Kemasaman Total Gambut, Kandungan COOH, dan Fenolat-OH

34 45. Menurut Walezak, Bieganowski dan Rovdan 2002, menurunnya kandungan bahan organik merupakan hasil dari menurunnya bahan gambut menahan air. Dalam penelitian ini gambut fibrik yang memiliki kadar air lebih tinggi daripada gambut hemik maupun gambut saprik, sehingga memungkinkan gambut fibrik memiliki kandungan bahan organik lebih tinggi. Kandungan bahan organik mempunyai pengaruh dalam fluks CO 2 dan CH 4 . Meningkatnya kandungan bahan organik menyebabkan menurunnya bobot isi dan meningkatnya total porositas yang terkait dengan proses transport gas CO 2 dan CH 4 yang telah diproduksi dalam tanah untuk dilepaskan ke atmosfer. Hasil penelitian Walezak, Bieganowski dan Rovdan 2002 menunjukkan bahwa meningkatnya kandungan bahan organik dari 0,1 menjadi 57,4 menyebabkan menurunnya bobot isi dari 1,86 menjadi 0,33 g cm -3 dan meningkatnya total porositas dari 38 menjadi 90. Disamping itu, distribusi ukuran pori pada tanah gambut sangat ditentukan oleh tingkat dekomposisi gambut, pada gambut yang telah terdekomposisi lanjut akan memiliki distribusi ukuran pori yang lebih seragam. Dengan demikian, produksi dan emisi gas CO 2 dan CH 4 sangat ditentukan oleh kadar air, kadar abu, C-organik, bahan organik. Dari hasil penelitian ini ternyata kadar air, kadar abu, C-organik, bahan organik dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut. Ditinjau dari proses biologi tanah, pengaruh kandungan bahan organik terhadap fluks CO 2 dan CH 4 sangat berkaitan dengan peran bahan organik sebagai sumber energi bagi mikrob di dalam tanah. Peningkatan jumlah ketersediaan C dalam gambut akan memacu mikrob dalam proses degradasi, yang tercermin dari meningkatnya produksi gas CO 2 dan CH 4 . Kandungan C gambut tergantung pada bobot isi dari bahan gambut dan kandungan C pada serat gambut yang keduanya sangat beragam tergantung pada sumber bahan gambut dan tingkat dekomposisi gambut.

3. Kemasaman Total Gambut, Kandungan COOH, dan Fenolat-OH

Kemasaman total gambut merupakan jumlah dari gugus fungsional COOH dan fenolat-OH yang menunjukkan besarnya kapasitas tukar kation bahan gambut. Hasil pengukuran kemasaman total gambut, kandungan COOH dan kandungan fenolat –OH disajikan dalam Tabel 5. 35 Tabel 5. Nilai rata-rata kemasaman total gambut, kandungan COOH, dan kandungan fenolat –OH di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. No Lokasi Tingkat kematangan Gambut kemasaman total gambut kandungan COOH kandungan fenolat -OH me g -1 me g -1 me g -1 1 Suak Puntong, transek 1 Fibrik 4,99 0,13 4,86 2 Suak Puntong, transek 1 Hemik 5,71 0,13 5,58 3 Suak Puntong, transek 1 Saprik 6,37 0,16 6,21 4 Suak Puntong, transek 2 Fibrik 4,95 0,08 4,87 5 Suak Puntong, transek 2 Hemik 5,85 0,08 5,78 6 Suak Puntong, transek 2 Saprik 5,91 0,22 5,69 7 Suak Raya, transek 3 Fibrik 5,19 0,06 5,13 8 Suak Raya, transek 3 Hemik 4,79 0,15 4,63 9 Suak Raya, transek 3 Saprik 5,03 0,08 4,95 10 Suak Raya, transek 4 Fibrik 5,55 0,05 5,50 11 Suak Raya, transek 4 Hemik 5,27 0,04 5,23 12 Suak Raya, transek 4 Saprik 5,07 0,09 4,97 13 Suak Raya, transek 5 Fibrik 4,87 0,04 4,83 14 Suak Raya, transek 5 Hemik 5,19 0,09 5,10 15 Suak Raya, transek 5 Saprik 5,43 0,16 5,27 16 Suak Raya, transek 6 Fibrik 5,41 0,04 5,37 17 Suak Raya, transek 6 Hemik 4,95 0,09 4,86 18 Suak Raya, transek 6 Saprik 5,17 0,12 5,05 19 Cot Gajah Mati, transek 7 Fibrik 5,39 0,04 5,35 20 Cot Gajah Mati, transek 7 Hemik 4,73 0,06 4,67 21 Cot Gajah Mati, transek 7 Saprik 4,26 0,04 4,23 22 Cot Gajah Mati, transek 8 Fibrik 4,22 0,04 4,19 23 Cot Gajah Mati, transek 8 Hemik 4,36 0,06 4,30 24 Cot Gajah Mati, transek 8 Saprik 5,11 0,04 5,07 25 Cot Gajah Mati, transek 9 Fibrik 5,07 0,02 5,05 26 Cot Gajah Mati, transek 9 Hemik 5,31 0,04 5,27 27 Cot Gajah Mati, transek 9 Saprik 5,47 0,06 5,41 Gugus karboksil COOH dan fenolat –OH merupakan ion-ion yang dapat membantu meningkatkan penyerapan air. Hasil penelitian Kwak, Ayub, dan Sheppard 1986 dalam Riwandi 2001 menunjukkan bahwa dari jumlah air yang terikat secara kimia pada bahan gambut yang mempunyai kapasitas tukar kation 100 me100 g tanah, sekitar 4 air terikat pada gugus COOH dan fenolat-OH dan bila kedua gugus fungsi tersebut mengion, maka jumlah air yang terikat padanya meningkat menjadi sekitar 30 dari bobot segar bahan gambut. Dengan demikian, ketidakmampuan bahan gambut untuk menyerap air kembali dapat disebabkan salah satunya oleh adanya penurunan fungsi dari gugus COOH dan fenolat-OH. Nilai rata-rata kemasaman total gambut pada masing-masing transek 36 diilustrasikan pada Gambar 9. Berdasarkan hasil analisis ragam data kemasaman total gambut pada bahan gambut fibrik, hemik, dan saprik dapat diketahui bahwa kemasaman total gambut tidak berbeda nyata pada setiap tingkat kematangan gambut Lampiran 46, sehingga kemasaman total gambut fibrik= hemik = saprik Lampiran 47. 1 2 3 4 5 6 7 K em as am an t o ta l g am b u t m e g -1 SP-1 SP-2 SR-3 SR-4 SR-5 SR-6 CGM-7 CGM-8 CGM-9 Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik Hemik Saprik Gambar 9. Kemasaman total gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kandungan COOH berbeda nyata pada tingkat kematangan gambut Lampiran 48. Dengan uji Duncan dapat diketahui bahwa gambut saprik memiliki kandungan COOH tertinggi dan diikuti oleh gambut hemik, kemudian gambut fibrik Lampiran 49. Sedangkan hasil analisis ragam untuk kandungan OH tidak berbeda nyata pada tingkat kematangan gambut Lampiran 50, sehingga gambut fibrik, hemik dan saprik memiliki kandungan OH yang relatif sama Lampiran 51. Nilai rata-rata kandungan COOH dan OH pada masing-masing transek diilustrasikan pada Gambar 10 dan 11. 37 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 K an d u n g an C O O H m e g -1 SP-1 SP-2 SR-3 SR-4 SR-5 SR-6 CGM-7 CGM-8 CGM-9 Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik Hemik Saprik Gambar 10. Kandungan gugus karboksil COOH di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. 1 2 3 4 5 6 7 k an d u n g an - O H m e g -1 SP-1 SP-2 SR-3 SR-4 SR-5 SR-6 CGM-7 CGM-8 CGM-9 Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik Hemik Saprik Gambar 11. Kandungan gugus fenolat -OH gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Kandungan kemasaman total, gugus COOH dan fenolat-OH sangat berkaitan erat dengan kehilangan C-organik. Menurut Riwandi 2001, bila gambut mempunyai kandungan fenolat-OH dan kemasaman total gambut yang bersifat hidrofil lebih tinggi daripada kandungan derivat asam fenolat yang bersifat hidrofob, maka gambut mempunyai kemampuan menyerap air lebih tinggi daripada kemampuan menolak air. Rasio antara air yang dijerap dengan air yang ditolak oleh gambut sangat berpengaruh terhadap kehilangan C-organik. 38 Kesimpulan Dari serangkaian analisis laboratorium yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa karakteristik tanah gambut di Meulaboh, Aceh Barat adalah sebagai berikut: 1. Besarnya pH H 2 O berkisar antara 2,9 - 3,9 dan pH KCl= 2,23-3,07. 2. Kadar air gambut ditentukan oleh tingkat kematangan gambut yaitu fibrik= 539,897-1187,385, hemik= 268,556-479,788 dan saprik= 105,673 -242,506. 3. Rata-rata kadar abu gambut fibrik 1,852-3,984 relatif sama dengan gambut hemik 2,275-4,696 dan berbeda dengan gambut saprik 3,505 - 5,900 4. Kandungan C-organik berkisar antara 53,371-57,651 dan kandungan bahan organik 94,148-98,148. 5. Kemasaman total gambut dan kandungan fenolat-OH relatif sama untuk gambut fibrik, hemik dan saprik, masing-masing berkisar antara 4,22-6,37 me g -1 dan 4,19-6,21 me g -1 , sedangkan kandungan COOH gambut saprik hemik fibrik berkisar antara 0,02-0,16 me g -1 . PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2 Rasional Penambahan pupuk N pada lahan gambut dapat mempengaruhi emisi GRK. Urea merupakan pupuk N inorganik yang selalu digunakan oleh petani dalam upaya meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit. Jumlah dan waktu pemupukan urea sangat penting diperhatikan bukan hanya untuk optimalisasi produksi kelapa sawit, namun untuk meminimalkan emisi GRK yang mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan. Ketersediaan unsur N dalam tanah mempunyai peranan penting dalam mengendalikan reaksi-reaksi biologi dalam tanah, termasuk mengendalikan mikroorganisme dan akar tanaman yang memproduksi CO 2 untuk dilepaskan ke atmosfer, sehingga aplikasi pemupukan N mempunyai pengaruh nyata dalam meningkatkan respirasi Lai et al., 2002; Zhang et al., 2007. Pemupukan urea akan meningkatkan emisi CO 2 dengan cara memacu pertumbuhan akar, aktivitas mikrob, dan proses dekomposisi bahan organik. Pengaruh pemupukan N terhadap emisi CH 4 pada lahan basah masih menjadi perdebatan. Pengaruh pemupukan N terhadap metanogenesis tidak diketahui dengan pasti. Zhang et al. 2007 melaporkan bahwa pemupukan N akan meningkatkan emisi CH 4 , namun Cai et al. 1997 melaporkan bahwa rata- rata fluks CH 4 cenderung menurun dengan meningkatnya dosis pupuk N. Berlainan dengan Flessa et al. 2002 yang menunjukkan bahwa pemupukan N tidak mempunyai pengaruh terhadap emisi CH 4 . Menurut Kruger dan Frenzel 2003, penambahan pupuk N pada lahan basah dapat memacu: 1 pertumbuhan tanaman sehingga emisi CH 4 lebih intensif karena pemupukan N akan meningkatnya substrat untuk bakteri metanogen dan membaiknya kondisi aerenkim, 2 oksidasi CH 4 , karena adanya O 2 dari rhizosfer akibat membaiknya saluran aerenkim, sehingga emisi CH 4 menurun, dan 3 konsumsi CH 4 , karena dipacu oleh aktivitas bakteri metanotropik. Berdasarkan uraian di atas, percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dosis N terhadap fluks CO 2 pada bahan gambut dengan tingkat 40 kematangan yang berbeda yang didukung oleh data kadar air gambut, kadar abu, kandungan C-organik, nisbah CN dan total populasi mikrob. Bahan dan Metode Untuk mempelajari pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda terhadap fluks CO 2 dilakukan percobaan di Laboratorium Bioteknologi Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sampel bahan gambut yang digunakan untuk percobaan ini berasal dari lahan gambut di Meulaboh, Aceh Barat yang ditanami kelapa sawit di Desa Suak Puntong, Suak Raya dan Cot Gajah Mati. Pada setiap titik pengamatan sesuai dengan transek yang telah ditentukan, dilakukan pengambilan sampel tanah dengan menggunakan bor gambut. Komposit sampel tanah dari masing-masing titik pengamatan pada transek yang sama dikelompokkan berdasarkan tingkat kematangan gambut yaitu fibrik, hemik, dan saprik yang ditentukan dengan metode cepat di lapang. Percobaan di laboratorium disusun dengan menggunakan rancangan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap RAL dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah dosis pupuk N N yang terdiri dari 5 taraf yaitu: 0 g100 g tanah n , 0,25 g100 g tanah n 1 , 1 g100 g tanah n 2 , 4 g100 g tanah n 3 , 16 g100 g tanah n 4 . Faktor kedua adalah tingkat kematangan gambut G yang terdiri dari fibrik g 1 , hemik g 2 , dan saprik g 3 . Dengan demikian diperoleh 15 kombinasi percobaan yaitu n g 1 , n g 2 , n g 3 , n 1 g 1 , n 1 g 2 , n 1 g 3 ,n 2 g 1 , n 2 g 2 , n 2 g 3 , n 3 g 1 , n 3 g 2 , n 3 g 2 , n 4 g 1 , n 4 g 2 , n 4 g 3 . Sampel tanah berasal dari bahan gambut sesuai dengan tingkat kematangannya fibrik, hemik, dan saprik sebanyak 100 g dimasukkan ke dalam toples tertutup. Pupuk N dengan dosis 0, 0,25, 1, 4, dan 16 g dicampurkan ke dalam 100 g bahan gambut tersebut. Tabung film yang telah diisi 10 ml KOH 0,2 N diletakkan di dalam toples, demikian juga tabung film yang berisi sebanyak 10 ml aquades. Kemudian toples ditutup rapat dan diinkubasi selama 7 hari. Pengukuran CO 2 hasil respirasi bahan gambut dilakukan dengan menggunakan metode titrasi. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam yaitu membandingkan antara F hitung dengan F tabel pada taraf nyata 5, namun sebelumnya data diuji homogenitas dengan menggunakan uji Bartlett dan 41 ketidakaditifan dengan menggunakan uji Tuckey. Pengamatan yang dilakukan pada percobaan ini terdapat pada Tabel 6. Tabel 6. Variabel yang diamati pada percobaan pengaruh dosis pupuk urea pada bahan gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda terhadap fluks CO 2 . No. Variabel Pengamatan Metode 1. Fluks CO2 Titrasi 2. Kadar air Gravimetri 3. Kadar Abu Pengabuan kering 4. C-organik Pengabuan kering 5. Bahan organik Pengabuan kering 6. Total populasi mikrob Media Nutrien Agar 7. Nitrogen Kjeldahl 8. Nisbah CN Hasil dan Pembahasan 1. Pengaruh Dosis Pupuk N pada Bahan Gambut dengan Tingkat Kematangan yang Berbeda terhadap Kadar Air, Kadar Abu, C-Organik dan Bahan Organik Gambut Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar air gambut hanya dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut, sedangkan penambahan dosis urea tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air gambut. Antara dosis pupuk urea dan tingkat kematangan gambut tidak terdapat interaksi terhadap kadar air gambut Lampiran 52 – 54. 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0.25 1 4 16 Dosis urea g100 g gambut K ad ar a ir Fibrik Hemik Saprik Gambar 12. Kadar air bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut 42 Dari Gambar 12 jelas terlihat bahwa gambut dengan tingkat kematangan yang sama memiliki kadar air yang relatif sama. Kadar air gambut fibrik berkisar antara 780-880, gambut hemik 425-530, dan gambut saprik 225-250. Kadar air gambut fibrik lebih tinggi daripada gambut hemik dan saprik. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan dosis urea tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu, namun tingkat kematangan gambut berpengaruh nyata dalam kadar abu gambut, dan tidak terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan tersebut Lampiran 55 – 57. Pengaruh tingkat kematangan gambut terhadap kadar abu sangat berkaitan erat dengan perbedaan karakteristik gambut tersebut terhadap daya serap terhadap air. Semakin besar kandungan air pada gambut tersebut semakin sedikit kadar abu setelah pembakaran gambut pada suhu 700 o C. Dengan uji lanjut dapat diketahui bahwa gambut saprik memiliki rata-rata kadar abu tertinggi dibandingkan dengan gambut hemik dan fibrik, dan kadar abu gambut fibrik sama dengan gambut hemik. Hasil analisis kadar abu pada masing-masing lokasi kebun kelapa sawit, disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Rata-rata kadar abu bahan gambut di tiga kebun kelapa sawit yang diberi perlakuan dosis urea. Lokasi kebun Tingkat kematangan Kadar abu dengan penambahan dosis N Rata- gambut 0,25 1 4 16 rata Suak Puntong Fibrik 3,200 4,267 5,314 5,533 5,997 4,862 Hemik 3,585 5,074 6,104 7,121 7,773 5,931 Saprik 5,172 6,117 7,642 8,319 9,411 7,332 Suak Raya Fibrik 3,308 3,849 4,375 7,082 7,318 5,187 Hemik 3,352 4,573 4,978 7,151 7,558 5,522 Saprik 4,357 5,045 6,291 7,299 7,685 6,135 Cot Gajah Mati Fibrik 2,764 4,662 5,419 6,878 7,287 5,402 Hemik 3,676 6,390 6,847 6,888 8,621 6,484 Saprik 4,935 7,236 7,108 8,261 9,620 7,432 Walaupun penambahan dosis urea tidak berpengaruh terhadap kadar abu bahan gambut, namun terdapat kecenderungan peningkatan kadar abu dengan penambahan dosis urea, hal ini terjadi karena ternyata dalam pupuk urea juga 43 menyumbangkan kadar abu sebesar 0,06. Hasil perhitungan setelah konversi dengan sumbangan kadar abu dari pupuk urea disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rata-rata kadar abu bahan gambut di tiga kebun kelapa sawit yang diberi perlakuan dosis urea Hasil konversi. Lokasi kebun Tingkat kematangan Kadar abu dengan penambahan dosis N Rata- rata gambut 0,25 1 4 16 Suak Puntong Fibrik 3,197 4,263 5,310 5,528 5,992 4,858 Hemik 3,583 5,072 6,101 7,117 7,769 5,928 Saprik 5,170 6,115 7,640 8,317 9,408 7,330 Suak Raya Fibrik 3,305 3,845 4,371 7,076 7,312 5,182 Hemik 3,350 4,570 4,975 7,147 7,555 5,519 Saprik 4,356 5,043 6,289 7,297 7,682 6,133 Cot Gajah Mati Fibrik 2,761 4,657 5,414 6,871 7,280 5,397 Hemik 3,674 6,386 6,843 6,884 8,616 6,480 Saprik 4,933 7,234 7,105 8,258 9,617 7,429 Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan dosis urea dan tingkat kematangan gambut mempengaruhi kandungan C-organik, namun tidak terdapat interaksi antara ke dua perlakuan tersebut Lampiran 58-60. Peningkatan dosis urea yang ditambahkan ke dalam bahan gambut, diikuti oleh berkurangnya kandungan C-organik pada masing-masing tingkat kematangan gambut. Hubungan kandungan C-organik pada masing-masing tingkat kematangan gambut akibat penambahan urea sampai dengan dosis 16 g100 g gambut diilustrasikan dengan persamaan regresi Y=-0,57x + 56,72 R 2 = 0,98 untuk gambut fibrik, Y= -0,61x + 56,38 R 2 = 0,97 untuk gambut hemik dan Y = -0,57x + 55,70 R 2 = 0,99 untuk gambut saprik Gambar 13. Penurunan kandungan C-organik ini disebabkan oleh semakin meningkatnya laju dekomposisi cadangan C pada bahan gambut dengan semakin meningkatnya penambahan dosis urea. Demikian halnya dengan kandungan bahan organik, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan dosis urea dan tingkat kematangan gambut mempengaruhi kandungan bahan organik, namun tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan tersebut Lampiran 61-63. 44 y = -0,568x + 56,721 R 2 = 0,9771 y = -0,6149x + 56,381 R 2 = 0,9741 y = -0,5797x + 55,703 R 2 = 0,9946 51 52 53 54 55 56 57 0.25 1 4 16 Dosis urea g100 g gambut K a n d u n g a n C -O rg a n ik Fibrik Hemik Saprik Linear Fibrik Linear Hemik Linear Saprik Gambar 13. Kandungan C-organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Peningkatan dosis urea yang ditambahkan ke dalam bahan gambut, diikuti oleh menurunnya kandungan bahan organik pada masing-masing tingkat kematangan gambut. Dari persamaan regresi Y=-0,98x + 97,80 R 2 = 0,98 untuk gambut fibrik, Y=-1,06x + 97,20 R 2 = 0,97 untuk gambut hemik dan Y=-0,99x + 96,03 R 2 = 0,99 untuk gambut saprik menunjukkan bahwa respon penurunan kandungan bahan organik pada gambut akibat penambahan dosis pupuk urea bergantung pada tingkat kematangan gambut Gambar 14. y = -0,9792x + 97,787 R 2 = 0,9771 y = -1,06x + 97,201 R 2 = 0,9741 y = -0,9995x + 96,032 R 2 = 0,9946 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 0.25 1 4 16 Dosis urea g100 g gambut K a n d u n g a n b a h a n o rg a n ik Fibrik Hemik Saprik Linear Fibrik Linear Hemik Linear Saprik Gambar 14. Kandungan bahan organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut 45 2. Pengaruh Dosis Pupuk N pada Bahan Gambut dengan Tingkat Kematangan yang Berbeda terhadap Fluks CO2, Total Populasi Mikroba, dan Nisbah CN. Pada penelitian ini pengukuran CO 2 hasil respirasi bahan gambut yang telah diberi pupuk urea sesuai dengan dosis perlakuan dan diinkubasi selama satu minggu diukur dengan metode titrasi. Fluks CO 2 tanah merupakan salah satu parameter yang sering digunakan untuk menggambarkan aktivitas kehidupan biologi tanah. Pendekatan respirasi lebih komprehensif karena didalamnya tercakup informasi variasi populasi, ukuran, dan aktivitas yang secara bersamaan mempengaruhi produksi CO 2 dari dalam tanah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan penambahan dosis urea dan tingkat kematangan gambut terhadap fluks CO 2 dari bahan gambut yang telah diinkubasi selama satu minggu Lampiran 64- 66. Penambahan dosis urea sampai dengan dosis 4 g100 g gambut ternyata meningkatkan fluks CO 2 gambut pada berbagai tingkat kematangan gambut baik gambut dari kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong, Desa Suak Raya, maupun Desa Cot Gajah Mati. Namun dengan penambahan dosis urea yang lebih tinggi, fluks CO 2 pada masing-masing tingkat kematangan gambut dari ketiga lokasi penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan. Fluks CO 2 gambut fibrik masih meningkat dengan meningkatnya dosis urea, sedangkan fluks CO 2 pada gambut hemik dan saprik sudah mengalami penurunan dengan bertambahnya dosis urea dari 4 g100 g gambut menjadi 16 g100 g gambut Gambar 15. 20 40 60 80 100 120 4 8 12 16 Dosis urea g100 g gambut F lu k s C O 2 b ah an g am b u t m g C O 2 k g t an ah -1 h ar i -1 Fibrik SP Hemik SP Saprik SP Fibrik SR Hemik SR Saprik SR Fibrik CGM Hemik CGM Saprik CGM Gambar 15. Fluks CO 2 bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut 46 Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa meningkatnya dosis pupuk urea akan meningkatkan respirasi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa meningkatnya respirasi akibat pemupukan urea tersebut dapat mencapai 10 kali setelah gambut diinkubasi selama satu minggu, namun respons tersebut tergantung pada tingkat kematangan gambut dan dosis pupuk urea. Zhang et al. 2007 melaporkan peningkatan respirasi akibat penambahan pupuk N pada marsh di timur laut Cina dapat mencapai 140. Meningkatnya respirasi akibat penambahan pupuk urea menunjukkan adanya percepatan laju aktivitas mikrob karena tersedianya sumber energi yang lebih besar dengan meningkatnya dosis pupuk urea yang diberikan. Menurut Silva et al. 2008, dampak dari meningkatnya respirasi dengan penambahan urea adalah peningkatan produksi dan emisi CO 2 , namun Yang dan Chang 1998 melaporkan bahwa peningkatan respirasi dapat menghambat produksi metan. Penelitian lain melaporkan bahwa pada tanah yang jarang diberi pupuk, penambahan urea akan meningkatkan pH tanah dan menurunkan produksi CH 4 Shine et al., 1995. Pemupukan urea pada tanah salin tidak mempengaruhi produksi metan, walaupun pemupukan urea akan merangsang pertumbuhan tanaman yang mampu mengeluarkan lebih banyak sekresi bahan organik seperti gula terlarut, asam-asam organik dan asam amino yang merupakan substrat untuk produksi CH 4 di lapisan bawah Lindau et al., 1991. Dari dua metode pengukuran hilangnya C menunjukkan hasil yang berbeda. Dengan pengukuran kadar abu dapat diketahui bahwa peningkatan dosis urea sampai dengan dosis 16 g urea100 g bahan gambut basah menyebabkan 0,1 C gambut hilang, namun dengan metode titrasi untuk menghitung fluks CO 2 dapat diketahui bahwa kehilangan CO 2 sebesar 2 dalam inkubasi selama satu minggu. Hasil penelitian terhadap nisbah CN menunjukkan bahwa interaksi antar perlakuan dosis urea dan tingkat kematangan gambut juga terjadi terhadap nisbah CN Lampiran 67-69. Secara umum penambahan dosis urea akan menurunkan nisbah CN gambut, namun besarnya penurunan tergantung pada tingkat kematangan gambut dari masing-masing lokasi penelitian. Gambut saprik mengalami penurunan nisbah CN lebih rendah daripada gambut hemik dan fibrik. 47 Respons gambut akibat penambahan dosis urea pada nisbah CN menunjukkan bahwa penambahan urea sampai dengan dosis 16 g100 g gambut, menurunkan nisbah CN, namun besarnya masing-masing penurunan tergantung pada tingkat kematangan gambut tersebut Gambar 16. 25 50 75 100 125 150 175 200 2 4 6 8 10 12 14 16 Dosis urea g100 g gambut N is b a h C N Fibrik SP Hemik SP Saprik SP Fibri SR Hemik SR Saprik SR Fibrik CGM Hemik CGM Saprik CGM Gambar 16. Nisbah CN bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Dari analisis unsur N dapat diketahui bahwa penambahan dosis urea akan menambah ketersediaan N pada bahan gambut dan kandungan N pada gambut saprik baik dengan maupun tanpa penambahan urea ternyata lebih tinggi daripada gambut hemik dan fibrik. Hal ini menyebabkan nisbah CN pada gambut saprik lebih rendah daripada gambut hemik dan fibrik, karena kandungan unsur N merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju proses dekomposisi. Semakin banyak N, maka laju proses dekomposisi semakin cepat. Berglund 1995 melaporkan bahwa gambut yang kaya unsur N akan memiliki nisbah CN rendah, namun emisi CO 2 lebih tinggi daripada gambut yang memiliki nisbah CN tinggi. Nilai nisbah CN pada gambut miskin berada pada kisaran 20 – 100, sedangkan pada gambut kaya dari kisaran 15 – 35 Berglund, 1995. Nilai nisbah CN hasil penelitian tergolong tinggi. Tingginya nisbah CN mengakibatkan kandungan N total yang tinggi tidak diikuti oleh tingginya ketersediaan N. Hal ini berdampak pada kehidupan mikrob tanah yang selanjutnya berpengaruh terhadap emisi CO 2 dari lahan gambut. Menurut 48 Klemedtsson et al. 1997, gambut dengan nisbah CN yang tinggi mendukung tingginya rata-rata produksi CO 2 karena C selulose labil. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan penambahan dosis urea dan tingkat kematangan gambut terhadap total populasi mikrob dari bahan gambut yang telah diinkubasi selama satu minggu Lampiran 70-72. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penambahan dosis urea sampai dengan 1 g100 g gambut, jumlah total populasi mikrob meningkat, namun dengan penambahan dosis urea yang lebih tinggi berdampak penurunan jumlah total populasi mikrob pada gambut saprik, sedangkan jumlah populasi mikrob pada gambut hemik dan fibrik ada yang masih menunjukkan peningkatan, namun ada yang sudah menurun Gambar 17. 25 50 75 100 125 150 175 200 4 8 12 16 Dosis urea g100 g gambut T o ta l p o p u la si m ik ro b a S P K g g am b u t Fibrik SP Hemik SP Saprik SP Fibrik SR Hemik SR Saprik SR Fibrik CGM hemik CGM Saprik CGM Gambar 17. Total populasi mikrob bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Pupuk N merupakan salah satu faktor pengendali terpenting dalam reaksi- reaksi biologi dalam tanah, meliputi mikroorganisme heterotropik dan akar tanaman, yang memproduksi gas CO 2 ke atmosfer. Dalam penelitian Zhang et al. 2007 ternyata respirasi pada lahan yang dipupuk lebih tinggi daripada yang tidak dipupuk, karena pemupukan meningkatkan respirasi biomas di atas permukaan tanah. Peningkatan biomass akibat pemupukan N dapat mencapai 250 Lai et al., 2002, 20 - 40 Makipaa et al., 1998. Secara umum, pemupukan urea akan meningkatkan emisi CO 2 dengan jalan memacu pertumbuhan akar, jumlah populasi mikrob, dan aktivitas mikrob. Pengaruh pemupukan urea terhadap fluks CO 2 , jumlah total populasi mikrob, dan 49 nisbah CN pada penelitian ini menunjukkan pola yang sama antar lokasi penelitian. Pada masing-masing tingkat kematangan gambut, potential fluks CO 2 berkorelasi erat dengan total populasi mikrob. Jumlah populasi mikrob Semakin banyak dengan penambahan urea sampai dengan dosis 4 g100 g gambut dan akan diikuti oleh semakin tinginya CO 2 hasil respirasi. Penambahan dosis urea meningkatkan laju dekomposisi bahan organik baik pada gambut fibrik, hemik, maupun saprik. Hal ini terbukti dengan semakin menurunnya nilai nisbah CN gambut dengan semakin meningkatnya dosis pupuk urea yang ditambahkan. Kesimpulan Dari serangkaian percobaan laboratorium yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Tingkat kematangan gambut berpengaruh nyata terhadap kadar air dan kadar abu, namun dosis pupuk urea tidak berpengaruh nyata. Kadar air gambut fibrik 780-880 hemik 425-530 saprik 225-250. Kadar abu gambut saprik hemik = fibrik. 2. Perlakuan dosis urea dan tingkat kematangan gambut mempengaruhi kandungan C-organik, namun tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan. C-organik fibrik hemik saprik. Penurunan kandungan C- organik mengikuti persamaan regresi untuk gambut fibrik Y=-0,57x + 56,72 R 2 = 0,98, hemik Y= -0,61x + 56,38 R 2 = 0,97, dan saprik Y= - 0,57x + 55,70 R 2 = 0,99. 3. Perlakuan dosis urea dan tingkat kematangan gambut mempengaruhi kandungan bahan organik, namun tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan. Bahan organik fibrik hemik saprik. Penurunan kandungan bahan organik mengikuti persamaan regresi untuk gambut fibrik Y=-0,98x + 97,80 R 2 = 0,98, hemik Y=-1,06x + 97,20 R 2 = 0,97, saprik Y=-0,99x + 96,03 R 2 = 0,99. 4. Terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut terhadap fluks CO 2 gambut. Penambahan dosis urea sampai dengan dosis 4 g100 g gambut ternyata meningkatkan fluks CO 2 , namun pada dosis urea yang lebih tinggi, respons fluks CO 2 tergantung pada tingkat kematangan gambut. 50 5. Terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut terhadap nisbah CN dan total populasi mikrob. Respons penurunan nisbah CN dengan penambahan dosis urea tergantung pada tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea sampai dengan dosis 1 g100 g gambut ternyata meningkatkan total populasi mikrob, namun pada dosis urea yang lebih tinggi, respons total populasi mikrob tergantung pada tingkat kematangan gambut. EMISI CO 2 DAN CH 4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN Rasional Pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut mempunyai potensi nyata dalam emisi gas CO 2 dan CH 4. Konversi hutan gambut ini mengakibatkan perubahan terhadap karakteristik inhern gambut. Tindakan pengelolaan kebun kelapa sawit seperti drainase, pembuatan jalan, pemupukan dan pengapuran yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi kelapa sawit akan berpengaruh terhadap karakteristik lahan gambut seperti perubahan pada bobot isi, morfologi profil gambut, kandungan kelembaban tanah, dan kedalaman muka air. Selain itu budidaya monokultur ini akan menurunkan keanekaragaman hayati dan perubahan unsur mikro yang sangat terkait dengan emisi CO 2 dan CH 4 . Besarnya emisi CO 2 di suatu wilayah dapat diukur dengan menggunakan beberapa metode pengukuran, diantaranya metode titrasi dan menggunakan alat kromatografi gas. Pengukuran menggunakan metode tertentu pasti disertai dengan serangkaian peralatan pendukung yang berbeda dengan menggunakan metode lainnya. Dengan demikian metode pengukuran sampel gas CO 2 sangat menentukan jumlah konsentrasi CO 2 yang terukur, sehingga mempunyai pengaruh terhadap besarnya hasil pengukuran emisi CO 2 . Dalam pengukuran emisi CO 2 terjadi variasi temporal yang tinggi terkait dengan faktor-faktor iklim seperti suhu, kelembaban udara, curah hujan dan distribusi curah hujan pada suatu daerah. Secara garis besarnya, musim di Indonesia dibedakan menjadi musim kemarau dan musim penghujan. Karena kondisi pada musim kemarau jelas berbeda daripada musim penghujan, maka emisi CO 2 sangat dipengaruhi oleh kedua musim tersebut. Besarnya emisi CO 2 dan CH 4 sangat dipengaruhi oleh karakteristik lahan gambut seperti kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah akibat pembuatan drainase berpengaruh terhadap fluks CO 2 dan CH 4 Nyman dan DeLaune, 1991; Moore dan Dalva, 1993; Klemedtsson et al,. 1997. Kedalaman muka air tanah 52 akibat drainase ini menentukan suasana oksidasi dan reduksi yang sangat berkaitan erat dengan laju dekomposisi dan menentukan regulasi emisi gas CO 2 dan CH 4 . Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi anaerob bersifat reduktif dapat menghasilkan asam-asam organik, CO 2 dan CH 4 , sedangkan bahan gambut dalam kondisi aerob bersifat oksidatif dapat menghasilkan CO 2 . Gambut juga dapat menghasilkan CO 2 dalam kondisi anaerob jika tersedia asam asetat, propionat, dan butirat sebagai donor elektron Morril et al., 1982, namun pada kondisi anaerob, bakteri metanogen akan memproduksi CH 4 Rinnan et al., 2003. Ketebalan gambut sangat berkaitan dengan besarnya cadangan C gambut dan tingkat kesuburan gambut. Menurut Sylvia et al. 1998, ketersediaan substrat baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan kunci pengendali dinamika gas. Ketebalan gambut merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan gambut untuk tanaman kelapa sawit, karena semakin tebal gambut akan semakin besar juga kendala biofisik yang ditemui dalam pengelolaan gambut. Makin tebal gambut cenderung semakin rendah produktivitas lahannya. Daerah perakaran rhizosfer khususnya pada tempat terkonsentrasinya rambut-rambut akar merupakan bagian penting yang memberikan pengaruh dalam emisi CO 2 dan CH 4 di lahan gambut. Komunitas mikrob dan proses dekomposisi di daerah rhizosfer lebih tinggi daripada tanah yang tidak dipengaruhi oleh keberadaan akar tanaman bulk soil. Hal ini disebabkan oleh 1 meningkatnya ketersediaan substrat seperti akar-akar yang mati di rhizosfer, sehingga kualitas komunitas dekomposer meningkat, 2 meningkatnya ketersediaan eksudat akar dan derivatnya akan meningkatkan dekomposisi lignin, 3 komposisi struktur C- organik terlarut Ekberg et al., 2007. Proses dekomposisi yang lebih cepat ini menyebabkan emisi CO 2 di daerah rhizosfer lebih tinggi, karena gas CO 2 merupakan produk akhir dari proses dekomposisi. Jumlah dan luas daerah perakaran sangat bergantung pada umur tanaman kelapa sawit, tanaman yang baru tumbuh memiliki luas daerah perakaran tanaman yang lebih sempit dibandingkan dengan tanaman yang sudah dewasa. Emisi CO 2 akan meningkat dengan meningkatnya biomas akar dan umur tanaman. Pola hubungan peningkatan biomass tanaman kelapa sawit dengan umur tanaman mengikuti kurva sigmoid, sehingga biomass akan meningkat sejalan dengan 53 bertambahnya umur tanaman hingga pada suatu saat bersifat konstan. Tanaman dapat berperan sebagai media transportasi CO 2 dari dalam tanah ke atmosfer, terutama pada tanaman yang mempunyai jaringan aerenchima. Akar tanaman yang memiliki aerenkim akan menembus horizon yang lebih dalam, sehingga akan menyumbang eksudat akar dan memberikan substrat dalam proses produksi gas CO 2 . Produksi gas-gas pada daerah perakaran ini dilepaskan ke atmosfer melalui beberapa cara yaitu difusi, ebulisi, dan transport tanaman. Perubahan ekosistem jenis tanaman mempengaruhi proses-proses penting yang berkaitan dengan pengendalian dan interaksi antara fluks CO 2 dengan mekanisme dua arah antara dalam tanah dan atmosfer Cristensen et al., 1999; Oechel et al., 2000; Strom et al., 2005, tidak terkecuali pada konversi hutan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan analisis data hasil pengukuran emisi CO 2 dan CH 4 yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit, semak belukar dan hutan di lahan gambut dengan tujuan untuk: 1 mengevaluasi metode titrasi dan metode menggunakan alat kromatografi gas dalam menganalisis sampel gas CO 2 . 2 mengevaluasi hasil pengukuran emisi CO 2 pada musim hujan dan musim kemarau. 3 Mempelajari pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO 2 dan CH 4 di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit. 4 Mempelajari pengaruh ketebalan gambut terhadap emisi CO 2 . 5 Mengevaluasi emisi CO 2 pada kebun kelapa sawit dengan umur tanaman yang berbeda. 6 Mengevaluasi emisi CO 2 pada 3 tipe penggunaan lahan. . Bahan dan Metode Tahapan kegiatan analisis fluks CO 2 di lapang diawali dengan penentuan lokasi kebun kelapa sawit, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan transek dan penentuan titik pengamatan. Transek dibuat berdasarkan pada jarak tanaman dengan saluran drainase utama. Titik pengamatan pertama pada pohon kedua yang jaraknya terdekat dari saluran drainase, kemudian titik kedua pada pohon 54 kelima dari saluran drainase, demikian untuk titik pengamatan selanjutnya pada setiap tiga pohon berikutnya yang semakin menjauhi saluran drainase utama. Pada setiap titik pengamatan dipasang dua buah sungkup untuk pengambilan sampel gas rhizosfer dan non rhizosfer. Transek yang dibuat pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pada lahan gambut Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu terdapat dua transek yaitu: a transek ke-1; lima pasang titik pengamatan Rhizosfer dan Non Rhizosfer mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun dan b transek ke-2; lima pasang titik pengamatan Rhizosfer dan Non Rhizosfer mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun. 2. Pada lahan gambut Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan terdapat lima transek yaitu: a transek ke-3; lima pasang titik pengamatan Rhizosfer dan Non Rhizosfer mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun b transek ke-4; lima pasang titik pengamatan Rhizosfer dan Non Rhizosfer mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun c transek ke-5; lima pasang titik pengamatan Rhizosfer dan Non Rhizosfer mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun d transek ke-6; tiga pasang titik pengamatan Rhizosfer dan Non Rhizosfer mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun dan e transek ke-7; tiga pasang titik pengamatan Rhizosfer dan Non Rhizosfer mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun. 3. Pada lahan gambut Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek terdapat dua transek yaitu a transek ke-8; tiga titik pengamatan Non Rhizosfer pertama yang mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun baru ditanam dan b transek ke-9; tiga titik pengamatan Non Rhizosfer kedua yang mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun. Pada pengamatan bulan Mei-Juni 2008 pada lokasi ini terdapat tiga transek. Masing-masing transek terdiri dari empat pasang Rhizosfer dan Non Rhizosfer titik pengamatan, namun pada pengamatan bulan Oktober- November sungkup tersebut hilang. 4. Pada lahan gambut Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI terdapat dua transek yaitu a transek ke-10; tiga titik pengamatan non rhizosfer pada 55 lahan gambut yang didominasi semak belukar, masing-masing titik pengamatan adalah jarak 10 m, 100 m, dan 250 m dari saluran drainase utama dan b transek ke-11; tiga titik pengamatan non rhizosfer pada hutan sekunder gambut, masing-masing titik pengamatan adalah jarak 100 m, 200 m, dan 250 m dari saluran drainase utama. Setelah pembuatan transek, dilakukan pemasangan sungkup permanen rhizosfer dan non rhizosfer pada masing-masing titik pengamatan. Sungkup rhizosfer berupa paralon silinder berdiameter 30 cm dan tinggi 30 cm. Pada paralon tersebut dibuat lubang dengan diameter 5 cm pada titik 20 cm dari atas permukaan paralon. Lubang ini dimaksudkan untuk memasukkan tiga buah akar sedemikian rupa sehingga akar tetap dapat tumbuh dan berkembang dalam sungkup Gambar 25b. Sungkup ini dipasang pada jarak 2,5 m dari pokok batang tanaman kelapa sawit umur 10 tahun Gambar 23a, 1 m dari pokok batang tanaman kelapa sawit umur 5 tahun, dan 1 m untuk kelapa sawit umur 1 tahun Gambar 25a, hal ini disesuaikan dengan keberadaan bulu-bulu akar. Sedangkan untuk pengambilan sampel gas non rhizosfer dilakukan dengan memasang paralon silinder dengan ukuran yang sama tetapi tanpa dibuat lubang. Paralon ini dipasang pada 1 m dari paralon rhizosfer dengan perlakuan yang sama Gambar 26a. Saat pengambilan sampel gas, pada sungkup permanen dipasang tutup sungkup yang telah dilengkapi sebuah septum untuk tempat jarum syringe, sebuah kipas angin kecil yang digerakkan dengan baterei 9 volt untuk mengaduk udara dalam sungkup dan sebuah termometer untuk mengukur suhu dalam sungkup. Untuk metode analisis dengan menggunakan alat kromatografi gas, sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 5 dan 10 ml, dengan frekuensi pengambilan sampel gas 0, 5, 10, 15, 25 dan 35 menit setelah tutup sungkup dipasang. Pengambilan gas dilakukan pada pukul 07.00-10.00 wib. Sampel gas dianalisis dengan menggunakan alat kromatografi gas tipe CP-400 yang dilengkapi dengan program Galaxie CDS. Alat ini selain mengukur konsentrasi gas CO 2 juga mampu mendeteksi CH 4 sekaligus. Dari data perubahan konsentrasi CO 2 dan atau CH 4 antar waktu pengambilan sampel gas akan diperoleh gradien perubahan konsentrasi per satuan waktu dcdt. Dengan diketahuinya gradien ini dan dengan diukurnya data suhu, 56 dan ketinggian efektif sungkup akan dapat dihitung nilai fluks CO 2 dan CH 4 . Perhitungan fluks gas CO 2 dan CH 4 didasarkan pada metode Hue et al. 2000, dengan rumus: F = mAt F = ρ x H x dcdt mg CO 2 -C m -2 jam -1 atau mg CH 4 - C m -2 jam -1 F = 4422,4 x H x dcdt x {273 273+t} mg CO 2 -C m -2 jam -1 F = 1622,4 x H x dcdt x {273 273+t} mg CH 4 - C m -2 jam -1 Dengan lambang notasi: F = fluks CO 2 atau CH 4 mg CH 4 -C m -2 jam -1 atau mg CH 4 -C m -2 jam -1 ρ = kerapatan CO 2 -C atau CH 4 -C pada suhu absolut g dm -3 , H = tinggi efektif sungkup m dcdt = perubahan konsentrasi CO 2 atau CH 4 -C antar waktu ppm jam -1 t = rata-rata suhu dalam sungkup o C Sedangkan untuk analisis gas dengan metode titrasi, sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 50 ml dari sungkup yang dipasang di atas paralon silinder permanen yang telah dipasang di lahan gambut. Pengambilan gas dilakukan pada pukul 07.00-10.00 wib dengan frekuensi pengambilan 0, 5, 10, 15, 25 dan 35 menit setelah tutup sungkup dipasang. Sampel gas dalam syringe dimasukkan ke dalam botol vial berukuran 35 ml yang telah diisi dengan KOH 0,2N sebanyak 5 ml. Untuk mengetahui konsentrasi gas CO 2 dilakukan titrasi pada larutan KOH 0,2N yang telah menyerap sampel gas CO 2 dengan larutan HCl 0,1N dengan menggunakan indikator penolptalin pp dan metil oranye mo, dengan berpedoman pada perubahan warna sebagai berikut: 1. Perubahan warna menjadi tidak berwarna dengan indikator pp K 2 CO 3 + HCl KCl + KHCO 3 2. Perubahan warna kuning menjadi pink dengan indikator mo KHCO 3 + HCl KCl + H 2 O + CO 2 Perhitungan jumlah CO 2 dengan metode titrasi diperoleh dengan menggunakan persamaan: Dengan lambang notasi: a = ml HCl sampel gas b = ml HCl blanko t = normalitas HCl tentukan normalitas yang tepat dari larutan HCl r = a-b x t 57 Evaluasi metode analisis dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran emisi CO 2 dari kedua metode tersebut, sedangkan evaluasi pengaruh musim dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran emisi CO 2 dengan menggunakan alat kromatografi gas yang dilakukan pada bulan Mei-Juni 2008 mewakili musim kemarau dan bulan Oktober-November mewakili musim hujan. Disamping pengukuran konsentrasi gas CO 2 dan CH 4 pada sungkup rhizosfer dan non rhizosfer, dilakukan juga pengukuran kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut. Untuk mengetahui kedalaman muka air tanah dilakukan kegiatan sebagai berikut: 1 membuat lubang dengan bor tanah pada titik tengah antara sungkup rhizosfer dan non rhizosfer setiap titik pengamatan, 2 lubang dibiarkan selama 2 jam supaya posisi air tanah stabil, 3 memasukkan kayu ke dalam lubang hingga menyentuh air tanah dan mengukur kedalaman muka air tanah dari permukaan gambut dengan alat meteran, dinyatakan dengan satuan centimeter cm. Untuk mengetahui ketebalan gambut diukur dengan melakukan pengeboran gambut dari permukaan hingga ditemukan lapisan tanah mineral yang dinyatakan dengan satuan centimeter cm. Data emisi CO 2 dan CH 4 pada daerah rhizosfer dan non rhizosfer, pengukuran kedalaman muka air tanah dan pengukuran ketebalan gambut yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Statistical Analysis System SAS versi 9,1 untuk mengetahui: 1 regresi dan korelasi antara kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO 2 dan CH 4 , 2 regresi dan korelasi antara ketebalan gambut terhadap emisi CO 2 . Semua pengujian dilakukan pada taraf nyata 5. Untuk mempelajari pengaruh pengelolaan kebun kelapa sawit sesuai dengan umur tanaman terhadap fluks CO 2 dilakukan analisis korelasi dan regresi pada data emisi CO 2 non rhizosfer berdasarkan umur tanaman dengan menggunakan SAS versi 9,1. Pengujian dilakukan pada taraf nyata 5. Sedangkan data fluks CO 2 dari kebun kelapa sawit desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati, semak, hutan desa Cot Gajah Mati dan Simpang dievaluasi untuk mengetahui pengaruh tipe penggunaan lahan terhadap fluks CO 2 . 58 Hasil dan Pembahasan Penelitian dilaksanakan di empat lokasi gambut yang terdapat di Meulaboh, Aceh Barat, yaitu 1 kebun kelapa sawit di Desa Suak puntong, Kecamatan Meurebu 2 kebun kelapa sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan, 3 kebun kelapa sawit di Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek, dan 4 hutan dan semak belukar di Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI Gambar 18. Deskripsi masing-masing lokasi adalah sebagai berikut: 1. Kebun Kelapa Sawit di Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu. Kebun kelapa sawit di Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu merupakan perkebunan milik perorangan dengan luas kebun sekitar 15 ha. Tanaman kelapa sawit ditanam dengan jarak 9 m x 9 m dan telah berumur 10 tahun Gambar 19a. Kebun ini tidak terpelihara secara intensif, terbukti dengan tingginya semak belukar diantara pohon kelapa sawit mencapai 1 - 1,5 m Gambar 20b, tidak dilakukannya pemangkasan dahan yang kering dan pemupukan tidak diberikan secara rutin. a b Gambar 19. a Kondisi kebun kelapa sawit desa Suak Puntong dekat drainase. b Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong Pada blok kebun yang berukuran panjang 1150 m dan lebar 300 m dibuat 2 buah transek, jarak antar transek 1 dan 2 sekitar 150 m ke arah hutan. 59 Peat domes on Tsunami affected coastal zone Peat domes on Tsunami affected coastal zone 3 Lokasi Penelitian: 1. Suak Puntong 2. Suak Raya 3. Cot Gajah Mati 4. Simpang 4 1 2 Gambar 18. Peta lokasi penelitian 60 Pembuatan transek ini berdasarkan perkiraan perbedaan ketebalan gambut. Setiap transek terdiri dari lima pasang titik pengamatan berupa sungkup permanen untuk pengambilan sampel gas CO 2 dan CH 4 pada daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer Gambar 20a. Pada saat pembuatan transek masih dilakukan perbaikan saluran drainase. Kedalaman saluran drainase utama dibuat 2 m dan lebar 1,5 m Gambar 19b. a b Gambar 20. a Pengambilan sampel gas di titik pengamatan terdekat dengan drainase kebun kelapa sawit desa Suak Puntong b Kondisi semak di antara pohon kelapa sawit pada titik pengamatan terjauh dari drainase 2. Kebun Kelapa Sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan. Kebun kelapa sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan merupakan kebun milik perorangan, luas kebun sekitar 12 Ha. Umur tanaman kelapa sawit pada kebun ini terdiri dari umur 5 tahun dan 10 tahun Gambar 21a dan Gambar 22a. Setelah tsunami, kebun sudah dikelola dengan baik seperti telah dilakukan pemangkasan tanaman di sela-sela pohon kelapa sawit, pengapuran dan pemupukan. Pengapuran dilakukan dengan menambahkan fosfat alam setahun sekali, sedangkan pemupukan nitrogen dilakukan dua kali setahun, pemupukan P dan K hanya satu kali setahun dengan dosis yang tidak konstan setiap aplikasi. Drainase utama lebih sempit dan dangkal yaitu berukuran lebar 0,5 m dan dalam 1 m Gambar 21b dan 22b. Transek yang dibuat pada kebun ini berjumlah lima. Dasar penentuan titik pengamatan yang dipasang sungkup 61 paralon adalah umur tanaman dan dugaan ketebalan gambut yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Tidak semua transek terdiri dari lima titik pengamatan karena panjang lahan yang tegak lurus dengan saluran drainase utama tidak sama. Pada transek 6 dan 7 hanya terdapat tiga pasang sungkup, karena luas lahan sempit. a b Gambar 21. a Kondisi tanaman kelapa sawit kebun desa Suak Raya. b Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Raya a b Gambar 22. a Sungkup saat pengambilan sampel gas. b Kondisi saluran drainase di kebun kelapa sawit Suak Raya 3. Kebun Kelapa Sawit di Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek. Kebun kelapa sawit di Desa Cot Gajah Mati merupakan hutan gambut yang baru dibuka pada tahun 2007 untuk perkebunan kelapa sawit Gambar 23b. 62 Pembukaan hutan yang berukuran 2225 m x 3000 m dilakukan oleh CV Rima kemudian ditanam kelapa sawit yang dibagikan kepada warga masyarakat korban tsunami di Meulaboh. Jumlah transek ada 3 buah, masing-masing transek terdapat 4 pasang sungkup paralon untuk pengambilan sampel gas. Namun pada saat pengambilan sampel gas kedua pada bulan Oktober 2008, sungkup paralon yang di tanam di kebun kelapa sawit hilang, sehingga tidak dapat dilakukan pengambilan sampel untuk daerah rhizosfer. Kemudian dipasang paralon lagi untuk pengambilan sampel gas yang mewakili daerah non rhizosfer sebanyak 2 transek di kebun kelapa sawit dan satu transek di hutan sekunder yang terdapat tidak jauh dari kebun kelapa sawit tersebut. a b Gambar 23. a Kondisi drainase kebun kelapa sawit desa Cot Gajah Mati b Kondisi kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati a b Gambar 24. a Pemasangan Sungkup rhizosfer b Kondisi akar yang dimasukkan dalam sungkup rhizosfer. 63 a b Gambar 25. a Pemasangan Sungkup non rhizosfer berjarak 1 m dari sungkup rhizosfer. b Sungkup rhizosfer dan non rhizosfer saat pengambilan sampel gas. 4. Semak Belukar dan Hutan Gambut di Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI. Pengambilan sampel gas di desa Simpang dilakukan di hutan sekunder Gambar 26 pada titik 100 m, 200 m, dan 250 m dari saluran drainase utama dan semak belukar Gambar 27 pada titik 10 m, 100 m, dan 250 m dari saluran drainase utama. Jarak titik pengamatan tidak sama karena pada jarak 10 m dari saluran drainase utama banyak pohon terbakar. Disamping pengambilan sampel gas, pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan juga pengambilan sampel tanah yang digunakan untuk analisis laboratorium Gambar 28. a b Gambar 26. a Kondisi drainase di hutan desa Simpang b Kondisi hutan gambut di desa Simpang 64 a b Gambar 27. a Kondisi semak di lahan gambut desa Simpang b Pengambilan sampel gas di titik 250 m dari drainase pada vegetasi semak. a b Gambar 28. a Pengambilan sampel tanah dengan bor gambut b Salah satu profil sampel tanah

1. Evaluasi Metode Analisis Sampel Gas CO