Penentuan jam pemantauan Penentuan Awal Bulan Baru Penanggalan Hijriah Berdasarkan Pendekatan Ethnooceanography Dan Ethnoastronomy
83 b Menentukan sudut tertentu dari bulan yang mudah diidentifikasi terhadap
pengamat Gambar 7.4B, sudut bulan dapat merujuk pada ukuran bayangan pengamat saat pemantauan sebagai referensi waktu jam matahari.
c Menentukan jam bulan tinggi bulan dengan waktu referensi saat shalat Magrib, Isya ataupun Shalat Subuh Gambar 7.4C.
Pendekatan penentuan jam tersebut di atas, selanjutnya dilakukan proyeksi posisi bulan terhadap hari dan jam pemantauan. Waktu pemantuan bulan Jam
selanjutnya dikurangi dengan jam pengukuran pasang surut awal bulan baru Hijriah dengan selisih hari pemanatuan dengan hari masuknya bulan baru Hijriah
14 atau 15 hari kemudian. Pengurangan tersebut akibat deviasi hari bulan terhadap matahari sinodic bulan terhadap bumi sebesar 44 menit 3 detik perbulan 1.5
menithari bulan terlambat, sehingga dalam pergerakan menuju awal bulan baru 14 atau 15 hari kemudian mendapat variasi ±20,9”
21” atau 5,35
o
1 bulan = 29 hari dan ±22,4”
23” atau 5,75
o
1 bulan = 30 hari. Penentuan jam pemanatuan diatas memperlihatkan karakter dari MJ dalam
menerjemahkan obyek yang dipantau saat awal baru Hijriah yakni posisi Matahari sudut maupun ukuran bayangan yang menerjemahkan waktu optimum sebagai
waktu kritis terjadinya konjungsi Ijtimak. Proyeksi posisi bulan Gambar 7.4E merupakan proyeksi saat fase purnama ke fase bulan baru 14 atau 15 hari
kemudian waktu malam hari posisi B1’ dan BS’ dari Gambar 7.4D dan 7.4E. Dengan jam masuknya hari dalam penanggalan Hijriah jam 18:00 LT, maka posisi
B1 dan BS harus diproyeksi ke jam tersebut menjadi posisi B1” dan BS”, sehingga BS’ mengalami perubahan sudut
S’ = 180 - s dan B1’ dikurangi 90
o
. Keterlambatan bulan 1415 hari sebesar 5.35
o
dan 5.75
o
dinotasikan dengan ,
ditambahkan pada posisi BS” dan dikurangkan untuk posisi B1” dan bertemu di posisi Bx. Dengan memperhatikan bahwa Gambar 7.4E adalah proyeksi pada
malam hari dan mendapat pergeseran ke jam 18:00 maka gambar tersebut berubah menjadi Gambar 7.5A.
Gambar 7.5 Illustrasi penentuan kondisi dan waktu konjungsi ijtimak dari Metode Joguru
84
Kondisi lokasi pematauan dan fungsi posisi pemantau
Lokasi pematauan bulan yang berada di wilayah Doelamo Kelurahan Toloa Gambar 7.2 merupakan daerah yang telatif tinggi ± 15 m dpl dan menjorok ke
laut sehingga menjadi tempat strategis melakukan pemantauan Hilal. Responden 5 dan Responden 10, menyebutnya lokasi tersebut ibarat tulang jari tengah saat
telapak tangan dikepal Falungku. Dengan jarak dari Masjid besar sejauh ± 1.3 km jalan pantai memudahkan para Joguru melakukan pemantauan setelah shalat
Ashar dan kembali jauh sebelum shalat Magrib. Profil pantai berbatu memungkinkan infiltrasi air laut ke akebai Chen et al. 2010, sehingga pergerakan
air pada akebai tidak terganggu oleh pengaruh angin dan riak gelombang.
Informasi dari narasumber tentang tata letakposisi pemantau Gambar 7.1 serta kondisi lokasi pematauan Lampiran 19, maka tata letak pemantau tersebut
mempunyai makna dan fungsi dari masing-masing. Posisi pemantau sebanyak 3 orang yang berada di darat dengan menghadap matahari terbenam arah barat
berformasi lurus utara-selatan dengan tangan menyilang didepan dada, mempunyai fungsi mengamati pergerakan matahari hingga sudut matahari sama dengan sudut
bulan Gambar 7.5B Adapun jumlah pemantau sebanyak 3 orang berfungsi sebagai pengulangan validasi dengan cara penyampaian informasi sesama pematau
melalui ketukan jari pada tangan saat mereka telah mendapatkan kondisi tinggi matahari tanpa suara.
Pola setengah lingkaran para pemantau di pantai Akebai dimaksudkan agar bayangan pemantau memotong sumur pantau “Akebai”. Formasi menghadap
ketimur darat maka akan diketahui ukuran bayangan berdasarkan waktu pemantauan dalam penanggalan Masehi. Jika awal bulan Ramadhan atau Syawal
bertepatan dengan posisi matahari berada di bagian utara ekuator, maka arah bayangan pemantau akan berada disebelah Timur – Tenggara. Bayangan yang
memotong akebai berukuran panjang tertentu menjadi dasar menentukan waktu kritis masuknya bulan baru dari Metode Joguru lihat bab berikut.
Titik temu aspek astronomy dan pergerakan pasang surut dalam Metode Joguru
Uraian Gambar 7.5 merupakan penjelasan umum dari kondisi ijtimak dengan merujuk pada aktifitas Joguru. Memperhatikan kondisi astronomy saat
Ijtimak terjadi gaya tarik optimum pada kedua sisi bumi yang melalui inti bumi yang menghadap ke bulan dan matahari menyebabkan permukaan bumi terjadi
pasang bulge, sedangkan pada wilayah berada pada sisi 90
o
dari garis potong tersebut pada kondisi surut. Kondisi tersebut merupakan bagian dari keseimbangan
teori equibilirium pergerakan pasang surut yang disebut dengan bulge Love 1909, Vani
ček 1973, Yoder et al. 1981, Butikov 2002. Fenomena ijtimak dalam pemantauan Hilal first new cresent secara
geometris bukanlah posisi bulan-bumi-matahari benar-benar satu garis lurus melalui pusat inti bumi, namun garis lurus terbentuk dengan posisi pemantau berada
di permukaan bumi Gambar 7.5B. Posisi pemantau tersebut berarti membentuk sudut yang sama 90
o
dengan Metode Joguru. Posisi pemantau ini, selanjutnya akan membentuk sudut
45
o
dengan garis ijtimak yang menuju pusat bumi, baik dari matahari maupun dari bulan. Formulasi ini menghasilkan pola umum
geometrik pemantauan Hilal Suwarno 2007 sebagaimana Gambar 9.4.
85 Keterlambatan pergerakan bulan dari rotasi bumi synodic rata-rata
berkisar 42 – 46 menit perbulan saat ijtimak bulan sebelumnya, memungkinkan variasi waktu terjadi ijtimak air surut terjadi dalam rentang waktu tersebut. Uraian
ini pada prinsipnya sama dengan maksud Gambar 7.5, dimana secara umum dapat diartikan setiap awal bulan baru hijriah air laut dalam keadaan surut, dan saat
bergerak pasang berarti telah masuk tanggal 1 bulan hijriah. Fenomena pergerakan pasang surut dan waktu penanggalan hijriah diartikan oleh :
Responden 3; bahwa semua mahluk hidup, kehidupannya dimulai dari tidak ada
menjadi ada, dari kecil menjadi besar dan kembali kecil melemah dan meninggal tidak ada. Prinsip yang sama diterjemahkannya dengan ukuran bulan dalam
penanggalan Hijriah. Diskusi 21 Maret 2007.
Responden 7; Kehidupan mahluk secara alami terutama manusia dimulai saat air
bergerak surut, dimana konstaksi Rahim ibu untuk melahirkan bayinya begitu kuat saat air bergerak surut dan puncaknya pada surut terendah. Reaksi bayi pada waktu
tersebut konstraksi merupakan informasi dari bayi untuk memulai kehidupan dialam lain lahir ke bumi. Setelah konstraksi tersebut seiring pergerakan air
pasang akan membantu kosmos rahim ibu untuk lebih mudah melahirkan. Tahapan ini oleh responden menyebutkan bahwa seorang bayi mulai hidup saat kontraksi dan
kondisi pasang surut saat konstraksi maksimum terjadi saat surut Diskusi ahhir bulan Oktober 2010.
Lokasi pemantauan ijtimak yang membentuk sudut 45
o
dari permukaan bumi yang menjadi pusat garis ijtimak secara matematis sulit untuk ditentukan,
mengingat waktu terjadinya ijtimak sendiri akan bergerak seiring perputaran bumi. Kondisi tersebut oleh Joguru Tidore menerjemahkan waktu pemantauan ijtimak
setelah shalat Ashar, dimana secara geometrik waktu shalat Ashar akan membentuk sudut 45
o
di tiap lokasi pemantuan. Indikator ukuran panjang bayangan sama dengan panjang obyek waktu masuknya shalat Ashar secara keruanagan
merupakan garis horisontalufuk untuk mengetahui ijtimak.
Titik temu aspek syarii dalam Metode Joguru
Terkait dengan Metode Joguru, permasalahan mendasar adalah bagaimana memahami pemikiran para Joguru di Kesultanan Tidore terhadap dalil-dalil dalam
penentuan awal bulan Hijriah terutama bulan Ramadhan dan Syawal. Lebih lanjut, apakah MJ tersebut tidak menyalahi dalil dalam penentuan awal bulan Hijriah.
Dalil tentang awal bulan baru Hijriah ditentukan dengan hadirnya Hilal first new cresent, kehadirannya sebagai syarat utama telah terjadi Ijtimak Rukyatul Hilal
Hilal secara Astronomy akan nampak jika terjadi konjungsi ijtimak yaitu kondisi bulan, bumi dan matahari berada pada satu garis.
Mempertimbangkan kondisi Kesultanan Tidore saat itu periode 800 tahun yang lalu, maka dinilai wajar untuk membangun suatu pendekatan logis dalam
menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, termasuk juga bulan penting lainnya bagi umat Islam Muharram dan Dzulhijjah. Aspek syarii atau titik temu
dalil syarii menjadi dasar utama dalam membangun metode hisab rukyat. Aspek lainnya yakni titik temu faktor Hilal dan aspek atmosfer Djamaluddin 2009.
Titik temu aspek syarii dari Metode Joguru sebagai bagain kajian kebenaran agamis
, bahwa tidak dijumpai dalil firman dan hadist yang dengan jelas menjelaskan bahwa awal bulan hijria ditentukan dengan pemantauan
pergerakan pasang surut lihat Lampiran 17. Tidak adanya dalil yang tegas tersebut
86 diakibatkan pada penerjemahan dan pemaknaan dari QS Al-Baqarah 02:189 dalil
utama tentang penggunaan kata Hilal. Dalil lainnya merupakan penjelasan tentang proses pergerakan benda angkasa. Pemaknaan Hilal umumnya diartikan sebagai
bulan sabit tipis first new cresent saat ijtimak sebagaimana yang didefenisikan oleh Suhardiman 2013, Siddiq 2009, Dinata 2014, Azhari 2010 dan masih
banyak penelitiilmuan lainnya peneliti dalam maupun luar negeri yang terfokus pada tanda astronomy.
Tafsir Al Jallalain Tim_Kreatif_Tafsirku 2016 untuk QS Al-Baqarah 02:189 Lampiran 18 menjelaskan kata “Ahillah” sebagai bentuk jamak dari
Hilal, sedangkan dalam tafsir Al Misbah Metro_TV 2006, Prof.DR.Quraish Shihab menjelaskan “Asbabul Nushul” sebab turunnya ayat akibat pertanyaan
sahabat Rasul tentang bentuk-bentuk bulan dalam satu periode tertentu. Dua hal tersebut, maka kata “Ahillal” dapat diartikan sebagai proses perjalanan bulan yang
memberi informasi waktu, dimana fase bulan menjadi indikator umur pergerakan bulan, sedangkan Hilal makna tunggal adalah posisi dan ukuran bulan pada pada
waktu tertentu pertama dengan munculnya bulan sabit tipis first new cresent sebagai tanda indikator bahwa telah terjadi ijtimak awal bulan baru Hijriah.
Pemaknaan Alhilal tersebut, kata Hilal secara astronomy dapat diartikan sebagai tanda hadirnya bulan sabit tipis first new cresent saat konjungsi ijtimak.
Pada bagian lain saat pergerakan bulan memberikan tanda pada aspek lain salah satunya pada aspek oceanography pasang surut sehingga pasang surut juga
bermakna alhilal. Alur pikir dalam memaknai kata alhilal tersebut menghasilkan relasi yang harmonis antara ayat-ayat qauliyah dengan ayat kauniyah atau antara
agama dengan sains Maskufa 2013, Rusmin et al. 2013.
Pertimbangan aspek syarii dari Metode Joguru dapat dilihat juga dari
pemaknaan Hadits Shahih Al-Bukhary No.1906; Shahih Al-Bukhary. Hadits No. 1909; Hadits Shahih Muslim 1080-03 dan Hadits Shahih Muslim 1081- 17
Lampiran 17 tentang pentingnya pemantauan Hilal sebagaimana yang termuat dalam Siddiq 2009 dan Dinata 2014. Dalil hadits tersebut dapat dimaknai jika
suatu tempat yang sebelumnya pernah terlihat Hilal, dan dilain waktu Hilal tidak terlihat, maka solusi penentuan bulan baru Hijriah Ramadhan dan Syawal
dilakukan dengan menambahkan 1 hari lengkapkan hitungan bulan 30 hari dan atau menggunakan hasil perhitungan hisab. Kondisi tidak terlihatnya Hilal
sepanjang tahun di Pulau Tidore dan sekitarnya, maka tidak memungkinkan untuk menjalankan maksud dari haditst tersebut.
Kesesuaian faktor syarii lainnya dari MJ diperlihatkan pula pada
penerjemahan QS Al-Insyiqaq; ayat 18 yang terjemahannya ”Dan demi bulan jika purnama
”, dimana penentuan awal pemantauan hari dan jam merujuk pada posisi bulan saat fase purnama di bulan Sya’ban Nisfu Sya’ban untuk menentukann hari
pemantauan bulan Ramadhan dan saat Nuzul Quran untuk penentuan awal bulan Syawal. Secara keseluruhan MJ menerapkan prinsip utama makna yang terkandung
pada al quran dan hadits tentang waktu ibadah sebagai suatu “bayangan” tanda atau Hilal yang ikut pada pola pergerakan sumber cahaya matahari dan bulan.
Terkait dengan titik temu syarii terhadap MJ, beberapa cara pandang masyarakat di Maluku Utara terhadap pemikiran tentang waktu, termasuk
didalamnya pemantauan awal bulan Hijriah dengan Metode Joguru, mereka memberi penilaian dengan pokok-pokok pikiran kajian kebenaran filosofi
sebagai berikut :
87
Pertama : Waktu adalah “bayangan” yang menyertai obyek di bumi dari proyeksi
sumber cahaya dan cahaya ditentukan oleh pergerakan Matahari dan atau Bulan sebagai sumber cahaya, yang berarti pergerakan dari timur ke barat Matahari
atau dari barat ke timur Bulan sebagaimana makna kepunyaannya al-masyriqal- maghrib.
Pemikiran pertama ini sama dengan maknanya yang disampaikan oleh Umar 2012 tentang makna kata al-masyriqal-maghrib dalam QS Al-Baqarah [2]:
115 dengan makna mufrad sebagai tanda dan tenggelamnya matahari dan bulan. Makna dalam bentuk mutsanna al-masyriqainal-maghribain seperti dalam QS
Al-Rahman [55]: 17, dan ada dalam bentuk jama al-masyariqal-magharib, sebagaimana pada QS Al-Maarij [70]: 40. Terkait dengan hal tersebut sebagian
besar responden memaknai istilah al-masyriqal-maghrib sebagai tempat terbitnya matahari dan terbenamnya bulan al masyriq dan sebagai tempat terbitnya bulan
dan tenggelamnya matahari al-maghrib. Lebih lanjut, Responden 7 diskusi bulan pebruari 2012 dan Responden 9 Interview bulan Maret 2016, menjelaskan
pemikiran pertama ini, adalah menyertakan “sumber cahaya” dalam diri individu untuk aktifitas ibadah dalam arti luas.
Kedua : Waktu yang terkait dengan Ibadah mempunyai tanda-tanda alam utama dan
juga tanda-tanda alternatif lainnya hingga tanda dalam bentuk “keyakinan”. Keyakinan dimaksud adalah kemampuan mengambil keputusan dengan ilmuakal
Responden 7, Diskusi dilakukan pada bulan Juli 2014. Hal ini diperlihatkan pada penentuan waktu shalat fardhu maupun shalat sunat dengan merujuk panjang
bayangan seseorang sebagai tanda utama dan juga tanda alternatif dari suara bunyi binatang anjing, ayam dll, tanda dari tanaman bunga serta tanda dari
hadirnya kabut dan embun. Adapun tanda-tanda yang bersifat keyakinan adalah kemampuan menerjemahkan dorongan hati untuk melakukan ibadah shalat yang
dibangun oleh perkiraan akal, selanjutnya mengambil keputusan dengan keyakinan dorongan bathin akan waktu shalat. Rana pemikiran dari Responden 7 adalah
kombinasi aspek fisik dan bathin keyakinan dari ritmik tubuh seseorang.
Pemikiran kedua tersebut diartikan bahwa panjang bayangan untuk 2 waktu shalat fardhu Dhuhur dan Azhar merupakan panjang bayangan dari obyek
dipermukaan bumi termasuk manusia, sedangkan 3 waktu shalat fardhu lainnya Magrib, Isha dan Subuh diartikan sebagai bayangan dari cahaya matahari terhadap
bumi sebagai obyek bayangan bumi. Dengen merujukan pola bayangan tersebut, selanjutnya dikembangkan dalam bentuk jam dengan memanfaatkan peredaran
siklus harian matahari.
Ketiga ; Tanda alam yang merujuk waktu skala bulanan merujuk pada peredaran
bulan dan matahari, peredaran bulan diawali pada bulan Muharram saat hijrahnya Rasullullah Muhammad SAW dan selanjutnya peredaran bulan tersebut
menyesuaikan dengan peredaran matahari. Posisi bulan dalam peredarannya selama periode bulan Hijriah dari jumlah hari bumi berotasi merujuk pada titik ikat
yang berada di luar bumi “Bintang 7” Responden 6, Diskusi pada Agustus 2012.
Pemikiran ketiga dapat diartikan bahwa, Peredaran bulan dan matahari termasuk pergerakan bumi “tidak dapat” digunakan sebagai referensi dasar atau
sebagai titik ikat waktu karena ketiganya mempunyai pergerakan masing-masing. Oleh karena itu sistem waktu di bumi menggunakan titik ikat yang tetap Rasi
Bintang 7. Pergeseran bulan, bumi dan matahari terhadap bintang 7 menjadi
88 fenomena alam dalam mengidentifikasi bulan dalam penanggalan Hijriah. Untuk
penentuan umur bulan merujuk pada posisi bulan saat terbit dan persentase luasan cakram bulan yang bercahaya.
Keempat ; Hilal tanda bulan baru berdasarkan posisi pembentuknya merupakan
posisi konjungsi ijtimak antara bulan dan matahari yang terjadi sebelum terbenamnya matahari pergantian hari, sehingga Hilal adalah indikator peristiwa
ijtimak dimana makna kata Hilal tanda-tanda salah satu indikatornya adalah munculnya bulan sabit bayanganan serta tanda-tanda alam lainnya termasuk
pasang surut. Lebih lanjut, pemikiran ketiga ini konjungasiijtimak dijelaskan oleh Responden 9
interview, Maret 2016 bahwa posisi tersebut digambarkan dengan
huruf mim ketemu dengan mim dalam kontelasi posisi bulan dan matahari terhadap RB7 yang disaksikan di bumi, dimana matahari sebagai mim pertama dan bulan
sebagai mim kedua atau sebaliknya tergantung pada peristiwa ijtimakgerhana.
Pemikiran keempat ini, merupakan kombinasi dari perubahan posisi matahari dan bulan terhadap bumi dengan titik ikat peredaran pada RB7. Hal
tersebut dimaknai, bumi menjadi akumulasi dampakperuntukan dari dinamika benda langit yang menjadi referensi waktu, baik waktu yang dibangun oleh
peredaran matahari solar system, bulan lunar system dan sistem bulan-matahari luni-solar system. Terkait dengan prinsip ketiga di atas, maka fenomena alam
yang terjadi dari kombinasi pergerakan bulan dan matahari terhadap bumi diperlihatkan pada pergerakan pasang surut. Hal tersebut dapat kita lihat air pasang
tertinggi terjadi saat awal bulan baru new moon dan bulan purnama full moon.
Tahapan penerapan MJ serta pemikiran-pemikiran yang diuraikan
sebelumnya, maka pendekatan teknis dari aplikasi MJ adalah suatu “Ijtihad” oleh Joguru Kesultanan Tidore dalam mengatasi permasalahan yang disyariatkan dalam
penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Ijtihad” adalah upaya menyelesaikan persolan yang tidak dibahas secara jelas dalam dalil-dalil tentang penentuan awal
bulan Ramadhan dan Syawal Nuruddin bin Khattab 1987.
Simpulan
Hasil uraian dapat disimpulkan 1 Metode Joguru diterapkan akibat bulan sabit tipis di awal bulan baru Ramadhan dan Syawal tidak pernah terlihat di wilayah
Tidore dan sekitarnya; 2. Hisab awal bulan Ramadhan dan Syawal untuk wilayah Tidore Kepulauan dan sekitarnya tidak dapat diterapkan akibat tidak memenuhi
syarat sebagaimana yang termuat dalam dalil Hadits tentang penentuan awal bulan Hijriah jika Hilal tidak terlihat terhalang; 3. Metode Joguru merupakan
suatu ijtihad yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil penentuan awal bulan Hijriah; 4. Waktu terjadinya ijtimak pada Metode Joguru tidak memungkinkan
merujuk pada pergerakan matahari; 5. Indikator awal bulan baru Hijriah dengan Metode Joguru ditentukan oleh pergerakan pasang surut; 6. Pergeseran waktu
sejauh ± 3 jam 45
o
dari waktu tenggelamnya matahari memungkinkan pergerakan pasang surut menjadi indikator awal bulan baru Hijriah. 7. Adanya keterkaitan dan
kesesuaian antara kajian ilmiah, kajian agamis dan philosophy dari Metode Joguru dalam penentuan awal bulan baru Hijriah.
8 PARAMETER PASANG SURUT PENENTU AWAL BULAN
BARU RAMADHAN DAN SYAWAL BERDASARKAN METODE JOGURU
Ringkasan
Metode Joguru MJ diterapkan akibat indikator bulan sabit tipis Hilal awal bulan baru Ramadhan dan Syawal tidak pernah terlihat di wilayah Tidore dan sekitarnya.
Ijtihad para Joguru dengan melakukan pengamatan pergerakan pasang surut
sehingga diperlukan analisis parameter penciri masuknya awal bulan baru Hijriah melalui pergerakan pasang surut. Perhitungan parameter Gaussian serta waktu
terjadinya slackwater dilakukan bentuk siklus harian pergerakan pasang surut. Parameter penciri dianalisis dengan menggunakan aplikasi statistik komponen
utama dan diskriminant analysis. Hasil analisis memperlihatkan bahwa pergeseran waktu slackwater dengan pola berlapis berindikasi sebagai penciri hari dalam
penanggalan Hijriah. Adanya korelasi yang kuat R
2
= 0.87 – 0.85 antara variasi tinggi air tiap peak I dan II terhadap awal masuknya bulan baru Hijriah serta
koefesien determinasi R
2
untuk parameter Gaussian dan slackwater memberi karakter hari masuknya bulan baru Hijriah. Makin bergesernya hari menuju bulan
baru, maka makin kecil nilai koefesien determinasinya. Waktu terjadinya slackwater dan median menjadi indikator penentu awal masuknya awal bulan baru
Ramadhan dan Syawal. Kata kunci
: Gaussian, slackwater, Parameter penciri, peak
Abstract
Joguru methods MJ was applied as a result of the indicator first new crescent Hilal beginning of the new moon of Ramadan and Syawal never seen in Tidore
and the surrounding area. Ijtihad by Joguru in observing the movement of tides, require parameter identifier to entry of beginning of new Hijri month through tide
movement. Gaussian parameter calculation as well as the timing of the slackwater done on of shape of daily cycle the tides movement. Identifier parameters were
analyzed using statistical applications with principle component analysis PCA and discriminant analysis DA. The analysis results show that the time shift
slackwater with layered patterns indicated as an identifier of a day in the Hijri calendar. Strong correlation R
2
= 0.87 - 0.85 between variation in water height of each peak 1
st
and 2
nd
to the early arrival of the new Hijri month as well as the coefficient of determination R
2
for the parameters of Gaussian and slackwater characterize the entry of the new Hijri month. Increasingly shifting towards the new
moon, then the smaller the value of coefficient of determination. The time when the slackwater occurred and the median, both becomes the indicators of an early entry
into determining the beginning of the new moon of Ramadan and Syawal Keywords
: Gaussian, slackwater, Identifier parameters, peak
90
Pendahuluan
Hilal first new cresent merupakan fenomena alam yang sangat penting bagi umat Islam di seluruh dunia karena sangat berkaitan dengan waktu ibadah
seperti sholat, puasa, dan haji. Hilal merupakan kajian Astronomy Falak yang sangat disyaratkan ketampakannya di suatu wilayah, dan menjadi keputusan final
penentuan awal masuknya bulan Hijriah terutama pada bulan Muharram, Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Persoalan klasik yang sering terjadi dalam
menentukan awal bulan Hijriah adalah mengutamakan hasil perhitungan hisab sebelum rukyatul Hilal dilakukan. Persoalan tersebut semakin rumit, jika Hilal
tidak terlihat saat Rukyatul Hilal dilakukan, baik akibat posisi bulan dan matahari atau akibat gangguan cuaca yang tidak memungkinkan untuk melihatnya. Dengan
kondisi tersebut selanjutnya dilakukan perhitungan hisab dan dibahas pada sidang Isbat yang sering menjadi perdebatan panjang akibat metode dan kriteria yang
dibangun dalam hisab oleh masing-masing ormas Islam Azhari 2006, Hidayat 2012, DEPAG 2013, Izzuddin 2015. Terkait dengan metode hisab, Azhari
2010, menyebutkan terdapat 28 referensi dalam kajian ilmu Falak berdasarkan pendekatan astronomy ephimeries yang berkembang di Indonesia dan Malaysia
dalam menjelaskan tentang Hilal.
Banyaknya metode dalam penentuan awal bulan baru penanggalan Hijriah tersebut pendekatan dengan menggunakan indikator pasang surut belum pernah
dikaji dan dipublikasikan. Beberapa informasi yang belum jelas kebenarannya, menyatakan bahwa ada beberapa masyarakatkelompok masyarakat di Indonesia
melakukan pengamatan pasang surut dalam menentukan awal bulan baru Hijriah seperti kelompok tarekat An-Naser di Gowa Sulawesi Selatan dan juga oleh
kelompok masyarakat di Sumetera Barat Padang. Cara mereka tersebut masih diragukan kebenaran dan akurasinya akibat struktur masyarakat pengguna metode
tersebut relatif kecil. Hal yang berbeda diperlihatkan pada Metode Joguru, dimana melekat nama besar Kesultanan Tidore dan lokasi pemantauannya berada di bekas
pusat Kesultanan Tidore di Kelurahan Toloa Gambar 7.2.
Kondisi lokasi pemantauan dan letak sumur pantau berada di pantai maka secara teknis, ada kontribusi pergerakan pasang surut dalam Metode Joguru
Lampiran 19. Oleh karena itu, untuk saat ini parameter penciri yang dimaksud dalam MJ berasal dari karakteristik pergerakan pasang surut. Uraian bab
sebelumnya prosedur Metode Joguru, maka perlu dilakukan kajian ilmiah tentang karakter pasang surut yang menjadi penciri masuknya awal bulan baru Hijriah dari
Metode Joguru. Pertanyaan mendasar sekaligus menjadi tujuan yang perlu untuk dijawab dalam bab ini adalah Apa indikator yang teramati dalam tata cara
penerapan Metode Joguru, terutama yang teramati pada sumur pantau akebai tersebut.
Metode Penelitian
Indentifikasi parameter pasang surut penentu MJ diketahui dari analisis data pasang surut yang terukur di Stasiun Bitung Gambar 2.1 dengan data pasang surut
bersumber pada UHSLC. Analisis penentuan parameter penciri awal bulan baru Hijriah dengan MJ menggunakan data dari Stasiun Bitung akibat tidak adanya data
yang memadai disekitar Pulau Tidore, selain itu dipertimbangkan pula :
91
o Kedua lokasi Bitung dan dan Pulau Tidore, keduanya merupakan wilayah yang
tidak pernah menyaksikan Hilal first new Cresent saat awal bulan Ramadhan dan Syawal Gambar 7.3 dan Gambar 8.1. Hal Ini berarti penggunaan Stasiun
Bitung sebagai penerapan Metode Joguru di luar wilayah Tidore.
o Posisi pemantauan di Tidore berbeda sejauh 2 derajat bujur timur dengan
Stasiun Bitung mempunyai perbedaan waktu sekitar 8 menit lebih cepat. Kondisi tersebut memberi arti bahwa pergerakan pasang surut yang terjadi di
Stasiun Bitung dapat digunakan dalam aplikasi metode Joguru karena interval data pengukuran 1 jam. Perbedaan waktu sekitar 8 menit didasarkan pada
perhitungan ; posisi stasiun Tidore berada pada kordinat 0
o
39 20.8” LU dan
127
o
21 54”BT
dan stasiun Bitung 01
o
26 24”LU dan 125
o
11 36” BT Gambar
2.1 dan Gambar 7.2 sehingga selisih kedua kordinat arah bujur timur sebesar 2
o..
dan diperoleh 2
o
360
o
24 jam = 8 menit. Dengan waktu tersebut perubahan tinggi air yang terjadi tidak terlalu besar, sehingga aplikasi MJ memungkinkan
menggunakan data pasang surut di Stasiun Bitung. o
Kedua Lokasi berada pada wilayah perairan yang sama di Laut Maluku yang berhadapan langsung dengan perairan terbuka, selain itu kedua lokasi juga
menjadi alur masuknya massa air Laut Pasifik dari sisi utara pulau Halmahera.
Gambar 8.1 Variasi waktu terbenamnya matahari sunset dan terbitnya bulan moonset di wilayah Bitung dan sekitarnya
Penentuan tanggal dan hari awal bulan baru Ramadhan dan Syawal sekaligus untuk konversi penanggalan Hijriah ke Masehi menggunakan Software
Accurate Times 5.3.6 Odeh 2013 yang hasilnya merupakan Kalender Islam Ummul Quro kalender Arab, selain itu tanggal tersebut disesuaikan dengan
tanggal pada kalender yang dikeluarkan oleh Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama LFNU 2013 dan kalender Indonesia yang diperoleh dari http:kalender-
indonesia.com. Penentuan jumlah hari dalam bulan Ramadhan dan awal pemantauan Hilal untuk bulan Syawal dilakukan aplikasi sederhana dengan
merujuk pada hari awal bulan Ramadhan, Jika awal bulan Ramadhan 30 hari dimulai pada hari N, maka hari pada akhir bulan Ramadhan jatuh pada hari N + 1
atau awal bulan Syawal jatuh pada hari N + 2 lihat uraian bab sebelumnya.
Perhitungan waktu tenggelam matahari Sunset dan terbitnya bulan Moonset diketahui dari penggunaan Software Accurate Times 5.3.6 Odeh, 2013
dan Sun Times-V-7.1 Kay Croz 2008. Perhitungan waktu tersebut merujuk pada tanggal 1 Ramadhan dan Syawal dari kalender rujukan yang dikeluarkan oleh
LFNU. Untuk menghindari pergeseran waktu karena beda awal masuknya bulan
92 Ramadhan dan Syawal maka perhitungan Sunset dan moonset dilakukan sejak 2
hari sebelum H-2 dan H-1 dan sesudah tanggal rujukan H + 1 dan H +2. Identifikasi parameter penciri MJ dilakukan dengan meganalisis grafik
sebaran normal Gaussian tiap peak pergerakan pasang surut. Parameter distribusi normal mean, median, modus dan kurtosis tiap peak dihitung dengan
menggunakan persamaan 11 - 14. Selain parameter Gaussian, dihitung pula parameter waktu terjadinya titik balik pergerakan pasang surut slackwater dengan
notasi t
sw
yang terjadi antara peak-peak pergerakan pasang surut Gambar 8.2A. Perhitungan t
sw
dilakukan dengan memodifikasi grafik terbalik antara peak menjadi grafik distribusi normal. Modifikasi dilakukan dengan cara mengkumulatifkan nilai
perubahan tinggi air terhadap waktu Gambar 8.2B. Pergerakan tinggi air atau selisih H
1
terhadap H
2
pada dua data yang berurutan dalam interval waktu 1 jam merupakan nilai kecepatan
H, nilai H bernilai positif + diartikan pergerakan air bergerak turun surut dan sebaliknya untuk nilai
H bernilai negatif - berarti air bergerak naik pasang. Dengan mengkumulatifkan perubahan perubahan tinggi
air H menghasilkan pola distribusi normal Gambar 8.2C.
Gambar 8.2 Tahapan analisis dan interpolasi bilinear waktu slackwater. Waktu slackwater t
sw
ditentukan melalui persamaan umum interpolasi bilinear untuk 2D Persamanan 15. Nilai parameter distribusi normal mean,
median, modus, skwenness dan kurtosis serta t
sw
dijadikan parameter pembeda harian untuk dianalisis pengelompokkannya dengan Principal Component Analysis
PCA menggunakan aplikasi Xlstat. Hasil analisis PCA selanjutnya dicari penciri awal bulan dari pengelompokan parameter hasil analisis PCA menggunakan
Discriminant Analysis DA.
93
22
Hasil dan Pembahasan Karakter tinggi air pasang surut bulan Ramadhan dan Syawal
Data pengukuran pasang surut untuk bulan Ramadhan dan Syawal diperoleh sebanyak 11 tahun data Lampiran 20 dan Tabel 8.1. Tipe pasang surut pada
Stasiun Bitung bertipe campuran condong harian ganda. Grafik fluktuasi tinggi air menunjukkan terjadinya pergeseran waktu titik balik pergerakan pasang surut
slackwater dengan variasi tinggi air yang berbeda untuk pasang pertama dan kedua. Umumnya slackwater diawal Bulan Ramadhan dan Syawal terjadi sebelum
pergantian hari dalam penanggalan Hijriah atau terjadi sebelum jam 18:00 WIT. Waktu slackwater dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal dalam
Metode Joguru adalah waktu titik balik pada peak II siang hari.
Fluktuasi tinggi air yang membentuk slackwater pada bulan Ramadhan Lampiran 20A di tanggal 28 Sya’ban hasil konversi penanggalan untuk seluruh
tahun pengukuran, slackwater terjadi sebelum jam pergantian hari 18:00 WIT, sedangkan pada tanggal 29 Sya’ban awal 1 Ramadhan slackwater terjadi lebih
dekat dengan waktu pergantian hari. Adapun slackwater yang terjadi pada tanggal 1Ramadhan awal 2 Ramadhan terjadi pada jam 18:00 WIT. Fenomena yang
terjadi tersebut diperlihatkan pada pola pergerakan pasang surut pada bulan Syawal Lampiran 20B. Dari pola pergerakan pasang surut, secara umum memberi
indikasi pengamatan Hilal oleh para Joguru di Tidore adalah waktu terjadinya slackwater dan pergerakan tinggi air setelah waktu tersebut setelah shalat Ashar.
Penyesuaian penanggalan
Hasil penyesuaian penanggalan dari tiga sumber penanggalan yaitu dengan penggunakaan Software Accurate Times, kalender LFNU dan kalender Indonesia
menghasilkan 6 tahun Bulan Ramadhan hanya berlansung selama 29 hari Tabel 8.2 dari total 11 tahun data. Hal itu juga berarati awal bulan Syawal mengalami
perbedaan lebih awal di 6 tahun tersebut. Dari 6 tahun data pasang surut yang dianalisa, 2 tahun data diantaranya mempunyai jumlah hari dalam Bulan Ramadhan
yang sama 29 hari antara 2 kalender LFNU dan KI yakni pada tahun 1409 H 1989 M dan 1430 H 2009 M. Perbedaan jumlah hari juga antara penanggalan
LFNU dan KI dengan lama hari bulan Ramadhan lebih sedikit 29 hari dibandingkan dengan KI 30 hari terjadi di tahun 1407 H 1987 M dan 1431H
2010 M dan sebaliknya jumlah hari LFNU 30 hari dan KI 29 hari terjadi pada tahun 1410 H 1990 M dan 1415 H 1995. Adapun hasil konversi penanggalan
menggunakan Accurate Time kalender Ummul Quro keseluruhan jumlah hari pada Bulan Ramadhan sebanyak 30 hari Tabel 8.2.
Tabel 8.1 Waktu masuknya bulan Ramadhan dan Syawal untuk jenis kalender yang
berbeda
94
Keterangan : warna yang sama pada pada masing-masing kalender untuk bulan Ramadhan dan Syawal menunjukkan jumlah hari pada bulan Ramadhan selama 30 hari, warna yang
berbeda menunjukkan jumlah hari pada bulan Ramadhan selama 29 hari, tahun dengan angka tebal bold adalah tahun terjadinya perbedaan hari antara 2 sistim
penanggalan; tanggal bold, red adalah lebih awal masuknya bulan Ramadhan.
Tabel 8.2 Jumlah hari dalam bulan Ramadhan berdasarkan perhitungan dan kalender yang berbeda
.
Keterangan: = olahan
Sofware Accurate Times atau merupakan kalender ummul quro kalender Arab; Kal Gresik= Kalender gresik yang dikeluarkan oleh LFNU; Kal Indonesia =
Kalender Indonesia, angka bold = bulan Ramadhan 29 hari.
Fluktuasi waktu sunset dan moonset
Waktu tengelamnya matahari sunset dan waktu terbitnya bulan moonset umumnya sunset lebih awal terjadi tenggelam dibandingkan dengan moonset
Gambar 8.1. Waktu tersebut digunakan untuk perhitungan nilai waktu terbaik TB melakukan pemantauan Hilal. Waktu terbaik pemantauan TB yang
dibandingkan dengan waktu masuknya shalat Magrib Gambar 8.3 menunjukkan bahwa dari 30 tahun perhitungan, memperlihatkan Hilal terjadi setelah shalat
Magrib, demikian juga untuk wilayah Bitung dan sekitarnya.
Merujuk tanggal 1 Ramadhan dan Syawal pada penanggalan yang dikeluarkan oleh LFNU Gambar 8.3 memperlihatkan bahwa kisaran rata-rata
waktu bulan terbit moonset untuk hari H-2 hingga H+2 berada pada jam 18 : 21 – 21 : 41 WIT lokal timeLT sedangkan waktu terbenamnya matahari terjadi pada
jam 18:33 WIT Tabel 7.1. Selisih waktu terbesar tenggelam matahari dan terbitnya bulan di hari H-1 red line terjadi pada tahun1410 H 1 jam 15 menit
dan selisih terendah terjadi pada tahun 1411 H 22 menit. Terkait dengan fenomena waktu tenggelamnya matahari dan terbitnya bulan, menunjukkan bahwa pada
wilayah Pulau Tidore dan Bitung tidak memungkinkan untuk melihat Hilal disepanjang tahun.
Hari Tanggal
Hari Tanggal
Hari Tanggal
Hari Tanggal
Hari Tanggal
Hari Tanggal
1407 H Kamis 3041987
Kamis 3041987
Jumat 151987
Sabtu 3051987
Jumat 2951987
Sabtu 3051987
1408 H Senin 1841988 Senin
1841988 Senin 1841988
Rabu 1851988
Selasa 1751988
Rabu 1851988
1409 H Jumat 741989
Sabtu 841989
Sabtu 841989
Minggu 751989 Minggu
751989 Minggu
751989
1410 H Rabu 2831990
Rabu 2831990
Kamis 2931990
Jumat 2741990
Jumat 2741990
Jumat 2741990
1412 H Kamis 531992
Jumat 631992
Jumat 631992
Sabtu 441992
Minggu 541992
Mingu 541992
1414 H Sabtu 1221994 Sabtu
1221994 Sabtu 1221994
Senin 1431994
Senin 1431994
Senin 1431994
1415 H Rabu 121995
Rabu 121995
Kamis 221995
Jumat 331995 Jumat
331995 Jumat
331995 1421 H Selasa
28112000 Senin
27112000
Senin
27112000
Kamis 28122000 Rabu
27122000 Rabu 27122000
1429 H Selasa 292008
Senin 192008
Senin 192008
Kamis 2102008 Rabu
1102008 Rabu
1102008
1430 H Sabtu 2282009 Sabtu
2282009 Sabtu 2282009
Senin 2192009
Minggu 2092009
Minggu 2092009
1431 H Rabu 1182010
Kamis 1282010 Rabu
1182010 Jumat
1092010 Jumat 1092010
Jumat 1092010
Tahun Bulan Syawal
Bulan Ramadhan Kal-Ind
Acc Time
1
Gresik
2
Kal-Ind Acc Time
1
Gresik
2
95
Gambar 8.3 Waktu terbaik pemantauan Hilal terhadap waktu shalat Magrib untuk wilayah Tidore [A] dan [B], Bitung dan sekitarnya [C] serta selisih
antara waktu terbaik pemantauan terhadap waktu shalat Magrib [D] Selisih waktu masuknya shalat Magrib dan TB Gambar 8.3D rata-rata 15
7 menit bulan Ramadhan dan Syawal menggambarkan tidak memungkinkan kegiatan pematauan Hilal dilakukan dalam kurun waktu tersebut. Kondisi tersebut
juga didukung oleh waktu terbentuknya Hilal yang relatif singkat 10 menit dan aktifitas Shalat Magrib berjamaah memerlukan waktu paling cepat 5 menit. Selain
itu, pada waktu TB yang terjadi, matahari telah jauh bergerak tenggelam dari garis ufuk barat makin malam dan munculnya bulan tidak diiringi dengan matahari.
Dari hal ini, maka terbukti bahwa wilayah Tidore dan Bitung sekitarnya sulit untuk menemukan kehadiran Hilal pada awal bulan Ramadhan dan Syawal.
Indikator penciri pergerakan pasang surut untuk aplikasi Metode Joguru Parameter distribusi normal
Nilai mean, median, skwennes dan kurtosisi merupakan nilai yang menjelaskan bentuk dari grafik pola distribusi normal dari grafik pergerakan pasang
surut. Grafik tersebut dihasilkan dari nilai komulatif tinggi pergerakan pasang surut di sekitar titik balik terakhir sebelum pergantian hari dalam penanggalan Hijriah
lihat Lampiran 20. Amplitudo pasang surut antara pasang I malam hari dan pasang ke II siang hari menujukkan variasi yang berbeda di sepanjang tahun.
Perbedaan amplitudo tersebut tidak menyebabkan pergeseran titik balik slackwater di tanggal yang sama dengan tahun berbeda. Nilai tinggi air yang
menyusun amplitudo pola distribusi normal dan waktu terjadinya slackwater dapat dijadikan potensialberindikasi sebagai penciri dari pergerakan pasang surut
dalam menentukan awal bulan baru Hijriah.
Perbedaan selama 1 hari masuknya bulan Ramadhan dan Syawal Tabel 8.1 dan Tabel 8.2, menyebabkan variasi nilai mean, median, skwennes dan kurtosis
96 difokuskan pada empat waktu H-2, H-1, H dan H+1. Dari kalender LFNU dengan
jumlah hari 29 Ramadhan yang berbeda dengan KI 30 hari, maka awal bulan Syawal pada kalender KI dapat diketahui melalui pengamatan pada H-2.
Variasi nilai parameter yang terdapat pada Tabel 8.3 secara umum menggambarkan kecenderung grafik distribusi normal Lampiran 23B. Nilai
parameter distribusi normal berupa kurtosis, mean, skweness dan median menujukkan pola yang sama dikedua bulan tersebut. Nilai kurtosis dan mean rata-
rata pada bulan Ramadhan dan Syawal menunjukkan nilai semakin kecil seiring bertambahnya hari selama periode perhitungan yang dilakukan. Hal yang berbeda
dari nilai parameter yang dianalisa terjadi pada nilai skwennes dan median, nilai skwennes dan median terbesar terjadi di H-1 dibandingkan dengan hari lain di
kedua bulan tersebut.
Tabel 8.3 Parameter distribusi normal pergerakan pasang surut peak II di Stasiun Bitung
Secara spesifik variasi nilai median pada bulan Syawal di H-1 dan H menunjukkan nilai variasi yang kecil 0.55 dan 0.54. Variasi kecil ini relatif sama
didiawal bulan Syawal H-1 dan H, berdampak pada sulitnya menentuan awal bulan Syawal dengan parameter nilai median untuk hari rujukan H-1. Dengan
memperhatikan nilai deviasi nilai mean pada H-1 yang relatif kecil 0.24 dibandingkan dengan pada hari H 0.33, maka nilai mean dapat juga memberi
Max Min
Rata Dev
Max Min
Rata Dev
Kurtosis -1.06 -1.69 -1.30
0.24 -0.60 -1.70 -1.32
0.35 Mean
0.95 0.28
0.61 0.26
0.97 0.13
0.50 0.27
Skwennes 0.14 -0.48 -0.17
0.20 0.03 -0.53 -0.25
0.23 Median
1.00 0.29
0.63 0.27
0.99 0.20
0.53 0.25
Kurtosis -0.99 -1.62 -1.33
0.24 -0.76 -1.66 -1.26
0.37 Mean
0.93 0.24
0.57 0.26
0.94 0.15
0.51 0.30
Skwennes 0.28 -0.43 -0.11
0.21 0.10 -0.67 -0.29
0.30 Median
0.95 0.23
0.57 0.26
0.95 0.25
0.55 0.24
Kurtosis -0.82 -1.67 -1.30
0.29 -0.69 -1.67 -1.26
0.31 Mean
0.88 0.15
0.55 0.28
0.93 0.04
0.49 0.35
Skwennes 0.08 -0.51 -0.20
0.22 0.07 -0.69 -0.32
0.28 Median
0.89 0.15
0.57 0.27
0.97 0.14
0.54 0.31
Kurtosis -0.41 -1.70 -1.13
0.47 -0.73 -1.65 -1.08
0.33 Mean
0.90 0.14
0.52 0.29
0.87 0.02
0.46 0.38
Skwennes -0.03 -0.69 -0.37
0.26 -0.09 -0.78 -0.42
0.26 Median
0.96 0.14
0.57 0.30
0.87 0.12
0.51 0.33
Kurtosis -0.59 -1.83 -1.20
0.45 -0.74 -1.57 -0.99
0.23 Mean
0.81 0.02
0.48 0.32
0.80 -0.03 0.39
0.37 Skwennes
0.14 -0.68 -0.31 0.30
0.10 -0.72 -0.48 0.24
Median 0.86
0.03 0.50
0.29 0.84
0.11 0.44
0.33 Syawal
Ramadhan Parameter
H- 2
H- 1
H
H+ 1
H+ 2
97 informasi masuknya awal bulan Syawal. Dengan hal tersebut maka nilai kurtosis,
mean, skweness dan median dapat mencirikan masuknya bulan Ramadhan dan Syawal, meskipun demikian untuk mendapatkan nilai tersebut memerlukan
pengukuran data satu peak pergerakan pasang surut 12 jam data sehingga membentuk profil distribusi normal. Kondisi tersebut berarti para Joguru tidak
menjadikan parameter distribusi normal atau perubahan tinggi air menjadi indikator penentu dari awal masuknya bulan Ramadhan dan Syawal.
Dengan memperhatikan variasi tinggi rendahnya pasang surut peak I dan II yang tidak tetap Lampiran 21 terhadap parameter distribusi normal Tabel 8.3
memperlihatkan adanya indikasi nilai skwennes bernilai positif jika slackwater dibangun oleh pergerakan pasang surut dengan tinggi pasang sebelum slackwater
lebih rendah dibandingkan setelah slackwater. Dengan indikasi nilai skwenness, maka parameter lainnya akan menggambarkan karakter dari hari untuk penentuan
awal bulan baru Ramadhan dan Syawal.
Keterangan : Waktu terjadinya slackwater sebelum masuknya bulan Ramadhan kolom kiri dan bulan Syawal kolom kanan dengan rujukan hari sesuai dengan kalender ummul quro
baris atas, kalender LFNU baris tengah dan kalender Indonesia baris bawah.
Gambar 8.4 Fluktuasi waktu terjadinya slackwater sebelum masuknya bulan Ramadhan dan bulan Syawal di wilayah Bitung
Waktu terjadinya Slackwater t
sw
Slackwater pasang surut adalah kondisi pergerakan pasang surut mengalami pergerakan balik, pergerakan tersebut diketahui melalui puncak dan lembah dari
tiap tipe pasang surut yang berkembang disuatu wilayah. Waktu slackwater t
sw
98 dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal kaitannya dengan Metode
Joguru adalah waktu titik balik pergerakan surut yang terjadi sebelum jam 18:00 WIT peak II. Hasil interpolasi memperlihatkan waktu slackwater t
sw
yang saling membentuk pola berlapis di hari yang berbeda sebelum dan sesudah masuknya awal
bulan Ramadhan dan Syawal Gambar 8.3. Perhitungan t
sw
juga memperlihatkan bahwa waktu maksimum t
sw
untuk H-2 bulan Ramadhan dan Syawal terjadi sebelum jam 16:30 WIT dan makin menuju hari H tanggal 1 bulan Ramadhan dan
Syawal slackwater terjadi sebelum jam 18:00 WIT Lampiran 24. Variasi waktu terjadinya slackwater Gambar 8.4 dengan rujukan hari H-1
garis warna hitam adalah penanggalan yang dikeluarkan oleh LFNU menunjukkan selisih waktu yang kecil garis rapat pada awal bulan Ramadhan
terjadi pada tahun 1407 H, 1409 H, 1410 H dan 1415 H, sedangkan pada bulan Syawal hanya di jumpai pada tahun 1415 H. Pola garis menyilang dijumpai pada
Syawal 1407 H dan pola bertumpuk hanya terjadi pada tahun 1415 H untuk hari H- 1 dan H+1.
Pola garis relatif berimpit juga dijumpai pada rujukan kalender lainnya Gambar 8.4 untuk masing-masing hari sebelum dan sesudah hari H. Meskipun
demikian, pada kalender Ummul Quro dan kalender Indonesia tidak dijumpai pola garis menyilang sebagaimana yang dijumpai pada bulan Syawal untuk kalender
rujukan LFNU. Kondisi tersebut menggambarkan adanya rentang waktu delta pergeseran terjadinya t
sw
dari hari ke hari secara berurutan Gambar 8.4. Delta t
sw
terbesar terjadi antara H ke H+1 [H – H+1] dan delta terkecil terjadi pada hari H-1 ke hari H [H-1 – H] pada rujukan kalender LFNU. Dengan kecilnya delta
tersebut maka sangat memungkinkan masuknya awal bulan Syawal lebih awal atau jumlah hari pada bulan Ramadhan sebanyak 29 hari. Untuk awal masuknya bulan
Ramadhan pada kalender Ummul Quro memasuki bulan Ramadhan lebih awal sebanyak 6 tahun, kalender LFNU sebanyak 4 tahun dan kalender Indonesia
sebanyak 3 tahun. Dengan mencermati tahun awal masuknya bulan Ramadhan Gambar 8.4 dan Tabel 8.2 dan pola garis t
sw
yang berimpit untuk H-1 dan H berindikasi awal bulan Ramadhan masuk lebih awal dibandingkan dengan pola
garis yang merenggang. Delta t
sw
Gambar 8.5 menunjukkan adanya variasi waktu terjadinya slackwater tiap hari pemantauan. Secara umum delta t
sw
dari H-1 ke H bar warna coklat lebih kecil dibandingkan pada periode pemantau lainnya untuk masing-
masing kalender rujukan lingkaran merah. Delta t
sw
terkecil terjadi pada tahun 1415 H untuk kedua bulan, sedangkan t
sw
terbesar dijumpai pada akhir tahun data di Bulan Ramadhan dan awal tahun data untuk bulan Syawal. Hal lain yang
diperlihatkan pada Gambar 8.5 adalah nilai t
sw
dihari H-1 dan H pada tahun 1412 H untuk bulan Ramadhan yang mempunyai waktu terjadinya titik balik t
sw
yang sama dikedua hari tersebut, oleh karena itu kedua hari tersebut tidak menghasilkan
nilai delta t
sw
delta t
sw
bernilai nol. Profil t
sw
tahunan dan delta t
sw
Gambar 8.4, Gambar 8.5 untuk masing-masing kalender rujukan menunjukkan adanya pola
tahunan yang menggambarkan pergeseran waktu terjadinya slackwater dari tahun ketahun. Ada kecendrungan profil tahunan yang terbentuk adalah profil tujuh
tahunan, dimana pada tahun 1407 H ke 1414 H t
sw
bergerak naik dan di tahun 1415H bergerak turun. Dari tahun 1415 ke tahun 1421 juga menunjukkan pergeseran yang
ekstrim dengan pergeseran t
sw
2 jam, demikian pula pada tahun 1421 H ke 1429 H yang bergerak turun dan setelah itu bergerak naik.
99
Gambar 8.5 Variasi delta t
sw
berdasarkan referensi penanggalan yang berbeda
Analisis statistik indikator penciri Metode Joguru
Indikator penciri masuknya bulan baru Hijriah berdasarkan pergerakan pasang surut dari Metode Joguru diidentifikasi dengan pendekatan analisis statitik.
Asumsi umum yang dibangun pada bahwa karakter pasang surut penciri tersebut dijumpai juga pada pergerakan pasang surut ditempat lain serta distribusi data
pasang surut dalam siklus harian homogen dan membentuk pola distribusi normal Gaussian. Pendekatan analisis statistik yang digunakan meliputi Analisis of
Varians ANOVA, Principle Coumponent Analysis PCA dan Discriminant analysis DA.
Analisis of Varians ANOVA
Analisis of Varians ANOVA dilakukan untuk melihat pengaruh secara statistik dari parameter indikator penentu awal bulan Ramadhan dan Syawal saat
pemantauan dengan Metode Joguru MJ. Adapun pengaruh yang ingin diketahui adalah pengaruh dari karakter tinggi air pasang surut diakhir hari peak II yang
membentuk pola distribusi normal dan identifikasi pengaruh parameter yang menjadi penentu awal masuknya bulan baru Hijriah.
100 Tabel 8.4 Nilai Least Square pengaruh variasi tinggi pada kondisi A dan kondisi B.
Keterangan : A tinggi pasang surut peak I peak II; B tinggi pasang surut peak II peak I, Pr F = 0.0001 signifikan
Karakter tinggi air LB terhadap parameter distribusi normal
Nila parameter distribusi normal berupa nilai mean, median, skwennes dan kurtosisi merupakan nilai yang dihasilkan dari pergerakan pasang surut yang
berbeda. Perbedaan tersebut salah satunya adalah profil dari peak berupa tinggi pasang I dan II pada siklus harian yang berbeda Lampiran 20. Kondisi “A”
digambarkan dengan tinggi pergerakan pasang surut I pembentuk slackwater sebelum lebih rendah dibandingkan tinggi air setelah slackwater. Hasil
perhitungan untuk parameter distribusi normal untuk awal bulan Ramadhan dan Syawal diperlihatkan pada Tabel 8.4 dan Tabel 8.5.
Tabel 8.5 Nilai Least Square mean parameter Gaussian sebagai indikator awal bulan baru terhadap tinggi air
Keterangan : : nilai mean maksimum di H-2 namun dihari berikutnya lebih kecil, lingkaran merah = nilai t
sw
maksimum di H+2 dan dihari lainnya lebih kecil.
Secara umum dari hasil perhitungan untuk koefisien determinan R
2
untuk kondisi A dan B keduanya memberikan nilai koefisien korelasi yang kuat R
2
0.87 terhadap parameter distribusi normal yang menjadi indikator penentu awal bulan baru Ramadhan dan Syawal. Tabel 8.4 memperlihatkan nilai R
2
pada H-1 di bulan Ramadhan merupakan nilai koefisien determinan tertinggi untuk kedua
karakter peak pasang surut, sedangkan pada bulan Syawal koefisien determinan nilai A membentuk pola naik turun seiiring perubahan waktu H-2 hingga ke H+2.
Selanjutnya untuk kondisi B di bulan Sya’ban cenderung nilai R
2
makin besar
101 seiring perubahan waktu pemantauan. Fenomena koefisien determinan R
2
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan dari peak pergerakan pasang surut awal masuknya bulan Ramadhan dan Syawal.
Hasil analisis pengaruh peak pasang surut terhadap parameter indikator awal bulan baru Ramadhan dan Syawal Tabel 8.5 menunjukkan untuk kondisi A,
waktu terjadinya slackwater t
sw
memberi pengaruh tertinggi dibandingkan dengan parameter lain di kedua bulan. Kondisi tersebut berbeda dengan kondis B, dimana
parameter median lebih berpengaruh dibandingkan dengan parameter lainnya. Hal spesifik dari kedua kondisi di atas diperlihatkan pada trend perubahan nilai rata-rata
kuadrat terkecilnya Least square –mean, dimana pada kondisi A, nilai LS-mean t
sw
lebih besar dibandingkan dengan parameter lain dan perubahan nilai makin
besar seiring perubahan waktu pemantauan dari H-2 menuju H+2 italic bold. Hal yang sama juga diperlihatkan pada kondis “B” meskipun nilai LS-mean t
sw
LS- mean median dan LS-mean mean.
Kondisi spesifik lainnya yang menggambarkan karakter parameter indikator penentu awal bulan baru Ramadhan dan Syawal adalah tidak terbentuknya trend
dari nilai LS-mean untuk parameter median, mean, skwennes dan kurtosis seiring perubahan waktu pemantauan bold, red. Kondisi ini menggambarkan parameter
median, mean, skwennes dan kurtosis tidak memberikan informasi perubahan waktu dari H-2 hingga H+2.
Parameter Gaussian dan Slackwater
Hasil ANOVA untuk mengidentifikasi parameter dari peak pergerakan pasang surut di awal bulan baru Ramadhan dan Syawal. Hasil analisis diperoleh
koefisien determinasi R
2
untuk variabel penentu awal bulan baru di hari yang sama untuk bulan Ramadhan dan Syawal bekisar 84 - 93 atau mempunyai korelasi
yang kuat Tabel 8.6. Secara umum nilai R
2
untuk 5 variabel yang dianalisis t
sw
, median, mean, skwennes dan kurtosis menunjukkan korelasi yang besar, namun
korelasi terbesar tersebut dijumpai pada H-1. Ini menggambarkan bahwa ada karakteristik khusus dari variabel yang di analisis terhadap waktu
Tabel 8.6 NIlai koefisien determinasi parameter Gaussian dan slackwater
Keterangan = nilai 0.0001 signifikan
Koefesien determinasi R
2
tersebut untuk masing-masing nilai parameter indikator Tabel 8.7 memperlihatkan nilai kuadrat terkecil rata-rata LS-Mean
untuk parameter dengan indikator waktu terjadinya slackwater t
sw
sangat berpengaruh di setiap hari diawal bulan baru Ramadhan dan Syawal, disusul dengan
parameter median, mean, skwenness dan kurtosis. hal ini maka yang menjadi penciri potensial untuk penentu awal bulan baru dari MJ adalah waktu terjadinya
slackwater.
H-2 H-1
H H+1
H+2 H-2
H-1 H
H+1 H+2
R2 0.93
0.93 0.92
0.86 0.84
0.91 0.89
0.88 0.85
0.86 F
150.5 147.3 126.9 66.6
60.05 108.9
86.90 84.01
65.99 71.39
Pr F Ramadhan
Syawal Nilai
102
Tabel 8.7 Nilai LS means untuk indikator penentu awal bulan baru Ramadhan dan Syawal
Keterangan : angka dibelakang parameter adalah tahun 14xx sebagai observasi
Gambar 8.6 Analisis Komponen Utama PCA hubungan parameter Gaussian dan Slackwater dengan bulan baru Ramadhan dan Syawal
H-2 H-1
H H+1
H+2 H-2
H-1 H
H+1 H+2
t-Slackwater 0.64
0.67 0.68
0.70 0.71
0.63 0.64
0.67 0.68
0.70 Medium
0.63 0.57
0.57 0.57
0.48 0.53
0.55 0.54
0.51 0.44
Mean 0.61
0.57 0.55
0.52 0.45
0.50 0.51
0.49 0.46
0.39 Skwenness
-0.17 -0.11
-0.37 -0.37
-0.33 -0.25
-0.29 -0.32
-0.42 -0.48
Kurtosis -1.30
-1.33 -1.13
-1.13 -1.17
-1.32 -1.26
-1.26 -1.08
-0.99 Nilai N = 10 tahun
Ramadhan Syawal
103
Analisis komponen utama PCA
Hasil ANOVA Tabel 8.7, memperlihatkan variabel median dan mean merupakan variabel potensial untuk menjadi penciri dari pergerakan pasang surut
awal bulan Hijriah selain variabel waktu slackwater t
sw
.Variasi nilai nilai rata-rata kuadrat terkecil LS-Mean masing-masing membentuk pola yang menurun dari
hari kehari pada fase bulan baru, yang berbeda dengan t
sw
yang cenderung naik dalam periode 5 hari awal fase bulan baru. Hal ini memerlukan analisis lanjut
menggunakan Analisis Komponen Utama PCA sebagaimana Gambar 8.6. Hasil analisis PCA terhadap korelasi dari parameter kurtosis, mean,
skwennes, median dan tsw menunjukkan nilai Eigen value comulatif pada bulan Ramadhan dan Syawal masing-masing 90.12 dan 87,21 dengan nilai Squared
cosines of the variables minimum 0.4. Nilai tersebut selanjutnya membentuk 2 kelompok untuk bulan Ramadhan dan Syawal Gambar 8.6. Dari 49 parameter, 3
parameter diataranya tidak tergabung dalam kelompok dari hasil analisis PCA untuk bulan Ramadhan dan 5 parameter pada bulan Syawal marker biru. Pada
bulan Ramadhan terdapat 23 parameter membentuk kelompok pertama F1 positif dan F1 negatif sedangkan pada bulan Syawal sebanyak 22 parameter F1 positif
dan 23 parameter untuk F1 negatif. Pada bulan Syawal parameter kurtosis dan slackwater lebih dominan menyusun F1 positif untuk hari H+1 dan H+2
dibandingkan parameter lainnya, sedangkan pada F1 negetif H-2 dan H-1 didominasi oleh parameter mean, median dan skwennes. Kondisi penyebaran
parameter penyususn kelompok F1 positif dan F1 negatif pada bulan Syawal juga terjadi untuk bulan Ramadhan. Paremater Gaussian dan slackwater penyusun
komponen F1 waktu setelah masuknya bulan baru Hijriah, sedangkan komponen F2 adalah parameter sebelum masuknya bulan baru.
Discriminant Analysis
Hasil analisis PCA menghasilkan dua kelompok utama yang berpengaruh pada hubungan parameter Gaussian dan slackwater dengan waktu pemantauan
masuknya bulan baru Ramadhan dan Syawal. Kedua kelompok tersebut memerlukan analisis lanjut untuk mengetahui penciri utama dari parameter
indikator pergerakan pasang surut yang dapat digunakan dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal.
Tabel 8.8 Log determinants dan uji kesamaan Box’s M hari pemantuan terhadap kelompok penciri masuknya bulan ramadhan dan Syawal
Hari Ramadhan
Syawal Rank
Log D Test Results
Rank Log D
Test Results H - 2
2 -10.699
Boxs M = 6.870 2
-10.657 Boxs M = 9.091
H - 1 2
-11.663 2
-11.806 H
2 -11.830
F Approx = .684 2
-11.695 F Approx = .517
H + 1 2
-11.071 df1 = 12
2 -10.981
df1 = 12 H +2
2 -12.416
df2 = 15008.824 2
-12.572 df2 = 15008.824
Pooled 2
-11.383 Sig = .769
2 -11.340
Sig.= .905 Keterangan ; = The ranks and natural logarithms of determinants printed are those of the group
covariance matrices; = Tests null hypothesis of equal population covariance matrices; Pooled = Pooled within-groups; Log D = Log Determinant
104
Hasil analisis kesamaan antara kelompok hari menggunakan uji Box’s M
Tabel 8.8 menunjukkan adanya kesamaan antara kelompok 1 dan 2 dari masing- masing bulan terhadap waktu hari pemantauan. Dengan tingkat kepercayaan 95,
kelompok-1 dan kelompok-2 memiliki matriks ragam-peragam parameter yang sama nilai sig.
= 0.05, dengan nilai sig bulan Ramadhan 0.769 dan 0.905 Syawal. Selain itu, kesimpulan dapat diambil dengan melihat nilai log
determinant dari tiap-tiap kelompok pada tabel log determinants. Nilai log determinan yang relatif sama negatif tiap hari pemantauan mengindikasikan
ragam-peragam untuk tiap kelompok sama, hal tersebut juga diperlihatkan pada Gambar 8.6.
Tabel 8.9 Wilks Lambda kelompok 1 dan 2 pada bulan Ramadhan dan Syawal
Bulan Test of Functions
Wilks Lambda Chi-square
df Sig.
Ramadhan 1 through 2
.136 90.845
8 .000
2 .984
.728 3
.867 Syawal
1 through 2 .141
89.262 8
.000 2
.985 .706
3 .872
Perbedaan rata-rata antar kelompok diketahui dengan hasil uji wilks lambda Tabel 8.9. Dengan melihat nilai signifikansi yang lebih kecil dari alpha 0.05,
sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan rata-rata antara kelompok 1 dan kelompok 2 dengan asumsi perbedaan rata-rata antar kelompok terpenuhi
berupa;
Sejumlah variabel independen harus berdistribusi normal, matriks masing- masing parameter dalam variabel independen berukuran sama, tidak ada korelasi antar
variabel independen dan terakhir tidak terdapat data yang jauh dari variabel independen.
Tabel 8.10 Stepwise statistic untuk nilai variable kelompok 1 dan 2
Berdasarkan hasil dari proses stepwise method Tabel 8.10
dengan iterasi sebanyak empat kali didapatkan dua peubah yang signifikan membedakan
kelompok 1 dan 2 karena nilai signifikansinya yang lebih kecil dari 0.05. Dengan
105 tingkat residual error yang semakin kecil yang dinyatakan oleh
Wilk’s Lambda Tabel 8.10
dan Lampiran 16 mulai dari level 0.581 - 0.41 makin berkurang untuk
bulan Syawal dan 0.580 - 0.136 Ramadhan. Setelah kedua peubah parameter tersebut terpilih untuk dimasukkan ke dalam fungsi diskriminan Tabel 8.10. Hal
ini berarti kemampuan diskriminasi yang dihasilkan semakin meningkat. Analisis stepwise memperlihatkan parameter Slackwater dan median
menjadi pembeda waktu masuknya bulan baru Hijriah. Pada komponen pertama F1 untuk H+ dibulan Ramadhan dan Syawal dicirikan dengan parameter
slackwater. Untuk komponen 2 H-1 dicirikan dengan parameter median dan slackwater Tabel 8.11. Parameter median dan slackwater yang menjadi penciri
masuknya bulan baru Hijriah, merupakan bagian yang sama dari bangun profil Gaussian Gambar 8.2. Perbedaan mendasar dari keduanya adalah pemaknaan
slackwater pada dimensi waktu pergerakan pasang surut saat terjadinya titik balik, sedangkan median adalah tinggi air saat titik balik tersebut. Dengan melihat grafik
pasang surut 1 peak, maka slackwater adalah sumbu X dan median adalah sumbu Y saat pasang surut mencapai titik baliknya.
Keseluruhan variabel pengamatan pada masing-masing kelompok menunjukkan bahwa variabel median dan slackwater yang memiliki korelasi fungsi
diskriminan, dengan kategori sangat erat Tabel 8.11. Pada struktur matrix Lampiran 16 untuk bulan Ramadhan ditemukan bahwa kelompok satu bernilai
positif bold, sedangkan kelompok lainnya bernilai negatif. Nilai ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai fungsi centroid maka kemampuan didalam membedakan
variabel semakin baik. Ini bermakna bahwa kelompok satu memiliki kemampuan mengelompokkan dengan baik. Hal yang sama juga diperlihatkan pada kelompok
lain di bulan Syawal.
Tabel 8.11 Analisis antar kelompok 1 dan 2 untuk bulan Ramadhan dan Syawal Bulan
Step Tolerance
F to Remove Wilks
Lambda Ramadhan
1 Slack
1.000 8.142
2 Slack
.167 65.952
.950 Median
.167 35.994
.580 Syawal
1 Slack
1.000 8.125
2 Slack
.173 63.320
.950 Median
.173 34.425
.581 Nilai akar ciri atau eigen value Tabel 8.12 menunjukkan ada atau tidaknya
multikolinearitas antar peubah bebas. Multikolinearitas akan terjadi bila nilai akar ciri eigen value mendekati 0 nol. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan
nilai akar ciri yang menjauhi nol, yaitu sebesar 6,274. Keadaan ini dapat diartikan bahwa fungsi diskriminan yang diperoleh cukup baik karena tidak terjadi
multikolinearitas di antara sesama peubah bebasnya parameter. Dengan nilai canonical correlation rata-rata 0.92, maka 84,64 varians dari variabel dependen
dapat dijelaskan dari model diskriminan yang terbentuk.
106 Tabel 8.12 Eigen values kelompok variable dengan indikator nilai median dan
slackwater sebagai penciri awal bulan baru Hijriah. Bulan
Function Eigenvalue
of Variance
Cumulative Canonical
Correlation Ramadhan
1 6.247
a
99.7 99.7
.928 2
.016
a
.3 100.0
.126 Syawal
1 6.003
a
99.7 99.7
.926 2
.016
a
.3 100.0
.124
a First 2 canonical discriminant functions were used in the analysis.
Simpulan
Hasil analisis disimpulkan 1 Setiap awal bulan Ramadhan dan Syawal di wilayah Pulau Tidore dan sekitarnya waktu bulan terbit moonset selalu
mengalami keterlambat. 2. Pergeseran waktu slackwater dengan pola berlapis berindikasi sebagai penciri hari dalam penanggalan Hijriah; 3 Ada korelasi yang
kuat R
2
= 0.87 – 0.85 antara variasi tinggi air tiap peak I dan II terhadap awal masuknya bulan baru Hijriah; 4 Koefesien determinasi R
2
untuk parameter Gaussian dan slackwater memberi karakter hari masuknya bulan baru Hijriah,
makin bergesernya hari menuju bulan baru, maka makin kecil nilai koefesien determinasinya. 5. Waktu terjadinya slackwater dan median menjadi indikator
penentu awal masuknya awal bulan baru Ramadhan dan Syawal.
9 WAKTU KRITIS PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH
BERDASARKAN METODE JOGURU
Ringkasan
Menggantikan indikator awal bulan Hijriah dari Hilal first new cresent yang tidak nampak di Tidore ke slackwater merupakan pendekatan ilmiah untuk menentukan
awal bulan baru Hijriah dengan memindahkan waktu pemantauan sebesar 3 jam 45
o
sebelum matahari tenggelam. Hal tersebut memerlukan waktu rujukan untuk menyimpulkan masuknya awal bulan Hijriah sebagai waktu kritis. Waktu
pemantauan dengan Metode Joguru slackwater harus dilakukan setelah shalat Ashar dengan waktu kritis sebesar 54 menit; Perbandingkan waktu masuknya bulan
Ramdhan dan Syawal dari Metode Joguru dengan data referensi mempunyai kesesuaian akurasinya 100 dan ada indikasi wilayah Indonesia menjadi batas
penanggalan Hijriah. Kata kunci
; Hilal, waktu kritis
Abstract
Replacing an early indicator of Hijri months from Hilal sighting first new crescent which in fact does not appear in Tidore to slackwater is a scientific approach to
define the beginning of Hijri months by moving in advance 3 hours 45
o
the monitoring time before sunset. It is takes time a reference to conclude the entry of
beginning of Hijri month as a critical time. Time monitoring using Joguru method slackwater should be performed after Asr with critical time of 54 minutes. In
comparing the time entry of beginning of Ramadan and Shawwal with Joguru method versus reference data have shown relevance result accuracy 100 . There
are indications that Indonesian territory as reference limit for determining Hijri calendar.
Keyword
: Hilal, critical time
Pendahuluan
Karakter pasang surut adalah rekaman waktu berdasarkan penanggalan Hijriah. Hal tersebut sebagaimana diuraikan pada aplikasi Metode Suku Sama MSS dan
Metode Manzillah yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Metode Joguru memberikan informasi tentang karakter pasang surut yang menjadi penciri harian
pergerakan pasang surut sebagai indikator penentu awal bulan baru Hijriah. Indikator dimaksud adalah waktu terjadinya waktu slackwater t
sw
dan median, dimana keduanya menunjukkan penciri pergerakan dari pasang surut saat terjadinya
titik balik pergerakan surut ke pasang. Nilai median dominan pada perubahan tinggi air sedangkan slackwater adalah perubahan waktu, atau dengan kata lain nilai
median adalah nilai pada sumbu ordinat Y dan salackwater adalah nilai pada sumbu aksis X dari profil Gaussian satu peak pergerakan pasang surut. Indikator
penciri yang digunakan untuk menentukan waktu kritis dalam desertasi ini adalah waktu slackwater tsw, didasarkan pada kemudahan mendapatkan nilai satu
108 waktu dibandingkan dengan menggunakan nilai median yang memerlukan data
pengukuran kontinyu yang membentuk satu profil Gaussian. Indikator slackwater dari pergerakan pasang surut senantiasa bergeser skala
harian membentuk pola yang relatif sama dalam 1 fase bulan Tabel 6.3, pola tersebut perlu diidentifikasi pergerakannya dalam menentukan masuknya awal
bulan baru Hijriah. Hasil identifikasi pola waktu merupakan justifikasi ilmiah untuk menentukan masuknya bulan baru Hijriah terutama pada bulan Ramadhan
dan Syawal. Pola waktu dimaksud selanjutnya disebut “waktu kritis”, yang merupakan penggembangan makna “titik kritis” yang digunakan oleh Maskufa
Widiana 2012 dalam menentukan awal bulan baru Hijriah secara astronomy.
Hasil analisis parameter pasang surut penentu masuknya awal buan baru Hijriah dengan Metode Joguru uraian bab sebelumnya masih menunjukkan
karakter umum penciri akhir bulan Hijriah berupa indikator slackwater. Oleh karena itu diperlukan waktu rujukan untuk menyimpulkan masuknya awal bulan
Hijriah sebagai waktu kritis. Waktu kritis. adalah waktu yang menjadi dasar yang kuat untuk menyimpulkan masuknya bulan baru Hijriah dengan referensi waktu
slackwater. Dari hal tersebut, pertanyan mendasar sekaligus menjadi tujuan dari bab ini adalah 1. Pendekatan apa yang dilakukan dalam membangun titik kritis
penentuan awal bulan baru Hijriah dengan Metode Joguru; 2 Bagaimana keakuratan Metode Joguru dalam menentukan awal bulan Hijriah; dan 3
Bagaimana kesesuaian aspek astronomy dalam Metode Joguru.
Metodologi penelitian
Perhitungan waktu slackwater dari data pasang surut di Stasiun Bitung dilakukan untuk bulan Sya’ban, Ramadhan dan Syawal. Bulan tersebut mewakili
bulan hijrih lainnya, sekaligus membandingkan Metode Joguru dengan metode umum pendekatan astronomy dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan
Syawal di Indonesia. Penggunaan slackwater sebagai indikator awal bulan Hijriah didasarkan pada hasil determinasi indikator penciri dari parameter Gaussian dan
slackwater yang diuraikan pada bab sebelumnya.
Perhitungan waktu slackwater t
sw
dilakukan dengan interpolasi waktu terjadinya titik balik pergerakan pasang surut saat bergerak pasang dengan
menggunakan persamaan 23. Waktu kritis ditentukan dengan mengembangkan makna dari parameter umum Metode Joguru melalui pendekatan matematis melalui
pemahaman ruang dan waktu atas posisi bulan dan matahri sekaligus karakteristik pasang surut yang berkembang Gambar 9.1. Keakuratan Metode Joguru dalam
menentukan awal bulan baru Hijriah diketahui dengan membandingkan waktu masuknya awal bulan Sya’ban, Ramadhan dan Syawal. Awal bulan Sya’ban
merujuk pada kalender yang dikeluarkan oleh LFNU, sedangkan untuk bulan Ramadhan dan Syawal merujuk pada data Keputusan Pemerintah Republik
Indonesia tentang penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal serta dari hasil hisab awal bulan dari kalender Ummul Qura yang berlaku di Arab Saudi Lampiran 26.
109
Gambar 9.1 Skema penentuan waktu kritis dari Metode Joguru
Hasil dan Pembahasan Pergerakan
slackwater dan posisi bulan dan matahari
Rotasi bumi yang bergerak searah dengan pergerakan bulan, menyebabkan ruang dipermukaan bumi akan bergeser saat bumi menyelesaikan satu kali rotasi
dengan posisi bulan sebagai rujukan sideris, pergeseran akan menuju pada waktu mendekat pada jam terbitnya bulan, atau wilayah yang akan menyaksikan bulan
sabit tipis pertama first new cresent di bagian barat titik awal di bumi. Hal terpenting dalam karakter harian pergerakan pasang surut dengan indikator waktu
slackwater t
sw
adalah bagaimana menjelaskan rekaman waktu diawal bulan Hijriah dengan Metode Joguru.
Gambar 9.1 sebagai dasar menentukan waktu kritis masuknya bulan Hijriah dengan Metode Joguru, gambar tersebut adalah pemaknaan dari pergeseran t
sw
dalam satu hari dalam penanggalan Hijriah Gambar 6.7, Lampiran 13 dan Tabel 6.3. Secara keseluruhan hal yang dimaksud memberikan informasi karakter pasang
surut sebagai berikut : a Terdapat selisih minimal 3 jam terbentuknya slak water sebelum moonset
Tabel 9.1 atau bulan terlambat terbit, waktu tersebut menyebabkan pemantauan moonset konjungsiijtimak dialihkan ke indikator slackwater
peak II. b Pergeseran waktu t
sw
pada peak II mendekati jam 18:00 LT setelah shalat Ashar, menggambarkan hari di awal bulan Hijriah hari ke 1 – 7 atau hari
dalam fase bulan baru shape kotak garis putus –putus berwarna merah pada Gambar 9.2,
110 c Waktu t
sw
peak I yang terjadi setelah jam 12:00 LT setelah shalat Dhuhur, menggambarkan waktu saat fase kuartil I dari umur bulan menuju ke kuartil
fase bulan purnama hari ke 7 – 14 shape kotak merah. d Waktu t
sw
peak I yang terjadi setelah jam 18:00 LT setelah shalat Magrib dan sebelum shalat Isya, menggambarkan waktu saat fase kuartil I untuk umur bulan
6 – 8 dan 20 - 22 shape lingkaran hitam. e Waktu t
sw
peak II yang terjadi sebelum Shalat Ashar menggambarkan hari di fase bulan purnama bergerak menuju fase kuartil II hari ke 15 – 22.
Gambar 9.2 Sebaran waktu slackwater I atas dan waktu slackwater II bawah terhadap waktu Shalat fardhu dan tanggal dalam bulan Hijriah di
Bitung dan sekitarnya
111 Karakter tersebut, menjadi dasar yang kuat untuk menentukan awal bulan
penanggalan Hijriah yang selanjutnya menjadi dasar menentukan nilai kritisnya. Waktu moonset dan slackwater Lampiran 25 dan Tabel 9.1, memperlihatkan
makin bergesernya tsw ke jam 18:00 LT Magrib bergeser pula tanggal Hijriah dan makin besarnya selisih antara tsw dan moonset.
Tabel 9.1 Selisih waktu slackwater terhadap waktu moonset
Keterangan : Waktu lokal local time; tanggal hasil konversi menggunakan Accurate Time ummul qura
Selisih waktu terjadinya slackwater t
sw
dan moonset tersebut kita dapat artikan, untuk mencapai puncak pasang peak I pada tanggal 1 bulan Hijriah
memerlukan waktu sebesar selisih tersebut. Nilai selisih maka kita dapat melakukan proyeksi posisi matahari saat terjadinya konjungsiijtimak. Proyeksi pendekatan ini
menjadi lebih rumit dalam aplikasi MJ, karena waktu moonset tidak dapat diketahui dan slackwater adalah dampak dari pergerakan bulan. Dari hal tersebut maka yang
menjadi referensi waktu kritis adalah fenomena alam yang menggambarkan pergerakan matahari saat terjadinya slackwater. Besarnya pergeseran waktu
terjadinya slackwater dan jam referensi matahari merupakan waktu kritis masuknya bulan baru Hijriah.
Waktu referensi pergerakan matahari dan periode kritis
Merujuk pada dalil hadits waktu shalat Ashar, dimana panjang bayangan obyek sama dengan tinggi obyeknya
HR. Muslim No. 612 dan HR. Nasa’i No. 526, merupakan referensi waktu yang terbaik dalam memulai pemantauan awal
bulan baru Hijriah dengan metode Joguru . Kondisi obyek dan bayangannya
mempunyai ukuran yang sama apabila matahari membentuk sudut 45
o
, dengan demikian waktu shalat Ashar menjadi referensi untuk menentukan posisi dan
pergerakan matahari. Waktu referensi tersebut sesuai dengan waktu terjadinya moonset dan slackwater ± 3 jam = 45
o
yang setara dengan pergeseran matahari dari garis horizon.
Waktu shalat Ashar dan Magrib Lampiran 25 menghasilkan selisih waktu del A-M maksmum 3 jam 2 menit
3 jam dan minimum 2 jam 36 menit Tabel 9.2. Dalam kurun waktu tersebut berpotensi berlangsung 5 kali tsw terjadi
diantaranya dalam satu bulan Hijriah yang sama Tabel 6.3, sehingga rata-rata selang waktu terjadinya slackwater berkisar 31 – 36 menit Tabel 9.2 yang
ditunjukkan dengan nilai tsw. Waktu tsw diartikan bahwa untuk mengamati
1407 1408
1409 1410 1412 1414 1415 1420
1421 1429
1430 1431
MS - Tsw 1 4:48
4:33 4:06
4:02 -
- 3:23
3:17 1:33
- 3:36
3:31 3:39
MS - Tsw 2 5:21
5:12 3:40
- 3:04
3:11 3:07
3:24 2:00
- 3:37
3:38 3:37
MS - Tsw 3 6:01
5:55 4:26
- 3:09
3:44 3:24
3:43 -
- 3:41
3:40 4:11
MS - Tsw 1 4:10
3:46 3:31
3:02 2:58
2:48 2:45
3:06 -
- 2:09
3:00 3:07
MS - Tsw 2 4:42
4:11 4:02
3:45 3:24
3:14 3:18
3:34 -
3:07 2:17
3:07 3:31
MS - Tsw 3 5:13
4:53 4:41
4:38 3:48
3:44 3:24
4:28 -
3:16 2:28
3:15 3:59
MS - Tsw 1 4:16
- 4:12
4:21 -
- 3:15
- -
3:55 2:57
3:55 3:50
MS - Tsw 2 4:37
- 4:47
4:48 -
- 3:37
- -
3:06 2:22
3:01 3:45
MS - Tsw 3 5:00
- 5:30
5:23 -
- 4:08
- -
3:25 2:35
3:15 4:11
Rata ‐rata
Tahun Hijriah
Sya ba
n
Ra m
ad h
an
S y
aw al
B u
lan Nilai
112 terjadinya slackwater memerlukan waktu berkisar 31– 36 menit. Memperhatikan
pergeseran tsw harian fase awal bulan baru Lampiran 13 berkisar 12 – 22 menit, maka periode pemantauan selama kurun waktu
t
sw
representatif digunakan sebagai lama pematauan slackwater.
Tabel 9.2 Selisih waktu slackwater terhadap waktu shalat Ashar Tahun
Syaban Ramadhan
Syawal del A-M
tsw del
A-M tsw
del A-M
tsw 1407 2:58
0:35 2:45
0:33 2:41
0:32 1408 3:00
0:36 2:49
0:33 1409 2:53
0:34 2:54
0:34 2:44
0:32 1410 2:48
0:33 3:01
0:36 2:46
0:33 1412 2:40
0:32 2:51
0:34 1414 2:37
0:31 2:42
0:32 1415 2:37
0:31 2:40
0:32 2:49
0:33 1420 2:40
0:32 2:36
0:31 1421 2:42
0:32 1429 2:44
0:32 2:53
0:34 2:54
0:34 1430 2:41
0:32 2:48
0:33 3:02
0:36 1431 2:41
0:32 2:45
0:33 2:57
0:35 Rata-rata 2:45
0:33 2:47
0:33 2:50
0:34 Maksimum 3:00 0:36
3:01 0:36 3:02 0:36
Minimum 2:37 0:31 2:36
0:31 2:41
0:32
Keterangan : Del A-M = selisih waktu antara waktu shalat Ashar dan Magrib; APH = rata-rata pergeseran harian slackwater dalam fase bulan baru 5 hari dengan perhitungan Del
A-M 5; Del Tsw1 – A = selisih waktu slack water terhadap shalat Ashar; angka 1,
2 dan 3 adalah tanggal dalam bulan Hijriah.
Nilai yang terdapat dalam Tabel 9.2, secara umum menginformasikan bahwa, pemantauan awal bulan baru Hijriah dengan MJ hanya mengamati
pergerakan pasang surut slackwater dalam periode 31 - 36 menit 33 menit dari
referensi waktu slackwater hari sebelumnya. Untuk keseragaman waktu pemantauan, maka waktu pematauan yang digunakan adalah 33 menit nilai rata-
rata yang selanjutnya disebut dengan periode kritis.
Penentuan waktu kritis
Waktu referensi bulan baru dengan MJ diketahui dengan pemantauan posisi bulan di hari ke 15 fase purnama. Pengamatan pada hari tersebut lebih
memudahkan pengamat akibat ukuran bulan yang lebih besar terang. Pergerakan bulan dari fase purnama ke fase bulan baru memerlukan waktu selama 1415 hari
atau bulan telah terlambat minimal selama 21 menit 5,35
o
dari posisi awal pemantauan Gambar 7.4.
Posisi matahari dan waktu shalat Ashar dan Magrib adalah memahami pergerseran waktu akibat rotasi bumi yang menghasilkan ukuran banyangan yang
diisyaratkan dalam kedua waktu shalat tersebut. Waktu shalat Ashar dengan ukuran bayangan dan obyek sama panjang
45
o
secara imaginer waktunya berada pada jam 15:00 LT dan untuk shalat Magrib jam 18:00 LT. Akibat rotasi bumi terhadap
113 posisi matahari waktu terbentuknya ukuran bayangan dan obyek sama panjang
terjadi di waktu yang berbeda di setiap wilayah. Waktu masuknya shalat Ashar maupun shalat lainnya akan terjadi pada waktu yang relatif tetap ± 5 menittahun,
sehingga dalam MJ penggunaan waktu shalat Ashar menjadi waktu referensi mengambarkan sudut matahari saat penentuan awal bulan baru Hijriah.
Mencermati bangun geometric metode pemantauan awal bulan Hijriah Gambar 7.4 dan Gambar 9.3 dan uraian diatas, maka waktu pemantauan
slackwater sebagai indikator awal bulan baru Hijriah dengan Metode Joguru atau sebagai titik kritis sebagai berikut :
o
Waktu pemantauan = waktu shalat Ashar + 21 menit
o
Waktu pengamatan = waktu periode kritis minimal 31 - 36 menit, digunakan 33 menit.
Dari waktu pemantauan awal waktu kritis sebesar 21 menit, sudut matahari yang terbentuk mendapat penambahan sebesar 5,25
o
dari sudut matahari saat shalat Ashar 45
o
. Waktu tersebut bayangan obyekpemantau bertambah 9.64 10
dari tinggi sebenarnya saat awal waktu kritis. Periode kritis selama 33 menit menghasilkan perubahan sudut matahari sebesar 8.25
o
atau mengalami penambahan panjang bayangan sebesar 13. Total perubahan sudut matahari dari waktu kritis
dan periode kritis 54 menit menyebabkan perubahan sudut matahari sebesar 13.5
o
atau penambahan panjang bayangan 23 dari ukuran obyek sebenarnya.
Gambar 9.3 Illustrasi waktu kritis penentuan awal bulan baru Hijriah dengan Metode Joguru
Sudut matahari saat waktu pemantauan awal bulan dengan MJ ini waktu dan periode kritis, menyebabkan matahari membentuk sudut 27,75
o
diatas garis horizontal pemantau. Sudut tersebut berasal dari sudut waktu shalat Ashar 45
o
dikurangi waktu dan periode kritis 13
o
dan dikurangi sudut waktu shalat Magrib minimal 31 menit = 7,75
o
dan maksimal 46 menit = 11,5
o
dibawah garis horizontalufuk. Dengan tinggi matahari tersebut sudut, maka untuk kondisi
konjungsiijtimak bulan dan matahari, posisi bulan membentuk sudut 27,75
o
1,85 jam di bawah garis horizontal. Posisi bulan dibawah garis horizon dapat diketahui waktu terjadinya moonset dihari tersebut Lampiran 25. Illustrasi waktu
kritis tersebut dengan indikator penentu moonset diperlihatkan pada Gambar 9.3.
114
Titik temu aspek Hilal dan aspek atmosfer
Metode pemantauan Hilal saat ini umumnya dilakukan dengan mengamati pergerakan bulan yang akan terbit, sedangkan untuk Metode Joguru pendekatan
pemantauan dengan mengamati pergerakan matahari yang akan tenggelam lihat Gambar 9.4A dan 9.4B. Kedua gambar pada menunjukkan komponen parameter
yang sama dalam penyusun geometrik dasar ketampakan Hilal Siddiq 2009 yang meliputi nilai Arc of Light ARCL, sebagai elongation, yaitu sudut-pisah antara
titik pusat-matahari dan pusat-bulan DAZ Delta Azimuth, Relatif Azimuth, yaitu Selisih sudut azimuth antara matahari dan bulan, dan nilai Arc of Vision ARCV,
yaitu Selisih besaran sudut dalam altitude arah vertikal antara titik pusat matahari dan titik pusat bulan. Nilai ARCV inilah yang sering disebut dengan tinggi bulan
sudut yang menjadi nilai yang sering dipermasalahkan saat siding isbat dilakukan.
Keterangan : [A] Geometrik dasar pendekatan bulan terbit atau metode pemantauan Hilal yang umum saat ini dengan indikator awal bulan baru pada ketampakan Hilal dan [B]
Geometrik dasar pendekatan matahari terbenam dari Metode Joguru dengan indikator awal bulan baru pada waktu terjadinya slackwater t
sw
pergerakan pasang surut.
Gambar 9.4 Geometrik dasar indikator untuk prediksi awal bulan baru. Tahapan dalam Metode Joguru Gambar 7.5, memberi gambaran bangun
geometrik sebagaimana Gambar 9.4B. Perbedaan mendasar pada dua bangun geometrik tersebut terdapat pada obyek yang menjadi referensi ketinggian sudut.
Gambar 9.4A, referensi tinggi obyek merujuk pada obyek bulan dengan nilai ARCV, sedangkan pada Gambar 9.4B merujuk pada posisi matahari dengan nilai
DAZ. Kedua gambar dengan obyek referensi yang berbeda, keduanya menggambarkan posisi bulan, bumi dan matahari pada satu garis lurus
konjungsiijtimak. Pada referensi bulan, indikator kondisi ijtimak diperlihatkan dengan kehadiran bulan sabit tipis Hilal, sedangkan pada referensi matahari salah
satu indikatornya adalah waktu terjadinya slackwater t
sw
. Nilai parameter ketampakan Hilal DAZ pada MJ diterjemahkan pada panjang bayangan terhadap
arah datangnya sinar matahari, sedangkan nilai ARCL diterjemahkan dalam panjang bayangan yang memotong garis hayal timur dan barat horisontal, dimana
panjang bayangan tepat berada pada titik pusat lingkar sumur pantau Gambar 7.5.
Secara umum kedua bangun geometrik tersebut dibangun berdasarkan waktu terjadinya ijtimak diantara shalat Ashar dan Magrib sebagai waktu akhir
hari dari penanggalan hijriah. Posisi bulan terhadap matahari dan bumi memberikan efek bayangan ke bulan dalam bentuk bulan sabit tipis menjelang
terbenam matahari. Hal ini menyebabkan bulan harus berada diatas ufuk garis
115 horizon agar cahaya matahari sampai ke bulan dan terlihat oleh pemantau di bumi.
Pada metode joguru, keterlambatan bulan terbit moonset di awal fase bulan baru, kondisi ijtimak digambarkan dengan merujuk pada posisi matahari Gambar 7.5.
Pengamatan indikator awal bulan baru Hijriah dengan Metode Joguru sebelum shalat magrib dilakukan adalah adalah pembacaan tanda-tanda alam sebelum
masuknya bulan baru tanggal 1 bulan Hijriah sekaligus untuk pelaksanaan shalat sunnat tarawih di bulan Ramadhan. Dengan uraian ini, maka keseuaian aspek Hilal
dari kedua pendekatan penentuan awal bulan baru Hijriah memenuhi syarat-syarat astronomy.
Dalam pemantauan Hilal, indikasi terlihatnya Hilal sangat tergantung juga pada transparansi atmosfer dan kontras akibat hamburan cahaya. Kondisi tersebut
akan mengurangi kontras ketampakan Hilal saat pematauan. Hal lain terjadi pada MJ, dimana indikator waktu terjadinya slackwater t
sw
dipantau pada sebuah kubangan air berbentuk lingkaran akebai, memimimalisir pengaruh lain yang
menyebabkan pergerakan air pasang surut akan terganggu. Lokasi akebai yang berada pada daerah intertidal memungkinkan perembesan air pasang surut effektif
tanpa pengaruh gesekan angin. Indikator waktu slackwater t
sw
memungkinkan pemantauan dilakukan walau dalam kondisi hujan sehingga Metode Joguru
memenuhi syarat titik temu faktor atmosfer yang dianjurkan oleh Djamaluddin 2009.
Waktu referensi penerapan Metode Joguru
Pengamatan slackwater yang merujuk pada jam matahari dengan melakukan proyeksi ukuran bayangan pengamat memungkinkan akan menemui
kesulitan dalam menerapkan Metode Joguru. Kesulitan tersebut diakibatkan pada rotasi bumi terhadap posisi matahari yang dalam satu siklus tahunan matahari akan
mencapai Garis Balik Utara GBU dan Garis Balik Selatan GBS dengan sudut inclinasi 23 12
o
. Variasi sudut inclinasi berdampak pada sudut datang matahari terhadap bidang datar lokasi pemantau di bumi pengaruh lokal. Memperhatikan
mekanisme terjadinya ijtimak terhadap rotasi bumi hingga bulan sabit tipis Hilal dapat terlihat, memberikan beberapa isyarat waktu sebagai berikut :
a. Bulan sabit yang terlihat adalah terbukanya ruang antara permukaan bumi dan
bulan, sehingga cahaya matahari yang awalnya terhalang tersebut sampai ke bulan dan membentuk bulan sabit. Cahaya bulan sabit tersebut yang disebut
dengan Hilal, sehingga Hilal adalah proyeksi banyangan bumi di bulan akibat “tergelincirnya” atau bergesernya ruang dipermukaan bumi sebagai titik pusat
terjadinya ijtimak akibat rotasi bumi Gambar 10.3Error Reference source not found.
A. Bayangan bumi tersebut akan nampak optimum jika pengamat dibumi berada pada daerah gelap waktu malam hari atau setelah Shalat
Magrib. Kondisi ini menggambarkan hari dalam penanggalan hijriah sudah masuk hari pertama untuk daerah tersebut, sedangkan pada daerah disisi
baratnya dengan sendirinya mengikuti daerah disisi timur yang melihat Hilal.
b. Variasi jarak bumi dan matahari serta jarak bumi dan bulan menyebabkan terhalangnya bulan oleh bumi juga mengalami variasi. Makin dekat bumi
terhadap matahari dan relatif jauhnya bulan terhadap bumi saat menjelang ijtimak, maka makin besar pula penutupan bulan oleh bumi dan menghalangi
116 cahaya matahari untuk sampai ke bulan. Dari hal ini kondisi apogee bulan harus
diketahui. c. Terkait dengan point “a” dan “b”, sebagai upaya pencarian titik awal lokasi
dibumi untuk menyaksikan Hilal, maka waktu pengamatan dilakukan sebelum shalat magrib atau sebelum malam hari.
Isyarat waktu dalam mekanisme terjadinya ijtimak tersebut, sangat ditentukan pada posisi bumi pemantau terhadap rotasi bumi pada sumbu iclinasi
bumi pada matahari. Matahari berada di GBU maka pemantau yang berada di lintang selatan akan mendapatkan malam lebih lama dibandingkan yang berada di
sekitar ekuator maupun dibagian lintang utara, demikian pula sebaliknya jika matahari berada di GBS. Pergerakan matahari terhadap bumi relatif 1
o
perhari 365 hari360
o
1
o
atau posisi bumi dan matahari relatif tetap, maka peluang menyaksikan Hilal dominan dikontrol oleh rotasi bumi dengan kecepatan 15
o
jam 360
o
24 jam 15
o
jam. Dari hal ini, jika pengamat berada disuatu titik dipermukaan bumi, maka variasi waktu pemantauan berkisar 2 jam 23.12
o
GBUGBS + 5.145
o
Deklinasi bulan terhadap bumi + 1
o
rotasi bumi terhadap matahari = 29.5
o
29.645
o
15
o
= 1.976 Jam 2 jam sebelum gelap. Waktu
sekitar 2 jam tersebut merupakan waktu rotasi bumi untuk membawa suatu titik lokasi dipermukaan bumi untuk berada disisi terluar bumi agar cahaya matahari
yang sampai ke Bulan dapat terlihat. Selain itu, waktu 2 jam menunjukkan waktu dilokasi lain sisi timurnya telah masuk waktu shalat Ashar, dan sesuai dengan
waktu kritis dari metode Joguru maksimum 54 menit
1 jam, setelah shalat Ashar dengan indikator waktu terjadinya slackwater.
Pada bagian lain, merujuk pada periode pemantauan ijtimak 2 jam
sebelum gelap dan pergerakan pasang surut saat ijtimak mencapai maksimum didaerah sumbu garis utama ijtimak teori equibilirium pasang surut, maka
pengamatan slackwater pada Metode Joguru dengan waktu kritisnya merupakan metode melacak indikator ijtimak secara astronomy yang waktunya berkisar 2 jam
melalaui waktu slackwater oceanography.
Perbandingan awal masuknya bulan baru Hijriah
Dengan menggunakan waktu kritis awal bulan baru Hijriah untuk indikator moonset 1 jam 48 menit, diperoleh hasil bahwa seluruh data dengan mooset 1
jam 48 menit Lampiran 25B untuk masuknya bulan Ramadhan dan Syawal bold, red mengalami keterlambatan 1 hari atau sesuai dengan
Lampiran 26
. Hal yang berbeda diperlihatkan pada tahun 1430 H, dimana pada bulan Ramadhan
mempunyai nilai MS1 1 jam 48 menit namun tanggal pemantauan sesuai dengan
Lampiran 26
, hal ini tidak menjadi persoalan akibat pendekatan penentuan tanggal masuknya bulan Ramadhan menggunakan istikmal pembulatan. Hal yang serupa
diperlihatkan pula pada masuknya bulan Syawal 1430 dengan pendekatan rukyatul Hilal Hilal nampak pada tanggal 2092009, sedangkan berdasarkan indikator
moonset 1 jam 48 meit Syawal jatuh pada tanggal 2292009. Kondisi tersebut dapat dijelaskan dengan memperhatikan waktu moonset 20:34 LT dan waktu
slackwater 17:36 LT yang mendekati jam 18:00 LT, yang berarti tanggal 1 Syawal telah terjadi sehari sebelum waktu pemantauan Lampiran 25B.
117 Gambar 7.4A dan Lampiran 25B tersebut, masih menggunakan waktu
terjadinya moonset, dimana waktu tersebut tidak dapat ditentukan dengan menggunakan MJ. Oleh karena itu untuk menentukan indikator penentu masuknya
awal bulan Hijriah harus menggunakan indikator waktu slackwater. Dengan mempertimbangkan, waktu moonset akan menghasilkan pasang tertinggi, maka
waktu slackwater mempunyai selisih waktu sebesar minimal 3 jam sebelum moonset dan terjadi diantara waktu shalat Ashar dan Magrib.
Dengan menggunakan nilai kritis dan periode kritis ± 54 menit 0.9 jam,
maka untuk menjustifikasi masuknya awal bulan Hijriah dengan MJ didasarkan pada waktu makin dekatnya tsw dengan waktu shalat Ashar Tabel 9.3. Waktu
terjadinya slackwater bulan Syawal terhadap waktu shalat Ashar A 0,54 jam, kecuali pada tahun 1415 H, 1429 H dan 1430 H. Pada tahun tersebut nilai A 0.54
yang berarti hari pengukuran sudah berada pada hari ke 2 dari bulan tersebut, sehingga dengan mengurangi 1 hari maka ada kesesuain awal masuknya bulan
Syawal sebagaimana pada
Lampiran 26
. Tabel 9.3 Penyesuaian tanggal masuknya bulan Sya’ban, Ramadhan dan Syawal
indikator waktu slackwater t
sw
.
Tahun Syaban Ramadhan Syawal
Tanggal A Ket
Tanggal A Ket Tanggal A Ket
1407 141987 0:21 S 3041987 0:23 S
30051987 0:40 S 1408 20031988 0:21 S
1841988 0:36 S - -
- 1409 931989 0:07
S 741989
0:23 X
751989 0:19 S 1410 2721990 0:20 S
2831990 1:14 -1S
2741990 0:32 S 1412 521992 -
-
531992 0:11
+1S - -
- 1414 1411994 - -
1221994 1:04
X - -
- 1415 311995
a
1:00 -1 121995
1:00 X
331995 0:55 -1S 1420 10111999 1:06
-1 9121999
0:35 S - -
- 1421 28102000
a
1:02 -1 - - - - -
- 1429 482008
a
- - - -
- 2102008 1:05 -1S
1430 2472009 1:07 -1
2282009 1:10
-1X 2192009
a
1:02 -1S 1431 1372010 0:35 S
1182010 0:44 S 1092010 0:34 S
Keterangan : A = selisih waktu slackwater dan shalat Ashar Tsw –A; = merujuk kalender LFNU; S = Sesuai; a = Hasil rukyat; -1S = kurangi 1 hari sesuai; +1S = Tambah 1 hari
sesuai
Pada bulan Ramadhan nilai 0.54 A 1.08 jam umumnya sesuai dengan tanggal pada
Lampiran 26
tanggal referensi dengan melakukan penambahan maupun pengurangan 1 hari. Hal yang berbeda terjadi pada tahun 1412 H dengan
nilai A 0:11 waktu kritis 21 menit, maka 1 Ramadhan 1412 H jatuh pada tanggal 631992 + 1 hari dan sesuai dengan tanggal referensi. Kondisi yang
serupa juga terjadi pada tahun 1409 H dengan nilai A 0.54 yang berarti dengan metode Joguru 1 Ramadahan jatuh hari itu juga 741989, namun perbandingan
dengan tanggal referensi berbeda 1 hari 841989. Perbedaan ini juga terjadi diwaktu yang lain symbol X pada kolom keterangan, pada tahun 1430 H nilai A
mempunyai nilai 2 kali lipat dari periode kritis 1:10 yang bebarati 1 Ramadhan di
118 wilayah Bitung masuk sehari sebelumnya 2182009 yang berbeda dengan waktu
referensi dengan metode istikmal 2282009. Merujuk waktu referensi di bulan Ramadhan tersebut, maka jumlah hari pada bulan Ramadhan 1430 H sebanyak 29
Hari 2282009 – 2092009 dengan jumlah hari bulan agustus 31 hari Lampiran 1. Perbedaan tersebut dapat dipahami, sebagai bagian dari penanggalan Hijriah
yang dimulai dari fase gelap Magrib dan berakhir di Magrib berikutnya dengan pergerakan waktu mengikuti fase gelap ke terang, sehingga dibagian timur bulan
Ramadhan sebanyak 30 hari.
Tahun 1409 H Ramadhan, nilai A 0:23 0.54 menit sehingga 1 Ramadhan jatuh pada tanggal 741989 yang berbeda dengan waktu referensi
dengan metode istikmal 841989. Perbedaan ini sama dengan uraian untuk tahun 1430 H, dengan merujuk jumlah hari pada bulan April 30 hari maka wilayah
Bitung timur Indonesia melakukan puasa Ramadhan sebanyak 30 hari dan wilayah barat melakukan puasa selama 29 hari. Untuk tahun 1414 H nilai A dari
waktu kritis sehingga awal Ramadhan sehari sebelumnya 1121994 yang berbeda sehari dengan waktu referensi dengan metode istikaml. Dari kalender LFNU untuk
bulan dan tahun yang sama, diperoleh awal Syawal 1414 H jatuh pada tanggal 1431994 atau puasa Ramadhan di barat Indonesia berlangsung selama 29 hari.
Keterangan : Gambar menggunakan Accurate Times 5.3.
Gambar 9.5 Crescent visibility pada tanggal 1 Februari 1995 Fenomena unik diperlihatkan pada kejadian awal bulan Ramadhan tahun
1415 H Februari 1995, dimana awal Ramadhan ditentukan dari tampaknya Hilalrukhyat ditanggal 121995 sebagaimana Gambar 9.5. Aplikasi Metode
Joguru awal bulan Ramadhan masuk pada tanggal 3111995 A 0.54. Pemantauan slackwater pada tanggal 121995 di Bitung tidak disertai dengan
ketampakan Hilal akibat selisih moonset dan sunset mencapai 1 jam 06 menit matahari lebih awal tenggelam sunset dibandingkan dengan terbitnya bulan box
119 pada Gambar 9.5, adapun dua kota lainnya sebagai kota pembanding Surabaya
dan Bandung memungkinkan untuk menyaksikan Hilal. Kondisi ini menunjukkan bahwa awal Ramadhan di bagian timur lebih awal dibandingkan di wilayah barat
Indonesia. Jumlah hari dibulan Februari 1995 berdasarkan kalender LFNU 28 hari maka diwilayah timur melakukan puasa Ramadhan selama 30 hari 3111995 –
231995 dan lebih dulu 1 hari melakukan shalat Ied idul fitri dibandingkan diwilayah barat. Dari kondisi ini, maka ada potensi wilayah Indonesia menjadi batas
garis penanggalan Hijriah.
Simpulan
Simpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas yakni: 1 menggantikan indikator awal bulan Hijriah dari Hilal first new cresent yang tidak nampak ke
slackwater mempunyai dasar ilmiah untuk menentukan awal bulan baru Hijriah; 2. Pendekatan yang dilakukan dalam Metode Joguru adalah memindahkan waktu
pemantauan bulan baru Hijriah sebesar 3 jam 45
o
sebelum matahari tenggelam; 3. Waktu pemantauan indikator awal bulan Hijriah dengan metode Jiguru
slackwater setalah Ashar adalah membawa titik ikat matahari sebelum sunset sebagai penyesuaian waktu melacak waktu slackwater; 4. Metode Joguru melacak
indikator awal bulan Hijriah setelah shalat Ashar awal, sedangkan Metode astronomy di akhir shalat Ashar dan bersesuaian dengan aspek astronomy; 5
Waktu kritis pemantauan indikator awal bulan Hijriah dengan Metode Jiguru sebesar 54 menit setelah shalat Ashar; 6. Berdasarkan waktu kritis dari Metode
Jiguru semua referansi waktu masuknya bulan Ramadhan dan Syawal mempunyai kesesuaian dengan hasil pemantauanhisab awal bulan baru Hijriah akurasi 100
; 7 Ada indikasi wilayah Indonesia menjadi batas penanggalan Hijriah.
10 PEMBAHASAN UMUM
Variasi amplitudo dan rekonstruksi pergerakan pasang surut
Perhitungan amplitudo konstituen harmonik dengan pengelompokan data berdasarkan penanggalan Hijriah atau data awal perhitungan konstituen harmonic
dimulai pada fase bulan baru mempunyai susunan amplitudo yang konsisten yang saling terpisah antara konstituen harmonik frekuensi astronomy dan deviasi yang
lebih kecil Tabel 3.3. Memperhatikan nilai amplitiudo dan fase konstituen harmonik pasang surut Lampiran 5 - 8 dan hasil konstruksi pergerakan pasang
surut dengan penggunaan 5 konstituen harmonik O
1
, K
1
, N
2
, M
2
dan S
2
dengan signifikan level sebesar 95 Lampiran 29. Informasi yang terdapat pada
Lampiran 29 merupakan data yang mewakili susunan data awal perhitungan konstituen harmonik yang berbeda sebagaimana yang terdapat pada Lampiran 27A
dan Lampiran 26B. Hasil rekonstruksi menjelaskan beberapa hal ; a. Secara umum, grafik rekonstruksi menunjukkan kecilnya perbedaan antara hasil
rekonstruksi prediksi dan data real pengukuran disemua data awal yang berbeda fase bulan.
b. Variasi amplitudo dan fase dari data yang berbeda memberi nilai residu yang berbeda pula, yakni;
1. Pada data awal perhitungan konstituen di fase bulan baru Januari 1987
Jumadil awal 1407 residu terbesar terjadi pada fase akhir kuartil II dari penanggalan Masehi.
2. Data awal perhitungan konstituen harmonik di fase kuartil I variasi tertinggi residu terjadi pada awal dan akhir bulan masehi tersebut bulan Oktober
1987. 3. Gambar rekonstruksi bulan Mei 2010, menunjukkan variasi terkecil residu
dijumpai dipertengahan bulan Masehi tersebut. 4. Rekonstruksi pasang surut dengan data awal saat fase kuartil II Lampiran
28 baris keempat umumnya residunya bernilai 0.10 m, yang berarti nilai residunya lebih kecil dibandingkan ketiga gambar diatasnya.
c. Pengunaan 5 konstituen harmonik dalam rekonstruksi pasang surut terhadap nilai Least Mean Square Tabel 3.3 dan sebaran nilai residu yang dihasilkan
Lampiran 28 menunjukkan ada kecenderungan sebaran residu yang sama antara data awal perhitungan konstitiuen saat fase bulan Kuartil I KW1 dengan
fase bulan Purnama BP walaupun nilai residu pada KW1 BP. Kondisi yang terjadi pada KW1 dan BP, belum diketahui secara pasti, apakah kemiripan
sebaran residu KW1 dan BP akibat nilai Least Mean Square LMS berpola yang sama LMS K
1
LMS S
2
. d. Fenomena pada point c di atas tidak diikuti dengan kesamaan sebaran residu
untuk data yang dimulai pada fase bulan baru BB dan fase kuatil II KW2, dimana keduanya mempunyai milai LMS K
1
LMS S
2
Tabel 3.3. e. Memperhatikan Gambar 3.1B dan Lampiran 5 sampai 8, serta nilai LMS Tabel
3.3 memberi arti secara statistik; makin kecil nilai LMS antara variabel yang sama maka makin kecil nilai residu error yang dihasilkan. Arti secara statistik
tersebut tidak sesuai dengan sebaran nilai residu pada Lampiran 28A.
121 Uraian tiap point di atas, untuk menentukan karakteristik pergerakan pasang
surut berdasarkan nilai amplitudo Gambar 3.1B dan Tabel 3.3, belumlah dapat menentukan karakter dari pola pergerakan pasang surut Amin 1976, Gross et al.
1997, Kvale 2006. Kondisi itu dapat dipahami, dimana rekonstruksi pasang surut tidak hanya melibatkan nilai amplitudo, namun menggunakan juga nilai fase yang
dihasilkan sebagai suatu bentuk gelombang harmonik yang ditentukan oleh periode tiap konstituen Forbes 1982, Foreman 1993, Pugh 1996, Huang et al. 1997.
Penggunaan 5 konstituen harmonik yang dihitung dengan pengelompokan data berdasarkan penanggalan Hijriah menghasilkan nilai residu dari hasil
rekonstruksi yang lebih seragam Lampiran 28B dibandingkan dengan distribusi residu dari rekonstruksi berdasarkan penanggalan Masehi Lampiran 28A.
Perbandingan nilai residu untuk data pengukuran yang sama dengan pengelompokan yang berbeda lihat kembali Tabel 3.1 memperihatkan nilai mean
dari residu rekonstruksi dengan konstituen harmonik dari pengelompokkan data berdasarkan penanggalan hijriah lebih kecil dibandingkan dari pengelompokkan
dengan penanggalan Masehi Tabel 10.1. Nilai deviasi residu menujukkan fenomena yang sama dengan nilai mean, kecuali pada nilai residu pada bulan Mei
2010 yang lebih kecil dibandingkan dengan deviasi pada bulan Jamadil awal 1431 Jaw 1431. Rekapitulasi nilai residu Tabel 10.1 untuk pengelompokan
berdasarkan penanggalan Hijriah lebih memberikan karakter rekonstruksi pada pergerakan pasang surut. Fenomena peerbedaan nilai mean dan deviasinya
bermakna bahwa rekonstruksi pasang surut dengan nilai konstituen harmonik dari pengelompokan penanggalan hijriah lebih akurat 5 cm dibandingkan dari
kelompok penaggalan Masehi Marone et al. 2013.
Tabel 10.1 Perbandingan nilai residu hasil rekonstruksi pasang surut BulanTahun
FB N Min Max Mean Dev Jan 1987
BB 744
-0.1986 0.2194
0.0003 0.0631
Jaw 1407 BB
696 -0.1238
0.1432 0.0000
0.0518 Okt 1987
KW1 744
-0.1710 0.1740
0.0000 0.0564
Saf 1408 BB
696 -0.1619
0.1361 0.0000
0.0470 Mei 2010
BP 744
-0.1469 0.1441
0.0009 0.0452
Jaw 1431 BB
696 -0.1330
0.3433 0.0000
0.0456 Des 2010
KW2 744
-0.0965 0.1505
0.0002 0.0473
Dzul 1431 BB
696 -0.1130
0.1080 0.0000
0.0421
Keterangan : FB = Fase Bulan; BB = Fase bulan baru; KW1 = Fase Kuartil I; BP = Fase Purnama; KW2 =kuartil II.
Kondisi yang sama, diperlihatkan pada hasil analisis data pergerakan pasang surut dengan pendekatan ethnooceanography dan Ethnoastronomy masyarakat
Indonesia timur, menunjukkan adanya karakteristik pergerakan pasang surut berdasarkan waktu penanggalan Hijriah. Karakteristik amplitudo konstituen
harmonik dari data yang tersusun dari fase bulan baru penanggalan Hijriah memberikan nilai yang konsisten antar masing-masing konstituen Tabel 3.3.
Kedua hal tersebut menjadi dasar yang kuat untuk memanfatakan pergerakan pasang surut sebagai indikator waktu dalam kajian kelautan. Pola ritmik dan variasi
tinggi air dalam satu siklus pergerakan pasang surut menginformasikan posisi bulan
122 sebagai komponen gaya pembangkit pasang surut disuatu wilayah. Penentuan
posisi bulan dengan merujuk pada Rasi Bintang 7 RB7 yang digunakan oleh “Suku Pelaut” juga menjadi dasar ilmiah tentang variasi tinggi air yang
berkembang. Secara keseluruhan pada bagian awal desertasi ini berupaya membuktikan nilai-nilai Ethnooceanography dan Ethnoastronomy sebagai suatu
kebenaran ilmiah dalam penggunaan sistem penanggalan Hijriah.
Penggunaan sistem penanggalan Hijriah telah membuktikan adanya karaketristik pergerakan pasang surut berdasarkan waktu pergerakan bulan.
Karakter pergerakan pasang surut dan informasi waktu yang diterapkan oleh masyarakat di Indonesia timur menjadi metode spesifik dan efisien dalam
menerjemahkan dinamika alam sebagai suatu ritmik untuk beraktifitas. Metode Suku Sama mempermudah kita dalam melakukan pengukuran dan perhitungan
tunggang air, Metode Manzilla menunjukan posisi bulan, bumi dan matahari dalam sistem penanggalan Hijriah sekaligus variasi tinggi air, sedangkan Metode Joguru
menunjukan cara menentukan hari dalam penanggalan Hijriah dengan menggunakan pergerakan pasang surut.
Metode Suku Sama dan Metode Manzillah.
Metode Suku Sama MSS merupakan pendekatan praktis dan effektif dalam perhitungan tunggang air yang dilakukan oleh masyarakat Suku Sama.
Analisis data yang hanya menggunakan 2 data pengukuran yakni nilai pada saat maksimum Likkas Boe PasolonLBp dan minimum likkas Boe pangirriLBn dari
peak II pergerakan apasang surut di hari ke 15 bulan Sya’ban, merupakan adalah suatu pemahaman dan pengetahuan yang “tinggi” tentang dinamika pasang surut.
Untuk saat ini metode perhitungan tunggang air baru bisa menghitung tunggang air dengan menggunakan data minimum 25 jam data melalui pendekatan model
Hybrid dengan membandingkan terhadap wilayah lain yang telah diketahui konstituen harmoniknya dan tipe pasang surut yang sama Byun Hart 2015.
Sistem pergerakan bulan-bumi-matahari sebagai dasar pergerakan benda
angkasa astronomy yang membangun sistem penanggalan. Model keplerian dari ketiga obyek astronomy tersebut tidak memberikan perbedaan yang besar antara
sistem penanggalan Hijriah dan Masehi. Pemahaman sistem pergerakan tersebut, perubahan waktunya digambarkan dengan nilai Julian Day JD yaitu pergeseran 3
benda angkasa bulan-bumi-matahari terutama bumi pada titik ikat pada bintang equinox. Hasil penggunaan JD terhadap perhitungan konstituen harmonik pasang
surut belum mampu menentukan karakter pasang surut dalam periode tertentu.
Metode Manzillah dan Metode Suku Sama menunjukan pergerakan bulan pada bulan Sya’ban maksimum di deklinasi 20
o
atau dekat dengan RB7. Posisi tersebut menyebabkan pergerakan air pada peak I dan II akan maksimum
LB maksimum dibandingkan dengan bulan Hijriah lainnya. Hasil perhitungan rasio
amplitudo konstituen harmonik rata-rata dibulan Sya’ban terhadap amplitudo bulan lainnya membuktikan bahwa Rasio Silapas RS sebesar 13
LB pada persamaan perhitungan tunggang air Likkas Silapas mempunyai kesesuaian
dengan total selisih amplitudo konstituen hamonik selain bulan Sya’ban terhadap total amplitudo di bulan Sya’ban. Hal tersebut menjadi indikator tentang fenomena
lain dari pergerakan pasang melalui pemaknaan pergerakan bulan dengan Metode Manzillah
yaitu : :
123 a Pola harmonik pasang surut yang diterjemahkan kedalam konstituen harmonik
pasang surut amplitudo dan fase dominan merupakan pola harmonik dari pergerakan bulan. Pergerakan tersebut dalam siklus bulanan mengikuti irama
ritmik dari sistem penanggalan Hijriah. Ini diperlihatkan pada profil amplitudo konstituen harmonik yang data awalnya dimulai pada fase bulan baru
lebih konstan Tabel 3.3 dibandingkan data awal dari fase bulan lainnya.
b Ada kesesuaian posisi bulan RADec terhadap Rasi Bintang 7 RB7 dan terhadap tinggi air pasang surut; misalnya pada karakter tinggi air pada bulan
Sya’ban, dan kondisi tersebut memungkinkan adanya kesesuaian pada amplitudo harmoniknya. Statemen ini didasarkan bahwa tinggi air yang terukur
adalah akumulasi amplitudo konstituen yang terukur yang polanya ditentukan lewat rekonstruksi pasang surut prakiraan. Selanjutnya, posisi bulan dalam
Metode Manzillah dapat diketahui melalui sistem penanggalan Hijriah bulan dan tahun, dengan memproyeksikan posisi bulan tersebut terhadap RB7.
Proyeksi yang dilakukan menghasilkan karakteristik pergerakan pasang surut dipermukaan bumi berupa variasi tinggi air dari pada peak I dan Peak II yang
berbeda dalam siklus harian pasang surut di bulan dan di tahun Hijriah tertentu.
Gambar 10.1 Model pergantian hari dalam penanggalan Hijriah berdasarkan pergerakan pasang surut
c Profil pergerakan pasang surut dalam bentuk pola Gaussian memberikan informasi penciri waktu skala harian dijumpai pada nilai median, yaitu nilai
tinggi air yang bervariasi makin bergerak naikturun seiring perubahan hari pada satu fase bulan. Waktu terjadinya median optimum bergerak naik
ataupun minimum mengecil dari satu fase bulan menggambarkan tanggal, dimana titik balik nilai median tersebut merupakan batas haritanggal dari
pergerakan bulan. Titik balik tersebut dalam pola pergerakan pasang surut adalah slackwater dengan waktu kritis seberapa jauh slackwater terjadi diantar
waktu shalat fardhu dengan periode kritis ± 0.54 jam Gambar 10.1.
Metode manzillah dan Metode Joguru
Metode Manzillah dan Metode Joguru, secara umum mendefenisikan ruang dipermukaan bumi terhadap pergerakan bulan dan matahari. Saat ini kita pahami
sinar matahari dan rotasi bumi dari barat ke timur menjadi dasar sistim haripenanggalan, dimana pergerakan semu matahari menghasilkan wilayah timur
124 dibumi menjadi lebih awal dalam sistem penanggalan Masehi. Penanggalan Hijriah
yang dimulai saat matahari tenggelam Magrib atau sekitar jam 18:00 LT, memberikan pola pergerakan harian dalam penanggalan yang berbeda, mengikuti
ruang gelap dibumi seiring rotasi bumi. Ini menggambarkan antara wilayah timur Indonesia lebih dulu gelap dibandingkan diwilayah barat Indonesia, sehingga
penanggalan Hijriah lebih awal pula. Dengan mempertimbangkan sejarah penanggalan Hijriah melalui perjalanan hijrah baginda Rasul Muhammad SAW,
maka pola ruang dalam satu hari dimulai dari tanah arab, benua Afrika, Benua Amerika, laut pasifik, wilayah Indonesia dan kembali ke tanah arah. Pola tersebut
berlawanan arah dengan pergeran rotasi bumi, meskipun arah pergerakan bumi dan bulan bergerak dari arah barat ke timur. Dengan memahami pola ruang penanggalan
Hijriah, maka kita tidak dapat menarik waktu ibadah tahunan Puasa Ramadhan, shalat Ied dan Haji langsung dari tanah Arab ke Indonesia melalui wilayah disisi
barat Arab menuju ke timur.
Aplikasi metode Manzillah, memberikan pengetahuan dasar bagi kita tentang posisi bulan terhadap bumi dan matahari sekaligus identifikasi sistem
penanggalan Hijriah. Variasi posisi bulan terhadap Rasi Bintang 7 RB7 secara langsung akan mempengaruhi dinamika massa air dipermukaan bumi, dengan
menghasilkan profil pergerakan pasang surut yang berbeda disetiap periode waktu tertentu. Pergerakan bulan akan diikuti oleh pasang surut sebagai indikator umum
alhillal yang serupa dengan perubahan bentuk bulan dalam siklus bulanan. Indikator penentu awal bulan Hijriah berdasarkan Metode Joguru MJ terdapat
pada waktu terjadinya slackwater t
sw
air bergerak pasang diakhir bulan Hijriah. Indikator tersebut didasarkan pada kondisi ijtimakkonjungsi menyebabkan bagian
bumi dalam siklus harian pasang surut di hari terakhir bulan Hijriah dalam kondisi surut. Hal tersebut terjadi dalam kondisi global di bumi, dimana kutup bumi yang
tegak lurus langsung ke Matahari dan Bulan saat ijtimak mengalami pasang bulge sedangkan lokasi pemantauan Hilal adalah sisi di bumi yang membentuk sudut
45
o
dari garis lurus saat ijtimak. Oleh karena itu jam mulainya awal bulan baru Hijriah dimulai saat air bergerak surut ke pasang akhir peak II.
Waktu Jam masuknya hari di awal bulan Hijriah antara waktu shalat Ashar dan Magrib dengan indikator slackwater, banyak diaplikasikan oleh masyarakat di
Maluku Utara untuk mengakhiri puasa diakhir bulan Ramadhan. Hal tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa puasa mereka diakhir bulan ramadhan telah
masuk bulan Syawal sejak slackwater pergerakan pasang surut terjadi. Fenomena ini memperkuat bahwa masuknya awal bulan Hijriah di tiap wilayah dipermukaan
bumi akan berbeda, perbedaan tersebut didasarkan posisi bulan saat ijtimak.
Kondisi ketidaknampakan bulan sabit tipis first new cresent saat awal bulan baru Ramadhan dan Syawal di wilayah Tidore dan Bitung, serta aplikasi
Metode Joguru MJ dalam menentukan awal bulan baru melalui pergerakan pasang surut, maka beberapa hal yang perlu untuk dicermati antara lain :
a Kehadiran bulan sabit tipis first new cresent yang banyak diartikan sebagai
“parameter” masuknya bulan baru, tidak dapat diterapkan secara umum disetiap wilayah dipermukaan bumi. Sekaligus juga Hilal yang dimaksud dalam metode
umum pemantauan awal bulan baru Hijriah Astronomy adalah indikator dari perubahan posisi bulan.
125 b Dengan pola yang tetap sepanjang tahun wilayah Tidore dan Bitung tidak
menyaksikan Hilal awal bulan Hijriah, maka terdapat wilayah dipermukaan bumi yang sepanjang tahun akan melihat tampaknya Hilal, dan sebagaian
wilayah lagi tidak melihat Hilal serta sebagian lagi menjadi daerah pergeseran tampaknya Hilal Gambar 10.2.
Keterangan; Sumber peta Goegle earth; [A] garis putih bergerak naik ascending Deklinasi bulan – bumi = 5.145
o
Hicks Szabados 2006; [B] garis kuning bulan bergerak menurun desending Deklinasi bulan – bumi; [C] garis hitam, inclinasi bumi -matahari ke GBU 23 12
o
; [D] garis hitam putus-putus, inclinasi bumi -matahari ke GBS 23 12
o
; [E] garis biru, total decliansi 5
o
+2312
o
+ 1
o
Inclinasi bumi-matahari bergerak ascending; [F] garis biru putus-putus, total bergerak desending
Gambar 10.2 Proyeksi lokasi abu-abu gray area ketampakan Hilal Adanya potensi menentukan batas garis penanggalan berdasarkan
pergerakan bulan penanggalan Hijriah untuk penyusunan kalender islam internasional Amri 2012, Kurniawan 2016. Dengan memaknai kejadian tidak
terlihatnya Hilal di Tidore, berarti ada titik awal ruang dipermukaan bumi yang menjadi indikator pergerakan bulan. Selanjutnya dengan menilai selisih waktu
ijtimak antara bulan dan matahari di Tidore 1 jam 15 menit maksimum dan paling rendah 22 menit Tabel 7.1 berarti wilayah batas bagian timur terdekat dengan
Tidore barat Tidore berada sejauh 5.5
dari posisi stasiun Doelamo Tidore 1 jam = 15
o
, sedangkan batas maksimumnya sebelah barat sejauh 18,75
o
ke arah barat. Lokasi tersebut merupakan lokasi yang samar-samar Gray area untuk dapat
melihat Hilal. Posisi Akebai berada pada bujur 127
o
21’ 54”BT, maka gray area tersebut berada pada batas bujur 121°5154.00E terdekat dan terjauh pada posisi
108
o
36’ 54”BT Gambar 10.2.
Ijtimak dan indikator awal bulan baru Hijriah dengan Metode Joguru
Umumnya dipahami bahwa terlihatnya Hilal first new cresent disuatu tempat, maka tempat tersebut merupakan sumbu utama peristiwa ijtimak dalam
penentuan awal bulan baru Hijriah. Para
kalangan ahli hisab terdapat pula perbedaan dalam penentuan awal bulan Hijriah, diantaranya, terdapat pendapat yang menyatakan
bahwa awal bulan baru itu ditentukan hanya oleh terjadinya ijtimak
sedangkan yang
126 lain mendasarkan pada terjadinya ijtimak dan posisi Hilal. Kelompok yang
berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai
masuk.
Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan Hilal dapat dirukyah atau tidak. Sedangkan kelompok yang berpegang pada terjadinya ijtimak dan posisi Hilal
menetapkan jika pada saat Matahari terbenam setelah terjadinya ijtimak dan posisi Hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan
baru dimulai.
Jayusman 2015
.
Kondisi ijtimak digambarkan dengan posisi bulan dan matahari searah dilihat dari bumi dan terjadi pada siang hari sebagaimana
Gambar 10.3A Ilyas 1994, Maskufa Widiana 2012.
Gambar 10.3 Illustrasi kondisi ijtimak dan karakteristik pasang surut Ijtimak terjadi apabila Matahari dan Bulan berada pada kedudukanbujur
astronomi yang sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah konjungsi conjunction dan dalam bahasa Jawa disebut pangkreman Jayusman 2015.
Ijtimak dalam ilmu hisab dikenal juga dengan istilah ijtima ‟ an-nayyirain. Ijtimak
itu adakalanya terjadi setelah Matahari terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari terbenam. Ijtimak setelah Matahari terbenam, posisi Hilal masih
di bawah ufuk dan pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu:
a. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah Gambar 10.3B. b. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah.
c. Hilal belum wujud di atas ufukmasih di bawah ufuk dan pasti tidak mungkin
bisa dirukyah.
127 Tahapan ijtimak selanjutnya akan membentuk fase bulan baru dan
ketampakan Hilal firs new cresent yang mempunyai fase lag maksimum sekitar 15.4 jam hingga terlihatnya Hilal dengan mata biasa, 12.7 jam dengan binocular
dan 12.1 jam dengan menggunakan teleskop Caldwell Laney 2001 dengan kecepatan bulan terhadap bumi berkisar 12
o
hari – 14.5
o
hari King 1988. Gambaran mekanisme terbentunya bulan sabit serta ukurannya Dizer 1984
menggambarkan secara matematis ukuran bulan sabit sebagai proyeksi cahaya matahari celah yang sampai kebulan setelah fase bulan baru Gambar 10.3D.
Dari hal ini maka secara keseluruhan indikator awal bulan baru Hijriah secara astronomy diawali dengan Ijtimak, fase bulan baru dan ketampakan Hilal.
Terkait dengan indikator bulan sabit tipis Hilal, sesungguhnya pemantau tidak bisa menyaksikan Hilal tersebut jika posisinya berada digaris utama titik A
pada Gambar 10.3C dari peristiwa ijtimak yang melalui sumbu masing-masing Matahari-Bumi-Bulan. Saat ijtimak, pergerakan pasang surut optimum dan
terbentuk bulges disisi yang menghadap matahari dan bulan teori equibilirium tide. Merujuk pada waktu synodic bulan terhadap bumi sebesar 1.54 menitperhari
bulan dan bumi bergeser posisi dan pergeseran matahari terhadap bumi sebesar 1
o
hari, maka untuk menyaksikan Hilal sangat ditentukan oleh rotasi bumi dengan kecepatan 15
o
jam. Kondisi tersebut berarti ijtimak awal bulan hijriah terjadi dalam periode 1 hari penuh, dan titik awal ruang di permukaan bumi masuknya bulan
baru hijriah harus merujuk pada mekanisme siklus harian bulan penanggalan hijriah. Siklus harian penanggalan Hijriah dimulai pada jam 18:00 LT atau
menjelang malam hari selepas shalat Magrib hingga sebelum Shalat Magrib dihari berikutnya.
Uraian alinea sebelumnya serta uraian waktu referensi penerapan Metode Joguru Bab 9, halamana 109 dapat digambarkan fenomerna ijtimak dan indikator
awal bulan baru dengan Metode Joguru Gambar 10.3. Gambar tersebut menjelaskan beberapa hal :
a Ijtimak sebagai parameter awal bulan baru Hijriah untuk suatu wilayah tertentu
di permukaan bumi harus terjadi antara shalat Ashar dan Magrib, Hal ini didasarkan pada siklus harian penanggalan hijriah berakhir sebelum shalat
Magrib dan ketampakan Hilal atau bulan sabit tipis first new cresent optimum terlihat saat menjelang gelap atau sebelum shalat Magrib.
b Saat ijtimak terjadi pertama kali, ruang dipermukaan bumi tidak serta merta langsung dapat melihat bulan Hilal, hal ini diakibatkan saat ijtimak dan
synodic bulan sebagai akhir siklus bulanan rotasi bulan dengan terjadi pada wilayah tertentu di permukaan bumi masih dalam keadaan terang. Saat kondisi
ini proyeksi bayangan bumi di bulan Hilal dikalahkan oleh cahaya Matahari sehingga tidak dapat terlihat maupun akibat bulan belum dapat menerima
cahaya matahari karena terhalang oleh Bumi.
c Untuk melihat Hilal secara optimum, maka rotasi Bumi yang mengarahkan suatu lokasi untuk dapat melihatnya setelah ijtimak dan atau setelah fase bulan
baru pertama kali terjadi sekitar 2 jam sebelumnya, sehingga ketampakan Hilal bersamaan dengan pergerakan pasang surut optimum bulge sebagaimana
Gambar 10.3B dengan lama waktu rotasi sebesar t.
d Keterlambatan bulan terbit moonset setelah ijtimak, memberi batasan kepada kita mengartikan makna ijtimak itu sendiri, dimana cahaya bulan dapat terlihat
128 pertama kali moonset diawal bulan hijriah adalah fungsi rotasi bumi
sebagaimana uraian pada point ”c”, sedangkan ijtimak sendiri sudah terjadi sekitar 2 jam sebelumnya.
e Uraian pada point “d” menunjukkan bahwa ijtimak yang disertai dengan tampaknya Hilal, terjadi setelah 2 jam kemudian setelah ijtimak terjadi
pertamakalinya usai shalat Ashar. Beda waktu tersebut, memperlihatkan fenomena pergerakan pasang surut dalam kondisi surut Gambar 10.3E.
Fenomena ini dapat juga diartikan sebagai indikator slackwater sebagai informasi akhir dari siklus bulan dalam 1 bulan hijriah.
f Fenomena pada point “e” menunjukkan bahwa indikator slackwater sebagai lokasi akhir penanggalan hijriah dari parameter ijtimak yang tidak dapat
menyaksikan Hilal lihat point b dan hanya dapat terjadi dilokasi tertentu. g Lokasi tertentu pada point “f” adalah lokasi dimana saat terjadi ijtimak
pertamakali sudah melewati waktu shalat Ashar. h Secara umum identifikasi parameter ijtimak dengan indikator ketampakan Hilal
maupun slackwater, perhitungan hari keduanya dimulai pada waktu yang sama yakni setelah shalat Magrib untuk masing-masing wilayah.
Rangkaian uraian di atas tentang hubungan ijtimak dengan indikator terlihatnya Hilal first new cresent dari pendekatan astronomy dan fenomena
slackwater dari Metode Joguru merupakan informasi yang sama dalam menentukan masuknya hari pertama bulan hijriah Ramadhan dan Syawal. Dari pembagian
ruang potensi ketampakan Hilal Gambar 10.2, maka wilayah yang pertama kali menyaksikan Hilal secara asronomy first new cresent adalah wilayah di grey area.
Lebih lanjut, dari Metode Joguru dengan indikator slackwater memberi makna sebagai fenomena akhir dari siklus bulanan dalam penananggalan Hijriah, lokasi
penerapan Metode Joguru Doelamo menjadi kordinat bujur awal dan akhir dari sistem penanggalan Hijriah yang sama dengan “GMT Greenwich Mean Time”
pada sistem penanggalan Masehi, sehingga memungkinkan untuk penyusunan kalender Hijriah Raharto 2009.
Kondisi yang terjadi di Bitung dan Tidore tersebut, maka perlu didefenikan kembali redefenisi makna kata Hilal. Defenisi umum kata Hilal adalah muncul
bulan sabit tipis first new cresent beberapa saat setelah posisi bulan bumi dan matahari berada pada satu garis lurus ijtimak. Pendefenisian kembali tersebut
sangat penting dilakukan agar beberapa hal yang menjadi sumber ketidaksepahaman dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal dapat
diselesiakan. Dua hal mendasar dalam penelitian ini memungkinkan pendefenisian kata Hilal Djamaluddin 2004 dengan mempertimbangkan yaitu :
a Eksistensi Kesultanan Tidore dengan Metode Joguru, hal ini berkesan bahwa
para Joguru tidak memahami dalil tentang penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Kesan tersebut sangat bertentangan dengan kiprah Kesultanan Tidore
sebagai pusat siar Islam tertua di Indonesia. b Pendekatan astronomy dalam penentuan awal bulan Hijriah metode umum
yang diterapkan selama ini, perlu untuk dimaknai lebih komprehensif terhadap kondisi wilayah di Indonesia. Hal ini akibat tidak semua bagian permukaan
bumi dapat melihat Hilal saat ijtimak, sehingga kriteria yang menjadi dasar masing-masing ormas maupun kelompok masyarakat mengamatimenghitung
ketampakan Hilal mempunyai metode dan nilai pembanding.
129
NIlai kritis penentuan awal bulan baru dengan Metode Joguru selama 54 menit
setelah waktu shalat Ashar dan waktu terjadinya slackwater t
sw
dapat dijadikan waktu referensi dalam menentukan lokasi pemantauan optimum disisi
barat stasiun pengguna metode Joguru Gambar 10.4B. Mekanisme tersebut merupakan pengembangan dari penentuan waktu kritis Gambar 9.3 untuk prediksi
waktu moonset melalui waktu terjadinya slackwater.
Gambar 10.4 Mekanisme penentuan lokasi dan waktu optimum pemantauan Hilal berdasarkan referensi waktu terjadinya slackwater dari pergerakan
pasang surut. Merujuk Gambar 10.4, secara sederhana penentuan lokasi dan waktu
terlihatnya Hilal dilakukan dengan pendekatan teknik translasi yaitu dilakukan dengan memindahkan bangun segitiga waktu Shalat ashar dan magrib terhadap
waktu moonset dari bangun segitiga ts
w
,0, posisi bulan Gambar 10.4B. Translasi dilakukan merujuk pada waktu moonset ke waktu shalat magrib. Waktu rujukan
tersebut akibat perubahan waktu, bulan akan bergerak mendekati atau berada disekitar waktu Shalat Magrib moonset. Penggunaan waktu shalat sebagai waktu
referensi akibat waktu shalat akan menjelaskan posisi matahari terhadap lokasi tertentu melalui ukuran bayangan sudut tertentu lihat persamaan pada box.B.
Teknik translasi menentukan waktu pemantauan dan lokasi pemantauan sebagai berikut:
a Waktu terjadi slackwater t
sw
disamakan dengan waktu lokal masing-masing wilayah yang direncanakan untuk pemantauan Hilal dengan merujuk waktu
shalat ashar tsw di tiap lokasi.
130 b Waktu pemantauan tpan adalah waktu shalat Ashar masing-masing lokasi
ditambahkan selisih slack water shalat Ashar tsw dijumlahkan dengan selisih
waktu moonset tms yang pergeseran waktunya dinotasikan sebagai tpan.
c Selisih waktu antara moonset dan waktu shalat magrib m adalah waktu
minimal munculnya bulan moonset di lokasi tersebut. d Lokasi pemantauan optimum tpan adalah posisi stasiun referensi penentuan
awal bulan baru Hijriah dengan metode Joguru dikurangi dengan ms yang
telah dikonversi ke derajat degree tms.
Mempertimbangkan waktu kritis dari Metode Joguru 54 menit setelah waktu Shalat Ashar, maka wilayah paling dekat dengan lokasi penerapanMetode
Joguru harus mempunyai selisih waktu sebesar 2 jam 6 menit. Perbedaan jam antara barat dan timur Indonesia sebesar 2 jam maka memungkinkan penentuan waktu dan
lokasi pemantauan Hilal secara astronomy dapat ditentukan. Lebih lanjut dengan mempertimbangkan waktu masuknya waktu shalat Ashar tehadap waktu imaginer
matahari
1, maka secara umum lokasi pemantauan optimum ini akan berada kurang dari selisih 2 jam 30
o
Bujur disisi barat lokasi penerapan metode joguru. Lokasi optimum ini akan melihat Hilal dengan ketinggian bulan sudut minimal
dari kriteria ketampakan Hilal, sedangkan lebih kearah baratnya akan melihat Hilal dengan tinggi sudut yang lebih besar.
Waktu sudut dari 1, adalah waktu yang menjelaskan posisi matahari di
sekitar ekuator. Posisi matahari di utara, ekuator dan selatan akan berpengaruh pada lintasan penyinaran matahari di permukaan bumi. Kondisi tersebut menyebabkan
sudut matahari terhadap lokasi tertentu akan bervariasi dan berpengaruh terhadap waktu masuknya shalat fardhu Shalat Ashar yang berbeda dibeberapa wilayah
terhadap waktu imaginer.
Solusi penentuan awal bulan baru Hijriah di Indonesia
Perbedaan waktu selama 2 jam antara wilayah barat dan timur Indonesia, sama halnya dengan 8 dari rotasi bumi terhadap pergerakan bulan selalu melintasi
wilayah Indonesia. Hal tersebut cukup bagi Indonesia untuk melakukan pelacakan tracking posisi bulan dan matahari dan mengambil kesimpulan waktu dan lokasi
pemantauan Hilal yang tepat. Potensi tersebut diperlihatkan pada selisih rotasi bumi terhadap bulan ±4 menit untuk pergerakan rotasi bumi 1
o
dan lokasi awal hari bulan. Lokasi hari bulan dimaksud merupakan lokasi di bumi dimana bulan pertama
kali bergerak dalam satu kali rotasi bumi setelah konjungsi ijtimak. Dengan mempertimbangkan kondisi yang terjadi di Maluku Utara Tidore dan Bitung
Sulawesi Utara yang tidak melihat Hilal, maka perlu dibangun sistem koordinasi antara wilayah, dimana wilayah tersebut dapat melihat Hilal dengan tidak
mengabaikan ummat lain melakukan aktifitas ibadah Shalat Sunnat Tarawih.
Pemahaman pada fenomena tersebut di atas harus dipahami dengan tepat, sehingga saat pemantauan Hilal mempunyai referensi ruang dan waktu yang tepat
untuk melihat Hilal dan juga menjadi parameter evaluasi dari laporan hasil pemantauan Hilal yang dilakukan oleh ormas Islam atau lembaga pemantau Hilal
di Indonesia. Persoalan lain terkait dengan mekanisme penentuan awal bulan Hijriah terutama bulan Ramadhan oleh pemerintah adalah keterlambatannya
mengambil keputusan saat Sidang Isbat karena menunggu pemantauan yang dilakukan oleh umat islam di Indonesia barat, hal tersebut mengakibatkan umat
131 Islam di Indonesia bagian Timur akan menunda atau tidak sama sekali melakukan
shalat sunnat Tarawih di malam pertama puasa Ramadhan. Hal lain, yang perlu dipahami bahwa kondisi wilayah kepulauan memberi
batasan ruang pematauan Hilal dengan pendekatan astronomy yaitu : 1. Terbatasnya luas daratan untuk dijadikan lokasi pemantauan Hilal yang
optimum, akibat pergeseran ruang di bumi yang menjadi titik balik pergantian hari dapat saja terjadi di wilayah perairan laut.
2. Waktu pemantauan Hilal dengan metode astronomy bersamaan dengan pergerakan pasang awal bulan Hijriah menyebabkan cahaya matahari
terhalang oleh lengkungan bola bumi bulge air pasang dan cahaya bulan Hilal, sehingga potensi melihat Hilal tidak maksimal akibat pembiasan
cahaya oleh laut.
Uraian di atas menghasilkan beberapa solusi yang dalam penentuan awal bulan baru Hijriah dengan merujuk hasil penelitian ini yaitu :
1. Ketampakan Hilal astronomy maupun makna Hilal yang diperluas dengan mengaplikasikan Metode Joguru merupakan keputusan final awal bulan baru
Hijriah. Aplikasi Metode Joguru hanya pada wilayah yang tidak pernah menyaksikan Hilal Gambar 10.2. Hal ini juga berarti, sidang isbat penentuan
awal bulan Ramadhan dan Syawal dapat dilakukan secara terpisah dengan sidang isbat untuk wilayah Indonesia barat.
2. Metode Joguru dijadikan referensi baru penentuan awal bualan baru Hijriah ataupun referensi pembanding dalam penentuan awal bulan baru Hijriah untuk
wilayah yang termasuk wilayah gray area Indonesia barat pada Gambar 10.2. 3. Metode Joguru segera diaplikasikan kembali penggunaannya oleh Kesultanan
Tidore, dimana informasi lain yang dihasilkan dapat menentukan lokasi optimum pemantauan Hilal diwilayah barat Indonesia dengan merujuk titik ikat
waktu ijtimak dengan indikator waktu slackwater terhadap waktu shalat Ashar. 4. Lokasi pemantuan Hilal optimum yang merujuk dari Metode Joguru harus
menjadi dasar referensi lokasi dan waktu terlihatnya Hilal guna mengambil keputusan saat sidang isbat penentuan awal bulan bar Ramadhan dan Syawal di
Indonesia. Metode Joguru, memberi makna baru dalam melakukan pemantauan awal
bulan baru berdasarkan karakteristik pergerakan pasang surut. Pendekatan referesi waktu pengukuran jam matahari yang merujuk pada waktu shalat fardhu dapat
diaplikasikan pada pemantauan Hilal di lokasi lain. Dengan cara tersebut, maka lokasi optimum menyaksikan Hilal dengan kriteria ketinggian bulan tertentu dapat
dirumuskan dengan tepat, sekaligus juga dapat ditentukan lokasi referensi pemantauan Hilal dan waktu potensial menyaksikan Hilal.
11 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penanggalan Hijriah memberi karakter pada pergerakan pasang surut pada skala harian, mingguan, bulanan serta tahunan. Perhitungan konstituen harmonik
pasang surut, data sebaiknya tersusun berdasarkan penanggalan Hijriah untuk menghasilkan deviasi amplitudo relatif stabil dan membentuk pola yang sama
sepanjang tahun; Perhitungan tunggang pasang surut dengan Metode Suku Sama MSS sangat efektif, hanya menggunakan dua data pengukuran yang hasilnya
sama dengan perhitungan menggunakan nilai konstituen harmonik; Tunggang air atau Likkas Silapas LS selain bulan Sya’ban berada di bawah nilai tunggang air
rata-rata atau Mean Hight Water Level MHWL dan pengukuran tunggang air dengan MSS tidak dapat dilakukan pada pasang surut difase bulan baru.
Selisih tinggi air atau Likas boe LB bulan Sya’ban relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan bulan lainnya; adanya kesamaan penggunaan nilai 13 33 dari persamaan perhitungan tunggang air dengan menggunakan MSS dan dengan
menggunakan selisih rasio amplitude; Tunggang air rata-rata atau Mean Hight Water Level MHWL tidak memberi pengaruh nyata tiap bulan Hijriah F
hit
0.5, sedangkan tunggang air HHWL memberi pengaruh yang nyata F
hit
0.5; Tunggang air tertinggi atau Hightest hight water level HHWL di Bulan Sya’ban,
Dzulhijjah dan Djumadil awal lebih berpengaruh nyata pada nilai tunggang air dibandingkan bulan lainnya.
Cara suku pelaut Metode Manzillah efektif dalam mengidentifikasi waktu dalam penanggalan Hijriah dan variasi tingi air peak melalui penentuan posisi
bulan terhadap Rasi bintang 7 RB7; Metode Manzillah mempunyai dasar ilmiah menentukan variasi tinggi pergerakan pasang surut dalam periode bulan dan tahun
Hijriah; Makin jauh bulan dari ekuator langit RB 7 dengan deklinasi negatif Dec - maka peak I peak II siklus harian pergerakan pasang surut dan sebaliknya jika
deklinasi positif Dec + maka peak I peak II dan posisi bulan di sekitar ekuator langit peak I
peak II. Penentuan awal bulan baru dengan Metode Joguru merupakan hasil Ijtihad
akibat bulan sabit tipis di awal bulan baru Ramadhan dan Syawal tidak pernah terlihat di wilayah Tidore dan sekitarnya; Tidak terlihatnya Hilal akibat bulan
terlambat terbit moonset sebelum shalat Magrib; Hisab awal bulan Ramadhan dan Syawal untuk wilayah Tidore Kepulauan dan sekitarnya tidak dapat diterapkan
akibat tidak memenuhi syarat sebagaimana yang termuat dalam dalil tentang penentuan awal bulan Hijriah; Ada korelasi yang kuat R
2
= 0.87 – 0.85 antara variasi tinggi air tiap peak I dan II terhadap awal masuknya bulan baru Hijriah;
Koefesien determinasi R
2
untuk parameter Gaussian dan slackwater memberi karakter hari masuknya bulan baru Hijriah, dengan makin bergesernya hari menuju
bulan baru, maka makin kecil nilai koefesien determinasinya; Waktu terjadinya slackwater dan median menjadi indikator penentu awal masuknya awal bulan baru
Ramadhan dan Syawal.
133 Menggantikan indikator awal bulan Hijriah dari Hilal first new cresent
yang tidak nampak di Tidore ke slackwater merupakan pendekatan ilmiah untuk menentukan awal bulan baru Hijriah dengan memindahkan waktu pemantauan
sebesar 3 jam 45
o
sebelum matahari tenggelam; Waktu pemantauan dengan metode Joguru slackwater harus dilakukan setalah Ashar dengan waktu kritis
sebesar 54 menit; Perbandingkan waktu masuknya bulan Ramdhan dan Syawal dari Metode Joguru dengan data referensi mempunyai kesesuaian akurasinya 100 ;
Ada indikasi wilayah Indonesia menjadi batas penanggalan Hijriah.
Solusi penentuan awal bulan baru hijriah di Indonesia dari Metode Joguru yaitu; Metode Joguru dijadikan metode baku referensi baru dalam penentuan awal
bulan Ramadhan dan Syawal untuk wilayah yang tidak pernah menyaksikan Hilal sekaligus dapat melakukan sidang isbat secara terpisah dengan sidang isbat untuk
wilayah Indonesia barat; Metode Joguru segera diaplikasikan kembali penggunaannya oleh Kesultanan Tidore, dimana informasi lain yang dihasilkan
dapat menentukan lokasi optimum pemantauan Hilal diwilayah barat Indonesia dengan merujuk titik ikat waktu ijtimak dengan indikator waktu slackwater
terhadap waktu shalat Ashar; Lokasi pemantuan Hilal optimum yang merujuk dari Metode Joguru harus menjadi dasar referensi lokasi dan waktu terlihatnya Hilal
guna mengambil keputusan saat sidang isbat penentuan awal bulan bar Ramadhan dan Syawal di wilayah Indonesia barat; Pendekatan referesi waktu pengukuran jam
matahari yang merujuk pada waktu shalat fardhu dapat diaplikasikan untuk kriteria ketampakan Hilal tinggi bulan dari pemantauan Hilal di lokasi lain.
Saran
Hasil penelitian ini disarankan : 1. Dilakukan penjejakan pergerakan pasang surut di wilayah barat Indonesia
dengan jumlah data pasang surut lebih representatif sebagai repetisi dari Metode Suku Sama MSS, Metode Manzillah MM dan Metode Joguru MJ.
2. Dilakukan perhitungan waktu pergerakan bulan, bumi dan matahari dengan merujuk pada bintang
Monoceros pada Rasi Bintang 7 RB7, sebagai pengganti nilai Julian Day dalam perhitungan konstituen harmonik pasang
surut. 3. Dilakukan kajian lebih detail tentang pola pergerakan bulan, bumi dan matahari
dengan Metode Manzillah untuk kajian perubahan iklim.
DAFTAR PUSTAKA
Amin M. 1976. The fine resolution of tidal harmonics. Geophysical Journal International. 442:293-310
Amri R. 2012. Upaya penyatuan kalender Islam di Indonesia Studi atas Pemikiran Thomas Djamaluddin. Ishraqi 101:1-15
Anshari ES. 2009. Ilmu, Filsafat dan Agama ed Revisi. Jakarta: Bina Ilmu. Anwar S. 2008. Perkembangan pemikiran tentang kalender Islam internasional. Di
dalam: Musyawarah Ahli Hisab dan Fikih Muhammadiyah, Yogyakarta. 21-22 Jumadas Saniah 1429 H 25-26 Juni 2008.; Yogyakarta.
Arabelos D, Papazachariou D, Contadakis M, Spatalas S. 2010. A new assimilation tidal model for the Mediterranean Sea. Ocean Science Discussions. 75
Arbab AI. 2005. Evolution of angular momenta and energy of the Earth-Moon system. Acta Geodaetica et Geophysica Hungarica. 401:33-42
Azhari S. 2005. Ensiklopedi hisab rukyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azhari S. 2006. Karakteristik Hubungan Muhammadiyah dan NU dalam
Menggunakan Hisab dan Rukyat. Al-Jamiah: Journal of Islamic Studies. 442:453-486
Azhari S. 2010. Perkembangan Kajian Astronomi Islamdi Alam Melayu. Journal of Fiqh. 7:167 - 184
Baart F, Van Gelder PH, De Ronde J, Van Koningsveld M, Wouters B. 2011. The effect of the 18.6-year lunar nodal cycle on regional sea-level rise estimates.
Journal of Coastal Research. 282:511-516 Baity EC, Aveni AF, Berger R, Bretternitz DA, Clark GA, Dow JW, Kelley DH,
Klejn LS, Loops H, Muller R. 1973. Archaeoastronomy and ethnoastronomy so far [and comments and reply]. Current anthropology.
144:389-449 Barnes J, Efstathiou G. 1987. Angular momentum from tidal torques. The
Astrophysical Journal. 319:575-600 Boon J. 2006. World Currents User Manual v1. 01. USA, 23p.
Bursa M. 1986. Variations in the moons mean motion due to the earths tides. Bulletin of the Astronomical Institutes of Czechoslovakia. 37:80-84
Bursa M. 1987. The tidal evolution of the Earth-Moon system. Bulletin of the Astronomical Institutes of Czechoslovakia. 38:321-324
Butikov EI. 2002. A dynamical picture of the oceanic tides. American Journal of Physics. 7010:1001-1011
Byun D-S, Hart DE. 2015. Predicting Tidal Heights for New Locations Using 25 h of in situ Sea Level Observations plus Reference Site Records: A Complete
Tidal Species Modulation with Tidal Constant Corrections. Journal of Atmospheric and Oceanic Technology. 322:350-371
Caldwell JA, Laney CD. 2001. First Visibility of the Lunar crescent. African skies. 5:15-25
Capuano P, De Lauro E, De Martino S, Falanga M. 2012. Observations of the 18.6- year cycle effects on the sea-level oscillations in the North Atlantic Ocean.
EPL Europhysics Letters. 1003:39003 Cartwright D, Edden AC. 1973. Corrected tables of tidal harmonics. Geophysical
Journal International. 333:253-264
135 Cartwright D, Tayler R. 1971. New computations of the tide-generating potential.
Geophysical Journal International. 231:45-73 Chao B, Ray R, Gipson J, Egbert GD, Ma C. 1996. Diurnalsemidiurnal polar
motion excited by oceanic tidal angular momentum. Journal of Geophysical Research: Solid Earth. 101B9:20151-20163
Chen Y, Chen G, Yeh H, Jeng D. 2010. Estimations of tidal characteristics and aquifer parameters via tide-induced head changes in coastal observation
wells. Hydrology and Earth System Sciences Discussions. 76:9155-9171 Chereau F. 2004. Stelarium 0.12.3 Slashdot Media.
Darwin GH, Darwin F, Brown EW. 1907. Scientific papers. University press. De Mees T. 2007. On the Tides paradox. The general science journal.
http:www.mrelativity.netPapers14tdm17.pdf [Unduh 23 April 2014]
Defant A. 1958. Ebb and flow; the tides of earth, air, and water. Ann Arbor, University of Michigan Press [1958]. 1
DEPAG 2013. Ilmu Falak Praktik. Jakarta:, Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat, Direktorat Urusan Agama Islam Pembinaan Syariah,
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia. Cetakan Ke-1, November 2013: 244.
Dinata Y. 2014. Rumus dan parameter variabel fase Hilal awal bulan penentu garis tanggal kalender hijriah internasional. Di dalam: Proceding International
Conference on Qur’anic Studies Centre of Qur’anic Studies PSQ. Jakarta, February 15 -16 , 2014.
Dizer M. 1984. A calculation method for the visibility curve of the new moon. Bosphorus University.
Djamaluddin T. 2000. Re-evaluation of hilaal visibility in indonesia. Warta LAPAN. 24:137-138
Djamaluddin T. 2004. Redefinisi Hilal Menuju titik Temu Kalender Hijriyah. Pikiran Rakyat.20-21
Djamaluddin T. 2009. Faktor penting dalam penentuan kriteria Hisab Rukyat Handout . Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Hilal. Lembang – Jawa
Barat-19 Desember 20092 Muharram 1431 H. . Kelompok Keilmuan Astronomi dan Observatorium Bosscha, FMIPA–ITB, Observatorium
Bosscha, FMIPA–ITB. hlm 27-30.
Doodson AT. 1921. The harmonic development of the tide-generating potential. Proceedings of the Royal Society of London. Series A, Containing Papers
of a Mathematical and Physical Character. 100704:305-329 Dunn OJ, Clark VA. 1974. Applied statistics: analysis of variance and regression.
Forbes JM. 1982. Atmospheric tide: 2. The solar and lunar semidiurnal components. Journal of Geophysical Research: Space Physics. 87A7:5241-5252
Foreman M. 1977. Manual for tidal heights analysis and prediction, Pacific Mar. Sci. Rep. 79:15-70
Foreman M. 1978. Manual for Tidal Currents Analysis and Prediction, Pacific Marine Science Report 78-6, Institute of Ocean Sciences, Patricia Bay,
Sidney. British Columbia. Foreman M. 1993. Manual for tidal height analysis and prediction revised:
Sidney. British Columbia, Institute of Ocean Sciences, Pacific Marine Science Report.77-10
136 Foreman MG, Neufeld E. 2015. Harmonic tidal analysis of long time series. The
International Hydrographic Review. 681 Fraley C, Raftery AE. 2002. Model-based clustering, discriminant analysis, and
density estimation. Journal of the American statistical Association. 97458:611-631
Friedman JH. 1989. Regularized discriminant analysis. Journal of the American statistical association. 84405:165-175
García MJ, Tel E, Molinero J. 2012. Sea-level variations on the north and northwest coasts of Spain. ICES Journal of Marine Science: Journal du Conseil.fss058
Gasalla MA, Diegues AC. 2011. People’s seas:“ethnooceanography” as an interdisciplinary means to approach marine ecosystem change. World
fisheries: a social-ecological analysis. Wiley-Blackwell, Oxford, UK.120- 136
Godin G. 1972. The analysis of tides, . University of Toronto.264 pp Gratiot N, Anthony EJ, Gardel A, Gaucherel C, Proisy C, Wells J. 2008. Significant
contribution of the 18.6 year tidal cycle to regional coastal changes. Nature Geoscience. 13:169-172
Gross RS, Chao BF, Desai SD. 1997. Effect of long-period ocean tides on the Earths polar motion. Progress in oceanography. 401:385-397
Hadi S 1998. Metodologi Risech Jilid 2, Yogyakarta: Andi Offset. Haigh ID, Eliot M, Pattiaratchi C. 2011. Global influences of the 18.61 year nodal
cycle and 8.85 year cycle of lunar perigee on high tidal levels. Journal of Geophysical Research: Oceans. 116C6
Hair JF. 2009. Multivariate data analysis. A Global Perspective. Upper Saddle River: Prentice Hall.
Hess KW. 2003. Tidal datums and tide coordination. Journal of Coastal Research.33-43
Hicks SD, Szabados MW. 2006. Understanding tides. US Department of Commerce, National Oceanic and Atmospheric Administration, National
Ocean Service. Hidayat MN. 2012. Otoritas pemerintah dalam penetapan awal bulan Qomariah
perspektif Fiqh Siyasah Yusuf Qarhawi. JURISDICTIE. Huang Z, Chen Z, Si H, Ye L. 1997. Analysis of 19-year tidal data. Science in China
Series D: Earth Sciences. 404:352-360 ICSM-PCTMS. 2011. Australian Tides Manual SP9 V4.2. Intergovernmental
Committee of Surveying and Mapping - Permanent Committee On Tides And Mean Sea Level.
IHO. 2005. Manual on Hydrography Internasional Hydrographic Bureau Publication M-131st Edition:253 - 268
Illahude A. 1999. Pengantar Ke Oceanografi Fisika. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Jakarta. Hal.187-216 Ilyas M. 1994. Lunar crescent visibility criterion and Islamic calendar. Quarterly
Journal of the Royal Astronomical Society. 35:425 Iman MMr. 2016. Analisis fikih kalender hijriah global. Misykat al-Anwar. 11
Iorio L. 2001. Earth tides and Lense–Thirring effect. Celestial Mechanics and Dynamical Astronomy. 793:201-230
137 ITB|News 2009 Simulasi Hilal di 9 Lokasi Kerjasama ITB dan Berbagai
Lembaga. http:bosscha.itb.ac.idhilalimagesdocumentRamadhan_1430H.pdf
. [Diunduh 12 Maret 2014].
Izzuddin A. 2015. Dinamika hisab rukyat di Indonesia. Istinbath Jurnal Hukum 122
Jackson LB. 2013. Digital Filters and Signal Processing: With MATLAB® Exercises. Springer Science Business Media.
Jay DA. 2009. Evolution of tidal amplitudes in the eastern Pacific Ocean. Geophysical Research Letters. 364
Jayusman J. 2015. KAJIAN ILMU FALAK PERBEDAAN PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH: Antara Khilafiah Dan Sains. Al-Maslahah. 111
Johnson RA, Wichern DW. 2002. Applied multivariate statistical analysis. Prentice hall Upper Saddle River, NJ.
Kay S, Croz TD 2008. Sun Times v7.1. http:www.aptl72.dsl.pipex.comsuntimes.htm
Fao.org. Keeling CD, Whorf TP. 2000. The 1,800-year oceanic tidal cycle: A possible cause
of rapid climate change. Proceedings of the National Academy of Sciences. 978:3814-3819
King DA. 1988. Ibn-Yunus on Lunar Crescent Visibility. Journal for the History of Astronomy. 19:155
Kopal Z. 1980. Note on tidal evolution of the earth-moon system. The moon and the planets. 221:129-130
Kurniawan T. 2016. Penyatuan kalender Islam. Yudisia. 52 Kvale EP. 2006. The origin of neap–spring tidal cycles. Marine geology. 235:5-
18.doi:DOI. 10.1016j.margeo.2006.10.001. Lambeck K. 1975. Effects of tidal dissipation in the oceans on the Moons orbit and
the Earths rotation. Journal of Geophysical Research. 8020:2917-2925 Lambeck K. 2005. The Earths variable rotation: geophysical causes and
consequences. Cambridge University Press. Langeveld M. 1994. Menuju ke Pemikiran Filsafat terjemahan. PT.
Pembangunan. Jakarta. Laskar J, Boué G, Correia AC. 2012. Tidal dissipation in multi-planet systems and
constraints on orbit fitting. Astronomy Astrophysics. 538:A105 LFNU 2013. Kalender Masehi - Hijriah 1901 - 2100. Lajnah Falakiyah Nahdlatul
Ulama. LFNU. Gresik, http:www.must4in.net201312kalender-Masehi-
hijriyah-1901-2100.html , [Unduh 15 April 2014].
Li G, Zong H. 2007. 27.3-day and 13.6-day atmospheric tide. Science in China Series D: Earth Sciences. 509:1380-1395
Li G, Zong H, Zhang Q. 2011. 27.3-day and average 13.6-day periodic oscillations in the earth’s rotation rate and atmospheric pressure fields due to celestial
gravitation forcing. Advances in Atmospheric Sciences. 28:45-58 Li P, Li L, Zuo J, Zhao W, Chen Z. 2004. Tidal analysis of high and low water data.
Journal of Ocean University of China. 31:10-16 Love A. 1909. The Yielding of the Earth to Disturbing Forces. Proceedings of the
Royal Society of London Series A. 82:73-88 Marasabessy B. 2010. Tuan guru : The cap Muslim muslim phylosophy education
system. MAKARA of Social Sciences and Humanities Series. 83
138 Marone E, Raicich F, Mosetti R. 2013. Harmonic tidal analysis methods on time
and frequency domains: similarities and differences for the Gulf of Trieste, Italy, and Paranaguá Bay, Brazil. Bollettino di Geofisica Teorica ed
Applicata. 542 Maskufa, Widiana W. 2012. Titik Kritis Penentuan Awal Puasa dan Hari Raya di
Indonesia. Jurnal AHKAM. 121 Maskufa M. 2013. Ilmu falak : Relasi harmonis antara agama dan sains. Jurnal
Akademika. 181 Mawdsley RJ, Haigh ID, Wells NC. 2015. Global secular changes in different tidal
high water, low water and range levels. Earths Future. 32:66-81 McLachlan G. 2004. Discriminant analysis and statistical pattern recognition. John
Wiley Sons. Metro_TV 2006. Tafsir Al Mishbah. QS.Al Baqarah Ayat 189 - 191. Jakarta,
https: www.youtube.comwatch?v=DNqVY8CtcrU
. [Dikunjungi 8 Januari 2014].
Min B, Kim K, Yuk J, Choi B, Jung K. 2011. A harmonic-constants dataset derived from the FDM and FEM tidal models, and real-time tidal prediction for the
Yellow and East China Seas. Journal of Coastal Research. 64:1130 Montenbruck O, Armstrong AH. 1989. Practical ephemeris calculations. Springer-
verlag Heidelberg. Morris W. 2011. American heritage dictionary of the English language. American
heritage. Mosteller F, Tukey JW. 1977. Data analysis and regression: a second course in
statistics. Addison-Wesley Series in Behavioral Science: Quantitative Methods.
Mousavian R, Hossainali MM. 2012. Detection of main tidal frequencies using least squares harmonic estimation method. Journal of Geodetic Science.
23:224-233 Na S-H 2013. Earth Rotation–Basic Theory and Features. Earth and Planetary
Sciences. Geodetic Sciences - Observations, Modeling and Applications. Jin S, licensee InTech.: 285.
Najibi N, Abedini A, Sheibani RA. 2013. Harmonic decomposition tidal analysis and prediction based on astronomical arguments and nodal corrections in
Persian Gulf, Iran. Research Journal of Environmental and Earth Sciences. 57:381-392
Nidzieko NJ. 2010. Tidal asymmetry in estuaries with mixed semidiurnaldiurnal tides. Journal of Geophysical Research: Oceans. 115C8
NOAA. 2001. Tidal Datums and Their Applications. Silver Spring, Maryland: US Department of Commerce, National Oceanic and Atmospheric
Administration, NOAA NOAA. 2003. Computational techniques for tidal datums handbook. Silver Spring,
Maryland: US Department of Commerce, National Oceanic and Atmospheric Administration, NOAA Special Publication NOS CO-OPS 1.
Nuruddin A, bin Khattab IU. 1987. Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Odeh M 2013. Accurate Times 5.3.6 software, Islamic Crescents Observation Project ICOP. .
139 Olah S. 2009. Solar and lunar tides. The general science journal. xx : 1 –
11 http:www.gsjournal.netScience-Journalsearch
[Diunduh 23 Mei 2014]
Parker BB. 2007. Tidal analysis and prediction. US Department of Commerce, National Oceanic and Atmospheric Administration, National Ocean
Service, Center for Operational Oceanographic Products and Services. Pawlowicz R, Beardsley B, Lentz S. 2002. Classical tidal harmonic analysis
including error estimates in MATLAB using T_TIDE. Computers Geosciences. 288:929-937
Poluianov S, Usoskin I. 2014. Critical analysis of a hypothesis of the planetary tidal influence on solar activity. Solar Physics. 2896:2333-2342
Probojo L. 2010. Ritual guardians versus civil servants as cultural brokers in the new order era : Local Islam in Tidore, North Maluku 1. Indonesia and the
Malay World. 38110:95-107 Pugh D, Woodworth P. 2014. Sea-level science: understanding tides, surges,
tsunamis and mean sea-level changes. Cambridge University Press. Pugh DT. 1996. Tides, surges and mean sea-level reprinted with corrections. John
Wiley Sons Ltd. Raharto M. 2009. Kalender Islam: Sebuah Kebutuhan dan Harapan. Di dalam:
dalam Seminar Nasional: Mencari Solusi Visibilitas Hilal dan Penyatuan Kalender Islam Dalam Perspektif Sains dan Syari’ah, Bandung:
Observatorium Bosscha. Rampengan R. 2013. Amplitudo konstanta pasang surut M2, S2, K1 dan O1 di
perairan sekitar Kota Bitung Sulawesi Utara. J. Ilmiah Platax. 91:27-30 Rana N, Mitra B. 1991. A note on the non-tidal variation of the length of day over
1860–1980. Physics Letters A. 1541:9-13 Ruggles CL. 2015. Handbook of Archaeoastronomy and Ethnoastronomy. Springer
New Yotk, USA. Ruray SB. 2010. Rediscovery The Spices Islands, The Legal and Socio-Political
Life in North Moluccas. Makalah pada Simposium Maluku Utara Dalam Perspektif Diversitas Multidimensi. Kerjasama Pemda Provinsi Maluku
Utara, University of Le Havre-Perancis, Yayasan Saloi dan UNKHAIR, UMMU, UNERA. Ternate, 1 November 2010
Rusmin PH, Harsoyo A, Supriatna A, Rohman AS. 2013. Validasi Atas Dua Pemahaman Kata Ahillah Dalam Surah Al Baqarah2: 189. Serang:
Musyawarah Kerja Nasional Ulama Al-Qur ‟ an.21-24
Setiawan E 2012. Formulasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI. http:kbbi.web.idformulasi
[Dikunjungi 13 Agustus 2016]. Siddiq S. 2009. Studi Visibilitas Hilal Dalam Periode 10 Tahun Hijriyah Pertama
0622 - 0632 CE Sebagai Kriteria Baru Untuk Penetapan Awal Bulan- Bulan Islam Hijriyah. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Hilal.
Lembang – Jawa Barat-19 Desember 20092 Muharram 1431 H. . Kelompok Keilmuan Astronomi dan Observatorium Bosscha, FMIPA–ITB,
Observatorium Bosscha, FMIPA–ITB. hlm 3-26.
Souchay J, Mathis S, Tokieda T. 2012. Tides in astronomy and astrophysics. Springer.
140 Srinivas K, DineshKumar P. 2002. Tidal and non-tidal sea level variations at two
adjacent ports on the southwest coast of India. Indian Journal of Marine Science. 314:271-282
St L, Wold S. 1989. Analysis of variance ANOVA. Chemometrics and intelligent laboratory systems. 64:259-272
Subhash S. 1996. Applied multivariate techniques. John Wily Sons Inc., Canada. Suhardiman S. 2013. Kriteria visibilitas Hilal dalam penetapan awal bulan
kamariah di Indonesia. Khatulistiwa. 32 Suriasumantri JS. 1984. Filsafat ilmu: sebuah pengantar populer. Sinar Harapan.
Suwarno R. 2007. Menelisik metodologi hisab-falak Muhammadiyah: studi historis-komparatif. Di dalam: Makalah pada Symposium Revitalisasi Ilmu
Hisab dalam Penentuan Awal Bulan Hijriyah bersama AFDA Association of Falak Deep Analysis PCI Muhammadiyah Kairo Mesir, Griya Jawa
Tengah-KBRI Kairo.
Thomson RE, Emery WJ. 2014. Data analysis methods in physical oceanography. Newnes.
Tim_Kreatif_Tafsirku 2016. Tafsir Jalalain surat Al-Baqarah ayat 189. TAFSIR JALALAIN.
http:tafsirq.com2-al-baqarahayat-189tafsir-jalalayn [Dikunjungi 24 Mei 2016].
Trauth MH, Gebbers R, Marwan N, Sillmann E. 2007. MATLAB recipes for earth sciences. Springer.
Umar N 2012 Khazanah Dunia Islam, Makna Al-Masyriq dan Al-Maghrib 1. http:www.republika.co.idberitadunia-islamtasawuf120430m39l9d-
makna-almasyriq-dan-almaghrib-1 [Dikunjungi 23 Nopember 2015].
Vani ček P. 1973. The earth tides. Department of Surveying Engineering, University
of New Brunswick. Wahr J. 1995. Earth tides. Global Earth Physics.40-46
Wilhelm H, Zürn W, Wenzel H-G. 1997. Tidal phenomena. Lecture Notes in Earth Sciences, Berlin Springer Verlag. 66
Wilson IR. 2012. Lunar Tides and the Long-Term Variation of the Peak Latitude Anomaly of the Summer Sub-Tropical High Pressure Ridge over Eastern
Australia. Open Atmospheric Science Journal. 6:49-60 Wunsch C, Haidvogel DB, Iskandarani M, Hughes R. 1997. Dynamics of the long-
period tides. Progress in Oceanography. 401:81-108 WWF-Indonesia 2010 Fact Sheet Suku Bajo and The Coral Triangle.
http:gift4earth.wwf.or.idthemirrorneverliesid?menu=menutype_men u=thebajaupeople_id
[diunduh 2015 Maret 10]. Yallop BD. 1997. A method for predicting the first sighting of the new crescent
moon. NAO technical note. 69 Yasuda I. 2009. The 18.6
‐year period moon‐tidal cycle in Pacific Decadal Oscillation reconstructed from tree
‐rings in western North America. Geophysical Research Letters. 365
Yoder CF, Williams JG, Parke ME. 1981. Tidal variations of Earth rotation. Journal of Geophysical Research: Solid Earth. 86B2:881-891
Zahel W 1997. Ocean tides. Tidal Phenomena, Springer: 113-143.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Jumlah hari sistem penanggalan Hijriah dan Masehi
No Penanggalan Hijriah
Penanggalan GoergorianMasehi Nama Bulan
Jumlah Hari Nama Bulan
Jumlah Hari 1 Muharram
30 Januari
31 2 Safar
29 Februari
2829 3 Rabiul
awal 30
Maret 31
4 Rabiul Akhir
29 April
30 5 Jumadil
awal 30
Mei 31
6 Jumadil Akhir
29 Juni
30 7 Rajab
30 Juli
31 8 Sya’ban
29 Agustus
31 9 Ramadhan
30 September
30 10 Syawal
29 Oktober
31 11 Zulhijjah
30 Nopember
30 12 Zulkhaidah
2930 Desember
31 Jumlah 354355
Jumlah 365266
Keterangan : = Tahun kabisat; Hisab Urfi
Lampiran 2 Rekapitulasi data pasang surut Stasiun Bitung
No Uraian Nilai
Jam Tanggal
Masehi Hijriah
1 Jumlah data N
92 403 -
- -
2 Data awal
- -
Des 1986 Jum awal 1407
3 Data terakhir
- -
Des 2012 Muh 1434
4 Nilai Maksimum m
2.616 23:00
721992 1 Muh 1413 5
Nilai Minimum m 0.491
05:00 811992 1 Saf 1413
6 Rata-rata n atau MSL
1.483 -
- -
7 Deviasi m
0.368 -
- -
8 Jumlah bulan Hijriah
74 -
- -
9 Jumlah bulan Masehi
83 -
- -
8 Jumlah data bulan Sya’ban
11 -
- -
Lampiran 3 Ketersediaan data dan distribusinya berdasarkan tahun bulan Hijriah di Stasiun Bitung
142
Lampiran 4. Periode dan frekuensi 10 komponen harmonik pasang surut utama
Nama Komponen
Uraian Simbol Periode
Jam Frekuensi
cph Ganda
Semidiurnal Pengaruh posisi bulan terhadap bumi
M
2
12.42 0.0805114 Pengaruh posisi matahari terhadap bumi
S
2
12 0.0833333
Pengaruh elips jarak terjauh bulan N
2
12.66 0.0789992 Pengaruh bulan ke bumi lintasan elips;
K
2
11.97 0.0835615 Tunggal
Diurnal Pengaruh ekliptic bulan terhadap bumi
Q
1
26.86 0.0372185 Pengaruh Deklanasi bulan
K
1
23.93 0.0417807 pengaruh deklinasi bulan
O
1
25.82 0.0387307 Pengaruh deklinasi matahari
P
1
24.07 0.0415526 Shallow water
Dangkal Pengaruh bulan
M
4
6.0210 0.1610228 Pengaruh bulan dan matahari
MS
4
6.1033 0.1638447 Sumber : Defant 1958 dan Wahr 1995
Lampiran 5 Amplitudo rata-rata 10 konstituen utama pasang surut Stasiun Bitung
Bulan Q1 O1
P1 K1 N2 M2
S2 K2 M4 MS4
Muh 7
0.026 0.119 0.069 0.210 0.052 0.351 0.256 0.070 0.009 0.007 Saf
6 0.024 0.117 0.068 0.204 0.050 0.351 0.261 0.071 0.009 0.010
Raw 5
0.022 0.118 0.066 0.199 0.045 0.354 0.239 0.065 0.009 0.012 Rak 6
0.024 0.123
0.066 0.199
0.051 0.354
0.206 0.056
0.010 0.009
Jaw 7
0.024 0.121 0.065 0.197 0.056 0.349 0.230 0.063 0.008 0.007 Jak
8 0.024 0.125 0.069 0.209 0.051 0.352 0.242 0.066 0.007 0.008
Raj 8
0.025 0.124 0.070 0.212 0.052 0.351 0.263 0.072 0.007 0.008 Syah
8 0.026 0.122 0.068 0.205 0.054 0.361 0.250 0.068 0.005 0.007
Ram 6 0.026
0.126 0.070
0.211 0.051
0.355 0.220
0.060 0.005
0.008 Syaw
6 0.024 0.122 0.067 0.202 0.049 0.353 0.213 0.058 0.008 0.006 Dzulk
8 0.025 0.126 0.065 0.195 0.049 0.353 0.209 0.057 0.007 0.007 Dzulh
8 0.026 0.123 0.067 0.201 0.051 0.353 0.235 0.064 0.007 0.009 Rerata
0.025 0.122 0.067 0.204 0.051 0.353 0.235 0.064 0.008 0.008
Bulan jumlah tahun data dan amplitudo dalam satuan meter
143
Lampiran 6. Fase 10 konstituen utama pasang surut berdasarkan penanggalan Hijriah
Bulan Nilai
Q1 O1 P1 K1 N2 M2 S2 K2 M4 MS4 Muh 7
Max 241 267 147 140 34 62 323 346 143 63 Min 224 254
130 123
12 58
302 324
47 14 Dev 7 5 6 6 8 2 9 9 31 18
Saf 6 Max 260 270 151 144 36 64 316 338 107 353
Min 218 256 132 125 10 57 299 322 47 9
Dev 15 5 7 7 10 2 6 6 23 131
Raw 5 Max 255 269 148 141 38 68 313 335 116 349
Min 229 257 133 126 0 58 305 327 28 11 Dev
11 5 7 7 14 4 3 3 34 142 Rak 6
Max 249 269 162 155 39 72 328 350 128 359 Min 213 258 131 124 17 58 308 331 44
5 Dev
13 4 12 12 8 6 8 8 31 133
Jaw 7 Max 242 265 150 143 38 64 334 356 119 339
Min 228 259 129 122 7 57 310 332 45 12 Rata 235 262 139 132 25 60 319 342 92 130
Jak 8 Max 249 263 156 149 53 67 328 350 122 360
Min 223 255 129 122 14 58 312 334 25 19 Dev 8 3 9 9 13 3 6 6 33 148
Raj 8 Max 252 263 147 140 339 66 326 348 152 320
Min 190 257 134 127 6 55 297 319 53 20 Dev 20 2
5 5
113 4
10 10
34 99 Syah 8
Max 277 273 149 142 360 87 312 334 337 354 Min 216 253 136 129 2 55 303 326 73
5 Dev
20 6 5 5 120
11 3 3 88 143 Ram 6
Max 261 267 146 139 38 61 310 333 104 350 Min 221 257 134 127 14 58 302 325 48
3 Dev
14 3 4 4 10 1 3 3 22 176 Syaw 6
Max 268 267 154
147 355
178 326
349 325 348
Min 193 9 139 132 10 57 301 323 26 4
Dev 25 103 6 6 136 48 10 10 109 138 Dzulk 8
Max 247 267 145 138 44 65 332 354 121 358 Min 229 255 128 121 9 56 304 327 65 17
Dev 6 4 6 6 11 3 12 12 18 159
Dzulh 8 Max 250 268 150 143 48 62 328 350 180 359
Min 227 253 131 123 18 57 314 336 58 21 Dev 8 4 7 7 11 2 5 5 37 162
Bulan jumlah tahun data dan amplitudo dalam satuan meter; dalam satuan derajat
144 Lampiran 7. Amplitudo 10 konstituen utama berdasarkan penanggalan Masehi
Bulan Q1 O1 P1 K1 N2 M2 S2 K2 M4 MS4
Jan 6
0.025 0.128 0.073 0.222 0.050 0.341 0.236 0.064 0.009 0.005 Feb
7 0.028 0.128 0.075
0.226 0.056
0.340 0.308
0.084 0.009 0.011
Mar 7 0.026 0.120 0.053 0.161 0.053 0.350 0.304 0.083 0.007 0.009
April 7 0.030 0.139 0.070 0.213 0.045 0.348 0.239 0.065 0.007 0.007
Mei 7 0.025 0.139 0.079 0.237 0.053 0.356 0.183 0.050 0.008 0.007
Juni 5 0.027 0.134 0.080 0.242 0.052 0.349 0.155 0.042 0.006 0.007
Juli 6
0.029 0.150 0.087 0.263 0.049 0.341 0.220 0.060 0.006 0.008 Agust
7 0.031 0.149 0.081 0.246 0.054 0.345 0.243 0.066 0.006 0.009 Sept
6 0.029 0.144 0.052 0.156 0.052 0.350 0.314 0.085 0.007 0.008 Okt
7 0.027 0.140 0.064 0.194 0.047 0.351 0.270 0.073 0.007 0.008
Nop 7 0.028 0.158 0.093 0.281 0.050 0.350 0.209 0.057 0.005 0.007
Des 6 0.030 0.147 0.107 0.322 0.049 0.342 0.156 0.042 0.008 0.005
Rata-rata 0.028 0.140 0.076 0.230 0.051 0.347 0.236 0.064 0.007 0.008 Bulan jumlah tahun data dan amplitudo dalam satuan meter
Lampiran 8 Fase 10 konstituen utama berdasarkan penanggalan Masehi
Bulan Nilai
Q1 O1 P1 K1 N2 M2 S2 K2 M4 MS4 Jan 6
Max 263 350 340 359 251 349 276 298 313 339
Min 77 62 6
225 82 89 8 30 20 52 Dev
75 113
128 46 62 96 98 98 115 103 Feb 7
Max 324 342 354 347 303 285 275 298 333 228
Min 87 78 212 205
1 24 179 202 50 33
Dev 93 87 49 49
113 96 31 31 99 91 Mar 7
Max 298 293 306
299 299
286 353
350 323 341
Min 5 92 76 69 11 5 23 16 49
3 Dev
96 68 95 95 125 103
109 138 112 125
Apr 7 Max
283 262 288 281 352 242 261 284 274 330 Min
8 3 27 20 30 10 100
122 10 78 Dev 101 94 86 86
124 87 53 53 99 96 Mei 7
Max 259 316 358 351 357 358 306 329 338 314
Min 67 4 24 17 51 7 62 84 84 23
Dev 72 112 149 149 110 132 108 108 102 111
Jun 5 Max
357 353 342 335 350 301 325 347 311 304 Min
126 131 150 142 180 143 105 127 159 100 Dev 111 94 81 81 68 76 92 92 64 86
Jul 6 Max
335 358 283 276 279 330 169 192 327 319 Min
10 81 165
158 18 1 60 82 213 18 Dev 141
110 41 41 110 109 42 42 49 113
Agus 7 Max
357 329 291 284 303 354 255 277 320 310 Min 183 2 86 79 44 36 1 24 69
9 Dev
68 111 77 77 106 126 110 110 85 106 Sept 6
Max 290 343 296 289 309 320 301 324 303 356
Min 75 48 96 89 34 21
137 159 10 25
Dev 82
125 65 65 121 130 56 56 113 110
145 Lanjutan lampiran 8
Okt 7 Max
331 249 346 339 282 266 330 352 351 315 Min
30 28 76 69 22 22 26 48 6 121 Dev
118 87 116 116 81 103 117 117 152 59
Nop 7 Max
337 288 288 281 336 323 319 341 359 289 Min
19 52 26 19 10 16 95 118 1
1 Dev 129 95 98 98
128 103 78 78 138 111 Des 6
Max 327 336 354 347 245 328 185 208 293 212
Min 23 67 36 28 51 60 19 41 122 10
Dev 115 114 149 149 88 116 58 58 63
87 Bulan jumlah tahun data dan fase dalam satuan derajat
Lampiran 9 Posisi bintang penyususn RB7 dan sudut masing-masing bintang
terhadap bintang monoceros
A. Sudut antara bintang penyusun RB7 terhadap bintang monoceros
Keterangan : DH = Degree Hour; DD = Degree DH15, Delta RA dan Delta Dec = selisih DD bintang x terhadap bintang
monoceros.
B. Sudut antar bintang terhadap bintang lainnya dalam RB7
Bintang Delta Sisi
miring Sudut RA Dec
a b c Cos
Zeta-Alfa 6.83 6.58
9.48 13.99
11.37 0.739
42 Alfa-Beta 18.11
2.50 18.28
11.37 12.92
-0.130 97
Beta-gamma 3.49 0.75
3.57 12.92
15.74 0.988 9
Gamma-Hip 1.10 8.77
8.84 15.74
16.04 0.846
32 Hip-epsilon 3.32
2.10 3.93
16.04 13.99
0.975 13
Epsilon-zeta 26.22 7.54
27.28 13.45
13.99 -0.977
168
hh mm
ss Deg
mm ss
DH DD
DD DD
RA DEC
Delta 7
12 49
31 12
7.2 108.2 0.52 -0.52
alfa 7
40 37
-9 31
10 7.7 115.2
9.52 -9.52 6.95
9.00 52
Zeta 8
7 56
-2 56
40 8.1 122.0
2.94 -2.94 13.78
2.42 10
Epsilon 6
23 4
4 36
1 6.4
95.8 4.60 4.60
12.44 5.12
22 Beta
6 28
10 -7
1 26
6.5 97.0
7.02 -7.02 11.16
6.50 30
Gamma 6
14 12
-6 16
12 6.2
93.6 6.27 -6.27
14.65 5.75
21 HIP
6 9
47 2
29 46
6.2 92.4
2.50 2.50 15.76
3.02 11
Bintang ArcTg
RA Dec
DEC RA
Delta
146 Lampiran 10 Profil nilai Likkas Boe
LB untuk data time series
Lampiran 11 Profil deklinasi bulan periode 1400 H – 1434 H
147
Lampiran 12 Pola perubahan hari dan profil pasang surut pada tanggal 1 dan 15 dari kedua sistem penanggalan.
Lampiran 13 Selisih t
sw
I dan moonset pada bulan Ramadhan 1407 H
D Tsw 1
Tsw 2 Moonset
MST1 D Tsw 1 Tsw 2 Moonset MST1
1 16:19 5:47 19:59 3:39
16 16:18 6:21 7:06 9:12
2 16:39 6:32 20:49 4:09 17 16:40 7:11
8:03 8:37 3 17:01 7:17 21:40 4:38
18 17:19 8:12 9:04 8:15
4 17:20 8:11 22:32 5:11 19 17:41 9:09 10:07 7:34
5 17:42 9:32 23:24 5:41 20 18:07
- 11:10 6:57 6 17:58
- - 17:58
21 10:17 20:06 12:11 1:53 7 13:10
- 0:15 12:55
22 11:44 0:04 13:07 1:22 8 13:04 22:48
1:04 12:00 23 12:39 1:16 13:58 1:18
9 13:37 1:21 1:50 11:47
24 13:26 2:33 14:47 1:20 10 14:06 2:22
2:35 11:31 25 14:01 3:16 15:33 1:31
11 14:18 2:48 3:17 11:01
26 14:32 3:48 16:18 1:45 12 14:35 3:31
4:00 10:35 27 15:01 4:30 17:04 2:02
13 15:01 4:12 4:43 10:18
28 15:20 5:11 17:51 2:30 14 15:21 4:41
5:27 9:54 29 15:43 5:33 18:40 2:56
15 15:48 5:32 6:15 9:33
30 16:27 6:19 19:30 3:02 1 16:42
- 20:22 3:39
Keterangan : D = Day tanggal dalam penanggalan Hijriah; 1 = Waktu terjadinya slackwater pada peak I; Tsw 2 = Waktu terjadinya slackwater pada peak II; MST1 = Selisih waktu moonset dan t
sw1
; - = Tidak ada data; = Tanggal 1 Syawal
148
Lampiran 14 Variasi tinggi air pasang surut berdasarkan bulan dan tahun Hijriah Data Series I
Data Series II
149 Lanjutan lampiran 14
Data Series III
Lampiran 15 ANOVA posisi bulan terhada beda tinggi air data series LB pada peak I dan II awal bulan Hijriah.
Model parameter Variable peak I:
Source Value
Standard error t
Pr |t| Lower bound
95 Upper bound
95 Intercept 0.9178
0.0444 20.6632
0.0001 0.8271
1.0085 Q1-dec+ 0.4469
0.0628 7.1150
0.0001 0.3186
0.5752 Q1-dec-
0.0000 0.0000
Equation of the model Variable peak I: peak I = 0.91781+0.44694Q1-dec+
Model parameters Variable Peak II:
Source Value Standard
error t Pr
|t| Lower bound
95 Upper bound
95 Intercept 1.4306 0.0309
46.2956 0.0001
1.3675 1.4937
Q1-dec+ -0.3938 0.0437 -9.0117 0.0001
-0.4831 -0.3046
Q1-dec- 0.0000
0.0000
Equation of the model Variable Peak II: Peak II = 1.43056-0.39381Q1-dec+
Analysis of variance Variable peak I: Source DF
Sum of squares
Mean squares
F Pr F
Model 3 2.4500
0.8167 24.3578
0.0001 Error 36
1.2070 0.0335
CT 39
3.6570 Computed against model Y=MeanY
150
Model parameters Variable peak I:
Source Value Standard
error t Pr |t|
Lower bound 95
Upper bound 95
Intercept 0.9418 0.0579
16.2652 0.0001 0.8244 1.0592
Var-RA -A 0.4917
0.0819 6.0046
0.0001 0.3256
0.6578 Var-RA
-B 0.4697
0.0819 5.7359
0.0001 0.3036 0.6358 Var-RA-C -0.0273 0.0819
-0.3334 0.7408 -0.1934
0.1388 Var-RA-D
0.0000 0.0000
Equation of the model Variable peak I: peak I = 0.94180+0.49170Var-RA -A+0.46970Var-RA -B-0.02730Var-RA-C
Analysis of variance Variable Peak II
Source DF Sum of
squares Mean
squares F
Pr F Model 3
1.6814 0.5605
39.6399 0.0001
Error 36 0.5090
0.0141 Corrected
Total 39
2.1904 Computed against model Y=MeanY
Model parameters Variable Peak II:
Source Value Standard
error t Pr
|t| Lower bound
95 Upper bound
95 Intercept 1.4415
0.0376 38.3355
0.0001 1.3652 1.5178
Var-RA -A -0.4157
0.0532 -7.8172
0.0001 -0.5235
-0.3079 Var-RA -B
-0.4478 0.0532
-8.4208 0.0001
-0.5556 -0.3400
Var-RA-C -0.0474 0.0532 -0.8914 0.3787
-0.1552 0.0604
Var-RA-D 0.0000
0.0000
Equation of the model Variable Peak II: Peak II = 1.44150-0.41570Var-RA -A-0.44780Var-RA -B-0.04740Var-RA-C
Lampiran 16 Analisis statistic penentuan penciri awal bulan baru Hijriah dari Metode Joguru
A. Matriks struktur Ramadhan
Syawal Parameter
Function Parameter
Function 1
2 1
2 kurtosisa
.181 -.114
kurtosisa .185
-.113 Median
-.077 .997
Median -.079
.997 Meana
-.043 .984
Meana -.043
.985 Slack
.337 .942
Slack .344
.939 Skwena
-.118 .405
Skwena -.125
.405
Pooled within-groups correlations between discriminating variables and standardized canonical discriminant functions
Variables ordered by absolute size of correlation within function. Largest absolute correlation between each variable and any discriminant function
a This variable not used in the analysis.
151 B. Canonical Discriminant Function Coefficients
Parameter Ramadhan
Parameter Syawal
Function Function
1 2
1 2
Median -9.136
3.270 Median
-8.932 3.268
Slack 74.624
5.730 Slack
73.023 5.760
Constant -44.403 -5.725
Constant -43.428
-5.742
Unstandardized coefficients
Fungsi diskriminan D
D = -44,403 + 74,624 Slack – 9,136median
C. Koefisien fungsi klasifikasi
Bulan Parameter
Hari H-2
H -1 H
H + 1 H + 2
Ramadhan Median
-355.828 -376.265
-385.092 -396.352
-421.194 Slack
3089.506 3256.729
3335.676 3428.021
3621.604 Constant
-856.717 -951.053
-997.822 -1053.373
-1174.148 Syawal
Median -339.355
-359.516 -366.385
-378.490 -402.022
Slack 2957.973
3123.299 3185.858
3285.604 3468.593
Constant -820.071
-913.370 -950.463
-1010.416 -1124.552
Fishers linear discriminant functions
Lampiran 17 Dalil yang terkait dengan penentuan awal bulan Hijriah Hilal