagai manusia karena pada dasarnya jika ia tetap mengikuti fitrah yang ada pada dirinya ia akan menerima keputusan dan hukum yang diturunkan Allah. Adapun jika ia mengingkari fitrahnya maka ia akan menjadi orang yang tidak mau menerima keputusan dan hukum dari Allah seperti orang Arab pada masa jahiliah yang mengambil hukum dari cerita yang dibuat-buat oleh nenek moyang mereka. Hal ini dijelaskan oleh Sayyid Quthb ketika menafsirkan QS al-Mâ’idah/5:103 yang menceritakan tentang perbuatan orang-orang Arab jahiliah yang memberikan ketetapan pada beberapa macam hewan ternak yaitu Bahîrah, Sâ’ibah, Washîlah, dan Hâm. Setelah menguraikan pengertian masing-masing kata dengan bersandar pada riwayat seperti halnya mufassir lain, ia menyebutkan bahwa ketetapan ini adalah khayalan yang berasal dari kegelapan berhala; ketika khayalan dan hawa nafsu menjadi hukum maka

tidak ada lagi batas dan pemisah antara yang benar dan yang salah. 50 Sampai di sini, terlihat bahwa Sayyid Quthb selalu konsisten dengan

pernyataannya tentang pengambilan hukum selain dari Allah adalah penyembahan manusia kepada manusia dan menegasikan Allah sebagai tuhan yang wajib disembah. Penyembahan kepada Allah semata hanya terdapat dalam Islam. Sedangkan dalam sistem selain Islam, manusia telah diperbudak oleh manusia lainnya. Mereka memperoleh syariat dari sesama hamba padahal hak untuk

٥٠ Zhilâl, vol. VII, h. 990

membuat hukum adalah kekhususan bagi Tuhan. Manusia manapun yang

mengaku dirinya memiliki wewenang untuk menerapkan syariat buatannya kepada manusia maka ia telah mengaku dirinya sebagai tuhan, baik itu secara

terang-terangan maupun tidak. 51

Lebih jauh, ia juga menuturkan bahwa perbuatan yang dilakukan orang Arab jahiliah ini mungkin saja dapat terjadi lagi pada waktu dan tempat yang berbeda dengan bentuk yang berbeda namun tetap merupakan inti jahiliah. Ia bahkan mencontohkannya dengan apa yang terjadi pada masyarakat di daerah pinggiran Mesir yang mempersembahkan beberapa bagian hewan untuk para wali dan orang-orang suci yang menurutnya sama dengan apa yang terjadi pada masa

yang telah lewat. 52 Apa yang disaksikannya itu tentu semakin menguatkan apa yang selama ini diyakininya bahwa jahiliah bukan merupakan masa tertentu yang telah lewat tetapi merupakan keadaan yang terus berulang.

Apakah dengan demikian orang yang berbuat hal itu tidak mempercayai Allah sebagai Tuhan? Tidak juga. Menurut Sayyid Quthb, orang-orang musyrik Arab itu meyakini bahwa mereka berada dalam agama Nabi Ibrahim yang datang dari Allah. Mereka juga meyakini keberadaan Allah dan kekuasaan-Nya atas alam. Hanya saja dengan keyakinan itu mereka tidak menjalankan syariat Allah tetapi malah membuat syariat sendiri dan berdalih bahwa hal itu merupakan

syariat Allah. 53 Dengan demikian, pada dasarnya mereka mempercayai Allah dari

٥١ Ma’âlim, h. 80 ٥٢ Zhilâl, vol. VII, h. 990 ٥٣ Ibid

sisi rubûbiyyah saja bahwa Allah adalah pencipta dan pengatur alam namun tidak

mempercayai Allah dari sisi ulûhiyyah bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang layak dan wajib disembah.

Pengaitan antara jahiliah yang ada pada bangsa Arab dahulu dengan masa sekarang juga tampak pada penafsiran Sayyid Quthb atas QS al-An’âm/6:136-140 yang memaparkan tentang adat kaum musyrik Arab jahiliah.

Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka:”Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.(136) dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.(137) dan mereka mengatakan: “Inilah binatang ternak

dan tanaman yang dilarang; tidak boleh memakannya kecuali orang yang kami kehendaki” menurut anggapan mereka, dan ada

binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas mereka dan apa yang selalu mereka ada-adakan.(138) dan mereka mengatakan: “Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami”, dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.(139) sesungguhnya rugilah orang yang membunuh

anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Alah telah rezkikan kepada

mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat

petunjuk.(140)

Mufassir lain menafsirkan ayat-ayat ini dengan hanya menerangkan bagaimana kaum musyrik itu membuat-buat hukum dan melakukan kebohongan

tanpa merefleksikannya pada kondisi masyarakat sesudahnya. 54 Sayyid Quthb juga menguraikan bentuk penyimpangan itu sesuai dengan penuturan ayat yaitu

membagi dua binatang ternak dan tanaman mereka untuk Allah dan berhala- berhala serta berbuat aniaya atas bagian Allah, membunuh anak-anak mereka

berdasarkan tuntunan pemimpin –dalam hal ini para dukun dan pembuat syariat 55 , membatasi sebagian ternak dan tanaman untuk dikonsumsi dan ditunggangi, melarang apa yang ada dalam perut binatang untuk dimakan oleh kaum wanita kecuali jika dilahirkan dalam keadaan mati. Ini semua merupakan contoh dari

٥٤ lihat misalnya dalam Ismâ’il ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm (Beirut: ‘Âlam al- Kutub, 1994), vol. II, h. 171-172, al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, vol. II, h. 56-57, dan al-Baydlâwî,

Anwâr al-Tanzîl , vol. I, h. 279-280

Untuk hal ini Sayyid memberi contoh perbuatan ‘Abd al-Muthalib yang bernazar jika ia mendapatkan sepuluh orang anak laki-laki yang dapat membelanya maka ia akan mempersembahkan salah satu diantaranya untuk berhala.

ketetapan-ketetapan mereka yang dipaparkan dan ditolak oleh al-Qur’an untuk

membersihkannya dari masyarakat. 56 Akan tetapi, sekali lagi, Sayyid Quthb tidak menguraikannya hanya

sekadar untuk menceritakan perbuatan mereka yang menyimpang. Ia menyatakan bahwa penyimpangan ini tidak hanya terjadi pada mereka tetapi juga pada bangsa lain pada saat itu yang mengambil hukum dengan tidak benar seperti Yunani, Persia, Romawi, India, Asia, Afrika, dan juga pada masa sekarang yang menempuh cara yang sama dengan mereka dalam menetapkan sesuatu. Mereka itu seluruhnya berada dalam penilaian yang sama: jahiliah; mungkin bentuk lahirnya berbeda akan tetapi pada intinya adalah sama: menetapkan sesuatu tidak dengan syariat Allah.

Yang lebih buruk lagi, mereka menetapkan perbuatan itu dengan mengatasnamakan tuhan dengan menyatakan hal itu merupakan syariat dari Tuhan 57 Bahkan, bagi Sayyid Quthb hal itu tidak terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan ritual keagamaan semata. Ia juga menuding adat dan tradisi yang memberikan beban berat kepada masyarakat seperti keharusan memakai pakaian pagi, pakaian siang, pakaian malam, perhiasan, model kecantikan, dan potongan rambut tertentu sebagai bentuk perbudakan kepada manusia. Baginya, hal-hal tersebut kembali kepada siapa yang berada dibelakang semua itu. Butik pakaian,

٥٦ Zhilâl, vol. VIII, h. 1214

٥٧ Ibid, h. 1218

pabrik-pabrik, para penanam modal, dan akhirnya adalah Yahudi yang berusaha

menghancurkan semua manusia. 58 Penafsiran Sayyid Quthb tersebut terlihat sangat jauh melampaui penafsir-

penafsir lain dalam menafsirkan ayat di atas ketika menyebutkan/mengaitkan perbuatan dan adat kebiasaan masyarakat Arab jahiliah dengan kebiasaan dan gaya hidup manusia modern dalam hal pakaian dan mode tertentu kemudian menuding Yahudi sebagai biang keladi dan sumber kerusakan kehidupan manusia modern. Bahkan Sa’îd Hawwâ, yang disebut Afif Muhammad sebagai pengikut

setia dan pembuka jalan bagi diterimanya tafsir Sayyid Sayyid Quthb, 59 tidak melangkah sejauh itu. Alih-alih mengaitkan penafsiran ayat-ayat tersebut dengan

Yahudi, ia hanya memaparkan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan kejahiliahan masyarakat Arab dahulu. 60 Adapun Quraish Shihab, walaupun ia juga

mengaitkan bentuk jahiliah dahulu dengan jahiliah modern, namun ia hanya mengaitkan pembunuhan anak dengan aborsi yang ada pada masyarakat

modern 61 ; suatu pengaitan yang masih dapat diterima mengingat ada kesamaan bentuk antara keduanya yaitu pembunuhan.

Tudingan Sayyid Quthb kepada Yahudi sebagai sumber kerusakan ini nampaknya terkait oleh sikap dan pandangannya atas mereka. Afif menyebutkan bahwa bagi Sayyid Quthb permusuhan kaum muslim dengan mereka adalah

٥٨ Ibid, h. 1219 ٥٩ Afif Muhammad, Dari Teologi, h. 80 ٦٠ Sa’îd Hawwâ, al-Asâs fi al-Tafsîr, (Kairo: Dâr al-Salâm, 1999), vol. III, h. 1768-1769 ٦١ Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. IV, h. 296-299

permusuhan abadi. 62 Anggapan ini juga dapat dilihat dari penafsiran Sayyid

Quthb atas QS al-Mâ’idah/5:82 yang menyebutkan Yahudi merupakan kelompok yang paling sengit dalam memusuhi Islam dibanding kelompok lainnya. Menurut Sayyid Quthb, ayat ini merupakan petunjuk bagi kaum muslim bagaimana harus bersikap kepada mereka. Didahulukannya penyebutan Yahudi atas orang Musyrik mengisyaratkan kelompok yang pertama lebih keras permusuhannya dari yang kedua walaupun yang pertama pada mulanya termasuk Ahl al-Kitâb; orang yang mengetahui sejarah perkembangan Islam sejak kemunculannya hingga saat ini akan memahami betapa permusuhan Yahudi atas Islam lebih keras, lebih sengit,

lebih lama, dan lebih abadi dari orang musyrik. 63

Sederet peristiwa dipaparkan oleh Sayyid Quthb untuk mendukung pandangannya itu. Orang yang mengumpulkan golongan dan suku-suku untuk menentang negara Islam di Madinah; mengumpulkan orang-orang awam dan kelompok-kelompok kecil untuk memberontak ketika terjadi pembunuhan ‘Utsman; memimpin untuk mengadakan pemalsuan hadis Nabi; dalang kudeta yang terjadi di Turki untuk mengganti syariat Islam dengan undang-undang; seluruh peperangan yang terjadi di mana saja untuk menentang kebangkitan

Islam. Semua peristiwa itu bermuara pada satu kelompok: Yahudi. 64 Tak heran jika kemudian Sayyid Quthb mengaitkan penafsirannya atas QS al-An’âm/6:136-

٦٢ Afif Muhammad, Dari Teologi, h. 127. Pendapat Afif ini didasarkan pada sebuah buku kecil yang ditulis Sayyid, Ma’rakatunâ ma’a al-Yahûd yang berisi bagaimana pandangannya

tentang Yahudi.

Zhilâl vol. VII, h. 960 ٦٤ Ibid, h. 961

140 di atas dengan Yahudi sebagai sumber malapetaka dan kehancuran kehidupan

umat manusia. Demikian penafsiran Sayyid Quthb atas ayat-ayat yang berbicara tentang hukum dan ketetapan jahiliah dalam al-Qur’an. Secara umum, Sayyid Quthb – sebagaimana mufassir lainnya- menyatakan bahwa hukum dan ketetapan jahiliah adalah hukum yang didasarkan pada hawa nafsu dan khayalan. Namun Sayyid Quthb tidak berhenti sampai di situ. Baginya, ada implikasi yang serius yang diterima seseorang ketika ia mengambil hukum dan ketetapan berdasarkan hawa nafsunya. Dengan melakukan hal tersebut, ia telah melakukan penyembahan kepada selain Allah dan menodai keesaan Allah dari sisi ulûhiyyah-Nya sehingga ia, dalam pandangan Sayyid Quthb, telah keluar dari Islam. Hukum dan ketetapan ini tidak hanya berkaitan dengan masalah agama atau keyakinan terhadap sesuatu yang gaib tetapi juga pandangan hidup, nilai, dan ideologi yang berasal dari luar Islam.

2. Zhann Jâhiliyyah Tentang zhann jâhiliyyah (sangkaan jahiliah), disebutkan secara eksplisit dalam QS Âli ‘Imrân/3:154, ﻢﮭﺘ ﻤھأ ﺪ ﻗ ﺔ ﻔﺋﺎﻃو ﻢﻜﻨ ﻣ ﺔﻔﺋﺎﻃ ﻰﺸﻐﯾ ﺎﺳﺎﻌﻧ ﺔﻨﻣأ ﻢﻐﻟا ﺪﻌﺑ ﻦﻣ ﻢﻜﯿﻠﻋ لﺰﻧأ ﻢﺛ ﺊﯿﺷ ﻦﻣ ﺮﻣﻷا ﻦﻣ ﺎﻨﻟ ﻞھ نﻮﻟﻮﻘﯾ ﺔﯿﻠﮭﺠﻟا ﻦﻇ ﻖﺤﻟا ﺮﯿﻏ ﷲﺎﺑ نﻮﻨﻈﯾ ﻢﮭﺴﻔﻧأ

Kemudian setelah kamu berduka cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata :”Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini ?” Katakanlah:” Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah “. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak

mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: “ Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya

kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”. Katakanlah: ”Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.

Ketika mengomentari ayat ini, Sayyid Quthb menerangkan peristiwa perang Uhud yang pada saat itu dalam pasukan Islam terdapat dua golongan. Golongan pertama adalah mereka yang memiliki iman dan keyakinan yang kuat kepada Allah. Terhadap golongan inilah Allah memberikan rasa kantuk yang menurut Sayyid Quthb rasa kantuk ini menjadikan mereka makhluk yang baru dan memberikan ketenangan pada diri mereka. Rasa kantuk yang mengembalikan kekuatan dan kepercayaan diri mereka sehingga mereka merasa tenang dalam menghadapi peperangan bersama Nabi dan merasa yakin bahwa Allah akan bersama mereka. Sedangkan golongan kedua adalah mereka yang tidak memiliki iman dan keyakinan yang kuat kepada Allah, tidak terbebas sepenuhnya dari

pengaruh jahiliah, tidak menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan hati

mereka tidak tenang atas apa yang akan mereka hadapi. 65

Apa yang menimpa mereka, menurut Sayyid Quthb, terjadi karena mereka tidak memiliki akidah yang benar kepada Allah. Mereka tidak mengetahui dengan yakin bahwa apa yang ada pada diri mereka dan apa yang menimpa mereka berada dalam kekuasaan Allah. Mereka disibukkan dengan memikirkan diri mereka sendiri dan menyangka bahwa Allah menyia-nyiakan mereka dan tidak akan menolong mereka sehingga mereka akan mati terbunuh dan terluka. Mereka tidak mengetahui Allah dengan sebenarnya sehingga mereka menyangka yang

tidak benar kepada Allah seperti sangkaan jahiliah. 66

Uraian di atas menunjukkan bahwa Sayyid Quthb mengaitkan sangkaan jahiliah yang tersebut dalam ayat di atas dengan keberadaan akidah pada diri seseorang. Seorang yang memiliki akidah yang benar kepada Allah tentu tidak akan menyangka yang tidak benar kepada Allah. Ini ditunjukkan oleh Sayyid Quthb dengan keadaan golongan pertama yang memiliki pandangan dan keyakinan yang mantap kepada Allah. Keadaan mereka yang demikian membuat mereka merasa yakin dalam menghadapi peperangan bahwa Allah akan menolong mereka dan tidak menyangka yang tidak benar kepada Allah sehingga mereka mendapatkan ketenangan dari Allah.

Sebaliknya, golongan kedua yang sejak awal memang tidak memiliki akidah dan keyakinan yang benar kepada Alah membuat mereka ditimpa

٦٥ Zhilâl, vol. IV, h. 495

٦٦ Ibid, h. 496

kecemasan dan kekhawatiran atas nasib mereka dalam menghadapi peperangan

sehingga mereka menyangka yang tidak benar kepada Allah bahwa Allah tidak akan memberikan pertolongan kepada mereka. Seperti itulah Sayyid Quthb memandang bagaimana sangkaan jahiliah itu. Sangkaan yang timbul akibat tiadanya akidah yang benar kepada Allah dan memperturutkan hawa nafsu dan pikiran mereka sendiri tanpa alasan dan dasar yang jelas padahal akidah dan keyakinan harus diperoleh dengan benar dan pasti.

Begitu juga terhadap sangkaan mereka terhadap al-Lâta, al-‘Uzzâ, dan Manât yang mereka sembah dan mereka percayai sebagai putri-putri Allah sebagaimana tersurat dalam QS al-Najm/53: 19-23. Dengan mengkontraskan apa yang nabi peroleh dari Allah dengan yakin dan benar, Sayyid Quthb mempertanyakan keabsahan dan dasar mereka dengan menganggap tiga berhala

itu sebagai putri-putri Tuhan. 67 Seluruh obyek sembahan itu disangka oleh masyarakat Arab sebagai perwujudan/simbol dari malaikat yang dianggap putri- putri Allah. Hal ini sangat mengherankan mengingat mereka benci dan malu jika mempunyai anak perempuan, namun mereka malah menganggap malaikat adalah perempuan kemudian menisbatkannya pada Tuhan.

Nama-nama itu, dan juga berhala-berhala lain yang disembah adalah nama-nama yang dibuat oleh mereka dan nenek moyang mereka yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa dan disembah berdasarkan sangkaan mereka semata. Atas dasar sangkaan inilah akidah mereka dibangun dan hawa nafsu

٦٧ Zhilâl, vol. XXVII, h. 3407

mreka menjadi penguat atas sangkaan itu bahwa para berhala yang dianggap

sebagai putri-putri Tuhan itulah yang patut disembah karena berhala-berhala itu – menurut persangkaan mereka seperti tertuang dalam ayat 26 surat yang sama- akan memberikan syafa’at kepada para penyembahnya. Sangkaan yang dibantah oleh Allah bahwa tiada satupun makhluk-Nya yang dapat memberikan syafa’at kecuali jika diizinkan oleh Allah. Sangkaan itu diperoleh berdasarkan angan- angan dan khayalan mereka semata padahal dalam urusan akidah, tidak boleh ada sangkaan atau hawa nafsu; akidah harus dibangun berdasarkan keyakinan yang

pasti dan terbebas dari hawa nafsu. 68 Suatu penegasan yang seringkali diulang- ulang dan ditekankan oleh Sayyid Quthb ketika berbicara tentang akidah.

Penafsiran Sayyid Quthb tersebut sejalan dengan pernyataan mufassir lain yang juga menyebutkan anggapan masyarakat Arab dahulu terhadap al-Lâta, al- ‘Uzzâ, dan Manât berasal dari sangkaan yang mereka buat-buat sendiri tanpa

mempunyai dasar yang benar dan kuat. 69 Yang berbeda dari penafsiran Sayyid Quthb adalah penekanannya dari sisi akidah bahwa sangkaan mereka timbul dari tiadanya akidah yang benar kepada Allah sementara mayoritas mufassir lain tidak memberikan penekanan pada sisi akidah walaupun hal itu tidak berarti mereka menafikan pentingnya akidah yang benar kepada Allah seperti yang diutarakan Sayyid Quthb. Hanya sedikit dari mereka yang berpendapat seperti Sayyid Quthb. Di antara yang sedikit itu adalah al-Thabâthabâ’i yang menyebutkan keadaan mereka yang diliputi keraguan dan kecemasan ketika menghadapi peperangan

٦٨ Ibid, h. 3408

٦٩ Lihat misalnya dalam al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, vol. IV, h. 196

merupakan bukti masih ada sisa-sisa akidah jahiliah dan tiadanya akidah yang

mantap kepada Allah. 70 Keadaan mereka yang tidak mempunyai akidah yang benar kepada Allah

sehingga membuat mereka berprasangka buruk juga disebutkan dalam QS al- Fath/48:11-12 yang menceritakan tentang orang-orang badui yang takut berperang.

orang-orang Badwi yang tertinggal (tidak turut ke Hudaybiyyah) akan mengatakan: “Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami”; mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang- halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (11) Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mu’min tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan syaitan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa. (12)

Orang-orang yang tertinggal itu beralasan bahwa mereka tidak dapat ikut serta karena harta dan keluarga mereka merintangi mereka untuk pergi bersama

٧٠ al-Thabâthabâ’i, al-Mizân, vol. IV, h. 48

Nabi. Bagi Sayyid Quthb, ini bukanlah suatu alasan yang dapat diterima karena

setiap orang mempunyai keluarga dan harta. Seandainya hal itu menjadi alasan, maka tidak ada seorang pun yang akan berangkat berperang. 71 Alasan yang

sebenarnya ialah karena mereka meyangka Nabi dan para sahabat hanya pergi untuk menjemput maut dan tidak akan kembali kepada keluarga mereka. Inilah sangkaan buruk mereka yang berasal dari hati yang tandus. Sangkaan yang tampak indah dalam hati mereka sehingga tidak mau melihat dan memikirkan

aspek lain. 72 Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi pada orang Badui yang tidak mau berperang itu saja tetapi juga orang yang seperti mereka yang berprasangka buruk kepada Allah dan kaum mukmin di setiap masa. Mereka menyangka kaum mukmin takkan pernah kembali sehingga mereka menjauh karena ingin selamat. Ini dalam kondisi perang. Adapun dalam kondisi damai, mereka menyangka bahwa kaum mukmin itu akan musnah dan dakwahnya berakhir sehingga mereka berhati-hati dan menjauhi jalam kaum mukmin yang penuh resiko. Ini semua pada

akhirnya menjadi ukuran keimanan. 73

Sebelumnya, ketika menafsirkan ayat enam surat yang sama, Sayyid Quthb menyebutkan perbedaan kaum mukmin dengan kaum munafik dan musyrik. Bagi kaum mukmin, mereka akan senantiasa berbaik sangka kepada Tuhannya dan senantiasa mengharapkan kebaikan dari-Nya; mengharapkan

٧١ Zhilâl, vol. XXVI, h. 3321 ٧٢ Ibid, h. 32 ٧٣ Ibid

kebaikan-Nya baik di kala sulit atau lapang. Orang mukmin percaya bahwa Allah

hendak memberikan kebaikan dalam setiap keadaan baik susah atau senang. Adapun kaum munafik dan musyrik, mereka terputus dari Allah sehingga mereka tidak merasakan dan mendapat hakikat tersebut bahwa Allah akan memberikan kebaikan sehingga mereka berburuk sangka kepada-Nya. Mereka tidak percaya

pada takdir dan kekuasaan Allah. 74 Permasalahan akidah memang mendapat perhatian cukup serius dari

Sayyid Quthb karena ini merupakan hal yang sangat fundamental. Untuk mengetahui dan memahami pentingnya masalah akidah ini, Sayyid Quthb merujuk pada awal dakwah Islam oleh Nabi yang selama tiga belas tahun berdakwah di Mekkah hanya untuk menyiarkan kalimat tauhid tanpa adanya permasalahan cabang-cabang syariat. Tiga belas tahun al-Qur’an yang diturunkan dalam periode Mekkah berusaha menyelesaikan masalah besar ini. Selama itu pula, al-Qur’ân al-Makkî, tidak pernah melompat sekalipun pada pembahasan furû’iyyah (cabang-cabang) yang berkaitan dengan aturan-aturan sistem keidupan hingga periode Madinah. Suatu periode pada saat penjelasan akidah ini telah cukup dan membuahkan hasil dngan munculnya individu-individu yang mampu

menjalankan segala ajaran agama. 75 Ia juga mengemukakan alasan mengapa Nabi –dalam berdakwah-

menyuarakan dan merealisasikan pengakuan tiada tuhan selain Allah dan tidak membawa isu-isu lain seperti nasionalisme Arab, krisis sosial, atau kebobrokan

٧٤ Ibid, h. 3319

٧٥ Ma’alim, h. 21

moral yang sekilas tampak lebih mudah untuk Nabi suarakan. Pada saat Nabi

mulai berdakwah, daerah Utara Jazirah Arab dikuasai Romawi dan daerah selatan dikuasai Persia. Pada saat itu bangsa Arab juga tengah dilanda penyakit sosial yang sangat serius dan juga kondisi moral yang amat parah. Seandainya Nabi membawa membawa isu-isu tersebut dalam berdakwah, sepertinya akan lebih mudah diterima oleh bangsa Arab daripada harus menghabiskan tiga belas tahun hanya untuk menegakkan kalimat tauhid.

Sayyid Quthb tidak menyangkal jika Nabi membawa isu-isu tersebut akan dapat diterima. Namun, ia meragukan efektivitas dari dakwah dengan isu-isu tersebut akan bertahan lama. Sebaliknya, dengan menegakkan kalimat tauhid, dakwah yang dilakukan oleh Nabi memberikan pengaruh yang dalam di hati masyarakat Arab. Pada saat kalimat tauhid telah menghujam di hati mereka, mereka akan terbebas dari segala kekuasaan selain Allah baik Romawi, Persia, atau lainnya. Mereka juga akan terbebas dari krisis sosial dan kemerosotan moral

yang melanda mereka. 76 Ibarat pohon besar, tinggi, dan berdaun lebat, maka ia membutuhkan akar yang kuat dan menancap kokoh di tanah. Begitu juga dengan

akidah yang diibaratkan akar sebuah agama. Saat akidah tiada tuhan selain Allah telah tertancap dengan kokoh di dalam sanubari, akan kokoh pula bersamanya sistem kehidupan yang tumbuh dan berkembang dari akidah ini. Sebab, pada saat itu jiwa manusia telah tunduk dan pasrah secara total bahkan jauh hari sebelum datangnya sistem yang mengatur kehidupan ini. Dengan begitu, penyerahan diri

٧٦ Ibid, h. 23-29

dan ketundukan jiwa merupakan substansi keimanan sebab ketundukan ini akan

memudahkan penerimaan syariat. 77 Melihat betapa pentingnya akidah dalam hal keberagamaan seseorang, tak

heran jika Sayyid Quthb mengecam orang yang berburuk sangka kepada Allah karena mengindikasikan tiadanya kepasrahan dan ketundukan total pada-Nya seperti halnya orang-orang Arab dahulu yang merasakan kekhawatiran dan ketakutan dalam menghadapi peperangan yang membuat mereka berprsangka buruk kepada Allah; prasangka yang disebut sebagai prasangka jahiliah.

Dengan demikian, bagi Sayyid Quthb, prasangka jahiliah tidak hanya prasangka yang timbul dari khayalan dan kekhawatiran yang tidak mempunyai dasar dan alasan yang kuat dan memperturutkan hawa nafsu, tetapi juga berkaitan dengan akidah yang tidak mantap kepada Allah yang tidak hanya terjadi pada orang-orang Arab dahulu namun juga akan senantiasa terjadi pada setiap orang yang seperti mereka di mana saja dan kapan saja.

3. Tabarruj Jâhiliyyah Mengenai tabarruj jahiliyyah disebutkan secara eksplisit dalam QS al- Ahzâb/33:32-33: ىﺬﻟا ﻊﻤﻄﯿﻓ لﻮﻘﻟﺎﺑ ﻦﻌﻀﺨﺗ ﻼﻓ ﻦﺘﯿﻘﺗا نا ءﺎﺴﻨﻟا ﻦﻣ ﺪﺣﺄﻛ ﻦﺘﺴﻟ ﻲﺒﻨﻟا ءﺎﺴﻨﯾ جﺮﺒﺗ ﻦﺟﺮﺒﺗ ﻻو ﻦﻜﺗ ﻮﯿﺑ ﻰﻓ نﺮﻗو ( ٣٢ ) ﺎﻓوﺮﻌﻣ ﻻﻮﻗ ﻦﻠﻗو ضﺮﻣ ﮫﺒﻠﻗ ﻰﻓ

٧٧ Ibid, h. 32

Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik (32) dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan rasul- Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa

dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebaik-baiknya (33)

Sayyid Quthb menyebutkan bahwa kedatangan al-Qur’an adalah berusaha untuk membersihkan masyarakat Islam dari segala pengaruhnya dan menjauhkan mereka dari faktor-faktor fitnah serta godaan-godaan penyimpangan. Di saat masyarakat jahiliah memandang kecantikan dari sisi tubuh dan daya tarik fisik,

Islam mengajarkan sifat malu sebagai kecantikan yang hakiki. 78 Ia juga menyebutkan ayat tersebut mengisyaratkan bahwa tabarruj

jahiliyyah merupakan peninggalan masa jahiliah dimana orang-orang yang hidup sesudah masa itu seharusnya meninggalkan perilaku itu dan mencapai persepsi

yang lebih tinggi dari persepsi jahiliah. 79 Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa Sayyid Quthb mengakui bahwa jahiiah merupakan masa yang telah lewat.

Namun, di saat yang sama juga menunjukkan adanya jahiliah baru yang berperilaku seperti jahiliah yang lalu. Pernyataannya bahwa orang yang hidup sesudah masa jahiliah harus meninggalkan perilaku sebelumnya menunjukkan

٧٨ Zhilal, vol. XXII, h. 2861

٧٩ Ibid

bahwa Sayyid Quthb mensinyalir ada perilaku jahiliah yang terjadi sesuadah

lewat masa jahiliah. Hal ini dapat dilihat dari kecamannya atas pemikiran yang berkembang pada saat ini yang diuraikannya ketika menafsirkan QS al-Nûr/24:30-31 yang berisi tata cara pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Ia menuturkan bahwa saat ini telah tersebar pemikiran bahwa pandangan bebas, pembicaraan yang lepas, pergaulan antara lelaki dan perempuan, melihat pada bagian-bagian tubuh yang tersembunyi dan mengandung fitnah merupakan unsur-unsur yang menciptakan kekayaan budaya yang mahal nilainya, pelepasan bagi dorongan- dorongan yang terkekang, pencegahan dari penyimpangan seks, dan lain sebagainya. Suatu pemikiran yang menurutnya telah tersebar dan dianut masyarakat modern.

Teori ini menurutnya adalah teori tanpa dasar. Ia menolak menerima kebenaran teori ini karena telah terbukti menyesatkan. Ia menunjuk pada negara yang tidak memiliki suatu aturan dalam membuka aurat dan pencampurbauran antara laki-laki dan perempuan yang tanpa batas. Di negara seperti ini, justru nafsu dan penyimpangan seks merajalela dengan segala bentuknya. Semua ini terjadi akibat pencampurbauran antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya

batasan sama sekali dan pergaulan bebas yang membolehkan segalanya. 80

Kecaman Sayyid Quthb atas apa yang terjadi pada masyarakat modern ini merupakan bentuk penolakannya atas apa yang datang dari Barat. Sayyid Quthb

٨٠ Zhilal, vol. XVIII, h. 2511

memang tidak menyebut secara eksplisit negara mana yang menganut pemikiran

tersebut namun tak berlebihan jika disebut negara yang dimaksud adalah Amerika. Pengalaman hidup selama dua tahun di negara tersebut tampaknya begitu membekas pada diri Sayyid Quthb bagaimana kehidupan di sana telah jauh

menyimpang dari fitrah dan nilai-nilai kemanusiaan. 81 Kenyataan yang dilihatnya sendiri inilah yang dijadikannya sebagai barometer untuk membuktikan betapa pandangan yang dianut oleh masyarakat di sana, juga masyarakat lain yang menganut pandangan serupa, tidak sesuai bahkan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Apa yang terjadi di Barat ini berbeda dengan apa yang ada dalam Islam. Sayyid Quthb menyebutkan perubahan drastis yang terjadi pada para sahabat ketika mereka mendapat peringatan ini. Wanita-wanita pada masa jahiliah dulu – sebagaimana yang terjadi pada jahiliah modern- dengan enteng membuka dadanya di hadapan laki-laki. Bahkan leher, rambut, dan anting-anting dibiarkan terbuka atau lebih dari itu. Setelah Allah memerintahkan wanita-wanita untuk menutup dadanya dan tidak menampakkan perhiasannya, mereka pun

melaksanakannya dengan patuh dan penuh ketaatan. 82

Pandangan seperti ini –membeberkan kekeliruan idologi dan pandangan Barat tentang manusia dan mengangkat kebenaran-kebenaran ajaran Islam yang harus dipegang- merupakan cara yang ditempuh Sayyid Quthb untuk melancarkan

٨١ Lihat dalam Bab II di atas

٨٢ Zhilal, vol. XVIII, h. 2513

serangan menyeluruh terhadap Barat. 83 Dalam kasus di atas, mula-mula Sayyid

Quthb menguraikan betapa pandangan dan teori yang dianut masyarakat Barat tentang pergaulan telah membuat manusia menjadi rendah derajatnya hingga ke titik yang paling rendah kemudian mengungkapkan bagaimana ajaran Islam mengangkat derajat manusia jauh lebih tinggi daripada ajaran-ajaran lain.

Kembali pada tabarruj jahiliyyah, bagaimana Sayyid Quthb menilai hal itu? Seperti halnya Ibn Katsîr yang meriwayatkan pendapat-pendapat mufassir

untuk menjelaskannya, 84 Sayyid Quthb pun melakukan hal yang sama. Akan tetapi bentuk tabarruj yang terjadi pada masa jahiliah yang lalu itu bagi Sayyid Quthb tidak seberapa jika dibanding dengan bentuk tabarruj jahiliyyah sekarang yang penuh dengan penyakit kotoran dan kehinaan. Pada saat ini, wanita sengaja menggoda dalam tutur katanya, mendesahkan suaranya, memberdayakan sgala

fitnah kewanitaannya, dan mengumbar bisikan dan ajakan seksual. 85 Dengan keadaan seperti ini, di mana perbuatan masyarakat sekarang lebih buruk dari masyarakat dahulu, Sayyid Quthb kemudian menyatakan bahwa saat ini kita hidup dalam jahiliah yang membabi buta, yang jatuh hingga derajat yang paling hina dan rendah dari seluruh manusia; kehidupan yang tidak ada kebersihan,

kesucian, dan keberkahan bagi orang yang menjalani hidup di dalamnya. 86

٨٣ Afif Muhammad, Dari Teologi, h. 85 ٨٤ Ibn Katsîr, Tafsîr, vol. III, h. 464 ٨٥ Zhilâl, vol. XXII, h. 2861 ٨٦ Ibid

Seperti halnya dengan hukum dan sangkaan jahiliah, dalam menafsirkan

perilaku jahiliah Sayyid Quthb pun mengaitkannya dengan situasi dan kondisi sekarang yang menurutnya lebih parah dari perilaku jahiliah dahulu walaupun pada intinya tetap sama yaitu mengikuti hawa nafsu dan tidak mengindahkan aturan dan norma agama dalam berperilaku. Justru karena adanya kesamaan inilah yang membuat Sayyid Quthb menyebut masa sekarang adalah masa jahiliah yang tidak ada kesucian dan keberkahan.

4. Hamiyyah Jâhiliyyah Terakhir tentang jahiliah adalah hamiyyah jâhiliyyah yang terdapat dalam QS al-Fath/48:26. ﻰ ﻠﻋ ﮫﺘﻨﯿﻜ ﺳ ﷲا لﺰﻧﺄ ﻓ ﺔﯿﻠﮭﺠﻟا ﺔﯿﻤﺣ ﺔﯿﻤﺤﻟا ﻢﮭﺑﻮﻠﻗ ﻰﻓ اوﺮﻔﻛ ﻦﯾﺬﻟا ﻞﻌﺟ ذا نﺎ ﻛو ﺎ ﮭﻠھأو ﺎ ﮭﺑ ﻖ ﺣأ اﻮﻧﺎ ﻛو ىﻮﻘﺘﻟا ﺔﻤﻠﻛ ﻢﮭﻣﺰﻟأو ﻦﯿﻨﻣﺆﻤﻟا ﻰﻠﻋو ﮫﻟﻮﺳر ﻢﯿﻠﻋ ءﻲﺷ ﻞﻜﺑ ﷲا

ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada rasul-Nya , dan kepada orang- orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Berbeda dengan penafsirannya yang terdahulu tentang hukum, sangkaan, dan perilaku jahiliah, dalam menafsirkan ayat ini Sayyid Quthb terlihat tidak memunculkan sesuatu yang baru. Ia cenderung menafsirkannya sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada saat ayat itu diturunkan yaitu tentang peristiwa

Hudaybiyyah. Sebagaimana dikemukakan pada bab terdahulu, ayat ini

menceritakan bagaimana Suku Quraisy menolak kedatangan Nabi yang ingin menziarahi Ka’bah dan perasaan sombong yang diperlihatkan Suhayl ibn ‘Amr yang menolak untuk menulis basmalah dan nama Nabi dengan gelar rasul Allah dalam surat perjanjian antara kaum Muslim dengan suku Quraisy.

Sayyid Quthb menyebutkan mereka tidak sombong karena akidah atau manhaj. Akan tetapi kesombongan mereka lebih karena perasaan tinggi hati, takabur, dan merasa lebih tinggi dari Nabi dan para sahabat. Kesombongan yang membuat mereka menghalangi Nabi dan para sahabat dari Masjid al-Harâm dan menahan binatang kurban yang dibawa kaum muslim agar tidak sampai ke tempat penyembelihannya padahal dua tindakan itu bertentangan dengan tradisi dan

keyakinan manapun. 87 Apa yang ditunjukkan oleh Nabi dan para sahabat dengan membawa

pedang yang tersarung tidak membuat suku Quraisy menjadi mengerti dan membiarkan rombongan Nabi masuk ke Mekkah. Malah mereka menyatakan akan memerangi Nabi dan para sahabat jika tetap melanjutkan perjalanannya. Hal ini tampaknya yang disebut Sayyid Quthb sebagai kesombongan yang menolak setiap langkah perdamaian sejak awal dan yang menghalangi Nabi dan para sahabat dari Masjid al-Harâm. Juga kesombongan yang tampak dari penolakan Suhayl mencantumkan basmalah dan sifat Nabi sebagai rasul Allah. Semua ini

bersumber dari kejahiliahan yang mendalam tanpa alasan yang benar. 88 ٨٧

Zhilâl, vol. XXVI, h. 3329 ٨٨ Ibid

Penafsiran Sayyid Quthb tentang hamiyyah jâhiliyyah seperti tersebut di

atas tampak tidak dikaitkan secara eksplisit dengan kondisi sekarang. Namun jika melihat pada pendapat Sayyid Quthb yang berkali-kali menyatakan jahiliah sebagai suatu kondisi yang dapat terjadi kapan dan di mana saja, dapat dikatakan bahwa secara implisit Sayyid Quthb juga menyatakan bahwa kesombongan yang dilakukan suku Quraisy dalam peristiwa Hudaybiyyah yang disebut dalam ayat dengan hamiyyah jâhiliyyah itu dapat terjadi pada siapa saja yang melakukan hal serupa. Kesombongan yang timbul dari perasaan tinggi hati yang membuat mereka tidak mau menerima kebenaran tanpa alasan yang benar.

Demikianlah, terlihat bahwa penafsiran Sayyid Quthb atas ayat yang berbicara tentang jahiliah tidak hanya berlaku dan ditujukan bagi bangsa Arab dahulu sebagai masyarakat penerima al-Qur’an pertama tetapi juga bagi masyarakat sesudahnya yang memiliki kondisi dan keadaan seperti mereka.

3rd. Analisa Kritis Penafsiran Sayyid Quthb Tentang Jahiliah dalam al-Qur’an Pada dasarnya, penafsiran Sayyid Quthb tentang jahiliah dalam al-Qur’an sangat erat berhubungan dengan pandangan dan pendapatnya tentang jahiliah itu sendiri. Dengan anggapan bahwa jahiliah bukan merupakan masa yang telah lewat, Sayyid Quthb menafsirkan ayat-ayat yang berbicara tentang jahiliah selaras dengan keadaan dan konteks tempat ia hidup walaupun hal itu tidak berarti ia menolak penyebutan masa pra Islam sebagai jahiliah. Hal seperti inilah yang terlihat dalam penafsirannya tentang jahiliah dalam al-Qur’an; menjadikan

peristiwa yang terjadi pada masa lalu sebagai cermin untuk menilai kondisi yang

ada pada saat sekarang. Namun demikian, apa yang dijelaskan Sayyid Quthb terkesan berlebihan. Dalam hal ayat-ayat yang berbicara tentang hukum jahiliah yang terdapat dalam QS al-An’âm/6:136-140 misalnya, Sayyid Quthb mengaitkannya dengan kondisi dan gaya hidup masyarakat modern seperti cara berpakaian, model rambut, dan

lain sebagainya yang pada akhirnya bermuara pada satu kelompok: Yahudi. 89 Penafsiran Sayyid Quthb terkesan berlebihan karena ayat-ayat tersebut

berbicara tentang masyarakat Arab dahulu yang melakukan perbuatan menyimpang dari ajaran Islam seperti membuat satu bagian binatang ternak dan tanaman untuk berhala dan bagian lain untuk Allah, membunuh anak, mengharamkan binatang ternak tertentu untuk dikonsumsi atau dikendarai, dan mengharamkan apa yang berada dalam perut binatang ternak itu untuk perempuan; ayat-ayat tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan cara berpakaian atau model rambut, terlebih lagi dengan Yahudi.

Apa yang dilakukan Sayyid Quthb ini terelihat sebagai pemaksaan atas ayat-ayat al-Qur’an. Padahal, seperti dikatakan Abu Zayd, ada wilayah-wilayah khusus untuk efektivitas teks dan wilayah-wilayah lain bagi efektivitas akal dan

pengalaman dimana tidak ada tempat bagi efektivitas teks dalam wilayah ini. 90 Dalam kasus penafsiran Sayyid Quthb, masalah-masalah cara berpakaian dan

model rambut sama sekali tidak berkatan dengan ayat-ayat itu yang berbicara ٨٩

Zhilâl, vol. VIII, h. 1219 ٩٠ Abu Zayd, Naqd, h. 85

tentang penyimpangan bangsa Arab dalam hal keyakinan dan perbuatan. Apalagi

Sayyid Quthb kemudian mengaitkannya dengan butik pakaian, pabrik-pabrik, para pemilik modal, dan Yahudi sebagai pihak-pihak yang bertanggung jawab atas “penyimpangan” tersebut.

Mungkin Sayyid Quthb menganalogikan antara apa yang terjadi pada masyarakat Arab yang dibicarakan al-Qur’an dengan apa yang ada pada masyarakat sekarang dengan mempertimbangkan adanya kesamaan dalam hal memperturutkan apa yang tidak ada keterangannya dari agama. Pada masyarakat Arab, mereka memperturutkan ketetapan yang dibuat oleh pemuka agama mereka padahal ketetapan-ketetapan itu adalah buatan mereka sendiri berdasarkan hawa nafsu semata. Pada masyarakat modern mereka memperturutkan apa yang dibuat oleh butik-butik pakaian dalam hal mengenakan pakaian yang juga tidak ada keterangannya dalam agama. Jika hal ini benar, Sayyid Quthb telah melakukan kekeliruan jika menyamakan dua hal tersebut.

Untuk masyarakat Arab yang dibicarakan oleh ayat, mereka telah melakukan penyimpangan yang memang telah dijelaskan dalam agama sebagai bentuk perbuatan dosa; penyimpangan berupa perbuatan menyekutukan Tuhan dan membuat hukum-hukum palsu yang kemudian dinisbatkan kepada Tuhan. Ini merupakan penyimpangan yang nyata. Akan tetapi, mengikuti gaya berpakaian dan model rambut tidak dapat disamakan dengan hal itu. Mengikuti mode tidak dapat dipersamakan dengan perbuatan menyekutukan Tuhan. Bukan pada tempatnya menggunakan ayat-ayat yang berbicara tentang perbuatan

menyekutukan Tuhan yang dilakukan masyarakat Arab dahulu untuk mengecam

perbuatan mengikuti model pakaian dan gaya rambut yang dilakukan masyarakat modern.

Perbuatan seperti ini –menggunakan teks ke dalam wilayah yang tidak ada tempat baginya- disamakan oleh Abu Zayd dengan perbuatan orang-orang Bani Umayyah yang mengangkat mushhaf sambil menyeru untuk kembali kepada kitab

Allah. 91 Penafsiran Sayyid Quthb tentang jahiliah itu sendiri pun terlihat berlebihan

ketika ia menyebut sekarang ini sebagai masa jahiliah seperti halnya masa sebelum Islam. Dalam mengemukakan pendapatnya ini ia mengajukan bukti-bukti tentang peristiwa dan perbuatan masyarakat modern yang baginya secara substansi tidak berbeda dengan apa yang ada pada masyarakat Arab pra Islam seperti apa yang disaksikannya di daerah pinggiran Mesir di mana sebagian

penduduknya mempersembahkan bagian hewan tertentu untuk para wali. 92 Adanya kesamaan bentuk antara perbuatan yang dilakukan masyarakat Arab pra Islam dengan masyarakat modern memang mungkin saja terjadi dan dalam kenyataannya memang telah terjadi, namun hal itu tidak secara otomatis dapat dikatakan bahwa saat ini merupakan masa jahiliah karena menyebut masa

٩١ Ibid. Seperti telah diketahui, ketika ‘Ali ibn Abi Thalib menjadi khalifah menggantikan ‘Utsman, Mu’awiyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus tidak mau

mengakuinya. Hal ini menyebabkan terjadinya pertempuran antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran yang terjadi di Siffin, tentara Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah sehngga yang terakhir ini bersiap-siap untuk lari. Namun ‘Amr ibn al-Ash, tangan kanan Mu’awiyah yang terkenal licik, minta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an ke atas. Ini membuat sebagian pasukan ‘Ali mendesak ‘Ali untuk menerima perdamaian itu. Lebih jauh lihat dalam Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1972), h. 5

Zhilâl, vol. VII, h. 990

sekarang dengan jahiliah mengandung konsekuensi ketiadaan risalah atau orang-

orang yang berbuat kebenaran. Seperti dikatakan oleh Mahmûd Syukri, penyebutan masa sesudah diutusnya Nabi Muhammad dengan jahiliah tidak dapat diterima mengingat akan senantiasa ada orang-orang dari umatnya yang berbuat kebenaran hingga hari kiamat. Penyebutan jahiliah pada masa sesudah Islam hanya bersifat lokal seperti individu yang tidak menganut Islam, orang Islam yang berbuat sesuatu yang dilarang dalam ajaran Islam, atau suatu negara yang seluruh

penduduknya adalah kafir. 93

Pendapat yang dikemukakan Mahmûd Syukri di atas itulah yang lebih tepat untuk diterima karena dari sisi bahasa, term jahl yang merupakan akar kata jahiliyyah telah mengalami perubahan makna. Dari lawan kata hilm pada masa sebelum Islam menjadi lawan kata ‘ilm pada masa sesudahnya. Seiring dengan perubahan makna itu maka term jahiliyyah –yang merupakan term yang lahir

sesudah Islam- mengandung arti masa sebelum Islam. 94 Selain dari sisi bahasa, pendapat Mahmûd Syukri juga selaras dengan hadis-hadis Nabi yang menyebutkan bahwa perbuatan jahiliah akan tetap terjadi sesudah datangnya Islam dan juga riwayat-riwayat lain dari sahabat seperti keterangan ‘Aisyah tentang pernikahan yang ada pada masa jahiliah. Al-Thabari, ketika ditanya apakah sesudah Islam akan ada jahiliah, ia menjawab sesudah Islam akan tetap

٩٣ Mahmûd Syukri, Bulûgh al-Arab fi Ma’rifat Ahwâl al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyyah, tt), vol. I, h. 17

Abu Zayd, Naqd, h. 96

ada perilaku jahiliah. 95 Jawaban al-Thabari ini secara implisit mengandung

pernyataan bahwa menyebut masa sesudah Islam dengan jahiliah tak dapat diterima walaupun perilaku jahiliah akan tetap ada sesudah datangnya Islam.

Dengan demikian pendapat/penafsiran Sayyid Quthb bahwa jahiliah merupakan kondisi atau keadaan suatu masyarakat yang akan senantiasa terulang dan tak terbatas pada tempat dan waktu tertentu yang dengan pendapatnya ini ia menyebut masa sekarang dengan jahiliah tak dapat diterima. Jika pendapatnya ingin diterima juga, maka penafsirannya itu harus dipahami sebagai jahiliah yang bersifat umum. Artinya jahiliah yang dimaksud Sayyid Quthb adalah jahiliah dari sisi pertentangannya dengan ajaran Islam karena jahiliah dari sisi keumumannya adalah setiap ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh para Nabi. Adapun jahiliah yang bersifat khusus yaitu masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad tak dapat diterima jika menggunakan pandapat Sayyid Quthb.

Keberatan lain dalam penafsiran Sayyid Quthb adalah implikasi yang diberikannya bagi orang yang tidak mengambil hukum Allah yang ia sebut sebagai hukum jahiliah. Menurutnya, hukum jahiliah adalah hukum buatan manusia yang dipertentangkan dengan hukum Allah. Siapa saja yang mengambil hukum jahiliah berarti ia melakukan penyembahan kepada selain Allah dan menodai keesaan-Nya. Orang yang menolak hukum Allah berarti menerima

hukum jahiliah dan hidup dalam kejahiliahan. 96

٩٥ Muhammad ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al- Fikr, tt), vol. XII, h. 5

Zhilâl, vol. VI, h. 904

Penafsiran ini terlihat terlalu mengandung implikasi yang serius bagi

orang yang tidak mengambil hukum Allah dengan menyamakannya dengan perbuatan orang yang menyekutukan-Nya. Padahal, kehidupan ini telah berkembang sedemikian jauhnya dari sejak diturunkannya al-Qur’an yang membuat terjadinya perubahan dalam memahami hukum-hukum agama. Jika dikatakan mengambil hukum-hukum lain berarti menyekutukan Allah, akan sulit rasanya menjalankan kehidupan sekarang ini dimana sulit untuk melakukan klasifikasi mana saja yang merupakan ajaran asli Islam –dalam pengertian ajaran yang benar-benar timbul dari Islam- dan mana saja yang merupakan ajaran yang bukan berasal dari Islam namun sesuai dengan semangat Islam.

Ini perlu ditegaskan karena dalam pandangan Sayyid Quthb, hukum Allah adalah hukum yang benar-benar berasal dari Allah tanpa ada campur tangan akal manusia dalam merumuskannya termasuk melakukan penyesuaian dengan tuntutan zaman. Sedangkan hukum jahiliah adalah hukum buatan manusia yang berasal dari penalaran dan akal walaupun ia mengakomodir hukum-hukum Allah atau sesuai dengan ajaran Islam. Seluruh ajaran dan ideologi dari luar Islam dianggap oleh Sayyid Quthb sebagai racun yang merusak masyarakat Islam. Untuk menghilangkannya, satu-satunya cara adalah membuat perubahan yang

radikal. 97 Perubahan radikal ini dapat dilihat dari pandangannya bahwa menolak ajaran dan sumber Islam berarti menjadi jahiliah dan keluar dari Islam.

٩٧ Sivan, Radical Islam, h. 25

Tampak bahwa penafsiran Sayyid Quthb tentang hukum jahiliah

menafikan adanya perubahan zaman yang menuntut adanya perubahan dalam mengakomodir hukum. Untuk itu tepat apa yang dikatakan Abu Zayd bahwa teks agama yang mengecam hukum jahiliah harus dipahami sebagai ajakan untuk menggunakan nalar dan logika sebagai ganti dari perbuatan bangsa Arab dahulu yang lebih mengedepankan emosi dan hawa nafsu dari pada penggunaan nalar dan

logika. 98 Dengan begitu, mengambil atau menetapkan hukum berdasarkan logika dan penalaran yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama tidak dapat

dikatakan telah mengambil hukum jahiliah, terlebih lagi menyekutukan Tuhan. Namun, terlepas dari semua itu, secara jujur harus diakui penafsiran yang dilakukan Sayyid Quthb terhadap ayat-ayat jahiliah memberikan suatu nuansa baru yang berbeda dari yang dilakukan penafsir-penafsir lain. Pembunuhan terhadap anak perempuan yang dilakukan orang-orang Arab dahulu yang disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur’an tidak hanya dipandang sebagai perbuatan yang telah lewat semata, tetapi juga dijadikan sebagai bukti keunggulan ajaran al-Qur’an yang memuliakan seluruh umat manusia tanpa pembedaan (discrimination) antara laki-laki dan perempuan walaupun tentu ada perbedaan

(distinction) antara keduanya. 99 Penafsir lain mungkin memiliki tujuan yang sama dengan Sayyid Quthb tentang keunggulan ajaran Islam yang memuliakan umat

manusia, namun hal itu hanya dipahami secara eksplisit dari penjelasan mereka. Berbeda dengan penjelasan yang dilakukan Sayyid Quthb yang menguraikannya

٩٨ Abu Zayd, Naqd, h. 96

٩٩ Zhilâl, vol. XIV, h. 2178

secara jelas dan gamblang yang tentunya memberikan pengaruh yang lebih besar

bagi pembacanya. Begitu juga ketika berbicara tentang perilaku dan perbuatan masyarakat Arab dahulu yang disebut oleh al-Qur’an sebagai tabarruj jâhiliyyah (QS al- Ahzâb/33:33). Dengan menukil pendapat Ibn Katsîr tentang bentuk tabarruj

dahulu, 101 apa yang terjadi pada masyarakat modern yang lebih parah lagi yang dipaparkan Sayyid Quthb akan menjadi renungan dan peringatan bagi masyarakat

atau individu muslim agar senantiasa menjaga perilaku dan perbuatan mereka. Akhirnya, perlu juga disebutkan di sini bahwa tentu Sayyid Quthb tidak bisa disalahkan begitu saja. Merupakan bentuk ketidakadilan jika menimpakan seluruh kesalahan kepadanya atas penafsirannya tentang jahiliah. Penafsiran Sayyid Quthb sudah pasti terkait dengan perjuangannya dalam menentang rezim Nasser yang sekular dan pendekatan militernya yang represif terhadap gerakan yang membela kepentingan Islam. 102 Kehidupannya yang penuh dengan tekanan dan siksaan dari pihak penguasa, hidup dalam penjara, hingga akhirnya menjadi martir di tangan pemerintahnya sendiri yang ia turut serta dalam membentuk pemerintahan itu, bisa jadi tertuangkan dalam tulisan-tulisannya yang banyak mengecam rezim pemerintahan Nasser dan kemudian melakukan penilaian bahwa kehidupan sekarang merupakan kehidupan dan masa jahiliah.

١٠٠ Ibn Katsîr, Tafsîr, vol. III, h. 464 ١٠١ Zhilâl, vol. XXII, h. 2861 ١٠٢ Sivan, Radical Islam, h. 28

Pengaruh tekanan pemerintah terhadap lahirnya konsep Sayyid Quthb

tentang jahiliah juga dapat dilihat dari munculnya istilah itu dalam karya-karya Sayyid Quthb sesudah 1951. Sebelumnya, istilah itu tidak ditemukan pada karya tulisnya 103 sehingga dapat dikatakan istilah tersebut “diciptakan” Sayyid Quthb sebagai bentuk penolakannya atas rezim Nasser yang menurutnya tidak Islami.

Perlu juga ditekankan di sini pernyataan dari Muhammad Quthb, sang adik, bahwa apa yang diutarakan Sayyid Quthb harus dipandang sebagai seruan dan ajakan dari seorang dai dan jangan diposisikan sebagai keputusan seorang

hakim. 104 Terdapat perbedaan tugas dari keduanya. Seorang dai bertugas untuk mengajak pendengar atau pembacanya, bukan memutuskan suatu perkara yang

merupakan tugas hakim. Memposisikan Sayyid Quthb sebagai hakim yang seruannya dianggap sebagai suatu keputusan suatu perkara akan menimbulkan kesalahpahaman dalam menyikapi pandangannya tentang suatu masalah.

Pendapat ini senada dengan kritikan yang dilontarkan Hudaybi, salah seorang petinggi al-Ikhwan, atas pemikiran Sayyid Quthb yang menyatakan bahwa pendapat Sayyid Quthb tentang jahiliah tidak dapat dianggap sebagai keputusan final tetapi harus dipandang sebagai ajakan dan seruan untuk

mengamalkan dan merealisasikan ajaran Islam. 105 Hal ini tentunya terkait dengan usahanya menawarkan konsep kembali kepada tradisi salaf yang puritan sebagai

jawaban dan solusi atas krisis umat Islam di Mesir khususnya agar umat Islam

١٠٣ Afif Muhammad, Dari Teologi, h. 133 ١٠٤ Lihat dalam surat yang ditulis Muhammad Quthb yang dikutip oleh Bahnasawi dalam

Butir-butir , h. 118-120

Sivan, Radical Islam, h. 109

kembali memiliki jati diri. 106 Konsekuensinya, seluruh sumber di luar Islam harus

dibuang karena Islam semata telah cukup untuk menjadi sumber dan pegangan hidup. 107 Cara inilah yang ditempuh Sayyid Quthb yang pada akhirnya

memunculkan konsepnya tentang jahiliah.

١٠٦ Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 112

١٠٧ Olivier Roy, The Failure of Political Islam, (London: IB Tauris, 1994), h. 40