Hubungan Lama Bekerja dan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1) pada Supir Angkutan Umum di Terminal Amplas Medan

(1)

HUBUNGAN ANTARA LAMA BEKERJA DAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN KAPASITAS VITAL PARU (KVP) DAN VOLUME EKSPIRASI

PAKSA SATU DETIK (VEP1) PADA SUPIR ANGKUTAN UMUM DI

TERMINAL AMPLAS MEDAN

Oleh :

CINDY AUDINA PRADIBTA 120100369

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

HUBUNGAN ANTARA LAMA BEKERJA DAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN KAPASITAS VITAL PARU (KVP) DAN VOLUME EKSPIRASI

PAKSA SATU DETIK (VEP1) PADA SUPIR ANGKUTAN UMUM DI

TERMINAL AMPLAS MEDAN

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

CINDY AUDINA PRADIBTA 120100369

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

(4)

ii

ABSTRAK

Individu yang sering bekerja di wilayah yang sering terpapar polusi dan zat pencemar lebih rentan untuk mengalami penurunan fungsi paru. Profesi supir angkutan umum sangat rentan untuk megalami penurunan fungsi paru karena setiap harinya mengalami kontak langsung dengan polusi udara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara faktor lama bekerja dan kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru (KVP) dan volume ekspirasi paksa satu detik (VEP1 ) pada supir angkutan umum di Terminal Amplas

Kota Medan.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan disain potong lintang dan pengambilan sampel dengan teknik consecutive sampling. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 100 supir angkutan umum di Terminal Amplas Kota Medan yang memenuhi kriteria inklusi. Data diperoleh dari pengisian lembar kuesioner dan hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan pada setiap subjek untuk menentukan fungsi restriksi paru (KVP) dan fungsi obstruksi paru (VEP1)

Dari hasil pengukuran diperoleh data bahwa terdapat 60 orang mempunyai gangguan restriksi paru dan 40 orang yang tidak mempunyai gangguan restriksi paru. Sedangkan hasil pengukuran terhadap obstruksi fungsi paru menunjukkan bahwa terdapat 55 orang yang mempunyai gangguan obstruksi paru dan 45 orang yang tidak mempunyai gangguan obstruksi paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara lama bekerja dengan KVP (p = 0,01) maupun dengan VEP1 (p = 0,01). Analisis hubungan antara kebiasaan

merokok dengan KVP dan VEP1 juga didapatkan hasil yang signifikan, yaitu

dengan nilai p = 0,01 dan p = 0,04.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa faktor lama bekerja dan kebiasaan merokok berhubungan secara signifikan dengan fungsi paru restriksi dan obstruksi pada supir angkutan umum.

Kata kunci : KVP, FVC, VEP1, FEV1, supir angkutan umum, obstruksi, restriksi


(5)

ABSTRACT

Individuals who often work in areas that are highly exposed to pollution and contaminants are more susceptible to have a decreased lung function. Public transportation drivers are very susceptible to have a decreased lung function because of daily contact with polluted air . The purpose of this study was to determine the relationship between duration of work and smoking habits with

lung vital capacity (FVC) and forced expiratory volume in one second (FEV1)in

public transportation drivers at Medan Amplas Bus Station.

This was an analytic cross sectional study with consecutive sampling technique. This study involved 100 public transportation drivers who a re working at Medan Amplas Bus Station and met the inclusion criterias. The way of the sampling is using consecutive sampling technique. Datas were obtained by filling questionnaire and spirometry test that was performed on each subject to determine lung vital capacity (FVC) and forced expiratory volume in one second

(FEV1).

From the measurement results, there were 60 persons who had restrictive lung disorder and 40 persons who did not have restrictive lung disorder . While from the result of obstructive lung function measurement, data showed that 55 persons had obstructive lung disorder and 45 persons had obstructive lung disorder. The result of this study showed that there was a significant relationship

between duration of work with FVC (p = 0,01) and with FEV1 (p = 0,01). The

relationship between smoking habits with FVC and with FEV1 were also found to

be significant, with p = 0,01 and p = 0,04.

Based on the results of this study, it can be concluded that factors such as duration of work and smoking habits were significantly related to lung function

(FVC and FEV1) in public transportation drivers.

Keywords: KVP, FVC, VEP1, FEV1, public transportation driver, obstruction,


(6)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang berjudul “Hubungan Lama Bekerja dan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1) pada

Supir Angkutan Umum di Terminal Amplas Medan”.

Penyusunan karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Dengan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD-KGEH selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Fasihah Irfani Fitri, M.Ked (Neu), Sp. S selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pemikirannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis, mulai dari awal penyusunan penelitian, pelaksanaan di lapangan, hingga selesainya laporan hasil penelitian ini.

3. dr. Hj. T. Kemala Intan, M.Pd selaku dosen penguji I yang telah memberikan masukan, arahan dan bimbingan serta nasihat selama proses penyusunan karya tulis ilmiah ini.

4. dr. M. Surya Husada, Sp.KJ selaku dosen penguji II yang telah memberikan masukan, arahan dan bimbingan serta nasihat selama proses penyusunan karya tulis ilmiah ini.

5. Seluruh dosen pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas ilmu dan didikan yang telah diberikan

6. Kepada keluarga terkasih : Ayahanda Benjamin Bukit, Ibunda Veronica Tarigan, serta kakak dan adik penulis Chitra Almaditya Pradibta dan Theo Andarias Zofania yang telah memberikan banyak doa, fasilitas, semangat dan dukungan kepada penulis.

7. Sahabat-sahabat penulis yang telah memberikan saran, kritik dan dukungan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.


(7)

8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna perbaikan tulisan ini.

Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi perkembangan ilmu kedokteran.

Medan, 2015 Penulis


(8)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 3

1.3.Tujuan Penelitian ... 4

1.4.Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Sistem Respirasi ... 6

2.2. Anatomi Paru ... 6

2.2.1 Ventilasi ... 10

2.2.2 Difusi ... 13

2.2.3 Perfusi... 14

2.3. Pengukuran Fungsi Paru ... 14

2.3.1 Kapasitas Vital Paru (KVP) ... 16

2.3.2 Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1) ... 17

2.3.3 VO2 Maks ... 17

2.4. Pencemaran Udara ... 18

2.5. Gambaran Pola Ventilasi Abnormal... 21

2.5.1 Pola Obstruktif (Hambatan Aliran Udara) ... 21


(9)

2.5.2 Pola Restriktif (Gangguan Pengembangan Paru) ... 21

2.5.3 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Spirometri ... 22

2.5.4 Klasifikasi Gangguan Fungsi Paru Berdasarkan Nilai Spirometri ... 22

2.6. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik ... 22

2.6.1. Lama Bekerja ... 22

2.6.2. Kebiasaan Merokok... 23

2.7. Terminal Amplas Kota Medan ... 24

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 25

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 25

3.2. Variabel dan Definisi Operasional ... 25

3.3. Hipotesis Penelitian ... 27

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 28

4.1. Jenis Penelitian ... 28

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

4.2.1. Lokasi Penelitian ... 28

4.2.2. Waktu Penelitian ... 28

4.3. Populasi dan Sampel ... 28

4.3.1. Populasi ... 28

4.3.2. Sampel ... 29

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 30

4.4.1. Data Primer ... 30

4.4.1.1 Alat dan Pengumpulan Bahan Penelitian... 30

4.4.1.2 Prosedur Penelitian ... 31

4.5. Ethical Clearance ... 32

4.6. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ... 32

4.6.1. Pengolahan Data ... 32


(10)

viii

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

5.1 Hasil Penelitian ... 34

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 34

5.1.2 Deskripsi Data Penelitian ... 34

5.1.3 Karakteristik Responden ... 34

5.1.4 Hasil Analisis Penelitian ... 37

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 40

5.2.1Hubungan antara Lama Bekerja dengan KVP dan VEP1 ... 40

5.2.2Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan KVP dan VEP1 ... 43

5.2.3 Keterbatasan Penelitian ... 46

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

6.1 Kesimpulan ... 47

6.2 Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 2.1 Volume dan Kapasitas Paru ... 10 2.2 Perkiraan Presentase Komponen Pencemar Udara dan

Sumber Pencemar Transportasi di Indonesia ... 19 2.3 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Spirometri ... 22 2.4 Klasifikasi Gangguan Fungsi Paru Berdasarkan Nilai

Spirometri ... 22 3.2 Variabel dan Definisi Operasional ... 25 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Supir Angkutan Umum

Terminal Amplas Medan ... 35 5.2 Hubungan Antara Lama Bekerja Dengan KVP Supir Angkutan

Umum Terminal Amplas Medan ... 36 5.3 Hubungan Antara Lama Bekerja Dengan VEP1 Supir Angkutan

Umum Terminal Amplas Medan ... 37 5.4 Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan KVP Supir Angkutan

Umum Terminal Amplas Medan ... 38 5.5 Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan VEP1 Supir Angkutan


(12)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Paru... 7 Gambar 2.2 Otot-Otot Pernafasan Inspirasi Dan Ekspirasi ... 8 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 25


(13)

DAFTAR SINGKATAN

CO Carbon Monoxide

Depdikbud Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Depkes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia

ERV Expiratory Reserve Volume

FRC Functional Residual Capacity

FVC Forced Vital Capacity

HbCO Karboksihaemoglobin

HbO2 Oksihaemoglobin

HC Hydrocarbon

IC Inspiratory Capacity

IRV Inspiratory Reserve Volume

ISPA Infeksi Saluran Nafas Atas

KVP Kapasitas Vital Paru

NOx Nitrogen Dioksida

Pb Plumbum

PTM Penyakit Tidak Menular

RISKESDAS Riset Kesehatan Dasar

RV Residual Volume

SPM Suspended Particulate Matter

SPSS Statistic Package for Social Science

TLC Total Lung Capacity

USU Universitas Sumatera Utara

VC Vital Capacity

VEP1 Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik

VT Volume Tidal


(14)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Surat Persetujuan Komisi Etik Lampiran 3 Surat Izin Penelitian

Lampiran 4 Lembar Penjelasan Responden

Lampiran 5 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 6 Formulir Kuesioner Penelitian

Lampiran 7 Data Induk Penelitian Lampiran 8 Hasil Data Penelitian Lampiran 9 Foto Bukti Penelitian


(15)

ABSTRAK

Individu yang sering bekerja di wilayah yang sering terpapar polusi dan zat pencemar lebih rentan untuk mengalami penurunan fungsi paru. Profesi supir angkutan umum sangat rentan untuk megalami penurunan fungsi paru karena setiap harinya mengalami kontak langsung dengan polusi udara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara faktor lama bekerja dan kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru (KVP) dan volume ekspirasi paksa satu detik (VEP1 ) pada supir angkutan umum di Terminal Amplas

Kota Medan.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan disain potong lintang dan pengambilan sampel dengan teknik consecutive sampling. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 100 supir angkutan umum di Terminal Amplas Kota Medan yang memenuhi kriteria inklusi. Data diperoleh dari pengisian lembar kuesioner dan hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan pada setiap subjek untuk menentukan fungsi restriksi paru (KVP) dan fungsi obstruksi paru (VEP1)

Dari hasil pengukuran diperoleh data bahwa terdapat 60 orang mempunyai gangguan restriksi paru dan 40 orang yang tidak mempunyai gangguan restriksi paru. Sedangkan hasil pengukuran terhadap obstruksi fungsi paru menunjukkan bahwa terdapat 55 orang yang mempunyai gangguan obstruksi paru dan 45 orang yang tidak mempunyai gangguan obstruksi paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara lama bekerja dengan KVP (p = 0,01) maupun dengan VEP1 (p = 0,01). Analisis hubungan antara kebiasaan

merokok dengan KVP dan VEP1 juga didapatkan hasil yang signifikan, yaitu

dengan nilai p = 0,01 dan p = 0,04.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa faktor lama bekerja dan kebiasaan merokok berhubungan secara signifikan dengan fungsi paru restriksi dan obstruksi pada supir angkutan umum.


(16)

iii

ABSTRACT

Individuals who often work in areas that are highly exposed to pollution and contaminants are more susceptible to have a decreased lung function. Public transportation drivers are very susceptible to have a decreased lung function because of daily contact with polluted air . The purpose of this study was to determine the relationship between duration of work and smoking habits with

lung vital capacity (FVC) and forced expiratory volume in one second (FEV1)in

public transportation drivers at Medan Amplas Bus Station.

This was an analytic cross sectional study with consecutive sampling technique. This study involved 100 public transportation drivers who a re working at Medan Amplas Bus Station and met the inclusion criterias. The way of the sampling is using consecutive sampling technique. Datas were obtained by filling questionnaire and spirometry test that was performed on each subject to determine lung vital capacity (FVC) and forced expiratory volume in one second

(FEV1).

From the measurement results, there were 60 persons who had restrictive lung disorder and 40 persons who did not have restrictive lung disorder . While from the result of obstructive lung function measurement, data showed that 55 persons had obstructive lung disorder and 45 persons had obstructive lung disorder. The result of this study showed that there was a significant relationship

between duration of work with FVC (p = 0,01) and with FEV1 (p = 0,01). The

relationship between smoking habits with FVC and with FEV1 were also found to

be significant, with p = 0,01 and p = 0,04.

Based on the results of this study, it can be concluded that factors such as duration of work and smoking habits were significantly related to lung function

(FVC and FEV1) in public transportation drivers.

Keywords: KVP, FVC, VEP1, FEV1, public transportation driver, obstruction,

restriction


(17)

1.1. Latar belakang

Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang, mempunyai durasi yang panjang dan umumnya berkembang lambat. Empat jenis PTM utama menurut World Health Organization

(WHO) adalah penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes.Penyakit Tidak Menular (PTM) bertanggung jawab atas 68 % dari semua kematian secara global pada tahun 2012. WHO memperkirakan, pada tahun 2020 PTM akan menyebabkan 73 % kematian dan 60 % kesakitan.

Penyakit pernafasan kronis seperti penyakit paru kronik obstruktif, terutama di negara berkembang telah mengalami peningkatan kejadian dengan cepat yang berdampak pada peningkatan angka kematian dan kecacatan. Penyakit ini merupakan salah satu dari ke-4 terbesar penyebab kematian di dunia. Di Indonesia, prevalensi penyakit tidak menular untuk penyakit paru kronik obstruktif adalah 4,5 %. Sedangkan di Provinsi Sumatera Utara, tingkat prevalensinya tergolong cukup tinggi yaitu sebesar 3,6 % (Riskesdas, 2013).

Dari dataDinas Pengelolaan Lingkungan Hidup, Energi dan Sumber Daya Mineral Kota Medan pada tahun 2007, Kota Medan terletak di bagian utara Provinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah 265,10 km2, dengan jumlah penduduk sebesar 2.067.288 jiwa. Kota Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Sebagai kota metropolitan dengan aktivitas pembangunan kota yang sangat padat di berbagai sektor, terkadang aktivitas tersebut membawa dampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah pencemaran udara.

Berdasarkan Laporan Basis Data Lingkungan Hidup Kota Medan pada tahun 2007, tingkat pertumbuhan penduduk di Medan mengalami peningkatan


(18)

2

sebesar 1,43 % setiap tahunnya. Pertumbuhan penduduk yang demikian pesat akan membawa konsekuensi peningkatan aktivitas penduduk dan jumlah kendaraan.

Dari data Dinas Perhubungan Kota Medan tahun 2010, jumlah kendaraan di Medan pada tahun 2004 terhitung 1.022.755 unit dan mengalami peningkatan menjadi 2.708.511 unit pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan kenaikan sebesar 23,82 % per tahun. Seiring bertambah banyaknya jumlah kendaraan tersebut, polusi udara akan meningkat. Akibatnya, terjadi penurunan kualitas udara yang akan menimbulkan berbagai macam gangguan sistem pernafasan seperti pneumonia, asma, dan bronkitis.

Gas karbon monoksida merupakan bahan pencemar yang paling banyak terdapat di udara, sedangkan bahan pencemar berupa partikulat (padat maupun cair) merupakan bahan pencemar yang sangat berbahaya (sifat racunnya sekitar 107 kali dari sifat racunnya gas karbon monoksida). Kendaraan bermotor menyumbang hampir 100 % timbal, 13-14 % suspended particulated matter

(SPM), 71-89 % hidrokarbon, 34-73 % NOx dan hampir seluruh karbon monoksida ke udara (Depkes, 2008).

Berdasarkan data dari Departemen Lingkungan dan Konservasi tahun 2005, kendaraan bermotor merupakan sumber utama polusi udara di daerah perkotaan dan menyumbang 70 % emisi NOx, 52 % emisi VOC dan 23 % partikulat. Akibat pencemaran udara dari kendaraan bermotor, saat ini tercatat, penyakit infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan sistem pernafasan lain selalu menduduki peringkat atas dari 10 penyakit terbanyak yang dilaporkan oleh pusat-pusat pelayanan kesehatan puskesmas, klinik dan rumah sakit (Mulia, 2005).

Gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi paru. Untuk mengetahui apakah fungsi paru seseorang bekerja secara normal atau tidak, dapat diketahui dari pengukuran volume paru dengan melakukan pemeriksaan spirometri. Nilai kapasitas volume paru dan volume ekspirasi paksa satu detik akan diketahui melalui pemeriksaan spirometri.


(19)

Faktor – faktor yang mempengaruhi kapasitas vital paru sangat bervariasi, salah satunya yaitu lama bekerja dan kebiasaan merokok seseorang. Beberapa bukti dari hasil penelitian yang dikutip dari jurnal J J M Medical College,

Davangere, Karnataka India menyimpulkan bahwa seseorang yang bekerja di wilayah yang sering terpapar polusi dan zat pencemar lebih rentan untuk mengalami penurunan fungsi paru, dikarenakan sering menghirup udara yang telah terkontaminasi oleh debu, asap, dan gas. Contohnya adalah supir angkutan umum, pekerja industri mebel, tukang cat, dan lain – lain (Johncy dkk, 2011). Sedangkan inhalasi asap tembakau baik primer maupun sekunder sendiri juga dapat menyebabkan penyakit saluran pernafasan. Asap rokok mengiritasi paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah. Merokok lebih menurunkan kapasitas vital paru dibandingkan beberapa bahaya kesehatan akibat kerja (Suyono, 1996).

Pekerjaan sebagai supir angkutan umum merupakan salah satu jenis pekerjaan yang beresiko besar untuk terjadinya gangguan fungsi paru. Gangguan fungsi paru pada supir angkutan umum dapat disebabkan oleh partikel yang terinhalasi ke saluran nafas. Oleh karena itu, berdasarkan uraian latar belakang diatas, perlu diadakannya sebuah penelitian pada supir angkutan umum di Terminal Amplas Medan. Penulis mempunyai keinginan untuk menyusun sebuah rancangan karya tulis ilmiah dengan judul : Hubungan Lama Bekerja dan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1) pada Supir Angkutan Umum di Terminal Amplas

Medan.

Dalam penelitian ini, saya akan meneliti dua faktor yang lebih berperan terhadap faal paru pada pekerjaan sebagai supir angkutan umum yaitu lama bekerja dan kebiasaan merokok.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah Ada Hubungan Antara Lama Bekerja dan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi


(20)

4

Paksa Satu Detik (VEP1) pada Supir Angkutan Umum di Terminal Amplas Kota

Medan?”.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1).

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian adalah untuk mengetahui:

1. Apakah ada hubungan antara lama bekerja dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1) pada

supir angkutan umum di Terminal Amplas Medan?

2. Apakah ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1)

supir angkutan umum di Terminal Amplas Medan?

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Pemerintah Daerah/Dinas Kesehatan

Bagi pemerintah daerah/dinas kesehatan, penelitian ini dapat menjadi masukan dalam merencanakan program pengendalian penyakit paru di masyarakat.

2. Institusi Pendidikan

Bagi institusi pendidikan, penelitian ini dapat menambah studi kepustakaan institusi dan sebagai informasi tambahan untuk penelitian selanjutnya.

3. Subjek Penelitian

Bagi subjek penelitian, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan untuk mencegah terjadinya penyakit paru dengan mengurangi faktor risiko paru.


(21)

4. Peneliti

Bagi peneliti, penelitian dapat menambah wawasan dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peneliti serta mengembangkan ilmu yang telah diterima dalam bangku perkuliahan.


(22)

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Respirasi

Fungsi utama sistem respirasi adalah untuk menghirup oksigen dari lingkungan eksternal dan menyediakannya bagi sel- sel tubuh serta membuang karbon dioksida yang diproduksi oleh metabolisme sel keluar dari tubuh (Levitzky, 2013).

Pernafasan dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu ventilasi, difusi, dan perfusi. Gangguan pernafasan bisa terjadi pada ketiga tahap ini secara spesifik atau secara bersamaan, contohnya seperti pada fibrosis paru, pneumonia, dan gagal jantung. (Pearce, 2009).

Proses pernafasan dimulai dari masuknya oksigen melalui mulut atau hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus sampai dengan alveoli. Dari alveoli oksigen berdifusi masuk ke dalam darah dan dibawa oleh eritrosit (sel darah merah). Dalam darah, oksigen dibawa ke jantung kemudian dipompakan oleh jantung untuk diedarkan ke seluruh tubuh dan digunakan sampai tingkat sel. Oksigen masuk ke dalam sel dan di dalam mitokondria digunakan untuk proses-proses metabolisme yang penting untuk kelangsungan hidup. Sedangkan karbon dioksida berjalan arah sebaliknya dengan oksigen (Guyton dan Hall, 2008).

2.2 Anatomi Paru

Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa sub bagian menjadi


(23)

sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum (Sherwood, 2001).

Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi menjadi pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput yang langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang menempel pada rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga yang disebut kavum pleura (Guyton dan Hall, 2007).


(24)

8

Sistem pernafasan dapat dibagi ke dalam sitem pernafasan bagian atas dan pernafasan bagian bawah :

1. Pernafasan bagian atas meliputi, hidung, rongga hidung, sinus paranasal, dan faring.

2. Pernafasan bagian bawah meliputi, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan alveolus paru (Guyton dan Hall, 2007). Pergerakan dari dalam ke luar paru terdiri dari dua proses, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari dalam paru ke atmosfer. Agar proses ventilasi dapat berjalan lancar dibutuhkan fungsi yang baik pada otot pernafasan dan elastisitas jaringan paru. Otot-otot pernafasan dibagi menjadi dua yaitu : 1. Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna, sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma.

2. Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis internus ( Alsagaff dan Mukty, 2005).

Gambar 2.2. Otot-otot pernafasan inspirasi dan ekspirasi (Tortora,2012)


(25)

Respirasi adalah suatu proses dimana terjadi pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida pada saat terjadi metabolisme sel. Organ vital untuk melakukan proses respirasi disebut dengan paru-paru. Menurut Moore, Dalley, dan Agur (2006), fungsi utama paru-paru adalah untuk memasukkan oksigen ke dalam darah (oksigenasi) dan mendistribusikan darah ke setiap sel dan jaringan di dalam tubuh. Paru-paru terletak pada rongga dada mediastinum. Mediastinum terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian lateral kiri dan kanan yang disebut juga dengan kavum pulmonalis. Kavum pulmonalis dilapisi oleh suatu lapisan yang disebut dengan pleura. Struktur paru-paru pada manusia hidup biasanya melingkupi kavum pulmonalis secara keseluruhan, berkonsistensi elastis, lembut dan ringan.

Mediastinum terhubung dengan paru-paru melalui akar paru. Akar paru ini terdiri atas bronkus utama, pembuluh darah, pembuluh limfatik dan saraf yang keluar masuk melalui hilum paru. Hilum paru bisa dianalogikan sebagai akar tumbuhan di dalam tanah.

Paru-paru terbagi menjadi beberapa lobus. Paru-paru kanan memiliki tiga lobus sedangkan paru-paru kiri memiliki dua lobus. Ditinjau dari massa atau berat organnya, paru-paru kanan lebih berat serta lebih besar apabila dibandingkan dengan paru-paru kiri. Tetapi dikarenakan ada liver di bagian bawah paru-paru, maka kubah diafragma lebih tinggi sehingga menyebabkan paru-paru kanan lebih pendek dan melebar.

Masing-masing paru mempunyai :

- Apex (bagian superior paru), base (bagian inferior paru yang berbatasan dengan diafragma)

- Tiga permukaan (permukaan kostal, mediastinal dan diafragmatik) - Tiga perbatasan (anterior, inferior, dan posterior)

Jaringan paru normal bersifat elastis, licin, berwarna merah dadu tua, dan tidak mempunyai jaringan partikel-partikel karbon. Sebaliknya, apabila seseorang itu adalah pecandu rokok, jaringan parunya berwarna kehitaman dan mengandung


(26)

10

partikel-partikel karbon. Hal ini menyebabkan daya keelastisan paru hilang sehingga pertukaran udara tidak dapat berjalan lancar (Jos Usin, 2000).

2.2.1 Ventilasi Paru

Ventilasi paru adalah proses masuk dan keluarnya udara melalui sistem respirasi. Secara harafiah, respirasi atau pernafasan merupakan pergerakan oksigen dari atmosfer menuju sel-sel dan keluarnya karbon dioksida dari sel-sel ke udara bebas. Orang dewasa normal bernafas sekitar 16 kali per menit. Pertukaran udara ini di bantu dengan pergerakan otot yang berguna untuk melakukan proses inspirasi dan ekspirasi (McKinley dan O’Loughlin, 2006).

Tujuan utama terjadinya proses ventilasi paru adalah untuk menjaga konsentrasi oksigen dan karbon dioksida dalam keadaan yang sesuai di dalam lumen alveoli. Tujuan ini dapat diperoleh dengan terjadinya ventilasi paru diikuti oleh tiga proses lainnya yaitu : pertukaran gas di alveoli, di sel-sel tubuh, dan mekanisme pengaturan respirasi.

Ventilasi melibatkan dua proses, yaitu inspirasi (pemasukan udara) dan ekspirasi (pengeluaran udara). Kedua proses ini dapat dicapai apabila terjadi perbedaan tekanan udara. Prinsip pada ventilasi ini ialah udara mengalir dari tekanan yang lebih tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Perbedaan tekanan ini dibantu oleh kinerja otot-otot pernafasan dan dipengaruhi oleh volume dan kapasitas paru, resistensi aliran udara, dan daya kembang atau compliance paru (Guyton dan Hall, 2007).


(27)

1. Volume dan Kapasitas Paru

Tabel 2.1 Volume dan Kapasitas Paru Volume Paru/Kapasitas Definisi Nilai Rata-Rata (ml) Volume Alun Nafas

(Tidal Volume, VT)

volume udara yang diinspirasi dan diekspirasi setiap kali bernafas normal

500

Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory

Reserve Volume, IRV)

volume udara ekstra yang dapat diinspirasi setelah volume tidal

3000

Volume Cadangan Ekspirasi ( Expiratory

Reserve Volume, ERV)

volume udara yang masih bisa dikeluarkan dengan melakukan ekspirasi kuat pada akhir ekspirasi normal

1100

Volume Residu

(Residual Volume,

RV)

volume udara yang masih tetap berada dalam paru setelah ekspirasi kuat

1200

Kapasitas Inspirasi

(Inspiratory Capacity,

IC = IRV + VT)

jumlah udara yang dapat dihirup mulai pada tingkat ekspirasi normal dan mengembangkan parunya sampai jumlah maksimal


(28)

12

Kapasitas Vital (Vital Capacity, VC =

IRV+ VT+ ERV)

jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan dari paru setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimal dan kemudian mengeluarkannya sebanyak-banyaknya

4600

Kapasitas Vital Paksa

(Forced Vital

Capacity, FVC)

volume total dari udara yang

dihembuskan dari paru-paru setelah inspirasi maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa minimum

4800

Kapasitas Paru Total

(Total Lung Capacity,

TLC = IC+ FRC)

volume maksimal saat paru dapat dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa

5800

Sumber: Guyton dan Hall, 2007

2. Resistansi Aliran Udara

Pada pernapasan normal, sebagian besar upaya pernapasan adalah untuk mengatasi daya kembang paru dan dinding dada. Resistensi jaringan paru hanya sekitar 10 % dan 80 % sisanya adalah resistensi aliran udara. Kerja untuk mengatasi resistensi aliran udara adalah kecil, tetapi jika pernapasan menjadi lebih dalam dan cepat kerja yang dikeluarkan untuk mengatasi resistensi aliran udara cepat meningkat (Astrand,2003).


(29)

Tekanan saluran napas normal adalah sekitar 1,5 cm H2O/l/detik.

Tahanan aliran udara hidung adalah tiga kali lebih tinggi. Jika saluran udara menyempit atau tersumbat oleh mukus, maka akan terjadi peningkatan resistensi udara, khususnya pada volume paru bagian bawah yang lumen-lumen saluran udaranya lebih sempit. Pada emfisema, saluran napas mengalami obstruksi yang irreversibel dan resistansi udara akan meningkat empat sampai enam kali yang terjadi di bronkioli dan saluran napas kecil (Sodeman, 1995)

3. Daya kembang (compliance) paru

Daya kembang adalah suatu ukuran distensibilitas paru-paru dan dinyatakan dengan perubahan volume paru yang terjadi karena tekanan antara pleura dan alveoli (tekanan transpulmonal), dimana setiap kali tekanan transpulmonal meningkat 1 cm H2O maka terjadi pengembangan paru

sebanyak 200 ml (Guyton dan Hall, 2007).

Daya kembang ditentukan oleh daya elastis paru. Daya elastis ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu daya elastis dari jaringan paru itu sendiri dan daya yang disebabkan oleh tegangan permukaan cairan yang membatasi dinding dalam alveoli dan ruang udara paru lainnya yang dinamakan surfaktan. Daya kembang paru juga bergantung pada ukuran paru, dimana makin besar paru-paru, maka makin besar daya kembang (Sodeman, 1995).

Beberapa keadaan yang merusak jaringan paru, menyebabkan terjadinya fibrotik atau edema, penyumbatan bronkiol atau cara lain apapun yang menghalangi pengembangan dan pengempisan paru menyebabkan

compliance paru berkurang.

2.2.2 Difusi

Setelah alveoli ditukar dengan udara segar, tahapan yang selanjutnya terjadi dalam proses respirasi adalah difusi oksigen dari alveoli ke pembuluh darah paru dan difusi karbondioksida kearah sebaliknya. Dinding alveolus sangat tipis dan di


(30)

14

dalamnya terdapat jaringan kapiler yang padat dan saling berhubungan, sehingga jelas bahwa gas alveolus berada sangat dekat dengan darah kapiler. Pertukaran gas antara udara alveolus dan pembuluh darah paru terjadi melalui membran di seluruh bagian terminal paru, yaitu membran alveolus berkapiler tipis. Yang mendorong untuk terjadinya pertukaran ini adalah selisih tekanan parsial antara daerah dan fase gas (Guyton dan Hall, 2007).

Proses difusi ini terjadi melewati dinding alveoli, ruang interstitial, endotel kapiler, plasma dan dinding eritrosit. Oksigen dari alveoli setelah melewati jaringan tersebut akan berikatan dengan hemoglobin membentuk HbO2. Setiap gangguan atau

kerusakan pada jaringan yang dilalui pada proses difusi dapat menurunkan difusi oksigen kedalam darah. Contoh gangguan difusi yaitu apabila terjadi penebalan dinding alveoli pada fibrosis, terisinya ruang intersistitial oleh cairan edema pada paru, penebalan endotel kapiler, pengentalan plasma pada hemokonsentrasi (Yunus, 1992).

2.2.3 Perfusi

Proses perfusi adalah penyebaran darah yang sudah teroksigenasi ke seluruh paru dan jaringan tubuh. Bila oksigen telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru, oksigen terutama ditranspor dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan dimana oksigen dilepaskan untuk dipergunakan oleh sel. Adanya hemoglobin di dalam sel darah merah memungkinkan darah mengangkut 30 sampai 100 kali jumlah oksigen yang dapat ditranspor dalam bentuk oksigen terlarut di dalam cairan darah (plasma). Dalam sel jaringan oksigen bereaksi dengan berbagai bahan makanan membentuk sejumlah besar karbondioksida. Karbondioksida ini masuk ke dalam kapiler jaringan dan ditranspor kembali ke paru. Karbondioksida, seperti oksigen, juga bergabung dengan bahan-bahan kimia dalam darah yang meningkatkan transportasi karbondioksida 15-20 kali lipat. Gangguan perfusi terjadi apabila ada emboli pada pembuluh darah (Guyton dan Hall, 2007).


(31)

2.3. Pengukuran Fungsi Paru

Uji faal paru bertujuan untuk mengetahui apakah fungsi paru seseorang individu dalam keadaan normal atau abnormal. Pemeriksaan faal paru biasanya dikerjakan berdasarkan indikasi atau keperluan tertentu, misalnya untuk menegakkan diagnosis penyakit paru tertentu, evaluasi pengobatan asma, evaluasi rehabilitasi penyakit paru, evaluasi fungsi paru bagi seseorang yang akan mengalami pembedahan toraks atau abdomen bagian atas, penderita penyakit paru obstruktif menahun, akan mengalami anestesi umum sedangkan yang bersangkutan menderita penyakit paru atau jantung dan keperluan lainnya.

Secara lengkap uji faal paru dilakukan dengan menilai fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi darah paru dan transport gas O2 dan CO2 dalam peredaran darah. Fungsi

paru disebut normal apabila PaO2 > 50 mmHg dan PaCO2 < 50 mmHg dan disebut

gagal napas apabila PaCO2 < 50 mmHg dan PaCO2 > 50 mmHg.

Untuk keperluan praktis dan uji skrining, biasanya penilaian faal paru seseorang cukup dengan melakukan uji fungsi ventilasi paru. Apabila fungsi ventilasi nilainya baik, dapat mewakili keseluruhan fungsi paru dan biasanya fungsi-fungsi paru lainnya juga baik. Penilaian fungsi ventilasi berkaitan erat dengan penilaian mekanika pernapasan. Untuk menilai fungsi ventilasi digunakan spirometer untuk mencatat grafik pernapasan berdasarkan jumlah dan kecepatan udara yang keluar atau masuk ke dalam spirometer (Alsagaff dan Mukty, 2005).

Spirometri merupakan suatu metode sederhana yang dapat mengukur sebagian terbesar volume dan kapasitas paru-paru. Spirometri merekam secara grafis atau digital volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital paksa. Volume Ekspirasi Paksa (VEP) atau Forced Expiratory Volume (FEV) adalah volume dari udara yang dihembuskan dari paru-paru setelah inspirasi maksimum dengan usaha paksa minimum, diukur pada jangka waktu tertentu. Biasanya diukur dalam satu detik (VEP

1). Kapasitas Vital Paksa atau Forced Vital Capacity (FVC) adalah volume total dari

udara yg dihembuskan dari paru-paru setelah inspirasi maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa minimum. Pemeriksaan dengan spirometer ini penting untuk


(32)

16

pengkajian fungsi ventilasi paru secara lebih mendalam. Jenis gangguan fungsi paru dapat digolongkan menjadi dua yaitu gangguan fungsi paru obstruktif (hambatan aliran udara) dan restriktif (hambatan pengembangan paru). Seseorang dianggap mempunyai gangguan fungsi paru obstruktif bila nilai VEP1/KVP < 70% dan

menderita gangguan fungsi paru restriktif bila nilai KVP < 80% dibanding dengan nilai standar (Alsagaff dan Mukty, 2005). Prosedur yang paling umum digunakan adalah subjek menarik nafas secara maksimal dan menghembuskannya secepat mungkin dan nilai KVP dibandingkan terhadap nilai normal.

Keadaan fungsi paru seseorang dapat diketahui dengan pengukuran kapasitas vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa satu detik (VEP1). Penurunan nilai

kapasitas vital paksa dan volume ekspirasi paksa satu detik merupakan salah satu indikator terjadinya gangguan fungsi paru (Astrand, 2003).

2.3.1 Kapasitas Vital Paksa (KVP)

Kapasitas vital paksa adalah jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan seseorang dari paru, setelah terlebih dahulu inspirasi maksimal dan kemudian ekspirasi maksimal. Kapasitas vital dapat digunakan untuk menilai VO2 maks,

dimana terdapat hubungan penting antara kapasitas vital paru dengan pengambilan oksigen maksimal. Pengukuran kapasitas vital merupakan salah satu pemeriksaan yang dapat memberi informasi, khususnya mengenai daya regang dan sistem respirasi. Kapasitas vital dalam keadaan normal, nilainya lebih kurang sama dengan kapasitas vital paksa (KVP), yaitu hasil yang diperoleh bila seseorang melakukan inspirasi maksimal kemudian mengeluarkan nafas sebanyak-banyaknya dan secepat mungkin ke dalam spirometri.

Nilai kapasitas vital sangat dipengaruhi oleh karakteristik fisik seperti usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan dan kekuatan otot. Selain bentuk anatomi seseorang, faktor-faktor utama yang mempengaruhi kapasitas vital adalah (1) posisi seseorang selama pengukuran kapasitas vital (2) kekuatan otot pernapasan (3) pengembangan paru dan rangka dada yang disebut compliance paru. Faktor yang


(33)

mampu mengurangi kemampuan paru untuk mengembang juga menurunkan kapasitas vital. Contohnya tuberkulosa, asma kronik, kanker paru, bronkitis, bronkitis kronik dan pleuritis fibrosa (Guyton dan Hall, 2007).

2.3.2 Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1)

Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1) adalah volume udara yang dapat

diekspirasikan dalam waktu standar selama tindakan KVP, dimana seseorang terlebih dahulu melakukan inspirasi maksimal kemudian diekspirasikan secara paksa sekuat-kuatnya dan semaksimal mungkin. Dengan cara ini, kapasitas vital orang tersebut dapat diekspirasikan dalam satu detik (Astrand, 2003).

Pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan spirometri untuk menentukan seberapa banyak kapasitas vital paru yang dapat diekspirasikan dalam satu detik dan volume ini menunjukkan persentase pada seluruh kapasitas vital paru seseorang. VEP1 menunjukkan ada atau tidaknya gangguan paru yang berat dan nilai

ini akan menurun pada orang yang mengalami obstruksi jalan nafas.

2.3.3 VO2 Maks

Kegiatan yang berhubungan dengan kebugaran jasmani sangat penting untuk memelihara kesehatan secara umum, terutama daya tahan jantung dan paru. Hal – hal yang menggambarkan daya tahan jantung adalah kemampuan sistem jantung, pembuluh darah dan paru – paru untuk melakukan fungsinya secara optimal yaitu dengan mengambil oksigen dan menyalurkannya ke otot pada saat beraktifitas sehingga otot dapat berkontraksi lebih lama. Kemampuan daya tahan jantung dan paru setiap individu tentunya berbeda – beda, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan kebugaran jasmani yaitu dengan mengukur V02 maks (Foss, 1998).

VO2 maks adalah suatu area dimana terdapat konsumsi oksigen yang stabil

dan tidak menunjukkan suatu peningkatan (hanya meningkat sedikit apabila beban kerja ditambah). Nilai VO2 maks menggambarkan kapasitas seseorang untuk


(34)

18

melakukan resintesis ATP secara aerob dan juga kemampuan tubuh untuk mengangkut dan menggunakan oksigen (Wardhana, 2001).

2.4 Pencemaran Udara

Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya (Wardhana, 2001). Komponen yang paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara, dapat dilihat pada tabel :

Tabel 2.2. Perkiraan Presentase Komponen Pencemar Udara dan Sumber Pencemar Transportasi di Indonesia

Sumber: Wardhana, 2001

1) Karbon Monoksida

Sumber CO buatan antara lain kendaraan bermotor, terutama yang menggunakan bahan bakar bensin. Berdasarkan estimasi, jumlah CO dari sumber buatan diperkirakan mendekati 60 juta ton per tahun. Separuh dari jumlah ini berasal dari kendaraan bermotor yang menggunakan bakan bakar bensin dan sepertiganya berasal dari sumber tidak bergerak seperti pembakaran batu bara dan minyak dari industri dan pembakaran sampah domestik. Di dalam laporan WHO (1992) dinyatakan paling tidak 90 % dari CO di udara perkotaan berasal dari emisi kendaraan bermotor. Selain itu asap rokok juga mengandung CO, sehingga para perokok dapat memajan dirinya sendiri dari asap rokok yang sedang dihisapnya.

Komponen Pencemar Prosentase

CO NO

X

SO

X

HC Partikel

70,50% 8,89% 0,88%

18,34% 1,33%

Total 100%


(35)

Karakteristik biologik yang paling penting dari CO adalah kemampuannya untuk berikatan dengan haemoglobin, pigmen sel darah merah yang mengangkut oksigen keseluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan karboksihaemoglobin (HbCO) yang 200 kali lebih stabil dibandingkan oksihaemoglobin (HbO2). Penguraian

HbCO yang relatif lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul sel pigmen tersebut dalam fungsinya membawa oksigen keseluruh tubuh. Kondisi seperti ini bisa berakibat serius, bahkan fatal, karena dapat menyebabkan keracunan. Selain itu, metabolisme otot dan fungsi enzim intra-seluler juga dapat terganggu dengan adanya ikatan CO yang stabil tersebut. Dampak keracunan CO sangat berbahaya bagi orang yang telah menderita gangguan pada otot jantung atau sirkulasi darah periferal yang parah.

2) Nitrogen Dioksida (NOx)

Kadar NOx diudara perkotaan biasanya 10–100 kali lebih tinggi dari pada di udara pedesaan. Kadar NOx diudara daerah perkotaan dapat mencapai 0,5 ppm (500 ppb). Seperti halnya CO, emisi NOx dipengaruhi oleh kepadatan penduduk karena sumber utama NOx yang diproduksi manusia adalah dari pembakaran dan kebanyakan pembakaran disebabkan oleh kendaraan bermotor, produksi energi dan pembuangan sampah. Sebagian besar emisi NOx buatan manusia berasal dari pembakaran arang, minyak, gas, dan bensin. Oksida nitrogen seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia. Penelitian

menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO.

Selama ini belum pernah dilaporkan terjadinya keracunan NO yang mengakibatkan kematian. Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 yang bersifat racun. Penelitian


(36)

20

sangat tinggi, memperlihatkan gejala kelumpuhan sistem saraf dan kekejangan.

3) Oksidan

Oksidan fotokimia masuk kedalam tubuh dan pada kadar subletal dapat mengganggu proses pernafasan normal, selain itu oksidan fotokimia juga dapat menyebabkan iritasi mata.

4) Hidrokarbon / Hydrocarbon (HC)

Sebagai bahan pencemar udara, hidrokarbon dapat berasal dari proses industri yang diemisikan ke udara dan kemudian merupakan sumber fotokimia dari ozon. Sumber HC dapat pula berasal dari sarana transportasi. Kondisi mesin yang kurang baik akan menghasilkan HC. Pada umumnya pada pagi hari kadar HC di udara tinggi, namun pada siang hari menurun. Sore hari kadar HC akan meningkat dan kemudian menurun lagi pada malam hari.

5) Khlorin

Selain bau yang menyengat gas khlorin dapat menyebabkan iritasi pada mata saluran pernafasan. Apabila gas khlorin masuk dalam jaringan paru-paru dan bereaksi dengan ion hidrogen akan dapat membentuk asam khlorida yang bersifat sangat korosif dan menyebabkan iritasi dan peradangan.

6) Partikel Debu / Suspended Particulate Matter

Partikulat debu melayang (Suspended Particulate Matter/SPM) merupakan campuran yang sangat rumit dari berbagai senyawa organik dan anorganik yang terbesar di udara. Secara alamiah partikulat debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang terbawa oleh angin atau berasal dari muntahan letusan gunung berapi. Pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar yang mengandung senyawa karbon akan murni atau bercampur dengan gas-gas organik


(37)

seperti halnya penggunaan mesin disel yang tidak terpelihara dengan baik. Inhalasi merupakan satu-satunya rute masuknya debu.

7) Timah Hitam (Pb)

Gangguan kesehatan adalah akibat bereaksinya Pb dengan gugusan sulfhidril dari protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat pembuatan hemoglobin, Gejala keracunan akut didapati bila tertelan dalam jumlah besar yang dapat menimbulkan sakit perut muntah atau diare akut. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi lelah sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang dan gangguan penglihatan.

2.5 Gambaran Pola Ventilasi Abnormal 2.5.1 Pola Obstruktif (Hambatan Aliran Udara)

- Parameter : VEP1

- VEP1 < 80%

- VEP1/KVP < 75%

- Contoh : asma bronkhial, penyakit paru obstruktif kronis, bronkiektasis (Djojodibroto, 2009)

2.5.2 Pola Restriktif (Gangguan Pengembangan Paru) - Parameter : KVP

- KVP < 80%

- Contoh : fibrosis paru, atelektasis, tumor paru, pneumonia (Djojodibroto, 2009)


(38)

22

2.5.3 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Spirometri

Tabel 2.3 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Spirometri

Obstruktif Restriktif Campuran VEP1

KVP

atau normal

VEP1/KVP atau normal

Sumber: Johns dan Pierce, 2007

2.5.4 Klasifikasi Gangguan Fungsi Paru Berdasarkan Nilai Spirometri Tabel 2.4 Klasifikasi Gangguan Fungsi Paru Berdasarkan Nilai Spirometri

RESTRIKSI (KVP)

OBSTRUKSI (VEP1/KVP)

Normal >80% >75%

Ringan 60-79% 60-74%

Sedang 30-59% 30-59%

Berat <30% <30%

Sumber: Djojodibroto, 2009

2.6 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik

2.6.1 Lama Bekerja

Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di suatu tempat (Tulus, 1992). Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja (pada suatu kantor, badan dan sebagainya) (Depdikbud, 2001).


(39)

Selanjutnya, masa kerja dapat mempengaruhi tenaga kerja baik positif maupun negatif. Masa kerja dapat memberikan pengaruh positif kepada tenaga kerja bila dengan lamanya seseorang bekerja maka dia akan semakin berpengalaman dalam melakukan tugasnya. Sebaliknya akan memberikan pengaruh negatif apabila semakin lamanya seseorang bekerja maka akan menimbulkan kebosanan. Secara garis besar masa kerja dapat di kategorikan dikategorikan menjadi 3 yaitu:

1. Masa kerja baru : < 6 tahun 2. Masa kerja sedang : 6-10 tahun 3. Masa kerja : >10 tahun (Tulus, 1992)

Menurut Suma’mur (2009) semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Pada tenaga kerja di perusahaan meubel semakin lama terpapar debu dan terus menerus dapat mempengaruhi kesehatan terutama saluran pernafasan.

2.6.2 Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan paru berupa bronchitis dan emfisema. Pada kedua keadaan ini terjadi penurunan fungsi paru. Selain itu pecandu rokok sering menderita penyakit batuk kronis, kepala pusing, perut mual, sukar tidur dan lain-lain. Kalau gejala-gejala diatas tidak segera diatasi maka gejala yang lebih buruk lagi akan terjadi, seperti semakin sulit untuk bernapas, kecepatan pernapasan bertambah, kapasitas vital berkurang, dan lain-lain (Jos Usin, 2000).

Struktur dan fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru-paru dapat berubah akibat merokok. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mukus bertambah banyak. Pada saluran pernapasan kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran napas, akan timbul perubahan klinisnya. Hal ini menjadi dasar utama terjadinya penyakit obstruktif paru menahun (Depkes RI, 2003).


(40)

24

2.7 Terminal Amplas Kota Medan

Terminal merupakan tempat beresiko terjadinya pencemaran udara yang berasal dari emisi kendaraan bermotor, yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan terutama bagi supir angkutan umum maupun pedagang yang secara kontinu dan langsung menghirup udara di sekitar terminal.

Di Kota Medan terdapat beberapa terminal angkutan seperti Terminal Pinang Baris, Terminal Sambu, dan Terminal Amplas. Terminal Amplas merupakan salah satu terminal terbesar di Kota Medan dan mempunyai letak yang strategis sehingga dapat dijangkau dari segala trayek (jurusan) angkutan umum dalam Kota Medan. Terminal Amplas merupakan tempat pemberhentian dan pemberangkatan transportasi baik antar kota maupun antar propinsi. Perhitungan jumlah bus yang keluar masuk setiap harinya rata-rata adalah 4459 – 4973 unit.

Pencemaran udara oleh debu di Terminal Amplas Kota Medan telah melebihi Baku Mutu Udara Ambien dimana kadar debu di terminal ini sebesar 2,11 mg/m3 . Berdasarkan Peraturan pemerintah RI No. 41 tahun 1999 hanya diperbolehkan kadar debu sebesar 0,23 mg/m3. Berdasarkan penelitian ini juga ditemukan bahwa perilaku supir angkutan kota yang sering menekan gas sewaktu menunggu penumpang memicu debu tanah berterbangan ke udara (Sidabukke, 2002).

Udara yang tercemar oleh debu dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Partikel debu sekitar 5 mikron merupakan ukuran partikel di udara yang dapat masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli yang dapat menyebabkan terganggunya saluran pernafasan. Keadaan ini akan lebih parah bila reaksi sinergistik dengan SO2.

Selain itu, partikel debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata. Partikel debu juga dapat menyebabkan kanker, memperberat penyakit jantung dan pernafasan dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Depkes RI, 1993).


(41)

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Variabel dan Definisi Operasional

Tabel 3.2 Variabel dan Definisi Operasional No Variabel Definisi

Operasional

Cara Ukur

Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur 1 Lama Bekerja waktu atau

lamanya subjek bekerja sebagai supir angkutan umum

dihitung dalam satuan tahun

dilihat dari lembar kuesioner

lembar kuesioner

0 = baru

(≤5 tahun) 1 = lama

(>5 tahun)


(42)

26

2 Kebiasaan Merokok

perilaku

merokok yang sering

dilakukan oleh subjek dilihat dari lembar kuesioner lembar kuesioner

0 = tidak merokok

1 = merokok

nominal

3 Kapasitas Vital Paru (KVP)

jumlah udara maksimal yang dapat

dikeluarkan seseorang dari paru, setelah terlebih dahulu insipirasi maksimal dan kemudian ekspirasi maksimal. dilihat dari pembaca an hasil kertas spirogra m

spirometer dan kertas spirogram

•KVP≥80% = tidak ada gangguan restriksi paru

•KVP< 80% = ada gangguan restriksi paru

nominal

4 Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1)

volume udara yang dapat diekspirasikan dalam waktu standar selama tindakan KVP, dimana subjek melakukan inspirasi maksimal lalu diekspirasikan secara paksa sekuat-kuatnya

dilihat dari pembaca an hasil kertas spirogra m

spirometer dan kertas spirogram

•VEP1≥ 80%

= tidak ada gangguan obstruksi paru

•VEP1 < 80%

= ada gangguan obstruksi paru

nominal


(43)

dan

semaksimal mungkin dalam 1 detik

3.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian serta tinjauan kepustakaan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka disusun hipotesis penelitian sebagai berikut : Ada hubungan faktor lama bekerja dan kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru dan volume ekspirasi paksa satu detik.


(44)

28

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik dengan pendekatan cross

sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lama bekerja dan

kebiasaan merokok dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Satu (VEP1) pada supir angkutan umum di Terminal Amplas Medan.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Terminal Amplas - Medan. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan pertimbangan bahwa Terminal Amplas Medan merupakan salah satu terminal terbesar di Kota Medan dengan aktivitas kendaraan yang tinggi dari berbagai penjuru setiap harinya.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan bulan Juli sampai Agustus 2015.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Sebagai populasi di dalam penelitian ini adalah seluruh supir angkutan umum yang berada di lima wilayah terminal di Medan, yaitu Terminal Amplas, Terminal Pinang Baris, Terminal Sambu, Terminal Veteran, dan Terminal Belawan. Mengingat keseluruhan populasi memiliki karakteristik homogen dan keterbatasan dari peneliti, maka pengambilan sampel penelitian dikhususkan kepada supir angkutan umum yang berada di Terminal Amplas, Medan.

Dari populasi ini akan diambil subjek penelitian. Subjek penelitian adalah supir angkutan umum di Terminal Amplas. Subjek penelitian dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut :


(45)

A. Kriteria Inklusi

- Berjenis kelamin laki-laki

- Sudah bekerja di atas minimal 1 tahun sebagai supir angkutan umum

B. Kriteria Eksklusi

- Mempunyai penyakit pernafasan kronis - Tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian

4.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah supir angkutan umum yang berada di Terminal Amplas Medan. Cara pengambilan sampel yaitu dengan consecutive

sampling. Dengan rumus adalah sebagai berikut (Lameshow, et al, 1977) :

Z2. p. (1 – p)

no =

e2

(1,96)2 x (0,5 - 0,25)

no =

(0,1)2 3,8416 x (0,25)

no =

0,01 0,9604

no =

0,01 no = 96,04


(46)

30

Dengan keterangan,

no : besar sampel yang akan diteliti

Z2 : tingkat kepercayaan hasil penelitian, berdasarkan kaidah inferensi statistik tingkat kepercayaan yang terendah adalah 95%, pada level ini nilai z adalah 1,96

P : besarnya masalah atau proporsi kategori penelitian sebelumnya yang belum pernah diteliti (0,5)

E : dispersi (penyimpangan) hasil penelitian. Batas penyimpangan yang masih ditoleransi adalah 10% = 0,1

Dari perhitungan rumus diatas maka jumlah sampel yang diteliti adalah 96, dan untuk memudahkan penelitian maka jumlah sampel dibulatkan menjadi 100.

4.4 Teknik Pengumpulan Data 4.4.1. Data Primer

4.4.1.1 Alat dan Bahan Penelitian

Pengumpulan data lama bekerja dan kebiasaan merokok digunakan dengan mendesain kuesioner penelitian. Kuesioner penelitian dibuat secara terstruktur. Untuk pengukuran kapasitas vital paru dan volume ekspirasi paksa satu detik digunakan alat spirometer. Hasil dari data-data tersebut akan dibuat dalam tabulasi data. Berikut alat dan bahan yang digunakan secara rinci :

1. Kertas dan alat tulis

2. MIR Spiro Lab II

3. Kertas spirogram 4. Alkohol

5. Tissue


(47)

4.4.1.2 Prosedur Penelitian

Kuesioner penelitian langsung diberikan kepada subjek yang terpilih dan saat itu diisi dan langsung dikumpulkan dengan pendampingan peneliti dan dibantu oleh beberapa tenaga kesehatan Departemen Kesehatan Kota Medan. Pada saat proses pengumpulan data, peneliti menunggu sampai kuesioner selesai diisi dan langsung diperiksa kelengkapan pengisian datanya untuk menjaga kemurnian jawaban yang diisi. Pengukuran spirometri dilakukan oleh peneliti sendiri dan dibantu oleh beberapa tenaga kesehatan Departemen Kesehatan Kota Medan.

Khusus pada saat pengukuran spirometri, subjek diarahkan untuk melakukan latihan percobaan meniup, dan juga alat spirometri dipastikan dalam keadaan siap untuk mengukur data dengan akurat.

Posisi subjek pada saat dilakukan pengukuran, diarahkan berdiri secara tegap, tidak diperkenankan membungkuk, karena dapat mempengaruhi hasil pengujian. Sehingga posisi mouthpiece diupayakan agar sejajar dengan mulut subjek dan subjek mengambil napas sebanyak mungkin melalui mulut kemudian menghembuskannya dengan maksimal ke mouthpiece yang tersambung ke alat spirometer.

Peneliti harus menekan tombol start secara bersamaan dengan dimulainya ekshalasi maksimal oleh subjek. Hal ini sangat penting untuk menjamin keakuratan pengukuran, karena bila terlambat atau terlalu cepat menekan tombol start, maka hasil pengukuran tidak bisa diinterpretasikan dengan baik.

Subjek diwajibkan untuk terus melakukan ekshalasi sampai hasil spirometri keluar dan tertera pada kertas spirogram secara otomatis, kurang lebih sekitar 6 sampai 7 detik. Proses ini dilakukan minimal sebanyak tiga kali kepada setiap subjek.

Hasil yang terekam pada kertas spirogram merupakan sebuah kurva hubungan antara waktu dan kapasitas vital serta volume ekspirasi paksa satu detik.


(48)

32

4.5. Ethical Clearance

Ethical clearance atau kelayakan etik adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh komisi etik penelitian untuk penelitian yang melibatkan makhluk hidup serta manusia, hewan dan tumbuhan, dimana dinyatakan bahwa suatu proposal riset layak dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan tertentu. Pada penelitian ini, kuesioner akan diberikan kepada supir angkutan umum di Terminal Amplas Medan, jika ethical clearence pada penelitian ini sudah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran USU.

4.6. Teknik Pengolahan dan Analisa Data 4.6.1. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu : 1. Penyuntingan Data / Editing

Penyuntingan data, berguna untuk memeriksa adanya kesalahan atau kekurang lengkapan data yang diisi subjek.

2. Pemberian Kode / Coding

Dilakukan untuk memberi kode dan nomer jawaban yang diisi subjek dalam daftar pertanyaan penelitian. Pemberian kode dilakukan untuk memudahkan proses entri data ke komputer.

3. Pembukuan / Entry

Memasukkan data dari kuesioner ke dalam program komputer, dengan menggunakan program analisa data.

4. Pembersihan Data / Data Cleaning

Bertujuan untuk membersihkan data, agar seluruh data yang sudah diperoleh bebas dari kesalahan sebelum dilanjutkan dengan proses analisa data.


(49)

4.6.2. Analisa Data

Dalam penelitian ini dilakukan dilakukan tahapan analisa sebagai berikut : 1. Analisa Data Univariat

Dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari setiap variabel yang diperkirakan berpengaruh terhadap volume kapasitas vital paru dan volume ekspirasi paksa satu detik sesuai dengan kerangka pemikiran penelitian.

2. Analisa Data Bivariat

Dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan atau perbedaan dari variabel independen dengan variabel dependen sesuai dengan kerangka pemikiran penelitian.

Karena desain penelitian adalah untuk melihat apakah ada hubungan antara variabel, maka analisa penelitian yang digunakan adalah Analisa

X2 (Chi Square), dengan rumus :

(|0 – E|) X2 =

E

X2 = statistik chi square

0 = frekuensi hasil observasi E = frekuensi yang diharapkan

Untuk melihat hasil kemaknaan perhitungan statistik digunakan batas kemaknaan 0,05. Penerimaan terhadap hipotesa adalah jika p < 0,05 ( maka ada perbedaan atau ada hubungan yang bermakna antara variabel independen dan variabel dependen). Sedangkan penolakan terhadap hipotesa apabila nilai p > 0,05 (tidak ada perbedaan atau hubungan yang bermakna antara variabel independen dan variabel dependen).


(50)

34 BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Terminal Amplas Medan adalah merupakan salah satu terminal yang ada di Kota Medan yang berperan sebagai terminal bus antar kota dalam provinsi, antar kota antar provinsi dan angkutan dalam Kota Medan. Terminal Amplas mulai beroperasi secara resmi dilaksanakan pada tanggal 15 Juli 1991.

Luas Terminal Amplas adalah 50.961 m2. Dengan batas terminal adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Deli 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Deli 3. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Amplas

4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Deli

Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan Terminal Amplas Medan pada bulan Januari 2001, jumlah kendaraan yang keluar masuk di Terminal Amplas Medan untuk setiap harinya adalah sebanyak 10.000 unit.

5.1.2 Deskripsi Data Penelitian

Data penelitian yang digunakan adalah data primer. Data primer yaitu data yang didapatkan dari supir angkutan umum di Terminal Amplas Medan yang setuju menjadi responden.

5.1.3 Karakteristik Responden

Pada penelitian ini, karakteristik responden yang ada dapat dibedakan berdasarkan usia, tingkat pendidikan, lama bekerja, kebiasaan merokok, kapasitas vital paru, dan volume ekspirasi paksa satu detik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.


(51)

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Subjek Penelitian

No Variabel Jumlah (orang) Persentase (%)

1 2 3 4 5 6 Usia

Muda (≤44 tahun) Tua (>44 tahun) Tingkat Pendidikan Tamat SMP Tamat SMA Lama Bekerja Baru (≤5 tahun) Lama (>5 tahun) Kebiasaan Merokok Ya

Tidak KVP

Normal (≥80%) Tidak normal (<80%) VEP1

Normal (≥75%) Tidak normal (<75%)

49 51 30 70 28 72 75 25 40 60 45 55 49,0 51,0 30,0 70,0 28,0 72,0 75,0 25,0 40,0 60,0 45,0 55,0

Dari data tabel 5.1 terlihat bahwa supir angkutan umum yang tergolong muda yaitu 49% dan yang tergolong tua adalah 51%. Tingkat pendidikan supir angkutan umum yang tamat SMP yaitu 30% dan yang tamat SMA adalah 70%. Supir angkutan umum yang tergolong baru bekerja yaitu 28% dan yang tergolong sudah lama bekerja adalah 72%.

Berdasarkan karakteristik kebiasaan merokok, diketahui bahwa supir angkutan umum yang merokok yaitu 75% dan yang tidak merokok adalah 25%. Selain itu, supir angkutan umum yang memiliki kapasitas vital paru (KVP) yang tergolong tidak normal yaitu 60% dan yang normal adalah 40% sedangkan yang memiliki volume ekspirasi paksa satu detik (VEP1) yang tergolong tidak normal


(52)

36

5.1.4 Hasil Analisis Data

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara lama bekerja dan kebiasaan merokok terhadap kapasitas vital paru dan volume ekspirasi paksa satu detik. Data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 5.2 Hubungan Antara Lama Bekerja Dengan KVP

Lama Bekerja (tahun)

KVP (Restriktif)

Total p value

Normal n (%)

Tidak Normal n (%) Baru( ≤ 5 )

Lama( >5 )

25 (25%) 15 (15%) 40 3 (3,0%) 57 (57%) 60 28

72 0,01

Total 100

Berdasarkan data tabel 5.2 terlihat bahwa jumlah supir angkutan umum yang mempunyai nilai KVP normal yaitu sebanyak 40 orang, sedangkan yang tidak normal adalah 60 orang. Selanjutnya dapat dilihat juga bahwa gangguan restriksi paru lebih banyak ditemukan pada supir angkutan umum yang telah lama bekerja (57%) dibandingkan dengan supir yang tergolong baru bekerja (3,0%).

Pada supir angkutan umum yang tergolong baru bekerja, didapati bahwa 25 orang (25%) tidak memiliki gangguan restriksi paru dan 3 orang (3,0%) memiliki gangguan restriksi paru. Sedangkan pada supir angkutan umum yang telah lama bekerja terdapat 15 orang (15%) yang tidak memiliki gangguan restriksi paru dan 57 orang (57%) memiliki gangguan restriksi paru.

Dari hasil uji statistik yang dilakukan terdapat hubungan yang bermakna antara lamanya seorang supir bekerja dengan terjadinya gangguan restriksi paru dengan p value 0,01 (p < 0,05) Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa supir angkutan umum yang telah lama bekerja memiliki kemungkinan


(53)

lebih besar mengalami gangguan restriksi fungsi paru dibandingkan dengan supir angkutan yang tergolong baru bekerja.

Tabel 5.3 Hubungan Antara Lama Bekerja Dengan VEP1

Lama Bekerja (tahun)

VEP1(Obstruktif)

Total pvalue

Normal n (%)

Tidak Normal n (%) Baru( ≤ 5 )

Lama( >5 )

25 (25%) 3 (3,0%) 28

20 (20%) 52 (52%) 72 0,01

Total 45 55 100

Berdasarkan data tabel 5.3 terlihat bahwa jumlah supir angkutan umum yang mempunyai nilai VEP1 normal yaitu sebanyak 45 orang, sedangkan yang

tidak normal adalah 55 orang. Selanjutnya dapat dilihat juga bahwa gangguan obstruksi paru lebih banyak ditemukan pada supir angkutan umum yang telah lama bekerja (52%) dibandingkan dengan supir yang tergolong baru bekerja (3,0%).

Pada supir angkutan umum yang tergolong baru bekerja, didapati bahwa 25 orang (25%) tidak memiliki gangguan obstruksi paru dan 3 orang (3,0%) memiliki gangguan obstruksi paru. Sedangkan pada supir angkutan umum yang telah lama bekerja terdapat 20 orang (20%) yang tidak memiliki gangguan obstruksi paru dan 52 orang (52%) memiliki gangguan obstruksi paru.

Dari hasil uji statistik yang dilakukan terdapat hubungan yang bermakna antara lamanya seorang supir bekerja dengan terjadinya gangguan obstruksi paru dengan p value 0,01 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa supir angkutan umum yang telah lama bekerja memiliki kemungkinan lebih besar mengalami gangguan obstruksi fungsi paru dibandingkan dengan supir angkutan yang tergolong baru bekerja.


(54)

38

Tabel 5.4 Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan KVP

Kebiasaan Merokok

KVP (Restriktif)

Total pvalue

Normal n (%)

Tidak Normal n (%)

Ya 16 (16%) 59 (59%) 75

Tidak 24 (24%) 1 (1,0%) 25 0,01

Total 40 60 100

Berdasarkan data tabel 5.4 terlihat bahwa jumlah supir angkutan umum yang mempunyai nilai KVP normal yaitu sebanyak 40 orang, sedangkan yang tidak normal adalah 60 orang. Selanjutnya dapat dilihat juga bahwa gangguan restriksi paru lebih banyak ditemukan pada supir angkutan umum yang mempunyai kebiasaan merokok (59%) dibandingkan dengan supir yang tidak merokok (1,0%).

Pada supir angkutan umum yang memiliki kebiasaan merokok, didapati bahwa 16 orang (16%) tidak memiliki gangguan restriksi paru dan 59 orang (59%) memiliki gangguan restriksi paru. Sedangkan pada supir angkutan umum yang tidak merokok terdapat 24 orang (24%) yang tidak memiliki gangguan restriksi paru dan 1 orang (1,0%) memiliki gangguan restriksi paru.

Dari hasil uji statistik yang dilakukan terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok seorang supir dengan terjadinya gangguan restriksi paru dengan p value 0,01 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa supir angkutan umum yang mempunyai kebiasaan merokok memiliki kemungkinan lebih besar mengalami gangguan restriksi fungsi paru dibandingkan dengan supir angkutan yang tidak mempunyai kebiasaan merokok.


(55)

Tabel 5.5 Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan VEP1

Kebiasaan Merokok

VEP1(Obstruktif)

Total pvalue

Normal n (%)

Tidak Normal n (%) Ya

Tidak

20 (20%)

25 (25%)

45

55 (55%) 75

0 (0,0%) 25 0,04

Total 55 100

Berdasarkan data tabel 5.5 terlihat bahwa jumlah supir angkutan umum yang mempunyai nilai VEP1 normal yaitu sebanyak 45 orang, sedangkan yang

tidak normal adalah 55 orang. Selanjutnya dapat dilihat juga bahwa gangguan obstruksi paru lebih banyak ditemukan pada supir angkutan umum yang mempunyai kebiasaan merokok (55%) dibandingkan dengan supir yang tidak merokok (0,0%).

Pada supir angkutan umum yang memiliki kebiasaan merokok, didapati bahwa 20 orang (20%) tidak memiliki gangguan obstruksi paru dan 55 orang (55%) memiliki gangguan obstruksi paru. Sedangkan pada supir angkutan umum yang tidak merokok terdapat 25 orang (25%) yang tidak memiliki gangguan obstruksi paru dan tidak ditemukan adanya supir yang memiliki gangguan obstruksi paru (0,0%).

Dari hasil uji statistik yang dilakukan terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok seorang supir dengan terjadinya gangguan obstruksi paru dengan pvalue 0,04 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa supir angkutan umum yang mempunyai kebiasaan merokok memiliki kemungkinan lebih besar mengalami gangguan obstruksi fungsi paru dibandingkan dengan supir angkutan yang tidak mempunyai kebiasaan merokok.


(56)

40

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian

Fungsi paru dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya usia, jenis kelamin, ukuran paru, etnik, tinggi badan, kebiasaan merokok, toleransi latihan, kekeliruan pengamat, kekeliruan alat, variasi dan suhu lingkungan sekitar. Di samping itu kapasitas paru berkurang jika terdapat penyakit paru-paru, penyakit jantung (yang menimbulkan kongesti paru dan pada kelemahan otot pernafasan). Kapasitas vital paru dan volume ekspirasi paksa satu detik berbeda pada setiap individu.

5.2.1 Hubungan antara Lama Bekerja dengan KVP dan VEP1

Profesi supir angkutan umum sangat rentan mengalami penurunan fungsi paru karena setiap harinya mengalami kontak langsung dengan polusi kendaraan bermotor, asap rokok dari lingkungan kerja. Semakin lama terpapar debu maka semakin banyak debu yang tertimbun dan menimbulkan penyakit, dimana penyakit paru akibat debu dapat timbul antara 2-4 tahun setelah terpapar debu.

Lama kerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja itu bekerja di suatu tempat. Lama kerja dapat mempengaruhi kinerja baik positif maupun negatif. Memberi pengaruh positif pada pekerja bila dengan semakin lamanya bekerja, tenaga kerja akan semakin berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya. Sebaliknya, akan memberi pengaruh negatif apabila dengan semakin lamanya bekerja maka akan timbul kebosanan pada tenaga kerja. Hal ini biasanya terkait dengan pekerjaan yang bersifat monoton dan berulang-ulang (Tulus, 1992).

Sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin lama orang bekerja maka semakin besar pula resiko terkena penyakit akibat kerja. Pada pekerja dengan lingkungan berdebu, semakin lama orang bekerja maka semakin banyak pula debu yang dapat mengendap di paru karena secara teoritis diketahui bahwa efek paparan debu tergantung pada dosis atau konsentrasi, tempat dan waktu paparan. Waktu paparan diartikan sebagai frekuensi atau lamanya seseorang terpapar debu, sehingga semakin lama terpapar, semakin tinggi kemungkinan untuk timbul gangguan, apalagi didukung oleh zat pemapar dengan konsentrasi yang tinggi. Bila debu ini dihisap dalam jumlah cukup banyak dan dalam jangka waktu lama, maka akan dapat menimbulkan berbagai kerusakan dan membentuk


(57)

jaringan ikat pada paru yang akhirnya dapat menimbulkan penyakit (Anhar AS dkk, 2005). Akibat penghirupan debu, yang langsung dirasakan adalah sesak, bersin, dan batuk karena adanya gangguan pada saluran pernapasan. Paparan debu untuk beberapa tahun pada kadar yang rendah tetapi diatas batas limit paparan menunjukkan efek toksik yang jelas, tetapi hal ini tergantung pada pertahanan tubuh dari masing-masing pekerja (Sirait, 2010).

Pengukuran fungsi paru yang dilaksanakan terhadap supir angkutan umum di Terminal Amplas Medan, berdasarkan hasil uji statistiknya diperoleh p value

0,01 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara lama bekerja dengan KVP maupun VEP1. Hal ini sesuai dengan pendapat Suma’mur (2009),

bahwa salah satu variabel potensial yang dapat menimbulkan gangguan fungsi paru adalah lamanya seseorang terpapar debu.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yaitu seperti yang telah dilakukan oleh Riswati (2004), yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara lama bekerja dengan kapasitas vital paru pada semua tukang cat mobil di bengkel pengecatan mobil Kampung Ligu Kota Semarang. Begitu juga dalam penelitian Achmad (2004), yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lama bekerja dengan kapasitas vital paru pada pekerja penggilingan padi sejumlah 49 orang di Kecamatan Purwanegara, dari hasil analisa bivariat diketahui bahwa ada hubungan yang kuat antara keduanya (p = 0,002). Sama halnya dengan penelitian Aliyani (2009), dari 33 responden pekerja industri penggilingan padi di Desa Klumprit, Sukoharjo, didapati hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pekerja dengan masa kerja yang lama mengalami penurunan fungsi paru.

Penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni (2004) menyimpulkan bahwa konsentrasi dan lama terpapar berbanding lurus dengan gangguan fungsi paru. Kerja fisik apalagi kerja berat dan monoton yang dilakukan di tempat-tempat berdebu dalam waktu yang lama tanpa disertai dengan rotasi kerja, istirahat, dan rekreasi yang cukup, akan berakibat terjadinya penurunan kapasitas paru dari tenaga kerja. Hal ini selaras dengan pernyataan Wahyu (2003) bahwa semakin lama seseorang bekerja di suatu daerah berdebu maka kapasitas paru seseorang


(58)

42

akan semakin menurun sehingga berisiko untuk mengalami gangguan fungsi paru, serupa dengan pendapat Morgan (1978) dan Parkes (1982) dalam Faridawati (1995). Penelitian Sumanto (1999) juga menunjukkan hasil yang sama, dari penelitian tersebut diketahui paparan debu akan menurunkan kapasitas paru sebesar 35,3907 ml per satu tahun masa kerja.

Dari beberapa penelitian terdahulu tersebut semuanya mendukung temuan penelitian ini, meskipun lama waktu paparan yang dihasilkan dari tiap penelitian tersebut berbeda. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh jenis atau material paparan yang berbeda serta keberadaan variabel lain yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi paru.

Namun hasil penelitian ini tidak selaras dengan hasil penelitian Khumaidah (2009), yang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lama bekerja dengan gangguan fungsi paru dengan p value = 0,444. Demikian juga hasil penelitian Nugroho (2010) didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lama bekerja dan gangguan fungsi paru dengan p value = 0,354.

Menurut Nugroho (2010), lama bekerja tidak mempunyai hubungan langsung terhadap terjadinya gangguan pernafasan tetapi dapat menjadi faktor risiko terjadinya gangguan fungsi pernafasan. Keadaan ini disebabkan oleh karena variabel lama bekerja tidak secara langsung atau tidak dapat berdiri sendiri untuk mempengaruhi gangguan pernafasan, sehingga memerlukan variabel lain untuk bersama-sama mempengaruhi gangguan fungsi pernafasan. Kemungkinan lain yaitu debu yang terhirup membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat menimbulkan gangguan pernafasan, karena setiap jenis debu organik maupun anorganik sampai menimbulkan gangguan pernafasan mempunyai jangka waktu berbeda, tergantung konsentrasi atau kadar serta ukuran debu tersebut dan hal lain kemungkinan adalah adanya kerentanan pekerja terhadap polutan. Ketidakselarasan hasil penelitian ini kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti perbedaan jumlah sampel maupun kriteria inklusi dan eksklusi yang dirancang oleh masing-masing peneliti, ataupun adanya keberadaan variabel lainnya sehingga hasil penelitian yang diperoleh pun bervariasi.


(1)

(tuliskan)...

9.

Apakah anda pernah mempunyai penyakit yang sering mengganggu pernafasan

anda?

a.

Ya (lanjutkan ke nomor 10)

b.

Tidak

10.

Jika ya, penyakit yang pernah anda derita adalah :

a.

Bronkitis

b.

Asma

c.

Paru

paru basah

d.

TBC

e.

Lainnya (tuliskan)...

11.

Apakah keluarga anda mempunyai riwayat penyakit gangguan pernafasan?

a.

Ya (lanjutkan ke nomor 12)

b.

Tidak

12.

Jika ya, penyakit yang pernah diderita keluarga anda adalah :

a.

Bronkitis

b.

Asma

c.

Paru

paru basah

d.

TBC

e.

Lainnya (tuliskan)...

IV.

KETERANGAN HASIL PENGUKURAN FUNGSI PARU DENGAN

SPIROMETRI*

1.

Kapasitas Vital Paru

:

%

2.

Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik

:

%

*) Di isi oleh peneliti


(2)

1) Lama Bekerja & KVP Crosstabulation

KVP

Total

Tidak Normal Normal

Lama Bekerja Baru 3 25 28

Lama 57 15 72

Total 60 40 100

Value df

Asymptotic Significance

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square

39,360a 1 ,000

Continuity Correctionb

36,560 1 ,000

Likelihood Ratio

41,844 1 ,000

Fisher's Exact Test

,000 ,000

Linear-by-Linear Association

38,967 1 ,000

N of Valid Cases


(3)

2) Kebiasaan Merokok & KVP Crosstabulation

KVP

Total

Tidak Normal Normal

Kebiasaan Merokok Baru 1 4 5

Lama 58 12 70

Total 59 16 75

Value df

Asymptotic Significance

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 10,987a 1 ,001

Continuity Correctionb

7,560 1 ,006

Likelihood Ratio 8,607 1 ,003

Fisher's Exact Test

,006 ,006

Linear-by-Linear Association

10,840 1 ,001

N of Valid Cases

75


(4)

Value df

Asymptotic Significance

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square

30,816a 1 ,000

Continuity Correctionb

28,381 1 ,000

Likelihood Ratio

33,478 1 ,000

Fisher's Exact Test

,000 ,000

Linear-by-Linear Association

30,508 1 ,000

N of Valid Cases

100

3) Lama Bekerja & VEP1 Crosstabulation

VEP1

Total

Tidak Normal Normal

Lama Bekerja Baru 3 25 28

Lama 52 20 72

Total


(5)

4) Kebiasaan Merokok & VEP1 Crosstabulation

VEP1

Total

Tidak Normal Normal

Kebiasaan Merokok Baru 1 4 5

Lama 54 16 70

Total 55 20 75

Value df

Asymptotic Significance

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square

7,792a 1 ,004

Continuity Correctionb

5,144 1 ,023

Likelihood Ratio

6,727 1 ,009

Fisher's Exact Test

,016 ,016

Linear-by-Linear Association

7,688 1 ,006

N of Valid Cases 75


(6)

Dokumen yang terkait

Hubungan Lama Bekerja dan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1) pada Supir Angkutan Umum di Terminal Amplas Medan

1 29 82

HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK 1 (VEP1) / KAPASITAS VITAL Hubungan Antara Indeks Massa Tubuh Dan Volume Ekspirasi Paksa Detik 1 (VEP1) / Kapasitas Vital Paksa (KVP) Pada Pasie

0 5 15

HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK 1 (VEP1) / KAPASITAS VITAL Hubungan Antara Indeks Massa Tubuh Dan Nilai Volume Ekspirasi Paksa Detik 1 (Vep1) / Kapasitas Vital Paksa (Kvp) Pada

0 4 17

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL PARU (KVP) DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA SATU DETIK (VEP1) PADA JURU PARKIR DI WILAYAH KELAPA GADING JAKARTA UTARA.

0 3 2

Hubungan Bekerja dan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1) pada Supir Angkutan Umum di Terminal Amplas Medan

0 0 14

Hubungan Bekerja dan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1) pada Supir Angkutan Umum di Terminal Amplas Medan

0 0 2

Hubungan Bekerja dan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1) pada Supir Angkutan Umum di Terminal Amplas Medan

0 0 5

Hubungan Bekerja dan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1) pada Supir Angkutan Umum di Terminal Amplas Medan

0 0 19

Hubungan Bekerja dan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1) pada Supir Angkutan Umum di Terminal Amplas Medan

0 0 5

Hubungan Bekerja dan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1) pada Supir Angkutan Umum di Terminal Amplas Medan

0 0 13