PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM KAJIAN TAFSIR TEMATIK; SOSIO-HISTORIS

SOSIO-HISTORIS TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister

dalam Ilmu Agama Islam

oleh:

NIM: 06.2.00.1.14.08.0086

Pembimbing: Dr. Yusuf Rahman, MA

KONSENTRASI ULÛM AL- SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2008 M/ 1430 H

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama

:M

NIM

Tempat/tgl lahir

: Jombang, 02 Juni 1979

Alamat : Plemahan RT/RW. 017/006, Banyuarang, Ngoro,

Jombang, Jawa Timur.

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang bejudul Perkawinan Lintas

Agama Dalam Kajian Tafsir Tematik; Sosio-Historis ini, adalah benar-benar karya asli saya dan bukan jiblakan, kecuali kutipan-kutipan yang saya sebutkan sumbernya. Segala kesalahan dan kekurangan di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Dan apabila ternyata di kemudian hari tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar.

Jakarta, 17 Desember 2008

Yang membuat pernyataan

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis yang berjudul Perkawinan Lintas Agama Dalam Kajian Tafsir

Tematik; Sosio-Historis yang ditulis oleh

Nomor Induk 06.2.00.1.14.08.0086, Mahasiswa konsentrasi Ulum al-Qur'an telah diperiksa dan dinyatakan layak disetujui untuk dimajukan kepada sidang ujian tesis.

Jakarta, 17 Desember 2008

Pembimbing,

Dr. Yusuf Rahman, MA

PERSETUJUAN TIM PENGUJI

Tesis saudara Nomor Induk 06.2.00.1.14.08.0086, yang berjudul

Perkawinan Lintas Agama Dalam Kajian Tafsir Tematik; Sosio-Historis ,

telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Rabu, 31 Desember 2008, dan telah diperbaiki sesuai saran dan rekomendasi dari Tim

Penguji.

TIM PENGUJI

Ketua Sidang/Penguji Pembimbing/Penguji

Dr. H. Fuad Jabali, MA.

Dr. Yusuf Rahman, MA. Tanggal 16 Januari 2009

Tanggal 16 Januari 2009

Penguji

Penguji

Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA.

Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. Tanggal 16 Januari 2009

Tanggal 16 Januari 2009

Pedoman Transliterasi

A. Konsonan

Huruf

Huruf Latin Arab

Huruf Latin

Huruf Arab

ts j

gh

kh

dz

sy

B. Vokal

= i ...... = u Vokal Panjang

Vokal Tunggal

: ....... = a

= î ...... = û Vokal Rangkap

: ....... = ai

= au

C. Alif Lam (al)

( ) dalam lafaz atau kalimat, baik yang bersambung dengan huruf qamariyyah maupun syamsiyyah ditulis dengan huruf kecil (al), dan diikuti . Namun, jika terletak diawal kalimat, maka ia ditulis dengan huruf besar (Al). Contoh:

1. al ditulis dengan huruf kecil - al-

ân - al-Baihaqî =

ân =

sebagaimana disebutkan dalam al-

menurut al-

2. Al ditulis dengan huruf besar - Al-

-Baihaqî

- Al-Bukhârî =

-Bukhârî

D. Singkatan

SWT = Subhânahu

âlâ

H = Hijriyah

as = al-salâm

ra

= Radiya Allâ

M = Masehi

= Wafat

Q.S = al- ân; surat

h = Halaman

saw = Salla Allâ

wa sallam

E. Lain-lain

- Transliterasi syaddah ( ) dilakukan dengan menggandakan huruf yang sama. - Transliterasi

tah

- Untuk terjemahan ayat al- ân, penulis mengutip Mushaf al- ân Terjemah Departemen Agama RI.

ABSTRAK

Perkawinan Lintas Agama dalam kajian Tafsir Tematik; Sosio-Historis Tesis ini membuktikan bahwa, perdebatan para mufassir perihal perkawinan lintas agama disebabkan oleh perbedaan di dalam menetapkan kriteria tentang musyrik dan ahl al-kitâb. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa, Perbedaan pendapat tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal mufassir.

Dalam hal ini, terdapat dua kelompok pendapat yang berseberangan:

1. Semua bentuk perkawinan lintas agama antara umat Islam dan non muslim tidak diperbolehkan, karena semua non muslim adalah musyrik, tak terkecuali ahl al-kitâb

oleh beberapa ulama setelahnya; termasuk al-Râzî dan Sayyid Qut ub. Sedangkan beberapa tokoh kontemporer yang masuk dalam kelompok ini adalah para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI),

2. Perkawinan lintas agama antara umat Islam dan non muslim tidaklah dilarang, karena semua non muslim (sekarang ini) adalah ahl al-kitâb. Pendapat ini dilontarkan oleh Sayyid M. Rasyîd Ridâ, dan diikuti oleh banyak kalangan pemikir kontemporer; termasuk di Indonesia, seperti Kautsar Azhari Nur, M. Zainun Kamal dan Siti Musdah Mulia. Sebenarnya, embrio pendapat ini telah ada sejak masa tafsir formatif, dan klasik; yakni dengan dikeluarkannya statement oleh

juga diikuti oleh al-Tabarî bahwa, orang-orang kafir yang dimaksud dalam Q.S. 60: 10, adalah para wanita musyrik Arab.

Hasil penelitian penulis dalam tesis ini, tidak berpihak pada salah satu pendapat di atas, namun menempatkan ahl al-kitâb pada sebuah klasifikasi yang membedakannya dari musyrik; dengan batasan-batasan tertentu. Sehingga tidak menganggap semua non muslim sebagai ahl al-kitâb, ataupun ahl al-kitâb sebagai musyrik.

Jenis Penelitian kualitatif ini masuk dalam kategori library research, yang menggunakan pendekatan tematik atau maud ; yakni salah satu bentuk pendekatan dalam tafsir al-

tafsîr maud ". Dalam hal ini, ayat-ayat al- ân dijadikan sebagai sumber data primer. Di dalam penelitian ini, penulis juga memberikan porsi yang cukup pada unsur sosio-historis, sebagai salah satu pendekatan, untuk mengetahui lebih jelas latar belakang historis turunnya ayat-ayat al- ân. Hal ini diperlukan untuk melacak akar kemunculan perdebatan tentang perkawinan lintas agama.

Terbukti bahwa, terdapat korelasi antara situasi sosial umat Islam (generasi pertama) dengan ketentuan hukum perkawinan lintas agama. Akan tetapi, korelasi tersebut tidak serta-merta masuk dalam kategori sebab-akibat, melainkan sebagai tahapan dalam proses penerapan hukum (tadrîj al-ahkâm), yang tentunya disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.

ABSTRACT

Interfaith Marriage, Study of Thematic Exegesis; Historical-Sociological . interpreters, about interfaith

marriage is caused by some differences in specifying criteria of musyrik and ahl al-kitâb. It is undeniable that, different interpretations are influenced by many internal and external factors.

In this matter, there are two groups:

1. All forms of interfaith marriage, among Muslims and non Muslims, are prohibited, because all non Muslims; including ahl al-kitâb, are musyriks

(polytheists). This opinion firstly told by Abdullâh ibn 'Umar ra, and followed by some Muslim scholars after him; including al-Râzî and Sayyid Qutub.

Whereas some contemporary figures that enter in this group are Council of Indonesian Muslim Scholars (MUI),

2. Interfaith marriage between Muslim and non Muslim is not prohibited in this period, because all non Moslems ( this time) are ahl al-kitâb. This opinion is stated by Sayyid M. Rasyîd Ridâ, and followed by many religious circles. Whereas some contemporary figures that enter in this group are Indonesian men of thought, like Kautsar Azhari Nur and M. Zainun Kamal and also Siti Musdah Mulia. Actually, the embryo of this opinion had existed since formative exegesis period; when Abdull

al-kawâfir is mentioned in Q:S. 60: 10 were Arabic polytheists (al-Musyrikât). This opinion was also followed by al-Tabarî; one of classical interpreter.

The conclusion of this thesis does not strengthen one of the above ideas, but positions ahl al-kitâb to another clasification. So that, not all non muslims are ahl al-kit â b, and not all ahl al-kitâb are musyrik.

This type of qualitative research is categorized as library research, that

approach;

interpretation, and usually is called " " or thematic exegesis. In this case, verses of al-

ân are made as the primary source of data. In this research,

writer also gives enough portion to historical-sociological approach, to know clearly historical background of verses al-

ân. This matter is needed to know clearly such debate at first time, about interfaith marriage. It is proved that, there is correlation between social situation of Muslim people (first generation), with legislation of interfaith marriage. However, the correlation

t consist in category of causality, but as step in process of applying law (tadrîj al-ahkâm), which was suitable with their psychological condition.

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allâh SWT, yang dengan pertolongan-

Perkawinan Lintas Agama dalam Kajian TafsirTematik; Sosio-Historis yang ditentukan. Demikian juga, salawat serta salam semoga selalu tercurahkan untuk Rasulullah saw.

Sebagai karya tulis hamba yang d , tentunya di dalam tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau menelaahnya dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian tesis ini.

Penulisan tesis ini merupakan tugas akhir dari studi S-2 penulis; dalam spesifikasi ulûm al- DEPAG RI . Dan penulis sadari bahwa, penyelesaian tesis ini tak luput dari jasa

lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materiil. Atas segala bantuan tersebut penulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya kepada:

1. Lembaga pemberi beasiswa S-2 program Ulûm al- ân, DEPAG RI.

2. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, beserta para staffnya.

3. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, beserta para dosen dan staff lainnya.

4. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku pembimbing penulisan tesis ini, demikian juga Prof. Dr. Suwito, MA., dan Dr. Fuad Jabali, MA., yang mana beliau bertiga telah bersabar di dalam memberi tanggapan dan masukan selama work in proggress demi perbaikan tesis ini.

5. Kedua orang tua; yang selalu memberi semangat dan mendoakan penulis untuk mencapai kesuksesan di masa depan. Semoga penulis selalu mendapatkan ridâ mereka, dan dapat berbakti kepada keduanya. Âmîn!

6. Kedua kakak penulis yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materiil

7. Pengasuh Pondok pesantren Tebuireng; H. Ir. Solahudin Wahid, yang telah mengizinkan penulis untuk mengikuti program beasiswa ini, juga teman- teman yang masih setia mengabdi di Pesantren Tebuireng Jombang.

8. Teman-teman Program Beasiswa Ulûm al- ân; khususnya yang menempuh studi bersama penulis, di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Juga siapapun yang telah membantu penulis, di dalam menyelesaikan studi; khususnya penulisan Tesis, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam ungkapan yang singkat ini. Atas semua kebaikan tersebut, tidak ada sesuatu yang dapat penulis sampaikan, kecuali ucapan terima kasih yang tak terhingga, serta doa; semoga amal kebaikan kita semua diterima oleh Allâh SWT. Âmîn...!

Jakarta, 20 Desember 2008 Ttd,

Penulis

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan lintas agama, merupakan kasus klasik yang selalu muncul dengan berbagai wacana dan perdebatan di dalamnya, khususnya bagi umat Islam, bahkan sampai saat ini.

Sebagai agama yang memperhatikan fitrah-fitrah kemanusiaan, Islam sangat menghargai segala aktifitas manusia, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Bahkan aktifitas tersebut seringkali dimasukkan dan

diatur sedemikian rupa di dalam ajarannya. Dalam hal ini, perkawinan merupakan salah satu bentuk perbuatan manusia yang juga menjadi bagian dari ajaran agama Islam. Terbukti, dengan banyaknya ayat al-Qur’ân dan hadîts nabi Muhammad saw yang menjelaskan tentang perkawinan. Bahkan beliau saw memberi tuntunan dan contoh konkrit perihal tersebut, yang tentunya (semua itu) untuk menunjukkan tata cara dan aturan-aturan yang seharusnya diikuti oleh umat Islam. Oleh karenanya para ulama sepakat bahwa perkawinan merupakan salah satu bentuk aktifitas horisontal yang bernilai vertikal (ibadah). Karena dengan melakukannya berarti telah

mengikuti jejak (sunnah) Rasulullah saw. 1 Di sisi lain, Islam mengajarkan tentang adanya tanggung jawab atas semua

aktifitas dunia, kelak diakhirat. Oleh karenanya, Islam mengingatkan umatnya

1 Sebagaimana hadîts yang diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dari ‘Âisyah ra, Rasulullah saw bersabda: “Nikah itu termasuk perilaku (sunnah)ku, maka barang siapa yang tidak berbuat dengan

sunnahku, ia bukanlah golonganku. Dan menikahlah kalian! Karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian dari umat-umat yang lain. Barang siapa yang mempunyai kemampuan, hendaknya ia menikah, dan barang siapa yang belum mampu (untuk melakukannya), hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa baginya adalah pelindung”. Lihat: Muhammad ibn Yazîd ibn Mâjah, Abû ‘Abdillâh al-Qazwînî, Sunan Ibn Mâjah, Juz. I, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 592. Bahkan menurut Rasulullah saw, tekun beribadah ( tabattul) dengan sengaja meninggalkan nikah, bukanlah perbuatan terpuji. Oleh karenanya, beliau melarang perbuatan tersebut, sembari memerintah-kan umat Islam agar menikahi wanita yang berpotensi akan mempunyai banyak anak, sekaligus yang penuh kasih sayang. Lihat: Abdullâh ibn Ah mad ibn Hanbal al-Syaibânî, al-Sunnah, Juz. V, Cet. I, (al-Dimâm: Dâr Ibn al-Qayyim, tt), h. 261. Di antara beberapa alasan dalam perkawinan secara tegas disebutkan oleh Rasûl, yaitu untuk menjaga mata dan farji. Lihat: Muslim ibn Hajjâj, Abu al-H usain al-Qusyairî al-Naisabûrî, tt, Sahîh Muslim, Juz. II, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, tt), h. 1019.

(khususnya para kepala keluarga) untuk menjaga diri dan anggota keluarganya dari siksaan api neraka. 2

Setidaknya atas dasar inilah, sejak awal penyebarannya, Islam tampak begitu selektif di dalam menentukan orang-orang yang berhak menjadi pasangan hidup para pemeluknya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian

"kehidupan beragama" umat Islam, khususnya dalam jangka panjang (akhirat). 3 Dalam permasalahan akidah (ketuhanan), Islam seakan-akan tidak mentolelir

perkawinan beda keyakinan, karena akan terdapat beberapa efek negatif di dalamnya, sebagaimana disebutkan dalam surah 2: 221. 4

Ayat tersebut menafikan adanya perkawinan antara pemeluk agama Islam

dengan orang-orang musyrik, yakni mereka yang menyekutukan Allâh SWT. Kendati demikian, tidak semua non muslim, menjadi tidak berhak membina keluarga dengan orang Islam. Terbukti dengan diperbolehkannya seorang muslim menikahi non muslimah dari kelompok ahl al-kitâb; dalam kategori "al-

2 Lihat: Q.S. al-Tahrîm/66: 6, “Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”. Terdapat banyak penjelasan perihal bentuk penjagaan diri dan

keluarga dari api neraka. Menurut 'Alî ra, Mujâhid, dan Qatâdah, maksudnya adalah "Melakukan penjagaan diri dengan amal perbuatan masing-masing, sedangkan penjagaan terhadap keluarga adalah dengan wasiyat (agar taat kepada Allâh SWT dan menjauhi larangannya)". Selengkapnya, lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Cet. II, Juz. XVIII, (Kairo: Dâr al-Syu’ab, 1372 H), h. 171. Lihat juga: Muhammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al- Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. V, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 355.

3 Hal ini dibuktikan oleh perbuatan para s ahabat, termasuk ‘Umar ibn al-Khatt âb ra dan Talhah ibn ‘Ubaidillâh ra ibn ‘Utsmân ibn ‘Amr al-Taimî, dengan menceraikan istri-istri mereka

yang tidak memeluk agama Islam, setelah turun Q.S. 60: 10-11. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII, (Beirût: Dâr al Fikr, 1405), hal. 68, 70. Lihat juga: Lihat juga: Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb, Abû al-Qâsim al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XX, Cet. II, (Mûsal: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1983), h. 9. Demikian juga, ‘Umar ibn al-Khatt âb ra, memisahkan beberapa pasangan suami-istri beda agama. Selengkapnya lihat: Abû Abdillâh Muh ammad ibn al-H asan al-Syaibânî, al-Hujjah ‘alâ Ahl al-Madînah, Cet. III, Juz. IV, (Beirût: ‘Alam al-Kutub, 1403 H), hal. 7. Lihat juga: ‘Alî ibn Ahmad ibn Hazm, Abû Muhammad al-Zâhirî, al-Muhallâ, Juz. VII, (Beirût: Dâr al- Âfâq al-Jadîdah, tt), hal. 313.

4 Ayat tersebut khitâb-nya dalam bentuk nahî (larangan), sebagaimana redaksinya ( lâ tankihû al-musyrikât hattâ yu’minna) dan (lâ tunkihû al-musyrikîn hattâ yu’minû). Dan sesuatu

yang disebut-sebut sebagai efek negatif di sini adalah firman Allâh SWT; ( ulâika yad’ûna ilâ al- nâr). Untuk melihat lebih dalam tentang beberapa penjelasan dalam hal ini, lihat: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al- Tafsîr, Juz. V/301. Lihat juga: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jami’ al-Bayân An Ta’wîl Ayi al-Qur’ân, Juz. XII/64. Dan juga: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ’ al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/449. Ataupun: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64.

muhsanât". Pendapat yang berkembang selama ini, pada umumnya membatasi term ahl al-kitâb hanya pada penganut agama Yahudi dan Nasrani. Kedua golongan ini disinyalir mempunyai kedekatan akidah dengan umat Islam, karena ketiganya; yakni Islam Yahudi dan Nasrani, bermuara dari satu sumber keyakinan yang sama, yaitu keyakinan akan keesaan Allâh SWT. Tentunya sebelum adanya

rekayasa-rekayasa penyelewengan oleh para pemuka kedua agama dimaksud. 5

Kebolehan ini secara tegas dijelaskan dalam Q.S. 5: 5, yang menjelaskan tentang kebolehan bagi orang Islam untuk menikahi wanita ahl al-kitâb, dalam

kriteria “al-muhsanât”. 6 Hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan di

5 Kedekatan akidah antara umat Islam dan ahl al-kitâb dapat dilihat pada beberapa ayat al- Qur’ân. Di antaranya: Q.S. Âlu ‘Imrân/3: 64 “Katakanlah: Hai ahl al-kitâb, marilah (berpegang)

pada suatu kitab (ketetapan) dan tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allâh dan tidak kita persekutukan Dia…”. Para mufassir menjelaskan bahwa, Allâh memerintahkan kepada Nabi untuk mengajak ahl al-kitâb agar kembali berpegang teguh pada kalimat (tauhîd) yang menyatukan mereka dengan umat Islam. Dan supaya mereka tidak mematuhi perintah siapapun yang terdapat unsur maksiyat kepada Allâh. Dalam hal ini terdapat beberapa riwayat berhubungan dengan sabab al-nuzûl, dan kepada siapa khitâb ayat tersebut ditujukan. Di samping itu, Ayat tersebut juga pernah dicantumkan Nabi dalam suratnya kepada Hiraql, penguasa Romawi. Selengkapnya, lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. III/299. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. IV/105. Dan lihat juga: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. I/525. Sedangkan beberapa penjelasan perihal penyelewengan mereka dapat dilihat pada keterangan M. Rasyid Rid â dalam tafsirnya. Lihat: M. Rasyid Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. II, (Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiah, tt), h. 283-284. Lihat juga: Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law, Cet. I, (Cambrigde: University Press, 2005), h. 19. Adapun ayat-ayat yang membuktikan perihal penyelewengan Yahudi dan Nasrani, di antaranya adalah Q.S. al-Taubah/9: 30, “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allâh”. Dan orang-orang Nasrani berkata: “al-Masîh itu putra Allâh”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru ucapan orang-orang kafiryang terdahulu. Allâh melaknati mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?”. Ucapan orang-orang kafir dalam hal ini adalah pernyataan mereka bahwa, para malaikat adalah anak-anak perempuan Allâh. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al- Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. II/82. Lihat juga: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. II/37.

6 Q.S. 5:5, "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang- orang yang diberi al-Kitâb itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan

dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu…”. Terdapat beberapa interpretasi berkaitan dengan kata " ihsân" yang menjadi syarat bagi wanita ahl al-kitâb untuk dapat dinikahi oleh orang Islam. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. VI/64. Lihat juga: Muhammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al- Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. II/22. Dengan demikian, ayat tersebut memuat dua bentuk penghalalan, yakni halalnya memakan makanan (yang disembelih) oleh ahl al-kitâb, begitu juga sebaliknya. Dan juga halalnya mengawini wanita ahl al-kitâb, namun tidak ada penjelasan sebaliknya (yakni tentang halalnya wanita muslimah bagi ahl al-kitab).

kalangan umat Islam. Terutama tentang kriteria, cakupan dan batasan ahl al-kitâb, serta penilaian tentang aktifitas ritual keagamaan Yahudi dan Nasrani yang jauh

dari ajaran tauhîd. 7 Perbedaan pendapat tersebut, banyak dipicu oleh beragamnya pemahaman

tentang cakupan ayat-ayat di atas, serta tidak adanya penjelasan tentang konsep "ahl al-kitâb" dan "al-muhsanât" (khususnya dalam hal ini), secara tegas baik dari

ayat-ayat al-Qur’ân maupun hadîts-hadîts Rasul saw. 8 Di samping itu, bentuk aplikasi terhadap beberapa konsep ayat-ayat al-

Qur’ân tentang perkawinan lintas agama, masih diperdebatkan. Hal ini sangat mungkin dipicu oleh keberagaman metode pendekatan para mufassir di dalam

menjelaskan maksud al-Qur’ân, kendati dalam ayat-ayat yang sama. Misalkan tentang penggunaan kaedah-kaedah penafsiran, termasuk kaedah al-'ibrah bi 'umûm al-lafz au bi khusûs al-sabab, yang sangat rentan akan menimbulkan perbedaan pendapat. Belum lagi, jika dihubungkan dengan perbedaan situasi sosial politik antara zaman nabi (masa turunnya wahyu) dengan masa para mufassir, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, banyak bermunculan pemahaman, yang bertentangan satu sama lain. Belum lagi orang-orang yang berusaha memahami al-Qur’ân dengan pendekatan sosio-kultural, atau yang mengaku melakukan pemahaman terhadapnya dengan hanya mengambil essensi dari ajaran Islam tanpa harus terlalu terikat dengan redaksi teks-teks tertentu. Mereka menyatakan bahwa turunnya al-Qur’ân tidak akan luput dari konteks budaya masyarakat pada saat itu.

7 Pendapat ini banyak mengacu pada pernyataan ‘Abdullâh Ibn ‘Umar ra bahwa, tidak ada syirik yang lebih besar dari pada perempuan yang meyakini bahwa ‘Îsâ ibn Maryam adalah

tuhannya. Selengkapnya, lihat: Abu al-Fidâ Ismâ’îl ibn Katsîr al-Quraisy al-Dimasyqî, Tafsîr al- Qur’ân al-‘Azîm, Cet. II, Juz. II, (Beirut: Dâr ‘Alam al-Kutub, 1418 H/ 1997 M) hal. 27. Lihat juga: Muhammad Fakhr al-Dîn al-Râzî ibn Diyâ al-Dîn ‘Umar, Mafâtih al-Ghaib, Jld. VI, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1414 H/1994 M), hal. 150

8 Lihat: Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muh ammad al-Jauzî, Zâd al-Masîr fi ‘ilm al-Tafsîr, Cet. III, Juz. II, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1404), hal. 297. Tentang hal ini terdapat dua

pendapat dalam menafsirkan kata tersebut, bagi Ibnu ‘Abbâs ra artinya adalah “ al-Harâ’ir”, sedangkan bagi yang lain termasuk al-H asan dan al-Sya’bî artinya adalah “ al-‘Afâ’if”. Sedangkan untuk mengetahui beberapa perbedaan pendapat tentang kriteria ahl al-kitab, lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1994), hal. 172. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Nasr ibn al-Hajjâj al-Marûzî, al-Sunnah, Cet. I, Juz. I, (Beirut: Muassasah al-Kutub al- Tsaqâfiyyah, 1408 H), hal. 92.

Sehingga sangat mungkin pelarangan menikahi sebagian non muslim dan membolehkan sebagian lainnya, karena adanya sebab-sebab tertentu (seperti permusuhan antara umat Islam dengan orang musyrik, maupun sebab-sebab lain) yang melatar belakanginya. Dan jika sebab-sebab tersebut tidak ada lagi, tentunya hukumnya akan dapat berubah, bahkan mungkin sama sekali tidak ada pelarangan

untuk menikah dengan non muslim secara mutlak. 9 Di sisi lain terdapat golongan yang dengan tegas menyatakan bahwa,

perkawinan antara umat Islam dengan non muslim baik dari golongan ahl al-kitâb maupun bukan, adalah haram/tidak sah. 10 Pendapat ini berangkat dari

pemahaman, bahwa semua non muslim sekarang ini tergolong musyrik. Kendati

secara tegas disebutkan dalam al-Qur’ân, adanya pengecualian bagi ahl al-kitâb yang muhsanât. Namun, bagi mereka, pada saat ini tidak satupun ahl al-kitâb yang benar dalam hal akidah. Sehingga, walaupun termasuk dalam kategori muhsanât, ahl al-kitâb (Yahudi dan Nasrani) tetaplah tidak berhak menikah

dengan orang Islam. 11 Dengan demikian, terdapat dua kelompok pendapat yang berseberangan:

9 Perdebatan seputar perkawinan lintas agama antara umat Islam dengan non muslim, sebenarnya telah terjadi sejak lama, yakni pada masa sahabat. Namun perdebatan tersebut terus

bergulir dan semakin berkembang, terutama pada sisi-sisi yang kurang mendapat perhatian pada diskusi-diskusi sebelumnya. Perdebatan pada masa tafsir formatif dan klasik, tidak lebih dari sekedar pengamalan nass, dan tidak merambah pada hal-hal yang tidak disebutkan secara tegas oleh nass al-Qur’ân. Kendati demikian, mereka sepakat bahwa lelaki muslim boleh menikahi wanita non muslimah dari kalangan ahl al-kitâb (Yahudi-Nasrani). Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Lihat juga: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. Perdebatan selanjutnya lebih dipertajam dalam tafsir modern, tentang boleh-tidaknya seorang wanita muslimah menikah dengan non muslim ( ahl al- kitâb), bahkan terdapat upaya untuk memperluas cakupan ahl al-kitâb, yang dapat berakibat pada kebolehan melakukan perkawinan lintas agama bagi setiap penganut agama yang berbeda, tanpa dibatasi oleh nama atau simbol-simbol agama tertentu. Lihat: M. Rasyîd Rid â, Tafsîr al-Qur’ân al- Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. VI/152, 153.

10 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal, 1995), hal. 91. Secara khusus, yang

sesuai dengan permasalahan ini, adalah Fatwa MUI yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juni 1980, selengkapnya adalah: (1) Pernikahan muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya, (2) Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim, (3) Tentang pernikahan antara laki-laki muslim dan wanita ahl al-kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbang-kan bahwa mafsadat-nya lebih besar dari pada maslahah-nya, Majelis Ulama Indonesia menfatwakan pernikahan tersebut hukumnya haram.

11 Pendapat tertua dalam hal ini berasal dari Ibn ’Umar ra, sebagaimana riwayat yang dibawa oleh Imam Nâfi’, bahwa: Ibn ‘Umar apabila ditanya tentang perkawinan (seorang muslim

1. Semua bentuk perkawinan lintas agama antara umat Islam dan non muslim tidak diperbolehkan, karena semua non muslim adalah musyrik, tak terkecuali ahl al-kitâb. Pendapat ini diprakarsai oleh Abdullâh ibn ‘Umar ra, dan diikuti oleh beberapa ulama setelahnya; termasuk al-Râzî dan Sayyid Qut ub. Sedangkan beberapa tokoh kontemporer yang masuk dalam kelompok ini adalah para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI), termasuk Ali Mustafa Ya’qub;

2. Perkawinan lintas agama antara umat Islam dan non muslim tidaklah dilarang, karena semua non muslim (sekarang ini) adalah ahl al-kitâb. Pendapat ini dilontarkan oleh Sayyid M. Rasyîd Ridâ, dan diikuti oleh banyak kalangan

pemikir kontemporer; termasuk di Indonesia, seperti Kautsar Azhari Nur, M. Zainun Kamal dan Siti Musdah Mulia. Sebenarnya, embrio pendapat ini telah ada sejak masa tafsir formatif, dan klasik; yakni dengan dikeluarkannya statement oleh Abdullâh ibn ‘Abbâs ra yang juga diikuti oleh al-T abarî bahwa, orang-orang kafir yang dimaksud dalam Q.S. 60: 10, adalah para wanita musyrik Arab.

Berdasarkan beberapa alasan di atas, penulis berusaha mengkaji kembali permasalahan ini dengan beberapa pendekatan yang tergabung dalam kajian tafsir tematik; sosio-historis. Menurut penulis, hal ini sangat penting untuk dilakukan, karena permasalahan tersebut memerlukan metode-pendekatan yang komprehen- sif, seperti terdapat dalam kajian yang penulis lakukan.

dengan) wanita Nasrani dan Yahudi, ia menjawab: “Sesungguhnya Allâh mengharamkan wanita- wanita musyrikât atas orang-orang mukmin, dan aku tidak mengetahui suatu bentuk syirik yang lebih besar dari perkataan seorang wanita bahwa tuhannya adalah Îsâ (Nasrani), atau (ia berkata; tuhannya ialah) seorang hamba dari hamba-hamba Allâh (Uzair-Yahudi). Lihat: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Cet. III, Juz. V, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, al-Yamâmah, 1987), h. 2024. Pada masa tafsir modern pendapat ini masih terus berkembang, dan dianut oleh banyak ulama termasuk oleh Sayyid Qutub. Ia menyatakan bahwa, perilaku ahl al-kitâb sudah terlalu jauh dari ajaran tauhîd. Dalam hal ini Sayyid Qut ub juga mendasarkan pendapatnya pada beberapa ayat al-Qur’ân, termasuk Q.S. 9: 30, yang menjelaskan tentang ucapan orang-orang Yahudi bahwa, ‘Uzair adalah putra Allâh. Demikian juga dengan ucapan orang-orang Nasrani yang menjustifikasi bahwa Îsâ al-Masîh adalah putra Allâh”. Dan Q.S. 6: 73, yang menjelaskan ucapan mereka bahwa Allâh adalah salah satu dari tiga tuhan. Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II, (Beirut: Dâr-Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt), h. 178.

Dari kajian ini, penulis berharap pula akan lahirnya pemetaan pendapat 12 dan teori-teori penafsiran tentang ayat-ayat perkawinan lintas agama yang selama

ini masih menjadi perdebatan, sehingga akan memudahkan penulis dan para peneliti lainnya di dalam melakukan penelitian lanjutan, serta menentukan posisi penelitiannya masing-masing.

Sedangkan, secara praktis, penulis menganggap bahwa penelitian dalam hal ini sangatlah penting, karena bagaimanapun, perkawinan merupakan awal dari hubungan hukum yang berkelanjutan. Dan ia akan memunculkan beberapa obyek hukum lainnya seperti tentang status anak, hak nafkah, perceraian, pewarisan, dan lain sebagainya. Jika status suatu perkawinan tidak jelas, lalu bagaimana dengan

status hukum hal-hal yang ditimbulkan oleh perkawinan tersebut.

B. Permasalahan

I. Identifikasi Masalah Dari latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Islam memandang “perkawinan”, apakah ia merupakan bagian dari perbuatan sosial belaka, ataukah ada unsur-unsur keagamaan di dalamnya?

2. Apakah ada campur tangan syâri’ (Allâh dan Rasul-Nya), dalam masalah perkawinan, khususnya bagi umat Islam?

3. Di dalam memahami nass yang sama (teks-teks al-Qur’ân), khususnya tentang perkawinan lintas agama, mengapa terjadi banyak perbedaan pendapat? Faktor-faktor apa saja yang melatar belakangi munculnya perbedaan pendapat tersebut? Dan apa saja akibat yang akan muncul (khususnya bagi umat Islam) karenanya?

4. Benarkah telah terjadi kontradiksi di antara ayat-ayat al-Qur’ân tentang masalah perkawinan lintas agama?

12 Maksud “Pemetaan Pendapat” di sini, bukanlah sekedar melakukan klasifikasi atas pendapat-pendapat tersebut, akan tetapi juga dengan merunut akar masalah yang memunculkan

perbedaan pendapat dan perdebatan dimaksud, khususnya bagi pendapat-pendapat yang bertolak belakang satu sama lain (yakni antara pendapat yang membolehkan secara mutlak dan sebaliknya, tidak membolehkannya secara mutlak pula).

5. Apakah ada ketentuan khusus di dalam mendekati al-Qur’ân, sehingga perbedaan pendapat (yang membingungkan masyarakat) tidak perlu terjadi, atau setidaknya dapat meminimalisir potensi tersebut? Di samping itu, pendekatan apa yang sebaiknya dipakai dalam mendekati al-Qur’ân dan sesuai dengan karakter permasalahan “perkawinan lintas agama” tersebut?

6. Sebagai salah satu bentuk perbuatan yang berkelanjutan, bagaimana akibatnya jika perkawinan lintas agama, dinyatakan tidak sah atau batal? Dan bagaimana sebenarnya status perkawinan lintas agama bagi umat Islam, seperti yang ditentukan dalam al-Qur’ân?

7. Adakah pengaruh situasi sosial terhadap ketentuan hasil penafsiran al-Qur’ân?

Dan apakah perubahan situasi sosial tersebut juga dapat merubah ketentuan- ketentuan (hukum) dalam perkawinan lintas agama?

8. Setiap perbuatan manusia pasti menimbulkan konsekuensi dan akibat-akibat tertentu. Apa saja akibat yang akan muncul dari perkawinan lintas agama, baik akibat secara indifidu maupun sosial?

II. Batasan dan Rumusan Masalah Dalam tesis ini, fokus pembahasan akan dibatasi pada pengkajian terhadap upaya penafsiran yang berkembang selama ini, tentang perkawinan lintas agama;

bagi umat Islam. Dalam hal ini, penulis berusaha melakukan pemetaan pendapat 13 dan teori-teori penafsiran tentang ayat-ayat al-Qur’ân, berkaitan dengan tema tesis

ini, yang selama ini masih menjadi perdebatan. Dan selanjutnya melakukan kajian ulang terhadap permasalahan tersebut dengan metode serta pendekatan yang telah penulis tentukan.

Atas dasar pembatasan tersebut, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Di dalam memahami nass yang sama (teks-teks al-Qur’ân tentang perkawinan lintas agama), mengapa terjadi banyak perbedaan pendapat, dan faktor-faktor apa saja yang melatar belakangi munculnya perbedaan pendapat tersebut?

13 Maksud “Pemetaan Pendapat” di sini, sama seperti pada penjelasan footnote sebelumnya. Lihat kembali: footnote 12.

2. Adakah korelasi antara situasi sosial dengan ketentuan hukum (perkawinan lintas agama) dalam Islam, dan bagaimana akibatnya?

3. Apakah “kajian tafsir tematik; sosio historis” ini dapat mempertemukan, atau setidaknya memetakan perbedaan pendapat tentang perkawinan lintas agama bagi umat Islam?

C. Tinjauan Pustaka

Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, sebagaimana lazimnya, seorang peneliti terlebih dahulu harus melakukan tinjauan serta kajian atas data- data kepustakaan yang sedikit banyak telah membahas materi yang akan ditelitinya. Dalam hal ini, kami telah melakukan kajian terhadap banyak literatur,

dan kami temukan bahwa, beberapa peneliti telah melakukan pembahasan dan kajian tentang perkawinan lintas agama. Pembahasan yang mereka lakukan sangat beragam, baik dari segi pendekatan maupun penyajiannya. Namun, sebagian besar dari mereka menggunakan kajian literatur.

Di antara beberapa karya yang telah tersebar, literatur tafsir menempati urutan tertinggi, karena di setiap karya tafsir, baik klasik seperti Jâmi' al-Bayân 'an Ta'wîl Âyi al-Qur’ân karya al-Tabarî, maupun kontemporer seperti tafsir al- Misbâh, pesan kesan dan keserasian al-Qur’ân karya M. Quraish Shihab, pasti akan ditemukan penjelasan tentang QS. 2: 221, 5: 5, 60: 10 dan 11, yang kesemuanya membahas tentang perkawinan lintas agama antara orang Islam

dengan non muslim. 14 Namun, ayat-ayat tersebut dijelaskan sesuai dengan urutannya dalam surat

masing-masing, karena pada umumnya karya-karya tafsir tersebut menggunakan metode tahlîlî, yakni memberi penjelasan ayat demi ayat secara mendalam tanpa memperhatikan adanya pertautan ayat tersebut dengan ayat-ayat serupa serta aspek-aspek lainnya, sebagaimana dilakukan dalam kajian tafsir secara maudû’î. Oleh karenanya, dalam metode tahlîlî, pembahasan ayat-ayat berbeda namun masih dalam tema yang sama kurang begitu mendapat perhatian.

14 Lebih lanjut, lihat karya: 1. Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al- Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1405 H), 2. M. Quraish

Shihâb, Tafsir al-Misbah, Pesan kesan dan Keserasian al-Qur’ân, Cet. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2001).

Hal ini sangat berbeda dengan tafsir maudû’î yang mendasarkan kajiannya atas ayat-ayat al-Qur’ân berdasarkan topik tertentu, sehingga ayat-ayat yang memuat topik tersebut akan dibahas dalam sebuah pembahasan yang menyatu. Dengan demikian, tidak akan ada ungkapan bahwa telah terjadi kontradiksi pada sebagian ayat-ayat al-Qur’ân, karena ayat-ayat tersebut telah dibahas berdasarkan tema yang menyatukannya.

Di samping karya-karya tafsir tahlîlî, pembahasan tentang perkawinan beda agama juga kami temukan dalam beberapa karya tulis dengan judul, sebagai berikut:

1. Kontekstualitas al-Qur’ân, kajian tematik atas ayat-ayat hukum dalam al-

Qur’ân, karya Umar Shihab, Cet: III, Jakarta: Penamadani, 2003, hal. 321- 326. Karya ini merupakan wacana atas tafsir maudû'î, karena di dalamnya, penulis berusaha mengkompromikan beberapa ayat tentang perkawinan beda agama sebagaimana kami sebutkan sebelumnya. Namun, kami melihat belum adanya kejelasan metode maudû’î yang dipakai, karena didalamnya, penulis hanya menunjukkan hasil tanpa adanya gambaran proses kerja tafsirnya. Di samping itu, penulis juga melakukan pemilihan pendapat-pendapat ulama tanpa menunjukkan proses analisis yang menjadi dasar pemilihan pendapat

tersebut. 15

2. Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, ed. Maria Ulfa Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Cet. I, Jakarta: Kapal Perempuan, 2004. Buku ini merupakan kumpulan makalah yang ditulis oleh beberapa penulis yang giat menyuarakan kesetaraan gender dan pluralisme, khususnya di Indonesia; termasuk Siti Musdah Mulia dan M. Zainun Kamal. Di dalamnya berisi banyak pembahasan tentang perkawinan lintas agama, yang di awali dengan pemaparan beberapa pengalaman dari para pelaku perkawinan tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan pandangan agama (Islam, Katolik dan Protestan) disusul ketentuan aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dan diakhiri dengan upaya pengkajian ulang

15 Umar Shihab Kontekstualitas al-Qur’ân, kajian tematik atas ayat-ayat hukum dalam al- Qur’ân, Cet: III, (Jakarta: Penamadani, 2003), hal. 321-326 15 Umar Shihab Kontekstualitas al-Qur’ân, kajian tematik atas ayat-ayat hukum dalam al- Qur’ân, Cet: III, (Jakarta: Penamadani, 2003), hal. 321-326

16 tidak menyeluruh sebagaimana dilakukan dalam tafsir tematik.

3. Ahl al-Kitâb, makna dan cakupannya, karya M. Ghalib M., Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 167-176. Karya tulis ini diangkat dari Disertasi penulisnya di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. Secara khusus ia membuat sub pembahasan (perkawinan dengan ahl al-kitâb). Pembahasan

yang dilakukannya sangat mendalam. 17 Namun dalam hal perkawinan lintas agama, ia banyak mengambil pendapat ulama kemudian menganalisanya, dan

bukannya menempuh jalan tafsir maudû’î. Sehingga, beragam pendapat ulama begitu mewarnai tulisannya. Sedangkan keutuhan pembahasan ayat-ayat al-

Qur’ân secara tematik tidak tampak di sana. 18

4. Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, oleh Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal, 1995). Terutama pada halaman 91, yang secara khusus memuat Fatwa

16 Selengkapnya lihat: Maria Ulfa Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Cet. I, (Jakarta: Kapal

Perempuan, 2004)

17 Ia menampilkan banyak pendapat ulama tentang boleh dan tidaknya melakukan perkawinan lintas agama, sehingga diskusi bergaya klasikpun berjalan. Namun, ia tidak secara

tegas melakukan tarjîh atasnya. Hanya saja di akhir pembahasannya ia merekomendasikan bahwa, perkawinan dengan non muslim ( ahl al-kitâb) yang terdapat dalam al-Qur’ân hanyalah suatu kebolehan, bukan anjuran, apalagi perintah. Artinya, umat Islam diberi kelonggaran untuk memberikan pilihannya. Dan yang terpenting adalah tujuan utama perkawinan menurut syari'at, yaitu tercapainya keluarga sakînah. Karena itu, ia menyatakan bahwa, sebenarnya perkawinan yang ideal dan lebih aman adalah perkawinan dengan orang seagama.

18 M. Ghalib M, Ahl al-Kitâb, makna dan cakupannya, Cet. I, (Jakarta: Paramadina, 1998),

h. 167-176.

MUI yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juni 1980, tentang haramnya melakukan perkawinan dengan non muslim dari golongan manapun. 19

Menurut penulis, fatwa tersebut tentunya lahir dari suatu latar belakang, masa, dan situasi tertentu, yang mungkin akan sangat berbeda jika dikeluarkan pada latar belakang, masa, dan situasi yang lain. Di samping itu, tidak diketahui dengan jelas proses lahirnya fatwa dimaksud, dan apakah fatwa tersebut sudah melalui uji materi atau belum, termasuk kesesuaiannya dengan nas syar’î.

5. Mixing Love and Faith: A Jewish Perspective, Journal of the Association of InterChurch

Families, http://interchurchfamilies.org/searchangine.shtm, tentang pernyataan Rabbi Dr. Jonathan Romain (seorang pendeta utama gereja

Yahudi, yang terlibat dalam menangani perkawinan Yahudi-Kristen), dalam sebuah pertemuan (spring meeting) pada Association of InterChurch Families di kampus Heythrop, London, Maret 1998. Dia banyak berbicara tentang perkawinan beda keyakinan (dari beberapa kasus yang dijumpainya), ternyata dapat berjalan dengan baik dan harmonis. Dan menurutnya, sikap sebagian komunitas (Yahudi) yang melarang bentuk perkawinan tersebut, tidak lain,

karena adanya tendensi tertentu. 20 Bagi penulis, pernyataan di atas hanya berlandaskan fakta sosial, dan sama sekali tidak melihat aturan-aturan dalam

kitab suci kedua agama tersebut. Sedangkan, dalam setiap ajaran agama tentunya terdapat aturan-aturan yang seharusnya dipatuhi, termasuk dalam hal perkawinan. Demikian juga dengan umat Islam, yang selalu terikat dengan

19 Selengkapnya adalah: (1) Pernikahan muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya, (2) Seorang laki-laki muslim di haramkan mengawini wanita bukan muslim, (3)

Tentang pernikahan antara laki-laki muslim dan wanita ahl al-kitâb terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadat-nya lebih besar dari pada maslahah-nya, Majelis Ulama Indonesia menfatwakan pernikahan tersebut hukumnya haram.

20 Dalam pernyataanya, ia telah menemui beberapa kasus perkawinan beda keyakinan (Yahudi-Kristen), yang kebanyakan tidak mendapat persetujuan dari keluarga kedua mempelai,

namun mereka (para mempelai tersebut) menyatakan bahwa, perkawinan mereka adalah suatu tindakan positif dan lebih baik jika dibandingkan dengan perkawinan dalam satu keyakinan, namun tidak didasari rasa suka/cinta. Apalagi sudah menjadi trend bahwa masalah keyakinan merupakan prifasi; tidak bisa diganggu maupun intervensi dari pihak manapun termasuk keluarga. Ia menyatakan pula bahwa pada umumnya masyarakat beragama tidak dapat menerima tradisi dari luar keyakinannya. Namun, menurutnya, faktor dominan dalam kasus yang terjadi pada komunitas Yahudi di Britain adalah karena sangat sedikitnya orang Yahudi, sehingga jika perkawinan beda keyakinan dibiarkan, maka komunitas mereka lambat laun akan hilang. Namun, faktanya, banyak pelaku perkawinan beda keyakinan (Yahudi-Kristen) yang sukses dalam membina kehidupan keluarga mereka.

ajaran agamanya. Sehingga, tidaklah cukup untuk membicarakan perkawinan lintas agama hanya dari satu sudut (sosial) saja, dengan mengesampingkan beberapa faktor dominan lainnya, termasuk aturan agama, serta pemahaman umum para pemeluknya (al-sawâd al-a’zam).

6. Christian-Muslim Marriages, Journal of the Association of InterChurch Families (http://interchurchfamilies.org/Journal/98su15.shtm), yang memuat pernyataan Gé Speelman, juru bicara Universitas Utrech; dalam pertemuan gereja di Eropa, tahun 1997. Sebagai seorang Kristiani, ia mengaku telah melakukan dialog dengan orang-orang Islam dalam waktu yang tidak singkat. Dan ia pun memperhatikan serta memantau para pelaku perkawinan beda

keyakinan, terutama antara orang Islam dengan Kristiani. Dengan mengusung sebuah pertanyaan besar; “How can we recognise the other as really other?”, ia menyatakan bahwa tidak mudah menjalin hubungan keluarga beda keyakinan, jika tidak dilandasi kesadaran tentang keberadaan masing-masing dan sikap saling menghormati di antara mereka, serta harus ada keberanian

untuk memperjuangkannya. 21 Ia juga mencoba merujuk kepada Bible. Namun dalam kajian (perkawinan lintas agama) ini, kami akan menilainya dari sudut

Islam (tafsir tematik). Sehingga, apa yang disampaikan Gé Speelman, tidak lebih, akan dijadikan sebagai pembanding dari sudut yang lain.

7. Couples Overcome Obstacles Accompanying Interfaith marriages, (http://www.thealabamabaptist.org/ip_templete.asp?upid=7020g/ip_templete.a

21 Ia juga menyebutkan 4 strategi yang dikatakannya dapat mengatasi masalah dalam perkawinan beda keyakinan, yang disebutnya dengan: annexation, yielding, ignoring, dan

negotiating. Adapun penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut: (1-2) Annexation and yielding are complementary. When one partner hold particularly strong religious convictions, he or she tries to convert the partner to (his/her) faith and way of life. The other may respond by attempting to annexe her/his partner in turn, or by gradually yielding to all the demands. (3) Ignoring is the policy by which both partners, tracitly or not, try to deal with their differences. It may work for a time, but leads to unexpected surprises when there is a family crisis. It may be a sorrowful experience, or it may be joyful, but when crises arise, and aspecially when children come, real and existing differences can not always be ignored. (4) the fourth strategy is the difficult and uncertain one of negotiation, which is like an open-ended story. Partners keep promising each other things, going back to their promises, bringing their resources into play in order to get the upper hand. But that is not the only story. If marriage is only power struggle, why

be married at all? If interfaith dialogue where only about who gets the upper hands, where would the world end? How can we be truely reconciled to our brother and our sister, and how can partners in an interfaith marriage really found a family if that is all there is? be married at all? If interfaith dialogue where only about who gets the upper hands, where would the world end? How can we be truely reconciled to our brother and our sister, and how can partners in an interfaith marriage really found a family if that is all there is?

menghadapi perbedaan dari masing-masing agama yang dianutnya. 22 Menurut Rabbi Jonathan Romain, populasi pelaku perkawinan beda agama terus

meningkat. Ia mengindikasikan bahwa, satu dari tiga orang Yahudi yang lahir tahun 50-an dan 60-an menikah dengan orang di luar Yahudi. Sedangkan menurut Michael Lawler; seorang direktur the Center for Marriage and Family di Craighton University, Omaha-Nebraska, ia mengindikasikan bahwa terdapat 60 % pelaku perkawinan beda agama yang mampu mempertahankan

perkawinan. Sedangkan 40 % lainnya lebih memilih untuk bercerai. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa angka perceraian sangatlah tinggi, kendati lebih kecil jika dibandingkan dengan pasangan yang mampu mempertahankan perkawinan mereka.