Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Emisi CO

68

3. Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Emisi CO

2 dan CH 4 di Daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer Tanaman Kelapa Sawit. Suasana oksidasi dan reduksi yang ditentukan oleh kedalaman muka air tanah akibat pembuatan drainase pada areal kebun kelapa sawit di lahan gambut sangat menentukan regulasi emisi gas CO 2 dan CH 4 . Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah mempunyai pengaruh yang beragam terhadap emisi CO 2 . Hal ini berkaitan erat dengan beragamnya karakteristik inhern tanah gambut dari masing-masing titik pengamatan seperti ketebalan gambut dan pengelolaan kebun yang sangat berbeda. Hasil pengukuran emisi CO 2 masing-masing transek pada lokasi penelitian yang dilakukan pada bulan Oktober-November 2008 disajikan pada Tabel 11. Apabila seluruh titik pengamatan dianalisis dengan program SAS versi 9,1 tanpa dikelompokan berdasarkan transek diperoleh diagram pencar seperti Gambar 29 dan Gambar 30. Dari diagram pencar antara emisi CO 2 baik rhizosfer maupun non rhizosfer dengan kedalaman muka air tanah tidak membentuk pola garis lurus, sehingga dikatakan hubungan antara emisi CO 2 dengan kedalaman muka air tanah tidak linier. Rata-rata emisi CO 2 sebesar 30,53 ± 17,94 t ha -1 th -1 untuk rhizosfer dan 19,02 ± 14,22 t ha -1 th -1 untuk non rhizosfer. 10 20 30 40 50 60 70 80 90 20 40 60 80 100 Kedalaman muka air tanah cm E m is i C O 2 t h a -1 th -1 Gambar 29. Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO 2 di rhizosfer 69 Tabel 11. Emisi CO 2 di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai kedalaman muka air tanah. Tipe penggunaan Lokasi Titik Kedalaman Emisi CO 2 t ha -1 th -1 lahanumur transek pengamatan ke muka air tanah cm Non rhizosfer Rhizosfer Kelapa Sawit 10 th 1 Suak Puntong 1 81 16,7795 24,6405 Kelapa Sawit 10 th 1 Suak Puntong 2 62 24,7497 28,7673 Kelapa Sawit 10 th 1 Suak Puntong 3 60 23,6947 25,7814 Kelapa Sawit 10 th 1 Suak Puntong 4 56 13,6297 18,8753 Kelapa Sawit 10 th 1 Suak Puntong 5 51 9,8983 16,8935 Kelapa Sawit 10 th 2 Suak Puntong 1 86 12,7269 15,4158 Kelapa Sawit 10 th 2 Suak Puntong 2 84 16,2042 16,3532 Kelapa Sawit 10 th 2 Suak Puntong 3 74 5,7633 6,4692 Kelapa Sawit 10 th 2 Suak Puntong 4 67 4,8714 28,3759 Kelapa Sawit 10 th 2 Suak Puntong 5 64 4,8695 30,3461 Kelapa Sawit 10 th 3 Suak Raya 1 52 70,0847 87,1325 Kelapa Sawit 10 th 3 Suak Raya 2 52 20,0737 37,0706 Kelapa Sawit 10 th 3 Suak Raya 3 49 13,6905 42,6842 Kelapa Sawit 10 th 3 Suak Raya 4 46 0,1450 27,8723 Kelapa Sawit 10 th 3 Suak Raya 5 43 16,5227 38,0734 Kelapa Sawit 5 th 4 Suak Raya 1 55 15,8871 17,8153 Kelapa Sawit 5 th 4 Suak Raya 2 57 18,2393 27,1922 Kelapa Sawit 5 th 4 Suak Raya 3 53 28,9473 38,8148 Kelapa Sawit 5 th 4 Suak Raya 4 52 13,5333 21,9176 Kelapa Sawit 5 th 4 Suak Raya 5 51 23,6470 30,3422 Kelapa Sawit 5 th 5 Suak Raya 1 61 32,4569 42,7116 Kelapa Sawit 5 th 5 Suak Raya 2 60 13,0954 15,9136 Kelapa Sawit 5 th 5 Suak Raya 3 58 55,8499 78,1906 Kelapa Sawit 5 th 5 Suak Raya 4 56 16,8393 17,9727 Kelapa Sawit 5 th 5 Suak Raya 5 54 24,5346 36,1663 Kelapa Sawit 5 th 6 Suak Raya 1 52 16,7801 19,0932 Kelapa Sawit 5 th 6 Suak Raya 2 48 16,2536 17,6524 Kelapa Sawit 5 th 6 Suak Raya 3 40 29,8807 31,0071 Kelapa Sawit 5 th 7 Suak Raya 1 46 17,4539 17,6758 Kelapa Sawit 5 th 7 Suak Raya 2 43 1,5868 24,4385 Kelapa Sawit 5 th 7 Suak Raya 3 39 11,0816 64,6678 70 10 20 30 40 50 60 70 80 90 20 40 60 80 100 Kedalaman muka air tanah cm E m is i C O 2 t h a -1 th -1 Gambar 30. Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO 2 di non rhizosfer Tidak liniernya hubungan antara emisi CO 2 dengan kedalaman muka air tanah ini didukung oleh nilai korelasi yang lebih mendekati ke nol yaitu r = -0,305 dengan nilai P= 0,09 untuk rhizosfer dan r = -0,073 dengan nilai P=0,68 untuk non rhizosfer. Dengan demikian pola hubungan antara emisi CO 2 rhizosfer dan kedalaman muka air tanah tidak membentuk persamaan linier Y= 56,59-0,46x dimana Y= emisi CO 2 rhizosfer dan x= kedalaman muka air tanah karena nilai P = 0,09 artinya tidak berbeda nyata pada taraf 5 dan R 2 hanya 9 yang berarti model tidak mampu menerangkan perilaku peubah emisi CO 2 rhizosfer Y. Pola hubungan antara emisi CO 2 non rhizosfer dan kedalaman muka air tanah juga tidak membentuk persamaan linier Y= 23,97-0,08x dimana Y= emisi CO 2 non rhizosfer dan x= kedalaman muka air tanah karena nilai P = 0,69 artinya tidak berbeda nyata pada taraf 5 dan R 2 hanya 0,3 yang berarti model tidak mampu menerangkan perilaku peubah emisi CO 2 non rhizosfer Lampiran 73 dan 74. Karena hasil analisis secara keseluruhan tidak dapat menerangkan pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO 2 , maka analisis pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO 2 dilakukan pada masing-masing transek seperti yang diilustrasikan pada Gambar 31-37. Evaluasi emisi CO 2 ini dibedakan pada daerah perakaran rhizosfer dan non rhizosfer. Emisi CO 2 rhizosfer dipergunakan untuk memprediksi adanya pengaruh akar terhadap CO 2 hasil respirasi mikrob dan gas CO 2 hasil dekomposisi bahan gambut. 71 y = 0,2251x + 9,0325 R 2 = 0,27 y = 0,1547x + 8,1579 R 2 = 0,0762 5 10 15 20 25 30 35 45 50 55 60 65 70 75 80 85 Kedalaman muka air tanah cm E m is i C O 2 t h a -1 t h -1 Non rhizosfer Rhizosfer Linear Rhizosfer Linear Non rhizosfer Gambar 31. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong Transek 1 pada berbagai kedalaman muka air tanah. y = -0,6457x + 67,819 R 2 = 0,4119 y = 0,4833x - 27,363 R 2 = 0,8217 5 10 15 20 25 30 35 60 65 70 75 80 85 90 Kedalaman muka air tanah cm E m is i C O 2 t h a -1 th -1 Non rhizosfer Rhizosfer Linear Rhizosfer Linear Non rhizosfer Gambar 32. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong Transek 2 pada berbagai kedalaman muka air tanah. y = 3,2721x - 111,8 R 2 = 0,3016 y = 3,9741x - 168,24 R 2 = 0,3367 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 42 44 46 48 50 52 54 Kedalaman muka air tanah cm E m is i C O 2 t h a -1 th -1 Non Rhizosfer Rhizosfer Linear Rhizosfer Linear Non Rhizosfer Gambar 33. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 3 pada berbagai kedalaman muka air tanah. 72 y = -0,8557x + 73,082 R 2 = 0,0651 y = -0,7004x + 57,59 R 2 = 0,0733 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 51 52 53 54 55 56 57 58 Kedalaman muka air tanah E m is i C O 2 t h a -1 th -1 Non rhizosfer rhizosfer Linear rhizosfer Linear Non rhizosfer Gambar 34. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 4 pada berbagai kedalaman muka air tanah. y = 0,5348x + 7,2786 R 2 = 0,0037 y = 0,6189x - 7,2168 R 2 = 0,0109 10 20 30 40 50 60 70 80 90 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 Kedalaman muka air tanah cm E m is i C O 2 t ha -1 t h -1 Non Rhizos fer Rhizosfer Linear Rhizosfer Linear Non Rhizosfer Gambar 35. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 5 pada berbagai kedalaman muka air tanah. y = -1,0895x + 73,426 R 2 = 0,8248 y = -1,1791x + 75,996 R 2 = 0,8709 5 10 15 20 25 30 35 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 Kedalaman muka air tanah cm E m is i C O 2 t h a -1 t h -1 Non Rhizosfer Rhizosfer Linear Rhizos fer Linear Non Rhizosfer Gambar 36. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 6 pada berbagai kedalaman muka air tanah. 73 y = 1,9341x - 42,849 R 2 = 0,0237 y = -5,9859x + 313,39 R 2 = 0,3155 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 Kedalaman muka air tanah cm E m is i C O 2 t h a -1 th -1 Non Rhizosfer Rhizosfer Linear Non Rhizosfer Linear Rhizosfer Gambar 37. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 7 pada berbagai kedalaman muka air tanah. Hasil pengukuran kedalaman muka air tanah di lapang menunjukkan bahwa dalam transek yang sama, titik pengamatan yang dekat dengan saluran drainase memiliki muka air tanah lebih dalam, dan semakin jauh dengan saluran drainase utama, maka kedalaman muka air tanah semakin berkurang muka air tanah lebih dangkal. Pada semua transek kecuali transek SR-4 dan SR-6 menunjukkan korelasi yang sama yaitu semakin jauh dari saluran drainase, muka air tanah semakin dangkal dan emisi CO 2 semakin menurun. Hal ini terjadi karena titik yang lebih dekat dengan saluran drainase terjadi penurunan muka air tanah menyebabkan terjadinya proses dekomposisi yang lebih lanjut pada lapisan di atas muka air tanah. Kondisi aerasi akan lebih memacu meningkatkan ketersediaan O 2 di dalam bahan gambut dan dapat mempercepat proses mineralisasi C-organik sehingga bahan gambut menghasilkan CO 2 , sehingga emisi CO 2 di titik yang lebih dekat dengan drainase lebih tinggi. Dari Gambar 31 – 37 terdapat fenomena emisi CO 2 meningkat dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah pada transek 1, 2, 3, 5 dan 7, sedangkan pada transek 4 dan 6 emisi CO 2 menurun dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah. Dengan mempertimbangkan perbandingan antara nilai peningkatan dengan nilai penurunan emisi CO 2 ternyata angka peningkatan lebih besar daripada angka penurunan emisi CO 2 , sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa semakin jauh dari saluran drainase, emisi CO 2 semakin menurun. 74 Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya emisi CO 2 . Dari transek 1, 2, 3, 5 dan 7 terlihat bahwa titik pengamatan terdekat dengan saluran drainase utama memiliki emisi CO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan titik pengamatan yang lebih jauh dari saluran drainase. Hal ini terjadi karena titik pengamatan terdekat dengan saluran drainase utama memiliki muka air tanah lebih dalam. Muka air tanah yang dalam pada titik pengamatan yang terdekat dengan saluran drainase utama menyebabkan terciptanya suasana aerob yang memacu laju proses dekomposisi yang melepaskan CO 2 dari dalam tanah ke atmosfer. Kirk 2004 menyatakan bahwa dekomposisi bahan organik pada kondisi aerob lebih cepat daripada kondisi anaerob karena perubahan energi bebas untuk terjadinya reaksi lebih besar yaitu ∆ G = -199 kJ mol -1 pada pH 7 pada kondisi aerob, sedangkan pada kondisi anaerob ∆G= -17,7 kJ mol -1 pada pH 7. Dengan demikian, mikrob sebagai media dekomposisi mendapat lebih banyak energi, sehingga produksi sel per unit lebih tinggi pada kondisi aerob. Menurut Climo 1983, dekomposisi aerobik 50 kali lebih cepat daripada anaerobik. Keberadaan oksigen pada kondisi aerob akan meningkatkan proses mineralisasi unsur hara terutama unsur C, N, dan S, sehingga memacu hilangnya unsur hara. Sistem drainase di lapang merupakan faktor yang dapat menyebabkan subsiden pada bahan gambut. Ikkonen dan Kurets 2002 menyatakan bahwa drainase lahan gambut selama 10 tahun akan menurunkan muka air dari 10 menjadi 30 cm dan emisi CO 2 dari tanah meningkat 1,5 kali. Proses subsiden merupakan perubahan sifat gambut secara fisik, kimia dan biologi yang ditunjukkan di lapangan dengan penurunan lapisan gambut. Menurut Yagi et al. 1994, drainase terkait dengan perubahan suhu, ketersediaan O 2 , pH, dan Eh pada bahan gambut. Morril et al., 1982 menyatakan bahwa bahan gambut dalam kondisi anaerob bersifat reduktif dapat menghasilkan asam-asam organik, CO 2 dan CH 4 , sedangkan bahan gambut dalam kondisi aerob bersifat oksidatif dapat menghasilkan CO 2 . Dalam kondisi anaerob Gambut akan menghasilkan CO 2, jika tersedia asam asetat, propionat, dan butirat sebagai donor elektron. Besarnya emisi gas CO 2 dan CH 4 sangat bervariasi tergantung pada faktor bahan gambut 75 seperti: ketebalan, tingkat kematangan, dan kondisi hidrologi Nyman dan DeLaune, 1991. Penyebab menurunnya emisi CO 2 dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah pada transek 6 diduga karena ketebalan gambut pada transek ini paling tipis dibandingkan dengan lokasi penelitian lainnya yaitu sekitar 142-170 cm. Hasil penelitian Yulianti 2009 melaporkan bahwa cadangan C gambut mempunyai korelasi nyata positif terhadap ketebalan gambut r= 0,93 dan bobot isi r= 0,65. Kandungan cadangan gambut terendah terdapat pada gambut yang tipis dan semakin besar bobot isi, maka semakin besar juga cadangan C. Jumlah cadangan C dan bobot isi seperti ini menyebabkan menurunnya emisi CO 2 pada transek 6. Hasil evaluasi data emisi CO 2 di rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit Tabel 11 menunjukkan bahwa emisi CO 2 di daerah rhizosfer lebih tinggi daripada di non rhizosfer seperti yang diilustrasikan pada Gambar 38. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pengaruh kualitas media akar yang mampu merubah sifat fisik, kimia dan biologi tanah di sekitar akar Darrah, 1993; Gregory dan Hinsinger, 1999. Rhizosfer mempunyai lingkungan yang memungkinkan untuk berkembangnya banyak organisme Bowen dan Rovina, 1991; Peterson, 2003, sehingga banyak proses yang terjadi pada daerah sekitar akar yang secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan kapasitas fungsi tanah terhadap pertumbuhan tanaman dan buffer lingkungan, seperti: 1 akar tanaman menstabilkan tanah dari gangguan fisik, pergantian siklus pembasahan dan pengeringan, 2 eksudat akar jenis mucilage asam Poligalakturonat membantu terbentuknya formasi agregat tanah, 3 asam organik seperti asam oksalat, asam tatrat, dan asam sitrat melarutkan unsur hara dan detoksifikasi unsur logam Thiele et al., 2005. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanah yang dipengaruhi oleh aktivitas akar merupakan tempat yang disukai oleh banyak mikrob dibandingkan dengan bulk soil Peterson, 2003. Disamping meningkatnya populasi mikrob, aktivitas mikrob di sekitar daerah perakaran juga meningkat. Peningkatan aktivitas mikrob ini sebagai akibat tingginya konsentrasi nutrisi, C-labil, dan pengaruh eksudat akar Kuzyakov et al., 2000; Subke et al., 2004; Hamer dan 76 Marschner, 2005. Dengan meningkatnya jumlah populasi dan aktivitas mikrob di daerah rhizosfer menyebabkan respirasi mikrob meningkat dan produksi CO 2 dari daerah rhizosfer lebih besar daripada daerah non rhizosfer. Namun mekanisme dua arah proses emisi gas CO 2 dari dalam tanah ke atmosfer sangatlah komplek dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang saling berinteraksi. 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 39 43 46 48 51 52 52 53 55 56 58 60 62 67 84 K ed al am an m u k a ai r ta n ah cm Emisi CO 2 t ha -1 th -1 Non Rhizosfer Rhizosfer Gambar 38. Emisi CO 2 di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit pada berbagai kedalaman muka air tanah. Pelepasan CO 2 dari topsoil yang banyak dipengaruhi oleh kehadiran akar tanaman lebih besar daripada subsoil. Beberapa penelitian menyatakan produksi CO 2 menurun dengan meningkatnya kedalaman tanah pada tanah yang diinkubasi baik pada kondisi aerobik maupun anaerobik Bridgham dan Richardson, 1992; McKenzie et al., 1998 dan Waddington et al., 2001. Hal ini disebabkan karena 1 perbedaan dalam populasi mikrob, 2 rendahnya jumlah C-organik tersedia 77 Nadelhoffer et al., 1991, dan akumulasi senyawa humik Hogg et al., 1992. Kluge et al. 2008 melaporkan bahwa tingginya jumlah C-organik di topsoil merupakan indikasi C organik lebih mudah tersedia dan munculnya lumpur di subsoil yang merupakan kondisi yang tidak menguntungkan untuk kehidupan mikrob merupakan penyebab tingginya pelepasan CO 2 di top soil. Moren and Lindroth 2000 menyatakan bahwa efemisi CO 2 dari dalam tanah merupakan hasil dari dua proses yaitu produksi CO 2 dan transport CO 2 . Berkaitan dengan proses transport CO 2 , maka besarnya produksi CO 2 di daerah rhizosfer akan diikuti oleh besarnya emisi CO 2 di daerah ini akibat dari lebih memungkinkannya proses difusi gas CO 2 dari dalam tanah ke atmosfer. Disamping itu, bobot isi semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman tanah Walczak, Bieganowski, and Rovdan, 2002. Adanya perbedaan bobot isi tanah di sekitar akar dengan bulk soil memungkinkan produksi CO 2 didaerah Rhizosfer lebih tinggi daripada non Rhizosfer. Hinsinger et al. 2005 menyatakan bahwa beberapa cm dari daerah sekitar akar terdapat peningkatan asam atau basa yang tergantung pada spesies tanaman. Untuk tanaman kacang-kacangan pH tanah akan meningkat asam, sedangkan untuk tanaman spruce akan menjadi basa. Pada penelitian pH tanah berada dalam kisaran 2,9 sampai dengan 3,9. Perubahan derajat kemasaman tanah ini tentu akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap jumlah populasi dan aktivitas mikrob yang mempunyai dampak terhadap besarnya emisi CO 2 dari dalam tanah ke atmosfer. Bentuk emisi C ke atmosfer selain gas CO 2 , CH 4 merupakan salah satu komponen gas rumah kaca yang diemisikan oleh tanah akibat metabolisme bakteri metanogen. Kira-kira 80 diproduksi secara biologis oleh grup bakteri anaerobik pada lingkungan yang sangat reduktif Ehhalt and Schmidt, 1978, dengan redoks potensial lebih kecil dari -200 mV dan tumbuh optimal pada temperatur 30-40 o C Kirk, 2004. Produksi CH 4 tidak akan dimulai sebelum oksigen, nitrat, besi III, mangan IV dan sulfat tereduksi semua Smith et al., 2003. Proses ini sangat dipengaruhi oleh suhu, kandungan bahan organik, pH, kelembaban dan potensial redoks dalam tanah Kimura et al., 1993; Moore dan Dalva, 1993; Yang dan 78 Chang, 1997. Sylvia et al., 1998 menjelaskan bahwa metanogen dalam tanah memproduksi CH 4 melalui dua jalan utama, yaitu: CO 2 + H 2 CH 4 reduksi CO 2 CH 3 COOH CH 4 + CO 2 fermentasi asetat Dari pengukuran emisi CH 4 di perkebunan kelapa sawit di Desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati, semak Desa Simpang, hutan di Desa Cot Gajah Mati dan Desa Simpang, ternyata CH 4 hanya terdeteksi pada hutan Cot Gajah Mati. Hal ini disebabkan karena muka air tanah di Hutan Cot Gajah Mati dangkal dan saluran drainase hanya berupa saluran kecil yang tidak terpelihara Sedangkan hutan di Desa Simpang memiliki saluran drainase utama dengan ukuran lebar 2,5 m dan dalam 3 m dengan kedalaman muka air tanah sekitar 36, 41, dan 53 cm dari permukaan gambut, sehingga CH 4 tidak terdeteksi walaupun tipe penggunaan lahannya sama sebagai hutan. Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan drainase akan menurunkan emisi CH 4 seperti hasil penelitian yang dilaporkan oleh Martikainen et al. 1992 dan Flessa et al. 1998. Disamping itu, dalamnya muka air tanah dari permukaan gambut di hutan Desa Simpang menyebabkan tebalnya kondisi aerob di horizon atas, sehingga produksi CH 4 menurun dan meningkatkan konsumsi CH 4 untuk dioksidasi menjadi gas CO 2 . Yang dan Chang 1998 menyatakan bahwa produksi CH 4 tidak terjadi jika kadar air dalam tanah kurang dari 23. Terdapat korelasi linier positif antara total produksi CH 4 dengan kadar air tanah dari 16,7 sampai dengan 66,7, sehingga produksi CH 4 meningkat dengan meningkatnya kadar air dalam tanah dan maksimum pada kadar air 66,7. Tabel 12. Emisi CH 4 di hutan gambut Desa Cot Gajah Mati pada berbagai kedalaman muka air tanah. Kode Lokasi Lokasi Emisi CH 4 t ha -1 th -1 Kedalaman muka air tanah cm EIII69 Hutan Cot Mati 1,4098 17 EIII70 Hutan Cot Mati 4,5255 18 EIII71 Hutan Cot Mati 0,4426 15 EIII74 Hutan Cot Mati 0,2120 34 EIII79 Hutan Cot Mati 0,0776 5 EIII85 Hutan Cot Mati 0,5374 4 EIII86 Hutan Cot Mati 1,0237 7 79 1 2 3 4 5 4 5 7 15 17 18 34 K ed al am an m u k a a ir t an ah cm Emisi CH 4 t ha -1 th -1 Gambar 39. Emisi CH 4 di hutan gambut Desa Cot Gajah Mati pada berbagai kedalaman muka air tanah. Pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap terbentuknya gas CH 4 sangat jelas terlihat pada penelitian ini. Data yang sangat menarik dari penelitian ini adalah emisi CH 4 pada hutan Cot Gajah Mati menurun dengan kedalaman muka air tanah, dan CH 4 tidak terdeteksi dengan kedalaman muka air tanah lebih dari 34 cm dari permukaan gambut Gambar 39. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya laju proses oksidasi CH 4 diubah menjadi CO 2 sebelum mencapai permukaan tanah semakin meningkat, sehingga emisi CH 4 menjadi menurun. Kelembaban udara dan muka air tanah merupakan faktor penting yang mempengaruhi emisi CH 4 . Saluran drainase di hutan Desa Cot Gajah Mati tidak dikelola dengan baik, hal ini dapat merubah kondisi mikroagroklimat seperti meningkatnya kelembaban tanah dan dangkalnya muka air tanah dari permukaan gambut yang berpengaruh terhadap meningkatnya produksi CH 4 , sehingga emisi CH 4 terdeteksi di hutan Cot Gajah Mati. Liu et al. 2008 menyatakan bahwa pola emisi CH 4 menunjukkan korelasi nyata dengan kelembaban tanah. Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa faktor lingkungan yang dominan mengendalikan emisi CH 4 di lahan gambut adalah kedalaman air tanah Crill et al ., 1988; Moore dan Dalva, 1993; Bartlett dan Harriss, 1993. Air tanah yang dekat dengan permukaan gambut menciptakan kondisi anaerobik yang merupakan kondisi sangat baik untuk produksi CH 4 . Menurut Yang dan Chang 1998, produksi CH 4 dalam kondisi anaerob 10 kali lebih besar daripada kondisi aerob, 80 dari 1 gram tanah umumnya memproduksi CH 4 344,4 μg dalam kondisi anaerobik dan 33,8 μg dalam kondisi aerobik. Selain sistem drainase, sistem pengelolaan tanah dan tanaman seperti pengapuran dan pemupukan serta pengaturan tanaman pokok dan tanaman sela pada kebun kelapa sawit merupakan salah satu penyebab tidak terdeteksinya CH 4 pada semua kebun kelapa sawit. Menurut Yang dan Chang 1998, sterilisasi tanah, kondisi aerobik, penambahan monosakarida, disakarida dan urea dapat mengakibatkan penurunan produksi metana, sedangkan meningkatnya suhu Crill et al ., 1988; Nyakanen et al., 1995, penambahan bahan organik dan penggenangan air dapat meningkat produksi metana. Penggenangan tanah dapat meningkatkan emisi CH 4 beberapa kali lipat hingga mencapai 42,84 hingga 57,12 mg m -2 h -1 Przywara dan Stêpniewska, 2002, hal ini karena populasi dan aktivitas bakteri pengoksidasi metan meningkat selama penggenangan, tetapi menurun setelah pengeringan Inubushi et al., 2003. Sifat bahan gambut seperti pH juga mempengaruhi aktivitas mikrob metanogen Mosier et al., 1991. Metanogen tumbuh baik pada pH 6,5-7,5 Mah dan Smith, 1981 dan produksi CH 4 menurun jika pH tanah terlalu tinggi atau terlalu rendah Wang et al., 1993. Derajat kemasaman gambut pada penelitian ini menunjukkan bahwa pH aktual pH H 2 O gambut berada pada kisaran 2,9 sampai dengan 3,9, sedangkan pH potensial pH KCl berkisar antara 2,3 sampai dengan 3,07, sehingga bukan merupakan pH optimum untuk perkembangan kehidupan metanogen. Dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa emisi CH 4 banyak ditemukan pada tanah yang tergenang, hal ini menunjukkan pentingnya ebulusi dalam mekanisme emisi CH 4 . Memang secara umum gas seperti halnya CH 4 dapat mencapai atmosfer dengan 3 proses yaitu difusi molekul dengan terlarutnya CH 4 , transport tanaman, dan ebulisi. Namun karena 60 akumulasi CH 4 dalam bentuk gelembung-gelembung udara bubbles bukan dalam bentuk terlarut, maka emisi CH 4 lebih dominan melalui ebulusi Redeker et al., 2003; Rinnan et al., 2003. 81

4. Pengaruh Ketebalan Gambut terhadap Emisi CO