Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Impor Narkotika Tanpa Hak atau Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Dumai Nomor 200/Pid.Sus/2012/PN.Dum)

(1)

DAFTAR PUSTAKA BUKU :

Adi, Kusno, 2009, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak

Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang.

Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar grafika, Jakarta.

Amrani, Hanafi dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana ;

Perkembangan dan Penerapannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Chazawi, Adami, 2005, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Direktorat Pencegahan dan Penyidikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2002,

Pengawasan Narkotika dan Psikotropika, Direktorat Pencegahan dan

Penyidikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Jakarta.

Ekaputra, Mohammad, 2013, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press, Medan.

Hamzah, Andi, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka cipta, Jakarta.

Hiariej, Eddy O.S, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta

Huda, Chairul, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta.

Mahdi, Adnan dam Mujahidin, 2014, Penelitian Praktis untuk Menyusus Skripsi,

Tesis, desertasi, Alfabeta, Bandung.

Makaro, Taufik, Dkk, 2003, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta. Meliala, Adrianus, 2001, Mengkritis Polisis, Kanisius, Yogyakarta


(2)

Prasetyo, Teguh, 2012, Hukum Pidana Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1982, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Siswanto, 2012, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35

Tahun 2009), Rineka Cipta, Jakarta.

Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Sujono, A.R dan Bony Daniel, 2011, Komentar dan Pembahasan UndangUndang

Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta.

Supramono, Gatot, 2009, Hukum Narkoba Nasional (edisi revisi), Djambatan, Jakarta.

Undang-undang :

Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ) Rancangan Undang-undang KUHP

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabean

Internet :

http://fajar.co.id/hukum/2015/06/26/data-bnn-dalam-setahun-narkoba-renggut-nyawa-183-ribu-orang.html diakses pada tanggal 28 Juni 2015 Pukul 02.00 WIB


(3)

http://regional.kompas.com/read/2015/04/29/06330021/Ini.Kronologi.Kasus.Nark oba.Kelompok.Bali.Nine. diakses pada tanggal 28 Juni 2015 pukul 15.00 Wib http://megapolitan.kompas.com/read/2013/07/27/1145459/Freddy.Budiman.Band

ar.Narkotika.sejak.2009 . diakses pada tanggal 28 Juni 2015 Pukul 22.00 Wib http://ferryjr.blogspot.com/2012/04/share-peranan-bea-dan-cukai-dalam.html

diakses pada tanggal 21 Juli 2015 Pukul 21.00 wib

http://regional.kompas.com/read/2015/04/29/06330021/Ini.Kronologi.Kasus.Nark oba.Kelompok.Bali.Nine diakses pada tanggal 28 Juni 2015 pukul 15.00 Wib. http://megapolitan.kompas.com/read/2013/07/27/1145459/Freddy.Budiman.Band

ar.Narkotika.sejak.2009 . diakses pada tanggal 28 Juni 2015 Pukul 22.00 Wib.

http://www.bcsoetta.net/v2/article/jalur-barang-kiriman-kali-ini-menjadi-modus-operandi-penyelundupan-narkotika-ke-indonesia . diakses pada tanggal 09 Juli 2015 , pukul 19.00 Wib.

http://www.merdeka.com/peristiwa/narkoba-dari-luar-negeri-masuk-indonesia-dikemas-paket-ikan-asin.html, diakses pada tanggal 25 April 2016 pukul 08.00 Wib

http://news.liputan6.com/read/2484728/sabu-13-kg-dari-tiongkok-diselundupkan-dalam-kotak-cokelatdiakses pada tanggal 24 April 2016, pukul 16.00 Wib

http://regional.liputan6.com/read/2432740/simpan-sabu-di-anus-warga-aceh-dibekuk , diakses pada tanggal 24 April 2016, pukul 16.20 Wib


(4)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA IMPOR NARKOTIKA

(STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DUMAI NOMOR 200/PID.SUS/2012/PN.DUM)

A. Pertanggungjawaban Dalam Kajian Hukum Pidana

Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” merupakan konsep

sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act

does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy.

Berdasarkan asas tersebut, yaitu ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).79

Asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan atau actus non facit reum nisi mens sist rea atau actus reus

mens rea (Latin). Asas ini merupakan dasar dari pertanggungjawaban pidana dan

tidak ditemukan dalam undang-undang.80

Perbincangan tentang konsep “liability” atau “Pertanggungjawaban” dapat

dilihat dari segi falsafah hukum. Seorang filsaf besar dalam bidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound mengartikan liability sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah

79 Hanafi Amrani, Mahrus ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana :Perkembangan dan

Penerapan, (Jakarta:Rajawali Pers, 2015), h. 20


(5)

“dirugikan”.81

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggungjawabkan perbuatan yang tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana.82

Pertanggungjawaban pidana merupakan bentuk perbuatan dari pelaku tindak pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena ada kesalahan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, dan telah ada aturan yang mengatur tindak pidana tersebut.

Di dalam Rancangan Undang-Undang KUHP Konsep Baru Bab II tentang

Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, pada bagian Kedua tentang Pertanggungjawaban Pidana ada diatur tentang pertanggungjawaban pidana dan

kesalahan. Pasal 36 menyebutkan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana, secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.

Dalam penjelasan Pasal 36 disebutkan, bahwa tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijtbaarheid)

81 Ibid., h. 16

82 Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana.(Jakarta:Ghalia


(6)

yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.

Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya dapat dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas

“kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.83 1. Kesalahan

Definisi kesalahan secara jelas diberikan oleh Remmelink sebagai pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat, yang menerapkan standart etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap manusia yang melakukan prilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Mezger yang mengartikan kesalahan sebagai keseluruhan syarat yang memberi dasar pencelaan pribadi terhadap pelaku perbuatan pidana. Kesalahan selalu melekat pada orang

83 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada


(7)

yang berbuat salah sebagaimana adagium facinus quos inquinat aequat. Berdasarkan definisi tersebut kesalahan bertalian dengan dua hal, yaitu sifat dapat dicelanya (verwijtbaarheid) perbuatan dan sifat dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid) perbuatan yang melawan hukum.84

Para ahli hukum pidana mengartikan kesalahan secara beragam, tapi secara umum pengertian yang dikemukakan mengarah pada dua macam, yaitu kesalahan psikologis dan kesalahan normatif.

Kesalahan dalam pengertian psikologis adalah hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang dilakukannya. Jika perbuatan tersebut dikehendaki, maka pelaku telah melakukan perbuatan dengan sengaja. Sebaliknya, jika perbuatan yang dilakukan tidak dikehendaki olehnya, maka perbuatan tersebut terjadi karena suatu kealpaan. Pengertian kesalahan secara psikologis, dilihat dari sikap batin subjektif pelaku. Berbeda dengan kesalahan dalam pengertian normatif yang dilihat dari luar pelaku. Tegasnya, pengertian kesalahan secara normatif merupakan penilaian dari luar dengan menggunakan ukuran-ukuran yang bersifat normatif untuk kemudian menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dicelakan kepada pelaku dan apakah perbuatan tersebut dapat dihindari ataukah tidak oleh pelaku.85

Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu : kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa. Sebagian besar pasal-pasal di dalam KUHP memuat kesalahan dalam bentuk kesengajaan dengan menggunakan berbagai rumusan, di samping beberapa tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan,

84 Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit.,hlm.123 85 Ibid, hlm. 124


(8)

misalnya saja pada Pasal 359 dan 360 KUHP yang sering diterapkan di dalam kasus kecelakaan lalu lintas.

a) Kesengajaan

KUHP sendiri tidak menjelaskan pengertian kesengajaan dan kealpaan itu. Oleh M.v.T dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesengajaan adalah

“willens en watens” yang artinya adalah “menghendaki atau menginsyafi atau

mengetahui” atau secara agak lengkap seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki perbuatannya itu dan harus menginsyafi atau mengetahui akibat yang mungkin akan terjadi karena perbuatannya.86 Mengenai pengertian menghendaki tersebut di atas, kehendak itu dapat ditujukan kepada :

1. Perbuatannya yang dilarang; 2. Akibatnya yang dilarang;

3. Keadaan yang merupakan unsur tindak pidana.

Kesengajaan yang hanya ditujukan kepada perbuatannya yang dilarang disebut kesengajaan formal, sedangkan yang ditujukan kepada akibatnya adalah kesengajaan material.

b) Kealpaan

Di samping kesengajaan, bentuk kesalahan lainnya adalah kealpaan.

Imperitia culpae annumeratur, yang berarti kealpaan adalah kesalahan. Akibat

ini timbul karena seseorang alpa, sembrono, teledor, lalai, berbuat kurang hati-hati atau kurang penduga-duga. Perbedaannya dengan kesengajaan ialah bahwa

86


(9)

ancaman pidana pada delik-delik kesengajaan lebih berat bila dibandingkan dengan delik-delik culpa. Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan, tetapi tidak berarti bahwa kealpaan adalah kesengajaan yang ringan.87

2. Kemampuan Bertanggung Jawab

Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, suatu syarat yang diperlukan adalah si pembuat harus mampu bertanggungjawab, dengan lain perkataan harus ada kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat. Mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggungjawab (teorekeningsvatbaarheid) ini KUHP tidak merumuskannya. Hanya saja Pasal 44 (1) KUHP merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggung jawab.88

Pasal 44 KUHP berbunyi :

1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana;

2. Jika ternyata bahwa perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang tiu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

87 Eddy O.S. Hiariej,Op.Cit., h. 149 88 Adami Chazawi, Op.Cit., h. 146


(10)

Pasal 44 ini menentukan bahwa pelaku perbuatan pidana baru bisa dianggap tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya, apabila dalam dirinya terjadi salah satu di antara dua hal, yaitu :89

1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, hingga akalnya menjadi kurang sempurna untuk membedakan anatara yangbaik dan yang buruk. Contohnya adalah tuna grahita/mental retardasi yang melakukan tindak pidana.

2. Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh suatu penyakit, hingga akalnya menjadi kurang berfungsi secara sempurna atau kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan buruk. Contohnya adalah orang gila yang melakukan tindak pidana.

Terkait dua indikator kemampuan bertanggungjawab yang dirumuskan secara negaatif di atas, Satochid Kartanegara menyatakan bahwa terdapat tiga metode untuk menentukan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang dilakukannya :90

1. Metode biologis.

Pada metode yang pertama ini psikiater akan menyatakan bahwa terdakwa sakit jiwa atau tidak. Jika jawabannya adalah tidak, maka terdakwa akan dipidana karena dia dinyatakan mampu bertanggungjawab atas tindak pidana yang telah dilakukan.

89 Hanafi Amrani, Mahrus Ali, Op.Cit., h. 31 90 Hanafi Amrani, Mahrus Ali, Op.Cit., h. 32


(11)

2. Metode psikologis.

Pada metode yang kedua ini hubungan anatar keadaan jiwa yang abnormal dengan perbuatannya menjadi penting. Akibat jiwa terhadap perbuatan seseorang menjadi penentu apakah orang tersebut dikatakan mampu bertanggungjawab dan pidana yang dijatuhkan secara teoretik dibenarkan. 3. Metode campuran anatara biologis-psikologis.

Pada metode yang ketiga ini, di samping memperhatikan keadaan jiwa seseorang, juga keadaan jiwa tersebut dipernilai dengan perbuatannya untuk dinyatakan mampu tidaknya orang tersebut bertanggungjawab.

Dalam memberikan definisi terkait pertanggungjawaban, sebenarnya Van Hamel telah memberikan ukuran mengenai kemampuan bertanggungjawab yang meliputi tiga hal :91

1. mampu memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuatannya; 2. mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan itu bertentangan dengan

ketertiban masyarakat;

3. mampu untuk menentukan kehendak berbuat.

Ketiga kemampuan tersebut bersifat kumulatif. Artinya, salah satu saja kemampuan bertanggung jawab tidak terpenuhi, maka seseorang dianggap tidak dapat bertanggungjawabkan. Sebagai contoh, seorang kasir di bank ditodong dengan senjata api oleh perampok untuk menyerahkan uang yang ada di brankas bank tersebut. Kasir tersebut memahami akibat perbuatannya dan menginsyafi perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum, namun kasir tersebut tidak


(12)

mampu menentukan kehendak berbuat karena di bawah todongan senjata api, maka kasir tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.92

3. Tidak adanya alasan pemaaf

Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Titel ke-3 dan Buku Pertama KUHP hanya menyebutkan alasan yang menghapuskan pidana. Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana ini dibeda-bedakan menjadi :93

(1) Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar;

(2) Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan;

(3) Alasan penghapusan penuntutan, di sini soalnya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan di sini ialah kepentingan umum.

92 Ibid, hlm.128


(13)

Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsgrond ini menyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya atau criminal responsibility. Alasan ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal, yaitu:94

a. Tidak dipertanggungjawabkan (ontoerekeningsvaatbaar) b. Daya paksa (overmacht)

c. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces)

Ad.a. Tidak dipertanggungjawabkan (ontoerekeningsvaatbaar) atau tidak mampu bertanggung jawab

Tidak mampu bertanggungjawab adalah alasan penghapus pidana yaitu alasan pemaaf yang berasal dari diri pelaku. Pasal 44 (1) KUHP merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana,artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggung jawab.95 Pasal 44 KUHP berbunyi :

(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana;

(2) Jika ternyata bahwa perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang tiu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

94 Teguh Prasetyo,Op.Cit.,hlm.126 95 Adami Chazawi, Op.Cit., h. 146


(14)

Pasal 44 ini menentukan bahwa pelaku perbuatan pidana baru bisa dianggap tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya, apabila dalam dirinya terjadi salah satu di antara dua hal, yaitu :96

1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, hingga akalnya menjadi kurang sempurna untuk membedakan anatara yangbaik dan yang buruk. Contohnya adalah tuna grahita/mental retardasi yang melakukan tindak pidana.

2. Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh suatu penyakit, hingga akalnya menjadi kurang berfungsi secara sempurna atau kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan buruk. Contohnya adalah orang gila yang melakukan tindak pidana.

Ad.b. Daya paksa (overmacht)

Pasal 48 KUHP menyatakan, “Barangsiapa melakukan perbuatan karena

pengaruh daya paksa, tidak dipidana”. Daya paksa adalah terjemahan dari

overmacht yang selalu menjadi perdebatan berabad-abad ketika membicarakan

alasan penghapus pidana. Bahkan sampai detik ini, tidak ada kesatuan pendapat di antara para ahli hukum pidana untuk menggolongkan daya paksa, apakah sebagai alasan pembenar ataukah alasan pemaaf, sementara apa yang dimaksudkan dengan daya paksa itu sendiri, KUHP tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.97

Secara teoritis terdapat dua bentuk daya paksa, yaitu vis absoluuta dan vis

compulsiva. Vis absoluuta adalah paksaan yang pada umumnya dilakukan dengan

kekuasaan tenaga manusia (fisik) oleh orang lain, dan paksaan ini sama sekali

96 Hanafi Amrani, Mahrus Ali, Op.Cit., h. 31 97 Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., h. 217


(15)

tidak dapat ditahan. Sedangkan vis compulsiva adalah paksaan yang kemungkinan dapat dielakkan walaupun secara perhitungan yang layak, sulit diharapkan bahwa yang mengalami keadaan memaksa tersebut akan mengadakan perlawanan. Dalam vis compulsiva yang terjadi adalah psikis, dalam arti sekalipun tidak memaksa secara mutlak, tapi hal demikian tetap disebut dengan memaksa.98

Ad.c. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces)

Noodweer exses atau pembelaan terpaksa yang melampau batas diatur di dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa “pembelaan terpaksa

yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang

hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”. Pasal ini

menjelaskan bahwa dalam noodweer exses perbuatan seseorang hakikatnya merupakan perbuatan melawan hukum, karena memang serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat adalah melawan hukum. Serangan itu juga disebabkan secara langsung oleh kegoncangan jiwa yang hebat, sehingga fungsi batin orang tersebut tidak berjalan normal. Hal demikian inilah yang menyebabkan dalam diri orang itu terdapat alasan pemaaf.99

Apabila dalam perbuatan atau pada saat melakukan tindak pidana seseorang ternyata didapati suatu alasan pemaaf maka seseorang tersebut tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana nya dengan kata lain tidak diteruskannya celaan terhadap dirinya.

98 Hanafi Amrani, Mahrus Ali, Op.Cit., h. 46

99


(16)

B. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Dumai No:200/Pid.Sus/2012/PN.Dum 1. Kronologis Kasus

Adapun kronologis ditangkapnya terdakwa yaitu pada hari Sabtu tanggal 04 Februari 2012 sekira jam 15.30 Wib, terdakwa yang bernama Sri Ramayanti Suwanda Als Sri Binti Suwanda sampai di Pelabuhan Ferry Penumpang Jalan Datuk Laksamana Kecamatan Dumai Timur Kota Dumai Negara Indonesia dari Pelabuhan Portklang Negara Malaysia dengan menggunakan Kapal Ferry Indomal Express 3.

Ketika travel bag warna hitam merk Mount Blanc milik terdakwa melewati pemeriksaan dengan menggunakan sinar x maka pada saat itu saksi Suardi Bin Buyung dan saksi Yurmaini Binti Yusuf (keduanya Petugas Bea dan Cukai Dumai) melihat ada perbedaan tanda pada layar monitor sinar x yang digunakan untuk memeriksa tas milik terdakwa tersebut sehingga saksi Suardi Bin Buyung memerintahkan saksi Yurmaini Binti Yusuf untuk menahan tas milik terdakwa tersebut untuk dilakukan pemeriksaan.

Kemudian saksi Yurmaini Binti Yusuf menanyakan kepada terdakwa apakah benar tas warna hitam merk Mount Blanc tersebut adalah milik terdakwa kemudian terdakwa mengakui bahwa tas warna hitam merk mount blanc tersebut adalah milik terdakwa maka saksi Suardi Bin Buyung dan saksi Yurmaini Binti Yusuf meminta izin kepada terdakwa untuk membuka tas milik terdakwa tersebut. Kemudian terdakwa bersedia membuka dan mengeluarkan seluruh isi dari travel bag tersebut dan saat itu saksi Suardi Bin Buyung dan saksi Yurmaini Binti Yusuf belum menemukan yang diduga narkotika, sehingga saksi Suardi Bin


(17)

Buyung dan saksi Yurmaini Binti Yusuf kembali memeriksakan travel bag milik terdakwa tersebut dengan menggunakan sinar x dan saat itu Suardi Bin Buyung dan saksi Yurmaini Binti Yusuf melihat terdapat hal yang mencurigakan dengan adanya tanda seperti ada bahan kimia, kemudian Suardi Bin Buyung dan saksi Yurmaini Binti Yusuf meminta izin kepada terdakwa untuk merobek kedua sisi dari tas tersebut.

Setelah saksi Suardi Bin Buyung dan saksi Yurmaini Binti Yusuf merobek kedua sisi dari tas travel bag milik terdakwa tersebut maka diketahui oleh Suardi Bin Buyung dan saksi Yurmaini Binti Yusuf bahwa pada sisi kanan dan sisi kiri antara dinding dalam dan dinding luar tas travel bag terdapat 2 (dua) bungkusan berbentuk pipih yang dikemas dengan aluminium foil yang kemudian aluminium foil tersebut dilakban dengan menggunakan isolasi warna kuning dan masing-masing dari bungkusan tersebut terdapat 2 (dua) bagian kantong yang berisi diduga narkotika bukan tanaman jenis heroin.

Setelah menemukan terdakwa dan barang bukti yang diduga Narkotika Golongan I bukan tanaman jenis heroin tersebut maka saksi Suardi Bin Buyung dan saksi Yurmaini Binti Yusuf langsung mengamankan terdakwa ke kantor Bea dan Cukai Kota Dumai untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.


(18)

2. Dakwaan

Dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum di depan persidangan dengan terdakwa Sri Ramayanti Suwanda Als Sri Binti Suwanda dengan jenis dakwaan subsidaritas sebagaimana dapat dilihat berikut ini :

1. Primair : Bahwa terdakwa SRI RAMAYANTI SUWANDA Als SRI Binti SUWANDA, pada hari Sabtu tanggal 04 Februari 2012 sekira jam 15.30 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Februari tahun 2012, bertempat di Pelabuhan Ferry Penumpang Jalan Datuk Laksamana Kecamatan Dumai Timur Kota Dumai atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Dumai yang berwenang memeriksa dan mengadili, tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram. Perbuatan terdakwa tersebut sebagaiman diatur dan diancam pidana dalam Pasal 113 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2. Subsider : Bahwa ia terdakwa SRI RAMAYANTI SUWANDA Als SRI Binti SUWANDA, pada hari Sabtu tanggal 04 Februari 2012 sekira jam 15.30 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Februari tahun 2012, bertempat di Pelabuhan Ferry Penumpang Jalan Datuk Laksamana Kecamatan Dumai Timur Kota Dumai atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Dumai yang berwenang memeriksa dan mengadili, tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan


(19)

tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram. Perbuatan terdakwa tersebut sebagaiman diatur dan diancam pidana dalam Pasal 112 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

3. Tuntutan

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dibacakan di persidangan pada hari SELASA, tanggal 28 AGUSTUS 2012 di Pengadilan Negeri Dumai yaitu :

1. Menyatakan terdakwa SRI RAMAYANTI SUWANDA Als SRI Binti SUWANDA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “ Tanpa hak atau melawan hukum mengimpor narkotika golongan I dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram” sebagaimana

diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 113 ayat (2) UU RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa SRI RAMAYANTI SUWANDA Als

SRI Binti SUWANDA dengan Pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan penjara dengan perintah terdakwa tetap ditahan.

3. Menyatakan barang bukti berupa :

a. 2 (dua) kemasan berisikan 4 (empat) kantong diduga berisi serbuk heroin. b. Travel Bag warna hitam merk Mount Blanc Dirampas untuk dimusnahkan c. 1 (satu) buah handphone merk Nokia type 1280

d. 1 (satu) buah handphone merk Esia type C 2160 Dirampas untuk negara e. Paspor An. Sri Ramayanti Suwanda


(20)

f. Tiket penumpang An. Sri Ramayanti Suwanda g. KTP. An. Sri Ramayanti Suwanda

h. Modem Googlechroom

i. Uang Tunai sebesar Rp. 4.137.000,- (empat juta seratus tiga puluh juta ribu rupiah)

j. ATM Mandiri, ATM BNI dan ATM BCA An. Sri Ramayanti Suwanda k. Dompet warna merah hitam

l. NPWP An. Sri Ramayanti Suwanda.

Dikembalikan kepada terdakwa Sri Ramayanti Suwanda Als Sri Binti Suwanda.

4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah).

4. Putusan

Majelis dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Dumai pada hari Senin, tanggal 01 Oktober 2012 yang ditunjuk berdasarkan Surat penetapan Ketua Pengadilan Negeri Dumai No:200/Pid.SUS/2012/PN.DUM tertanggal 20 Juni 2012, memutuskas amar putusan yang diucapkan pada hari Selasa tanggal 02 Oktober 2012 sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa Sri Ramayanti Suwanda Als Sri Binti suwanda telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“Secara Tanpa Hak Atau Melawan Hukum Mengimpor Narkotika Golongan I Dalam Bentuk Bukan Tanaman Beratnya Melebihi 5 (Lima) Gram”;


(21)

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan;

3. Menetapkan lamanya masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Memerintahkan terdakwa tetap ditahan; 5. Menyatakan barang bukti berupa:

a) 2 (dua) kemasan berisikan 4 (empat) kantong diduga berisi serbuk heroin;

b) Travel Bag warna hitam merk Mount Blanc; Dirampas untuk dimusnahkan;

c) 1 (satu) buah handphone merk Nokia type 1280; d) 1 (satu) buah handphone merk Esia type C 2160

Dirampas untuk negara;

e) Paspor An. Sri Ramayanti Suwanda;

f) Tiket penumpang An. Sri Ramayanti Suwanda; g) KTP. An. Sri Ramayanti Suwanda;

h) Modem Googlechroom;

i) Uang Tunai sebesar Rp. 4.137.000,- (empat juta seratus tiga puluh juta ribu rupiah);

j) ATM Mandiri, ATM BNI dan ATM BCA An. Sri Ramayanti Suwanda; k) Dompet warna merah hitam;


(22)

l) NPWP An. Sri Ramayanti Suwanda;

Dikembalikan kepada terdakwa Sri Ramayanti Suwanda Als Sri Binti Suwanda;

6. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.5000,- (lima ribu rupiah)

5. Analisis Putusan

1. Tentang Pertimbangan Hakim

Majelis Hakim Pengadilan Negeri dumai yang memeriksa dan mengadili perkaran pidana Nomor 200/Pid.sus/2012/PN.Dum ini dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa unsur-unsur dalam Pasal 113 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagaimana dalam dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Penulis sependapat dan merasa pertimbangan hakim telah tepat, dimana unsur-unsur pada Pasal 113 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu:

1. Setiap orang;

2. Tanpa hak atau melawan hukum;

3. Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram.


(23)

Ad.1. Unsur setiap orang

Setiap orang dalam unsur ini, adalah pelaku dari tindak pidana atau subyek hukum yang mampu melakukan perbuatan hukum dan apabila perbuatannya tersebut memenuhi semua unsur–unsur dari tindak pidana yang didakwakan, maka terhadap orang tersebut akan dinyatakan sebagai pelaku. Unsur setiap orang dapat dipenuhi dengan terdakwa Sri Ramayanti Als Sri Binti Suwanda dipersidangan telah menerangkan identitas dirinya, nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan sesuai dengan yang disebutkan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaan maupun dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh Penyidik sebagaimana terlampir dalam berkas perkara, sehingga Majelis Hakim berpendapat dalam perkara ini tidak terdapat error in persona atau kekeliruan dalam mengadili orang. Ad.2. Unsur tanpa hak atau melawan hukum

Menimbang, bahwa oleh karena unsur tanpa hak atau melawan hukum ini terletak di awal unsur perbuatan dalam rumusan delik dimaksud, maka unsur tanpa hak atau melawan hukum ini meliputi dan mempengaruhi unsur perbuatan dibelakangnya dari rumusan delik, sehingga Majelis Hakim akan mempertimbangkan pembuktian unsur perbuatannya terlebih dahulu, setelah itu barulah unsur tanpa hak atau melawan hukum akan dipertimbangkan apakah perbuatan yang terbukti itu dilakukan tanpa hak atau melawan hukum ataukah tidak.


(24)

Ad.3. Unsur memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram.

Unsur ini adalah unsur yang bersifat alternatif, maka jika terhadap salah satu sub unsur saja yang terbukti, maka unsur ini menjadi terpenuhi pula. Perbuatan yang terlarang dalam unsur ini adalah memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram.

Sebelum Majelis Hakim mempertimbangkan tentang kwalifikasi dari perbuatan terdakwa, terlebih dahulu Majelis akan menguraikan pengertian atau yang dimaksud dengan arti kata Narkotika yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Sebagaimana dalam ketentuan Undang-Undang R I Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 1 angka 1. Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui


(25)

ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika.

Bahwa yang dimaksud dengan impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean. Sedangkan yang dimaksud dengan ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan Prekursor Narkotika dari Daerah Pabean. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yuridis yang terungkap dipersidangan terdakwa terdakwa telah terbukti mengimpor narkotika golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang berat seluruhnya adalah 1.290,8 gram (seribu dua ratus sembilan puluh koma delapan) gram dan sudah tentu tanpa hak atau melawan hukum, karena berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-Undang R I Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yaitu Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan impor Narkotika dan importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor dari Menteri untuk setiap kali melakukan impor Narkotika serta diberikan berdasarkan hasil audit Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap rencana kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau penggunaan Narkotika

Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut di atas,

Majelis berpendapat unsur “tanpa hak atau melawan hukum” telah terpenuhi pula.

2. Tentang Amar Putusan

Amar Putusan Nomor 200/Pid.sus/2012/PN.Dum yang menyatakan bahwa: Menyatakan terdakwa Sri Ramayanti Suwanda Als Sri Binti suwanda


(26)

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“Secara Tanpa Hak Atau Melawan Hukum Mengimpor Narkotika Golongan I Dalam Bentuk Bukan Tanaman Beratnya Melebihi 5 (Lima) Gram, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan. Penulis merasa amar putusan yang telah dijatuhkan Majelis Hakim adalah sudah tepat karena perbuatan terdakwa sangat bertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya melawan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Sekedar perbandingan saja, penulis mengambil satu putusan yang serupa dengan putusan yang dianalisis dalam penulisan skripsi ini, yaitu perkara Nomor 350/Pid.B/2010/PN.Dum yang diperiksa dan diadili di Pengadilan Negeri Dumai. Putusan Nomor 350/Pid.B/2010/PN.Dum ini juga melanggar Pasal 113 ayat (2) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana terdakwanya bernama Edi Tiya bin Winarno yang membawa narkotika jenis sabu seberat 3.162,7 gram dari Malaysia melalui pelabuhan Dumai. Akibat perbuatannya, kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Dumai menyatakan terdakwa Edi Tiya bin Winarno telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan

tindak pidana “Tanpa hak atau melawan hukum mengimpor narkotika golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Edi Tiya bin Winarno dengan hukuman penjara selama 16 (enam belas) tahun, menghukum pula terdakwa untuk membayar denda


(27)

sebesar Rp 1.000.000.000.- (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak bisa dibayar maka dapat digantikan dengan hukuman kurungan selama 4(empat) bulan.

Dari perbandingan kedua perkara tersebut di atas, dapat di lihat bahwa jumlah/berat narkotika yang dibawa/diimpor oleh masing-masing terdakwa menjadi penentu dalam pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana penjara dan pidana dendanya. Dimana pada perkara Nomor 200/Pid.Sus/PN.Dum terdakwa mengimpor narkotika jenis sabu seberat 1.290,8 gram dan dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu miliar) dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan, sedangkan pada perkara Nomor 350/Pid.B/PN.Dum terdakwa mengimpor narkotika jenis sabu seberat 3.162,7 gram dan dijatuhi pidana penjara selama 16 (enam belas) tahun dan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000.- (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak bisa dibayar maka dapat digantikan dengan hukuman kurungan selama 4(empat) bulan. Perbedaan pidana yang dijatuhkan antara terdakwa pada kasus yang dianalisis dalam tulisan ini dengan perkara pembanding tersebut di atas menurut penulis memang wajar dan pantas, mengingat semakin banyak jumlah narkotika yang dimasukkan ke dalam negara maka semakin banyak juga generasi penerus bangsa yang rusak dan hancur masa depannya.


(28)

3. Analisis Putusan dikaitkan dengan pertanggungjawaban pidana

Berdasarkan fakta-fakta hukum didalam persidangan bahwa terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, yaitu:

a. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan. Menurut memori penjelasan (Memorie van Toelischting) sengaja “Opzet” berarti “de (bewuste) richting van den wil op een bapaald misdrijf,” (kehendak

yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu) menurut

penjelasan tersebut, “sengaja” (Opzet) sama dengan willens en Wetens

(dikehendaki dan diketahui)100.

Sedangkan kelalaian (culpa) menurut (Memorie van Toelischting) terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun juga culpa itu dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel-suringa mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu (quasidecelict) sehingga diadakan pengurangan pidana.101

Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan mengenai kasus tersebut diatas bahwa terdakwa telah mempunyai bentuk kesalahan yaitu berupa kesengajaan. b. Kemampuan bertanggungjawab

Didalam KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan

bertanggungjawab, yang berhubungan dengan itu ialah pasal 44 “Tiada dapat

dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit

berubah akal.”

100 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 105. 101 Ibid.,hlm 125.


(29)

Untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:

a) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, sesuai hukum dan yang melawan hukum.

b) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.102

Berdasarkan fakta dalam persidangan diatas maka terdakwa ketika dalam melakukan tindak pidana sebagaimana di didakwakan oleh jaksa penuntut umum, terdakwa melakukannya dalam keadaan sehat dan sempurna akal, sehingga atas perbuatannya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 tetang Narkotika.

c. Tidak adanya alasan pemaaf

Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsgrond ini menyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya atau criminal responsibility. Alasan ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal, yaitu:103

1) Tidak dipertanggungjawabkan (ontoerekeninngsvaatbaar) 2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) 3) Daya paksa (overmacht)

Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan maka terdakwa tidak memiliki alasan pemaaf untuk menghapuskan kesalahan yang telah terdakwa lakukan.Oleh sebab itu terhadap terdakwa dapat dimintai pertanggungjawaban pidana

102

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.2002. hlm165.


(30)

sebagaimana perbuatan terdakwa diatur dalam Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Berdasarkan uraian kasus diatas, penulis berpendapat bahwa putusan Majelis Hakim ini telah mencerminkan rasa keadilan. Penulis sependapat dengan pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dalam putusan tersebut, terdakwa sudah pantas mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp 1.000.000.000,- ( satu miliar rupiah ) dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan. Dengan mendapat pidana tersebut semoga terdakwa yang bersangkutan dapat menyadari kesalahannya, dan sadar bahwa perbuatannya tersebut dapat merusak puluhan, ratusan, bahkan ribuan generasi penerus bangsa, sehingga ia tidak mengulangi perbuatannya tersebut.


(31)

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan Bab-Bab sebelumnya, maka dalam Bab ini akan diuraikan beberapa kesimpulan dari penelitian dan pembahasan materi yang penulis lakukan, maka penulis dapat berkesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan tentang kegiatan impor narkotika diatur dalam Bab V Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu pada Pasal 15, 16, 17, 21, 23, 24, 25, 27. Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika secara jelas dan tegas dinyatakan bahwa impor narkotika hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pedagang besar farmasi milik negara, dan apabila dalam keadaan tertentu Menteri dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara untuk melakukan impor narkotika. Itu artinya impor narkotika tidak boleh dilakukan oleh orang perseorangan, dan apabila impor narkotika dilakukan oleh orang perseorangan maka dapat dipastikan perbuatannya tersebut telah tanpa hak atau melawan hukum, dan ketentuan pidananya diatur pada Pasal 113 untuk Narkotika Golongan I, Pasal 118 untuk Golongan II dan Pasal 123 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk Golongan III.

2. Konsep pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana impor narkotika sama halnya dengan pertanggungjawaban pidana pada umumnya, yaitu harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, yang harus diperhatikan adalah terpenuhinya unsur-unsur di dalam


(32)

pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana impor narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Dumai Nomor 200/Pid.Sus/2012/PN.Dum adalah bahwa pelaku telah dijatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan dan pidana denda Rp 10.000.000.000,- ( sepuluh miliar rupiah ) oleh Pengadilan Negeri Dumai adalah tepat berdasarkan sistem pertanggungjawaban pidana, sebab pelaku telah melakukan perbuatan pidana yang bersifat melawan hukum dan juga telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yakni adanya kemampuan bertanggungjawab, adanya kesalahan berupa kesengajaan dan tidak adanya alasan pemaaf bagi terdakwa.

B. Saran

Adapun saran yang penulis berikan berdasarkan pembahasan pada skripsi ini antara lain :

1. Sosialisasi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika lebih giat lagi, walau sebenarnya narkotika dan peraturan perundang-undangan tentang narkotika bukan hal yang baru lagi bagi bangsa Indonesia, namun karena mengingat bahwa negara kita saat ini sedang dalam situasi darurat

narkoba sehingga sangat diperlukan “kesigapan” dari para penegak hukum Polri, BNN, Dirjen Bea dan Cukai, semua pihak dan juga masyarakat agar sama-sama memerangi narkoba. Perlu adanya bentuk suatu wadah untuk masyarakat diamana masyarakat di ajak dan di beri penegertian akan bahaya narkoba, dan menjadi masyarakat yang “anti narkoba” , karena


(33)

peran masyarakat sangat besar dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran narkoba.

2. Perlu adanya sikap yang tegas dari para penegak hukum dalam memerangi

“darurat narkoba” di negara kita dengan memberi hukuman yang

“menjerakan” baik bagi pelaku maupun bagi masyarakat yang

mengetahuinya sehingga tidak akan berani lagi untuk melakukan tindak pidana narkotika khusus nya impor narkotika. Para penegak lebih giat lagi

untuk terus mengejar dan membasmi para “gembong” dan “bos besar”

narkoba sampai ke akar-akarnya. Kiranya Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana bagi para pelaku tindak pidana narkotika tetap selalu mempertimbangkan segala fakta hukum yang ada dan berdasarkan asas keadilan dan kemanfaatan.


(34)

BAB II

IMPOR NARKOTIKA TANPA HAK ATAU MELAWAN HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKA

A. Pengaturan Impor Narkotika Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Kegiatan impor narkotika seyogianya adalah merupakan hal yang positif, karena narkotika sendiri masih dibutuhkan oleh setiap negara. Setiap negara sudah mempunyai peraturan dan undang-undang sendiri untuk mengatur kegiatan impor yang legal dan beserta pengawasan yang ketat, termasuk juga Indonesia. Namun dewasa ini kegiatan impor narkotika banyak dilakukan dengan secara tanpa hak atau melawan hukum oleh orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan besar tanpa memikirkan efek dari perbuatannya tersebut. Semakin berkembangnya zaman dan teknologi semakin banyak pula macamnya bentuk dan modus-modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana impor narkotika.

1. Prosedur Impor Narkotika yang Dibenarkan Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Untuk kegiatan impor narkotika secara sah dan legal, diatur secara tegas mulai dari Pasal 15, 16, 17, 21, 22, 24, 25, 27, 28 dan 34 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.40 Kegiatan impor yang dilakukan dengan cara dan prosedur serta oleh pihak yang diluar dari ketentuan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika maka dapat dikatakan merupakan impor narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum dan merupakan bagian dari tindak pidana narkotika.

40

Bab V Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berisi tentang ketentuan Impor dan Ekspor Narkotika.


(35)

a. Importir Narkotika Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Tidak banyak perusahaan yang diberi wewenang oleh Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk menjadi importir karena Pasal 15 hanya menetapkan kepada pedagang besar farmasi milik negara.

Dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa :

(1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan impor Narkotika;

(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan impor Narkotika.

Izin impor narkotika yang diberikan Menteri hanya diberikan kepada 1 (satu) perusahaan besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuaan peraturan perundang-undangan (Pasal 15 ayat(1)). Jika ternyata ada dalam keadaan tertentu, maka Menteri dapat memberikan izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara yang memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 15 ayat (2)).41“Dalam keadaan tertentu” ini yang dimaksudkan adalah apabila perusahaan besar farmasi milik negara dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsinya dalam melakukan impor narkotika karena bencana alam, kebakaran dan lain-lain.42

41 AR. Sujono, Boni Daniel,Op.Cit., hlm. 1.

42 Penjelasan pada Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang


(36)

Dari Pasal 15 ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa yang dapat melakukan kegiatan impor narkotika secara legal dan yang dibenarkan oleh undang-undang hanyalah 1 (satu) perusahan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai importir, bahkan ketika dalam keadaan tertentu pun Menteri hanya memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara. Artinya importir narkotika itu tidak dapat dilakukan oleh perusahaan milik negara yang yang tidak memiliki izin khusus impor dan dapat disimpulkan hak untuk “mengimpor” hanya diberikan kepada lembaga pemerintahan sebagaimana di atas, dan tidak mungkin orang-perorangan secara pribadi mendapatkan hak ini, dan apabila orang-perorangan melakukan kegiatan mengimpor narkotika pastilah dilakukan tanpa hak. Setiap tindakan terhadap mengimpor bagi yang tidak berhak jelas merupakan bagian dari tindakan melawan hukum.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 100/MenKes/SK/X/1996, pedagang besar farmasi ( PBF ) Kimia Farma ditunjuk/ditetapkan sebagai importir tunggal di Indonesia untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan dengan penanggung jawab yang ditetapkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Sentralisasi ini dimaksudkan untuk memudahkan pengendalian dan pengawasan narkotika oleh pemerintah.43

Dari ulasan singkat di atas maka dapat lebih dipertegas bahwa impor narkotika yang dibenarkan dan legal menurut undang-undang adalah impor narkotika yang dilakukan oleh Perusahaan Besar Farmasi yang telah diberi izin


(37)

impor oleh Menteri, sedangkan impor narkotika yang secara tanpa hak atau melawan hukum adalah kegiatan impor narkotika yang dilakukan oleh:

a. Perusahaan besar farmasi yang melakukan impor tanpa izin dari Menteri atau tidak memiliki Surat Persetujuan Impor.

b. Perusahaan-perusahaan yang bukan merupakan perusahaan besar farmasi, karena di Indonesia Menteri hanya menunjuk 1(satu) perusahaan besar farmasi sebagai importir, artinya lain dari itu adalah bukan importir yang legal.

c. Orang-perorangan, dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 sangat jelas dikatakan bahwa Menteri menberikan izin kepada perusahaan besar farmasi, dan tidak memberikan izin kepada orang-perorangan untuk melakukan impo narkotika, jadi jika ada orang-perorangan yang melakukan kegiatan impor narkotika maka dapat dipastikan bahwa ia telah melakukan impor narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

b. Izin Impor Narkotika

Pengeluaran izin untuk impor narkotika oleh Menteri Kesehatan didasarkan prinsip kehati-hatian dan dilakukan sangat selektif. Karena izin hanya diberikan kepada satu perusahaan saja, tujuannya tidak lain untuk memudahkan pengawasan dan pengendalian arus narkotika yang masuk dan keluar Indonesia, sebab hanya ada satu pintu bagi narkotika.

Pasal 21 :

Impor dan ekspor narotika dan Prekursor Narkotika hanya dilakukan melalui kawasan pabaean tertentu yang dibuka untuk perdangangan luar negeri .


(38)

Yang dimaksud dengan “kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdangan luar negeri” adalah kawasan di pelabuhan laut dan pelabuhan udara internasional tertentu yang ditetapkan sebagai pintu impor dan ekspor narkotika agar lalu lintas narkotika mudah diawasi. Pelaksanaan impor atau ekspor narkotika tetap tunduk pada Undang-Undang tentang kepabeaan dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya.44

Untuk perizinan impor narkotika dan prekursor narkotika, dasar hukum pemberian izinnya setidaknya sebagai berikut :45

a. Undang – undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika b. Undang – undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika c. Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

d. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kesehatan;

e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; f. Permenkes Nomor 168/Menkes/Per/II/2005 tentang Prekursor Farmasi; g. Permenkes 1575 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Depkes; h. Kepmenkes 825 Tahun 2008 tentang Pemberlakuan Sistem Elektronik

dalam Kerangka Indonesia Nasional Single window di Lingkungan Departemen Kesehatan.

44

Pengertian Kawasan Pabeaan tertuang pada bunyi Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeaan


(39)

Prosedur untuk permohonan perizinan impor/ekspor (SPI/SPE) Narkotika :46 a. Pemohon mengisi permohonan SPI/SPE di website

www.e-phram.depkes.go.id;

b. Selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja, dokumen pendukung permohonan SPI/SPE harus sudah disserahkan ke loket pelayanan;

c. Petugas melakukan verifikasi administrasi terhadap permohonan. Jika data pendukung lengkap selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja telah diterima oleh BPOM;

d. BPOM menerbitkan analisis hasil pengawasan selambat-lambatnya 4 (empat) hari kerja setelah data pendukung lengkap diterima oleh BPOM;

e. Setelah mendapat analisis hasil peengawasan dari BPOM, petugas melakukan verifikasi teknis;

f. Petugas verifikasi meneruskan permohonan ke tahap tindak lanjut (oleh Pejabat Eselon 4 dan 3);

g. Pejabat Eselon 4 dan Eselon 3 meneruskan peermohonan ke tahap rekomendasi (oleh Pejabat Eselon 2/Sesditjen);

h. Sesditjen meneruskan permohonan ke tahap penandatanganan (oleh Pejabat Eselon I/Dirjen);

i. Jumlah yang disetujui untuk impor adalah jumlah hasil dari analisis hasil pengawasan dari BPOM;

j. Dirjen menyetujui permohonan SPI/SPE;

k. Pemohon membayar PNBP setelah izin SPI/SPE selesai;

46 Ibid.,h.86


(40)

l. Waktu yang diperlukan untuk proses penerbitan izin SPI/SPE adalah paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah dokumen diterima lengkap.

Pasal 22:

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor diatur dengan Peraturan Menteri.

Mengenai Pengangkutan Narkotika Pasal 23 berbunyi :

Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang tetap berlaku bagi pengangkutan Narkotika, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan undang-undang-undang-undang ini. Pasal 24 berbunyi :

(1) Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yan sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri;

(2) Setiap pengangkutan ekspor narkotika wajib dilengkapi dengan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.

Pasal 25 berbunyi :

Penanggungjawab pengangkut impor narkotika yang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia wajib membawa dan bertanggungjawab atas kelengkapan Surat Persetujuan Impor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor;

Masuknya narkotika baik melalui laut maupun udara wajib ditempuh prosedur kepabeaan yang telah ditentukan, demi pengamanan lalu lintas narkotika di Wilayah Negara Republik Indonesia. Yang dimakssud dengan “penanggung jawab pengangkut” adalah kapten penerbang atau nahkoda.


(41)

Prosedur impor umum termasuk untuk impor narkotika yang selama ini ada adalah sebagai berikut :47

Sebelum Kedatangan Sarana Pengangkut

1. Pengangkut wajib menyerahkan Pemberitahuan Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut secara tertulis atau melalui media elektronik kepada Pejabat yang menangani Manifest di Kantor Pabean tempat tujuan pembingkaran pertama;

2. Pemberitahuan Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut sekurang-kurangnya mencatumkan :

a. Nama sarana pengangkut; b. Nomor pengangkutan; c. Nama pengangkut; d. Pelabuhan asal; e. Pelabuhan tujuan;

f. Rencana tanggal kedatangan;

g. Rencana jumlah kemasan atau peti kemas yang akan dibongkar; h. Pelabuhan tujuan berikutnya dalam Daerah Pabean;

i. Pelabuhan terakhir di luar Daerah Pabean

3. Terhadap penyerahan Pemberitahuan Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut (RKSP) dan Jadwal Kedatangan Sarana Pengangkut akan diberikan bukti penerimaan yang merupakan persetujuan pembongkaran barang impor;


(42)

4. Untuk sarana pengangkut yang mempunyai jadwal kedatangan secara teratur dalam suatu periode tertentu tidak perlu menyerahkan pemberitahuan mengenai Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut tetapi cukup menyerahkan Jadwal Kedatangan Sarana Pengangkut;

5. Setiap perubahan rencana kedatangan sarana pengangkut atau jadwal Kedatangan sarana pengangkut wajib diberitahukan oleh pengangkut kepada Pejabat yang menangani manifest;

6. Pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut tidak berlaku bagi sarana pengangkut yang datang dari luar daerah Pabean melalui darat. Saat Kedatangan Sarana Pengangkut

1. Pengangkut wajib menyerahkan Pemberitahuan Kedatangan Barang Impor berupa:

a. Manifest barang impor;

b. Daftar penumpang dan/atau awak sarana pengangkut; c. Daftar senjata api;

d. Daftar obat-obatan termasuk narkotika yang digunakan dalam pengobatan;

e. Daftar bekal

2. Pengangkut yang datang dari luar Daerah Pabean melalui darat wajib menyerahkan daftar barang impor yang diangkutnya;

3. Pemberitahuan dan daftar barang impor dibuat dalam bentuk tertulis maupun melalui media elektronik, dalam bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang ditandatangani oleh pengangkut;


(43)

4. Dalam hal sarana pengangkut tidak membawa barang impor, pengangkut menyerahkan pemberitahuan nihil.

Untuk barang impor yang akan diangkut terus/atau diangkut lanjut tujuan luar Daerah Pabean :

1. Pengangkut wajib menyerahkan pemberitahuan berupa : a. Manifest barang impor secara terpisah;

b. Daftar penumpang dan/atau awak sarana pengangkut; c. Daftar senjata api;

d. Daftar obat-obatan termasuk narkotika yang digunakan dalam pengobataan;

e. Daftar bekal.

2. Pemberitahuan dan daftar barang impor dibuat dalam bentuk tertulis maupun melalui media elektronik, dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang ditandatangani oleh pengangkut;

3. Dalam hal sarana pengangkut tidak membawa barang impor, pengangkut menyerahkan pemberitahuan nihil.

Pasal 27 :

(1) Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh nahkoda dengan disaksikan oleh pengirim; (yang dimaksud dengan “kemasan khusus atau di tempat yang aman”

dalam ketentuan ini adalah kemasan yang berbeda dengan kemasan lainnya yang ditempatkan pada tempat tersendiri yang disediakan secara khusus).

(2) Nahkoda membuat berita acara tentang muatan Narkotika yang diangkut;

(3) Nahkoda dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan wajib melaporkan


(44)

Narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada kepala kantor pabean setempat;

(4) Pembongkaran muatan Narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nahkoda dengan disaksikan oleh pejabat bea dan cukai; (5) Nahkoda yang mengetahui adanya narkotika tanpa dokumen atau

Surat Persetujuan Ekspor atau Surat Persetujuan Impor di dalam kapal wajib membuat berita acara, melakukan tindakan pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan menyerahkan narkotika tersebut kepada pihak yang berwenang. Pasal 28 :

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.

Sebagaimana telah dikemukakan di muka sebelumnya, narkotika bisa digunakan untuk kepentingan pengobatan dan tujuan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan efek negatif ketagihan dan ketergantungan bila tanpa pengawasan dan pengendalian yang saksama. Oleh karena itu, narkotika perlu diawasi secara internasional dan nasional. Bahan baku untuk narkotika masih harus diimpor dari beberapa negara antara lain Jerman, Amerika Serikat, India, Cina, dan lainnya. Oleh karena itu pemberian surat Persetujuan Impor Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan tujuan ilmu pengetahuan serta merupakan salah satu alat pengawasan dan pengendalian narkotika jalur legal.

2. Tindak Pidana Terkait Impor Narkotika

Perumusan ketentuan pidana yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika telah dirumuskan sedemikan rupa dengan harapan akan efektif serta mencapai tujuan yang dikehendaki, oleh karena itu penerapan ketentuan pidana Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika haruslah pula dilakukan secara ekstra hati-hati. Pemahaman yang benar


(45)

atas setiap ketentuan pidana yang telah dirumuskan akan menghindari kesalahan dalam praktik.

Ketentuan pidana tentang impor natkotika secara tanpa hak atau melawan hukum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur dalam Pasal 113 untuk Natkotika Golongan I, 118 untuk Golongan II dan 123 untuk Narkotika Golongan III.

Pasal 113 berbunyi :

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). 2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau

menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Unsur-unsur tindak pidana dalam ketentuan Pasal 113 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini adalah :

a) Setiap orang;

b) Tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan.


(46)

a. Setiap Orang

Setiap orang dalam undang-undang ini adalah subjek tindak pidana sebagai orang yang diajukan dipersidangan adalah benar sebagaimana disebutkan identitasnya dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Selanjutnya setiap orang adalah siapa saja tanpa terkecuali dan oleh karena itu tentulah sejajar dengan yang dimaksud dengan istilah barang siapa sebagaimana beberapa rumusan tindak pidana dalam KUHP. Berkaitan dengan barang siapa saja, ada beberapa pendapat menyangkut barang siapa, ada yang berpendapat apabila tegas-tegas disebutkan dalam rumusan tindak pidana, maka unsur barang siapa haruslah dibuktikan terlebih dahulu, di sisi lain ada yang berpendapat meskipun tidak secara tegas dalam rumusan tindak pidana unsur barang siapa tetap harus dibuktikan. Terlepas dari kedua pendapat tersebut, dalam praktik yang berlaku selama ini “barang siapa” diuraikan dalam setiap putusan, oleh karena itu setiap orang di sini haruslah pula dipertimbangkan sebagai unsur. b. Tanpa Hak atau Melawan Hukum Memproduksi, Mengimpor, Mengekspor,

atau Menyalurkan

Maksud dari unsur ini adalah dalam memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan haruslah dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum. Oleh karena itu bagi yang berhak atau tidak melawan hukum tentulah diperbolehkan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan.

“Memproduksi” merupakan kegiatan melakukan produksi48

, sedangkan produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan

48


(47)

narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstrasi dari sumber alami atau sintesis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk narkotika (Pasal 1 angka 4)49.

“Mengimpor” adalah melakukan kegiatan impor. Impor sendiri berarti kegiatan memasukkan narkotika dan prekursor narkotika ke dalam Daerah Pabean (Pasal 1 angka 5)

“Mengekspor” berarti melakukan kegiatan ekspor50

. Sedangkan ekspor dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah mengeluarkan narkotika dan prekursor narkotika dari daerah Pabean.

“Menyalurkan” merupakan bagian dari kegiatan peredaran narkotika dapat dalam rangka perdagangan atau bukan perdagangan.

Sebagaimana telah dikemukakan dalam memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan haruslah dilakukan tanpa hak atau melawan hukum. Karena rumusan yang dipakai adalah atau, maka dengan demikian pembahasan tanpa hak atau melawan hukum dapat pula dipisahkan sebagai berikut :

a) Tanpa hak memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan , dan b) Melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan.

Kedua rumusan baik huruf a maupun b di atas bersifat alternatif dalam arti dengan terbuktinya “ tanpa hak memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan” tentulah sudah cukup terpenuhi meskipun kenyataannya unsur “melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan” jika

49 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 50 Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia


(48)

dibuktikan akan terbukti pula. Tidak masalah apakah salah salah satu saja yang terbukti atau dua-duanya.

Ad.a. Tanpa Hak Memproduksi, Mengimpor, Mengekspor, atau Menyalurkan Hak untuk memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika hanya diberikan baik kepada lembaga negara maupun lembaga swasta tertentu yang telah ditentukan pemerintah.51 Salah satu kegiatan memenuhi kebutuhan narkotika dalam negeri diperoleh dari impor dan juga produksi dalam negeri. Kebutuhan ini dituangkan dalam rencana kebutuhan tahunan narkotika untuk ketersediaan narkotika yang berguna bagi kepentingan pelayanan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.52

Untuk dapat memproduksi haruslah ada izin khusus dari Menteri di mana izin ini hanya diberikan kepada Industri Farmasi, yang selanjutnya Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan sedangkan badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan hasil akhir dari produksi narkotika. Jadi jelas hak untuk memproduksi hanya diberikan kepada Industri Farmasi.

Jika hak memproduksi diberikan kepada industri farmasi yang memperoleh izin khusus dari Menteri, yang berarti izin dapat diberikan kepada lembaga swasta, tidak demikian dengan “mengimpor”. Izin impor narkotika yang diberikan Menteri hanya diberikan kepada 1 (satu) perusahaan besar farmasi milik negara

51

Hak produksi narkotika diatur dalam Pasal 11 dan 12, hak untuk melakukan impor dan ekspor narkotika diatur dalam Pasal 15 dan 18, hak untuk menyalurkan narkotika diatur dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


(49)

yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuaan peraturan perundang-undangan (Pasal 15 ayat(2)). “Dalam keadaan tertentu” ini yang dimaksudkan adalah apabila perusahaan besar farmasi milik negara dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsinya dalam melakukan impor narkotika karena bencana alam, kebakaran dan lain-lain.

Jika impor hanya diberikan hanya kepada 1 (satu) saja perusahaan besar farmasi milk negara, ketentuan ini juga berlaku untuk “ekspor” narkotika. Izin ekspor narkotika hanya diberikan kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.53

Dalam keadaan tertentu menteri dapat memberikan izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara yang memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ( Passal 15 ayat (2)). “Dalam keadaan tertentu” ini tidak dijelaskan, tetapi tentulah tidak lain dan tidak bukan apabila perusahaan besar farmasi milik negara dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsinya dalam melakukan ekspor narkotika karena bencana alam, kebakaran dan lain- lain.54

Untuk melakukan ekspor masih perlu dilakukan lagi Surat Persetujuan Ekspor dari Menteri dan agar dapat memperoleh Persetujuan Ekspor Narkotika harus melampirkan surat persetujuan dari negara pengimpor.55

Oleh karena itu, dapat diketahui di Indonesia hanya ada 1 (satu) saja yang berhak melakukan ekspor narkotika yaitu perusahaan besar farmasi milik negara

53 Pasal 18 ayat(1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

54 Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 55 Pasal 19 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika


(50)

yang telah mendapatkan izin khusus oleh menteri untuk melakukan ekspor dimana tiap kali ekspor harus memiliki Surar Petsetujuan Ekspor yang dapat diperoleh apabila melampirkan persetujuan dari negar pengimpor.

Selanjutnya berkaitan dengan “penyaluran” narkotika, hak menyalurkan ini hanya diberikan kepada Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dalam ketentuan undang-undang, di mana kepada industri farmasi pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah harus memiliki izin khusus penyaluran narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri,56 serta wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah yang berarti bahwa setiap peredaran narkotika ke luar kawasan panen ke gudang importir, eksportir, industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter atau apotik yang berupa Surap Persetujuan Impor/Ekspor, faktur , surat angkut, surat penyerahan barang, resep dokter atau salinan resep dokter, yang merupakan bagaian yang tidak terpisahkan dari narkotika yang bersangkutn.57

Oleh karena itu, dapat disimpulkan hak untuk “memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan” hanya diberikan kepada lembaga pemerintah dan lembaga swasta sebagaiman tersebut di atas, dan tidak mungkin orang-perorangan secara pribadi mendapatkan hak ini, dan apabila orang-perorangan melakukan kegiatan ‘memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan” pastilah dilakukan tanpa hak.

56 Pasal 39 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

57 Pasal 38 dan Penjelasan Pasal 38 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang


(51)

Ad.b. Melawan Hukum Memproduksi, Mengimpor, Mengekspor, atau Menyalurkan

Setiap tindak pidana tentulah terkandung sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid), karena di dalam hukum pidana sifat melawan hukum adalah unsur mutlak, meskipun dalam perumusan tindak pidana acapkali tidak disebutkan.

Perumusan ketentuan Pasal 113, ternyata secara tegas mencantumkan kata “melawan hukum” , sehingga anak kalimat di sini bukanlah merupakan sifat lagi, tetapi sudah merupakan bagian dari unsur tindak pidana, hal ini mempunyai konsekuensi sebagai unsur haruslah dibuktikan di persidangan.

Selanjutnya, apakah melawan hukum formil atau melawan hukum materiil yang dimaksudkan dalam ketentuan ini. Melawan hukum formil berarti bertentangan dengan hukum tertulis dan melawan hukum materiil berarti tidak hanya bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi bertentangan pula dengan hukum tidak tertulis. Dalam ajaran sifat melawan hukum materiil dikenal adanya 2 (dua) fungsi ajaran.58

1. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif di mana meskipun suatu perbuatan tidak dirumuskan dalam undang-undang sebagai perbuatan yang dilarang, tetapi apabila masyarakat memandang bahwa perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang tercela serta dianggap melawan hukum maka perbuatan tersebut dianggap bersifat melawan hukum.

58 AR.Sujono,Op.cit., h. 234


(52)

Dalam fungsinya yang positif menurut Komariah Emong Supardjaja

hanyalah berlaku khusus dalam hukum pidana Indonesia mengingat masih berlakunya hukum adat ( Soepomo, dikuatkan oleh Moeljatno), tetapi itu terbatas sepanjang tidak ada padanannya dalam KUHP (Pasal 5

Undang-undang No.1 Drt Tahun1951 ).

2. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungssinya yang negatif meskipun suatu perbuatan telah dirumuskan dalam ketentuan undang-undang sebagai perbuatan melawan hukum, akan tetapi apabila masyarakat memandang perbuatan tersebut tidak tercela dan dipandang bukan sebagai melawan hukum maka perbuatan tersebut tidaklah dikatakan bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum materiil telah diterima sebagai berperan negatif, sehingga menjadi alasan penghapus pidana ( alasan pembenar ).

Melawan hukum di sini haruslah dibaca dan diartikan sebagai melawan hukum dalam arti formil. Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika tentulah diperbolehkan apabila dilakukan sesuai dengan koridor hukum, dan sebaliknya yang dilarang adalah apabila memproduksi, mengimpor, mengekspor atau meenyalurkan dilakukan dengan cara melawan hukum.

Setiap tindakan terhadap memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika bagi yang tidak berhak jelas merupakan bagian dari tindakan melawan hukum, kalau demikian dalam hal-hal apa lagi memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika dianggap telah dilakukan dengan melawan hukum.


(53)

Melawan hukum berarti ada ketentuan yang dilanggar, berkaitan dengan hal tersebut maka segala tata cara memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah diatur secara lengkap, sehingga terhadap tindakan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta peraturan pelaksanaannnya jelas telah dilakukan dengan melawan hukum.

c. Narkotika Golongan I

Jika Pasal 111 dan Pasal 112 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, membedakan secara tegas pelanggaran perbuatan pidana terhadap Narkotika Golonan I dalam bentuk tanaman dan narkotika bukan tanaman, maka ketentuan Pasal 113 di sini hanya menyebut Narkotika Golongan I saja. Hal ini berarti pelanggaran perbuatan pidana sebagaimana Pasal 113 berlaku untuk Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sekaligus pula Narkotika Golongan I bukan tanaman.

Ancaman pidana atas perbuatan yang dilakukan karena melanggar Pasal 113 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupaih).

Sedangkan apabila perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu kilogram atau melebihi 5 (lima) batang


(1)

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, memberi masukan dan mengarahkan Penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Bapak Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan kepada penulis dengan begitu sabar hingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Bapak Prof. Dr. Ediwarman, S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan.

9. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Terkhusus kepada kedua orangtua Penulis yang tercinta yaitu Ayahanda B.Simanjuntak, S.H. dan Ibunda H. br. Sinaga, S.pd, yang telah memberikan segalanya bagi Penulis baik dari materil maupun moril yang tidak bisa ternilai


(2)

harganya, untuk saat ini hanya doa tulus yang dapat diberikan dari Penulis untuk Ayah dan Ibu. Semoga kelak Penulis dapat membahagiakan kedua orangtua, kepada Nenek Penulis R.T. br. Panjaitan, yaitu sosok yang sangat luar biasa bantuannya di dalam studi penulis, baik bantuan materil maupun moril. Semoga beliau senantiasa memperoleh kesehatan dan umur yang panjang, Adik-adik Penulis yaitu, Andika, Monang, Teguh dan Martha, terimakasih buat dukungan, dorongan dan perhatiannya selama proses penulisan skripsi ini. Dan buat seluruh keluarga besar yang telah memberikan semangat dan motivasinya yang mungkin tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu .

12. Sahabat terkasih Tio Hutabarat, Vera Septina Siregar, Juli sinaga, Dayana Yoksi Rafika terimakasih banyak buat semua bantuan, perhatian, dukungan, semangat, motivasi dan waktu kalian yang selalu ada buat Penulis.

13. Teman-teman seperjuangan Bang Rasyid, Christi, Rahmansyah, Marni, Hirma, kak Rika, Febri, Syarah, Novi, Margaretha, Deea, dan yang lainnya terimakasih buat bantuan dan semangatnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

14. Saudara-saudari di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Komisariat Fakultas Hukum USU terimakasih atas doa, semangat, motivasi dan telah berbagi ilmu selama perkuliahan di Fakultas Hukum USU.


(3)

15. Teman-teman Stambuk 2011, teman-teman di IMADANA dan teman-teman lainnya yang mungkin tak dapat Penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuan dan kebersamaan nya selama kita menimba ilmu di Fakultas Hukum USU.

Medan, Juni 2016 Penulis


(4)

ABSTRAKSI

Happy Day Olivia Simanjuntak1 Nurmalawaty, S.H.,M.Hum2 Dr. M. Ekaputra, S.H.,M.Hum3

Salah satu jenis kejahatan yang cukup menyita perhatian ilmu hukum pidana adalah Tindak Pidana Narkotika.Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga masih dibutuhkan oleh setiap negara. Tidak semua negara dapat memproduksi narkotika sendiri, kebanyakan negara-negara melakukan impor untuk dapat memperoleh persediaan narkotika untuk kebutuhan hal-hal yang positif seperti pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Kegiatan impor dan ekspor narkotika seyogianya adalah merupakan hal yang positif, karena narkotika sendiri masih dibutuhkan oleh setiap negara.Dan setiap negara sudah mempunyai peraturan dan undang-undang sendiri untuk mengatur kegiatan impor dan ekspor yang legal dan beserta pengawasan yang ketat, termasuk juga Indonesia.Namun dewasa ini kegiatan impor dan ekspor narkotika banyak dilakukan dengan secara tanpa hak atau melawan hukum oleh orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan besar tanpa memikirkan efek dari perbuatannya tersebut.

Keadaan di atas yang kemudian memunculkan pertanyataan bagi Penulis yang kemudian diangkat menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini yaitu bagaimana pengaturan impor narkotika dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku impor narkotika tanpa hak atau melawan hukum dalam putusan pengadilan. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya dan penerapannya dalam praktek (studi putusan).

Pengaturan tentang kegiatan impor narkotika diatur dalam Bab V Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu pada Pasal 15, 16, 17, 21, 23, 24, 25, 27, dan pidana nya pada Pasal 113, 118, 123. Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika secara jelas dan tegas dinyatakan bahwa impor narkotika hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pedagang besar farmasi milik negara bukan orang perseorangan. Konsep pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana impor narkotika sama halnya dengan pertanggungjawaban pidana pada umumnya, yaitu harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, yang harus diperhatikan adalah terpenuhinya unsur-unsur di dalam pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

1 Penulis Skripsi


(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... v

Abstraksi ... vi

BAB IPENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 14

D. Keaslian Penulisan ... 14

E. Tinjauan Kepustakaan ... 15

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 15

2. Pengertian Impor ... 16

3. Pengertian dan Jenis Narkotika ... 16

4. Pengertian Tindak Pidana Narkotika ... 20

F. Metode Penelitian ... 26

G. Sistematika Penulisan ... 29

BAB II IMPORNARKOTIKA TANPA HAK ATAU MELAWAN HUKUM DALAM UNDANG – UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ... 31

A. Pengaturan Impor Narkotika dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ... 31

1. Prosedur Impor Narkotika yang Dibenarkan Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ... 31

a. Importir Narkotika Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ... 32

b. Izin Impor Narkotika ... 34

2. Tindak Pidana Terkait Impor Narkotika ... 41

3. Instansi yang berperan Dalam Memberantas Impor Narkotika Secara Tanpa Hak atau Melawan Hukum 57 B. Modus Operandi Impor Narkotika Secara Tanpa Hak atau Melawan Hukum ... 69

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA IMPOR NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DUMAI NOMOR 200/PID.SUS/2012/PN.DUM) ... 75

A. Pertanggungjawaban Dalam Kajian Hukum Pidana ... 75

1. Kesalahan ... 77

2. Kemampuan Bertanggungjawab ... 80

3. Alasan Pemaaf ... 82

B. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Dumai No.200/Pid.Sus/2012/PN.Dum ... 85


(6)

2. Dakwaan ... 87

3. Tuntutan ... 88

4. Putusan ... 90

5. Analisis Putusan ... 91

BAB IVPENUTUP ... 100

A. Kesimpulan... 100

B. Saran ... 101