Klausul Baku dalam Perjanjian

BAB III ASAS ITIKAD BAIK DALAM PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN

PERJANJIAN ANTARA TELKOM FLEXI DENGAN PELANGGAN

A. Klausul Baku dalam Perjanjian

Pada dasarnya kontrak atau perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum pemenuhan syarat subjektif untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas pemenuhan syarat objektif. Namun, adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak. Berkembangnya klausula dan perjanjian baku erat hubungannya dan dipacu oleh gejala perkembangan dibidang ekonomi yang bersifat massal serta percepatan di bidang proses distribusi dan produksi, termasuk meningkatnya tuntutan akan pemberian jasa yang profesional. 83 Penggunaan klausula baku diperkirakan juga karena dipengaruhi oleh banyaknya perusahaan yang melakukan nasionalisasi. Penggunaan klausula baku dan perjanjian baku memiliki beberapa keuntungan 83 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 134. Universitas Sumatera Utara praktis, seperti mengurangi perundingan yang bertele-tele, terlupanya mengatur beberapa hal tertentu dan penghematan biaya. Beberapa keberatan terhadap penggunaan klausula baku dan perjanjian baku dapat dikemukakan diantaranya, memberatkan salah satu pihak, dan penerapannya secara keseluruhan cenderung menguntungkan bagi pihak yang membuatnya sebagaimana dilakukan dalam perjanjian berlangganan sambungan telekomunikasi ”TELKOMFlexi”. Di dalam UUPK klausula baku dirumuskan pada Pasal 1 butir 10, yaitu “…setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen danatau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Hondius sebagaimana dikutip Salim mengemukakan bahwa syarat-syarat baku adalah “syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya lebih dahulu”. 84 Inti dari perjanjian baku menurut Hondius tersebut adalah bahwa isi perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. 85 Jadi klausula baku berarti satu atau lebih klausula yang diformulasikan secara tertulis sebelum terjadinya perjanjian-perjanjian 84 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia , Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 14. 85 Ibid, hal. 146. Universitas Sumatera Utara yang sama jenisnya dengan maksud untuk menentukan pula isi dari perjanjian yang akan terjadi diantara para pihak dan cukup satu klausula tertulis saja, sudah dapat dikatakan sebagai klausula baku. Menurut doktrin, sebenarnya yang dianggap sebagai klausula baku adalah sejumlah klausula yang telah disusun secara mendetail dan seksama oleh salah satu pihak. Oleh karena itu, klausula baku dan perjanjian baku dikatakan mempunyai sifat konfeksi confectie carakter, dalam pengertian klausula dan perjanjian tidak disusun secara individual untuk pihak tertentu. Sifat tersebut termanifestasikan lebih lanjut pada kenyataan bahwa pada perjanjian baku hampir tidak memungkinkan pihak-pihak untuk menambahkan atau mengubah klausula-klausulanya. Klausula baku dan perjanjian baku pada umumnya didalam literatur setidaknya memenuhi tiga syarat yaitu, klausula itu harus tertulis, klausula tersebut telah disusun terlebih dahulu dan perjanjian baku yang memuat perjanjian baku akan digunakan terhadap pihak lawannya yang berjumlah relatif banyak, adanya peraturan pelaksana yang rinci. Ciri-ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut: a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih kuat daripada kedudukan debitur. b. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu. c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu. d. Bentuknya tertulis. Universitas Sumatera Utara e. Dipersiapkan dulu secara massal atau individual. 86 Dari ciri-ciri yang dikemukakan tersebut, seakan-akan suatu perjanjian baku itu sudah pasti mengandung muatan yang negatif dan merugikan pihak yang kedudukannya lebih lemah. Sebenarnya tidaklah demikian halnya karena mungkin sekali perjanjian baku cukup seimbang dalam di dalam pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak. 87 Pada umumya klausula baku di dalam suatu perjanjian baku atau akta standar tidak atau jarang dibaca. Apabila dibaca seringkali juga tidak seluruhnya dimengerti artinya oleh mereka yang membacanya. Gejala ini juga dikenal dengan istilah ”masalah klausula yang tidak diketahui dan tidak dimengerti” het euvel der orgeweten en onbegrepen bedingen. Masalahnya adalah apakah seseorang terikat pada perjanjian baku tersebut yang isinya tidak dibaca dan tidak dimengerti atau dibaca tetapi tidak dimengerti, walaupun ia menyatakan telah menyetujui. Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan di dalam salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya kata sepakat. Doktrin menyelesaikan masalah ini dengan menggunakan ajaran penundukan kehendak yang umum de leer van de algemene wilsonderwerping. Pada umumnya pernyataan seseorang adalah sama dengan kehendaknya. Menurut ajaran ini, seseorang yang menyetujui sesuatu akan menyatakan apa yang 86 Mariam Darus Badrulzaman, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya dengan Perjanjian Baku Standart, dalam Media Notariat Nomor 28-29, Tahun VIII, Juli-Oktober 1993, hal. 45. 87 Herlien Budiono, Op Cit, hal. 137. Universitas Sumatera Utara dikehendakinya. Oleh karena itu secara formil ia terikat kepada klausula baku yang tercantum di dalam perjanjian baku yang telah disetujuinya tersebut. Ajaran ini mengambil pijakannya bahwa pihak konsumen yang menyetujui klausula bakuperjanjian baku, memang tidak mengenal seluruh klausula tersebut, tetapi ia menganggap telah menghendaki ketentuan baku tersebut dan oleh karena itu ia terikat. Pernyataan verklaring yang diberikan dianggap sesuai dengan kehendak wil yang sebenarnya. Pengikut ajaran tersebut berpendapat bahwa tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada seluruh lalu lintas hukum apabila orang tidak terikat walaupun telah menandatangani perjanjian baku tersebut. Jurisprudensi pada umumnya telah menerima ajaran tersebut. Beberapa ahli hukum menggunakan teori kepercayaan vertrouwenstheorie sebagai dasar keterikatan kontraktualnya, yang berarti bahwa pernyataan yang diberikan seseorang menimbulkan kepercayaan bahwa pernyataan yang diberikan tersebut benar adalah kehendaknya. Menurut analisis penulis ajaran ”penundukan kehendak yang umum” mengandung otonomi yang terlalu luas pada faktor pernyataan, dimana di dalam praktek tidaklah rasional. Seringkali orang menyetujui perjanjian baku tanpa mengerti isinya. Ketidaktahuan dari pengguna perjanjian baku tidak boleh disalah gunakan. Oleh karena itu, ketidaktahuan dari konsumen terhadap perjanjian baku dituntut pula adanya tanggjung jawab yang lebih besar dari pihak pelaku usaha. Universitas Sumatera Utara Tidak salah apabila Nieuwenhuis mengatakan bahwa pada waktu menyusun formulasi dari klausula baku haruslah ia pelaku usaha bertindak sebagai seorang zaakwaarnemer pengurus sukarela yang baik dari pihak lawan yang tidak berada di tempat; kepentingan konsumen di dalam klausula baku tidak boleh seluruhnya diabaikan. Tuntutan praktis di dalam lalu lintas hukum menghendaki adanya anggapan bahwa bagi pihak konsumen terhadap perjanjian yang telah ditandatanganinya seyogyanya mengandung ketentuan atau klausula yang layak atau patut. Van der Werf yang dikutip Herlien Budiono di dalam disertasinya Gebondenheid aan Standaardvoorwarden in het Rechtsverkeer met Particuliere en Professionele Contracttanten, berpendapat bahwa: Apabila klausula tersebut tidak mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak, konsumen tidak terikat terhadap klausula baku karena sudah sepatutnya merupakan harapan konsumen bahwa klausula-klausula tersebut tidak akan merugikan dirinya. Tidak terikatnya konsumen bergantung pada suatu keadaan tertentu yang berarti tidak adanya ukuran atau ketentuan yang pasti, tetapi harus diputuskan secara kasus demi kasus dengan pertimbangan-pertimbangannya untuk masing-masing kasus. Dengan demikian terikat atau tidaknya seseorang pada klausula dan perjanjian baku menjadi relatif gerelativeerd. Van Der Werf mengusulkan suatu ajaran ”penundukan kehendak yang relatif” relatieve wilsonderwerping. Menurut ajaran ini pada dasarnya teori kehendak wilstheorie dianut, tetapi hanya berlaku apabila adanya faktor kepercayaan vertrouwen yang termotifikasi dengan itikad baik yang harus sesuai dengan kepentingan lalu lintas hukum. Masih menurut Van Der Werf, keadaan yang dipertimbangkan agar dapat menentukan konsumen akan apakah terikat pada klausulaperjanjian baku, diantaranya adalah: Universitas Sumatera Utara a. Sifat dari perjanjian tersebut, apakah pihak pengguna adalah swastaawam atau profesional, apakah perjanjianklausula baku tersebut sederhana atau kompleks. b. Cara terjadinya perjanjian tersebut, apakah dengan lisan, tertulis, colportage penjualan secara door to door, penjualan dengan metode agresif, apakah pelaku usaha jujur dan terbuka, apakah syarat bakunya sudah umum digunakan atau tidak. 88 Adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut berarti ajaran penundukan kehendak secara umum menjadi relatif atau terbatas berlakunya. Pasal 1339 KUH Perdata menyatakan bahwa ”persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang”. Ketentuan tersebut berhubungan dengan bunyi ketentuan di dalam Pasal 1347 KUH Perdata yang menyatakan, ”Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan meskipun tidak dengan tegas dinyatakan”. Pasal 1346 KUH Perdata mengatur mengenai cara menafsirkan klausula yang meragukan, dimana klausula tersebut harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat, dimana persetujuan tersebut telah dibuat. Demikian pula ketentuan Pasal 1473 KUH Perdata yang bunyinya ”Si penjual diwajibkan menyatakan dengan tegas untuk apa ia mengikatkan dirinya, segala janji 88 Ibid, hal. 140. Universitas Sumatera Utara yang tidak terang dan dapat diberikan berbagai pengertian, harus ditafsirkan untuk kerugiannya”. 89 Dari uraian di atas, jelaslah bahwa hakikat perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah distandarisasi isinya oleh pihak yang ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menilak isinya. Apabila debitur menerima isi perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak, perjanjian itu dianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani perjanjian tersebut. Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa unsur-unsur kontrak baku, yaitu 1 diatur oleh kreditor atau ekonomi kuat; 2 dalam bentuk sebuah formulir; dan 3 adanya klausul eksonerasipengecualian. Pada umumnya selalu dikatakan bahwa sebuah kontrak standar adalah kontrak yang bersifat ambil atau tinggalkan, mengingat bahwa tidak ada prinsip kontrak. Dalam reformasi hukum perjanjian diperlukan pengaturan tentang kontrak standar. Hal ini sangat diperlukan untuk melindungi masyarakat, terutama masyarakat ekonomi lemah terhadap ekonomi kuat. Dengan kata lain, yang dibakukan bukan formulirnya tetapi klausul- klausulnya. Oleh karena itu, suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausul yang hanya mengambil alih klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai 89 Lihat lebih lanjut Pasal 1346 dan Pasal 1473 KUH Perdata. Universitas Sumatera Utara peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul tersebut, maka akta notaris tersebut juga merupakan perjanjian baku. Sebenarnya, perjanjian standar tidak perlu selalu dituangkan dalam bentuk formulir, walaupun memang lazim dibuat tertulis. Contohnya dapat dibuat dalam bentuk pengumuman yang ditempelkan di tempat penjual menjalankan usahanya. Jadi, perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh produsenpenyalur produk penjual, dan mengandung ketentuan yang berlaku umum massal, sehingga pihak yang lain konsumen hanya memiliki dua pilihan: menyetujuinya atau menolaknya. Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan, perjanjian standar tidaklah melanggar asas kebebasan berkontrak Pasal 1320 jo. 1338 KUH Perdata. Artinya, bagaimanapun pihak konsumen masih diberi hak untuk menyetujui take it atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya leave it. Itulah sebabnya, perjanjian standar ini kemudian dikenal dengan nama take it or leave it contract. Jika adanya yang perlu dikhawatirkan dengan kehadiran perjanjian standar, tidak lain karena dicantumkannya klausula eksonerasi exemption clause dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, Sutan Remy Syahdeni terhadap klausul eksonerasi lebih memilih penggunaan istilah klausul eksemsi sebagai terjemahan dari exemption clause yang dipakai dalam hukum Inggris. Hal ini didasarkan pada Universitas Sumatera Utara Pedoman Umum Pembentukan Istilah menurut Keputusan Mendikbud No. 0389U1988. 90 Sutan Remy Syahdeini mengutip beberapa pendapat sarjana mengenai klausul eksonersi antara lain : 1 Mariam Barus Badrul Zaman, yang mengatakan klausul eksonersi adalah klausula yang membatasi pertanggung jawaban dari kreditur. 2 Kumar memberikan mengenai exslusion clause,yaitu clause of a contract which purports to protect the proferens absolutely or in a limited manner against liability,for breach of contract.or damage,or exclude his liability if the action is brought after the stipulated time. 3 David Yates yang juga menggunakan istilah exclusion clause,yaitu any term I acontract restricting,excluding or modifying a remedy or a liability arising out of a breach of a contractual obligations. 91 Sutan Remi Syahdeni memberikan pengertian klausul eksonerasieksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut. 92 Uraian di atas jelaslah bahwa klausul eksonersi adalah klausul yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsenpenyalur produk penjual atau pelaku usaha. Dalam pengertian tersebut terlihat betapa tidak adanya 90 Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit, hal. 73. 91 Ibid, hal. 74. 92 Ibid, hal. 75. Universitas Sumatera Utara keseimbangan posisi tawar-menawar antara produsenpenyalur produk penjual atau pelaku usaha yang lazim disebut kreditur dan konsumen di lain pihak. Dalam UUPK, istilah klausul eksonersi sendiri tidak ditemukan karena dalam klausul baku dinyatakan sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat yang dipersiapkan lebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, jadi yang ditekankan adalah prosedur pembuatannya yang bersifat sepihak, bukan mengenai isinya. Padahal, pengertian klausula eksonersi tidak sekedar mempersoalkan prosedur pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha. Pasal 18 Ayat 1 huruf a UUPK menyatakan, pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan huruf b dan seterusnya sebenarnya memberikan contoh bentuk-bentuk pengalihan tanggung jawab itu, seperti pelaku usaha dapat menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen, atau menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen, atau menolak penyerahan kembali uang yang dibayar, dan sebagainya. Apakah dengan demikian, klausul baku sama dengan klausula eksonerasi? Jika melihat pada ketentuan Pasal 18 ayat 1 UUPK, dapat diperoleh jawaban Universitas Sumatera Utara sementara bahwa kedua istilah itu berbeda. Artinya, klausula baku adalah klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada klausula eksonerasi. Pasal 18 ayat 2 UUPK mempertegas pengertian tersebut, dengan mengatakan bahwa klausula baku harus diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan dapat jelas di baca dan mudah dimengerti. Jika hal-hal yang disebutkan dalam ayat 1 dan 2 itu tidak dipenuhi, maka klausula baku itu menjadi batal demi hukum. Di Indonesia, ketentuan yang membatasi wewenang pembuatan klausula eksonerasi ini belum diatur secara tegas. Satu-satunya ketentuan adalah UUPK, walaupun didalamnya digunakan istilah klausul baku yang ternyata berbeda pengertian dengan klausula eksonerasi. Secara umum, memang dapat ditunjuk beberapa pasal yang ada dalam KUH Perdata. Salah satunya adalah Pasal 1337 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa ”Suatu perjanjian tidak boleh dibuat bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum”. Namun dengan demikian, untuk dapat menguji sejauh mana perjanjian itu bertentangan, perlu diproses melalui gugatan dipengadilan. Padahal, kekuatan yurisprudensi dalam sistem hukum Indonesia tidak seperti yang berlaku di negara- negara Anglo SaxonAnglo Amerika. Dengan demikian, langkah-langkah yang ditempuh oleh Belanda, yakni dengan membuat ketentuan khusus mengenai tata cara pembuatan perjanjian standar, kiranya dapat dipertimbangkan untuk ditiru. Selain Universitas Sumatera Utara dengan mencantumkannya dapat KUH Perdata, juga dapat dimuat dalam undang- undang khusus yang mengatur mengenai perlindungan konsumen.

B. Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian