Peran Keluarga Pada Anak Penyandang Tuna Netra

(1)

PERAN KELUARGA PADA ANAK PENYANDANG TUNA NETRA

DISUSUN OLEH:

Fasti Rola, M.Psi, Psikolog

NIP. 19810314 200501 2 003

DIKETAHUI OLEH:

DEKAN FAKULTAS PSIKOLOGI USU

Prof. Dr. Irmawati, Psikolog NIP. 19530131 198003 2 001

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ………... DAFTAR ISI………. ... KATA PENGANTAR ………... BAB I. PENDAHULUAN ... BAB II. LANDASAN TEORI ... II.A. TUNANETRA ... II.A.1. Definisi Tunanetra ... II.A.2 Klasifikasi Tunanetra... II.A.3. Penyebab Tunanetra ... II.A.4. Karakteristik Tunanetra... II.A.5. Reaksi Orangtua Terhadap Ketunanetraan Anak ... II.B. POLA ASUH ... BAB III. KESIMPULAN ...………... DAFTAR PUSTAKA ...

i ii iii 1 1 3 3 3 4 5 8 13 15 17 18


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, karena itu penulis berharap mendapat masukan dari para pembaca untuk penyempurnaan tulisan ini.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah memberi penulis kesempatan untuk mengabdikan diri di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para mahasiswa dan rekan-rekan sejawat di tempat penulis bekerja atas dukungan dan hangatnya persaudaraan.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Iskandar yang senantiasa mengingatkan dan memberi motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan karya tulis ini, semoga Allah SWT membalas dengan yang lebih baik atas budi baik dan ketulusan yang telah diberikan. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi semua pihak. Amin!

Medan, 20 September 2010

Fasti Rola, M.Psi, psikolog NIP. 19810314 200501 2 003


(4)

I. PENDAHULUAN

Anak dengan gangguan penglihatan lebih akrab disebut sebagai anak tunanetra. Pengertian tunanetra tidak saja pada seseorang yang buta, tetapi mencakup juga seseorang yang mampu melihat tetapi terbatas dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari. Jadi pengertian tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas (Somantri, 2006). Walaupun begitu, anak tunanetra tetaplah sebagai anak-anak bangsa yang merupakan penerus cita-cita bangsa. Anak penyandang tunanetra tetap harus diperhatikan dan diperlakukan dengan tepat agar bisa berkembang dengan optimal.

Dari beberapa hasil penelitian, masyarakat memiliki pandangan yang positif dan negatif terhadap penyandang tunanetra (Somantri, 2006). Pandangan negatif menyatakan bahwa penyandang tunanetra memiliki sikap tidak berdaya, memiliki ketergantungan, memiliki kemampuan yang rendah dalam orientasi waktu, tidak pernah merasakan kebahagiaan, resisten terhadap perubahan, cendrung kaku dan menarik diri dan lain sebagainya. Sedangkan pandangan positif menyatakan bahwa penyandang tunanetra memiliki kepekaan terhadap suara, perabaan, daya ingat dan lain sebagainya. Disisi lain, penyandang tunanetra pun memiliki pandangan terhadap orang pada umumnya (Somantri, 2006). Pandangannya adalah bahwa orang normal tidak tahu banyak tentang “orang buta” dan kemudian akan terheran-heran ketika penyandang tunanetra menunjukkan kemampuannya dalam beberpa hal. Selain itu, penyandang tunanetra juga merasa bahwa orang normal cenderung kasihan kepada dirinya. Pandangan penyandang tunanetra sendiri terhadap kebutaannya (Bauman dalam Somantri, 2006) adalah keberhasilan dalam


(5)

penyesuaian sosial dan ekonomi mereka berkaitan erat dengan sikap-sikap diri dan keluarganya terhadap penerimaan secara emosional yang realistik terhadap kebutaannya serta pemilikan kemampuan intelektual dan stabilitas psikologis dan lain sebagainya.

Somantri (2006) mengatakan bahwa banyak ditemukan sikap-sikap dan bentuk-bentuk gangguan kepribadian pada anak tunanetra pada umumnya bukan karena sebab-sebab psikopatologis, namun lebih disebab-sebabkan oleh pengaruh-pengaruh sosial dari lingkungannya, terutama keluarga. Hal ini disebabkan karena keluarga adalah lingkungan pertama yang merasakan dampaknya terhadap keberadaan anak tunanetra. Bagaimana reaksi keluarga atau orangtua terhadap keberadaan anak tunanetra akan sangat berpengaruh terhadap keseluruhan perkembangan pribadi-pribadi anak di kemudian hari.


(6)

II. LANDASAN TEORITIS

II.A. TUNANETRA II.A.1 Definisi Tunanetra

DITPLB, (2007) membedakan penyandang Tunanetra dengan Low Vision. Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan / tidak berfungsinya indera penglihatan. Keterbatasan tersebut antara lain :

a. Tidak dapat melihat gerakan tangan pada jarak kurang dari 1 (satu) meter.

b. Ketajaman penglihatan 20/200 kaki yaitu ketajaman yang mampu melihat suatu benda pada jarak 20 kaki.

c. Bidang penglihatannya tidak lebih luas dari 20º. (Heward & Orlansky, 1988:p.296)

Hatfield (dalam Mangunsong, dkk, 1998) mengatakan bahwa seseorang dikatakan tunanetra jika setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya, ternyata ketajaman visualnya tidak melebihi 20/200 atau setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya ternyata pandangannya tidak melebihi 20 derajat.

Ciri utama mereka yang mengalami gangguan penglihatan/tunanetra adalah penglihatan yang tidak normal. Bentuk-bentuk ketidaknormalan bila dilihat secara fisik/ umum adalah (Mangunsong, dkk, 1998) :

a. Penglihatan samar-samar untuk jarak dekat atau jauh. Hal ini dijumpai pada kasus myiopa, hyperpiopa dan astigmatismus.

b. Medan penglihatan yang terbatas. c. Tidak mampu membedakan warna


(7)

e. Sangat sensitif terhadap cahaya atau ruang terang.

II.A.1. Klasifikasi Tunanetra

Klasifikasi tunanetra secara garis besar dibagi empat yaitu:

1. Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan

a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.

b. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.

c. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.

d. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.

e. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.

2. Berdasarkan kemampuan daya penglihatan

a. Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.

b. Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.


(8)

3. Berdasarkan pemeriksaan klinis

a. Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.

b. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.

4. Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata

a. Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif. b. Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan

retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa positif. c. Astigmatismus; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena

ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatismus digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.

II.A.3. Penyebab Tunanetra

Faktor yang menyebabkan terjadinya ketunanetraan antara lain (DITPLB, 2006):

1. Pre-natal

Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain:


(9)

a. Keturunan

Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanya sukar melihat di malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja penglihatan pusat yang tertinggal.

b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan

Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhan dalam kandungan dapat disebabkan oleh:

‐ Gangguan waktu ibu hamil.

‐ Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan.

‐ Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.

‐ Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.

‐ Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya fungsi penglihatan.

2. Post-natal

Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain:


(10)

a. Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras.

b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi, yang pada akhirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.

c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya: ‐ Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A. ‐ Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.

‐ Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.

‐ Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.

‐ Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluh darah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.

‐ Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk. Anak dengan retina degenerasi masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.

‐ Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dari inkubator terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak


(11)

normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan tunanetra total.

a. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll.

II.A.4 Karakteristik Anak Tunanetra

Menurut Soemantri (2005), karakteristik anak Tunanetra adalah :

a. Perkembangan kognitif anak tunanetra

Akibat dari ketunanetraan, pengenalan dunia luar anak, tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Akibatnya perkembangan kognitif anak tunanetra cenderung terhambat dibandingkan dengan anak-anak normal lainnya. Indera penglihatan adalah salah satu indera penting dalam menerima informasi dari luar (Somantri, 2005).

Anak-anak tunanetra memiliki keterbatasan atau bahkan ketidakmampuan dalam menerima rangsang atau informasi dari luar dirinya melalui indera penglihatan. Penerimaan rangsang hanya dapat dilakukan melalui pemanfaatan indera-indera lain diluar indera penglihatannya. Indera penglihatan memegang peranan dominan dalam proses pembentukan pengertian atau konsep terutama secara visual.

Karena kurangmya stimulasi visual, perkembangan bahasa anak tunanetra juga tertinggal dibanding anak awas, kemampuan kosa kata mereka terbagi atas dua golongan, yaitu kata-kata yang berarti bagi dirinya berdasarkan pengalamannya sendiri dan kata-kata verbalis yang diperolehnya dari orang lain yang ia sendiri sering tidak memahaminya. Komunikasi nonverbal juga merupakan hal yang kurang dipahaminya karena kemampuan ini sangat bergantung pada stimuli visual. Dalam hal pemahaman bahasa, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan anak awas, kosakata anak tunanetra cenderung bersifat definitif, anak awas cenderung lebih luas. Namun seperti anak awas, anak


(12)

tunanetra dapat mempertahankan pengalaman-pengalaman khusus tetapi kurang terintegrasi. Anak tunanetra juga cenderung menghadapi masalah konseptualisasi yang abstrak berdasarkan pandangan yang konkret dan fungsional.

b. Perkembangan motorik anak tunanetra

Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat dibandingkan anak awas pada umumnya. Keterlambatan ini terjadi karena perkembangan perilaku motorik memerlukan adanya koordinasi fungsional antara neuromuscular system (system saraf dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan psikomotorik), serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. Fungsi system saraf dan otot anak tunanetra mungkin tidak bermasalah, tetapi fungsi psikisnya (seperti pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan adanya bahaya dan cara menghadapi keterampilan gerak yang terbatas, serta kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu) kurang mendukung sehingga menjadi hambatan tersendiri dalam perkembangan motoriknya, sehingga mengakibatkan kematangan fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktivitas gerak motorik.

Perkembangan perilaku motorik juga menuntut perilaku psikomotor (locomotion) yang bersifat universal yang harus dikuasai oleh individu pada masa bayi atau pada masa awal kanak-kanak, yaitu berjalan, dan memegang benda. Kedua keterampilan motorik ini menjadi dasar bagi keterampilan motorik yang lebih kompleks. Bagi anak tunanetra, penguasaan perilaku psikomotor dasar seperti berjalan dan memegang benda sudah merupakan masalah yang tidak mudah untuk dikuasai dan dilaksanakan dengan baik.

1. Tahap sebelum berjalan

Anak tunanetra mengikuti pola perkembangan perilaku motorik yang sama dengan anak normal pada umumnya, hanya saja faktor kecepatannya yang berbeda sebagai akibat dari kurangnya rangsangan visual


(13)

a. Koordinasi tangan

Bayi tunanetra tidak mengetahui apa yang ada di sekelilingnya sehingga mereka cenderung diam dan tidak responsif. Oleh karena itu, perlu diciptakan suatu lingkungan yang mampu merangsang perkembangan geraknya. Hambatan dalam perkembangan koordinasi tangan akan berpengaruh pada berbagai aktivitas di kemudian hari seperti berjabat tangan yang lemah, kesulitan memegang benda serta kelambanan dalam latihan kesiapan membaca huruf Braille.

b. Koordinasi badan

Bayi tunanetra cenderung diam atau melakukan aktivitas yang kurang berarti yang disebut blindism seperti menusuk mata dengan jari, mengangguk-anggukkan kepala, menggoyang-goyangkan kaki atau sejenisnya . Tanpa disadari kebiasaan ini terbawa sampai dewasa.

2. Tahap berjalan

Pada anak tunanetra dalam usia yang sama dengan anak lain kecil kemungkinannya dapat bergerak dengan gerakan yang sama dengan anak lain. Dia akan berjalan lebih pada usia yang lebih tua dari anak normal. Hal tersebut terjadi karena kurangnya motivasi baik internal maupun eksternal untuk melangkahkan kakinya pada posisi berdiri untuk mengambil benda di sekitarnya.

c. Perkembangan Emosi Anak Tunanetra

Perkembangan emosi sangat dipengaruhi oleh proses belajar yang dilakukan anak sejak kecil, melalui imitasi maupun condisioning yang dilakukan oleh lingkungan. Kematangan emosi ditunjukkan dengan adanya keseimbangan dalam mengendalikan emosi baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan


(14)

dibandingkan dengan anak yang normal penglihatannya. Gangguan ini disebabkan terutama oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun ia tidak dapat melakukan pengamatan lingkungannya secara tepat. Akibatnya, pola emosi yang ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh dirinya maupun lingkungannya. Anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi secara emosional melalui ekspresi wajah atau reaksi tubuh lainnya untuk menyampaikan perasaannya kepada orang lain. Anak tunanetra biasanya menyampaikan hal ini melalui kata-kata jika ia sudah mampu belajar bicara.

Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat jika ia mengalami deprivasi emosi, yaitu keadaan dimana anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian dan kesenangan. Anak-anak tunanetra yang mengalami ini, biasanya anak-anak yang pada masa awal kehidupannya ditolak oleh keluarga dan lingkungannya sehingga berpengaruh pada aspek perkembangan lainnya seperti kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual dan sosialnya. Biasanya mereka memiliki kecenderungan untuk menarik diri, mementingkan diri sendiri serta sangat menuntut pertolongan atau kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya.

Masalah lain yang biasa dihadapi oleh anak tunanetra adalah gejala emosi dengan pola negatif yang berlebihan akibat keterbatasannya dalam melakukan sesuatu seperti takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hai dan kesedihan yang berlebihan. Perasaan takut yang berlebihan pada anak tunanetra biasanya muncul karena mulai meningkatnya pengenalan terhadap bahaya yang mungkin terjadi pada dirinya. Ketidakampuannya untuk melihat mengakibatkan ia tidak mampu untuk mendeteksi bahaya tersebut sehngga bayangan


(15)

akan adanya bahaya lebih besar dibandingkan dengan orang normal. Hal ini diperparah dengan keterbatasan mereka untuk mengantisipasi bahaya tersebut.

d. Perkembangan Sosial Anak Tunanetra

Perkembangan sosial dapat berarti sejauh mana anak menguasai seperangkat keterampilan berprilaku yang sesuai dengan tuntutan lingkungannya. Bagi anak tunanetra, menguasai perilaku ini bukanlah hal yang mudah. Hambatan tersebut terutama muncul akibat langsung maupun tidak langsung dari ketunanetraannya. Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan yang luas dan baru, perasan-perasaan rendah diri, malu, sikap-sikap penolakan dari masyarakat serta keterbatasan untuk belajar pola-pola perilaku yang diterima melalui proses imitasi dan identifikasi bisa menyebabkan perkembangan sosial yang terhambat.

Pengalaman sosial tidak menyenangkan anak tunanetra pada usia dini yang mengalami penolakan dapat terbawa hingga ia dewasa dimana perilaku seperti menghindar, menolak untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial atau memiliki pandangan yang negatif terhadap orang lain akhirnya muncul. Oleh karena itu, keluarga menjadi salah satu faktor penting untuk menumbuhkan kemampuan sosialisasi anak tunanetra di usia dini. Masa sosialisasi yang sesungguhnya, dimana anak mulai berinteraksi dengan masyarakat di luar keluarga biasanya dimulai saat anak mulai memasuki usia sekolah. Pada masa ini anak juga dihadapkan pada aturan dan disiplin serta penghargaan terhadap orang lain. Masa transisi dari lingkungan rumah ke sekolah seringkali menimbulkan masalah pada anak, termasuk anak tunanetra. Bagi anak tunanetra, memasuki sekolah atau lingkungan yang baru merupakan saat yang kritis dimana ia dapat merasakan perbedaan antara dirinya dengan orang lain yang mengundang reaksi tertentu, yang mungkin menyenangkan atau sebaliknya. Oleh karena itu,


(16)

dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial anak tunanetra sangat bergantung pada penerimaan dan perlakuan lingkungan terhadap dirinya, terutama lingkungan keluarga.

e. Perkembangan Kepribadian Anak Tunanetra

Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa ketunanetraan dapat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sifat dan kepribadian anak tunanetra dengan anak yang memiliki penglihatan normal. Anak tuna netra memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan kepribadian seperti introversi, neurotik, frustrasi dan kekakuan mental. Di sisi lain terdapat pula penelitian yang membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam penyesuaian diri antara anak yang tunanetra dan anak dengan penglihatan normal. Dalam tes kepribadian, ditemukan bahwa hingga saat ini belum ada tes kepribadian yang khusus diperuntukkan bagi anak tunanetra.

Mengenai peran konsep diri dalam penyesuaian terhadap lingkungannya, Davis (dalam Kirtley, 1975) mengatakan bahwa dalam perkembangan awal, diferensiasi konsep diri merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dicapai. Untuk memasuki lingkungan baru, seorang anak tunanetra membutuhkan dukungan dari orang lain untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai lingkungan tersebut.

II.A.5. Reaksi Orangtua Terhadap Ketunanetraan anak

Somantri (2006) menyatakan bahwa reaksi orang tua terhadap ketunanetraan anaknya dapat dibagi menjadi lima kelompok yaitu:


(17)

Sikap ini ditunjukkan dengan pemberian kasih sayang yang wajar serta pemberian perlakuan yang sama dengan anak lainnya. Mereka juga terbuka terhadap permasalahan yang dihadapi anak dan keluarganya.

2. Penyangkalan terhadap ketunanetraan anak

Ketunanetraan anak biasanya ditanggapi dengan sikap yang terbuka, tetapi disertai dengan alasan yang tidak realistik terhadap kecacatannya. Terutama terhadap kebutuhan dan permasalahannya. Dalam pendidikan, orang tua seringkali tidak percaya bahwa anaknya perlu pelayanan pendidikan secara khusus dan menyangkal bahwa akhirnya prestasinya rendah.

3. Perlindungan yang berlebihan

Biasanya dilakukan orang tua karena kompensasi karena ketunanetraan anak dirasakan sebagai perasaan bersalah atau berdosa. Sikap ini cenderung tidak menguntungkan anak karena akan menghambat perkembangan dan kematangan anak terutama dalam kemandirian.

4. Penolakan secara tertutup

Biasanya ditunjukkan dengan sikap menyembunyikan anak dari masyarakat. Orangtua tidak ingin diketahui memiliki anak tunanetra, tidak peduli, tidak menyayangi, dan cenderung mengasingkan anaknya dari lingkungan keluarga.

5. Penolakan secara terbuka

Ditunjukkan dengan sikap bahwa secara terus terang ia menyadari ketunanetraan anaknya, tetapi sebenarnya secara rasio ataupun emosional tidak pernah dapat menerima kehadiran anaknya tersebut. Orang tua yang demikian biasanya bersikap bertahan dan tidak pernah merasa bersalah dan mau menerima kenyataan. Ia cenderung ingin mencari tahu sebab-sebab ketunanetraan anaknya kepada orang lain atau para ahli. Tetapi tidak pernah


(18)

menemukan jawabannya. Pada akhirnya orangtua akan bersikap masa bodoh dan tidak peduli dengan kebutuhan anaknya.

II.B. POLA ASUH

Menurut Baumrind (dalam Papalia, Olds dan Feldman, 2001), terdapat tiga jenis pola asuh yang sering diterapkan oleh orangtua, yaitu :

1. Autoritarian

Orangtua menuntut anak untuk berperilaku sopan, sesuai dengan aturan-aturan yang ketat dan harapan yang ditetapkan oleh mereka sendiri. Anak diharapkan untuk patuh terhadap standar yang ditetapkan secara ketat. Anak dari orangtua seperti ini umumnya terlihat menarik diri, tidak memiliki kepercayaan diri dan tidak yakin pada dirinya sendiri.

2. Permissif

Orangtua yang permisif biasanya menghargai ekspresi diri dan pengaturan terhadap diri sendiri. Mereka tidak banyak memberi tuntutan, mengijinkan anak untuk sebanyak mungkin memonitor aktivitas mereka sendiri. Mereka memandang dirinya sebagai sumber (resources), menghindari diberlakukannya kontrol, dan tidak mendorong anak untuk mematuhi peraturan yang ditentukan oleh pihak eksternal. Mereka tidak mengontrol, tidak menuntut, dan cukup hangat. Namun demikian, anak biasanya akan tetap merasa tidak puas karena merasa tidak nyaman tanpa adanya kontrol, sehingga ia memberikan banyak energi pada usaha untuk mengontrol orangtua dan mencoba membuat orangtua mengontrol mereka. Hasilnya, anak menjadi tidak mampu menghadapi rasa frustrasi, mengalami kesulitan dalam menerima tanggung jawab, tidak dewasa secara sosial-emosional, dan kurangnya kontrol diri serta rasa percaya diri.


(19)

3. Autoritatif

Orangtua menghargai individualitas anak namun juga menekankan pentingnya pemahaman terhadap nilai-nilai sosial. Pada pola ini, ada proses memberi dan menerima secara verbal, kotrol diberikan secara rasional dan berorientasi pada masalah. Orangtua mampu untuk memberikan penjelasan mengenai atuaran-aturan yang dibuatnya.


(20)

III. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah di jelaskan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Hatfield (dalam Mangunsong, dkk, 1998) mengatakan bahwa seseorang dikatakan

tunanetra jika setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya, ternyata ketajaman visualnya tidak melebihi 20/200 atau setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya ternyata pandangannya tidak melebihi 20 derajat.

2. Klasifikasi tunanetra secara garis besar dibagi menjadi empat, yaitu berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan, berdasarkan kemampuan daya penglihatan, berdasarkan pemeriksaan klinis, dan berdasarkan kelainan-kelainan pada mata

3. Perkembangan Kognitif, motorik, sosial, emosional dan kepribadian anak penyandang tunanetra bisa berkembang secara optimal jika diberikan stimulus yang tepat dan diberikan sejak dini. Contohnya : selalu menceritakan kejadian yang sedang terjadi di sekitar anak, selalu mengajak anak di ketempat yang berbeda-beda sehingga wawasan anak bertambah dan lain sebagainya.

4. Penerimaan orangtua secara realistis terhadap ketunanetraan anak dan diwujudkan dengan pemberian kasih sayang yang wajar, pemberian perlakukan yang sama dengan anak lainnya serta terbuka terhadap permasalahan yang dihadapi anak merupakan sikap terbaik yang harus dilakukan orangtua yang memiliki anak penyandang tunanetra.

5. Pola asuh yang diberikan orangtua kepada anak yang mengalami Tunanetra bisa mempengaruhi kemadirian anak dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua yang tidak membedakan perlakukan anak penyandang tunanetra dengan anak lainnya bisa membuat anak menjadi lebih mandiri.


(21)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1977). Pendidikan Anak-Anak Tunanetra. Jakarta. Direktorat Pendidikan Luar Biasa. (2006). Informasi Pelayanan Pendidikan Bagi Anak

Tunanetra. At: http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=43, 11 Januari 2007.

Santrock, John W. (2002). A Topical Approach To Life-Span Development. Dallas: McGraw-Hill.

Somantri, T.S. (2006). Psikologi anak luar biasa. Bandung : Refika Aditama.

Mangunsong, F, dkk. (1998). Psikologi dan pendiidkan anak luar biasa. LPSP3 UI: Depok Papalia, D E, Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2001). Human Development (8 th ed). New York


(1)

dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial anak tunanetra sangat bergantung pada penerimaan dan perlakuan lingkungan terhadap dirinya, terutama lingkungan keluarga.

e. Perkembangan Kepribadian Anak Tunanetra

Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa ketunanetraan dapat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sifat dan kepribadian anak tunanetra dengan anak yang memiliki penglihatan normal. Anak tuna netra memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan kepribadian seperti introversi, neurotik, frustrasi dan kekakuan mental. Di sisi lain terdapat pula penelitian yang membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam penyesuaian diri antara anak yang tunanetra dan anak dengan penglihatan normal. Dalam tes kepribadian, ditemukan bahwa hingga saat ini belum ada tes kepribadian yang khusus diperuntukkan bagi anak tunanetra.

Mengenai peran konsep diri dalam penyesuaian terhadap lingkungannya, Davis (dalam Kirtley, 1975) mengatakan bahwa dalam perkembangan awal, diferensiasi konsep diri merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dicapai. Untuk memasuki lingkungan baru, seorang anak tunanetra membutuhkan dukungan dari orang lain untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai lingkungan tersebut.

II.A.5. Reaksi Orangtua Terhadap Ketunanetraan anak

Somantri (2006) menyatakan bahwa reaksi orang tua terhadap ketunanetraan anaknya dapat dibagi menjadi lima kelompok yaitu:


(2)

Sikap ini ditunjukkan dengan pemberian kasih sayang yang wajar serta pemberian perlakuan yang sama dengan anak lainnya. Mereka juga terbuka terhadap permasalahan yang dihadapi anak dan keluarganya.

2. Penyangkalan terhadap ketunanetraan anak

Ketunanetraan anak biasanya ditanggapi dengan sikap yang terbuka, tetapi disertai dengan alasan yang tidak realistik terhadap kecacatannya. Terutama terhadap kebutuhan dan permasalahannya. Dalam pendidikan, orang tua seringkali tidak percaya bahwa anaknya perlu pelayanan pendidikan secara khusus dan menyangkal bahwa akhirnya prestasinya rendah.

3. Perlindungan yang berlebihan

Biasanya dilakukan orang tua karena kompensasi karena ketunanetraan anak dirasakan sebagai perasaan bersalah atau berdosa. Sikap ini cenderung tidak menguntungkan anak karena akan menghambat perkembangan dan kematangan anak terutama dalam kemandirian.

4. Penolakan secara tertutup

Biasanya ditunjukkan dengan sikap menyembunyikan anak dari masyarakat. Orangtua tidak ingin diketahui memiliki anak tunanetra, tidak peduli, tidak menyayangi, dan cenderung mengasingkan anaknya dari lingkungan keluarga.

5. Penolakan secara terbuka

Ditunjukkan dengan sikap bahwa secara terus terang ia menyadari ketunanetraan anaknya, tetapi sebenarnya secara rasio ataupun emosional tidak pernah dapat menerima kehadiran anaknya tersebut. Orang tua yang demikian biasanya bersikap bertahan dan tidak pernah merasa bersalah dan mau menerima kenyataan. Ia cenderung ingin mencari tahu sebab-sebab ketunanetraan anaknya kepada orang lain atau para ahli. Tetapi tidak pernah


(3)

menemukan jawabannya. Pada akhirnya orangtua akan bersikap masa bodoh dan tidak peduli dengan kebutuhan anaknya.

II.B. POLA ASUH

Menurut Baumrind (dalam Papalia, Olds dan Feldman, 2001), terdapat tiga jenis pola asuh yang sering diterapkan oleh orangtua, yaitu :

1. Autoritarian

Orangtua menuntut anak untuk berperilaku sopan, sesuai dengan aturan-aturan yang ketat dan harapan yang ditetapkan oleh mereka sendiri. Anak diharapkan untuk patuh terhadap standar yang ditetapkan secara ketat. Anak dari orangtua seperti ini umumnya terlihat menarik diri, tidak memiliki kepercayaan diri dan tidak yakin pada dirinya sendiri.

2. Permissif

Orangtua yang permisif biasanya menghargai ekspresi diri dan pengaturan terhadap diri sendiri. Mereka tidak banyak memberi tuntutan, mengijinkan anak untuk sebanyak mungkin memonitor aktivitas mereka sendiri. Mereka memandang dirinya sebagai sumber (resources), menghindari diberlakukannya kontrol, dan tidak mendorong anak untuk mematuhi peraturan yang ditentukan oleh pihak eksternal. Mereka tidak mengontrol, tidak menuntut, dan cukup hangat. Namun demikian, anak biasanya akan tetap merasa tidak puas karena merasa tidak nyaman tanpa adanya kontrol, sehingga ia memberikan banyak energi pada usaha untuk mengontrol orangtua dan mencoba membuat orangtua mengontrol mereka. Hasilnya, anak menjadi tidak mampu menghadapi rasa frustrasi, mengalami kesulitan dalam menerima tanggung jawab, tidak dewasa secara sosial-emosional, dan kurangnya kontrol diri serta rasa percaya diri.


(4)

3. Autoritatif

Orangtua menghargai individualitas anak namun juga menekankan pentingnya pemahaman terhadap nilai-nilai sosial. Pada pola ini, ada proses memberi dan menerima secara verbal, kotrol diberikan secara rasional dan berorientasi pada masalah. Orangtua mampu untuk memberikan penjelasan mengenai atuaran-aturan yang dibuatnya.


(5)

III. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah di jelaskan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Hatfield (dalam Mangunsong, dkk, 1998) mengatakan bahwa seseorang dikatakan

tunanetra jika setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya, ternyata ketajaman visualnya tidak melebihi 20/200 atau setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya ternyata pandangannya tidak melebihi 20 derajat.

2. Klasifikasi tunanetra secara garis besar dibagi menjadi empat, yaitu berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan, berdasarkan kemampuan daya penglihatan, berdasarkan pemeriksaan klinis, dan berdasarkan kelainan-kelainan pada mata

3. Perkembangan Kognitif, motorik, sosial, emosional dan kepribadian anak penyandang tunanetra bisa berkembang secara optimal jika diberikan stimulus yang tepat dan diberikan sejak dini. Contohnya : selalu menceritakan kejadian yang sedang terjadi di sekitar anak, selalu mengajak anak di ketempat yang berbeda-beda sehingga wawasan anak bertambah dan lain sebagainya.

4. Penerimaan orangtua secara realistis terhadap ketunanetraan anak dan diwujudkan dengan pemberian kasih sayang yang wajar, pemberian perlakukan yang sama dengan anak lainnya serta terbuka terhadap permasalahan yang dihadapi anak merupakan sikap terbaik yang harus dilakukan orangtua yang memiliki anak penyandang tunanetra.

5. Pola asuh yang diberikan orangtua kepada anak yang mengalami Tunanetra bisa mempengaruhi kemadirian anak dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua yang tidak membedakan perlakukan anak penyandang tunanetra dengan anak lainnya bisa membuat


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1977). Pendidikan Anak-Anak Tunanetra. Jakarta. Direktorat Pendidikan Luar Biasa. (2006). Informasi Pelayanan Pendidikan Bagi Anak

Tunanetra. At: http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=43, 11 Januari 2007.

Santrock, John W. (2002). A Topical Approach To Life-Span Development. Dallas: McGraw-Hill.

Somantri, T.S. (2006). Psikologi anak luar biasa. Bandung : Refika Aditama.

Mangunsong, F, dkk. (1998). Psikologi dan pendiidkan anak luar biasa. LPSP3 UI: Depok Papalia, D E, Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2001). Human Development (8 th ed). New York