berlandaskan pada kepastian hukum tetapi mewujudkan nyatakan keadilan kepada para pencari keadilan. Namun apabila MKRI menguji Perppu maka tentu MKRI
yang seharusnya adalah pengawal konstitusi justru menjadi lembaga pengingkar konstitusi itu sendiri. Karena hanya diberi kewenangan untuk menguji UU
terhadap UUD NRI 1945 dan tidak dengan Perppu.
2.2.4. Kewenangan MKRI dan Sistem Pengujian Norma Judicial Review
Terkait pengujian norma, di Indonesia MKRI dan MA adalah lembaga yang memiliki kewenangan tersebut. Dalam UUD NRI 1945 Pasal 7B ayat 1,
4, dan 5 ditentukan bahwa MKRI memiliki kewajiban untuk memeriksa dan mengadili serta memutus dengan seadil-adilnya ex aquo et bono terhadap
pendapat DPR tentang dugaan Presiden danatau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaraan hukum danatau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
danatau Wakil Presiden seperti ditentukan dalam UUD NRI. Kewajiban MK ini sangat penting agar tidak terjadi lagi pemakzulan atas dasar politik seperti dalam
kasus Presiden Abdurrahman Wahid yang hanya menjalani masa jabatannya kurang dari 2 dua tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat jelas ditentukan
bahwa MKRI memiliki 1 satu kewajiban. Amandemen konstitusi pada tahun 1999 sampai 2002 membawa angin
segar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terutama dalam pelembagaan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. MKRI lahir dengan empat
kewenangan dan satu kewajiban sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang baru untuk mengawas dalam ruang lingkup yudisial terhadap lembaga negara lainnya
dan mengawal konstitusi untuk mencapai negara hukum yang demokratis.
Menurut ketentuan UUD NRI 1945 Pasal 24C ayat 1 MKRI memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir empat
kewenangan sebagai berikut :
1. menguji UU terhadap UUD constitutional review;
2. memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD; 3.
memutus pembubaran partai politik; dan 4.
memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Sedangkan dalam UUD NRI 1945 Pasal 24C ayat 2 “Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden danatau Wakil Presiden menurut
Undang- Undang Dasar.”
Menurut Jimly Asshiddiqie 2010: 1 : Dalam ranah praktik terdapat tiga macam norma hukum yang dapat
diuji norm control mechanism. Ketiganya adalah bentuk norma hukum yang merupakan hasil pengambilan keputusan hukum yaitu :
1. Keputusan Normatif yang berisi dan bersifat pengaturan regeling;
2. Keputusan Normatif yang berisi dan bersifat penetapan
administrasi beschikking; 3.
Keputusan Normatif yang berisi dan penghakiman atau vonis judgement.
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa ketiga norma tersebut dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme yudisial ataupun non-yudisial.
Judicial review dalam pengujian norma suatu peraturan perundang- undangan merupakan hak uji materil lembaga peradilan atas suatu produk hukum
yang dihasilkan oleh legislatif. Jika pengujian dilakukan oleh lembaga parlemen disebut legislative review yaitu pengujian oleh DPR terhadap Perppu. Apabila
tidak mendapat persetujuan DPR maka Perppu harus dicabut.
Indonesia yang menganut sistem hukum civil law melaksanakan judicial review dengan tersentralisasi centralized system. Sebagai negara yang
menjunjung tinggi hukum supremasi hukum, Indonesia memberikan kewenangan pengujian atas peraturan perundangan kepada suatu lembaga khusus
seperti MA dan MK. Sedangkan pengujian yudisial menurut Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Hukum Acara Pengujian Undang-Undang 2010: 38-44 bisa
bersifat formil formele toetsingsrecht atau materiil materiele toetsingsrecht, yang dirumuskan penulis sebagai berikut:
1. Pengujian formil adalah pengujian atas suatu produk hukum, bukan dari segi
materinya. Dalam hal ini pertama yang harus dipahami bahwa pengujian formil tidak berkaitan dengan isi. Tidak sepenuhnya juga pengujian formil
berada dalam ruang lingkup yang sempit bahwa identik dengan pengujian atas bentuk UU dan bagaimana proses pembentukan UU. Namun juga
termasuk dalam ruang lingkup yang lebih luas, mencakup aspek pemberlakuan UU meski tidak termasuk lagi dalam proses pembentukan UU.
Sebagai contoh dalam buku Asshiddiqie, UU No. 45 Tahun 1999 Tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI
1945. Bertentangannya UU tersebut bukan dari segi isi materiil dan bentuk atau proses pembentukannya formil tetapi pemberlakuannya setelah adanya
UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua. Karena UU yang baru sudah berlaku maka seharusnya UU yang lama dicabut tetapi UU yang
lama tidak dicabut sehingga MKRI menilai UU No. 45 Tahun 1999 Tentang
Pemekaran Provinsi Irian Jaya tersebut sudah tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pengujian formil dilakukan atas prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu
peraturan yang sudah ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan resmi pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga dapat membatalkan
peraturan yang ditetapkan oleh lembaga yang memang tidak memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.
Untuk mempermudah pemahaman atas luasnya ruang lingkup dari pengujian formil ini Jimly memberikan kriteria untuk menilai konstitusionalitas UU dari
segi formilnya formele toetsing. Sejauhmana UU ditetapkan dalam bentuk yang tepat appropriate form, oleh institusi yang tepat appropriate
institution, dan menurut prosedur yang yang tepat appropriate procedure. Penjabaran dari ketiga krieria tersebut sebagai berikut :
a. Pengujian pelaksanaan tata cara pembentukan UU saat pembahasan dan
saat pengambilan keputusan rancangan UU menjadi UU; b.
Pengujian bentuk, format, atau struktur UU; c.
Pengujian mengenai keberwenangan lembaga pengambil keputusan dalam proses pembentukan UU;
d. Pengujian segala sesuatu hal diluar pengujian materiil.
2. Pengujian materiil adalah pengujian mengenai materi muatan atau isi dari
UU. Secara ektrim disampaikan Jimly dalam bukunya dalam praktik suatu
materi UU bisa dinyatakan tidak berlaku karena satu anak kalimat dalam satu ayat, satu kata dalam kalimat, bahkan hanya karena masalah koma, titik, dan
kesalahan penulisan huruf besar atau kecil. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengujian materiil adalah konsideran
menimbang atau mengingat dalam sebuah UU. Pandangan umum bahwa materi sebuah UU adalah pasal-pasal dan penjelasannya. Terkait konsideran
bisa digolongkan menjadi materi UU karena mengikat bersamaan dengan pasal dan penjelasan sebuah UU. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya
berpendapat bahwa hal ini bisa dikembalikan kepada hakim yang akan menilai dan memberikan putusan atas pengujian suatu UU. Penulis menilai
bahwa pendapat Jimly tersebut bisa demikian karena pernah menjadi hakim konstitusi. Namun dalam hal ini penulis berpendapat bahwa konsideran
termasuk dalam pengujian formil karena berkaitan dengan proses pembentukan suatu UU.
Pengujian materi juga berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi lex superiore
derogate lex generalis ataupun menyangkut kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma yang berlaku umum lex specialis
derogate lex generalis. Hakim dapat menyatakan tetap atau tidak berlakunya suatu peraturan berdasarkan asas tersebut.
Peradilan administrasi negara sebagai salah satu syarat penting dalam negara hukum rechtsstaat memiliki legitimasi untuk melakukan judicial review
terhadap setiap regulasi sesuai hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku mulai dari UU sampai dengan peraturan terendah. Norma hukum paling
tinggi konstitusi dipergunakan sebagai acuan dan pedoman untuk melakukan pengujian yudisial.
2.2.5. Model Penafsiran Konstitusi dalam Pertimbangan Putusan Hakim