Tinjauan Yuridis Atas Hak-Hak Konsumen Dalam Klausul Baku Perjanjian Berlangganan Jasa Telekomunikasi Seluler Pasca Bayar

(1)

TINJAUAN YURIDIS ATAS HAK-HAK KONSUMEN DALAM

KLAUSUL BAKU PERJANJIAN BERLANGGANAN JASA

TELEKOMUNIKASI SELULER PASCA BAYAR

T E S I S

Oleh

K A M A L

087011060/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS ATAS HAK-HAK KONSUMEN DALAM

KLAUSUL BAKU PERJANJIAN BERLANGGANAN JASA

TELEKOMUNIKASI SELULER PASCA BAYAR

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

K A M A L

087011060/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS ATAS HAK-HAK KONSUMEN DALAM KLAUSUL BAKU PERJANJIAN BERLANGGANAN JASA

TELEKOMUNIKASI SELULER PASCA BAYAR

Nama Mahasiswa : KAMAL Nomor Pokok : 087011060 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN. Ketua

Prof.Dr. Suhaidi, SH,MH. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S.

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum


(4)

Telah diuji pada :

Tanggal 30 September 2010

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN. Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H.

2. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS.

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum 4. Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H.


(5)

ABSTRAK

Perjanjian Berlangganan Jasa Telepon Seluler Pasca Bayar merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) ditentukan bahwa Para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian. Namun, dalam perjanjian yang dibuat antara konsumen dan penyedia jasa telekomunikasi seluler tetap saja terdapat klausul baku yang merupakan pelanggaran dari ketentuan UUPK, yang dimanfaatkan oleh penyedia jasa untuk mengalihkan tanggung jawab dalam perjanjian.

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu dengan menggambarkan tentang klausul baku dalam Perjanjian Berlangganan Jasa Telepon Seluler Pasca Bayar yang dikaitkan dengan perlindungan hak-hak konsumen menurut UUPK dan dilakukan pendekatan pendekatan yuridis normatif .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen terhadap klausul baku yang dimuat dalam perjanjian berlangganan jasa telepon seluler pada dasarnya telah diatur melalui pengaturan tentang kewajiban pelaku usaha, hak dan kewajiban pelanggan, dan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, serta pengawasan pemerintah terhadap pelaku usaha. Namun, kenyataannya klausul baku yang terdapat praktik penyusunan perjanjian berlangganan jasa telepon seluler walaupun dianggap merugikan dan bertentangan dengan ketentuan UUPK, namun tetap saja diberlakukan. Pertanggungjawaban pelaku usaha jasa telekomunikasi seluler terhadap hak-hak konsumen dengan adanya klausul baku dalam perjanjian. Penyelenggara jasa telekomunikasi seluler seharusnya bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kelalaian dan kesalahannya yang menimbulkan kerugian kepada pelanggan kecuali dapat membuktikan sebaliknya. Namun demikian, dalam prakteknya akibat adanya klausul baku yang memuat berbagai pengecualian pelaku usaha dengan mudah mengelah dari tanggung jawabnya. Usaha yang ditempuh konsumen terhadap tindakan sepihak pelaku usaha dengan adanya klausul baku dalam perjanjian hanyalah dengan mengajukan komplain kepada Telkomsel dan Indosat sebagai penyedia jasa layanan guna memperoleh haknya sebagai konsumen pengguna jasa layanan sedangkan penyelesaian dengan menggunakan jalan melalui pengadilan sampai saat ini tidak pernah dilakukan baik secara perorangan maupun berkelompok.

Disarankan kepada pengguna jasa agar mempelajari dahulu isi perjanjian yang dibuat agar tidak dirugikan nantinya dan dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian Kepada para pihak agar dapat menempuh jalur penyelesaian yang terbaik guna menghindari biaya yang harus dikeluarkan dan waktu yang harus dikorbankan. Kepada pemerintah agar dapat mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan klausul baku perjanjian yang dalam pelaksanaannya cenderung merugikan konsumen. Oleh karena itu, di masa yang akan datang perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan secara khusus terhadap konsumen jasa telepon seluler pasca bayar.

Kata Kunci


(6)

ABSTRACT

The Agreement of subscribing the postpaid cellular telecommunication service in an agrrement made based on the freedom of making contract as regulated in article 1338 in connection whith Article 1320 of the Indonesian Civil Codes. Article 18 (1) of Law No. 8/1999 on Consumer Protection states than ini offering the goods and/or service to sell, the business practitioner is not allowed to make or include the established clause in each document and/or agreement. But, there is still an established clause included in the agreement made between the consumer and the cellular telecommunication service provider, and this is used by the service provider to transfer the responsibility in the agreement.

This descriptive study describes the established clause in the agreement of subscribing the postpaid cellular telecommunication service which is related to the protection of consumer’s rights according to Law on Consumer Protection through normative juridical approach.

The result of this study showed that legal protection on consumer’s rights against the established clause included in the agreement of subscribing the cellular telecommunication service is basically regulated trough the regulation on the responsibility of business practitioners, right and responsibility of consumers, and the don’t’s for business practitioners, and controlling the business practitioners done by the government. But, in fact, the established clause is found and practiced in the making of agreement of subscribing the cellular telecommunication service although it is regarded as inflicting loss and being against the stipulations of Law on Consumer Protection. The responsibility of cellular telecommunication service business practitioners on consumer’s rights is not revealed with the existence of the established clause to avoid from responsibility. The cellular telecommunication providers should be responsible to pay compensations for the carelessness and mistakes wich inflicted loss to the consumers except the service providers can prove that it is not their fault. But, in practice, the service providers use the established clause to avoid from their responsibility. The attempt done by the consumers to counter the action of the service providers based on the established clause in the agreement was only to complain Telkomsel and Indosat as service provider to obtain their rights as the consumers of the service provided by these two companies. Thes consumers either in individual or group, up to now, never solve the problem through acourt of law.

The consumers are suggested to learn the contents of the agreement made well in order not to get inflicted loss in the future and can do their responsibility as written in the agreement. Al of the parties involved are suggested to take the best solution to avoid the big cost and much time spent, The government is suggested to control the inclusion of the established clause in an agreement because, in practice, it tends to inflict lossto the consumers. Therefore, in the future, it is a need to make a new law related to specific protection for the postpaid cellular telephone service consumers.

Key Word :


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah beserta puji dan syukur dipanjatkan kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan berkat rahmat dan karunia-Nya penulisan tesis berjudul “TINJAUAN YURIDIS ATAS HAK-HAK KONSUMEN DALAM KLAUSUL BAKU PERJANJIAN BERLANGGANAN JASA TELEKOMUNIKASI SELULER PASCA BAYAR”. Salawat beserta salam tak lupa pula disampaikan keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia ke alam yang berilmu pengetahuan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan

amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., MS, CN., Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. dan Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S..H, M.S., selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Demikian pula ucapan terima kasih kepada Dosen Penguji Ujian Tesis Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H., CN, M.Hum., dan Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H. yang telah memberikan masukan yang berharga terhadap kesempurnaan tesis ini.


(8)

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. DR. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H., CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta


(9)

ilmu yang sangat bermanfaat kepada Penulis selama mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.

7. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, khususnya Angkatan Tahun 2008 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Sembah sujud ananda kepada Ayahanda Harun Ahmad (Alm) dan Ibunda Wardah Ismail (Alm) yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tiada putus-putusnya sampai ajal menjemput dan sampai saat ini tidak penulis ketahui pusaranya beserta saudaraku sekalian. 9. Motivator terbesar dalam menjalani sisa hidup Penulis, yaitu Isteriku Tercinta

Baruna Dewi dan Ketiga Anakku Tersayang Meutia Khumaira Al Kamal, M. Syawal Al Kamal, dan M. Khalil Gibran Al Kamal yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya sampai selesainya pendidikan penulis pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.


(10)

Penyusunan tesis ini telah diupayakan semaksimal mungkin, namun kenyataannya masih ditemukan kekurangan yang disebabkan karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan tesis ini. Akhirnya kepada Allah SWT dimohonkan taufiq dan hidayah-Nya semoga tesis ini dapat memberi manfaat bagi pembaca dan penulis.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Medan, Agustus 2010 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : KAMAL

Tempat Tanggal Lahir : Banda Aceh, 04 Juni 1973 Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Kawin/Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jalan Rama Setia Gampong Deah Baro

Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh Jalan Karya Kasih Gang Kasih VII Pangkalan Manshur – Medan Johor II. Identitas Keluarga

Nama Isteri : BARUNA DEWI

Nama Anak : Meutia Khumaira Al Kamal M. Syawal Al Kamal M. Khalil Gibran Al Kamal Nama Orang Tua

Nama Ayah : HARUN AHMAD (Alm)

Nama Ibu : WARDAH ISMAIL (Alm)

III. Riwayat Pendidikan

1. Taman Kanak-kanak : TK Bustanul Atfal Banda Aceh, 1980

2. Sekolah Dasar : Sekolah Dasar Negeri 10 Banda Aceh, 1986 3. SMP : SMP Negeri 1 Banda Aceh, 1989

4. SMA : SMA Negeri 1 Banda Aceh, 1992

5. S-1 : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, 1997 6. S-2 : Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2008 – 2010)


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK …….……….……… i

ABSTRACT ………..…… ii

KATA PENGANTAR …... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………. xii

DAFTAR ISI …... vii

DAFTAR TABEL ……… ix

DAFTAR SINGKATAN ……… x

DAFTAR ISTILAH ………. xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan …... 1

B. Rumusan Masalah …... 12

C. Tujuan Penelitian …... 12

D. Manfaat Penelitian …... 13

E. Keaslian Penelitian …... 14

F. Kerangka Teori dan Konsep …... 15

G. Metodelogi Penelitian ... 31

1. Sifat dan Jenis Penelitian …... 31

2. Teknik Pengumpulan Data …... 32

3. Sumber Data ..…... 33


(13)

5. Analisis Data …... 34 BAB II. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK

KONSUMEN TERHADAP KLAUSUL BAKU YANG DIMUAT DALAM PERJANJIAN BERLANGGANAN JASA TELEPON SELULER PASCA BAYAR

A.Perlindungan Konsumen dan Pengaturannya …..…… 36 B.Klausul Baku dalam Perjanjian ………….………….. 46 C.Klausul Baku Dalam Perjanjian Berlangganan

Jasa Telepon Seluler …..……….. 62

D.Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

Terhadap Klausul Baku Dalam Perjanjian Perjanjian

Jasa Telepon Seluler Pasca Bayar ……..……… 75 BAB III. PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA JASA

TELEKOMUNIKASI SELULER TERHADAP HAK-HAK KONSUMEN DENGAN ADANYA KLAUSUL BAKU

A.Pelaku Usaha dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha .. 82 B.Hak-Hak Konsumen dalam Perjanjian Jasa

Telekomunikasi Seluler Pasca Bayar ….……… 93 C.Pertangungjawaban Pelaku Usaha Jasa Teleko-

Munikasi Terhadap Hak-hak Konsumen dengan

Adanya Klausul Baku ………. 101 .

BAB IV. USAHA YANG DITEMPUH KONSUMEN TERHADAP TINDAKAN SEPIHAK PELAKU USAHA DENGAN ADANYA KLAUSUL BAKU DALAM PERJANJIAN


(14)

A.Hak Konsumen Meminta Pertanggung Jawaban

Pelaku Usaha dalam Memperoleh Haknya ………….. 106 B. Lembaga yang Berwenang dalam Perlindungan

Konsumen ….……… 117

C.Tata Cara Perlindungan dan Penyelesaian Sengketa

Konsumen Melalui BPSK………. 128

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan ….……… 134

B.Saran ……… 136

DAFTAR PUSTAKA ... 137 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman TABEL. JUMLAH KOMPLAIN YANG DIAJUKAN OLEH

PELANGGAN PADA OPERATOR JASA LAYANAN


(16)

DAFTAR SINGKATAN

AB : Algemene Bepalingen

ATM : Automatic Teller Manchine

BANI : Badan Arbitrase Nasional Indonesia BASANAS : Badan Arbitrase Syariat Nasional

BPKN : Badan Perlindungan Konsumen Nasional BPSK : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

BW : Burgerlijk Wetboek

CS : Customer Service

GSM : Global System for Mobile Communication

HIR : Herziene Inland Reglement

KADIN : Keputusan Kamar Dagang dan Industri KUH Perdata : Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUHD : Kitab Undang-undang Hukum Dagang MMS : Multimedia Messaging Service

NBW : Nederlands Burgerlijk Wetboek

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa Rbg : Rechtsreghment buiten gewesteren

SLA : Service Level Agreement

UUD 1945 : Undang-undang Dasar 1945

UUPK : Undang-undang Perlindungan Konsumen

WAP : Wireless Application Protocol

YLKI : Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLPK : Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen


(17)

DAFTAR ISTILAH

Aktivasi : Tindakan mengaktifkan Kartu Sim Card untuk menggunakan jasa telekomunikasi seluler

Handphone (Hp) : Telepon genggam

Jasa telekomunikasi

seluler : adalah jasa jasa telekomunikasi yang disediakan oleh pihak operator atau pelaku usaha yang dapat digunakan konsumen untuk melakukan atau menerima panggilan melalui telepon genggam (handphone).

Pra Bayar : Membayar dahulu dengan membeli Voucher baru pengguna Jasa dapat mempergunakan telekomunikasi seluler

Pasca Bayar : Membayar setelah pengguna jasa menggunakan jasa Telekomunikasi seluler

Kartu Sim Card : Kartu Chip micro prosesor yang digunakan pada peralatan telekomunikasi (handphone) oleh pengguna jasa untuk menikmati jasa telekomunikasi seluler pasca bayar

Standard contract : Perjanjian yang telah dibakukan atau ditentukan dan telah Dituangkan dalam bentuk formulir

Klausul baku : Klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah pada klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi : Klausula yang mengandung upaya untuk membatasi, atau

bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada salah satu pihak yang dalam hal ini pelaku usaha.

Indosat : Perusahaan Penyedia telekomunikasi seluler pasca bayar berupa kartu Matrix

Telkomsel : Perusahaan penyedia jasa telekomunikasi seluler pasca bayar berupa kartu Hallo

Pelanggan : Individu atau badan hukum pengguna jasa telekomunikasi seluler pasca bayar


(18)

ABSTRAK

Perjanjian Berlangganan Jasa Telepon Seluler Pasca Bayar merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) ditentukan bahwa Para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian. Namun, dalam perjanjian yang dibuat antara konsumen dan penyedia jasa telekomunikasi seluler tetap saja terdapat klausul baku yang merupakan pelanggaran dari ketentuan UUPK, yang dimanfaatkan oleh penyedia jasa untuk mengalihkan tanggung jawab dalam perjanjian.

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu dengan menggambarkan tentang klausul baku dalam Perjanjian Berlangganan Jasa Telepon Seluler Pasca Bayar yang dikaitkan dengan perlindungan hak-hak konsumen menurut UUPK dan dilakukan pendekatan pendekatan yuridis normatif .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen terhadap klausul baku yang dimuat dalam perjanjian berlangganan jasa telepon seluler pada dasarnya telah diatur melalui pengaturan tentang kewajiban pelaku usaha, hak dan kewajiban pelanggan, dan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, serta pengawasan pemerintah terhadap pelaku usaha. Namun, kenyataannya klausul baku yang terdapat praktik penyusunan perjanjian berlangganan jasa telepon seluler walaupun dianggap merugikan dan bertentangan dengan ketentuan UUPK, namun tetap saja diberlakukan. Pertanggungjawaban pelaku usaha jasa telekomunikasi seluler terhadap hak-hak konsumen dengan adanya klausul baku dalam perjanjian. Penyelenggara jasa telekomunikasi seluler seharusnya bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kelalaian dan kesalahannya yang menimbulkan kerugian kepada pelanggan kecuali dapat membuktikan sebaliknya. Namun demikian, dalam prakteknya akibat adanya klausul baku yang memuat berbagai pengecualian pelaku usaha dengan mudah mengelah dari tanggung jawabnya. Usaha yang ditempuh konsumen terhadap tindakan sepihak pelaku usaha dengan adanya klausul baku dalam perjanjian hanyalah dengan mengajukan komplain kepada Telkomsel dan Indosat sebagai penyedia jasa layanan guna memperoleh haknya sebagai konsumen pengguna jasa layanan sedangkan penyelesaian dengan menggunakan jalan melalui pengadilan sampai saat ini tidak pernah dilakukan baik secara perorangan maupun berkelompok.

Disarankan kepada pengguna jasa agar mempelajari dahulu isi perjanjian yang dibuat agar tidak dirugikan nantinya dan dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian Kepada para pihak agar dapat menempuh jalur penyelesaian yang terbaik guna menghindari biaya yang harus dikeluarkan dan waktu yang harus dikorbankan. Kepada pemerintah agar dapat mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan klausul baku perjanjian yang dalam pelaksanaannya cenderung merugikan konsumen. Oleh karena itu, di masa yang akan datang perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan secara khusus terhadap konsumen jasa telepon seluler pasca bayar.

Kata Kunci


(19)

ABSTRACT

The Agreement of subscribing the postpaid cellular telecommunication service in an agrrement made based on the freedom of making contract as regulated in article 1338 in connection whith Article 1320 of the Indonesian Civil Codes. Article 18 (1) of Law No. 8/1999 on Consumer Protection states than ini offering the goods and/or service to sell, the business practitioner is not allowed to make or include the established clause in each document and/or agreement. But, there is still an established clause included in the agreement made between the consumer and the cellular telecommunication service provider, and this is used by the service provider to transfer the responsibility in the agreement.

This descriptive study describes the established clause in the agreement of subscribing the postpaid cellular telecommunication service which is related to the protection of consumer’s rights according to Law on Consumer Protection through normative juridical approach.

The result of this study showed that legal protection on consumer’s rights against the established clause included in the agreement of subscribing the cellular telecommunication service is basically regulated trough the regulation on the responsibility of business practitioners, right and responsibility of consumers, and the don’t’s for business practitioners, and controlling the business practitioners done by the government. But, in fact, the established clause is found and practiced in the making of agreement of subscribing the cellular telecommunication service although it is regarded as inflicting loss and being against the stipulations of Law on Consumer Protection. The responsibility of cellular telecommunication service business practitioners on consumer’s rights is not revealed with the existence of the established clause to avoid from responsibility. The cellular telecommunication providers should be responsible to pay compensations for the carelessness and mistakes wich inflicted loss to the consumers except the service providers can prove that it is not their fault. But, in practice, the service providers use the established clause to avoid from their responsibility. The attempt done by the consumers to counter the action of the service providers based on the established clause in the agreement was only to complain Telkomsel and Indosat as service provider to obtain their rights as the consumers of the service provided by these two companies. Thes consumers either in individual or group, up to now, never solve the problem through acourt of law.

The consumers are suggested to learn the contents of the agreement made well in order not to get inflicted loss in the future and can do their responsibility as written in the agreement. Al of the parties involved are suggested to take the best solution to avoid the big cost and much time spent, The government is suggested to control the inclusion of the established clause in an agreement because, in practice, it tends to inflict lossto the consumers. Therefore, in the future, it is a need to make a new law related to specific protection for the postpaid cellular telephone service consumers.

Key Word :


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan sarana telekomunikasi dewasa ini semakin pesat sehingga manusia dalam berkomunikasi dihadapkan pada berbagai pilihan yang seakan tanpa batas. Dalam berkomunikasi manusia beberapa dekade sebelum tahun 90-an hanya mengenal telepon kabel dalam berkomunikasi. Kemudian di era milenium sekarang ini juga dikenal adanya berbagai jenis telepon genggam yang dapat menjadi sarana telekomunikasi yang dapat dibawa kemana saja. Telepon genggam atau yang lebih populer disebut dengan istilah handphone,1 merupakan salah satu dari sekian banyak jenis produk elektronika yang menjadi primadona sebagai sarana telekomunikasi di Indonesia.

Dengan dikenalnya telepon genggam atau handphone sebagai salah satu sarana telekomunikasi ini selanjutnya bermunculan operator jasa telekomunikasi yang dapat menjadi pilihan masyarakat pengguna jasa operator seluler telepon genggam atau handphone.

Dengan kemajuan dunia perdagangan dan perkembangan ilmu dan teknologi tersebut kemudian dalam praktek dikenal pula berbagai macam

1

Kata handphone (Hp),dalam tulisan ini merupakan kata yang sama artinya dengan telepon genggam, mobile phone, telepon selluler (ponsel), telepon bergerak, yang memiliki makna sebuah produk yang berfungsi sebagai alat komunikasi (telepon) tanpa kabel (wireless) yang dapat dibawa kemana saja oleh penggunanya. Kata handphone atau disingkat Hp, lebih familiar dan lebih sering digunakan oleh masyarakat internasional pada umumnya untuk menyebutkan produk tersebut di atas, sehingga penulis menggunakan kata handphone dalam tulisan ini.


(21)

perjanjian, salah satu diantaranya adalah perjanjian jasa telepon seluler atau perjanjian berlangganan jasa telekomunikasi seluler. Kondisi ini didukung dengan globalisasi dan perdagangan bebas serta kemajuan teknologi telekomunikasi yang dapat memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa.

Dengan demikian, di satu pihak kondisi bermanfaat bagi konsumen karena kebutuhan terpenuhi dan adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Akan tetapi disisi lain, dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah, yang menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui berbagai promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen.

Perjanjian yang dimaksud disini adalah merupakan bagian dari hukum perikatan, bahkan sebagian ahli hukum menempatkan kontrak sebagai bagian tersendiri dari hukum perjanjian karena perjanjian sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Pembagian antara hukum kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam KUH Perdata, karena hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang-undang.2

2

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, halaman. 1


(22)

Ahmadi Miru mengatakan bahwa :

Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua yaitu, perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum.3 Salim H.S. mengatakan bahwa pada prinsipnya kontrak dari aspek namanya dapat digolongkan dalam 2 macam, yaitu :

(1) Kontrak Nominaat, merupakan kontrak atau perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata seperti, jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam, pinjam pakai, persekutuan perdata, hibah, penanggungan hutang, perjanjian untung-untungan, dan perdamaian. (2) Kontrak Innominaat, merupakan perjanjian di luar KUH Perdata yang

tumbuh dan berkembang dalam praktik atau akibat adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1), seperti kontrak product sharing, kontrak karya, kontrak konstruksi, sewa beli, leasing, dan lain sebagainya.4

Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seseorang berjanji kepada orang lain, kontrak tersebut merupakan kontrak yang biasa diistilahkan dengan kontrak sepihak di mana hanya seorang saja yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang menerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan (kontra prestasi) atas sesuatu yang diterimanya.

3Ibid

, halaman 2

4

Salim HS., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, halaman 1.


(23)

Di dalam kontrak pada umumnya janji-janji para pihak itu saling “berlawanan”, misalnya dalam perjanjian jual beli, tentu saja satu pihak menginginkan barang, sedangkan pihak lain menginginkan uang karena tidak mungkin terjadi jual beli kalau kedua belah pihak menginginkan hal yang sama.

Dengan demikian kontrak merupakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat dinikmati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari kegiatan yang tidak konkret, tetapi abstrak atau tidak dapat dinikmati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya kontrak tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan.

Pada dasarnya kontrak atau perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun, adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak.

Mengenai hal ini Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani yang dikutip Shidarta mengemukakan bahwa :


(24)

Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa “keuntungan” kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang “lebih dominan” dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Take it or leave it. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang kurang dominan tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut, atau atas klausula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada.5

Salim HS mengatakan bahwa “istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu “standard contract”. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah”.6

Munir Fuady mengartikan kontrak baku adalah :

Suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya, di mana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai

5

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, halaman 119.

6


(25)

kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or leave it”. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak tersebut. Karena itu pula, untuk membatalkan suatu kontrak baku, sebab kontrak bakuan adalah netral.7

Hondius sebagaimana dikutip Salim mengatakan mengemukakan bahwa syarat-syarat baku adalah “syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya lebih dahulu”.8

Inti dari perjanjian baku menurut Hondius tersebut adalah bahwa isi perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa standard contract merupakan perjanjian yang telah dibakukan. Mariam Badrulzaman juga mengemukakan ciri-ciri perjanjian baku, yaitu :

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;

2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian;

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; 4. Bentuk tertentu (tertulis);

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.9

7

Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, halaman 76.

8

Salim. H.S., Op.Cit., halaman 147.

9


(26)

Sutan Remi Sjahdeni mengemukakan bahwa :

Perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian baku”.10

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa hakikat perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah distandarisasi isinya oleh pihak yang ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isinya perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak, perjanjian itu dianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani perjanjian tersebut.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa unsur-unsur dalam suatu kontrak baku, yaitu (1) diatur oleh kreditor atau ekonomi kuat; (2) dalam bentuk sebuah formulir; dan (3) adanya klausul-klausul eksonerasi/ pengecualian.

Perbuatan hukum yang mengikat antara konsumen dengan produsen dalam perjanjian jasa telekomunikasi seluler ini diawali dengan adanya perjanjian yang

10

Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia (IBI), Jakarta, 1993,


(27)

dasar hukumnya terdapat dalam Buku III KUHPerdata. Dalam membuat perjanjian terhadap suatu asas yang disebut dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditetapkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi empat syarat yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya; 2. Kecakapan untuk memuat suatu perikatan; 3. Suatu hak tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Para pihak bebas menentukan objek perjanjian, sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus diaksanakan dengan itikad baik. Sedangkan wujud dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234 KUHPerdata dapat berupa pemberian sesuatu, berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Namun demikian, dalam perjanjian berlangganan jasa telekomunikasi selular walaupun sudah diatur hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pihak. Namun dalam praktek pada perusahaan atau produsen khususnya yang bergerak di bidang seperti perusahaan jasa telepon selular dalam melakukan perjanjian dengan konsumen jasa yang dilayaninya biasanya menyediakan blanko (formulir, model) perjanjian, yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu (standard


(28)

form). Formulir ini disodorkan kepada setiap konsumen yang menghendaki jasa yang ditawarkan. Isi perjanjiannya tidak diperbincang-kan dengan konsumen, kepada konsumen hanya dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat yang tersebut dalam formulir itu atau tidak, sedangkan konsumen kebanyakan tidak memahami sepenuhnya isi dari perjanjian yang ditandatangani tersebut.

Dengan demikian jelas bahwa perjanjian standar ini didasarkan atas “fiksi”, di mana pengguna jasa atau konsumen jasa dianggap menyetujuinya sungguhpun di dalam kenyataan ini tidak memahami benar isi perjanjian.

Hal ini tentunya bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UUPK, yaitu BAB V tentang Ketentuan Pencantuman Klausul Baku. Dalam ketentuan yang hanya memuat satu pasal tersebut secara prinsip mengatur dua macam larangan yang diberlakukan bagi pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Adapun secara rinci ketentuan Pasal 18 UUPK adalah :

Ayat (1)

Para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian di mana klausul baku tersebut akan mengakibatkan :

a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;


(29)

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Ayat (2)

Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

Berdasarkan penjelasan di atas, tampaklah bahwa dalam hal ini perlu adanya perlindungan hukum terhadap konsumen jasa selaku konsumen yang di dalam melakukan transaksi/kegiatan penggunaan jasa telepon seluler khususnya perjanjian berlangganan telepon seluler pasca bayar pasti tidak pernah luput dari yang namanya perjanjian standar dengan pihak pelaku usaha.

Hal ini juga terjadi di Kota Banda Aceh, yang dewasa ini juga telah dibanjiri berbagai jenis layanan telepon seluler yang berasal dari berbagai operator, seperti Telkomsel, Indosat, Mobile8 dan Bakrie Telecom dengan berbagai jenis produk seperti Hallo, Simpati, As (Telkomsel), IM3, Mentari, Star One (Indosat), Fren (Mobile8) dan Esia (Bakrie Telecom).


(30)

Hasil penelitian pada dua perwakilan layanan telepon seluler pasca bayar, yaitu Telkomsel dengan produknya Kartu Hallo dan Indosat dengan Produknya Kartu Matrix di Kota Banda Aceh diketahui, terdapat berbagai komplain dari masyarakat pengguna produk jasa layanan kedua operator tersebut. Adapun jenis komplain yang diajukan antara lain, akibat diterbitkannya surat peringatan pemutusan layanan karena tidak melakukan pembayaran padahal pembayaran telah dilakukan, mutu layanan yang tidak sesuai dengan janji yang diberikan dan juga berbagai komplain mengenai standar pelayanan lainnya. Namun demikian komplain yang diajukan pelanggan tersebut dengan mudah pihak operator mengelak dari tanggung jawabnya dengan adanya klausul baku yang termuat perjanjian yang disetujui pelanggan.

Hasil penelaahan perjanjian pada dua perwakilan layanan telepon seluler

diketahui bentuk klausul baku yang dimaksud pada kedua operator adalah (1) adanya ketentuan hak dan tanggung jawab para pihak, (2) pemutusan

perjanjian dan (3) akibat hukumnya dan pembatasan tanggung jawab penyelenggara layanan. Sedangkan alasan pelanggan mengajukan komplain adalah (1) pemutusan layanan secara sepihak, (2) gangguan jaringan dan (3) tingginya biaya pemakaian.

Dengan adanya klausul baku dimaksud terhadap pelaku usaha dalam hal ini dapat dengan mudah menolak komplain yang diajukan oleh pelanggan


(31)

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut tentang perlindungan hak-hak konsumen dengan adanya klausul baku dalam perjanjian berlangganan jasa telekomunikasi seluler pasca bayar. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul

“TINJAUAN YURIDIS ATAS HAK-HAK KONSUMEN DALAM

KLAUSUL BAKU PERJANJIAN BERLANGGANAN JASA

TELEKOMUNIKASI SELULER PASCA BAYAR”

B. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang dibahas secara lebih mendalam adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen dalam klausul baku perjanjian berlangganan jasa telepon seluler pasca bayar ?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku usaha jasa telekomunikasi seluler pasca bayar terhadap hak-hak konsumen dengan adanya klausul baku ?

3. Apakah usaha yang ditempuh konsumen terhadap tindakan sepihak pelaku usaha dengan adanya klausul baku dalam perjanjian ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :


(32)

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen dalam klausul baku perjanjian berlangganan jasa telepon seluler pasca bayar.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pelaku usaha jasa telekomunikasi seluler pasca bayar terhadap hak-hak konsumen dengan adanya klausul baku tersebut.

3. Untuk mengetahui usaha yang ditempuh konsumen terhadap tindakan sepihak pelaku usaha dengan adanya klausul baku dalam perjanjian.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perlindungan konsumen pada khususnya, terutama mengenai masalah hak-hak konsumen pengguna jasa dengan adanya klausul baku dalam perjanjian telekomunikasi seluler.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat konsumen, khususnya kepada pengguna jasa berlanggganan tekomunikasi seluler pasca bayar, agar lebih mengetahui tentang hak dan kewajibannya


(33)

dengan adanya klausul baku dalam perjanjian yang disepakatinya, sekaligus pula memberi masukan kepada aparat hukum terkait akan arti pentingnya perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa mengingat perkembangan dunia telekomunikasi dewasa ini yang cenderung terus meningkat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan ditemukan beberapa hasil penelitian yang menyangkut dengan telekomunikasi seluler dan klausula baku yang dikaitkan dengan perlindungan konsumen, antara lain :

(1) Tesis berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Handphone Bergaransi Yang Mengalami Cacat Produk Pasca Transaksi”, Oleh Edwin Syah Putra, Nim 067011028/Mkn,

(2) Tesis berjudul “Suatu Kajian tentang Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Kredit Bank di Kota Kisaran (Kajian dari Profesi Notaris)”, oleh Timbang Laut, Nim 002111042/MKn,

(3) Tesis berjudul “Klausula Baku Dalam Perjanjian Beli Sewa Sesuai Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi


(34)

Kasus Penyelesaian Sengketa Konsumen di BPSK Kota Medan”, Oleh Rosniyani, Nim 067011074/MKn.

Namun demikian dari ketiganya tidak ada yang membahas permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Oleh karena itu, sejauh yang diketahui, penelitian tentang “Tinjauan Yuridis Atas Hak-Hak Konsumen Dalam Klausul Baku Perjanjian Berlangganan Jasa Telekomunikasi Seluler Pasca Bayar”, belum pernah dilakukan sehingga penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagamana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.11 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan

11


(35)

menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.12

Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo “teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka fikir (frame of thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul didalam bidang tersebut“.13

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.14 Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perlindungan konsumen, klausul baku dan hukum perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.15

Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah perubahan masyarakat harus diikuti dengan perubahan hukum.16 Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan masyarakat di bidang hukum

12

J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996, halaman 203.

13

Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, halaman 12.

14

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, halaman 35

15

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung 1994, halaman 80.

16


(36)

perlindungan konsumen harus berjalan dengan teratur dan diikuti dengan pembentukan norma-norma sehingga dapat berlangsung secara harmonis.17

Teori perlindungan konsumen yang menjadi pedoman dalam penulisan ini adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.18 Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum adalah benteng untuk menghalangi kesewenang-wenangan yang akan mengakibatkan ketidak pastian hukum.

Oleh karena itu agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, baik dalam bidang hukum privat (Perdata), maupun hukum publik (Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara).19

Selanjutnya asas-asas hukum perlindungan konsumen harus bersumber dari Pancasila, sebagai asas idiil (filosofis), UUD 1945 sebagai asas konstitusional (struktural), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai asas konsepsional (politis) dan undang-undang sebagai asas operasional (teknis). Dalam hal ini Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas mana

17

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2006, halaman 18.

18Ibid

.

19

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, halaman 1-2


(37)

dibangun tertib hukum. Asas-asas tersebut mempunyai tingkat-tingkat dilihat dari gradasi sifatnya yang abstrak,.20

Dalam Pancasila, Hukum perlindungan konsumen memperoleh landasan idiil (filosifis) hukumnya pada sila kelima yaitu : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, di dalamnya terkandung suatu “Hak” seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama (equality) di depan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum dalam pengertian subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum. Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum, maka pemilik hak memiliki kekuatan untuk mempertahankan haknya dari gangguan/ancaman dari pihak manapun juga.21

Apabila pihak lain melanggar hak tersebut, maka akan menimbulkan gugatan hukum dari sipemilik hak, yang diajukan ke hadapan aparat penegak hukum.22 Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh keadilan, yang dalam konteks hukum perlindungan konsumen terbagi menjadi dua kelompok yakni keadilan sebagai pelaku usaha di satu sisi dan keadilan sebagai konsumen di sisi lain.

Bagi konsumen sebagai pribadi, penggunaan produk dan/atau jasa itu, adalah untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya

20

Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, halaman 18-19.

21

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Terjemahan Raisul Muttaqien, Nusamedia & Nuansa Bandung, 2006, halaman 152.

22


(38)

(kepentingan non komersial), dimana penggunaan produk tersebut harus bermanfaat bagi kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga dan/atau rumah tangganya (tidak membahayakan atau merugikan), dan juga membantu mempermudah aktifitas kehidupan konsumen sehari-hari.

Perbedaan prisipil dari kepentingan-kepentingan dalam penggunaan produk/jasa dan pelaksanaan kegiatan antara pelaku usaha dan konsumen, dengan sendirinya memerlukan jenis pengaturan perlindungan dan dukungan yang berbeda pula.

Bagi kalangan pelaku usaha perlindungan itu adalah untuk kepentingan komersial mereka dalam menjalankan kegiatan usaha, seperti bagaimana mendapatkan bahan baku, bahan tambahan dan penolong, bagaimana memproduksinya, mengangkut dan memasarkannya, termasuk di dalamnya bagaimana menghadapi persaingan usaha. Harus ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha dan mekanisme persaingan usaha itu.

Persaingan haruslah berjalan secara wajar dan tidak terjadi kecurangan-kecurangan, sehingga mengakibatkan kalangan pelaku usaha tidak saja tidak meningkat pendapatannya, bahkan dapat mati usahanya.23 Sekalipun diakui bahwa persaingan merupakan suatu yang biasa dalam dunia usaha, tetapi persaingan antar kalangan pelaku usaha itu haruslah sehat dan terkendali.

23

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


(39)

Bagi konsumen kepentingan tidak komersial mereka yang harus diperhatikan adalah akibat-akibat kegiatan usaha dan persaingan di kalangan pelaku usaha terhadap keselamatan jiwa, tubuh atau kerugian harta benda mereka dalam keadaan bagaimanapun, dengan tetap harus menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan diantara keduanya.

Pendekatan sistem terhadap pemecahan masalah perlindungan konsumen akan lebih sempurna apabila ditambahkan unsur lain dari sistem hukum yaitu budaya hukum.24 Pada prinsipnya pengaturan perlindungan konsumen secara umum dalam hukum positif di Indonesia sebelum lahirnya UUPK, terbagi dalam tiga bidang hukum, yaitu bidang hukum perdata, pidana, dan administrasi negara. Perlindungan di bidang keperdataan diadakan bertitik tolak dari tarik-menarik kepentingan antar sesama anggota masyarakat.

Menurut teori kedaulatan konsumen (consumer sovereignty theory), kedudukan dan peran konsumenlah yang mengatur pasar. Dikatakan bahwa “the consumer’s role is the guide the economy to production of goods and services that he wants.”25 Teori ini percaya bahwa konsumen terlindungi kepentingannya yang didasarkan pada beberapa asumsi, yaitu :26

24

Satjipto Rahardjo, Op. cit, halaman 67, menerjemahkan legal culture, dengan istilah kultur hukum. Yang dimaksud dengan kultur hukum adalah ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai hukum

25

J.J. Amstrong Sembiring, Gerakan Konsumen Sebagai Pilihan, MH. UI http://www.blogster.com/Diakes Januari 2010.

26


(40)

Pertama, di pasar terdapat banyak pembeli dan penjual suatu produk. Hal ini dimaksudkan, tidak satu pun produsen yang menawarkan dan konsumen yang meminta produk dalam jumlah tertentu dapat mempengaruhi harga. Sebagai contoh, apabila ada seorang produsen atau sejumlah kecil produsen secara bersama-sama membatasi jumlah suatu jenis barang atau jasa yang beredar di pasar, produsen atau sekelompok produsen tersebut akan menaikkan harga produk sampai jumlah tertentu. Sebaliknya, apabila hanya ada satu atau sekelompok kecil konsumen, maka konsumen atau sekelompok tersebut dapat memanipulasi pasar.

Kedua, penjual dan pembeli bebas untuk masuk atau keluar dari pasar produk tertentu. Asumsi ini, bermakna bahwa tidak ada pembatasan atau larangan untuk mendirikan perusahaan baru dan menjual produknya dengan harga yang kompetitif.

Ketiga, suatu persaingan yang sehat terjadi apabila barang dan jasa yang tersedia sama dan dipasarkan pada harga yang sama.

Keempat, pihak penjual dan pembeli sama-sama mengetahui harga produk yang dijual. Teori ekonomi mengenai hubungan antara konsumen dan produsen berimplikasi pada teori hukum yang berkembang pada era dominasinya kebebasan individu dan liberalisme. Kekuatan konsumen kemudian melahirkan teori dalam kontrak, yaitu kebebasan berkontrak (freedom of contract) dan hubungan kontrak (privity of contract). Kedaulatan itu akan dapat dicapai bila konsumen telah berdaya.

Jika seorang merasa dirugikan oleh warga masyarakat lain, tentu ia menggugat pihak lain itu agar bertanggung jawab secara hukum atas perbuatannya. Dalam hal ini diantara mereka mungkin saja sudah terdapat hubungan hukum berupa perjanjian di lapangan hukum keperdataan, tetapi dapat pula sebaliknya sama sekali tidak ada hubungan hukum demikian.

Pasal 1233 KUH Perdata mengatakan, perikatan itu dapat muncul dari perjanjian atau karena undang-undang. Dua pengertian ini sangat mempengaruhi


(41)

perlindungan dan penyelesaian sengketa hukum yang melibatkan kepentingan konsumen di dalamnya.27

Jika seseorang sebagai konsumen mempunyai hubungan hukum berupa perjanjian dengan pihak lain, dan pihak lain itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama, maka konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan dalih melakukan wanprestasi (cidera/ingkar janji). Jika sebelumnya tidak ada perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata, yakni melalui ketentuan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Dalam konsepsi perbuatan melawan hukum, seseorang diberi kesempatan untuk menggugat, sepanjang dipenuhi tiga unsur, yaitu, adanya unsur kesalahan (dilakukan pihak lain/tergugat), ada kerugian (diderita si penggugat), dan ada hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian itu.28 Selain ditinjau dari bidang-bidang hukum yang mengatur perihal perlindungan konsumen dan dua macam kebijakan umum yang dapat ditempuh, juga terdapat prinsip-prinsip pengaturan di bidang perlindungan konsumen.

Penjelasan Pasal 2 UUPK juga menyebutkan lima prinsip pengaturan yang dikaitkan dengan asas-asas pembangunan nasional, yaitu :

1. Asas Manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

27

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987, halaman 1

28


(42)

2. Asas Keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas Keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan produk dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum, dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.29

Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK, demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara kesatuan Republik Indonesia yaitu Pancasila.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :30

1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,

2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hukum.

Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum”, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum.

29

Pasal 2 UUPK beserta penjelasannya

30


(43)

Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa: “every function of law, general or specific, is allocative”.31

Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak.

Pada perjanjian berlangganan jasa telekomunilasi seluler pasca bayar, antara pelaku usaha dan konsumen telah terjadi suatu perikatan yang lahir dari butir-butir perjanjian yang telah tertulis pada blangko perjanjian yang telah disediakan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam hal ini konsumen hanya menandatangani atau tidak sebagai bentuk persertujuan atas berbagai klausul yang termuat dalam perjanjian.

Dengan adanya perjanjian yang terdapat pada blangko perjanjian tersebut, mengikat pelaku usaha dan konsumen, bukan hanya pada saat transaksi

31

Peter Mahmud Marzuki, The Need for the Indonesian Economic Legal Framework, Dimuat dalam Jurnal Hukum Ekonomi, (Edisi IX, Agustus, 1997), halaman 28.


(44)

berlangsung tetapi juga pada pasca transaksi, sampai jangka waktu perjanjian berakhir atau dengan kata lain salah satu pihak memutuskan perjanjian.

Mengenai aspek perlindungan hukum bagi konsumen jasa berlangganan telepon seluler pasca bayar yang juga menggunakan perjanjian baku (standar) yang memuat klausul baku dapat ditinjau dari Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan (Kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, bertolak dari tujuan itu, Mariam darus Badruzzaman lalu mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.32

Dalam ilmu hukum dikenal dua macam subyek hukum yaitu subyek hukum pribadi (orang perorangan) dan subyek hukum berupa badan hukum. Terdapat masing-masing subyek hukum berlaku ketentuan hukum yang berbeda satu dengan yang lainnya, meskipun dalam hal tersebut keduanya dapat diterapkan suatu aturan yang berlaku umum. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang

(KUHD) tidak satupun pasal yang menyatakan bahwa perseroan adalah badan hukum, tetapi dalam Undang-undang Perseroan Terbatas dengan secara

tegas dinyatakan bahwa perseroan adalah badan hukum.33 Ini berarti perseroan

32

Mariam Darus Badruzzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (Standar), Bina Cipta, 1986, hal 58 dalam Sidarta, halaman 119.

33

Lihat Pasal 1, ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, Tentang Perseroan Terbatas.


(45)

tersebut memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung kewajiban dan hak, antara lain memiliki harta kekayaan sendiri terpisah dari harta kekayaan pendiri atau pengurus. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Berdasarkan keadaan di atas ada beberapa teori hukum yang dapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini. Teori kedaulatan Negara yang dikemukakan oleh Jean Boudin dan George Jellinek.34 Menurut teori Kedaulatan Negara, kekuasaan tertinggi ada pada Negara dan Negara mengatur kehidupan anggota masyarakat. Negara yang berdaulat melindungi anggota masyarakat. Dalam hal ini negara mengeluarkan peraturan-peraturan yang berfungsi sebagai panduan seluruh warga negara Indonesia dan warga negara asing yang memiliki kepentingan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan hukum dan ekonomi di Indonesia.

Pasal 1338 alinea 1 KUH Perdata, menentukan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan ini merupakan dasar hukum disahkannya perjanjian dalam bentuk apapun yang dibuat secara sah, sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Dengan demikian perjanjian yang telah menjelma menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya wajib dipatuhi oleh

34

Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance, Program Pascasarjana Fakultas hukum Universitas Indonesia Press, Jakarta 2002, halaman 11.


(46)

kedua belah pihak dengan itikad baik (Pacta Sunt Servanda). Pasal 1338 alinea pertama ini merupakan suatu tuntutan kepastian hukum.35

Tidak dipatuhinya perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut akan menimbulkan tuntutan/gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Kemungkinan campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini negara melalui hakim menjadi terbuka bila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Disini hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan perjanjian tersebut melanggar kepatutan atau keadilan. Pasal 1338 alinea 3 mengatakan : “ Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Kalau Pasal 1338 alinea pertama dipandang sebagai suatu tuntutan kepastian hukum, maka Pasal 1338 alinea ketiga sebagaimana tersebut di atas harus dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan bagi pihak yang dirugikan.36

Sejak masuknya paham negara kesejahteraan (welfare state), negara telah ikut campur dalam perekonomian rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang terwujud dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hubungan kontraktual/perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen. Pengaturan hal-hal tertentu yang berkaitan dengan masuknya paham negara modern melalui

welfare state, kita tidak menemukan lagi pengurusan kepentingan ekonomi oleh rakyat tanpa melibatkan pemerintah sebagai lembaga eksekutif di dalam suatu

35

Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung , 1981, halaman 67.

36


(47)

negara. Sesuai fungsi kehadiran negara, maka pemerintah sebagai lembaga eksekutif bertanggung jawab memajukan kesejahteraan rakyatnya yang diwujudkan dalam suatu pembangunan nasional. Campur tangan pemerintah di Indonesia sendiri dapat diketahui dari isi pembukaan dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi aturan pelaksanaannya, termasuk UUPK. Dalam Pasal 2 UUPK secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam rangka pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab pemerintah.

Memperhatikan uraian tentang asas-asas hukum perlindungan konsumen tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum perlindungan konsumen berada dalam lingkup kajian hukum ekonomi. Hukum ekonomi yang dimaksud, mengakomodasi dua aspek hukum sekaligus, yaitu aspek hukum publik dan aspek hukum privat (perdata), dalam hubungan ini, maka hukum ekonomi mengandung berbagai asas hukum yang bersumber dari kedua aspek hukum dimaksud di atas.

Di dalam asas hukum tersebut mengandung nilai-nilai untuk melindungi berbagai aspek kehidupan kemanusiaan di dalam kegiatan ekonomi. Asas-asas utama dari hukum ekonomi yang bersumber dari asas-asas hukum publik antara lain; asas keseimbangan kepentingan, asas pengawasan publik, dan asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi. Sedangkan asas-asas hukum yang bersumber dari hukum perdata dan/atau hukum dagang yaitu khusus mengenai


(48)

hubungan hukum para pihak di dalam suatu kegiatan atau perjanjian tertentu atau perbuatan hukum tertentu dimana harus menghormati “hak dan kepentingan pihak lain”.37

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan dilaksanakannya “perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:38

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian produk dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga timbul sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas produk dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi produk dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen”.

2. Konsepsi

Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang

37

Sri Redjeki Hartono, Menyongsong Sistem Hukum Ekonomi Yang Berwawasan Asas Keseimbangan, dalam Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Maju, Bandung 2000,

halaman .71-72

38


(49)

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,39 yang disebut dengan definisi operasional.

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau definisi operasional sebagai berikut :

1. Tinjauan yuridis adalah tinjauan yang dilakukan dan yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif.

2. Hak-hak konsumen adalah hak-hak pengguna jasa telekomunikasi telepon seluler pasca bayar yang dapat diperoleh konsumen dan dilindungi oleh hukum sesuai dengan ketentuan perlindungan konsumen.

3. Klausula Baku adalah ketentuan khusus yang dimuat dalam perjanjian yang isinya telah dirancang dan dipersiapkan oleh salah satu pihak dalam hal ini pihak penyedia jasa telepon seluler pasca bayar”.41

4. Jasa telekomunikasi seluler adalah jasa jasa telekomunikasi yang disediakan oleh pihak operator atau pelaku usaha yang dapat digunakan konsumen

39

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1998, halaman 3.

41


(50)

untuk melakukan atau menerima panggilan melalui telepon genggam (handphone).42

5. Telepon seluler “handphone” adalah salah satu sarana telekomunikasi yang mempergunakan jasa operator telekomunikasi.

6. Pasca Bayar adalah adalah pemakaian jasa telekomunikasi dengan sistem pembayaran diakhir periode pemakaian melalui lembar penagihan atas pemakaian pada periode sebelumnya.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan/ memaparkan sekaligus menganalisis tentang hak-hak konsumen atas penggunaan jasa berlangganan telekomunikasi seluler dilihat dari hukum positip secara umum dan UUPK, dan unsur-unsur keperdataan serta akibat hukum yang timbul apabila klausul baku yang dimuat dalam perjanjian merugikan konsumen.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang

42


(51)

berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif.

Selain itu, dalam penelitian ini juga dilakukan pendekatan yuridis sosiologis, dengan meneliti keberlakukan hukum itu dalam aspek kenyataan. Hal ini diperlukan dengan pertimbangan bahwa efektif tidaknya berlaku suatu aturan hukum sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti perubahan pemikiran masyarakat.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya.

Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan, yang dapat berupa wawancara langsung dengan konsumen pengguna


(52)

jasa telekomunikasi seluler pasca bayar dan pimpinan dan staf operator jasa telekomunikasi seluler pasca bayar, yang dalam penelitian ini dipilih sebagai informan dan narasumber.

3. Sumber Data

Sumber data yang berupa bahan hasil penelitian kepustakaan diperoleh dari :

(1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari ; a. Pancasila

b. Undang-undang Dasar 1945

c. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. d. Kontrak atau perjanjian berlangganan jasa telekomunikasi seluler yang

memuat klausul baku.

(2) Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

(3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku – Buku

Amstrong Sembiring, JJ, Gerakan Konsumen Sebagai Pilihan, MH. UI http://www.blogster.com/Diakes Januari 2010.

Aruman, The Democratization of Luxury, Majalah Marketing X-tra (MIX) Nomor 01.IV Bulan Januari - Pebruari 2008.

Badrulzaman, Mariam Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung Alumni, 1986.

---, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Kaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standart) dalam Media Notariat Nomor 28-29, Tahun VIII, Juli-Oktobert 1993.

Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988.

Brotosusilo, Agus, Hak Produsen dalam Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Majalah Hukum dan Pembangunan nomor 5, Tahun XXII, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Oktober, 1992.

Budiono, Herlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007.

Fuady, Munir, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

---, Hukum kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003

Gunawan, Johanes, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1999.

Harahap, M.Yahya, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. 1997.


(2)

Harianto, Dedi, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Periklanan yang Menyesatkan”, Disertasi, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2007. Hartono, Sri Redjeki, Menyongsong Sistem Hukum Ekonomi Yang Berwawasan Asas Keseimbangan, dalam Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Bandung, Mandar Maju, 2000.

Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Terjemahan. Muttaqien Raisul, Bandung, Nusamedia & Nuansa Bandung, 2006.

Lanazura, Dony, “Ketentuan Hukum (Baru) yang Diatur dalam UU Perlindungan Konsumen dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa,”

Makalah, disampaikan pada Program Pembekalan PPDN, diadakan Yayasan Patra Cendekia, Jakarta, 4 Nopember 2000.

Marzuki, Pieter Mahmud, The Need for the Indonesian Economic Legal Framework, Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, Agustus 1997.

Masril, M., Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen,USU, Reporsitory, Medan 2009

Micklitz, Hans, W, RUUPK Dimata Pakar Perlindungan Konsumen Jerman. Buletin Warta Konsumen, Tahun XXIV, Nomor 12, Desember 1998. Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2007.

---., & Yodo Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2007.

Moegni Djojodirdjo, M.A., Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta 1982

Moleong, J. Lexy., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1993.


(3)

Nasution, Az., Konsumen dan Hukum,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.

---, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2002.

Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU Nomor 8 Tahun 1999”, <www.pemantau peradilan.com>. Diakses pada 28 Agustus 2009. Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang

Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas,

Makalah Dalam Seminar Nasional, Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Sistem Hukum Internasional Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Bandung, Fakultas Hukum UNISBA, 9 Mei 1998. Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa, 1984.

---, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1986.

Rimawan, Hadi, Vendor Ponsel Perebutkan Pasar Indonesia, Tabloid Komputek, Edisi 488, September 2006.

Salim HS., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003

Saliman, Abdul R., dkk., Esensi Hukum Bisnis Indonesia (Teori dan Contoh Kasus), Prenada Media, Jakarta, 2004.

Saeifullah, H.E., Tanggung Jawab Produsen Terhadap Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Produk Pada Era Pasar Bebas, Makalah Dalam Seminar Nasional, Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Sistem Hukum Internasional Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Bandung, Fakultas Hukum UNISBA, 9 Mei 1998.

Saleh, Abdul Rahman, Catatan Tentang Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, Makalah Seminar Arbitrase Berdasarkan Syariat Islam tanggal 23 April 1994.


(4)

Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003.

---, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK, Teori dan Praktek Penegakan Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003.

Siahaan, N.H.T., Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Pantai Rei, Jakarta, 2005.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 1986. Solly Lubis, M. Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994. Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Grafika, Jakarta

1996.

Sri Wahyuni, Endang, Aspek Hukum Sertifikasi Dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003.

Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Alumni, 1981. ---, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 1987.

---, Arbitrase Perdagangan, Bandung, BPHN dan Bina Cipta, 1992. Suggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada,

2002.

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998.

Susilo, Zoemrotin K., Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Swara, Jakarta, 1999 Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia (IBI), Jakarta, 1993.

Swastha, Basu dan Irawan, Manajemen Modern, Liberty, Yogyakarta, 1997 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan,


(5)

Warsito, Herman, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa,

PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Wijaya, Ahmadi dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta , 2000.

Wuisman, J.J.J., M, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, Jakarta, UI Press 1996.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


(6)

TINJAUAN YURIDIS ATAS HAK-HAK KONSUMEN DALAM KLAUSUL BAKU

PERJANJIAN BERLANGGANAN JASA TELEKOMUNIKASI SELULER

PASCA BAYAR

JURIDICAL REVIEW ON CONSUMER’S RIGHTS IN THE ESTABILISHED

CLAUSES OF THE AGREEMENT OF SUBSCRIBING THE POSTPAID