Perkembangan Emosi Anak Tunanetra

a. Koordinasi tangan

Bayi tunanetra tidak mengetahui apa yang ada di sekelilingnya sehingga mereka cenderung diam dan tidak responsif. Oleh karena itu, perlu diciptakan suatu lingkungan yang mampu merangsang perkembangan geraknya. Hambatan dalam perkembangan koordinasi tangan akan berpengaruh pada berbagai aktivitas di kemudian hari seperti berjabat tangan yang lemah, kesulitan memegang benda serta kelambanan dalam latihan kesiapan membaca huruf Braille.

b. Koordinasi badan

Bayi tunanetra cenderung diam atau melakukan aktivitas yang kurang berarti yang disebut blindism seperti menusuk mata dengan jari, mengangguk-anggukkan kepala, menggoyang-goyangkan kaki atau sejenisnya . Tanpa disadari kebiasaan ini terbawa sampai dewasa.

2. Tahap berjalan

Pada anak tunanetra dalam usia yang sama dengan anak lain kecil kemungkinannya dapat bergerak dengan gerakan yang sama dengan anak lain. Dia akan berjalan lebih pada usia yang lebih tua dari anak normal. Hal tersebut terjadi karena kurangnya motivasi baik internal maupun eksternal untuk melangkahkan kakinya pada posisi berdiri untuk mengambil benda di sekitarnya.

c. Perkembangan Emosi Anak Tunanetra

Perkembangan emosi sangat dipengaruhi oleh proses belajar yang dilakukan anak sejak kecil, melalui imitasi maupun condisioning yang dilakukan oleh lingkungan. Kematangan emosi ditunjukkan dengan adanya keseimbangan dalam mengendalikan emosi baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan Universitas Sumatera Utara dibandingkan dengan anak yang normal penglihatannya. Gangguan ini disebabkan terutama oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak- kanak, anak tunanetra mungkin akan mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun ia tidak dapat melakukan pengamatan lingkungannya secara tepat. Akibatnya, pola emosi yang ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh dirinya maupun lingkungannya. Anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi secara emosional melalui ekspresi wajah atau reaksi tubuh lainnya untuk menyampaikan perasaannya kepada orang lain. Anak tunanetra biasanya menyampaikan hal ini melalui kata- kata jika ia sudah mampu belajar bicara. Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat jika ia mengalami deprivasi emosi, yaitu keadaan dimana anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian dan kesenangan. Anak-anak tunanetra yang mengalami ini, biasanya anak-anak yang pada masa awal kehidupannya ditolak oleh keluarga dan lingkungannya sehingga berpengaruh pada aspek perkembangan lainnya seperti kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual dan sosialnya. Biasanya mereka memiliki kecenderungan untuk menarik diri, mementingkan diri sendiri serta sangat menuntut pertolongan atau kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. Masalah lain yang biasa dihadapi oleh anak tunanetra adalah gejala emosi dengan pola negatif yang berlebihan akibat keterbatasannya dalam melakukan sesuatu seperti takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hai dan kesedihan yang berlebihan. Perasaan takut yang berlebihan pada anak tunanetra biasanya muncul karena mulai meningkatnya pengenalan terhadap bahaya yang mungkin terjadi pada dirinya. Ketidakampuannya untuk melihat mengakibatkan ia tidak mampu untuk mendeteksi bahaya tersebut sehngga bayangan Universitas Sumatera Utara akan adanya bahaya lebih besar dibandingkan dengan orang normal. Hal ini diperparah dengan keterbatasan mereka untuk mengantisipasi bahaya tersebut.

d. Perkembangan Sosial Anak Tunanetra