Nur Hasaniyah AL I'JAZ AL BALAGHI DALAM SURAT AL DUHA

TESIS

Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh Gelar Magister Agama dalam Ilmu Bahasa dan Sastra Arab

Oleh NUR HASANIYAH

NIM: 02.2.00.1.06.01.0156

Pembimbing Dr. Ahmad Dardiri, MA

KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1429 H/2008 M

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Nur Hasaniyah Nomor Pokok Mahasiswa

Tempat/ Tanggal Lahir

: Probolinggo, 23 Pebruari 1975

Pekerjaan : Dosen Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora dan Budaya UIN Malang

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis saya yang berjudul ”al-I’jâz al- Balâghi Dalam Surat al-Dhuhâ” adalah benar karya asli saya, kecuali yang saya sebutkan sumbernya. Apabila dikemudian hari terdapat di dalamnya kesalahan dan

kekeliruan maka hal tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 31 Januari 2008 Yang Menyatakan

Nur Hasaniyah

PERSETUJUAN PEMBIMBING PERSETUJUAN PEMBIMBING

tesis.

Pembimbing,

Dr. Ahmad Dardiri, MA

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis yang berjudul “Al-I’jâz Al-Balâghi Dalam Surat Al-Dhuhâ” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Maret 2008. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama (MA) Bidang Pengkajian Islam, Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab.

Sidang Munaqosyah

1. Prof. Dr. Suwito, MA 1. .............................. Ketua Sidang

2. Prof. Dr. H.D. Hidayat, MA

2. .............................. Penguji

3. Dr. Yusuf Rahman, MA 3. ............................... Penguji

4. Dr. Ahmad Dardiri, MA 4. .............................. Pembimbing / Penguji

Tesis yang berjudul “Al-I’jâz Al-Balâghi Dalam Surat Al-Dhuhâ”, yang ditulis oleh Nur Hasaniyah, Nomor Induk Mahasiswa 02.2.00.1.06.01.0156, konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab telah disetujui untuk dibawa ke dalam ujian tesis.

Pembimbing,

Dr. Ahmad Dardiri, MA

Tesis yang berjudul “Al-I’jâz Al-Balâghi Dalam Surat Al-Dhuhâ” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Maret 2008. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama (MA) Bidang Pengkajian Islam, Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab.

Jakarta, 13 Maret 2008

Sidang Munaqosyah

1. Prof. Dr. Suwito, MA 1. .............................. Ketua Sidang

2. Prof. Dr. H.D. Hidayat, MA

2. .............................. Penguji

3. Dr. Yusuf Rahman, MA 3. ............................... Penguji

4. Dr. Ahmad Dardiri, MA 4. .............................. Pembimbing / Penguji

ABSTRAK

Nur Hasaniyah, “Al-I’jâz Al Balâghi Dalam Surat Al-Dhuhâ”. Dalam tesis ini penulis membahas kandungan balâghah dalam penafsiran surat al-Dhuhâ. Surat ini disamping mengandung I’jâz dari sisi kebahasaan juga memberi pelajaran yang sangat berharga dalam masalah sosial. Pada 3 ayat terakhir surat ini menjelaskan kepada kita bagaimana respon sosial terhadap anak yatim, mereka yang membutuhkan dan bagaimana cara mensyukuri ni’mat.

Penafsiran al-Qur’an ditinjau dari sisi kebahasaan menggunakan metode penelusuran makna dasar bahasanya telah dilakukan oleh ‘A’isyah Abdurrahmân Bintusy Syâthi’ dalam karya monumentalnya al-Tafsir al-Bayâni lil al-Qur’ân al- Kârim , yang terkenal dengan tafsir Bintusy Syâthi’. Kebanyakan tulisan-tulisan yang

ada hanya sekedar penafsiran sebuah surat. Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan, penulis tidak menemukan tulisan yang secara khusus membahasan surat al- Dhuhâ dari segi ilmu balâghahnya.

Penulisan tesis ini bersifat kepustakaan murni. Adapun pengolahan datanya menggunakan metode analitis dan deskriftif analitis. Pada pengambilan data penulis merujuk pada beberapa buku primer, di antaranya Dala-il al-I’jâz karya Abu Bakr Abd al-Qâhir al-Jurjâni, Miftâh al-‘Ulum karya Abu Ya’qub Yusuf ibn Abu Bakr al- Sakkaki, Tafsir al-Qâsimi yang berjudul Mahâsin al-Ta’wil karya Muhammad Jamâluddin al-Qâsimi, Ruh al-Ma’âni fi Tafsir I’jâz al-‘Azhim wa al-Sab’ al-Matsâni karya Abu Fadhl Syihâbuddin al-Sayyid Mahmud al-Baghdâdi. Tafsir al-Baydhawi yang berjudul Anwâr al-Tanzil wa Asrâr al-Ta’wil karya al-Qâdhi Nasiruddin Abu Sa’id Abdullâh Abu ‘Umar Muhammad al-Syairâzi al-Baydlâwi, dan buku sekunder, seperti kitab ‘ulum al-Qur’ân dan kitab tafsir lainnya.

Apa yang telah penulis uraikan dalam tesis ini adalah hasil usaha penulis dalam menggali sisi kebalaghan surat al-Dhuhâ. Penulis juga berharap tulisan ini akan dapat lebih sempurna berkat kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak.

ABSTRACT

Nur Hasaniyah, “Al-I’jâz Al Balâghi Dalam Surat Al-Dhuhâ”. In this thesis, the writer discusses the content of balâghah in interpreting surah al-Dhuhâ. This surah contains I’jâz and in its language side it gives valuable lesson in social problem. At the last 3 ayah of this surah it explains to us how to give social respond to the orphan, the poor who need help and how to be grateful.

The interpretation of al-Qur’an seen from the language using the method of tracing the basic meaning of language has been done by ‘Aisyah Abdurrahmân Bintusy Syâthi’ in her monumental work “al-Tafsir al-Bayâni lil al-Qur’ân al- Karim” that is widely knows as Tafsir Bintusy Syâthi’. Most of the writings are the interpretation of a surah. As long as the tracing of library research the writer has done,

the writer did not find any writing specifically discuss surah al-Dhuhâ seen from the balâghah perpective.

This thesis is purely library research. The method used in analyzing the data is analytical method and descriptive analysis. The data are taken from some primary books such as Dala-il al-I’jâz by Abu Bakr Abd al-Qâhir al-Jurjâni, Miftâh al-‘Ulum by Abu Ya’qub Yusuf ibn Abu Bakr al-Sakkaki, Tafsir al-Qâsimi Mahâsin al-Ta’wil by Muhammad Jamâluddin al-Qâsimi, Ruh al-Ma’âni fi Tafsir I’jâz al-‘Azhim wa al- Sab’ al-Matsâni by Abu Fadhl Syihâbuddin al-Sayyid Mahmud al-Baghdâdi. Tafsir al-Baydhawi Anwâr al-Tanzil wa Asrâr al-Ta’wil by al-Qâdhi Nasiruddin Abu Sa’id Abdullâh Abu ‘Umar Muhammad al-Syairâzi al-Baydlâwi and secondary book such as the books of ‘ulum al-Qur’ân and other interpretation book.

The findings and the discussion of the thesis is the result of writer’s effort in exploring the aspect of balâghah of surah al-Dhuhâ. The writer hopes anivites any contructive critics, comment, and suggestions for further positive improvements that will make the thesis perfect.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah, berkat karunia-Nya tesis ini akhirnya dapat diselesaikan, sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar magister dalam bidang bahasa dan sastra Arab pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta . Shalawât dan salâm semoga tetap tercurahkan kepada utusan-Nya, Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

Proses rampungnya tesis ini sepenuhnya tak terlepas dari bimbingan, arahan, saran, kritikan, sokongan dan bantuan dari sejumlah pihak. Tentunya penulis harus berterima kasih kepada beberapa pihak, baik itu perorangan maupun institusi, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Dalam sebuah hadits di ungkapkan: “Barang siapa tak berterimakasih kepada manusia, maka ia berarti tak bersyukur

kepada Allah.” Dan dari lubuk hati yang paling dalam, dengan tulus penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf-stafnya.

2. Rektor UIN Malang, Prof. Dr. Imam Suprayogo yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2, serta bantuannya baik yang berupa materiil dan moriil.

3. Prof. Dr. HD. Hidayat, MA., selaku ketua bidang konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah menggugah penulisan tesis ini, memberikan pengajaran, arahan kepada penulis secara kritis, cermat, dan ilmiah sejak penulis mengikuti program magister di UIN ini.

4. Dr.Ahmad Dardiri, MA., Sebagai pembimbing utama dalam penulisan tesis ini yang telah memberikan gagasan awal dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dengan cermat, kritis dan ilmiah, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

5. Para guru besar dan dosen di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, yang telah membuka cakrawala berfikir kepada penulis selama masa perkuliahan.

6. Pimpinan-pimpinan perpustakaan (Perpus. SPS dan Utama UIN Jakarta, perpus LIPIA Jakarta, perpus Iman Jama’ Jakarta, Perpus Bahasa dan 6. Pimpinan-pimpinan perpustakaan (Perpus. SPS dan Utama UIN Jakarta, perpus LIPIA Jakarta, perpus Iman Jama’ Jakarta, Perpus Bahasa dan

7. Orang-orang yang penulis cintai dan sayangi, kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan dan do’a selama ini, tak terkecuali suami tercinta yang tak pernah lelah membantu dan memotivasi demi rampungnya tesis ini, serta anak-anak tersayang (Seffa, Rara, Daniel, Shofia ), adik-adik, sahabat seperjuangan dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

Akhir kata, teriring do’a penulis semoga Allah membalas semua kebaikan mereka, âmîn.

Saran dan kritik yang membangun penulis harapkan demi kesempurnaan isi tesis ini, dan dengan segala kekurangan yang ada semoga tesis ini ada arti dan

manfaatnya terutama bagi peneliti selanjutnya.

Jakarta, 5 Desember 2007

Penulis

Arab Latin Arab Latin

ء’قQ بBكK تTلL ث Ts م M

جJنN ح

H وW خ Kh ـه H دDيY

ذ Dz __َ A ر R __ِ I ز Z __ُ U

سS َ ا Â .... ش Sy ِ ي Î ....

ص Sh ُ و Û .... ض Dh .... ْي Ai

ط Th .... ْو Au ظ Zh ( ة) sakinah Ah ع ‘ (ة)

muharrakah

غ Gh لا syamsiyah Al فF لا qomariyah Al

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Allâh telah menurunkan al-Qur’ân dengan bahasa Arab yang jelas dalam hal pengucapan dan redaksinya sesuai dengan kondisi bangsa Arab. Meskipun begitu al- Qur’ân banyak memuat redaksi yang fasih, makna yang indah yang sangat menakjubkan dan tidak ada seorangpun yang dapat menandinginya.

Mukjizat para Nabi terdahulu banyak yang bersifat fisik dan kasat mata, seperti tongkat Nabi Musa, unta Nabi Shâlih, perahu Nabi Nûh, mukjizat-mukjizat

tersebut akan hilang bersama dengan wafatnya Nabi yang membawanya. Adapun mukjizat ‘aqli ma‘nawi / rasio yang metafisik yaitu al-Qur’ân al-Karîm akan

senantiasa ada meskipun pembawanya telah meninggal. Mukjizat tersebut akan senatiasa dikaji dari generasi ke generasi karena syarat Muhammad adalah syarî‘at penutup yang akan senantiasa ada hingga datangnya hari kiamat.

Orang yang mengkaji al-Qur’ân pasti akan mendapatkan isyarat yang jelas yang menunjukkan bahwa Allâh ta‘âla telah menjadikan al-Qur’ân sebagai bukti akan kebenaran risalah Muhammad dan mukjizat baginya. Allâh menjadikan al-Qur’ân sebagai kitab hidayah yang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya keimanan dan memberi mereka petunjuk kepada jalan kebenaran. Allâh ta‘âla berfirman:

4’n<Î) óΟÎγÎn/u‘ ÈβøŒÎ*Î/ Í‘θ–Ψ9$# ’n<Î) ÏM≈yϑè=—à9$# z⎯ÏΒ }¨$¨Ζ9$# ylÌ÷‚çGÏ9 y7ø‹s9Î) çμ≈oΨø9t“Ρr& ë=≈tGÅ2 4 !9#

∩⊇∪ ω‹Ïϑptø:$# Í“ƒÍ“yèø9$# ÅÞ≡uÅÀ

Maknanya: “Alîf, lâm râ’. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang Maknanya: “Alîf, lâm râ’. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang

Allâh jadikan al-Qur’ân sebagai mukjizat yang terbesar sebagaimana dalam al- Qur’ân disebutkan:

ÖƒÉ‹tΡ O$tΡr& !$yϑ¯ΡÎ)uρ «!$# y‰ΨÏã àM≈tƒFψ$# $yϑ¯ΡÎ) ö≅è% ( ⎯ÏμÎn/§‘ ⎯ÏiΒ ×M≈tƒ#u™ Ïμø‹n=tã š^Ì“Ρé& Iωöθs9 (#θä9$s%uρ

’Îû χÎ) 4 óΟÎγøŠn=tæ 4‘n=÷Fム|=≈tFÅ6ø9$# y7ø‹n=tã $uΖø9t“Ρr& !$¯Ρr& óΟÎγÏõ3tƒ óΟs9uρr& ∩∈⊃∪ ê⎥⎫Î7•Β ∩∈⊇∪ šχθãΖÏΒ÷σム5Θöθs)Ï9 3“tò2ÏŒuρ Zπyϑômts9 šÏ9≡sŒ

Maknanya: “Dan orang-orang kafir Mekkah berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya mukjizat- mukjizat itu terserah kepada Allâh, dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata". Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’ân) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (al-Qur’ân) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman” . ( Q.S. al-Ankabût: 50-51)

Jadi pada dasarnya al-Qur’ân saja sudah cukup untuk memberikan petunjuk hidayah dan keimanan kepada Allâh, dan berfungsi sebagaimana mukjizat-mukjizat

para Nabi, karenanya al-Qur’ân merupakan mukjizat kerasulan yang terakhir. 1 Karena al-Qur’ân sendiri adalah mu’jiz dan Allâh menunjukkan kei’jazannya

kepada manusia. Maka al-Qur’ân menantang siapapun untuk menandinginya. Apalagi orang-orang kafir Quraisy mengklaim bahwa al-Qur’ân bukan firman Allâh, dan dalam saat yang sama keahlian mereka adalah dalam aspek kebahasaan dan merekapun merasa amat mahir dalam bidang ini, maka tidak heran jika tantangan pertama yang dikemukakan al-Qur’ân kepada yang ragu di antara mereka adalah

1 Al-Zarkasyi, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr Al-Fikr, 1988), jilid II, h. 101.

“menyusun kalimat-kalimat semacam al-Qur’ân (minimal dari segi keindahan dan ketelitiannya). 2 Tantangan ini sama halnya dengan tantangan yang dihadapkan oleh

Nabi Musa terhadap kaumnya yang ketika itu mereka pada puncak tertinggi dalam ilmu sihir karenanya mu’jizat yang muncul darinya lebih tertuju untuk menantang para tukang sihir pada waktu itu. Juga demikian halnya mu’jizat Nabi ‘Isa yang menantang kaumnya yang pada waktu itu dalam puncak kemahiran dalam Ilmu Kedokteran. Al-Qur’ânpun juga demikian yang menantang kaum Arab yang sedang

berada pada puncak kesusasteraan tertinggi. 3 Tantangan ini disebutkan dalam al-Qur’ân dalam beberapa tingkatan,

sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat berikut ini:

ãΝèδ ÷Πr& >™ó©x« Îöxî ô⎯ÏΒ (#θà)Î=äz ÷Πr& ∩⊂⊆∪ š⎥⎫Ï%ω≈|¹ (#θçΡ%x. βÎ) ÿ⎯Ï&Î#÷WÏiΒ ;]ƒÏ‰pt¿2 (#θè?ù'u‹ù=sù

∩⊂∈∪ šχθà)Î=≈y‚ø9$# Maknanya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Qur’ân

itu jika mereka orang-orang yang benar. Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”. ( Q.S. al- Thûr: 33-34)

βÎ) «!$# Èβρߊ ⎯ÏiΒ ΟçF÷èsÜtGó™$# Ç⎯tΒ (#θãã÷Š$#uρ ⎯Ï&Î#÷VÏiΒ ;οu‘θÝ¡Î/ (#θè?ù'sù ö≅è% ( çμ1utIøù$# tβθä9θà)tƒ ÷Πr&

∩⊂∇∪ t⎦⎫Ï%ω≈|¹ ÷Λä⎢Ψä.

2 M. Quraish Shihab, Mukjizat al- Qur’ân: Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 1997), cet. I, h. 113

3 Al-Zarkasyi, Al-Burhân …, h. 107

Maknanya: “Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allâh, jika kamu orang yang benar."” (Q.S. Yûnus: 38)

(#θãã÷Š$#uρ ⎯Ï&Î#÷VÏiΒ ⎯ÏiΒ ;οu‘θÝ¡Î/ (#θè?ù'sù $tΡωö7tã 4’n?tã $uΖø9¨“tΡ $£ϑÏiΒ 5=÷ƒu‘ ’Îû öΝçFΖà2 βÎ)uρ

(#θà)¨?$$sù (#θè=yèøs? ⎯s9uρ (#θè=yèøs? öΝ©9 βÎ*sù ∩⊄⊂∪ t⎦⎫Ï%ω≈|¹ öΝçFΖä. χÎ) «!$# Èβρߊ ⎯ÏiΒ Νä.u™!#y‰yγä©

∩⊄⊆∪ t⎦⎪ÌÏ≈s3ù=Ï9 ôN£‰Ïãé& ( äοu‘$yfÅsø9$#uρ â¨$¨Ζ9$# $yδߊθè%uρ ©ÉL©9$# u‘$¨Ζ9$#

Maknanya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’ân yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur’ân itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allâh, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia

dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir”. (Q.S. ِ al-Baqarah: 23-24) Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan akan kebenaran al-Qur’ân yang tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera

dan bahasa karena ia merupakan mukjizat nabi Muhammad. tβθè?ù'tƒ Ÿω Èβ#u™öà)ø9$# #x‹≈yδ È≅÷VÏϑÎ/ (#θè?ù'tƒ βr& #’n?tã ⎯Éfø9$#uρ ߧΡM}$# ÏMyèyϑtGô_$# È⎦È⌡©9 ≅è%

∩∇∇∪ #ZÎγsß <Ù÷èt7Ï9 öΝåκÝÕ÷èt/ šχ%x. öθs9uρ ⎯Ï&Î#÷WÏϑÎ/

Maknanya: “Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’ân ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang Maknanya: “Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’ân ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang

Padahal al-Qur’ân turun dengan lisan Arab yang jelas, bahasanya adalah bahasa Arab, lafazhnya juga Arab dan ’uslubnyapun Arab, akan tetapi mereka tidak

dapat menandinginya. 4 Tentang hal ini disebutkan dalam al-Qur’ân pada beberapa ayat, di antaranya:

šχθè=É)÷ès? öΝä3¯=yè©9 $wŠÎ/ttã $ºΡ≡u™öè% çμ≈oΨø9t“Ρr& !$¯ΡÎ)

Maknanya: “Sesungguhnya kami menurunkannya berupa al-Qur’ân dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”. (Q.S. Yûsuf: 2)

Para ulama bahasa mengatakan, meskipun demikian bukan berarti tidak terdapat kata benda a‘jam di dalam al-Qur’ân seperti kata Nuh, Luth dan Isra’il. Al- Imâm al- Thabari mengatakan: “Tidak boleh diyakini bahwa sebagian al-Qur’ân dalam bahasa Persia atau Romawi atau Habasyi, karena Allâh telah menjadikannya Qur’anan ‘Arabiyan”. Juga bukan berarti tidak ada kata yang musytarak yang digunakan dalam bahasa Arab juga digunakan dalam bahasa lain. Atau mungkin juga lafazh tersebut diambil dari bahasa Arab kemudian digunakan dalam bahasa selain bahasa Arab, sebagaimana banyak kita temukan dalam bahasa Indonesia, Turki, India dan lain-lain. Kalau seandainya ada satu huruf saja selain bahasa Arab, maka orang- orang kafir akan mengatakan bahwa Muhammad membawa perkataan yang bukan

dari bahasa kita dan datang dengan apa yang tidak kita ketahui. 5 Ketakjuban mereka berawal ketika mereka mendapatkan bahwa kalimat-

kalimat yang terdapat di dalamnya tidak sebagaimana yang mereka dapatkan dalam seni sastra yang mereka ketahui. al-Qur’ân bukanlah syair, bukan pula matra-mantra

4 Pembahasan tentang hal ini dapat dilihat pada kitab Al-Risâlah karya al-Imâm al-Syâfi’i, Muqadimah Tafsir al-Thabari, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân karya Al-Zarkasyi. Para ahli bahasa

sepakat bahwa al-Qur’ân semuanya adalah bahasa Arab, lihat pula Ahmad Muhammad Jamâl, ‘Ala Mâidah al Qur’ân ma‘ al-Mufassirin wa al-Kuttâb, (Beirut: Dâr Al-Fikr, 1974), cet. II, h. 64

5 Ahmad Muhammad Jamâl, ‘Ala Mâidah al-Qur’ân...., h. 65 5 Ahmad Muhammad Jamâl, ‘Ala Mâidah al-Qur’ân...., h. 65

Diriwayatkan bahwa ‘Utbah ibn Rabi‘ah ketika ia mendengar al-Qur’ân berkata: “Wahai kaum, sebagaimana kalian ketahui bahwa tidak terlewatkan bagiku sesuatupun kecuali aku telah mengatakannya, aku mengetahuinya, dan aku membacanya. Demi Allâh aku telah mendengar perkataan yang tidak ada

tandingannya, ia bukan syair, sihir ataupun mantra”. 7 Meskipun orang-orang musyrik mengklaim dapat menandingi al-Qur’ân dan

mereka mampu membuat semisalnya. Allâh menyebutkan dalam al-Qur’ân tentang mereka:

!#x‹≈yδ ïχÎ) !#x‹≈yδ Ÿ≅÷WÏΒ $oΨù=à)s9 â™!$t±nΣ öθs9 $oΨ÷èÏϑy™ ô‰s% (#θä9$s% $oΨçF≈tƒ#u™ óΟÎγø‹n=tæ 4‘n=÷Gè? #sŒÎ)uρ

∩⊂⊇∪ t⎦⎫Ï9¨ρF{$# çÏÜ≈y™r& HωÎ)

Maknanya: “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami, mereka berkata: "Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), kalau kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini, (al-Qur’ân) ini tidak lain hanyalah dongeng-dongengan orang-orang purbakala"”. (Q.S. al-Anfâl: 31) Itu adalah di antara ejekan-ejekan orang-orang Arab terhadap al-Qur’ân padahal

mereka tahu bahwa Muhammad adalah seorang yang ’ummiy tidak ada seorangpun yang mendiktekannya atau menuliskannya.

∩∠∪ î,≈n=ÏG÷z$# ωÎ) !#x‹≈yδ ÷βÎ) ÍοtÅzFψ$# Ï'©#Ïϑø9$# ’Îû #x‹≈pκÍ5 $uΖ÷èÏÿxœ $tΒ

6 Fauzi al-Sayyid Abd Rabbih, Dirâsat fi al-Balâghah al-‘Arabiyah (Târikhuha – al- Fashahah wa al-Balâghah – Abwab min ‘ilm Al- Ma‘âni), (Kairo: Al-Azhar University, 1994), h. 15

7 Fauzi al-Sayyid Abd Rabbih, Dirâsât fi al-Balâghah al-‘Arabiah…, h. 15

Maknanya: “Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; Ini (ajaran yang dibawa Nabi Muhammad) tidak lain hanyalah (dusta) yang diada- adakan”. ( Q.S. Shâd: 7)

Al-Walîd ibn al-Mughîrah al-Makhzûmî salah seorang pujangga Arab dari kaum kafir Quraisy pernah mengatakan: “Kita tahu syair seluruhnya dan segala hal yang berkaitan dengannya”. Ketika ia mendengar firman Allâh:

Ï™!$t±ósxø9$# Ç⎯tã 4‘sS÷Ζtƒuρ 4†n1öà)ø9$# “ÏŒ Ç›!$tGƒÎ)uρ Ç⎯≈|¡ômM}$#uρ ÉΑô‰yèø9$$Î/ ããΒù'tƒ ©!$# ¨βÎ) šχρã©.x‹s? öΝà6¯=yès9 öΝä3ÝàÏètƒ 4 Ä©øöt7ø9$#uρ Ìx6Ψßϑø9$#uρ

Maknanya: “Sesungguhnya Allâh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allâh melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (Q.S. al-Nahl: 9) Iapun berkata: “Demi Allâh, sesungguhnya kata-kata itu mempunyai keindahan dan padanya ada hikmah yang tinggi, sesungguhnya pada bagian awalnya mempunyai makna yang tegas dan bagian akhirnya ada hikmah yang dapat diambil, ini tidak

mungkin dikatakan oleh manusia”. 8 Setelah ia bingung untuk memberikan kata yang tepat untuk al-Qur’ân akhirnya ia mengatakan:

∩⊄∈∪ Î|³u;ø9$# ãΑöθs% ωÎ) !#x‹≈yδ ÷βÎ)

Maknanya: “Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia” . (Q.S. al-Mudatstsir: 24) Diriwayatkan bahwa Abu Dzar radliyAllâh ‘anhu pernah mengatakan: “Demi Allâh aku tidak pernah mendengar penyair yang lebih hebat dari pada Anis, ia telah menantang 12 orang penyair di masa jahiliah termasuk saya salah satunya, ia pergi ke Mekkah dan kemudian memberitahukan kepada saya tentang kabar Nabi Muhammad,

8 Fauzi al-Sayyid Abd Rabbih, Dirâsât fi al- Balâghah al-‘Arabiyah…, h. 15 8 Fauzi al-Sayyid Abd Rabbih, Dirâsât fi al- Balâghah al-‘Arabiyah…, h. 15

membangdingkannya dengan syair, tidak ada satu syairpun yang menyamainya”. 9 Apa yang telah diklaim dan tuduhan orang-orang musyrik tidaklah benar,

karena hingga kini tidak satupun di antara mereka yang mampu menandingi al- Qur’ân. Padahal mereka ketika itu berada pada puncak kesusastraan dan bahasa yang tinggi. Dan mereka memang berlomba-lomba dalam hal itu. Ketika mereka tidak mampu menandingi al- Qur’ân, hal ini menunjukkan kelemahan mereka untuk meniru dan menandingi al-Qur’ân baik dalam segi bahasa dan redaksinya. Karena

segi kebalaghahan al-Qur’ân di atas kemampuan manusia. Dalam sebuah syair disebutkan:

Allâh maha Besar, sesungguhnya agama Muhammad Dan kitabnya, petunjuk yang paling tepat dan kata-kata yang indah Jangan engkau sebutkan kitab-kitab terdahulu di depannya Pagi telah tiba, lampu tempelpun di padamkan

Karenanya, 11 pendapat al-Nazhzhâm yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan I‘jâz adalah dikarenakan Allâh memalingkan (sharafa) orang-orang Arab

dengan perkara yang lain daripada mengerahkan kemampuannya untuk menandingi

9 Fauzi al-Sayyid Abd Rabbih, Dirâsât fi al- Balâghah al-‘Arabiyah…, h. 16 10 Al-Zarqâni, Al Burhân…juz II, h. 221 11 Al-Nazhzhâm adalah Ibrahim ibn Siyâr ibn Hâni’ al-Bashri, Abu Ishâq al-Nazhzhâm. Salah

seorang ulama Mu‘tazilah. Beliau menekuni filsafat dan mempunyai paham tersendiri dalam Mu‘tazilah sehingga dia dan pengikutnya terkenal dengan sebutan al-Nazhzhâmiyah. Dijuluki dengan al-Nazhzhâm dikerenakan kemahirannya dalam nazham kalam (menyusun kata-kata). Sebagian lainnya menyebutkan bahwa julukan tersebut dikarenakan profesinya adalah merapikan (nazhama) kancing baju di pasar Al-Bashrah. Semasa mudanya al-Nazhzhâm banyak bergaul dengan golongan al- Tsanawiyah, al-Samniyah dan para filosof sehingga pemikirannya banyak dipengaruhi oleh golongan- golongan tersebut. Lebih lengkapnya lihat Abû Mansûr al-Baghdâdi, Al-Farq Bayn al-Firaq, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 93-110 seorang ulama Mu‘tazilah. Beliau menekuni filsafat dan mempunyai paham tersendiri dalam Mu‘tazilah sehingga dia dan pengikutnya terkenal dengan sebutan al-Nazhzhâmiyah. Dijuluki dengan al-Nazhzhâm dikerenakan kemahirannya dalam nazham kalam (menyusun kata-kata). Sebagian lainnya menyebutkan bahwa julukan tersebut dikarenakan profesinya adalah merapikan (nazhama) kancing baju di pasar Al-Bashrah. Semasa mudanya al-Nazhzhâm banyak bergaul dengan golongan al- Tsanawiyah, al-Samniyah dan para filosof sehingga pemikirannya banyak dipengaruhi oleh golongan- golongan tersebut. Lebih lengkapnya lihat Abû Mansûr al-Baghdâdi, Al-Farq Bayn al-Firaq, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 93-110

menandinginya akan tetapi mereka tidak dapat melakukannya dikarenakan dihalangi dengan shirfah, maka bukan al-Qur’ânnya yang mengandung I‘jâz akan tetapi

sesuatu yang menghalangi itulah yang mengandung I‘jaz. 12 Dari sini kita dapat berkata bahwa keunikan dan keistimewaan al-Qur’ân dari

segi bahasa merupakan kemukjizatan utama dan pertama yang ditujukan kepada masyarakat Arab yang dihadapi al-Qur’ân lima belas abad yang lalu. Kemukjizatan yang dihadapkan kepada mereka ketika itu bukan dari segi isyarat ilmiah al-Qur’ân, dan bukan pula segi pemberitaan ghaibnya, karena kedua aspek ini berada di luar pengetahuan dan kemampuan mereka bahkan merekapun menyadari kelemahan

mereka dalam bidang tersebut. 13 Sisi I‘jâz Qur’âni banyak, dan di antara yang menakjubkan adalah bahwa

Rasulullah sebelum turunnya al-Qur’ân tidak mengetahui sedikitpun tentang kitab- kitab para pendahulunya, kisah-kisahnya, berita dan sejarah mereka. Meskipun demikian Rasulullah menceritakan kejadian-kejadian yang nyata dan sejarah mulai dari terciptanya Nabi Adam hingga diutusnya Rasul. Sebagaimana kita ketahui bahwa ilmu semacam ini tidak bisa didapatkan oleh seseorang melainkan dengan cara belajar. Dan kitapun mengetahui bahwa Rasul tidak pernah berinteraksi dengan

12 Al-Zarkasyi, Al-Burhân…, h. 105 13 M. Quraish Shihab, Mukjizât al-Qur’ân…, h. 113 12 Al-Zarkasyi, Al-Burhân…, h. 105 13 M. Quraish Shihab, Mukjizât al-Qur’ân…, h. 113

šχθè=ÏÜö6ßϑø9$# z>$s?ö‘^ω #]ŒÎ) ( šÎΨŠÏϑu‹Î/ …çμ’ÜèƒrB Ÿωuρ 5=≈tGÏ. ⎯ÏΒ ⎯Ï&Î#ö7s% ⎯ÏΒ (#θè=÷Fs? |MΖä. $tΒuρ

Maknanya: “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’ân) sesuatu kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; Andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)”. (Q.S. al-Ankabût: 48)

Kalau seandainya Rasul adalah orang yang pernah belajar kepada seorang ulama niscaya orang kafir Quraisy pasti mengetahui hal tersebut. Akan tetapi sejarah

tidak pernah mencatat bahwa Rasul pernah belajar agama pada seorang guru. Hal ini merupakan bukti bahwa al-Qur’ân bukanlah karya manusia, akan tetapi merupakan wahyu dari Allâh.

Berita tentang perkara-perkara yang ghaib juga merupakan sisi penting dari pembahasan I‘jâz Qur’âni, al-Qur’ân memuat perkara ghaib yang terjadi pada masa silam, masa ketika Nabi diutus dan masa yang akan datang.

Adapun perkara ghaib yang terjadi pada masa silam tercermin pada kisah- kisah para Nabi yang terdahulu, kisah-kisah umat dan orang-orang sebelum kita. Rasulullâh sama sekali tidak mengetahui perkara tersebut sebelum diturunkan wahyu kepadanya. Allâh ta‘alâ berfirman:

È≅ö6s% ⎯ÏΒ y7ãΒöθs% Ÿωuρ |MΡr& !$yγßϑn=÷ès? |MΖä. $tΒ ( y7ø‹s9Î) !$pκÏmθçΡ É=ø‹tóø9$# Ï™!$t7/Ρr& ô⎯ÏΒ šù=Ï?

∩⊆®∪ š⎥⎫É)−Fßϑù=Ï9 sπt6É)≈yèø9$# ¨βÎ) ( ÷É9ô¹$$sù ( #x‹≈yδ

Maknanya: “Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak

(pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Hûd: 49) Ini merupakan bukti bahwa kisah-kisah tersebut bukan dari karya Nabi akan tetapi merupakan wahyu dari Tuhan semesta alam.

Adapun perkara ghaib yang sedang berlangsung ketika Rasul diutus adalah perihal surga dan neraka. Sebelumnya Rasul tidak pernah melihatnya dan bahkan mengetahuinya, kemudian beliau menceritakan perkara tersebut. Ini juga menunjukkan bahwa perkara tersebut adalah wahyu dari Allâh. Juga termasuk dalam hal ini adalah terungkapnya kedok al-Akhnas ibn Syârik seorang munafiq yang pernah bersumpah bahwa ia mencintai Rasul, tetapi setelah itu ia melewati pertanian

dan peternakan kaum muslimin, ia bakar pertaniannya dan ia basmi peternakan yang ada. Dari peristiwa tersebut turun firman Allâh:

uθèδuρ ⎯ÏμÎ6ù=s% ’Îû $tΒ 4’n?tã ©!$# ߉Îγô±ãƒuρ $u‹÷Ρ‘‰9$# Íο4θuŠysø9$# ’Îû …ã&è!öθs% y7ç6Éf÷èム⎯tΒ Ä¨$¨Ψ9$# z⎯ÏΒuρ

3 Ÿ≅ó¡¨Ψ9$#uρ y^öysø9$# y7Î=ôγãƒuρ $yγŠÏù y‰Å¡øã‹Ï9 ÇÚö‘F{$# ’Îû 4©tëy™ 4’¯<uθs? #sŒÎ)uρ ∩⊄⊃⊆∪ ÏΘ$|ÁÏ‚ø9$# ‘$s!r&

∩⊄⊃∈∪ yŠ$|¡xø9$# =Ïtä† Ÿω ª!$#uρ

Maknanya: “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allâh (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allâh tidak menyukai kebinasaan”. (Q.S. al-Baqarah: 204-205)

Perkara ghaib yang akan terjadi kemudian yang pernah dikabarkan oleh Rasul, di antaranya adalah kabar kemenangan bangsa Romawi terhadap bangsa Persia dalam beberapa tahun kemudian, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ân:

∩⊂∪ šχθç7Î=øóu‹y™ óΟÎγÎ6n=yñ ω÷èt/ -∅ÏiΒ Νèδuρ ÇÚö‘F{$# ’oΤ÷Šr& þ’Îû ∩⊄∪ ãΠρ”9$# ÏMt7Î=äñ ∩⊇∪ $Ο!9#

∩⊆∪ šχθãΖÏΒ÷σßϑø9$# ßytøtƒ 7‹Í≥tΒöθtƒuρ 4 ߉÷èt/ .⎯ÏΒuρ ã≅ö6s% ⎯ÏΒ ãøΒF{$# 3 š⎥⎫ÏΖÅ™ ÆìôÒÎ/ ’Îû ¬!

Maknanya: “Alîf lâm Mîm. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi, bagi Allâh-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang), dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman”. (Q.S. al-Rûm: 1-4)

Di antara sisi I‘jâz Qur’âni adalah ketepatan pemilihan kata dan susunan kalimatnya yang indah. Sehingga tidak ada seorangpun dari manusia dan jin yang mampu untuk menyusun dan memilih kata-kata yang sepadan dengan al-Qur’ân. Fashâhah al- Qur’ân senantiasa ada meskipun pada susunan ayat-ayat yang panjang. Ciri fashâhah dan balaghahnya tetap ada tidak berubah dan berkurang meskipun ayatnya panjang. Segi balaghah yang lainnya terdapat pada sisi al-washl (keterkaitan antara ayat) dan keindahan peralihan ayat. Al-fashl dan al-washl yang terdapat pada al-Qur’ân tidak mengurangi ketinggian balaghahnya.

Segi I‘jâz yang lain adalah I‘jâz Ta’lîfi (susunan kalimat) yang mana al- Qur’ân banyak mengandung cabang-cabang ilmu balâghah dalam bahasa Arab yang juga melampaui tingkatan sastra dan kemampuan bangsa Arab. Dalam al-Qur’ân juga terdapat îjâz, ithnâb, tasybîh, isti‘ârah, kinâyah dan lainnya mulai dari kandungan Ilmu Bayân, Ma‘âni, dan Badî‘. Begitu juga sisi I‘jâz al-Qur’ân juga terdapat pada pemilihan kata-kata yang sesuai maknanya dalam bidang syari‘ah, hukum, dan aqidah. Pemilihan kata yang sering dan biasa dipergunakan oleh masyarakat Arab lebih mudah dari pada memilih kata-kata yang sesuai maknanya pada bidangnya masing-masing.

Di antara I‘jâz al-Qur’ân juga adalah pemilihan kata-kata yang mudah dan indah, serta mudah untuk dibaca. Ini lebih memudahkan orang yang membacanya untuk memahami kandungan al-Qur’ân. Masih banyak lagi sisi I‘jâz al-Qur’ân lainnya seperti al -I‘jâz al-Shauti, I‘jâz yang berhubungan dengan perkembangan ilmu-ilmu modern dan lain-lain.

Dari sekian banyak kandungan I‘jâz pada setiap surat, penulis ingin membahas kandungan I‘jâz Balâghi yang terdapat pada surat al-Dhuhâ. Dikarenakan surat ini memuat banyak segi I‘jâz balâghi seperti; majâz, isti‘ârah, thibâq, muqâbalah, jinâs, sajâ‘ kaedah iltizâm, hadzf dan lain sebagainya.

Berawal dari sinilah penulis ingin menggali al-Qur’ân lebih dalam ditinjau dari sisi kebalaghahannya khususnya pada surat al-Dhuhâ. Sebuah surat yang

diturunkan di Makkah (makkiyah) setelah Rasul dalam penantian yang lama tidak turun wahyu kepadanya. Surat ini turun sebagai respon atas ucapan orang-orang kafir Quraisy yang mengejeknya bahwa wahyu tidak akan turun lagi kepadanya. Ketidak hadiran wahyu untuk sementara waktu juga menunjukkan bahwa sebetulnya al- Qur’ân bukanlah karangan Nabi Muhammad tapi ia merupakan wahyu Allâh semata.

Lebih menarik lagi surat ini disamping mengadung I‘jâz dari sisi kebahasaan juga memberi pelajaran yang sangat berharga dalam masalah sosial. Lihat saja pada 3 ayat terakhir dari surat ini yang menjelaskan kepada kita bagaimana respon sosial terhadap anak yatim, faqir miskin yang membutuhkan bantuan dan bagaimana cara mensyukuri ni‘mat.

Karenanya, penulis tertarik untuk mengkajinya lebih dalam khususnya pada sisi kebalaghahannya dalam sebuah tesis yang berjudul: AL-I‘JÂZ AL-BALÂGHI DALAM SURAT AL-DHUHÂ. Dengan harapan tesis ini dapat mengupas secara rinci sisi kebalaghahan surat al-Dhuhâ.

B. PERMASALAHAN

1. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang muncul dalam analisis ini, yaitu:

1. Mengapa surat al-Dhuhâ yang diturunkan oleh Allâh setelah lama tidak turun wahyu kepada Nabi Muhammad?

2. Apa kandungan hikmah dibalik qasam (sumpah) dengan al-Dhuhâ?

3. Mengapa setelah bersumpah dengan al-Dhuhâ Allâh lanjutkan dengan qasam al-Layl?

4. Apa makna yang terkandung pada pemakaian lafadz َعﱠَدو َ (wadda’a) dan َﻰَﻠﻗ (qalâ)?

5. Adakah keterkaitan makna antara lafadz ﻢﻴ ﺘﻳ dan ى َأَو , لﺎ َﺽ dan ى َﺪ َه , serta ﻞﺋﺎ َﻋ dan ﻰ َﻨ ْﻏ َأ .

6. Apakah munasabah antara ayat 6,7,8 dan ayat 9,10, dan 11?

2. Pembatasan Masalah

Banyak sisi kemu‘jizatan al-Qur’ân tetapi dalam tesis ini lebih difokuskan pada sisi balâghahnya. Hal ini dikarenakan pembahasan tersebut merupakan salah satu inti mu’jizat al-Qur’ân. Karena al-Qur’ân diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab dan di antara ciri khas sebuah bahasa adalah keindahan dan kefasihannya (balâghahnya). Maka atas dasar inilah penulis lebih memfokuskan pada kajian I‘jâz balâghi.

Mengingat banyaknya kandungan I‘jâz yang ada di dalam al-Qur’ân dan banyaknya surat-surat yang terdapat di dalamnya serta keterbatasan waktu, biaya dan tenaga yang tersedia, maka penulis membatasi bahasannya hanya pada: kandungan I‘jâz dari segi kebalaghahannya pada surat al-Dhuhâ. Penulis menganggap penting pembahasan ini dikarenakan dalam al-Dhuhâ mengandung beberapa aspek ilmu Balâghah.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas maka dapat

yang terdapat di dalam surat al-Dhuhâ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menemukan sejumlah makna-makna yang terkandung dalam surat al- Dhuhâ.

2. Menemukan kandungan I‘jâz dalam surat al-Dhuhâ dari segi balâghahnya.

3. Mengadakan penelitian kebahasaan pada surat al-Dhuhâ yang hasilnya diharapkan dapat menambah wawasan kebahasaan kita dan menambah keyakinan kita pada sisi al-I‘jâz al-Qur’âni.

D. MANFAAT PENELITIAN

Berdasarkan disiplin ilmu yang dipelajari, maka penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi beberapa unsur sebagai berikut:

1. Penulis mengetahui beberapa kandungan I‘jâz dari segi balaghahnya dalam al-Qur’ân pada surat al-Dhuhâ.

2. Membantu masyarakat umum untuk dapat mengetahui makna dan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’ân, khususnya kandungan I‘jâz dari segi balaghah yang ada dalam surat al-Dhuhâ.

3. Kontribusi positif bagi khazanah keintektualan dan kepustakaan bahasa Arab yang dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkompeten dalam mendalami dan mengembangkan bahasa dewasa ini dan masa yang akan datang.

E. KAJIAN KEPUSTAKAAN

Pembahasan tentang I’jaz al-Qur’an telah lama menjadi perhatian para ulama, sebut saja Abd al-Qâhir al-Jurjâni dalam dua karyanya yang sangat monumental; Dalâil I’jâz dan Asrâr al-balâghah lebih mengedepankan pembahasan tentang sisi balaghahnya. Beliau berusaha memaparkan kekuatan balaghah al-Qur’ân yang dengannya menjadikan al-Qur’ân mengandung I’jâz. Kitab dalâil I’jâz lebih banyak memuat bahasan ilmu ma’âni sedangkan Asrâr al-Balâghah lebih banyak membahas ilmu bayân.

Adapun penafsiran al-Qur’ân ditinjau dari sisi kebahasan dengan menggunakan metode penelusuran makna dasar bahasanya telah dilakukan oleh

‘A’isyah Abdurrahmân Bintusy Syâti‘dalam karya monumentalnya al-Tafsîr al- Bayâni lil al-Qur’ân al-Karîm, yang terkenal dengan Tafsir Bintusy Syati’.

Kebanyakan tulisan-tulisan yang ada hanya sekedar penafsiran sebuah surat. Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan, penulis tidak menemukan tulisan yang secara khusus membahasan surat al-Dhuha dari segi ilmu balaghahnya.

Pembahasan tesis ini merupakan perpaduan antara analisa balâghah dan analisa tafsir dari surat al-Dhuhâ, karenanya literatur yang dipergunakan dalam penulisan ini lebih difokuskan pada kitab-kitab balâghah dan kitab-kitab tafsir yang banyak mengupas sisi kebahasaan dan kandungan balâghah dari surat-surat al- Qur’ân. Seperti:

1. Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma‘âni wa al-Bayân wa al-Badi‘ karya Ahmad Al- Hâsyimi.

2. Dalâ’il al-I‘jâz karya Abû Bakr Abd al-Qâhir al-Jurjâni

3. Miftâh al-‘Ulûm karya Abu Ya‘qûb Yûsuf ibn Abû Bakr al-Sakkaki

4. Dirasât Qur’âniyah fi Juz ‘Amma karya Mahmud Ahmad Nahlah

5. Tafsir al-Qâsimi yang berjudul Mahasin al-Ta’wil karya Muhammad Jamâluddin al-Qâsimi.

6. Ruh al-Ma‘âni fi Tafsir I‘jâz al-‘Azhim wa al-Sab‘ al-Matsâni karya Abû Fadhl Syihâbuddin al-Sayyid Mahmûd al-Baghdâdi.

7. Tafsir al-Baydhâwi yang berjudul Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl karya al-Qâdhi Nâsiruddin Abû Sa‘id Abdullâh Abû Umar Muhammad al- Syairâzi al-Baydlâwi.

9. Tafsir al-Misbâh Pesan, Kesan dan Keserasian I‘jâz karya M. Quraisy Shihâb. Dan masih banyak lagi kitab-kitab sebagai referensi utama dari penulisan tesis ini. Di samping itu tesis ini dilengkapi dengan referensi kitab-kitab tafsir yang mu’tabar seperti Tafsir al-Thabari karya al-Imam al-Thabari, al-Bahr al-Muhîth fi al- Tafsir karya Abu Hayyan al-Andalûsi, I‘jâz al-Qur’ân karya Abû Bakar Al-Baqillâni dan lainnya. Untuk penyebutan hadits penulis berusaha mentakhrijnya dengan

merujuk pada kitab Shahihain, Sunan dan Al-Masânid.

F. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini bersifat kepustakaan murni, karena sumber-sumber yang digunakan dalam pembahasan ini adalah hasil dari menelaah kitab-kitab, literatur dan tulisan lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Pada pengambilan data penulis merujuk pada beberapa buku primer dan buku sekunder.

Adapun data primer yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah referensi yang ada kaitannya dengan masalah I‘jâz al-Qur’ân, seperti yang tercantum di atas. Sedangkan data sekunder dari referensi lainnya yang dapat memberikan argumen tambahan dari data primer, seperti kitab-kitab ‘ulûm al-Qur’ân dan kitab tafsir lainnya.

Penelitian ini menggunakan metode ِAnalitis (tahlili) yaitu dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ân dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut, seperti khususnya pada penafsiran surat al-Dhuhâ. Dalam metode ini makna yang dikandung oleh al-Qur’ân khususnya dalam surat al- Dhuhâ diuraikan ayat demi ayat , uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan tesis ini terbagi menjadi lima bab. Masing- masing bab terbagi ke dalam beberapa sub bab. Pada bagian akhir kami cantumkan

lampiran. Berikut deskripsi masing-masing bab: Bab pertama berupa pendahuluan yang membahas tentang latar belakang

penulisan tesis yang menguraikan tentang gambaran global tentang I‘jâz al-Qur’ân dan I‘jâz lughawinya serta korelasinya dengan surat al-Dhuhâ. Setelah latar belakang terpaparkan dilanjutkan dengan permasalahan yang diawali dengan identifikasi permasalahan. Dari beberapa permasalahan yang ada dipilih beberapa permasalahan yang sesuai dengan tema pembahasan dan diakhiri dengan rumusan masalah. Bab ini juga memuat tujuan penelitian dan manfaat penelitian yang memotifasi penulis untuk mendapatkan jawaban dari rumusan permasalahan yang ada. Pembahasan berikutnya adalah tentang kajian kepustakaan yang memaparkan metode dan referensi utama dalam penulisan tesis ini. Dilanjutkan dengan metodologi penelitian dan ditutup dengan sistematika penulisan.

Bab kedua, dalam bab ini penulis berusaha memaparkan tentang pengertian i’jaz. Beberapa pengertian yang ada sengaja diuraikan kemudian ditarik benang merah yang merangkum pengertian-pengertian tersebut sehingga didapatkan pengertian yang jâmi’ dan mâni’. Setelah itu penulis ingin menelusuri mata rantai sejarah munculnya ilmu I‘jâz al-Qur’ân, kemudian dilanjutkan dengan diskripsi tentang macam-macam I‘jâz al-Qur’ân. Setelah pembahasan tentang I‘jâz al-Qur’ân terpaparkan, penulis memulai dengan memaparkan secara ringkas tentang ilmu

Bab ketiga, memaparkan tentang surat al-Dhuhâ. Diawali dengan pembahasan tentang asal usul pemilihan nama surat al-Dhuhâ, jumlah ayat, huruf dan keistimewaan-keistimewaan dan surat al-Dhuhâ. Setelah pengenalan surat al-Dhuhâ sudah terpaparkan dilanjutkan dengan pembahasan sabab al-nuzûl, apakah termasuk surat makkiyah atau madaniyah dan dirangkai dengan pembahasan munasabah surah al-Dhuhâ dengan surat sebelumnya dan surah sesudahnya. Kemudian bab ini ditutup

dengan pembahasan tentang tafsir surat al-Dhuhâ. Penafsiran yang dimaksud lebih memfokuskan pada segi balaghahnya sesuai dengan tesis.

Bab keempat, yang merupakan pembahasan utama dari penulisan tesis, memaparkan tentang deskripsi data yang sudah ada kemudian dilakukan analisa. Analisa yang dimaksud memuat analisa kandungan makna dan analisa I‘jâz Balâghi yang terdapat pada surat al-Dhuhâ ditinjau dari aspek ma’âni, bayân dan badi’. Analisa ini akan dianggap berhasil apabila penulis mampu menemukan dan memaparkan kandungan I‘jâz Balâghi dalam surat al-Dhuhâ yang didukung dengan argumen-argumen yang memadai.

Bab kelima, merupakan kesimpulan akhir dari beberapa uraian pada bab-bab sebelumnya. Kesimpulan yang dimaksud adalah memuat garis-garis besar dari penelitian yang penulis lakukan pada surat al-Dhuhâ. Bab ini ditutup dengan beberapa evaluasi dari hasil penelitian.

19

BAB II I’JÂZ AL-QUR’ÂN

I. I’JÂZ DAN MU’JIZAT

A. PENGERTIAN I’JÂZ DAN MU’JIZAT

a. Pengertian I ‛jâz

Menurut bahasa kata I’jâz adalah mashdar dari kata kerja a’jaza, yang berarti melemahkan. Kata a’jaza ini termasuk fi’il ruba’i mazid yang berasal dari fi’il tsulatsi mujarrad ajaza yang berarti lemah, lawan kata dari qodara yang berarti kuat/mampu. Secara etimologis, kata I’jâz berasal dari bahasa Arab yang berarti menetapkan

kelemahan ( 1 ِﺰ ْﺠ َﻌﻟ ْا ُتﺎ َﺒ ِإْﺛ

). Kata al ‘ajzu dalam pengertian umumnya adalah ketidakmampuan untuk mengerjakan sesuatu, maka ketika I’jâz muncul, tampaklah

kemampuan mu’jiz. 2 Dari kata inilah muncul istilah mu’jizat yang kemudian menjadi khazanah tersendiri dalam bahasa Indonesia

Kata I’jâz al-Qur’ân ialah melemahkannya al-Qur’ân. Suatu kata yang terdiri dari dua kata yang dimudhafkan. Yaitu, dimudhafkannya kata mashdar I’jâz kepada pelakunya, yaitu al-Qur’ân, sehingga berarti melemahkannya al-Qur’ân. Sedangkan ma’mulnya (siapa obyek yang dilemahkan) dibuang/tersimpan. Bila didatangkan akan berbunyi:

Kemudian manakala kata I’jâz dÎsandingkan dengan al-Qur’ân, maka akan mengandung arti menampakkan kebenaran Nabi Muhammad dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mu’jizatnya, yaitu al-Qur’ân dan juga kelemahan generasi-generasi

1 Mannâ’ al-Qatthân, Mabahits fi Ulûm al-Qur’ân, (tt: Mansyurât al ‘Ashr al Hadits, 1973), h. 258

2 Mannâ’ al-Qatthân, Mabahits…, h. 258 2 Mannâ’ al-Qatthân, Mabahits…, h. 258

sejenis. 4 Dengan demikian, al-Qur’ân sebagai mu’jizat bermakna bahwa al-Qur’ân merupakan sesuatu yang mampu melemahkan tantangan menciptakan karya yang

serupa dengannya. Sebab, kitab al-Qur’ân telah menantang para pujangga arab untuk membuat kitab yang seperti al-Qur’ân, tetapi dari dulu sampai sekarang tidak ada yang mampu membuat tandingan itu. Padahal tantangan al-Qur’ân itu sudah berkali-kali diturunkan, dan yang disuruh menandingi seluruh isi al-Qur’ân, dikurangi hanya supaya menandingi 10 surat saja, sampai terakhir hanya diminta membuat tandingan

sebuah surat saja pun tidak ada yang mampu menandinginya. Apabila sesuatu itu sudah diakui bersifat al-I’jâz atau melemahkan, maka pastilah dia mempunyai

kemampuan. Karena itu, kitab al-Qur’ân betul-betul I’jâz atau benar-benar melemahkan manusia seluruhnya, tak ada seorangpun yang bÎsa menandingi tantangannya.

b. Pengertian Mu’jizat

Mu’jizat ditinjau dari segi etimologi merupakan derivasi dari kata kerja a’jaza yang berarti “menjadikannya lemah atau mendapatinya dalam keadaan lemah” 5

pelakunya (yang melemahkan) dinamai Mu’jiz dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka ia dinamai mu’jizat. Tambahan ( ة ) ta’ marbuthah pada akhir kata itu mengandung makna

muBalâghah (superlative). Secara terminologi ada beberapa definisi yang diajukan para ulama, di antaranya ialah:

3 Mannâ’ al-Qatthân, Mabahits…, h. 258 4 Muhammad ‘Abd al-Azim al-Zarqâni, Manahil al-Irfan fi Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Îsa al

Bâby al halaby, tth), jilid ke 2, h. 331 5 Luis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut: Dâr al Fikr, 1986), h. 488

1. Sesuatu kejadian yang luar biasa sebagai respon dari suatu tantangan dan dapat mengalahkan tantangan tersebut. 6

2. Mu’jizat adalah sebagai bukti kebenaran seorang nabi yang diberikan Allâh kepadanya dengan disertai tantangan, karena langsung diberikan oleh Allâh

hanya untuk para nabi, maka tidak mungkin memperolehnya lewat proses belajar mengajar. 7

3. Menurut Syekh Abdullâh al-Harari dalam kitabnya Dalil al-Qawim, kata mu’jizat berarti

Yaitu, perkara yang luar biasa yang disertai dengan tantangan yang menunjukkan kebenaran apa yang didakwakan, tidak dapat ditandingi dengan perkara yang semisalnya yang muncul pada seseorang yang mengaku sebagai

seorang Nabi. 8 Menurut penulis pengertian mu’jizat yang dikemukakan oleh Syekh Abdullâh

adalah pengertian yang jâmi’. Lebih detailnya, pengertian mu’jizat dari definisi di atas mencakup beberapa unsur; pertama, perkara tersebut adalah perkara yang luar biasa, sehingga perkara yang tidak sampai pada katagori luar biasa bukanlah mu’jizat. Kedua, perkara tersebut disertai dengan pengakuan kenabian, sehingga apabila perkara luar biasa tersebut tidak disertai dengan pengakuan kenabian bukanlah dinamakan mu’jizat sebagaimana yang muncul pada seorang wali. Perkara luar biasa yang muncul pada seorang wali dinamakan karâmah. Ketiga, perkara tesebut terjadi pada seseorang yang telah diangkat menjadi Nabi, sehingga apabila perkara tesebut terjadi sebelum diangkat menjadi Nabi dinamakan irhash, seperti awan yang

6 Mannâ’ al-Qaththân, Mabahits..., h. 259 7 Abd al-Qâdir Husain, al-Qur’ân I’jâzuhu wa Balâghatuhu, (ttp: Mathba’ah al Amânah,

1975), h. 7 8 Abdullâh al-Harari, al-Dalîl al-Qawîm ‘ala al-Shirat al-Mustaqîm, (Beirut: Dâr al-

Masyâri’, tt), h. 112 Masyâri’, tt), h. 112

orang lain yang juga mengaku Nabi, maka perkara lura biasa tersebut dua-dua bukanlah mu’jizat. 9

Perkara luar biasa ini berbeda dengan sihir, karena sihir dapat ditandingi. Mu’jizat semua Nabi mulai dari munculnya mu’jizat tersebut sampai sekarang tidak ada yang dapat menandinginya. Sebagai contoh; mu’jizat Nabi Shâlih yang dapat mengeluarkan unta beserta anaknya dari sebongkah batu besar yang kering, mu’jizat Nabi Ibrâhim yang tidak terbakar api yang begitu besar, baik badan maupun pakaiannya, mu’jizat Nabi Mûsa yang dapat membelah lautan menjadi 12 bagian sehingga ribuan kaumnya dapat menyeberangi lautan dengan selamat tanpa sedikitpun terkena air, kemudian air tersebut kembali seperti semula, mu’jizat Nabi Îsa yang dapat menyembuhkan orang yang buta tanpa melalui pengobatan medis, mu’jizat Nabi Muhammad yang dengannya sebatang tongkat dari batang kurma merintih dan menangis karena rindu kepada Rasulullah. Semuanya tidak ada seorangpun yang dapat melakukan hal serupa atau menandinginya.

Mu’jizat hanya dimiliki oleh para Nabi sebagai pemberian Tuhan untuk menghadapi para penentangnya, dan memperlihatkan kebenaran kerasulan serta kenabiannya, sehingga ajaran yang dibawanya dapat diterima oleh umat manusia,

9 Lebih detailnya lihat Syekh Abdullâh al-Harari, al-Dalîl al-Qawîm.., h. 112 9 Lebih detailnya lihat Syekh Abdullâh al-Harari, al-Dalîl al-Qawîm.., h. 112

yaitu mu’jizat hissiyah dan mu’jizat ‘aqliyah. 11 Mu’jizat model pertama berkaitan erat dengan panca indera dan model kedua berkaitan erat dengan nalar manusia.

Mu’jizat hissiyah diperkenalkan oleh para Nabi terdahulu ketika berhadapan dengan umatnya, seperti Nabi Mûsa dengan tongkatnya yang dapat berubah menjadi ular, dan Nabi Îsa yang dapat menghidupkan orang yang telah meninggal dunia. Sebaliknya mu’jizat aqliyah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad dengan al-Qur’ânnya. Karena sifat al-Qur’ân merupakan daya nalar, maka kemu’jizatannya tidak berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad. Al-Qur’ân akan tetap menentang siapapun yang

meragukan dan berusaha menyainginya termasuk generasi setelah Nabi Muhammad. 12

Keyakinan kita terhadap mu’jizat seorang Nabi didasarkan pada khabar yang mutawatir. 13 Sebagaimana peristiwa keluarnya air dari celah-celah jari-jari

Rasulullah, sehingga pasukan Islam yang ketika itu berjumlah 1500 orang semuanya minum air tersebut dan berwudlu. Jelas jumlah yang begitu besar mustahil sepakat dalam kebohongan dan pasti masing-masing dari pasukan yang menyaksikan kejadian

tersebut mempunyai hasrat untuk menceritakan kejadian yang mereka saksikan. 14

c. I’jâz al-Qur’ân dan Kenabian Muhammad

Dalam tataran umum, mu’jizat -termasuk al-Qur’ân memiliki kaitan yang erat dengan Nabi dan kenabiannya. Bahkan bagi manusia sendiripun kebutuhan akan mu’jizat merupakan suatu hal nyata dan jelas adanya. Bagi Nabi mu’jizat berfungsi

` 10 Azyumardi Azra (ed.), Sejarah dan Ulûm al-Qur’ân, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 106