Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian

dengan mencantumkannya dapat KUH Perdata, juga dapat dimuat dalam undang- undang khusus yang mengatur mengenai perlindungan konsumen.

B. Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian

Walaupun itikad baik menjadi asas yang paling penting dalam hukum kontrak dan diterima dalam berbagai sistem hukum, tetapi hingga kini doktrin itikad baik masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Perdebatan utama yang timbul adalah berkaitan dengan definisi itikad baik. Hal itu dapat dipahami, karena pengaturan itikad baik dalam kontrak sangat minim. Dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata dinyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pelaksanaan itikad baik bermakna bahwa kedua belah pihak harus berlaku satu dengan lainnya tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa mengganggu pihak lain, tidak hanya melihat kepentingan diri sendiri saja, tetapi juga kepentingan pihak lainnya. 93 Dengan dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian, berarti tidak lain kita harus menafsirkan perjanjian itu berdasarkan keadilan dan kepatutan. Menafsirkan suatu perjanjian adalah menetapkan akibat-akibat yang terjadi. 94 93 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 154. 94 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan Perikatan yang lahir dari Perjanjian dan dari Undang-undang, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 67. Universitas Sumatera Utara Hoge Raad dengan tegas menyatakan bahwa memperhatikan itikad baik pada pelaksanaan perjanjian tidak lain adalah menafsirkan perjanjian menurut ukuran kerasionalan dan kepatutan. Penafsiran yang demikian itu erat kaitannya dengan ketentuan Pasal 1375 KUH Perdata yang menyebutkan :”Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. 95 Itikad baik tidak hanya mengacu pada kepada itikad baik para pihak, tetapi harus pula mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sebab itikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Itikad baik ini akhirnya mencerminkan standar keadilan atau kepatutan masyarakat. 96 Menurut Robert S. Summer dalam Ridwan Khairandy, bentuk itikad baik dalam negosiasi dan penyusunan kontrak mencakup: negosiasi tanpa maksud yang serius untuk mengadakan kontrak, penyalahgunaan the previllage untuk menggagalkan negosiasi, tidak menjelaskan fakta material, dan mengambil keuntungan dari lemahnya posisi tawar pihak lain dalam kontrak. 97 Itikad baik pada tahap pra kontak merupakan kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan dan meneliti fakta material bagi para pihak yang berkaitan dengan pokok yang dinegosiasikan itu. Sehubungan dengan hal itu putusan 95 Ridwan Khairandy, Op Cit, hal. 9. 96 Ibid, hal. 138. 97 Ibid, hal. 250-251. Universitas Sumatera Utara Hoge Raad menyatakan bahwa para pihak yang bernegosiasi masing-masing memiliki kewajiban itikad baik, yakni kewajiban untuk meneliti onderzoeplicht dan kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan mededelingsplicht. Misalnya negosiasi dalam jual beli rumah, orang yang akan membeli rumah tersebut wajib meneliti apakah ada rencana resmi mengenai rumah itu, diantaranya rencana pencabutan hak milik. Jika dia tidak melakukan kewajiban tersebut, ternyata hak milik atas rumah tersebut dicabut, maka dia tidak dapat menuntut pembatalan kontrak karena adanya kesesatan. Dipihak lain, penjual memiliki kewajiban untuk menjelaskan semua informasi yang dia ketahui dan penting bagi pembeli. Kalau dia telah menyatakan dengan tegas, bahwa tidak ada rencana resmi yang demikian itu, pembeli dapat mempercayai pernyataan itu dan pembeli tidak perlu meneliti lagi. 98 Di Belanda, doktrin itikad baik dalam proses negosiasi dan penyusunan kontrak telah diakui keberadaannya melalui putusan Hoge Raad Belanda dalam perkara Baris v. Riezenkamp, HR 15 November 1957, NJ 1958, 67. Putusan ini menyatakan bahwa para pihak yang berunding harus dilandasi itikad baik. Sebagai konsekuensinya, pihak yang satu harus memperhatikan kepentingan hukum pihak yang lainnya dalam kontrak. Hoge Raad kemudian berhasil merumuskan atau menarik asas kecermatan dalam pembuatan kontrak contractuele zargvuldigkeid, duty of care, yakni adanya kecermatan bagi pembeli untuk meneliti dan memeriksa onderzoekplicht fakta-fakta material yang berkaitan dengan subyek kontrak. 98 Ibid, hal. 252. Universitas Sumatera Utara Beberapa tahun kemudian Hoge Raad juga menerima kewajiban yang sama bagi penjual untuk memberitahukan mededelingsplicht fakta material bagi pembeli dalam proses negosiasi kontrak. Sebagai akibat dari pandangan tersebut, maka setiap orang wajib memiliki contractuele zorgvuldigheid kecermatan dalam pembuatan perjanjian dan contractuele rechtwaardigheid kemuliaan dalam perjanjian. Dengan demikian sejak saat diadakannya perjanjian harus sudah ada maatschapelijke zorgvuldigheid atau kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian dalam pergaulan kehidupan masyarakat. 99 Pengadilan Tinggi Bandung mencoba menafsirkan itikad baik yang dimaksud Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata. Pengadilan Tinggi Bandung menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Melaksanakan perjanjian dengan itikad baik berarti perjanjian harus dilaksanakan sesuai dengan kepatutan dan keadilan naar redelijkheid en billijkheid. 100 Dalam pembuatan suatu perjanjian terdapat satu asas yang mengkehendaki agar suatu perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata. Asas itikad baik ini dapat dipakai dalam menilai sah tidaknya syarat eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian baku. Itikad baik dan kepatutan dapat pula merubah atau melengkapi perjanjian. Bahwa perjanjian itu tidak hanya ditentukan oleh para pihak dalam perumusan 99 Ibid, hal. 14. 100 Ibid, hal. 17. Universitas Sumatera Utara perjanjian, tetapi juga ditentukan oleh itikad baik dan kepatutan, jadi itikad baik dan kepatutan ikut pula menentukan isi dari perjanjian itu. 101 Dalam hukum perjanjiankontrak, asas itikad baik memiliki tiga fungsi : 1. Mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik. Suatu kontrak terdiri dari serangkaian kata. Oleh karena itu, untuk menetapkan isi kontrak, perlu dilakukan penafsiran, sehingga dapat diketahui dengan jelas maksud para pihak dalam kontrak. 2. Fungsi menambah aanvullende werking van de geode trouw. Itikad baik dapat menambah isi suatu perjanjian tertentu dan juga dapat menambah kata-kata ketentuan undang-undang mengenai perjanjian itu. Fungsi ini dapat diterapkan apabila ada hak dan kewajiban yang timbul diantara para pihak tidak secara tegas dinyatakan dalam kontrak. 3. Fungsi membatasi dan meniadakan beperkende en derogerende werking van de geode trouw. Suatu perjanjian tertentu atau suatu syarat tertentu dalam kontrak atau ketentuan undang-undang mengenai kontrak itu dapat dikesampingkan, jika sejak dibuatnya kontrak itu keadaan telah berubah, sehingga pelaksanaan kontrak itu menimbulkan ketidakadilan. Dalam keadaan yang demikian itu, kewajiban kontraktual dapat dibatasi, bahkan ditiadakan seluruhnya atas dasar itikad baik. 102 Asas itikad baik juga terbagi atas dua bentuk, yaitu : 1. Itikad baik subyektif, yaitu dengan ukuran apakah yang bersangkutan menyadari bahwa tindakannya dengan itikad baik. 103 101 Purwahid Patrik, Op Cit, hal. 68. 102 Ibid, hal. 216-231. 103 J. Satrio, Hukum Perjanjian Perjanjian Pada Umumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 379. Universitas Sumatera Utara 2. Itikad baik obyektif, yaitu itikad baik yang terletak pada pelaksanaan perjanjian yang diadakan, yaitu pada saat timbul hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan hukum. Maksudnya adalah bahwa itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian itu berkaitan dengan pandangan umum seperti masalah kepatutan, kepantasan serta kewajaran. 104 C. Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Pembuatan dan Pelaksanaan Perjanjian Antara Telkom Flexi Dengan Pelanggan Dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata dinyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pelaksanaan itikad baik bermakna bahwa kedua belah pihak harus berlaku satu dengan lainnya tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa mengganggu pihak lain, tidak hanya melihat kepentingan diri sendiri saja, tetapi juga kepentingan pihak lainnya. 105 Dengan dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian, berarti tidak lain kita harus menafsirkan perjanjian itu berdasarkan keadilan dan kepatutan. Menafsirkan suatu perjanjian adalah menetapkan akibat-akibat yang terjadi. 106 Hoge Raad dengan tegas menyatakan bahwa memperhatikan itikad baik pada pelaksanaan perjanjian tidak lain adalah menafsirkan perjanjian menurut ukuran kerasionalan dan kepatutan. Penafsiran yang demikian itu erat kaitannya dengan 104 Ibid, hal. 88. 105 Ridwan Khairandy, Op Cit, hal.154. 106 Purwahid Patrik, Op Cit, hal. 67. Universitas Sumatera Utara ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata yang menyebutkan: ”Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. 107 Itikad baik tidak hanya mengacu kepada itikad baik para pihak, tetapi harus pula mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sebab itikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Itikad baik ini akhirnya mencerminkan standar keadilan atau kepatutan masyarakat. 108 Salah satu kewajiban para pihak dalam bernegosiasi dan menyusun kontrak harus berprilaku dengan itikad baik. Negoisasi dan penyusunan kontrak tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk. Hal ini menjadi kewajiban umum para pihak dalam hubungan pra kontrak. Menurut Robert S. Summer dalam Ridwan Khairandy, bentuk itikad baik dalam negoisasi dan penyusunan kontrak mencakup: negoisasi tanpa maksud yang serius untuk mengadakan kontrak, penyalahgunaan the privillege untuk menggagalkan negoisasi, tidak menjelaskan fakta material, dan mengambil keuntungan dari lemahnya posisi tawar pihak lain dalam kontrak. 109 Itikad baik pada tahap pra kontrak merupakan kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan dan meneliti fakta material bagi para pihak yang berkaitan dengan pokok yang dinegosiasikan itu. Sehubungan dengan hal itu putusan 107 Ridwan Khairandy, Op Cit, hal. 9. 108 Ibid, hal. 138. 109 Ibid, hal. 250-251. Universitas Sumatera Utara Hoge Raad menyatakan bahwa para pihak yang bernegoisasi masing-masing memiliki kewajiban itikad baik. Yakni kewajiban untuk meneliti onderzoeplicht dan kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan mededelingsplicht. Misalnya negoisasi dalam jual beli rumah, orang yang akan membeli rumah tersebut wajib meneliti apakah ada rencana resmi mengenai rumah itu, diantaranya rencana pencabutan hak milik. Jika dia tidak melakukan kewajiban tersebut ternyata hak milik atas rumah tersebut dicabut, maka dia tidak dapat menuntut pembatalan kontrak karena adanya kesesatan. Dipihak lain, penjual memiliki kewajiban untuk menjelaskan semua informasi yang dia ketahui dan penting bagi pembeli. Kalau dia telah menyatakan dengan tegas, bahwa tidak ada rencana resmi dengan yang demikian itu, pembeli dapat mempercayai pernyataan itu dan pembeli tidak perlu meneliti lagi. 110 Di Belanda, doktrin itikad baik dalam proses negoisasi dan penyusunan kontrak telah diakui keberadaannya melalui putusan Hoge Raad Belanda dalam perkara Baris V. Riezenkamp, HR 15 November 1957, NJ 1958, 67. Putusan ini menyatakan bahwa para pihak yang berunding harus dilandasi itikad yang baik. Sebagai konsekuensinya, pihak yang satu harus memperhatikan kepentingan hukum pihak yang lainnya dalam kontrak. Hoge Raad kemudian berhasil merumuskan atau menarik asas kecermatan dalam pembuatan kontrak contractuele zargvuldigkeid, duty of care, yakni adanya kecermatan bagi pembeli untuk meneliti dan memeriksa 110 Ibid, hal. 252. Universitas Sumatera Utara onderzoekplicht fakta-fakta material yang berkaitan dengan subyek kontrak. Beberapa tahun kemudian Hoge Raad juga menerima kewajiban yang sama bagi penjual untuk memberitahukan mededelingsplicht fakta material bagi pembeli dalam proses negoisasi kontrak. Sebagai akibat bagi pandangan tersebut, maka setiap orang wajib memiliki contractuele zargvuldigheid kecermatan dalam pembuatan perjanjian dan contractuele rechtwaardigheid kemuliaan dalam perjanjian. Dengan demikian saat diadakannya perjanjian harus sudah ada maatschapelijke zorgfuldigheid atau kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian dalam pergaulan kehidupan hukum masyarakat. 111 Dalam praktek yang ada, pada saat calon pelanggan datang pada Plasa PT. Telkom, setelah mereka mengisi formulir TEL 2 PELANGGAN dan telah disanggupi oleh PT. Telkom karena dipandang daerah yang dimintakan pemasangan sambungan baru “TELKOMFlexi” memungkinkan, maka kemudian calon pelanggan menandatangani kontrak berlangganan, dimana didalamnya terdapat klausula- klausula perjanjian berlangganan telekomunikasi “TELKOMFlexi”. Mengenai arti klausula-klausula atau isi perjanjian ini pihak PT. Telkom hanya memberikan penjelasan secara garis besar saja, untuk selebihnya PT. Telkom memberikan kesempatan kepada pelanggan untuk membaca dan mempelajari terlebih dahulu isi dari perjanjian tersebut, apabila ada bagian-bagian tertentu dari perjanjian yang dirasa Pelanggan belum jelas, mereka dapat menanyakan langsung kepada petugas yang 111 Ibid, hal. 14. Universitas Sumatera Utara bersangkutan. Akan tetapi pada kenyataanya para pelanggan biasanya terkesan enggan untuk membaca dan mempelajari isi perjanjian tersebut. Apabila ada hal-hal yang ditanyakan oleh calon Pelanggan biasanya hanya seputar biaya yang harus dikeluarkan untuk pasang baru, kesalahan-kesalahan pelanggan yang dapat menyebabkan sambungan “TELKOMFlexi” dicabut oleh PT. Telkom, maupun besarnya abonemen yang dikenakan setiap bulannya. 112 Dari penjelasan diatas apabila dipandang dari sisi mededelingsplicht kewajiban menjelaskan atau memberitahukan dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya PT. Telkom telah beritikad baik dalam pembuatan kontrak ini, karena PT. Telkom telah memberikan penjelasan kepada pelanggan mengenai isi dari kontrak berlangganan tersebut walaupun hanya secara garis besar saja, karena akan menjadi sangat efisien apabila PT. Telkom harus menjelaskan seluruh isi perjanjian, dan juga PT. Telkom telah memberikan kesempatan kepada calon pelanggan untuk juga membaca, mempelajari dan menanyakan isi kontrak berlangganan yang dianggap kurang jelas sebelum menandatanganinya. Mengenai klausula eksonerasi yang membatasi tanggung jawab PT. Telkom tidak diatur secara khusus. PT. Telkom hanya mencantumkan perbatasan-perbatasan tanggung jawab dari pihaknya yang masih dalam batasan yang wajar. Klausula 112 Wawancara dengan Ibu Sugiastuti. Op Cit. Universitas Sumatera Utara eksonerasi yang terdapat dalam kontrak berlangganan sambungan telekomunikasi ”TELKOMFlexi” antara lain sebagai berikut : Pasal 6 ayat 1 sampai dengan ayat 4, menyebutkan bahwa : 1 ”Telkom berhak mengenakan sanksi kepada PELANGGAN berupa denda, pengisoliran sampai dengan Deaktifasi sambungan telekomunikasi apabila PELANGGAN tidak melakukan pembayaran biaya berlangganan tepat pada waktunya, maka dikenakan sanksi berupa denda, pengisoliran, sampai dengan Deaktifasi”. 2 Apabila PELANGGAN belum melunasi seluruh kewajiban dalam waktu 30 tiga puluh hari kalender sejak Deaktifasi sambungan telekomunikasi sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf a Pasal ini atau disepakati lain, TELKOM berhak untuk melakukan pemutusan Kontrak secara sepihak tanpa adanya tuntutan apapun dari PELANGGAN. 3 Ketentuan tentang pengisoliran sampai dengan Deaktifasi sambungan telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Kontrak ini diinformasikan TELKOM kepada PELANGGAN pada saat penandatanganan kontrak ini dan selama menjadi kesepakatan yang dimengerti oleh para pihak sehingga pengenaan sanksi berupa pengisoliran dan Deaktifasi sambungan telekomunikasi dapat dilakukan secara sepihak oleh TELKOM tanpa pemberitahuanperingatan terlebih dahulu kepada PELANGGAN, sedangkan untuk sanksi denda dikenakan sesuai dengan ketentuan TELKOM. 4 Pengenaan sanksi Deaktifasi Sambungan Telekomunikasi dimaksud ayat 1 dan 2 pasal ini : a. Tidak mengurangi kewajiban PELANGGAN, ahli waris atau penggantinya, untuk melunasi seluruh tunggakan termasuk dendanya kepada TELKOM; b. Tidak mengurangi hak PELANGGAN untuk dapat kembali berlangganan Sambungan Telekomunikasi dengan TELKOM apabila telah melunasi seluruh tunggakan beserta denda apabila ada. Ketentuan-ketentuan tersebut dapat memberatkan pelanggan karena PT. Telkom dapat melakukan pengisoliran sampai dengan Deaktifasi sambungan Universitas Sumatera Utara telekomunikasi dapat dilakukan sepihak, tanpa pemberitahuanperingatan terlebih dahulu kepada pelanggan. Itikad baik dan kepatutan dapat pula merubah atau melengkapi perjanjian. Bahwa perjanjian itu tidak hanya ditentukan oleh para pihak dalam perumusan perjanjian, tetapi juga ditentukan oleh itikad baik dan kepatutan, jadi itikad baik dan kepatutan ikut pula menentukan isi perjanjian itu. 113 Oleh karenanya, untuk menghindari adanya kesalahan dalam penafsiran dan pengertian dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka menurut saya ketentuan Pasal 6 ayat 3, hendaknya diubah menjadi : ”Pengenaan sanksi berupa pengisoliran dan Deaktifasi sambungan telekomunikasi dapat dilakukan oleh TELKOM dengan terlebih dahulu memberikan pemberitahuanperingatan secara tertulis dan atau lisan kepada PELANGGAN apabila PELANGGAN melanggar salah satu atau lebih ketentuan kontrak ini”. Sesuai ketentuan sebagaimana tercantum dalam klausula PROSEDUR Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi”, yang berbunyi sebagai berikut : Nomor 1 b. Butir 4, menyebutkan bahwa : ”TELKOM setiap saat dapat menagih kepada PELANGGAN lebih awal dari jadwal pembayaran reguler dimaksud dalam butir 1 diatas, apabila terdapat indikasi lonjakan besaran tagihan yang tidak wajar dari rata-rata tagihan sebelumnya dan PELANGGAN wajib membayar tagihan dimaksud sesuai dengan batas waktu yang tercantum dalam tagihan tersebut”. 113 Purwahid Patrik, Op Cit, hal. 68. Universitas Sumatera Utara Nomor 2 b, menyebutkan bahwa : ”TELKOM tidang menanggung kerugian dalam bentuk apapun yang mungkin diderita oleh PELANGGAN baik langsung maupun tidak langsung atas : 1 Kerusakangangguan yang terjadi di Instalasi PELANGGAN; 2 Kerusakangangguan yang terjadi di jaringan Akses milik TELKOM yang disebabkan oleh kesalahan PELANGGAN; 3 Akibat dari perubahan nomor atau jaringan akses milik TELKOM apabila secara teknis mengharuskan dilakukan perubahan tersebut; 4 Kesalahan tagihan atas pemakaian jasa telekomunikasi yang disediakan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi di luar TELKOM; 5 Gangguankerusakan akibat peristiwa forse majeure.” Nomor 2 c, menyebutkan bahwa : ”kompensasi yang diberikan oleh TELKOM adalah : 1 Maksimal sebesar biaya berlangganan bulanan abodemen per satu-satuan sambungan telekomunikasi; 2 Hanya diberikan 1 satu kali dalam 1 satu bulan tagihan pada waktu TELKOM tidak mampu memberikan layanan sesuai SLG. Menurut J. Satrio, Perjanjian Adhesie yaitu perjanjian-perjanjian yang isi dan klausa-klausanya secara sepihak telah disiapkan oleh satu pihak secara rinci dan pihak lain hanya tinggal menyetujui atau menolak sama sekali. 114 Menurut Purwahid Patrik, Perjanjian Adhesie adalah perjanjian dimana salah satu pihak pembuat perjanjian berada dalam keadaan terjepit atau terdesak, dan keadaan itu dimanfaatkan oleh pihak lain yang mempunyai kedudukan yang lebih kuat. Pihak yang lebih kuat tadi dalam membuat penawaran dalam perjanjian dengan 114 J. Satrio, Hukum Perikatan, Op Cit, hal. 40. Universitas Sumatera Utara pihak yang lemah dengan prinsip take it or leave it ambil atau tinggalkan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Pitio dan Purwahid Patrik, yang menyatakan : Lagi pula perjanjian-perjanjian baku kebanyakan adalah perjanjian adhesie. Dengan perkataan lain bahwa salah satu pihak secara sepihak menyusun syarat-syarat dan pihak lain harus menerimanya, tidak membuat perjanjian. 115 Pada asasnya, di dalam suatu perjanjian orang dapat membatasi atau bahkan sampai batas-batas yang dibenarkan oleh hukum menghindari tanggung jawab atas kerugian yang menimpa diri atau harta orang lain. Disini yang dimaksud bahwa para pihak bisa saling sepakat untuk menyingkirkan ketentuan hukum yang menambah, yang mengatur tentang kewajiban pihak yang satu untuk menanggung resiko kerugian pihak yang lain. Umpama saja orang bisa memperjanjikan diri, bahwa ia tidak bertanggung jawab, atas kerugian yang ditimbulkan oleh kelalaiannya terhadap, benda milik lawan janjinya; orang bahkan diperkenankan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kesengajaan dari bawahannya. Tetapi memperjanjikan bahwa orang tidak bertanggung jawab atas kerugian orang lain sebagai akibat dari tindakan kesengajaannya tidak diperkenankan, karena dianggap bertentangan dengan keasusilaan. Janji-janji dimana salah satu pihak 115 Purwahid Parik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 43. Universitas Sumatera Utara mengesampingkan ketentuan hukum yang bersifat menambah mengenai masalah resiko, dinamakan klausa exonoratie. 116 PT. Telkom menganggap bahwa klausa eksonerasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Prosedur Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi” tersebut di atas, masih dalam batas kewajaran karena tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum tidak bersifat sangat berat sebelah dan tidak menempatkan pelanggan dalam posisi terjepit atau terdesak, dan juga PT. Telkom seiring dengan perjalanan waktu selalu memperbaharui isi atau materi perjanjian dengan melihat kebutuhan dan keinginan yang berkembang dalam masyarakat sebagai konsumennya. Berdasarkan Pasal 18 ayat 1 huruf g Undang-undang Nomor 8 tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen diberlakukan terhitung mulai tanggal 20 April 2000, klausula yang menyatakan pelanggan tunduk pada ketentuan baru dan perubahannya yang ditetapkan dikemudian hari, adalah batal demi hukum. Menurut Natasya Yunita Sugiastuti, berdasarkan persyaratan sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian yang memuat klausula bahwa konsumen tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ada dikemudian hari adalah tidak sah dan karenanya tidak mengikat, karena tidak memenuhi syarat adanya ”suatu hal tertentu”. Klausula tersebut bertentangan dengan kepatutan, karena kepatutan menghendaki bahwa pihak hanya terikat pada syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan 116 J. Satrio, Op Cit, hal. 38-39. Universitas Sumatera Utara yang sebelumnya telah diketahui dan dipahami. Ditambahkan bahwa tidak mungkin bagi suatu pihak untuk memahami dan mengetahui syarat-syarat atau ketentuan- ketentuan yang belum ada. 117 Kontrak Berlangganan Sambuangan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi”, sebagai perjanjian baku, mengiakat para pihak selama menjadi pelanggan PT. Telkom, dan selama ia tidak mengajukan permohonan pembatalan kontrak. Kontrak tersebut berlangsung secara terus menerus, dapat melewati rentang waktu yang relatif lama. Sementara itu, perkembangan pengetahuan dan teknologi berlangsung dengan pesat, sehingga mempengaruhi pengelolaan perusahaan. Kondisi ini mendorong perusahaan dari waktu ke waktu memerlukan penyempurnaan ketentuan-ketentuan tentang pelayanan jasa telekomunikasi. Secara citra, PT. Telkom ternyata memang sangat terkenal. Dipandang mapan dan memiliki pengalaman yang mumpuni. Namun keterkenalan itu masih harus disempurnakan dengan citra yang positif pula dibidang pelayanan pelanggan. 118 Upaya PT. Telkom untuk menjawab lingkungan bisnis yang semakin kompleks serta tuntutan pelanggan yang semakin canggih, melalui peleburan sistem, berbagai sistem yang ada di PT. Telkom akan dileburkan menjadi satu sistem yang terintegrasi. Harapannya PT. Telkom bisa semakin proaktif serta memberikan 117 Natasy Yunita Sugiastuti, Asas Kebebasan Berkontrak dam Perjanjian Kredit Bank, Majalah Hukum Trisakti Nomor, 18, April 1995, hal. 24. 118 Patriot 135, Media Keluarga Besar Telkom, Edisi 23desember2009, hal. 4. Universitas Sumatera Utara kepastian dan kehandalan dalam beragai layanan yang disediakan TELKOM Group. 119 Jadi PT. Telkom untuk setiap kali perubahan ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban pelanggannya, tidak melakukan negoisasi kembali, namun memberitahukannya pada pelanggan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa dengan adanya inisiatif PT. Telkom untuk selalu memperbaharui materi perjanjian yang dibuatnya dengan maksud untuk menyesuaikan kepentingan konsumen, serta adanya klausula eksonerasi yang masih dalam batasan yang wajar menunjukkan bahwa PT. Telkom dalam membuat perjanjian baku bagi pelanggannya telah menunjukkan itikad baiknya. 119 Patriot 135, Media Keluarga Besar Telkom, Edisi 24januari2010, hal. 13. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PERTANGGUNG JAWABAN PELAKU USAHA JASA TELEKOMUNIKASI