12
BAB II LANDASAN TEORI
II.A. Forgiveness II.A.1. Definisi Forgiveness
Worthington Wade 1999 membedakan antara unforgiveness dan forgiveness. Unforgiveness merupakan suatu keadaan emosi “dingin” yang
meliputi kemarahan, kegetiran bahkan kebencian, ada motivasi menghindar atau membalas dendam terhadap pelaku, sebaliknya forgiveness adalah pilihan internal
orang yang disakiti baik sengaja atau tidak sengaja untuk melepaskan unforgiveness dan untuk mencari rekonsiliasi terhadap pelaku jika hal tersebut
dirasa aman, bijaksana dan mungkin untuk dilakukan. Denton dan Martin’s 1998 dalam Konstam, Marx, Schurer, Harrington,
Lombardo Deveney, 2000 menyatakan bahwa forgiveness melibatkan dua orang, dimana salah satunya menerima luka yang dalam untuk waktu yang
panjang baik secara psikologis, emosional, fisik maupun moral. Forgiveness merupakan proses yang terjadi didalam diri seseorang dimana orang yang telah
disakiti mampu melepaskan dirinya dari rasa marah, benci dan takut yang dirasakan dan tidak ingin balas dendam.
Proses forgiveness juga melibatkan pilihan atau keputusan sukarela oleh orang yang telah disakiti untuk tidak marah, tidak menolak atau merasa tidak adil
dalam merespon perilaku yang menyakitkan. Forgiveness lebih kepada pilihan
Universitas Sumatera Utara
13 aktif daripada sekedar pengurangan pasif pada rasa marah atau rasa dendam
sepanjang waktu Kaminer, Skin, Mbanga Dirwayi, 2000. Forgiveness merupakan bagian dari suatu proses yang perlahan, sedikit
demi sedikit. Proses ini dimulai dari seseorang menuturkan rasa sakit setelah terjadi peristiwa menyakitkan, lalu berkembang sampai menjalani pengalaman-
pengalaman korektif yang membangun kembali kepercayaan dan keintiman. Hal ini dilakukan dengan sukarela secara bertahap, hari demi hari Spring dan Spring
2006. Gartner 1988 dalam Spring Spring, 2006 menyatakan bahwa
forgiveness yang matang tidak berarti menghapuskan perasaan-perasaan negatif terhadap orang lain atau diri sendiri. Rasa marah terhadap seseorang yang telah
menyebabkan luka harus diimbangi dengan penghargaan atas komitmen, kualitas dan motivasi yang baik, atau paling tidak, empati pada segala kekurangan yang
mendorongnya berperilaku destruktif. Hal itu akan melahirkan pandangan yang lebih seimbang dan realistis mengenai orang lain dan diri sendiri, ketulusan
hubungan yang memperkaya pengalaman batin, dan kemampuan lebih besar untuk secara konstruktif menanggapi seseorang dan situasi yang membuat
frustrasi. Definisi lain dikemukakan oleh Enright dan The Human Development
Studi Group 2001 yang menjelaskan bahwa: “Forgiveness is the overcoming of negative affect and judgment toward
the offender, not by denying ourselves the right to such affect and judgment,but by endeavoring to view the offender with benevolence,
compassion, and even loved, while recognizing that he or she has abandoned the right to them. The important parts of this definition are as
follow; a one who forgives has suffered a deep hurt, thus showing
Universitas Sumatera Utara
14 resentment; b the offended person has a moral right to resentment but
overcomes it nonetheless; c a new response to the other accrues, including compassion and love; d this loving response accurs despite the
realization that there is no obligation to love offender ”.
Subkoviak, et al., 1992, p.3 dalam Wilson, 1994
Definisi diatas mengelaborasikan afektif, kognitif dan sistem perilaku dalam menjelaskan forgiveness, yaitu bagaimana seseorang memaafkan perasaan,
pemikiran dan perilaku orang lain terhadap dirinya. Respon psikologis dalam forgiveness meliputi tidak adanya afeksi, penilaian dan perilaku negatif terhadap
orang lain orang yang melakukan hal-hal menyakitkan melainkan adanya afeksi, penilaian dan perilaku positif terhadap orang tersebut.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa forgiveness adalah proses yang terjadi perlahan-lahan sebagai pilihan internal seseorang yang
mengalami rasa sakit yang dalam, untuk waktu yang lama, berusaha untuk mengatasi perasaan dan penilaian negatif terhadap orang yang melakukan hal-hal
menyakitkan dirinya. Forgiveness melibatkan perubahan sikap yang sebelumnya ingin membalas dendam dan menjauhi pelaku, menjadi ingin berdamai dengan
pelaku, dimana perilaku forgiveness ini akan muncul baik pikiran, perasaan dan tingkah laku orang yang telah disakiti.
II.A.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Forgiveness
Keinginan seseorang untuk memaafkan tidak muncul begitu saja tetapi dipengaruhi oleh banyak hal. Forgiveness dipengaruhi oleh penilaian korban
terhadap pelaku, penilaian korban terhadap kejadian, keparahan kejadian dan keinginan untuk menjauhi pelaku. McCullough, Sandage, Brown, Rachal,
Universitas Sumatera Utara
15 Worthington Enright 1998 dalam Pertiwi, 2004 menyebutkan bahwa terdapat
empat faktor yang mempengaruhi forgiveness. Keempat faktor tersebut adalah : 1.
Variabel sosial-kognitif Menurut McCullough 2000, permintaan maaf apology dengan
tulus atau menunjukkan penyesalan yang dalam dapat menjadi faktor yang berpotensi mempengaruhi korban untuk memaafkan. Selain itu, McCullough
2000 juga mengatakan rumination dan suppression, yaitu kecenderungan korban untuk terus menerus mengingat kejadian yang dapat menimbulkan
kemarahan dapat menghalangi dirinya untuk memaafkan. Orang yang mengingat kejadian-kejadian menyakitkan membuat semakin meningkatnya
motivasi menghindar dan balas dendam terhadap pelaku. Enright, Santos dan Al-Mabuk; Enright The Human Development Study Reza, 2004
mempelajari penilaian seseorang mengenai kondisi yang dapat mempermudah forgiveness yaitu :
a. Revengeful forgiveness
Forgiveness hanya diberikan korban pada pelaku atau pihak yang telah menyakitinya apabila korban dapat menghukum pelaku setimpal dengan
penderitaan yang telah dialaminya. b.
Conditional or restitution forgiveness Forgiveness diberikan apabila korban dapat memperoleh kembali
sesuatu yang hilang akibat peristiwa pahit yang dialaminya. Selain itu, forgiveness diberikan apabila korban merasa bersalah dengan tidak
Universitas Sumatera Utara
16 memaafkan sehingga forgiveness diberikan untuk menghilangkan
perasaan bersalah korban. c.
Expectational forgiveness Forgiveness diberikan ketika adanya tekanan dari pihak luar untuk
melakukannya atau karena menurut korban orang lain mengharapkan dirinya melakukan hal tersebut.
d. Lawful expectational forgiveness
Forgiveness diberikan oleh korban karena adanya faktor agama atau institusi yang serupa, seperti: negara, kelompok suku yang menuntut
dirinya untuk memaafkan. Worthington dan Wade 1999 menyatakan bahwa agama yang dimiliki oleh seseorang juga mempengaruhi
forgiveness terhadap orang yang telah menyakitinya. e.
Forgiveness as a social harmony Korban menyadari bahwa dengan memaafkan pelaku atau pihak yang
telah menyakitinya akan menciptakan hubungan yang baik dan harmonis dalam masyarakat. Ketegangan dan konflik dapat diminimalisasi dengan
forgiveness. Hal ini merupakan cara untuk mempertahankan hubungan yang damai antar individu atau kelompok.
f. Forgiveness as a love
Forgiveness diberikan karena forgiveness itu sendiri memiliki arti cinta kasih kepada sesama. Pengalaman menyakitkan yang dialami korban
tidak mempengaruhi ekspresi cinta kasih kepada orang lain termasuk
Universitas Sumatera Utara
17 pelaku atau pihak yang telah menyakitinya. Hubungan ini
memungkinkan terjadinya rekonsiliasi dan tidak ada balas dendam. 2.
Karakteristik serangan Faktor ini berkaitan dengan persepsi dari kadar penderitaan yang
dialami oleh orang yang disakiti serta konsekuensi yang menyertainya. Seseorang akan lebih sulit untuk memaafkan kejadian-kejadian yang
dianggap penting dan bermakna dalam hidupnya. Zechmeister, Garcia, Romero Vas 2004 menyatakan bahwa seberapa besar kadar penderitaan
yang dialami akan menentukan tingkat hukuman bagi pelaku, harga ganti rugi bahkan memutuskan untuk tidak memaafkan. Selain itu, kadar
penderitaan ini juga mempengaruhi korban dalam menginterpretasikan permintaan maaf. Permintaan maaf yang disertai dengan perilaku sangat
menyakitkan tidak terlalu mengurangi penilaian negatif korban terhadap pelaku.
3. Kualitas hubungan interpersonal
Faktor lain yang sangat mempengaruhi forgiveness adalah kedekatan atau hubungan antara orang yang disakiti dengan pelaku. Menurut
McCullough 2000 seseorang akan sangat memungkinkan untuk memaafkan dalam hubungan yang dicirikan dengan closeness, commitment,
dan satisfaction. Pasangan-pasangan yang memiliki kualitas hubungan seperti ini akan lebih siap untuk memaafkan satu sama lain jika terjadi
serangan interpersonal.
Universitas Sumatera Utara
18 Menurut Rusbult, et al., Van Lange, et al., dalam Pertiwi, 2004
terdapat empat hal yang mempengaruhi forgiveness terhadap pasangan. Pertama, pasangan akan memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh
pasangannya dikarenakan adanya keinginan untuk tetap menjaga dan memelihara hubungan perkawinan. Kedua, pasangan yang memiliki
komitmen kuat dalam perkawinan akan memilki orientasi jangka panjang yang jelas dan yang ingin dicapai, sehingga kesalahan pasangan akan dinilai
sebagai sesuatu yang harus dimaafkan untuk dapat mempertahankan hubungan dan komitmen tersebut. Ketiga, pada pasangan yang memiliki
komitmen kuat dalam perkawinan, kesalahan pasangan justru menyebabkan hubungan satu sama lainnya semakin erat dan kokoh. Keempat, adanya
kepentingan bersama antara pasangan, sehingga kesalahan pasangan akan dapat dimaafkan oleh pasangannya.
4. Faktor kepribadian
Menurut Worthington dan Wade 1999 menyebutkan beberapa faktor kepribadian yang mempengaruhi forgiveness, antara lain adalah faktor
agreebleness dalam The Big Five dan kecerdasan emosi yaitu kemampuan untuk memahami keadaan emosi diri sendiri dan orang lain, mampu
mengontrol emosi, memanfaatkan emosi dalam membuat keputusan, perencanaan dan memberikan motivasi, empati menurut McCullough
2000 adalah kemampuan untuk memahami atau melihat sudut pandang orang lain yang berbeda dari sudut pandang diri sendiri dan mencoba untuk
mengerti faktor apa yang melatarbelakangi perilaku seseorang, narcissism
Universitas Sumatera Utara
19 berhubungan negatif dengan forgiveness, pride orang yang bangga akan
diri sendiri akan sulit memaafkan, rasa bersalah dan malu, serta faktor agama.
II.A.3. Tahapan Forgiveness
Enright dan Coyle 1998 mengembangkan suatu model tahapan forgiveness. Model ini meliputi aspek kognitif, afektif dan perilaku yang terjadi
dalam proses forgiveness. Tahapan tersebut dibagi kedalam empat fase yaitu : uncovering phase, decision phase, work phase dan outcomedeepening phase.
Orcutt, Pickett Pope 2005 menjelaskan masing-masing fase sebagai berikut: 1.
Uncovering phase : proses forgiveness melibatkan rasa disakiti secara tidak adil pada individu yang dipenuhi dengan pengalaman emosi negatif
dan rasa sakit yang diasosiasikan dengan luka. Emosi negatif unforgiveness harus dikonfrontasikan dan secara mendalam dipahami
sebelum proses penyembuhan dimulai. 2.
Decision phase : individu menyadari bahwa memfokuskan diri secara terus menerus pada luka dan pelaku hanya dapat menghasilkan penderitaan yang
berlanjut. Kemungkinan memaafkan dilakukan sebagai strategi untuk penyembuhan dan individu membuat komitmen untuk memaafkan pelaku.
Berdasarkan komitmen ini, kerja forgiveness diawali dan pada fase ini pikiran, perasaan dan perhatian untuk membalas dendam terhadap pelaku
dilepaskan.
Universitas Sumatera Utara
20 3.
Work phase : kerja forgiveness diawali. Tahapan forgiveness seringkali melibatkan perubahan persepsi terhadap pelaku, mungkin dengan
menempatkan kejadian dalam konteks kehidupan pelaku, dalam suatu usaha yang bukan atas alasan tanggungjawab pelaku tapi lebih kepada
menerima pelaku sebagai anggota komunitas manusia. Orang yang disakiti memilih untuk menawarkan beberapa bentuk perbuatan baik pribadi
danatau umum terhadap pelaku. 4.
OutcomeDeepening phase : memaafkan individu menjadikan seseorang sadar akan keuntungan emosional positif yang akan diterimanya dari
proses forgiveness. Secara umum, individu menemukan makna dalam penyembuhan yang dialaminya sehingga pada fase terakhir ini individu
mengalami paradox of forgiveness, sebagai salah satu sikap terhadap rasa sakit yang tidak adil dan memberikan kemurahan hati pada orang lain,
orang yang telah disembuhkan. Menurut Enright dan The Human Development Study Group Enright
Coyle, 1998 secara rinci masing-masing fase ini terdiri dari beberapa guideposts seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel II.1. Tahapan Forgiveness
Enright dan The Human Development Study Group
Phase Guideposts
1. Uncovering phase
a. Pemeriksaan mekanisme pertahanan psikologis
b. Mengkonfrontasikan kemarahan bukan
menyembunyikan kemarahan c.
Mengakui adanya rasa malu
Universitas Sumatera Utara
21 d.
Korban menyadari tentang banyaknya energi yang dikeluarkan akibat dari peristiwa menyakitkan itu
e. Menyadari adanya pemikiran yang berulang-ulang
terhadap kejadian yang menyakitkan f.
Muncul pemikiran bahwa korban dapat membandingkan dirinya dengan pelaku
g. Merealisasikan bahwa korban mengalami
perubahan yang menetap oleh karena kejadian yang menyakitkan
h. Korban menyadari bahwa pandangannya tentang
keadilan telah berubah 2.
Decision phase a.
Perubahan hati, pemahaman baru bahwa strategi solusi lama tidak dapat mambawa hasil yang
diharapkan b.
Keinginan mempertimbangkan forgiveness sebagai suatu pilihan
c. Komitmen untuk memaafkan pelaku
3. Work phase
a. Penyusunan kembali, pemaknaan kembali terhadap
peristiwa menyakitkan yang dialami melalui pengambilan peran pelaku dengan memandang
konteksnya b.
Empati terhadap pelaku c.
Kesadaran bahwa forgiveness membutuhkan penerimaan terhadap luka yang dialami
d. Forgiveness diberikan sebagai suatu hadiah moral
bagi pelaku 4.
OutcomeDeepening phase
a. Menemukan makna bagi diri sendiri dan orang lain
dalam penderitaan dan selama proses forgiveness b.
Menyatakan bahwa diri sendiri membutuhkan forgiveness dari oranglain pada masa lalu
Universitas Sumatera Utara
22 c.
Muncul pemikiran bahwa korban merasa dirinya tidak sendirian universal dan dukungan
d. Memperoleh tujuan baru dalam hidup dikarenakan
oleh penderitaannya e.
Kesadaran bahwa perasaaan negatif yang dimiliki digantikan dengan perasaan positif, perasaan
positif tersebut membebaskan, menguntungkan bagi korban
Sumber: Enright Coyle 1998
Model ini bukanlah suatu fase yang berlangsung secara kaku, sesuai urutannya melainkan suatu set yang fleksibel. Seseorang yang berada pada
guideposts tertentu dapat saja berupa putaran maju dan mundur disertai dengan transformasi sikap. Masing-masing individu mempunyai pengalaman yang unik
sehingga tahapan forgiveness masing-masing individu juga terjadi secara unik Enright, 2001.
II.A.4. Dimensi Forgiveness
Menurut Baumeister, Exline Sommer 1998, forgiveness harus dipahami sebagai sesuatu yang terjadi didalam diri orang yang telah disakiti atau
korban dan diantara korban dan pelaku. Keadaan ini menggambarkan bahwa forgiveness dapat terjadi dalam dua dimensi, yaitu intrapsychic dan interpersonal.
Dimensi intrapsikis melibatkan keadaan dan proses yang terjadi didalam diri orang yang disakiti secara emosional, pikiran dan perilaku yang menyertainya.
Forgiveness juga memiliki dimensi interpersonal karena forgiveness merupakan tindakan sosial yang melibatkan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
23 Dimensi
forgiveness tersebut saling berinteraksi menghasilkan beberapa kombinasi forgiveness Baumeister, Exline Sommer 1998, antara lain sebagai
berikut:
Tabel II.2. Dimensi Forgiveness
Interpersonal Act + No Intrapsychic State Hollow Forgiveness
Intrapsychic State + No interpersonal Act Silent Forgiveness
Intrapsychic State + Interpersonal Act Total Forgiveness
No Intrapsychic State + No Interpersonal Act No Forgiveness
Sumber: Baumeister, Exline Sommer 1998
1. Hollow Forgiveness
Kombinasi ini terjadi saat korban dapat mengekspresikan forgiveness secara konkret melalui perilaku namun koban belum dapat merasakan dan
menghayati adanya forgiveness didalam dirinya. Korban masih menyimpan rasa dendam dan kebencian meskipun ia telah mengatakan kepada pelaku: “saya
memaafkan kamu”. Enright dan The Human Development Study Group; Al- Mabuk, Enright Cardis dalam Baumeister, Exline Sommer, 1998
menyatakan bahwa dimulainya proses intrapsikis forgiveness ditandai dengan adanya komitmen dari korban untuk memaafkan. Saat komitmen telah dimiliki,
korban dapat mengekspresikannya dengan baik kepada pelaku. 2.
Silent Forgiveness Kombinasi yang kedua ini berkebalikan dengan kombinasi pertama.
Dalam kombinasi ini, intrapsikis forgiveness dirasakan namun tidak diekspresikan
Universitas Sumatera Utara
24 melalui perbuatan dalam hubungan interpersonal. Korban tidak lagi menyimpan
perasaaan marah, dendam, benci kepada pelaku namun tidak mengekspresikannya. Korban membiarkan pelaku terus merasa bersalah dan terus
bertindak seolah-olah pelaku tetap bersalah. Menurut
Baumeister, Exline Sommer 1998, silent forgiveness
tampaknya mengandung unsur manipulatif dam munafik. Silent forgiveness bermanfaat terutama dari sudut pandang korban, keuntungannya yaitu hilangnya
perasaan-perasaan negatif yang mengganggu korban selama ini dan menghindari kerugian yang dialami setelah memaafkan, yaitu hilangnya ganti rugi yang
diperoleh dari pelaku. Pada beberapa situasi, interpersonal forgiveness menjadi sesuatu yang sulit karena dapat membahayakan pelaku.
3. Total Forgiveness
Kombinasi ini terjadi dimana orang yang disakiti atau korban menghilangkan perasaan kecewa, benci atau marah terhadap pelaku, dan pelaku
dibebaskan dari perasaan bersalah dan kewajibannya, kemudian hubungan antara korban dengan pelaku kembali secara total seperti keadaan sebelum peristiwa
menyakitkan terjadi Baumeister, Exline Sommer, 1998. 4.
No Forgiveness Pada kombinasi ini, intrapsychic dan interpersonal forgiveness tidak
terjadi pada korban. Baumeister, Exline Sommer 1998 menyebut kondisi ini sebagai total grudge combination. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor,
yaitu :
Universitas Sumatera Utara
25 a
Claims on reward and benefits Forgiveness tidak diberikan karena dapat memberikan keuntungan praktis
dan material bagi korban. Pelaku memiliki “hutang” kepada korban akibat dari perbuatan menyakitkan yang dilakukannya sehingga seringkali
forgiveness diberikan pada saat pelaku menampilkan tindakan yang memberikan keuntungan bagi korban. Reward yang diperoleh tidak hanya
bersifat material tapi dapat juga non material. b
To prevent reccurence Forgiveness dianggap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
pelanggaran atau peristiwa menyakitkan yang dialami korban dimasa yang akan datang. Apabila tidak memberikan pemaafan pada pelaku maka
korban dapat terus mengingatkan pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya.
c Continued suffering
Korban tidak memaafkan pelaku karena perasaan menderita dari pengalaman menyakitkan di masa lalu yang terus berlanjut. Saat
konsekuensi dari kejadian menyakitkan yang dialami korban di masa lalu mempengaruhi hubungannya dengan pelaku di masa depan maka
forgiveness merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. d
Pride and revenge Pengalaman menyakitkan yang dialami korban berpengaruh terhadap
harga diri korban. Apabila forgiveness diberikan pada pelaku maka korban merasa bahwa perbuatan tersebut akan mempermalukan dirinya bahkan
Universitas Sumatera Utara
26 menunjukkan rendahnya harga diri korban. Saat korban secara intrapsikis
memaafkan pelaku, korban dapat menyesali apa yang dilakukannya karena faktanya korban tidak memperjuangkan sesuatu yang menjadi haknya dan
mempersepsikan dirinya sebagai orang yang bodoh. e
Principal refusal Forgiveness tidak dilakukan oleh korban karena hal ini dianggap
mengabaikan prinsip yang telah baku dan standar hukum yang ada. Forgiveness diidentikkan dengan memberikan pengampunan hukum
terhadap pelaku yang dinyatakan bersalah melalui sistem peradilan yang ada sehingga memaafkan pelaku adalah perbuatan yang keliru.
II.A.5. Dampak Forgiveness Terhadap Kesehatan, Kesejahteraan Psikologis dan Hubungan Interpersonal
Forgiveness ternyata secara signifikan dapat berhubungan dengan kesehatan Lawler, Younger, Piferi, Jobe, Edmondson Jones 2005,
kesejateraan psikologis McCullough, 2000; Orcutt, Pickett Pope, 2005; Konstam, Marx, Schurer, Harrington, Lombardo Deveney, 2000; Karemans,
Lange, Ouwerkerk Kluwer, 2003 dan memperbaiki hubungan interpersonal McCullough, 2000; Worthington Wade, 1999; Tsang, McCullough
Fincham, 2006; Hall Fincham, 2006. Forgiveness dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis karena
dengan memaafkan, seseorang dapat melepaskan perasaan marah, mengubah pemikiran desruktif menjadi pemikiran yang lebih baik terhadap orang yang telah
Universitas Sumatera Utara
27 menyakitinya Enright, 2001. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Lawler,
Younger, Piferi, Jobe, Edmondson Jones 2005 yang menunjukkan bahwa forgiveness berhubungan dengan kesehatan yang meliputi simtom-simtom fisik,
penggunaan obat-obatan, kualitas tidur, kelelahan dan keluhan somatik. Secara psikologis penelitian Reed Enright 2006 menunjukkan bahwa terapi
forgiveness secara signifikan lebih baik untuk mengatasi depresi, kecemasan, posttraumatic stress symptom, self-esteeem yang dilakukan terhadap wanita yang
mengalami kekerasan emosional sebagai akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya dalam waktu yang lama. Forgiveness juga dapat berhubungan
dengan pemulihan hubungan kedekatan dan komitmen setelah terjadi peristiwa yang menyakitkan Tsang, McCullough Fincham, 2006. Jika orang yang
disakiti memaafkan pelaku maka hubungan dengan pelaku dapat di pulihkan untuk waktu kedepan tetapi jika orang yang disakiti tidak memaafkan pelaku
maka hubungan ini bisa saja terputus.
II.B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT II.B.1. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT
Istilah kekerasan dalam rumah tangga dalam literatur barat umumnya dipergunakan secara bervariasi, misalnya domestic violence, familiy violence atau
wife abused. Gelles 1990 dalam Martha, 2003 mendefinisikan kekerasan dalam keluarga family violence sebagai seseorang yang melakukan tindakan
pemukulan, menampar, menyiksa, menganiaya ataupun pelemparan benda-benda kepada orang lain yang menyangkut kekerasan dalam keluarga. Adapun
Universitas Sumatera Utara
28 Fredmann 1985 dalam Martha, 2003 menggunakan istilah kekerasan dalam
rumah tangga ini pada bentuk kekerasan yang berhubungan antara suami dan istri yang salah satu diantaranya bisa menjadi pelaku atau korban, tetapi pada
kenyataannya secara umum perempuan lebih cenderung menjadi korban. Poerwandari 2000 menjelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga
menyangkut berbagai bentuk kekerasan yang pelaku dan korbannya memiliki hubungan keluarga atau hubungan kedekatan lain. Kekerasan terhadap perempuan
dalam hubungan intim KDRT mencakup usaha-usaha dari pasangan untuk mengintimidasi, baik dengan ancaman atau melalui penggunaan kekuatan fisik
pada tubuh perempuan atau barang-barang miliknya. Tujuan dari serangan tersebut adalah untuk mengendalikan tingkah laku korban atau untuk
memunculkan ketakutan. Selanjutnya, definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut UU RI No.
23 Thn 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 1 ayat 1, adalah:
“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, danatau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Berdasarkan definisi-definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap bentuk kekerasan dimana pelaku dan
korbannya memiliki hubungan keluarga atau hubungan kedekatan lain yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
Universitas Sumatera Utara
29 danatau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan dengan tujuan adalah untuk mengendalikan tingkah laku korban atau untuk memunculkan ketakutan.
II.B.2. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Poerwandari 2000 secara umum bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut :
a. Kekerasan fisik
Mencakup perilaku memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan
kosong atau alatsenjata bahkan membunuh. b.
Kekerasan psikologis Mencakup perilaku berteriak-teriak, menyumpah, mengancam,
merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit dan memata-matai, serta tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut termasuk yang
diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak suami, teman dekat dan lain-lain.
c. Kekerasan seksual
Mencakup melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan atau desakan seksual seperti menyentuh, meraba, meraba, mencium, danatau
melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual
yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan
Universitas Sumatera Utara
30 melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelaminseks korban,
memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban, dengan kekerasan fisik maupun tidak, memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang
tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau melukai korban. d.
Kekerasan finansial Mengambil uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan
kebutuhan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya, semuanya dengan maksud untuk dapat
mengendalikan tindakan korban. e.
Kekerasan spiritual Merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban untuk
meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa korban mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu.
II.B.3. Penyebab Terjadinya KDRT
Penyebab terjadinya KDRT merupakan hal yang kompleks. Secara umum diketahui bahwa kekerasan terhadap anak mupun orang dewasa ditentukan oleh
faktor yang saling berhubungan antara lain faktor individual, sistem keluarga dan sistem sosial Ammerman Hersen, 1992.
O’Leary Murphy 1992 memberikan beberapa pandangan yang dapat menjelaskan terjadinya KDRT khususnya kekerasan terhadap pasangan, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
31 1.
Pandangan sosiohistoris Menurut pandangan ini, kekerasan terjadi karena adanya masalah-masalah
seperti laki-laki lebih dominan daripada perempuan, adanya budaya patriarkal dan institusi yang mengontrol dan menekan kedudukan perempuan. Kekerasan
terhadap perempuan merupakan produk struktur sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan menomorsatukan kepentingan dan perspektif
laki-laki, sekaligus menganggap perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah dan kurang bernilai dibandingkan laki-laki Poerwandari, 2000.
2. Pandangan sistem keluarga
Menurut pandangan ini, kekerasan terjadi karena adanya masalah dalam sistem keluarga seperti dinamika komunikasi yang keliru, perubahan-perubahan
dalam keluarga atau penyelesaian konflik yang tidak tepat. Perasaan marah, tidak dapat menemukan solusi masalah dan miskomunikasi dengan pasangan dapat
menimbulkan kekerasan. Berdasarkan pandangan ini, tanggungjawab untuk mengontrol konflik sepenuhnya diserahkan kepada kedua pasangan suami dan
istri secara bersama-sama O’Leary Murphy, 1992. 3.
Pandangan psikopatologis Menurut pandangan ini, kekerasan dapat terjadi karena psikopatologis
yang dialami oleh pelaku kekerasan, yaitu menyangkut masalah harga diri, cemburu, gangguan kepribadian, agresif, impulsif, danatau kepribadian eksplosif
serta masalah-masalah lain seperti pengguna narkoba dan alkohol atau sebelumnya pernah mengalami kekerasan dan dianiaya biasanya pada masa
kanak-kanak O’Leary Murphy, 1992.
Universitas Sumatera Utara
32 Hal-hal yang dapat menyebabkan KDRT ini bisa memunculkan masalah
yang kompleks. Kekerasan yang terjadi bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan terus menerus. Komnas Perempuan mengistilahkan kondisi ini sebagai suatu
pola yang menunjukkan siklus kekerasan. Siklus ini terdiri dari tiga tahapan atau tiga fase utama, yaitu fase ketegangan, fase penganiayaan dan fase bulan madu
Tamtiari, 2005. Fase munculnya ketegangan disebabkan percekcokan terus-menerus, tidak
saling memperhatikan atau kombinasi keduanya dan kadang-kadang disertai dengan kekerasan kecil. Namun, semua ini dianggap biasa saja dan wajar dalam
rumah tangga. Kemudian pada fase kedua, kekerasan mulai muncul berupa meninju, menendang, menampar, mendorong, mencekik atau bahkan menyerang
dengan senjata. Kekerasan ini dapat berhenti jika korban pergi dari rumah, pelaku sadar apa yang dia lakukan atau salah seorang perlu dibawa kerumah sakit. Pada
fase bulan madu pelaku biasanya menyesali tindakannya. Penyesalan biasanya berupa rayuan dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Bahkan tidak jarang
pelaku sepenuhnya menunjukkan sikap mesra dan menghadiahkan sesuatu. Korban biasanya akan luluh dan berharap hal tersebut tidak akan terjadi lagi.
Itulah sebabnya korban kekerasan tetap memilih bertahan meski menjadi korban dan pada fase ini korban merasakan cinta yang paling penuh. Namun, kemudian
tahap ini pudar dan ketegangan muncul lagi, terjadi lagi fase kedua selanjutnya fase bulan madu Saraswati, 2006.
Universitas Sumatera Utara
33
Skema II.1 Siklus kekerasan
Fase ketegangan Tekanan Agama Tekanan Adat
Fase Fase
Bulan madu Penganiayaan
Tekanan Keluarga Tekanan Ekonomi
II.B.4. Dampak Psikologis Korban KDRT
Poerwandari 2000 menjelaskan bahwa rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban KDRT. Rasa takut tersebut mengendalikan perilaku
dan mewarnai segala tindakannya. Bahkan, ketakutan dapat mengganggu pola tidurnya, memunculkan insomnia dan mimpi buruk. Gangguan tidur dapat
memunculkan ketergantungan pada obat tidur dan obat penenang. Dominasi perasaan takut ini meunculkan respon psikologis pada korban KDRT, antara lain:
1. Meminimalkan kejadian kekerasan yang dialami, karena beberapa alasan:
a. Ketakutannya bahwa membicarakan kekerasan tersebut akan membuatnya
berada dalam situasi yang lebih buruk,
Korban: - Menyabarkan diri
Penganiayaan: - Merasa was-was - Menyalahkan pasangan - Merasa sudah
- seringkali cemburu selayaknya ia - Menggunakan teror, diperlakukan seperti itu
penganiayaan untuk - Merasa wajib untuk mengontrol pasangan penyelamatan rumah tangga
Penganiayaan: Penganiayaan: - merasa bersalah dan sedih - kemarahan yang meledak
- mungkin menangis - bermaksud memberi pelajaran
dan memohon maaf kepada pasangan - berjanji untuk mengubah - kemungkinan untuk ”lupa”
kelakuan akan ledakan keamarahannya
- menunjukkan rasa sayang Korban:
- merasa ketakutan Korban: - melepaskan rasa marahnya
- merasa bahagia dan dengan jalan melawan mempunyai harapan - sesudahnya merasa tak
- memberikan pengertian berdaya dan depresi terhadap pasangan
Kontrol
Universitas Sumatera Utara
34 b.
Kurangnya informasi akurat mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, siapa sesungguhnya yang bermasalah dan menjadi korban,
c. Kebutuhannya untuk meyakini itu tidak seberat yang dibayangkan adalah
cara beradaptasi terhadap kekerasan yang dialami, sampai ia siap menghadapi realitas dan mampu mengambil tindakan-tindakan
pengamanan, d.
Perasaaan malu dan kebingungan menghadapi kekerasan, e.
Keyakinannya bahwa ia bertanggung jawab atas kejadian tersebut. 2.
Terisolasi. Perempuan korban kekerasan memiliki akses sangat sedikit akan jaringan dan dukungan personal. Rasa malu dan kebingungannya menghadapi
pemukulan-pemukulan membuatnya menjaga jarak dari orang lain. Jika ia berupaya berhubungan dengan orang lain, pasangannya akan menghentikan
usahanya dengan mengendalikan aktivitasnya dan membatasi kontaknya dengan orang-orang diluar perkawinan bahkan bersikap kasar.
3. Perasaan tidak berdaya. Perempuan korban kekerasan belajar bahwa upaya-
upaya mereka untuk mengendalikan, menghindari atau melarikan diri dari situasinya ternyata tidak berhasil. Akhirnya, muncul perasaan tidak berdaya,
tidak tertolong, kesedihan yang mendalam dan keyakinan bahwa tidak ada satu pun dapat dilakukannya untuk mengubah keadaan.
4. Menyalahkan diri sendiri. Perempuan korban kekerasan sering mempercayai
mitos-mitos tentang KDRT. Ia berpikir bahwa kekerasan tersebut terjadi karena kesalahan diri sendiri dan kekerasan tidak akan terjadi jika ia mau
mengikuti apa yang diperintahkan pelaku.
Universitas Sumatera Utara
35 5.
Ambivalensi. Pasangan yang melakukan kekerasan tidak setiap saat melakukan kekerasan, kadangkala ada saat bahwa ia merasa pasangannya
sangat baik dan mencintainya. Inilah yang menjadi ambivalensi dan kebingungan korban. Ia ingin kekerasan itu berakhir tetapi tidak memutuskan
perkawinannya. Ia sangat berharap pasangannya akan berubah dan menepati janji-janjinya. Korban sangat takut membayangkan hidup sendiri dan takut
akan perpisahan. 6.
Harga diri rendah. Akhir dari kekerasan yang berulang adalah rusaknya harga diri yang meliputi perasaan berharga dan keyakinan diri serta kepercayaan
terhadap kemampuan diri. Kekerasan dari orang yang dipilih menjadi pasangan, orang yang seharusnya menyayangi, menghormati dan
menyenangkannya merupakan pukulan yang paling parah serta pengkhianatan paling besar. Semakin parah kekerasan yang dialami dan semakin lama
berlangung maka semakin buruklah citra diri yang dimiliki korban. 7.
Harapan. Perempuan yang menjadi korban selalu berharap suaminya akan berubah dan menjadi pasangan seperti yang diimpikannnya.
Berdasarkan penjelasan diatas maka diperoleh kesimpulan bahwa KDRT membawa dampak yang besar pada diri korban. Perasaan takut yang mendominasi
perasaan dan perilaku korban KDRT dapat memunculkan respon dan pengalaman psikologis yaitu selalu berusaha meminimalkan kejadian kekerasan yang dialami,
terisolasi dari orang-orang sekitar, perasaan tidak berdaya, menyalahkan diri sendiri, mengalami ambivalensi, harga diri yang rendah, dan masih mempunyai
harapan bahwa pasangannya akan berubah menjadi lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
37
BAB III METODE PENELITIAN